-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Gimai Seikatsu Volume 3 Chapter 2

Chapter 2 - 22 Agustus (Minggu)


Aku terbangun dengan perasaan panas yang menyesakkan. Berbalik, aku melihat jam alarm di sebelah bantalku. Sekarang jam 10 pagi, dan tiga… tidak, hanya empat menit. Meskipun tinggal satu minggu lagi di bulan Agustus, panasnya tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.

'Kamu akan terkena heatstroke bahkan di kamarmu,' Akiko-san pernah memberitahuku hal itu. Jadi, aku segera menyalakan AC kamarku. Karena aku cukup berkeringat saat tidur, aku segera mengganti pakaianku dengan pakaian yang lain. Saat membuka pintu menuju ruang tamu, aku terkena gelombang panas yang kuat yang membuatku kesulitan bernapas untuk sesaat.

Ketika aku melihat ke atas, aku melihat ayahku berdiri di tangga, mengutak-atik AC, saat Akiko-san menatapnya dengan tatapan agak khawatir. Meski ini adalah hari Minggu, rasanya aneh melihat mereka berdua di ruang tamu bersama. Tapi, aku langsung menyadari sesuatu dan mungkin inilah alasannya.

"Ah, Yuuta. Pagi." kata ayahku menatap ke arahku.

"Yuuta-kun, selamat pagi."

"Selamat pagi. Jadi, ern.. apa itu rusak?"

"Yah, kami belum mendapatkan udara dingin darinya untuk semntara waktu. Akiko-san membangunkanku dan mengatakan bahwa itu sangat berderak."

"Mau kubantu?"

"Ah, tidak perlu. Aku masih mengeceknya dan aku juga tidak tahu apa yang harus diperbaiki. Selain itu, AC tidak bisa diperbaiki oleh seorang amatir."

Kurasa itu masuk akal. Dia sepertinya memeriksa trobel atau code error saat membaca buku panduan, ayah mematikan dan menyalakan lagi, bahkan menyalakannya melalui mode yang berbeda. Tapi, unit itu sepertinya tidak berniat mengeluarkan udara dingin dalam waktu dekat.

"Unit AC ini sudah cukup tua, tahu. Kalau itu tidak menunjukkan tanda-tanda apapun. Kita mungkin harus pergi dan membeli yang baru."

"Maaf tentang itu Taichi-san, padahal kita baru saja membeli satu untuk kamar Saki ..."

"Tidak, tidak, kau tidak perlu meminta maaf. Lagipula, kamar Saki-chan itu dulunya ruang penyimpanan. Itulah kenapa di ruangan itu tidak dilengkapi AC. Belajar di kamar tanpa AC atau pendingin lain di musim panas seperti ini, sangat menyesakkan, bukan?"

"Terima kasih, Taichi-san."

Saat mereka berdua mulai membicarakan Ayase-san, aku menyadari dia tidak bersama kami di ruang tamu.

"Apa Ayase-san ada di kamarnya sekarang?"

"Iya, barusan aku melihatnya. Tapi, karena panas atau semacamnya .... Dia tidak tahan, tahu."

"Begitu, ya?"

"Dia selalu mengatakan hal itu padaku saat dia masih kecil. Begitu musim panas tiba, dia akan terus-menerus meminta es krim kepadaku, memintaku untuk membawanya ke kolam renang, hal semacam itu. Dia juga sangat gigih tentang hal itu."

Ketika Akiko-san membahas Ayase-san waktu kecil. Aku jadi ingat tentang foto yang pernah ditunjukkan ayahku sebelum dia menikah lagi. Jika aku boleh menebak, mungkin saat itu Ayase-san masih duduk di sekolah dasar dan dia tampak cukup energik, berbeda dengan dirinya yang sekarang. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan dia sebagai seorang anak yang akan terus-menerus mengganggu ibunya seperti itu.

"Beberapa tahun terakhir, Saki menjadi lebih pendiam tentang hal itu."

"Kurasa inilah yang terjadi ketika seseorang memasuki masa remaja. Yah, Yuuta juga sama."

Ketika ayahku mengatakan itu, Akiko-san sedikit menundukkan kepalanya dan menghela nafas.

"Dalam kasusnya, aku tidak berpikir itu hanya karena dia tumbuh dewasa ... Dia sudah seperti ini sejak duduk di sekolah menengah pertama." Akiko-san memilih kata-katanya dengan hati-hati, yang membuatku menebak apa yang dia maksud.

Semuanya tidak berjalan dengan baik lagi di keluarganya. Ayahnya bahkan tidak pernah pulang sedangkan Akiko-san sibuk dengan pekerjaannya. Ayase-san pasti sudah menyadari kondisi keluarganya sangat buruk dan mulai menginginkan beberapa hal sepanjang waktu.

"Maaf, aku seharusnya tidak menanyakan itu."

"Tidak apa-apa." kata Akiko-san tersenyum tipis.

Meskipun Akiko-san mengatakan dia tidak terlalu keberatan. Tapi, aku merasalh tidak enak karena menanyakan hal itu.

BBegitu, ya... sejak kecil Ayase-san sangat menyukai kolam renang, ya? Sejujurnya, aku tidak bisa membayangkan Ayase-san yang polos berenang seperti itu. 

Jadi, jika seseorang mengatakan kepadanya bahwa dia bisa melakukan hal yang dia inginkan tanpa peduli orang lain. Apakah dia akan melakukan hal yang sama?

Untuk orang yang introvert dan kutu buku sepertiku, hanya bergerak dan berolahraga terdengar melelahkan, apalagi berdesak-desakan dengan banyak orang. Jadi, aku memilih untuk tidak melakukannya.

"Hmm, sepertinya aku tidak bisa memperbaikinya. Memanggil seseorang untuk memperbaikinya mungkin akan menjadi pilihan terbaik, tetapi mengingat betapa sibuknya mereka sepanjang tahun ini, aku bahkan tidak bisa menebak kapan ini bisa diperbaiki."

"Hmm, begitu, ya... Ah, hati-hati saat turun, Taichi-san."

"Yuuta, untuk saat ini lebih baik kau dikamar saja."

"Mn, oke ..."

Hari ini aku mendapatkan shift sore. Jadi, itu tidak masalah bagiku. Saat aku bertanya kepada mereka berdua apa yang akan mereka lakukan setelah ini, Akiko-san mengatakan bahwa dia ingin pergi berbelanja dan ayahku juga ikut dengannya untuk membawa beberapa barang. Ya, melakukan apa pun di luar sama sekali juga merupakan pilihan …

"Aku akan memberitahu Saki," kata Akiko-san dan menuju dapur. Dia memanggilku di jalan. "Yuuta-kun, apa kamu ingin makan sesuatu? Kebetulam aku juga belum makan."

"Ah, iya."

Ayahku dan Ayase-san sepertinya sudah menghabiskan sarapan mereka. Jadi, Akiko-san dan aku menghangatkan sisa makanan dan menikmatinya.

Beberapa menit kemudian, ayahku keluar dari kamar tidur, yang menyebabkan angin sejuk melewati ruang tamu, tetapi tidak butuh waktu lama bagiku mulai berkeringat seperti sedang duduk di sauna. Disaat seperti inilah, aku benar-benar menyukai kipas angin.

Setelah selesai makan dan membersihkan meja, aku mengambil beberapa minuman dingin dari lemari es dan bersembunyi dari panas di kamarku. Sekarang, apa yang harus kulakukan hari ini? Ah, aku baru ingat. Aku ingin tahu apa yang Ayase-san lakukan di kamarnya? Pikiran ini muncul di benakku saat aku membolak-balik halaman buku yang sedang kubaca, tapi aku terganggu oleh panggilan masuk dari Maru.

Dia bertanya tentang rencanaku sore nanti dan ketika aku mengatakan kepadanya bahwa aku pada tidak punya rencana apapun, dia menyuruhku untuk ikut berbelanja.

Awalnya, aku ingin menolak karena aku tidak mau repot-repot pergi ke luar dalam cuaca panas seperti sekarang. Tapi, kalau dipikir-pikir.. jika aku hanya berdiam diri dirumah di cuaca panas seperti ini, itu sama saja. Jadi, aku setuju dengan ajakan Maru.

* * *

Area di depan stasiun kereta Shibuya bahkan lebih bising dan dipenuhi orang daripada hari kerja lainnya, meskipun saat ini masih sore hari. Saat aku melihat ke arah kerumunan itu, rasanya seperti panas semakin meningkat.

Aku memarkirkan sepedaku di tempat parkir biasa. Karena setelah ini aku juga masih memiliki shift kerja dan itu juga membuatku jauh lebih mudah saat pulang nanti. Beberapa menit yang lalu, temanku.. Maru mengajakku pergi ke toko yang menjual beberapa barang yang berhubungan dengan anime. Di toko tersebut juga menjual beberapa manga dan light novel (novel ringan) jadi, secara tidak langung toko ini adalah pesaing dari toko buku tempatku bekerja. Yah, terus-menerus mengkhawatirkan hal semacam itu tidak akan menguntungkanku sama sekali dan toko buku tempatku bekerja juga tidak menjual merchandise anime.

Setelah berjalan dari depan stasiun kereta di jalan Jingu-dori utara, aku berbelok ke arah Barat setelah berlari ke jalan Inokashira-dori. Di depan aku melihat ada dua arah dan kemudian aku mengambil rute ke jalan Udagawa-dori. Itu mungkin penjelasan yang agak mudah diikuti. Bagi orang yang tidak tahu tata letak Shibuya, ini mungkin tampak seperti jarak yang cukup jauh, tetapi dengan kota yang tidak pernah tidur, itu lebih seperti berjalan kaki.

Ada jenis jus kalengan baru di area terbuka di jalan dan wanita muda menjajakan produk populer di depan toko. Kau dapat menemukan dirimu dengan cepat mencapai tujuanmu di sini saat kau melihat sekeliling. Sekitar lima menit aku sampai di toko tempat kami bertemu.

"Yo, maaf memanggilmu jauh-jauh ke sini." temanku Maru Tomokazu mendekatiku, wajahnya sedikit lebih cokelat dari sebelumnya.

"Sudah lama. Jadi kau tidak ada latihan hari ini, ya?"

"Ya. Kami hanya memiliki waktu latihan di pagi hari. Saat ini, bukan waktu yang tepat untuk melanjutkan latihan, apalagi dalam cuaca panas seperti ini, memaksakan diri untuk berlatih hanya akan membuatmu kelelahan dan bahkan cedera. Jadi, kami memilih untuk beristirahat sejenak. Begitulah cara kami mengaturnya."

"Begitu, aku mengerti."

Yah, aku masih menganggapnya sebagai pelatihan yang cukup keras secara keseluruhan. Tapi, aku yakin mereka ingin menghindari kemungkinan cedera atau masalah terkait kesehatan lainnya.

"Btw, maaf karena aku menyuruhmu datang ke sini hanya karena kepentinganku sendiri."

"Yah, tentang itu…"

Aku memberi tahu Maru tentang masalah AC di rumah dan kupikir setidaknya aku akan bersenang-senag dalam banyak hal jika aku dipaksa menahan panas di rumah. Bukannya aku ingin memberitahunya tentang masalah di kehidupanku. Aku berpikir dia akan mendengarkanya jika aku memberitahunya inti masalahnya.

"Hmm, aku mengerti. Kalau begitu, untuk saat ini mari kita selesaikan tujuan utamaku terlebih dahulu. Aku harus mendapatkannya sebelum itu terjual habis."

"Oke .."

Sebenarnya, Maru bukan tipe orang yang memaksakan minatnya pada orang lain. Tapi, ketika dia benar-benar meminta bantuan, dia selalu punya alasan bagus. Seperti ketika suatu produk dibatasi pembeliannya untuk satu orang saja. Jika kau tidak memeriksa beberapa toko, kau sering tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan. Di saat seperti ini, Maru bisa sangat kejam. Lagi pula, karena perilisannya pada hari Jumat, dia pasti khawatir barang yang dia cari terjual habis.

Sekarang aku memutuskan untuk membantunya, aku siap untuk membantu sampai akhir yang pahit… Oh ya, aku bahkan tidak menanyakan barang apa yang kami incar.

"Setelah kita menyelesaikan misi ini, mari kita beli sesuatu untuk dimakan."

"Ya .."

Meskipun aku sudah pergi ke sudut manga dan novel ringan berkali-kali sebelumnya, karena aku tidak terlalu tertarik dengan barang yang dicari Maru, aku meminta Maru mengajakku berkeliling.

"Jadi, apa yang kita dapatkan?"

Maru menjawab saat kami terus berjalan. Sepertinya barang yang kita cari adalah anime yang dirilis pada musim semi kemarin. Meskipun penayangannya sudah berakhir beberapa bulan yang lalu. Tapi, tampaknya mereka masih menjualnya. Aku ingat nama anime itu setelah Maru menyebutkannya. Itu adalah anime dengan lima gadis yang berperan sebagi tokoh dalam cerita, genrenya slice of life.

"Kalau gak salah, ada robotnya."

"Hah, apa?"

Untuk sesaat, aku gagal memahami apa yang dia katakan. Jika ingatanku benar, ceritanya berlatar di sebuah pedesaan. Itu sama seperti cerita remaja pada umumnya, bukan?

"Novel ringan yang dibaca protagonis di episode 5 adalah karya fiksi ilmiah, kan?"

"Ya…"

Aku ingat sekarang. Akhir-akhir ini keberadaan otaku dan minatnya sudah mulai berubah menjadi pengetahuan umum, bahkan protagonis dan karakter sampingan normie tertarik dengan dunia otaku, tapi… Oh ya, kurasa dia menyukai fiksi ilmiah.

"Jadi tunggu, apa kau ...?"

"Ya, aku mengincar robot yang sangat disukai protagonis."

"Apa hubungannya itu dengan anime ?!"

"Aku tidak bisa menahanya. Robotnya sangat keren." kata Maru. Dia memberi tahuku nama ilustrator yang bertanggung jawab untuk menggambar robot tersebut, tapi maaf, aku tidak kenal dia.

Ketika aku mengatakannya sejauh itu, Maru menatapku dengan kaget dan jijik dan mulai memberi tahuku tentang betapa terkenalnya ilustrator itu.

"Jadi, pada dasarnya kau menginginkan action figure dari robot itu, kan?"

"Ya, begitulah."

Begitu kami sampai di toko yang dituju, untungnya mereka masih memiliki beberapa action figure robot yang dibicarakan tadi. Tapi, kupikir ini yang terakhir. Setelah itu, kami membawa satu set dan berjalan ke arah kasir. Ada banyak pelanggan yang mengantre untuk menyelesaikan pembayaran. Yah, kursa itu wajar karena ini hari Minggu. Kami terus berbicara sampai saat kami perlahan-lahan melewati antrean.

"Begitu, action figure robot ini cukup keren juga.."

"Benar, kan?"

Aku benar-benar tidak terbiasa dengan hal semacam ini. Tapi, kalau dipikir-pikir tampilannya cukup keren. Robot itu berada di dalam sebuah kotak dengan tinggi sekitar 50cm. Sepertinya itu semacam robot tempur udara yang tidak akan pernah ada di dunia nyata. Terdapat sebuah logo dari anime tersebut di salah satu sudut kotak dengan tulisan kecil, yang benar-benar membuat sulit untuk menebak apa genre dari seri itu. Itu benar-benar terlihat seperti langsung dari anime mecha.

"Ini juga memiliki banyak bagian yang bisa kau pindahkan. Kau bisa bermain-main dengan ini."

"Bermain-main dengan itu…?"

"Oh? Jangan bilang padaku kau tidak pernah memainkan sesuatu seperti ini? Bukankah kau pernah bermain dengan robot atau mainan monster ketika kau masih kecil, Asamura?"

"Yah, mungkin aku punya beberapa."

Aku mengerti mengumpulkan mainan seperti itu bagi kebanyakan orang semacam hobi. Tapi, aku tidak mengerti apa manfaatnya menghabiskan uang untuk membeli mereka. Bagiku, aku lebih suka menghabiskan uangku untuk membeli manga atau light novel dibandingakan merchandise anime. Saat aku masih kecil, ayahku memiliki hobi membeli model plastik dari kapal perang. Tapi, ibuku marah karena itu selalu mengganggunya. Itu sebabnya, ayahku memutuskan untuk tidak membelinya lagi. Kurasa itu akan menjadi hobi yang menyenangkan jika keluarga dan gaya hidupmu mengizinkannya.

Kalau cuma manga dan novel, aku bisa menaruhnya di kamarku dan itu tidak akan pernah mengganggu jika kau meletakkannya di rak.

"Oh ya, Asamura, Narasaka dan Ayase mengundangmu ke kolam renang, kan?" Maru tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.

Mendengar itu, otakku seketika membeku. Siapa yang pergi ke kolam renang dengan siapa? Di sisi lain, Maru.. dia bahkan tidak menyadari kebingunganku.

"Astaga, kau sekarang jadi pakboi (playboi) yang hebat saat lepas dari pandanganku."

"Hah? Apa yang kau bicarakan?"

"Apa yang kubicarkan…? Aku sedang membicarakanmu dan Ayase pergi ke kolam renang bersama Narasaka."

"Ini pertama kali aku mendengar hal itu."

Apa yang dia bicarakan? Karena aku tidak menunjukkan tanda-tanda memahami apa yang dimaksud Maru, dia memberi tahuku apa yang dia dengar melalui koneksinya di klub baseball. Menurut rumor ini, Narasaka-san sedang mengumpulkan sekelompok anak laki-laki dan perempuan untuk bertemu di kolam renang dan anggotanya tampaknya termasuk Ayase Saki dan Asamura Yuuta.

"Apa kau tidak diundang?"

"Nggak, aku bahkan belum berbicara dengan Narasaka-san sejak liburan musim panas dimulai."

"Hmm, kalau begitu kau mungkin akan segera diundang ke sana."

"Agustus sudah berakhir, ingat?"

"Masih panas seperti biasanya. Jadi, tidak ada masalah di sana."

“Yah… kurasa begitu.”

Jadi rencana seperti ini dijalankan tanpa sepengetahuanku, ya? Selain itu, apakah aku cukup dekat dengan Narasaka-san sehingga dia akan mengundangku seperti itu? Aku masih bisa menghitung dengan satu atau dua tangan berapa kali kami berdua berbicara satu sama lain. Aku tahu bahwa Narasaka Maaya sangat kuat dalam hal hubungan dan bagaimana dia memperlakukan orang lain. Tapi, ini jauh lebih dari yang kuharapkan. Yah, kurasa itu masih kemungkinan saja. Lagipula, sumber informasinya hanyak sebatas rumor belaka.

Sementara kami berbicara tentang itu, kami mencapai garis depan. Kami selesai membayar, kembali ke stasiun kereta dengan cara yang sama ketika aku datang ke sini dan memasuki sebuah kafe di dekat toko buku tempatku bekerja paruh waktu.

Baik aku maupun Maru sama-sama memesan Es Kopi. Tapi, Maru menambahkan sandwich club di pesanannya. Ya, itu porsi yang pas untuk orang sepertimu. Kurasa dia bisa makan dengan porsi banyak. [TN: Sandwich klub]

Dibandingkan dengan kopi dari restoran keluarga, kopi di sini dua kali lebih mahal. Yah, paling tidak kau bisa memilih tempat duduk yang nyaman. Aku memang menyebutnya cafe.. Tapi, tempat ini hanya sedikit lebih bergaya daripada restoran keluarga pada umumnya.

Meskipun ini adalah tempat di mana para pelanggan tetap memberikan pesanan yang cukup rumit hingga terdengar seperti sedang mengucapkan mantra, setidaknya kami berhasil memesan sesuatu yang normal. Nah, dibandingkan dengan restoran kopi kelas atas, yang satu ini jauh lebih cocok untuk siswa SMA. Aku ingat dulu aku pernah memasuki tempat makan di dekat stasiun Shibuya tanpa melihat menu terlebih dahulu dan langsung pergi setelah melihat betapa mahalnya menu yang disajikan. Secangkir kopi dengan empat digit harga pasti terlalu mahal untuk siswa SMA.

Maru dan aku meletakkan nampan kami di atas meja dan menghela nafas.

"Jadi, beritahu aku. Kenapa kau membutuhkan dua barang itu?" tanyaku, melirik kantong plastik di dekat kami.

"Satu untuk penggunaan pribadi dan satu lagi untuk bisnis."

"Begitu. Jadi, tidak ada pekerjaan misionaris."

"Padahal kau sudah tahu dari awal. Tapi, kau masih menanykan itu padaku?"

"Aku hanya ingin bertanya. Kau tadi bilang bahwa kau ingin memberikan ini kepada seseorang sebagai hadiah, bukan? Jadi, itu cuma tebakan saja."

Aku tahu ada beberapa orang yang membeli beberapa salinan dari sesuatu yang mereka sukai. Namun, memikirkan bahwa Maru membeli ini untuk orang lain dan membutuhkanku untuk mengamankannya. Itu terdengar tidak terlalu realistis.

"Sebenarnya, aku dimintai tolong untuk melakukan ini."

"Huh, dimintai tolong?"

"Ya, aku punya teman online. Dia sangat menginginkannya. Tapi, karena situasinya tidak memungkinkan dia datang langsung. Jadi, aku memutuskan untuk pergi dan membelinya. Aku akan memberikan ini kepada orang itu nanti."

"Huh."

Aku tidak tahu Maru punya teman seperti itu. Ketika aku menanyakan detailnya, mereka tampaknya mengenal satu sama lain di forum online ketika mereka berbicara tentang anime favorit mereka. Selera mereka berdua hampir sama dan mereka cukup dekat untuk saling mengirim barang ini. Karena itu, mereka mungkin tahu alamat satu sama lain juga. Meski begitu, mereka hanya mengenal satu sama lain dengan nama online mereka. Tapi, mereka berdua seperinya berteman baik. Maru tahu bahwa dia tinggal di kota yang sama, tetapi dia dan temannya itu belum pernah bertemu.

"Tapi, kalau kalian berdua berteman baik, kalian seharusnya juga bisa bertemu di kehidupan nyata, kan? Selain itu, aku merasa kau adalah tipe orang yang mengaturnya sendiri."

Meskipun secara teknis mereka baisa bertemu secara online kapan saja, manusia sangat suka bertemu orang lain secara langsung, bertatap muka. Selain itu, aku tahu Maru adalah tipe orang yang pandai mengatur sebuah rencana. Jadi, saat mendengar mereka belum pernah bertemu di kehidupan nyata membuatku agak bingung. Mungkin karena dia terlalu sibuk dengan kegiatan klubnya, jadi dia belum bisa mengatur pertemuannya bahkan di hari Sabtu, Maru tetap latihan dengan anggota klubnya.

"Itu tidak akan berhasil sama sekali."

"Kenapa?"

"Itu, nggak semua orang seperti itu. Tapi, ada beberapa pria yang menggunakan ini sebagai kesempatan untuk mendekati gadis-gadis. Jika tidak ada kepercayaan dari pihak lain, itu hanya membuatnya berakhir buruk. Setidaknya, itulah yang kupikirkan.."

"Yah, kau memang tipe orang yang seperti itu... Hmm? Kesempatan mendekati gadis? Apa temanmu itu perempuan?"

"Ya, itulah yang kudengar darinya. Bahkan dia seorang mahasiswi."

"Seorang mahasiswi… jadi dia lebih tua darimu, ya?"

Untuk sesaat, Yomiuri-senpai muncul di benakku. Dia satu-satunya gadis universitas yang bisa kupikirkan yang aku tahu. Biasanya itu akan menjadi hal yang langka bagi siswa sekolah menengah seperti kita untuk bertemu dengan mahasiswi. Jadi, sangat jarang Maru dan aku memiliki pengalaman seperti ini. Yah, kurasa untuk pertemanan online akan lebih jarang jika mereka seumuran.

"Dilihat dari pesan-pesannya, dia cukup pintar. Dia berpengetahuan luas, baik hati dan tidak memiliki kecurgigaan terhadapku. Percakapan yang kami lakukan sebenarnya cukup bermakna. Lalu, fakta bahwa dia sangat positif sangat membantu, kurasa."

"Huh, ya, dia memang terdengar seperti seseorang yang bisa kau ajak berbicara. Aku yakin ada banyak orang lain yang merasakan hal yang sama denganmu… Ahh, itu sebabnya."

"Ya, dia cukup populer di obrolan."

Aku mengerti. Jadi, pertemuan offline akan mendatangkan orang-orang yang memiliki motif tersembunyi.

"Aku terkejut kalian berdua cukup dekat untuk saling mengirim barang seperti ini."

"Yup, itu kebetulan yang gila. Aku akan menceritakan keseluruhan ceritanya kepadamu kapan-kapan kalau aku punya kesempatan."

"Aku ingin sekali mendengarnya. Jadi, apa kau jatuh cinta denganya?”

Maru sepertinya tidak pernah mengharapkan aku mengatakan ini dan dia tampak panik sejenak.


"T-tidak, aku benar-benar tidak... punya perasaan seperti itu."

Oh, itu reaksi yang langka. Yah, biasanya dia akan bertindak tegas, jadi aku harus membalasnya dari waktu ke waktu.

"Sungguh?"

Ketika aku tidak berhenti bertanya, Maru sepertinya benar-benar bingung dan menjadi pendiam. Akhirnya, dia berkata, "Aku akan ke kamar mandi dulu!" dan bangkit dari tempat duduknya.

Mengejutkan bahwa Maru dari semua orang bertingkah seperti ini… Oh ya, orang yang menerima hadiah Maru, dan orang yang menerima barang darinya… Apa mereka orang yang sama? Itu sisi lain dari Maru yang belum pernah kulihat dan itu membuatku sadar bahwa aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Yah, kurasa itu masuk akal. Meskipun aku harus mengakui bahwa aku tidak berharap dia mengalami perasaan romantis seperti ini. Kurasa kita cukup berbeda.

Jika berbicara tentang perasaan romantis, aku cukup menyukai novel romcom. Tapi, aku tidak benar-benar membayangkan diriku dalam situasi seperti itu. Aku lebih suka mengawasi acara semacam ini yang melibatkan orang lain. Aku tidak akan pernah berharap bahwa aku merasakannya sendiri kejadian seperti novel romcom di kehidupan nyata. 

Bagaimanapun, ini adalah kenyataan. Sesuatu seperti mengenal seorang gadis cantik dan akhirnya berkencan…

Yah, aku juga sekarang tinggal dengan ssorang gadis seusiaku karena ayahku yang menikah lagi. Tapi, itu berbeda dengan dia-  Sebenarnya, dia itu imut, sangat imut. Lagian, kenapa aku malah membayangkannya sambil memikirkan ini? Memang benar, Ayase-san itu imut. Tapi, dia itu adik perempuanku.

"Asamura-kun?"

Itu benar, bahkan suaranya sangat lucu. Tapi, dia tetap adik perempuanku... Eh? Tunggu, apa? Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang memanggil namaku dan ketika aku berbalik, benar saja aku di sambut oleh seorang gadis berambut pirang tepat dari jalan di sebelah tempat dudukku. Tentu saja, yang kulihat itu bukanlah halusinasi tetapi asli, Ayase-san berdiri di sana.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Eh.. Ah, tidak.. kebetulan cafe ini dekat dengan pekerjaan paruh waktu kita ..."

"Hm, begitu ..."

Tidak ada yang aneh tentang ini. Karena pekerjaan paruh waktu kami dan bahkan shift kami sama, tidak aneh jika dia menghabiskan waktunya dengan cara yang sama, terutama mengingat situasi di rumah saat ini. Semua itu adalah alasan utama kenapa aku merekomendasikan kafe ini ke Maru. Ini lebih dari kebetulan, itu cukup jelas untuk diharapkan secara praktis. Namun, itu bukan berarti aku tidak terkejut bertemu dengannya di sini dan aku bahkan tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan.

"Yah, sudah. Aku mau pergi sekarang?"

"Eh?"


Semua pikiran dan ideku tiba-tiba muncul kembali. Sebelum aku menyadarinya, aku sudah melihat punggung Ayase-san saat dia berjalan pergi. Dia mengenakan atasan satu bahu dan celana pendek warna biru. Dia memiliki pinggul yang tinggi, hampir seperti model. Ah, dia bahkan memakai sepatu kets hari ini, mungkin untuk mencocokkan pakaiannya saat ini. Saat dia berjalan pergi dengan langkah ringan, pintu toko terbuka dan tertutup.

"Maaf membuatmu menunggu."

"Eh? Oh, Maru."

"Aku ingat waktu itu, jadi aku bergegas kembali, tapi… Asamura, kau tadi sedang berbicara dengan Ayase, kan?"

Waktu? Aku melihat jam yang tergantung di dalam toko dan menyadari bahwa sudah hampir waktunya bagiku untuk berangkat kerja. Kurasa itu sebabnya Ayase-san pergi begitu cepat.

"Apakah terjadi sesuatu di antara kalian berdua?"

"Tidak, nggak ada…"

Benar—itulah yang ingin kukatakan. Tapi, itu akan membuatku seperti pembohong. Aku merasa akan jauh lebih efisien kalau aku memberi tahu Maru tentang semuanya. Dan meyakinkan dia bahwa kami berdua adalah saudara tiri karena orang tua kami menikah kembali. Apa pun yang dia pikirkan tidak terjadi sama sekali… Tapi apa yang akan dia pikirkan?

Namun, dengan mempertimbangkan padatnya jadwalku sekarang, aku tidak bisa melanjutkan percakapan ini. Jadi, aku pergi dan berpisah dengan Maru. Mungkin ini terdengar seperti diriku melarikan diri dari pertanyaan Maru. Sekarang aku benar-benar kehilangan hak untuk mengkritik orang dewasa yang hidup dengan pola pikir 'biarkan anjing tidur berbohong'. 

Meskipun jarak antara cafe dan pekerjaan paruh waktuku cukup dekat. Namun, aku hampir saja terlambat masuk kerja. Segera setelah itu aku langsung berganti seragam, memakai celemek dan papan nama, lalu meninggalkan ruang ganti. Saat itu, Ayase-san dan Yomiuri-senpai keluar dari ruang ganti wanita.

"Yo, Kouhai-kun! Mohon bantuanya lagi hari ini!"

"Aku juga, Yomiuri-senpai."

"Mohon bantuanya, Asamura-san."

"Y-ya, aku juga, Ayase-san."

"Sepertinya cuma kita yang dapat shift malam hari ini." kata Yomiuri-senpai.

Lebih tepatnya, cuma kita bertiga, kan?

"Kurasa kita kekurangan orang."

"Benar. Yah, ini akan baik-baik saja. Saki-chan dihitung untuk dua orang."

"Tolong jangan terlalu berharap padaku." Ayase-san tetap rendah hati. Tapi, begitu pekerjaan dimulai, gerakan dan ketekunannya membuatnya tampak seperti beberapa orang yang melakukannya.

Dia sangat rajin dan cekatan. Karena dia mengingat semuanya ketika aku mengajarinya sekali, dia bisa bekerja secara mandiri tanpa bantuanku. Belum lagi dia sangat teliti. Rambut pirangnya yang mencolok menjadi ciri khasnya. Tapi, saat bekerja Ayase-san selalu melepas antingnya.

Hanya karena penampilannya, bukan berarti orang lain akan menganggapnya tidak baik. Tapi, saat kau bekerja di toko yang dikunjungi orang-orang dari segala usia. Kau tidak akan pernah tahu kapan seseorang akan mengajukan keluhan kepada atasanmu. Aku yakin dia bahkan tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentangnya. Meski begitu, Ayase-san sebisa mungkin menghindari hal yang dapat membuat tempat kerjanya mendapatkan masalah.

Dia bahkan menjaga kukunya tetap polos, tidak dihias sama sekali. Lagipula, mereka mudah dilihat saat kau meletakkan sampul di buku saat bekerja di kasir. Aku ragu siapa pun akan mengeluh jika dia berhasil melakukan semuanya dengan sempurna. Namun, ketika Ayase-san pertama kali mulai bekerja di sini di toko buku ini, dia mengalami sedikit kesulitan saat melepas vinilnya. Saat kau mengenakan pakaian yang mencolok meskipun pendatang baru yang belum bisa melakukan pekerjaannya dengan sempurna, akan lebih mudah untuk mendapatkan komplain.

Penilaian yang cermat dan pencegahan Ayase-san dari segala jenis risiko sangat melampaui apa pun yang bisa kubayangkan. Selain itu, Ayase-san sangat rajin sehingga membuatnya sedikit berkeringat karena kerja kerasnya, meskipun AC di dalam toko buku menyela. 

Saat bekerja paruh waktu, kau bisa mengambil jeda istirahat dari pekerja lain. Terutama saat ini hanya ada kita bertiga dan kalau kami bertiga mengambil waktu istirahat pada saat yang sama, tidak ada yang akan membantu pelanggan.

Setelah sekitar dua jam bekerja, Ayase-san istirahat. Tentu saja, bukan istirahat yang sangat panjang. Tapi, sekitar sepuluh menit. Kalau kau bekerja penuh waktu, kau bisa beristirahat sekitar satu jam. Namun, karena kami hanya pekerja paruh waktu dimana kaii hanya bekerja empat jam dari jam 6 sore sampai jam 10 malam. Jadi, waktu istirahatnya dibuat singkat.

"Kalau begitu, aku istirahat dulu."

"Iya. Nikmati waktumu, Saki-chan.."

"Aku akan kembali setelah sepuluh menit." Setelah memberikan tanggapan singkat kepada Yomiuri-senpai, Ayase-san pergi ke area karyawan.

"Hmmm…"

"Ada apa?"

Saat melihat Ayase-san pergi, Yomiuri-senpai sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Seorang pekerja penuh waktu sedang mengurus daftar sekarang dan jumlah pelanggan telah menurun drastis. Semua orang mungkin sedang makan malam sekarang. Jadi Yomiuri-senpai memberi isyarat padaku.

"Apa?" Kami pindah ke tempat di belakang mesin kasir dan mulai saling berbisik.

"Ini tentang Sakicchi."

"Nama panggilan macam apa itu?"

"Oh. Apa kamu mengeluh tentang itu, Onii-san?"

"Terkadang kau memanggilnya Saki-chan atau Ayase-san di tempat umum dan sekarang ini ..."

"Masih ada lagi lho, Saki-chan, Sakicchi, Sakisuke dan Sacchan... mana yang kamu pilih?"

"Jangan tanya padaku. Cukup dengan 'Ayase-san'."

"Hmm,, yah. Kalau begitu, Saki-chan saja."

Pada akhirnya, dia memilih menggunakan panggilan awal. Yah, aku juga tidak terlalu peduli bagaimana dia memanggil Ayase-san. Aku tidak punya hak untuk mengkritik atau mengeluh.

"Jadi, ada apa dengan Ayase-san?"

"Cih~"

"Kenapa kau mendecakkan lidahmu?"

"Ini masalah serius, lho."

"Emangnya kau tadi nggak serius, ya?"

"Adik kecilmu. Dia terlalu rajin, kau tahu."

"Hah?"

Emang itu masalah?

"Ah, jangan salah paham. Aku berbicara tentang etos kerjanya. Dia mengingat semuanya dengan cepat dan melakukannya dengan sempurna. Sebagai sesama karyawan yang sangat baik di sini, aku dapat mengatakan bahwa dia melakukan pekerjaan dengan baik." [TN: Etos kerja]

"Karyawan paruh waktu."

"Jangan memusingkan hal-hal kecil! Bagaimanapun, aku merasa dia terlalu menyalahkan dirinya sendiri untuk hal-hal yang tidak bisa dia lakukan.”

Aku masih bingung. Namun, Yomiuri-senpai terus menjelaskan apa yang dia rasakan seperti yang dia lihat. Misalnya, sikap mencela diri Ayase-san yang dia ambil setiap kali dia pergi. Meskipun ini adalah atribut terpuji yang dimiliki banyak orang berbakat dan luar biasa, Ayase-san adalah seseorang yang tidak pernah mengambil istirahat secara sukarela. Jadi, jika ada waktu yang memaksanya untuk berhenti, hatinya akan hancur— atau semacam itu. Yomiuri-senpai menyebutkan seorang gadis yang berteman dengannya yang jatuh sakit karena bekerja terlalu keras dan tampaknya Ayase-san mirip dengannya.

"Gadis itu luar biasa. Dia selalu menjadi yang pertama dalam hampir semua hal di sekolah dasar. Tentu saja, dia tidak hanya berbakat. Dia juga bekerja keras untuk mencapai semua itu. Dan di universitas, dia mengalami kesulitan untuk pertama kalinya."

Mungkin itu karena sesuatu telah terjadi padanya. Itulah yang mungkin dipikirkan orang-orang di sekitarnya.

"Setiap manusia memiliki satu atau dua hal yang tidak dapat mereka lakukan. Bagaimanapun, itulah artinya menjadi manusia. Namun, dia tidak setuju dengan pemikiran itu. Dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena tidak bisa melakukan segalanya. Dia tidak percaya ada sesuatu yang tidak bisa dia lakukan. Lalu, dia menyalahkan dirinya sendiri untuk itu, meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini karena dia malas."

"Jadi… apa yang terjadi…?"

"Dia pulang ke kampung halamannya. Kurasa dia berasal dari Shikkoku. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan sekarang. Tapi, aku berharap dia bahagia."

Yomiuri-senpai benar-benar perhatian dengan sekelasnya, sampai-sampai dia mengkhawatirkan temannya sebanyak ini. Tapi, aku tidak dapat menemukannya dalam diriku untuk mengatakan ini padanya karena suatu alasan. Dan dari apa yang dia katakan padaku, orang-orang dengan kecenderungan swasembada yang kuat seperti Ayase-san terus-menerus membangun stres ketika mencoba untuk meningkatkan kemampuannya dan tidak beristirahat sama sekali.

Ini pada dasarnya adalah proses berpikir yang berbunyi 'Aku tidak bisa berhenti sendiri' dan, kau akhirnya kelelahan, hatimu lelah. Ketika orang memiliki pola pikir 'Jika aku tidak berhenti berlari, aku akan mati', untuk benar-benar menghentikan mereka, ada kalanya kau harus menyela dan menghalangi apa pun yang mereka coba lakukan. Mungkin ada saat di mana kau ingin menghormati orang lain. Tapi, tidak ada pilihan lain selain mengabaikan kebebasan dan pendapat mereka sendiri.

Setelah mendengar semua ini dari Yomiuri-senpai, aku teringat sesuatu. Ada saat ketika proses berpikir Ayase-san telah melewati ambang batas aman dan dia tidak mau mendengarkan apa yang kukatakan padanya. Saat itu, aku terpaksa menghentikannya sehingga dia mau mendengarkanku. Meskipun aku tidak benar-benar menyadari apa yang kulakukan karena saat itu sedang panas. 'Berikan segalanya pada saat tertentu' mungkin merupakan cara yang baik untuk menggambarkan perilaku ini.

"Mengatakan bahwa semuanya penting pada dasarnya berarti kamu sama sekali tidak menghargainya, tahu."

"Itu tidak sepenuhnya sama, Yomiuri-senpai."

"Ada orang yang benar-benar menghargai segalanya dan berhasil. Mereka memiliki bakat, kau tahu. Tapi, bagi kebanyakan orang, itu tidak akan berhasil. Kita memiliki beberapa hal yang tidak bisa kita capai. Itulah yang kupercaya. Tidak apa-apa untuk menganggapmu tidak bisa menjadi ahli dalam segala hal."

"Aku mengerti. Itu pemikiran yang menarik."

"Itulah kenapa kamu harus mempertahankan tekad ini untuk hal-hal yang benar-benar penting bagimu. Menahan diri juga penting, kamu mengerti."

"Ya. Kesimpulannya, jika seseorang tidak berjalan dengan benar, kau harus memberi tahu mereka, kan?"

"Tepat sekali! Itu baru Kouhai-kun! Karena itu, kamu akan memberiku waktu istirahatmu, kan?" Senpai menyatukan tangannya seperti dia memohon padaku.

Aku tidak percaya dia berlaih dari topik serius seperti itu menjadi lelucon sedetik kemudian.

"Kenapa kau ingin aku melakukan itu untukmu, huh? Apa kau memiliki semacam keperluan untuk dihadiri?"

"Kalau aku menunggu sampai shift-ku selesai, tokonya akan tutup. Perjalanan hanya akan memakan waktu sekitar 15 menit!"

Aku menghela nafas tidak percaya. Astaga, ... 

"Aku mengerti. Aku akan memberimu waktu istirahatku, jadi belilah apa pun yang perlu kau beli."

"Yay, Kouhai-kun!"

"Kau tidak akan mendapatkan high-five."

"Reaksi yang membosankan."

"Aku hanya tidak bisa mengikuti kecepatanmu, oke?"

Aku sebenarnya sedikit mengagumi Yomiuri-senpai karena menanam benih untuk rangkaian pemikiran ini di dalam pikiranku, tapi dia harus pergi dan mengatakan itu selanjutnya, membuang-buang kesempatannya.

"Yah, kalau kamu benar-benar menghargai adik perempuanmu, maka kamu mungkin lebih baik melangkah lebih ke wilayahnya." Kata Yomiuri-senpai dan menuju kasir.

"Jika aku menghargainya, aku harus melangkah lebih ke wilayahnya, ya?"

Jadi, dia bahkan tidam bercanda sejauh itu. Senpai benar-benar seseorang yang tidak akan pernah bisa kupahami.

Bahkan setelah shift kami berakhir, panasnya tidak berkurang sama sekali. Dalam perjalanan pulang, aku mendorong sepedaku seperti biasa, dengan Ayase-san berjalan di sampingku. Aku ingat apa yang Yomiuri-senpai katakan padaku. Selama sebulan terakhir ini, Ayase-san benar-benar mengabdikan dirinya untuk pekerjaannya. Kalau aku harus menebak, ini mungkin semua tujuannya untuk bisa mandiri dalam waktu dekat. Salah satu alasan untuk ini kemungkinan besar karena aku gagal menemukan cara menghasilkan uang yang tidak menghabiskan banyak waktu yang menguntungkan bagi dirinya. Yang lain mungkin karena pengetahuanku tentang bagaimana toko buku beroperasi yang bisa dia gunakan untuk dirinya sendiri. Alasan itu masuk akal.

Namun, seperti yang dikatakan ayahku, aku belum pernah melihat Ayase-san bersantai atau bertingkah seperti siswa SMA pada umumnya selama liburan musim panas selama sebulan terakhir ini. Ada juga sesuatu yang dikatakan Maru yang melekat padaku …

[Jika orang tidak beristirahat dengan baik, kau harus memberi tahu mereka]

Mungkin aku harus menanyakannya sekarang…

"Ayase-san, apa Narasaka-san mengundangmu ke kolam renang? … Apakah aku juga diundang?"

"…Apa Maaya menghubungimu?” Ayase-san bertanya sambil menyempitkan alisnya.

Sepertinya dia benar-benar mendapat undangan.

"Nggak. Bukannya dia punya cara untuk menghubungiku sejak awal."

"Lalu, bagaimana kamu bisa tahu itu?"

Astaga, dia benar-benar curiga sekarang.

"Sederhananya. Aku juga tidak tahu tentang itu."

Aku menjelaskan tentang bagaimana ada pembicaraan tentang Narasaka-san mengundang teman-temannya ke kolam renang.

"Apa kamu ingin pergi, Asamura-kun?"

Untuk sesaat, hampir terdengar seperti dia bertanya apakah aku ingin pergi bersamanya. Tapi itu tidak mungkin. Dia hanya bertanya apakah aku tertarik pergi ke kolam renang secara umum. Itulah satu-satunya cara Ayase-san mengajukan pertanyaan ini. Dia benci disalahpahami. Dia bersikap datar seperti biasanya, hanya menanyakan apakah aku ingin pergi, itulah sebabnya aku memutuskan untuk menjawab dengan kata-kata pertama yang muncul di pikiran ketika pertanyaan itu diungkapkan dalam konteks itu.

"Sejujurnya, pergi ke kolam renang dengan semua pria yang suka bergaul itu terdengar menyebalkan." Aku melontarkan senyum masam saat aku menjawab.

Untuk sesaat, aku merasa seperti melihat ekspresi sedih muncul di wajah Ayase-san di bawah lampu jalan, tapi ekspresinya yang biasa kembali secepat itu hilang.

"Begitu. Maka kamu tidak perlu memaksakan diri untuk pergi, kan?"

Ada sesuatu yang terasa aneh dari caranya mengungkapkan itu, hampir seperti dia terganggu oleh jawabanku. Aku tidak bisa menebak apa yang sebenarnya dia rasakan. Aku merasakan sedikit kemarahan, sedikit kesedihan, tetapi juga sedikit kelegaan.

"Apa kau tidak akan pergi ke kolam renang?"  tanyaku.

"Aku tidak ikut." Ayase-san menjawab.

"Kenapa?"

“………”

Aku mengambil mil ekstra dan melangkah ke wilayahnya, tapi Ayase-san tetap diam dan tidak memberiku jawaban. Sebuah mobil melewati kami pada saat yang tepat. Kupikir dia tidak bisa mendengarnya. Tapi, jika dia melakukannya, aku tidak ingin mengganggunya lebih jauh dengan mendorongnya dengan pertanyaan. Namun, ada sesuatu yang terasa tidak enak.

-Aku tidak ikut.

Aku ingin tahu dengan emosi apa Ayase-san mengatakan itu? Saat kami berjalan pulang, aku melihat lampu bersinar dari apartemen kami. Aku memarkirkan sepedaku di tempat parkir dan membiarkan Ayase-san pergi duluan tanpaku. Tapi sampai aku membuka pintu apartemen, aku terus memikirkan Ayase-san.



|| Previous || Next Chapter ||
2

2 comments

  • Adii
    Adii
    25/7/21 21:02
    Mulai timbul kepribadian baru
    Reply
  • 8man
    8man
    25/7/21 11:58
    Mantap Gercep kali min jgn lupa istirahat
    Reply
close