[Bagian 1]
Karena kami memutuskan untuk makan malam di waktu yang sama seperti kemarin, kami mandi dulu. Seperti yang direncanakan, Riku-san akan masuk ke kamar mandi bersamaku.
Umi sudah masuk kamar mandi lebih awal. Jadi, aku menyuruhnya menunggu kami di kamar kami.
Semua sesuai rencana.
> (Umi): Kakakku memang sangat menyebalkan... Aku serahkan dia padamu, oke?
Aku membalas pesannya dengan 'Ya, tenang saja' dan masuk ke kamar mandi bersama Riku-san.
"....."
"....."
Kami berjalan berdampingan, tapi tak satupun dari kami mencoba memulai percakapan.
Bukannya kami tidak punya apa-apa untuk dibicarakan. Kami berdua memiliki hobi yang sama, bermain gim dan kami bahkan bisa mengobrol tentang Umi yang terkadang merepotkan jika kami mau. Masalahnya di sini adalah, tak satu pun dari kami adalah tipe orang yang memulai percakapan.
"...Maaf."
"Hah?"
"Kau tahu, hal yang tadi siang... Membuat keributan seperti itu di depan umum... Kami menghalangi kencanmu..."
"Nggak juga, kau tidak perlu khawatir tentang itu, Riku-san... Apa Umi mengatakan sesuatu padamu?"
"Kita bicarakan itu nanti saja. Si idiot itu memberiku jentikkan dahi yang sangat kuat. Sialan, ini masih terasa sakit..."
Ketika dia mengusap dahi-nya sedikit, aku bisa melihat benjolan merah tepat di tengah dahinya. Jentikannya lebih kuat dari yang kuharapkan. Daichi-san atau Sora-san mungkin mengajarinya bagaimana melakukannya.
Bagaimanapun juga, sepertinya tidak ada tamu lain di pemandian. Jadi, kami bisa berbicara selama yang kami inginkan.
Setelah membilas debu dari tubuhku, aku mengikuti Riku-san untuk berendam di bak mandi.
"Astaga, tidakkah kalian berdua terlalu banyak mencampuri urusanku? Aku bahkan tidak meminta kalian berdua untuk melakukan ini. Selain itu, mengapa kalian begitu peduli padaku?"
"Nah, bagaimana aku mengatakan ini? Dari sudut pandangmu, aku tidak lebih dari 'pacar Umi', hanya orang asing dengan langkah ekstra 'kan, Riku-san?"
"...Itu salah satu cara untuk mengatakannya."
"Tapi, kau tahu, Riku-san. Bagiku, kau adalah Kakak Umi. Kau bukan orang asing bagiku. Umi sangat menyayangi keluarganya. Jadi sebagai pacarnya, aku juga akan bertindak sama. Orang yang penting baginya juga merupakan orang penting bagiku."
Tentu saja ini juga berlaku untuk Daichi-san dan Sora-san juga.
Baik Ibu dan aku sangat berhutang budi kepada keluarga Asanagi. Setelah aku mulai berpacaran dengan Umi, keluarga Asanagi selalu berusaha membantuku sebisa mereka. Ketika aku sakit, mereka membiarkanku menginap di rumah mereka untuk sementara waktu. Kadang-kadang, mereka mengundangku untuk makan malam bersama mereka. Sejujurnya, keluarga Maeharas sangat dekat dengan keluarga Asanagi daripada kerabat kami.
"Apakah ini kiasan 'teman dari temanku juga temanku'?"
"Hampir, tetapi tidak cukup. Jujur saja, kalau kau hanya temannya, aku hanya akan melakukan hal yang minimal untuk bergaul denganmu, Riku-san. Tapi, kau adalah keluarganya. Aku harus bergaul dengan keluarganya. Jika aku ingin memiliki masa depan yang cerah bersamanya, setidaknya aku harus melakukan ini."
"Ah, begitu... Kalau kalian serius dengan hubungan kalian, kalian harus melakukannya suka atau tidak suka, ya?"
Aku belum pernah berbicara dengan Umi tentang masa depan kami. Secara pribadi, aku tidak ingin hubunganku dengan keluarga Asanagi menjadi renggang.
Itulah sebabnya aku ingin bergaul dengan mereka.
"Juga, aku sangat menghormatimu, Riku-san. Meski kau selalu memperlakukan kami seolah-olah kami adalah anak nakal, tetapi aku sadar itu hanya caramu untuk menunjukkan bahwa kau peduli. Maksudku, perjalanan ini tidak akan terjadi jika kau tidak melangkah maju saat itu. Selain itu, kau selalu tampak begitu dewasa. Sebenarnya sulit untuk percaya bahwa kau saat ini sedang menganggur."
"...Apa kau benar-benar menghormatiku sebanyak itu?"
"Ya. Setidaknya sebanyak Umi menghormatimu."
"Apa kau sedang bercanda denganku, anak nakal?"
Setelah mengatakan itu, dia menggerakkan tangannya dan menyentuh kepalaku. Dia mungkin akan memberiku jentikkan ringan, tetapi dia takut itu akan menyakitiku. Pada akhirnya, dia memilih untuk menepuk kepalaku.
Sungguh orang yang baik hati...
"...Aku selalu menyukai Shi-chan, kau tahu?"
Dia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan.
"Dulu ketika kami masih kecil, dia selalu membuat dirinya dalam masalah. Dia kecil dan sakit-sakitan, tetapi dia tidak bisa diam di satu tempat untuk menyelamatkan hidupnya... Sebelum aku menyadarinya, aku bertindak seperti pengasuhnya. Aku selalu berpikir bahwa dia adalah gadis yang merepotkan. Tapi semakin banyak waktu yang kuhabiskan bersamanya, semakin aku berpikir bahwa aku tidak bisa meninggalkannya dan aku harus melindunginya sebagai seorang teman... Dan akhirnya, perasaan itu berubah menjadi cinta. Ngomong-ngomong, dia adalah gadis paling imut di kota saat itu."
Aku tahu itu, mereka berdua saling mencintai sejak mereka masih kecil. Maksudku, jika mereka tidak mencintai satu sama lain, mereka tidak akan mau repot-repot untuk tetap berhubungan selama itu.
"Lalu, kenapa kau menolak pengakuannya? Apa kau sudah memiliki orang lain yang kau sukai saat itu?"
"Tentu saja tidak. Ada gadis-gadis lain yang menurutku manis.. Tapi, gadis yang aku sukai tetaplah dia dan hanya dia.."
Meski begitu, dia masih menolak pengakuannya.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Jika kami berdua saling menyukai satu sama lain, lalu mengapa aku tidak menerima pengakuannya? Itu..."
"Hm?"
"Ugh... Melihat ke belakang, aku menyadari betapa bodohnya hal itu. Tapi saat itu, aku merasa itu adalah jawaban yang benar..."
Ceritanya kembali ke masa SMA Riku-san, lebih dari 10 tahun yang lalu.
Post a Comment