[Bagian 1]
"Hari sudah sore, apa yang kamu lakukan di sini, Maki-kun? Apa kamu masih menunggu Umi?"
Amami-san berlari ke arahku dengan senyum di wajahnya.
Ada cat biru dan putih di tangan kanannya dan kuas di tangan kirinya. Sepertinya dia masih bekerja pada jam selarut ini.
"Mhm. Sepertinya dia akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama... Tunggu, dia baru saja mengirim pesan padaku."
Ketika aku memeriksa smartphoneku, Umi mengirimiku pesan.
>> Umi: Bentar lagi selesai.
>> Umi: Jadi, tunggu aku, oke?
>> Maki: Oke, semoga berhasil.
>> Umi: Makasih. Beri aku banyak cinta nanti, oke?
>> Maki: Ketika kita sampai di rumah, ya, tentu.
> Umi: Hehe, aku akan menantikannya.
Aku berjanji untuk menemuinya di depan tangga, lalu aku memasukkan smartphoneku kembali ke dalam saku.
"....Fufu, apa kamu sudah selesai dengan Umi tercintamu?"
"Ah, ya. Maaf karena memotong pembicaraan kita seperti ini."
"Tidak apa-apa kok. Aku tidak keberatan melihatmu dengan Umi. Kamu selalu tersenyum begitu bahagia."
"Eh, benarkah? Padahal aku sudah berhati-hati..."
"Mulutmu banyak bergerak-gerak. Jadi, aku bisa tahu~ Ninacchi juga tahu tentang hal itu. Ini sebenarnya jelas bahwa kamu mencoba menahan diri untuk tidak tersenyum~ Pfft..."
Mungkin dia teringat sesuatu yang terjadi di masa lalu, dia tiba-tiba tertawa.
Meskipun kami berada di kelas yang berbeda, aku masih mengirim pesan kepada Umi secara teratur. Untuk menyembunyikan ekspresiku, aku selalu mencoba untuk memasang wajah poker atau menyembunyikan mulutku. Gerakan itu cukup untuk membodohi para guru dan teman sekelasku yang lain, tetapi itu tidak berhasil ketika datang ke Amami-san dan Nitta-san ...
"D-Daripada itu, Amami-san... Kau melakukan ini sendiri? Dimana anggota timmu yang lain?"
"Ah, ya. Yah, kami sudah menyelesaikan pekerjaan kami untuk hari ini. Jadi, mereka pulang lebih awal. Tapi masih ada sesuatu yang menggangguku, makanya aku masih di sini."
".... Bolehkah aku melihatnya?"
"Tentu. Aku masih belum selesai."
Papan belakang pada dasarnya adalah papan kayu besar yang setiap orang melukis sesuatu di atasnya.
Dari pekerjaan yang belum selesai, sepertinya mereka mencoba melukis naga biru besar di atasnya.
"Ini adalah sketsa kasarnya. Yang lain menunjukkanku sejumlah makhluk kuat seperti Iblis atau Raijin. Jadi, aku menggunakan itu sebagai referensi untuk karya ini..." [TN: Raijin adalah Dewa petir dalam kepercayaan shinto. Ada banyak penggambarannya dalam patung atau lukisan. Dia biasanya digambarkan bersama dengan Fujin atau Dewa angin, dalam gambar-gambar itu, dia adalah orang yang membawa drum di belakangnya]
"...Whoa."
Aku tanpa sadar mengeluarkan teriakan itu ketika aku melihat sketsa tersebut.
Jika aku harus mendeskripsikannya, itu adalah gambar air terjun raksasa yang dibelah menjadi dua oleh Naga biru. Naga biru itu menghadap ke atas dan meraung ke arah langit. Meskipun gambar itu hanya dilukis di atas selembar kertas, aku sudah bisa merasakan atmosfernya yang menindas.
Karena dia adalah orang yang bertanggung jawab membuat sketsa untuk pameran festival kami sebelumnya, beberapa orang tahu tentang selera artistiknya. Dan sekarang, dia menunjukkannya dengan kekuatan penuh sekali lagi.
Kadang-kadang, mereka merekrut beberapa orang dari klub seni untuk tim papan belakang. Jadi, ada beberapa kasus di masa lalu di mana salah satu orang menonjol dibandingkan yang lainnya. Melihat karya Amami-san, membuatku berpikir bahwa karya-karya itu terasa lebih rendah.
...Tapi ini hanya sketsa kasar.
"Jadi, kami memutuskan untuk mengerjakan detail yang lebih halus terlebih dahulu. Saat ini, kami sedang mengerjakan wajah Naga dan bagian-bagian yang mengelilinginya, tetapi ketika kami sedang mengerjakannya, entah bagaimana itu menyimpang dari sketsa... Bisakah kamu mundur sedikit, Maki-kun? Sepuluh langkah dari sini sudah cukup. Bandingkan pekerjaan kita dengan sketsa."
"Um... Di sini?"
Seperti yang diinstruksikan, aku menjauh dari papan tulis. Dari tempatku berdiri, aku membandingkan lukisan yang sedang dikerjakannya dengan sketsa.
"Gimana?"
"Hm... Kurasa tidak ada masalah dengan itu..."
Aku menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan lukisan itu, tetapi itu hanya sebagian kecil saja, tidak cukup untuk membuat keributan.
Akan sulit untuk mempertahankan kualitas pekerjaan yang tinggi saat bekerja di tengah musim panas, tetapi selama mereka bisa menyelesaikannya dengan benar, hasilnya seharusnya cukup baik.
"Eeh? Kamu tidak berpikir ada masalah dengan itu? ...Hng... Tapi..."
Tapi, sepertinya Amami-san memiliki pendapat yang berbeda denganku.
"Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi, rasanya seperti tidak terlihat sebagus sketsa. Itulah mengapa aku berpikir untuk menyesuaikannya sendiri seperti ini..."
Dia kemudian mengubah warna biru yang mereka gunakan untuk naga itu. Karena itu, naga itu memiliki kesan yang berbeda dari sebelumnya.
Karena melukis di atas papan kayu besar dan selembar kertas itu berbeda, tidak salah bahwa ada kebutuhan untuk memberikan beberapa penyesuaian untuk pekerjaan dari waktu ke waktu. Bahkan, Umi dan aku melakukan hal yang sama tahun lalu.
Tapi...
"Amami-san."
"Bagaimana menurutmu, Maki-kun? Tidakkah menurutmu itu akan terlihat lebih baik dengan cara ini? Kamu mengerti apa yang aku coba lakukan, kan?"
"Maaf, Amami-san, tapi aku tidak berpikir kau harus melakukan sesuatu seperti ini..."
"....Eh?"
Ekspresinya mengeras ketika dia mendengar jawabanku. Mungkin karena dia tidak mengharapkan jawaban seperti itu.
Post a Comment