NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Daigaku de Ichiban Kawaii Senpai wo Tasuketara Nomi Tomodachi ni Natta Hanashi Volume 1 Chapter 13

 


Penerjemah: Tanaka Hinagizawa 

Proffreader: Tanaka Hinagizawa 


Chapter 13: Boleh Minta?


"Eh, tunggu sebentar! Hihihi! Perutku sakit, sudah tidak bisa lagi...!"

"Wah, senpai, Giant Shark menang! Yay!"

"Tidak boleh, tidak boleh, tidak boleh!! Haha, ahahaha! Ini gila, apa itu!?"

"Jangan buat aku tertawa... ugh, ahahaha, cantik!!"

Lewat pukul sebelas malam.

Setelah mampir ke konbini, aku tiba di rumah. Kemudian, seperti biasa, kami mulai berpesta dengan minuman sambil menonton film B-class.

Penampilan senpai masih dengan gaun merah yang sama seperti di pesta ulang tahunnya.

Melihat seorang wanita yang seperti putri dalam cerita, tertawa terbahak-bahak dengan segelas highball murah di tangannya, itu sangat gak nyata dan jujur saja, lebih lucu daripada filmnya.

"Itomori-kun, ayo makan itu. Aku sudah lapar."

"Baiklah. Mari kita lakukan."

Aku mengeluarkan kue ulang tahun berisi dua potong yang dibeli di konbini seharga lima ratus yen dari kulkas, dan kembali ke ruang tamu dengan membawa piring dan garpu.

"... Setelah melihat kue yang mewah di pesta ulang tahun, rasanya ini sangat biasa."

"Tidak seperti itu. Aku lebih suka yang ini."

"Tapi, ini kue dari konbini kan? Ya, tidaklah enak, tetapi..."

"Rasa dan penampilan tidak masalah. Yang penting adalah makan bersama Itomori-kun... eh, maksudku, pacar."

Dia mengatakannya dengan kaku, tetapi tetap ingin mempertahankan wibawanya sebagai yang lebih tua, menunjukkan senyuman yang dipaksakan.

Pacar—kata itu membuatku senang dan malu, sehingga aku mengalihkan wajahku dengan memakan kue.

"Itomori-kun, kapan kamu mulai ingin berpacaran denganku? Sejak kapan kamu menyukaiku?"

"... Mungkin saat kita pertama kali berciuman. Tapi itu hanya saat aku menyadari perasaanku, ku rasa aku sudah menyukaimu jauh sebelum itu. Mungkin sejak kita pertama kali bertemu."

Mungkin kata-kataku membuatnya senang. "Aku jatuh cinta pada pandangan pertama," kata senpai sambil tersenyum lebar. ... Meski aku tidak mengatakan jatuh cinta pada pandangan pertama, jika dia senang, itu sudah cukup.

"Senpai juga... eh, kamu, s-suka padaku kan? Maksudku, kamu berpikir boleh berpacaran. Apa yang kamu suka dariku? Ku rasa aku tidak berbuat apa-apa untuk disukai sebagai lawan jenis..."

Dia menatapku dengan tatapan seolah-olah ingin bilang, "Apa yang kamu bicarakan?"

Senpai mengambil sepotong kue dan menghela napas. Seolah-olah semua udara di dalam tubuhnya akan keluar.

"... Aku mulai khawatir. Aku merasa Itomori-kun akan tanpa sadar menarik perhatian banyak gadis."

"Eh!? Kenapa bisa begitu?!"

"Aku tidak suka jika kamu berselingkuh. ... Jika itu terjadi, aku tidak akan hanya marah."

Aku teringat malam saat kami minum bersama untuk pertama kalinya.

"Aku belum pernah mengalami kehilangan teman, jadi jika itu terjadi, aku... tidak tahu apa yang akan kulakukan."

Dengan kekuatan yang sama seperti raungan singa.

Aku merasakan rasa takut yang mirip dengan rasa kagum pada ekspresi seseorang yang lahir di bawah bintang yang selalu menang.

"Apakah kamu ingat malam di Okinawa? Saat aku mengalami cedera kaki dan kamu pergi ke konbini untukku?"

"Ya, aku ingat."

"Pada saat itu, aku mulai menyukaimu. Kamu berani menerobos badai demi aku dan ibuku. Tidak mungkin aku tidak menyukaimu. Siapa pun pasti akan berpikir, 'Orang ini pasti bisa diandalkan.'"

Sebenarnya, aku hanya bergerak karena ibuku. Tidak ada niatan untuk disukai.

Namun, aku senang dia merasakannya, dan aku merasa sedikit beruntung telah melakukan hal yang nekat.

"... Sekarang bisa kukatakan, meskipun malam itu tidak terjadi, jatuh cinta pada Itomori-kun hanya masalah waktu."

"Apa maksudmu?"

"Jika kamu meminta penjelasan, aku akan kesulitan. ... Meskipun aku terlahir kembali, jika aku bertemu Itomori-kun lagi, aku akan jatuh cinta sekali lagi. Itu menunjukkan betapa menariknya kamu bagiku, jadi percayalah!"

Dia menepuk lengan atasku dengan semangat dan mendengus bangga.

Pasti ini hanya pujian, ku pikir—tapi tetap saja, aku merasa senang. Karena dia selalu mendorongku, ku yakin aku akan jatuh cinta padanya lagi meskipun terlahir kembali.

"Senpai, ada krim di sudut mulutmu."

"Oh, benar? Kalau begitu, ambilkan untukku, Itomori-kun."

"Hah? Ya, tidak apa-apa sih, tapi..."

"Dengan bibirmu."

"Eh!?"

"Aku sedang minum, tapi ini bukan alasan untuk tidak melakukannya."

Dia menunjuk krim dan dengan nakal memperlihatkan gigi taringnya,

 "Ayo lakukan hal-hal yang seperti pasangan♡."

Itu berarti, dia meminta untuk berciuman.

Aku tidak ingin mengalihkan tanggung jawabku pada alkohol, aku akan melakukan ini sebagai pasangannya.

Aku selalu ingin menghindari alkohol sebagai alasan, tetapi ketika menghadapi kenyataan, rasa malu membuatku tidak bisa bergerak.

Namun, aku mencoba mendekatkan bibirku untuk memenuhi permintaannya, tetapi pada akhirnya, aku tidak punya keberanian dan hanya mengusap krim dengan ujung jariku.

"Buuh! Itomori-kun, bodoh! Payah!"

"Ma-maafkan aku! Tapi, aku tidak bisa! Kita harus melakukannya secara bertahap--"

Sebelum aku selesai bicara, senpai mengambil krim dari kuenya dengan jari telunjuk, lalu mengoleskannya ke bibirku seperti anak kecil yang sedang bermain lumpur.

Saat aku masih terkejut dengan tindakan tiba-tibanya, senpai meletakkan tangannya di bahuku dan mengangkat tubuhnya. Dia mendekatkan wajahnya dan mendekatkan bibirnya, lalu menjilat krim dengan ujung lidahnya yang sedikit terlihat.

"Ba-bagaimana? Mu-mudah kan? Kita kan pasangan kekasih, jadi hal seperti ini wajar saja!"

Sepertinya dia juga sangat malu dengan ciuman sebagai kekasih, wajahnya memerah dan tingkahnya sangat canggung. Meski begitu, dia membusungkan payudaranya yang montok dan menunjukkan sikap kakak perempuan. 

...Sungguh makhluk yang menggemaskan.

"Nah, sekarang giliranmu, Itomori-kun. Aku akan melatihmu sedikit demi sedikit."

"Latihan...? Eh?"

Sama seperti sebelumnya, dia mengambil krim dengan ujung jarinya.

Tanpa mengoleskannya ke mana pun, dia menyodorkannya perlahan-lahan ke mulutku.

"Um, itu..."

"Jilat."

"..."

"Jarinya jadi kotor. Bersihkan... Ayo, cepat."

"Ba-baik..."

Seperti yang diperintahkan, aku menjilat krim dari jarinya.

Senpai tersenyum puas dan berbisik dengan suara menggoda, "Anak pintar." Matanya yang berwarna emas dan indah menatapku lekat-lekat tanpa berkedip.

Rasanya seperti diperlakukan bagai anjing... tapi jujur saja, itu tidak buruk.

Malah, sangat menyenangkan.

"Kalau begitu selanjutnya, di sini. Tolong ya, Itomori-kun."

"Ba-baik!"

Dari punggung tangan, pergelangan tangan, lengan, perlahan-lahan naik ke atas.

Dengan tangan yang bebas, dia menyibakkan rambut emasnya dan mengoleskan krim ke lehernya yang terekspos. Dengan mata yang penuh gairah, dia menatapku dan memperlihatkan giginya yang putih.

"Kemarilah?"

Sofa berderit.

Aku menarik bahunya dengan lembut dan menjilat lehernya.

"Mmh..."

Suara yang menggoda.

Aku terkejut dan hendak mundur, tapi Senpai melingkarkan tangannya ke punggungku dan menarikku kembali, lalu membelai kepalaku dengan lembut. Seolah-olah memujiku, "Bagus sekali."

Itu terasa nyaman dan membahagiakan.

Ditambah dengan aroma manis, otakku seperti mati rasa.

"Bersihkan dengan baik. Kalau masih ada yang kotor, aku akan marah lho?"

Karena aku tidak ingin dimarahi, aku menjilat lagi tempat yang tadi terkena krim.

Senpai gemetar, tapi tetap membelai kepalaku dengan tenang.

Aku berharap waktu seperti ini bisa berlangsung selamanya.

"Hah... mmh... su-sudah cukup, kan...?"

Saat aku sedikit menjauh setelah mendengar itu, wajah senpai terlihat sangat mabuk kepayang dan napasnya terengah-engah. Melihat gerakan tangannya yang menyeka air liur yang hampir menetes dari bibirnya, jantungku berdebar kencang hingga terasa sakit.

"Kalau begitu, selanjutnya--"

Dia mengulurkan tangannya ke arah kue.

Aku refleks menangkap tangannya.

"A-ada apa?"

"Aku pikir... kalau kita terus beralasan karena ada krim, itu sama saja dengan menyalahkan alkohol. Sekarang sudah tidak apa-apa. Tanpa itu pun, aku akan melakukan hal-hal yang layaknya dilakukan pasangan kekasih."

Aku menempelkan telapak tangan kami dan mengaitkan jari-jari kami.

Erat dan kuat, seperti yang dilakukan pasangan kekasih.

Mata emasnya berkedip, menantikan tindakan selanjutnya. Untuk memenuhi harapan itu, aku perlahan melingkarkan lenganku di pinggangnya.

"Aku... um... akan selalu menjaga senpai seumur hidupku. ...Ah, tapi kalau senpai bosan atau tidak suka lagi, silakan buang aku tanpa ragu..."

"Ulangi. Di bagian itu, ayo kita lebih menghargai suasananya. Lupakan soal aku, katakan apa yang ingin kamu lakukan, Itomori-kun."

"Apa yang ingin kulakukan...?"

Senpai menatapku dengan mata setengah terbuka.

Ini gawat. Aku harus cepat mengatakan sesuatu.

"Um... Aku ingin membahagiakan Senpai."

"Ya. Itu sudah kamu katakan tadi."

"Itu, um, aku akan selalu menjagamu seumur hidupku!"

"Itu juga sudah kudengar. Jangan katakan hal-hal yang biasa saja, pasti ada hal lain kan?"

"...Meskipun ini bertentangan dengan yang kukatakan tadi, tapi aku tidak ingin menyerahkanmu kepada siapa pun."

Aku menggenggam tangan senpai lebih erat lagi.

Lapisan tipis air mata di mata emasnya bergetar.

"Aku tidak ingin kamu melihat orang lain selain aku, dan aku ingin selalu bersamamu. ...Maaf, karena aku egois."

"Ti-tidak. Terima kasih sudah mau mengungkapkan perasaanmu dengan jujur, Itomori-kun."

Dahi kami bersentuhan.

Sama seperti malam pertama kali kita berciuman.

"...Aku juga tidak ingin melihat orang lain selain Itomori-kun, dan aku juga ingin selalu bersamamu."

"Te-terima kasih."

"Tapi itu hanya untuk saat ini."

"..."

"Karena itu, buatlah aku lebih tergila-gila lagi padamu? Penuhi pikiranku hanya dengan Itomori-kun?"

"Ah! Ba-baik...!"

Kami bertukar ciuman ringan beberapa kali, lalu saling bertatapan dan bertukar senyum lembut.

Kemudian, kami saling mematuk bibir seperti burung kecil.

Ketika aku menggigit pelan dengan sedikit nakal, tubuh senpai bergetar dan dia melingkarkan lengannya di leherku sambil berkata "Mou~" dengan nada kesal yang tidak serius.

"Mmh..."

Ujung lidah kami bersentuhan di antara bibir yang menyatu.

Aku khawatir telah melakukan sesuatu yang berlebihan, tapi suara senpai yang sedikit serak menghilangkan kekhawatiran itu.

Suara basah saat kami saling menikmati ciumannya.

Mungkin karena kami baru saja makan kue, air liur Senpai terasa sangat manis.

Hangat dan lembut. Sensasi bahagia yang menyenangkan, seperti percikan api.

"Hah... hah..."

Entah lima atau sepuluh menit, kami larut dalam hasrat seksual kami..

Ketika kami menjauhkan wajah, air liur membentuk jembatan seperti benang diantara mulut kami, lalu akhirnya putus dan mengotori gaunnya. Senpai tertawa kecil sambil terengah-engah dan membenamkan wajahnya di dadaku.

"...Gawat. Aku semakin menyukai Itomori-kun..."

"Aku juga semakin menyukai senpai."

"Benarkah?"

"Ya, aku tidak akan berbohong tentang hal seperti ini."

"--Kalau begitu, buktikan."

Wajahnya yang terangkat menunjukkan emosi yang panas, seolah-olah dia telah memutuskan sesuatu.

Kami bertukar ciuman ringan seperti tertiup angin, lalu dia menarik tanganku yang masih terpaut. Apakah dia ingin aku membelai punggungnya? Ketika aku mengulurkan tanganku untuk memahami maksudnya, terdengar suara lembut, "Sedikit lebih ke atas."

"Di bagian punggung, ada resleting kan? ...Turunkan itu."

"Eh? Tapi..."

"Cepat."

"Ba-baik!"

Ketika aku menurunkan resletingnya, senpai mulai melepas gaunnya dengan pipi memerah.

Gaun dalam putihnya terekspos di bawah lampu LED, dan aku mengalihkan pandanganku dari bagian payudaranya yang hampir menonjol. Senpai mematikan lampu dengan remote control, menyisakan hanya cahaya TV yang menerangi kami.

"Ini juga ada pengait di belakang. ...Itomori-kun, bisa membukanya?"

"Tu-tunggu sebentar! Apa maksudnya ini? Kalau ingin mandi, lebih baik ganti baju di sana--"

"Apa aku harus mengatakan semuanya agar kamu mengerti?"

"...! Aku mengerti, tapi...!"

"Tapi? Tapi apa? Apa aku tidak menarik? Apa kamu tidak menginginkanku?"

"Bu-bukan begitu! Tapi kita baru saja mulai pacaran, belum genap sehari kan!? Kurasa kita harus lebih mengenal satu sama lain dulu sebelum..."

"Mengenal satu sama lain? Aku sudah tahu banyak tentang Itomori-kun. Kamu juga sudah tahu banyak tentangku, kan?"

"Tapi bagaimana jika ternyata aku orang yang tidak baik--"

"Orang yang benar-benar tidak baik tidak akan khawatir seperti itu."

Dia tertawa kecil dan meletakkan tangannya di pipiku.

"...Tahun ini tidak ada, tapi di pesta ulang tahunku sebelumnya, tidak jarang ada orang yang mencoba menyentuhku. Setiap kali itu terjadi, aku merasa sangat tidak suka, takut, dan merasa ternodai..."

Sejenak, ekspresinya menjadi muram.

Membayangkan apa yang telah dialami senpai, dadaku terasa tidak nyaman.

"Karena itu, aku ingin menimpa semua itu dengan Itomori-kun. Apakah salah jika aku ingin disentuh sepenuhnya oleh orang yang sangat kucintai?"

"Kurasa... itu tidak salah."

"Lagipula, aku belum menerima hadiah ulang tahun dari Itomori-kun, kan?"

"...!"

"--Berikan semua yang kamu miliki padaku, Itomori-kun?"

Menghadapi undangan yang menggoda itu, benang akal sehatku putus dengan suara keras.

Insting yang selama ini kutahan mengalir seperti arus deras ke seluruh tubuhku, menyalakan api gairah.

"Mm..."

Aku memeluk senpai dan mencium bibirnya.

Aku sudah tidak bisa lagi. Bahkan aku pun tidak bisa menahan diri lagi.

Lagipula... ada pepatah yang mengatakan bahwa menolak hidangan yang disajikan adalah aib bagi seorang pria.

Setelah membiarkan senpai melakukan sejauh ini, akan tidak sopan jika aku tidak melakukan apa-apa. ...Setidaknya itulah kuputuskan yang kupercayai.

"Pengaitnya... kurasa lebih mudah dibuka dengan dua tangan. Ya, begitu... Ah..."

Meskipun ini pertama kalinya bagiku dan sulit karena keadaannya gelap, aku berhasil membukanya.

Dalam keremangan yang hanya diterangi cahaya TV, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari 'payudaranya' telanjangnya yang memancarkan kehadiran yang luar biasa.

Mungkin karena ekspresi wajahku yang lucu, senpai tertawa malu-malu sambil berkata "Dasar mesum~" dan menutupi payudaranya dengan kedua lengannya.

"...Mau lihat lebih?"

"Eh?"

"Kamu tidak ingin melihatnya?"

"A-aku ingin melihatnya!"

"Mau menyentuhnya?"

"I-iya...!"

"...Kalau begitu, silakan?"

Dengan ekspresi seolah-olah menyerah, dia perlahan-lahan membuka lengannya.

Menghadapi tubuh indah seperti karya seni, aku menelan ludah.

Lalu aku mengulurkan tanganku, menyentuhnya, memastikan bahwa dia ada di sana.

"Ini bukan gelembung sabun, kamu tidak perlu selembut itu. Ini tidak akan pecah."

"Ah... b-baik. Kalau begitu..."

Aku menambah tekanan pada jariku, mabuk oleh kebahagiaan bahwa hal ini diizinkan.

Desahan manis senpai yang sesekali terdengar hampir membuatku kehilangan akal.

"...Bagaimana?"

"Ba-bagaimana, maksudnya...?"

"Bagaimana rasanya menyentuhku?"

"...Rasanya seperti, syukurlah aku masih hidup."

"Pfft, hehe. Kamu benar-benar seperti anak laki-laki."

Aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan, tapi sepertinya itu lucu bagi Senpai.

Dia tertawa dengan gembira, dan wajahnya yang sangat menggemaskan membuatku juga tersenyum.

"Kalau begitu, sekarang giliran Itomori-kun."

"Eh?"

"Lepas bajumu. Tidak adil kalau hanya aku."

"Ah, um... ba-baiklah..."

Seperti yang diminta, aku melepas kemeja dan kaus dalamku, lalu melemparkannya ke lantai.

Kulit yang buruk dan melepuh terekspos ke udara.

Keringat dingin mengalir saat kompleks inferiorku terlihat.

"Hee, jadi seperti ini ya."

Tanpa menyadari perasaanku, senpai menyentuh bekas luka itu tanpa ragu dan mulai memainkannya. Seperti anak SD yang bermain-main dengan penghapus.

"...Um, senpai?"

"Ah. Apakah sakit?"

"Tidak sakit sih, tapi... apakah kamu benar-benar tidak merasa apa-apa? Tidak takut atau jijik...?"

"Kenapa aku harus merasa jijik melihat tubuh Itomori-kun?"

"Karena semua orang yang melihat ini sebelumnya bereaksi seperti itu..."

"Hmm. Jadi menurutmu, aku sama seperti 'semua orang' itu?"

"Bu-bukan begitu! Hanya saja aku sedikit cemas--"

Sebelum aku selesai bicara,

"Aaaaaahhh!?"

Senpai mencium kulit burukku yang melepuh dan menjilatinya tanpa ragu.

Perlahan-lahan dari bawah ke atas, seperti sedang makan es krim.

"Apakah 'semua orang' yang mengatakan jijik padamu pernah melakukan ini?"

Dia menyibakkan rambut emasnya ke belakang telinganya, menjilat lagi, menggigit pelan-pelan, dan kembali menjilatinya.

Perasaan berdosa karena selaput lendir orang yang sangat cantik menyentuh bekas luka burukku, dan sensasi nikmat dari kehangatan tubuhnya yang lembut, membuat keringat tidak nyamanku surut.

...Dia benar-benar tidak merasa apa-apa.

Saat aku menghela napas lega, tiba-tiba pandangan kami bertemu. Seolah-olah tersedot, bibir kami bertemu, bercampur, dan kami berpelukan.

Erat, agar dia tidak pergi ke mana pun.

Lebih erat lagi, agar tidak ada yang bisa mengambilnya.

"Mau... ke tempat tidur?"

Mendengar permintaannya, aku menggendongnya seperti tuan putri ke tempat tidur, seperti yang kulakukan malam itu di Okinawa.

Aku membaringkannya di tempat tidur, lalu menindihnya.

Membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya membuatku sedikit malu, dan kami tertawa bersama untuk menutupi rasa malu itu.

"Apakah tidak dingin? Haruskah kita matikan AC?"

"Terima kasih. Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. ...Kalau dingin, aku akan minta Itomori-kun untuk menghangatkanku."

Dia berkata begitu sambil mengulurkan tangannya dan melingkarkannya di leherku.

Aku juga memasukkan tanganku ke punggungnya, dan perlahan-lahan meletakkan tubuhku diatasnya agar tidak menghancurkannya. Jantungku bereaksi tanpa bisa ditahan terhadap kehangatan tubuhnya yang kurasakan di dadaku.

"...Ini pertama kalinya bagiku. Mungkin aku akan merepotkanmu, tapi bisakah kamu berusaha?"

"Ini juga pertama kalinya bagiku... ta-tapi aku akan berusaha sebaik mungkin untuk bersikap lembut, jadi jangan khawatir...!"

"...Sebenarnya,ntidak apa-apa kalau sedikit kasar juga sih."

"Ti-tidak, setidaknya untuk yang pertama, izinkan aku untuk bersikap lembut."

"Hee... Itomori-kun sudah memikirkan untuk selanjutnya ya."

"Bukan! Itu hanya, um, kiasan...!"

Dia tertawa, memperlihatkan giginya yang putih.

Melihat ekspresinya yang polos, pipiku juga ikut tersenyum.

"Aku suka Itomori-kun. ...Bukan suka yang biasa, tapi suka yang cinta. Aku sangat mencintaimu!"

"...Aku juga suka. Aku sangat mencintaimu, senpai."


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close