Chapter 92 – Hal yang tak terduga
Meskipun aku mengalami kesulitan untuk tidur, emtah bagaiamana aku berhasil bangun pagi ini untuk mengikuti ujian pada hari ini.
“Haa.. Untuk saat ini, semuanya akan baik-baik saja.."
Meskipun aku merasa lelah karena kurang tidur. Tapi, sebisa mungkin aku harus belajar untuk ujian.
Sambil memikirkan itu, aku menuju ke kamar mandi dan membasuh wajahku dengan air dingin sebanyak mungkin untuk membangunkan diriku sendiri.
Itulah yang aku pikirkan. Tapi, sepertinya rasa kantuk masih menyerangku.
..... Sial, cepat bangun, Maehara Maki!
Aku mencoba berbagai cara agar aku bisa sepenuhnya bangun. Dan, entah bagaimana aku berhasil.
..............
..........
.... Yosh, ayo fokus ke ujian terlebih dahulu!
“Selamat pagi, Maki.”
"Ah, selamat pagi, Bu. Oh, apa Ibu baru saja membuat sarapan? Apa pekerjaanmu tidak apa-apa? Bukankah kau akan terlambat?"
Ketika aku berjalan ke arah ruang tamu, aku melihat Ibuku sedang berdiri di dapur, membuat sarapan. Melihat pemandangan ini terasa menyegarkan bagiku, karena dia biasanya hanya mengambil sepotong roti, susu dan langusung pergi meninggalkan rumah.
"Yah, akhir-akhir ini aku sudah menyerahkan semua pekerjaan rumah padamu. Jadi, aku ingin menunjukkan sedikit kekuatan keibuanku. Baiklah, semuanya sudah siap.”
Nasi, sup miso dengan tahu dan rumput laut wakame dan telur goreng. Itu adalah hidangan yang sebelumnya diajarkan Ibu kepadaku.
Segera setelah itu, aku langsung mengambil makanan yang dia siapkan, lalu memakannya
... Ah, sudah lama sekali, aku makan masakan Ibu. Ini terasa lebih enak dari biasanya.
"Bagaimana, Maki? Enak, kan?"
"…Mn, ini enak sekali."
“Senang kamu menyukainya.”
Kami berdua mengunyah nasi sambil saling berhadapan.
Aku sedikit merindukan saat-saat seperti ini, dimana kami makan bersama seperti ini.
Bukannya aku tidak suka sarapan bersama Umi. Sebaliknya, aku sangat menikmatinya. Tapi, hari-hari dimana aku bisa makan berdua dengan Ibuku cukup langka. Jadi, ini terasa menyegarkan bagiku.
Jika memungkinkan, aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. Tapi aku tahu, aku tidak boleh egois. Ibu harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami.
Selain itu, ketika dia bekerja keras, dia terlihat sangat keren.
“…Maki.”
“Mm?”
“Aku memutuskan untuk mengambil cuti kerja.”
“Eh?”
Dia mengatakan itu sambil merokok di balkon apartemen. Itu setelah kami selesai sarapan.
Aku sedikit terkejut ketika Ibu mengatakan itu padaku. Itu karena, bagiku.. Ibu adalah seseorang yang pekerja keras. Dia bahkan tidak pernah mengambil liburan, tidak pernah mengambil cuti dan dia bekerja sepanjang akhir pekan seperti biasanya. Dan sekarang dia bilang dia ingin mengambil cuti kerja.
Sekarang, aku mengerti mengapa dia membuat sarapan hari ini.
“Apa kau serius mengambil cuti kerja, Bu?"
"Iya, aku tidak akan berbohong padamu tentang hal seperti ini.”
"Berapa lama kau akan mengambil cuti, Bu?"
“Hmm, sekitar dua atau tiga bulan.. Atau, mungkin lebih..."
“….. Hei, apa kau baik-baik saja, Bu? Kau tidak sakit, kan?”
"Seperti yang kamu lihat, Aku sehat wal'afiat. Yah, sebenarnya.. Seseorang dari tempat kerjaku menyuruhku untuk mengambil cuti dan mereka mengatakan padaku bahwa aku perlu istirahat atau itu akan sangat buruk bagi kesehatanku. Haha, mereka juga menyuruhku untuk berhenti merokok."
... Yah, aku pikir jika dia berkonsultasi kepada dokter tentang gaya hidupnya, aku rasa meraka pasti akan mengatakan hal yang sama.
Tapi tetap saja, dia bukan tipe orang yang tiba-tiba berubah pikiran tentang hal-hal seperti ini, apakah terjadi sesuatu?
Apakah dia menyembunyikan sesuatu dariku? Penyakit yang tidak aku ketahui? Tidak, tidak, tidak.. Apa yang kau pikirkan, Maki! Dia Ibuku, dia bukan tipe orang yang akan menyembunyikan hal seperti itu dariku.
“Yah, meskipun awalnya perusahaan tidak menerimanya dengan baik. Tapi, aku sudah memutuskan. Itu sebabnya, mulai sekarang.. Ibu yang akan mengurus pekerjaan rumah. Maaf, membuatmu melakukan segalanya sebelumnya, Maki.”
“Kau tidak perlu minta maaf, Bu, itu tidak merepotkan atau apapun…”
Aku tidak mempermasalhkan pekerjaan rumah. Tapi, bagaimana dengan uangnya?
Jika dia akan cuti selama dua atau tiga bulan, maka selama itu dia tidak akan menerima gaji.
“Ah, Maki. Kamu tidak perlu khawatir tentang uang. Ibu sudah punya uang simpanan. Jadi, kalau kamu membutuhkan uang untuk kencan dengan Umi-chan. Katakan padaku, oke ...?"
“Ah… Mm…”
Uang yang dia terima dari Ayah karena perceraian seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Tapi, kalau kita terus mengandalkan uang itu. Itu tidak akan bertahan lama.
….. Aku mungkin harus mulai mencari pekerjaan paruh waktu atau semacamnya.
“Baiklah, hari ini biar Ibu saja yang bersih-bersih rumah. Maki, kamu fokus belajar saja, kamu lagi ujian 'kan?"
"Eh, ah.. ya.."
"Ah, hampir lupa. Maki, jika kamu ingin menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh aku lihat. Lebih baik, lakukan sekarang lho~.. Sembunyikan saja di laci mejamu~"
"A-Aku tidak punya hal seperti itu! Dan juga, aku tidak akan menyembunyikannya di sana!"
Bohong jika aku bilang aku tidak punya. Bagaimanapun juga, aku ini anak SMA yang normal. Aku menyimpannya di flash driveku.
Setelah itu, kami menghabiskan beberapa waktu bersama hingga tiba waktunya aku berangkat ke sekolah. Tapi, sebelum aku pergi ke luar rumah. Aku melihat wajah Ibuku terlihat kurang energik dari biasanya.
* * *
Setelah menyelesaikan ujian pada hari Senin dan Selasa, aku akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan Umi tentang kondisi Ibuku. Aku membicarakan ini sepulang sekolah setelah kami mengantar Amami-san kembali ke rumah.
"Hm, kurasa Ibumu bekerja terlalu keras. Jadi, kupikir lebih baik dia mengambil cuti kerja dulu. Tapi, itu artinya kita tidak bisa berduaan seperti biasa, ya?"
Umi benar...
Aku senang Ibu mengambil cuti kerja agar dia bisa istirahat ... Seperti yang Umi katakan, akan sangat canggung jika kami nongkrong di rumahku ketika ada Ibuku di rumah. Meskipun dia Ibu baiku, tetapi bagi Umi.. Ibuku masih teman Ibunya, tidak lebih.
Biasanya, kami akan bermain game sambil makan pizza di lantai atau membaca manga sambil makan makanan ringan. Ketika itu terjadi, seringkali kami membuatnya berserakan di mana-mana seperti sepasang anak sekolah dasar. Tentu saja, aku membersihkan semuanya saat Umi pulang. Tapi, kurasa Ibuku tidak akan suka melihat kami melakukan itu di depannya.
Dan meskipun, Ibuku sudah memberikan kami izin untuk melakukan apa pun yang kami inginkan. Tapi, Umi tetaplah seorang gadis SMA. Jadi, dia masih punya rasa malu ketika Ibu ada di sana.
"Jadi, bagaimana? Mau tetap nongkrong di rumahku atau pergi ke tempat lain?"
“Mm~ Aku sih tidak masalah dimana kita nongkrong, asal denganmu~.. Eh?...Ah, tunggu sebentar, Ibuku menelponku… Halo? Ada apa, Bu?”
Saat Umi sedang berbicara dengan Sora-san di telepon, aku mencoba memikirkan sesuatu.
Seiring perkembangan hubungan kami, akhir pekan kami baru-baru ini telah menjadi waktu bagi kami untuk menyelinap bersama. Itu adalah sesuatu yang awalnya kami lakukan untuk membantu Umi mengatasi kelelahan mentalnya.
Karena aku sudah merepotkan Umi dengan masalah ujian dan Ayahku, aku ingin melakukan sesuatu untuk menenangkan pikirannya.
Apakah ada tempat baginya untuk menghabiskan waktunya tanpa khawatir?
“Ah… Yah, kurasa itu tidak akan menjadi masalah… Aku akan menanyakannya padanya, sampai jumpa.”
“….. Oh, sudah ya?"
"Ah, Mn."
"Jadi, ada apa?"
“Eh? B-Bukan apa-apa kok. Hanya saja.."
"Hm?"
"Ibuku mengundangmu makan malam Jumat ini, Maki. Apa kamu mau datang?"
“Eh?”
"Ah, ada Ayahku juga..."
"Tidak, terima kasih."
Mendengar kata 'Ayah' secara refleks aku menolaknya.
"Muu, apa maksudmu 'Tidak' ? Lagipula, Ibuku terus mengomel padaku.. dia ingin kamu datang ke rumahku. Dan juga, Ayahku... dia ingin melihatmu juga."
"Tidak, tapi ..."
"Aku tidak ingin mendengar 'tidak' darimu."
Dengan ini, peristiwa yang agak mengejutkan muncul tepat sebelum Natal. Aku tahu ini akan datang cepat atau lambat, tetapi aku tidak menyangka akan secepat ini.
…Mungkin aku harus mengkhawatirkan hidupku sendiri sebelum mengkhawatirkan situasi keluargaku.
|| Previous || Next Chapter ||
15 comments