Chapter 21 – Punggungnya yang akrab
Setelah berhasil kabur dari Nitta-san, Asanagi dan aku memutuskan untuk pergi ke rumahku dulu.
Kami sudah mengirimkan alamatku ke Amami-san. Jadi, dia seharusnya bisa menyusul kami.
“Haa… seharusnya kita berhasil kabur darinya. Hei, Maehara. Apa kamu baik-baik saja?"
“Ugh, y-yah..bagaimana denganmu…?”
“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja."
“Seperti yang diharapkan dari, gadis paling imut kedua. Kau benar-benar luar biasa."
Menghabiskan waktu sendirian di kamar benar-benar membuat efek negatif pada tubuhku.
Hanya di dalam game, aku bisa aktif secara fisik. Dalam kehidupan nyata, kemampuan fisikku buruk. Aku benar-benar menghambat Asanagi di sini.
“Astaga, kamu terlalu berlebihan Maehara."
"Begitukah?"
"Mnm.. Lagipula, kamu kurang menggerakan tubuhmu. Contohnya, waktu kita main di batting cage. Kamu langsung kelelahan padahal baru beberapa kali memukul bola. Bagaiamana kalau kamu sedikit berolahraga? Hora, ada beberapa hal yang bisa membantu fisikmu meskipun di dalam rumah, bukan?
“Ehh… itu merepotkan.."
“Jangan cuma bilang 'ehhh' padaku! Kalau kamu kurang berolahraga, tubuhmu akan lebih cepat hancur, kau tahu?"
"Kau mengatakan itu seolah-olah kau pernah mengalaminya sebelumnya."
“Kakakku seperti itu, kau tahu? Meskipun baru berusia 25 tahun. Tapi, dia sudah mengalami sakit punggung dan semacamnya.”
Ngomong-ngomong, Asanagi bahkan tidak kelelahan sedikitpun, apalagi berkeringat. Meskipun dia makan lebih banyak junk food daripada diriku. Tapi, tubuhnya masih bugar, dia luar biasa.
Sedangkan aku, seperti yang kau duga. Aku kehabisan napas.
Kurasa aku akan mencoba mengikuti saran dari Asanagi.
“Ah, benar juga. Selagi kita masih diluar. Bagaimana kalau mampir ke minimarket dulu? Aku baru ingat, kalau aku kehabisan makanan ringan dan yang lainnya..."
“Oke, jangan lupa beli Coke. Persediaanmu sudah habis, bukan? Kita harus membeli lebih banyak saat kita belanja. ”
"Oke. Tapi, kenapa kau tahu?"
“Yah, ketika aku melihat isi kulkasmu? Oh, ya.. es krim yang kamu tinggalkan di kulkas sangat enak. Terima kasih~”
"Es krim? Oh, benar juga. Jadi, kau yanh memakannya?"
Kami memulai bercanda seperti biasa saat kami berjalan menuju toserba di dekat rumahku.
Kopi, susu, makanan ringan dan teh. Aku membeli semua yang kubutuhkan.
“Selanjutnya… Asanagi, apa yang di sukai Amami-san?"
“Mm? Kan dia sudah mengatakannya waktu perkenalan."
"Maaf, aku lupa."
"Haa, dia suka makanan yang manis dan hal yang dia benci adalah paprika dan melon pahit. Bagaimanpun, dia masih kekanak-kanakan..”
“Sama sepertimu… Nah, bagaimana dengan kue ini? Agak mahal sih, tapi isinya bervariasi.”
“Itu seharusnya baik-baik saja. Itu jenis kue yang kunantikan setiap kali aku datang ke rumah saudaraku.”
“Kalau begitu, aku akan membeli ini… Lalu, taruh kembali beberapa Coke itu, kita tidak perlu sebanyak itu."
“Ehh~"
"Jangan cuma 'ehhh' padaku!"
Enam botol Coke dua liter? Apa kau serius? Ibuku akan membunuhku jika dia tahu aku membeli sebanyak itu.
Btw, aku juga membeli beberapa makanan lainnya untuk kami nikmati di akhir pekan sebelum langsung ke kasir.
“Totalnya 2.944 yen.”
"Ugh ... Seperti yang diharapkan kue itu terlalu mahal."
Meskipun aku punya cukup uang di dompetku. Tapi, penguaran sebanyak itu bagi siswa SMA sepertiku sedikit menyakitkan.
“Ah, aku akan membayar setengahnya. Ini, 1.500 yen.”
“Tidak, tidak, tidak perlu. Lagipula, beberapa makanan yang kubeli itu untuk diriku sendiri dan Ibuku juga akan memberiku uang saku nanti. Jadi, tidak apa-apa.”
“Tapi, kamu tidak akan memakan kuenya, kan? Ayolah, kamu tidak perlu mengkhawatirkanku, ambil saja.”
Asanagi tidak menunjukkan niat untuk mundur, mungkin dia mengkhawatirkanku.
Saat kami berdebat seperti itu, ibu rumah tangga di sekitar kami muali berbisik satu sama lain, membicarkan sesuatu seperti,
'Hei, kau lihat anak-anak itu?'
'Mnm. Mereka anak SMA, kan? Mereka sangat dekat, bukan? Mungkin mereka pacaran?'
'Sepertinya begitu.'
'Lihat mereka berdebat apakah akan membagi tagihan atau meminta pacarnya yang membayarnya.'
'Ahh, itu mengingatkanku! Aku dulu juga seperti itu dengan suamiku!'
'Hah? Bukankah kau pertama kali bertemu dengannya ketika kalian berdua mulai bekerja?'
'Ah, maaf, aku salah mengira dia mantan pacarku, ohohoho.'
'Ya ampun, bagaimana kau bisa melakukan itu, hm ~?'
“…Nah, biarkan aku membayar semuanya untuk saat ini, oke?”
"Eh, y-ya, silahkan.."
Kami memutuskan untuk membagi tagihan nanti dan hanya membayar semuanya dengan uangku untuk saat ini. Setelah menyelesaikan pembayaran di kasir, kami langsung keluar dari toserba itu.
"Maehara, biarkan aku membawa salah satunya."
“Ahh, tentu, terima kasih.”
Aku menyerahkan tas yang lebih ringan yang tidak berisi Coke di dalamnya dan berjalan bahu-membahu dengannya.
“Asanagi.”
"Apa?"
“…Dari sudut pandang orang luar, kita terlihat seperti pasangan, ya?”
"Mn, sepertinya begitu. Bahkan jika itu bukan masalahnya. Jika anak laki-laki dan perempuan begitu dekat. Orang-orang pasti akan salah paham tentang hal-hal seperti ini.”
Aku memang berpikir bahwa Asanagi dan aku bergaul dengan cukup baik. Aku sangat menyukainya. Tapi, hanya sebagai 'teman', bukan 'kekasih'. [TN: Yah, untuk saat ini 'sebagai teman']
Aku bertanya-tanya mengapa orang lain berpikir bahwa jika anak laki-laki dan perempuan akrab, mereka langsung menyimpulkan bahwa anak laki-laki dan perempuan itu "Berkencan"?
Dibandingkan dengan gadis-gadis lain, Asanagi memiliki wajah yang cantik, selera fashion yang bagus dan kepribadian yang serius. Aku bisa mengerti mengapa beberapa anak laki-laki jatuh cinta padanya.
Tapi, hanya karena aku bisa mengerti, bukan berarti aku merasakan hal yang sama seperti mereka.
Setiap kali kami bermain di rumahku, Asanagi selalu menurunkan kewaspadaannya di sekitarku. Kadang-kadang, aku bahkan melihat sekilas celana dalamnya setiap kali dia mengangkat kakinya untuk menendangku. Jangan salah paham, aku seorang anak SMA yang normal. Jadi, aku juga memikirkan hal-hal itu.
Tapi, itu bukan berarti Asanagi membuatku terangsang atau aku ingin berpacaran dengannya.
Bagiku, bisa bergaul dengannya sambil membicarakan hal-hal bodoh sudah lebih dari cukup.
"Hei, Asanagi."
“Hmm?”
“…Apa itu cinta…?”
“Entahlah.. aku juga tidak begitu memahaminya. Tapi, kurasa kita berada di kapal yang sama dalam hal ini.”
"Begitu."
"Mnm..”
Bahkan Asanagi, yang sangat ramah, tidak tahu jawaban atas pertanyaanku, apalagi seorang penyendiri sepertiku.
Dengan jarak yang sedikit lebih memisahkan kami satu sama lain, kami mempercepat langkah kami dalam perjalanan pulang.
|| Previous || Next Chapter ||
12 comments