NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

OmiAi [LN] Volume 4 Chapter 1

 CHAPTER 1: CHERRY BLOSSOM VIEWING WITH MY FIANCE

(MELIHAT BUNGA SAKURA BERSAMA TUNANGANKU)


Akhir bulan Maret.


Hari Minggu setelah White Day.


"......Maaf mengganggu. Yuzuru-san"


"Aah, silakan masuk"


Seperti biasa, Arisa datang ke apartemen Yuzuru.


Arisa yang bertingkah gelisan dibanding biasanya, disambut Yuzuru dengan nada yang sama seperti sebelumnya.


"......Ada apa? Arisa. Ada yang kamu pikirin?"


Sambil menyodorkan kopi, Yuzuru bertanya pada Arisa yang duduk dengan gelisah.


Lalu, Arisa sedikit memerah pipinya dan bermain-main dengan rambutnya yang berwarna linen sambil menjawab.


"Itu, ... kita sekarang beneran tunangan, kan? Maksudku, jadi pacaran"


"Eh? Ah, yah...... Iya, begitu. Ini jadi kencan pertama kita sebagai pacar, mungkin?"


Kalau kencan di rumah dihitung, maka ini akan jadi hari yang bersejarah.


Tapi, Yuzuru yang nggak terlalu mikirin hal itu nggak nyiapin apa-apa.


"......Kamu pengen kencan yang beneran sebagai kenang-kenangan?"


"Ah, nggak. Bukan itu......"


Arisa buru-buru melambaikan tangan menyangkal pertanyaan Yuzuru yang sedikit khawatir.


"Itu...... Sekarang kita kan kita pacaran, ada nggak ya yang berubah?"


"Aah...... Gitu ya"


Yuzuru cuma bisa tersenyum pahit.


Selama ini Yuzuru dan Arisa adalah tunangan palsu.


Tapi sekarang mereka beneran tunangan dan juga pacaran.


......Tapi, untuk sekarang cuma statusnya yang berubah.


Sebenarnya, sebelum mereka mulai pacaran dan mengungkapkan perasaan mereka, Yuzuru dan Arisa udah cukup melakukan hal-hal yang biasa dilakukan sepasang kekasih.


Kenyataannya, nggak ada yang berubah sekarang.


"Orang pacaran biasanya ngapain aja ya?"


"Ngapain ya...... Pegangan tangan?"


"Udah dong, itu"


"Iya, betul"


Yuzuru nggak ingat kapan pertama kali mereka pegangan tangan.


Waktu festival musim panas, mereka secara alami saling pegangan tangan......


Dan saat Tahun Baru, Yuzuru yang secara aktif mencari tangan Arisa.


(Pelukan...... juga, udah)


Yuzuru ingat saat dia memeluk Arisa saat Natal.


Dia ingat itu hangat dan lembut.


Setelah pegangan tangan dan pelukan, berikutnya adalah......


"......Ciuman, mungkin"


Arisa berbisik pelan.


Lalu segera Arisa menutup mulutnya.


Wajahnya langsung memerah dalam sekejap.


"Ng, nggak, aku, itu...... cuma, contoh, bukan berarti, aku mau, atau apa......"


Arisa dengan tergugup menyangkal apa yang dia katakan.


Melihat Arisa yang panik, Yuzuru dengan wajah sedikit merah bertanya.


"......Kamu nggak mau?"


"Bu, bukan itu......"


"Aku sih, kalau bisa, mau banget"


Yuzuru berkata sambil mengambil tangan Arisa.


Lalu dengan serius, dia menatap wajah Arisa.


Melihat langsung ke mata biru yang menatapnya, Arisa sedikit mengalihkan pandangan dari mata zamrud yang berkilauan di balik bulu matanya yang panjang.


Sambil sedikit menunduk dan malu-malu, dia mengalihkan pandangannya. 


“A-um… bukan seperti itu, tapi…”


"Yang mana?"


Yuzuru memperkuat kekuatan tangannya.


Di satu sisi, ketika Yuzuru mendekati Arisa yang sedang mencari jalan untuk kabur dengan pandangannya yang berenang-renang...


Karena Yuzuru sudah menangkap kedua tangannya, tidak ada jalan untuk melarikan diri.


"............"


Dengan wajah yang lemah lembut, Arisa sedikit mengangkat pandangannya.


Sambil melihat Yuzuru dengan mata yang berbinar, dia menggerakkan bibirnya yang berkilau.


"Aku, ingin, itu......."


Keduanya saling menatap dengan intens.


Mereka sangat malu dan ingin mengalihkan pandangan mereka, tapi entah kenapa... mereka tidak bisa mengalihkan mata satu sama lain.


Kesunyian mendominasi suasana.


Hanya detak jantung yang berdenyut keras di antara mereka yang menandai waktu.


"......Boleh aku lakukan?"


Yuzuru yang pertama kali membuka suara.


Sebagai jawaban, Arisa... tidak berkata apa-apa.


Yuzuru perlahan mendekatkan wajahnya ke Arisa.


Mendekatkan bibirnya ke bibir yang berkilau itu...


Tapi tepat sebelum itu, Yuzuru menghentikan gerakannya.


Karena Arisa sedikit mendorong dada Yuzuru dengan kedua tangannya.


Meskipun itu sangat lemah dan tidak banyak kekuatan di dalamnya...


Itu adalah tanda penolakan.


"......Kamu tidak suka?"


Yuzuru menjadi khawatir dan bertanya kepada Arisa.


Sementara itu, Arisa yang wajahnya memerah, menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.


"Bukan, bukan itu... Aku tidak membencinya. Tidak, bukan itu masalahnya..."


"Tapi apa?"


Dengan wajahnya yang sedikit tertunduk, dan melalui rambutnya yang berwarna linen, Arisa menjawab sambil melihat ke atas ke Yuzuru.


"Itu, aku malu..."


Arisa berkata sambil menutupi wajahnya yang merah dengan kedua tangannya dan bergetar.


Mendengar sikap Arisa seperti itu, Yuzuru tanpa sadar bergumam.


"......Lucu banget deh."


"Eh!?"


"Eh, tidak, tidak ada apa-apa."


Sambil menyembunyikan komentar yang tidak sengaja terlontar itu, Yuzuru merasa lega di dalam hatinya.


Setidaknya, Arisa tidak membenci Yuzuru atau memiliki rasa takut yang berlebihan terhadap kontak seksual.


"Ya, begitu ya. ......Malu ya. Iya, iya."


Yuzuru mengatakan itu seolah-olah dia bisa merasakan apa yang dirasakan Arisa.


Meskipun Yuzuru sendiri tidak sepenuhnya merasa tidak malu... tapi lebih dari itu, dia ingin berinteraksi lebih dekat dengan Arisa.


Namun, bukan maksud Yuzuru untuk memaksa Arisa dan melanggar kehendaknya dengan tergesa-gesa.


Jadi, Yuzuru menunjukkan empati kepada Arisa, agar Arisa tidak merasa harus menunjukkan ketertarikan pada ciuman Yuzuru karena takut atau tidak ingin menyakiti perasaannya.


"Eh, aku tidak membencinya, lho? Hanya, itu... malu..."


Di satu sisi, Arisa berkata seperti itu seolah-olah dia sedang mencari alasan.


Ekspresinya seolah-olah dia sedang mencoba menilai suasana hati Yuzuru.


Di dalam mata hijau zamrudnya, terlihat warna ketakutan dan kecemasan.


"Iya, aku tahu. Tidak apa-apa kok."


Untuk menghilangkan kecemasan Arisa, Yuzuru berkata dengan suara yang lembut.


Dan dia dengan lembut mengelus rambut Arisa.


Kemudian, seolah-olah merasa tenang, sorot matanya melembut. 


Arisa melonggarkan tenaga di tubuhnya dan bersandar ke dada Yuzuru.


"....Ayo kita maju pelan-pelan. Masih ada waktu kok"


"Iya"


Arisa memegang erat baju Yuzuru sambil menjawab dengan suara kecil.


Lalu dia menatap Yuzuru...


"Emm, latihan... boleh nggak?"


Dia mengajukan usul seperti itu. Yuzuru tanpa sengaja menanyakan kembali.


"...Latihan?"


"Iya"


Arisa dengan pipi memerah mengangguk kecil.


"Itu, kalau dari awal di bibir sih,itu... ah, malu sih..."


"Oh, begitu"


Yuzuru menggaruk pipinya sambil mengangguk. Lalu dalam hati bergumam sendiri.


(Ah, aku terlalu terburu-buru ya...)


Kalau dipikir-pikir lagi, biasanya orang mulai dari skinship yang lebih ringan dulu.


Kalau langsung mau ciuman, wajar aja kalo ditolak.


(TL/N : Ciuman sesama bibir/cipok, bukan ciuman biasa)


(Hmm,sepertinya aku salah ya... kurang santai...)


Dia berusaha untuk bertindak dengan santai, dan memang merasa sudah cukup santai...


Tapi sebenarnya tanpa dia sadari, dia sudah kehilangan kemampuan untuk berpikir dengan tenang.


Jadi intinya, dia melakukan gerakan pemula yang terlalu gegabah.


"Yuzuru-san? Ada apa?"


Arisa bertanya pada Yuzuru yang jadi diam.


Yuzuru kembali ke dirinya sendiri.


"Hmm, lagi mikirin... maksudmu latihan itu, spesifiknya seperti gimana?"


Yuzuru buru-buru menutupinya dengan alasan.


Di sisi lain, Arisa menjawab pertanyaan Yuzuru dengan suara kecil dengan pipinya yang masih merah.


"Um, itu... dari selain bibir dulu, mungkin..., pipi gitu"


Secara refleks, Yuzuru langsung melihat ke pipi Arisa.


Putih, lembut, halus. Pasti kalau disentuh, akan terasa empuk.


"Oh gitu. Ya udah... dari pipi dulu..."


Yuzuru mencoba sebisa mungkin untuk memeluk Arisa secara alami.


Arisa menerima itu dengan menutup matanya.


Dan...


"Ah, nggak jadi! Pipi juga nggak boleh!!"


Pada kata-kata Arisa seperti itu, Yuzuru berhenti bergerak.


Pipi yang hendak Yuzuru cium itu, sudah memerah.


Arisa dengan malu-malu memutar badannya, lalu dengan cepat melihat ke atas ke Yuzuru dengan ekspresi yang terkejut.


"Em itu, bukan... bukan berarti karena aku nggak mau ya..."


"Tenang, aku ngerti kok"


Yuzuru mengerti kalau Arisa hanya malu-malu saja.


...Kalau bukan karena itu, Yuzuru merasa tidak akan bisa pulih kepercayaan dirinya.


"Kalau bibir itu buat yang udah mahir, berarti pipi itu buat yang sedang ya"


"Ya, begitu. Kita kan masih pemula, jadi mari kita mulai dari yang buat pemula"


(TL/N : Aku mah masih pemula, ajarin dong puh sepuh :v)


Sebenarnya nggak tahu ada pemula atau mahir dalam hal ciuman...


Tapi antara Yuzuru dan Arisa, jadi seperti itu kesepakatannya.


"Tapi ciuman yang buat pemula itu... seperti gimana ya?"


"Itu... hmm..." 


Pipi dan bibir selain tempat ciuman, sepertinya Yuzuru sama Arisa yang kurang pengalaman cinta ini gak kepikiran deh.


Dua-duanya lagi pusing mikirin...


"Ah, gimana kalo seperti gini?"


Yuzuru dapet ide terus pelan-pelan megang tangan Arisa.


Arisa kelihatan bingung.


"Yuzuru-san?"


Yuzuru senyum ke Arisa, terus liatin tangan putih Arisa yang bersih itu.


Meskipun sering cuci piring atau kerjaan rumah lain, tangan Arisa tetep bersih, gak ada yang pecah-pecah.


Kukunya juga dipotong rapi dan kelihatan mengkilap.


Jarinya yang langsing bersih tanpa bulu halus sekalipun.


Di jari manisnya ada cincin perak yang Yuzuru kasih, kelihatan bersinar.


Kelihatan banget kalo dia rajin merawat tangannya.


Ke tangan putih Hijiri seperti salju itu...


"Ah..."


Yuzuru pelan-pelan mencium tangannya.


Arisa keluarkan suara kecil.


"Gimana?"


"Ini... oke kok"


Arisa sedikit mengalihkan wajahnya, sambil tangan satunya menahan dada, bilang gitu.


Terus pelan-pelan, liat ke Yuzuru.


"Itu... bisa minta lagi? Kali ini ganti posisi."


"Ganti posisi?"


Arisa mengangguk kecil, terus pelan-pelan berdiri.


Lalu tunjukin tangannya ke Yuzuru.


"Itu, aku selalu memimpikan hal seperti ini..."


"Ah... aku paham"


Yuzuru berdiri, menghadap Arisa.


Terus berlutut, lalu memegang tangan Arisa dengan lembut.


Dan mencium tangan putih Arisa lagi.


(TL/N : Cium tangan pose bangsawan)


"Gimana?"


Sambil bercanda, Yuzuru nanya.


"Keren banget"


Arisa dengan tangan satunya menahan dada, dengan ekspresi melayang, jawab gitu.


Matanya terlihat lemas, tubuhnya bergetar karena nikmat.


Yuzuru liatin Arisa seperti gitu, terus cium lagi.


"Nh..."


Arisa keluarkan nafas kecil, tubuhnya gemetar.


Kakinya bergetar, terus jatuh ke lantai.


Yuzuru pelan-pelan memeluk Arisa.


Menopang Arisa yang kelihatan lemas, pelan-pelan duduk.


Arisa duduk dengan kaki silang.


Kelihatan seperti kehilangan tenaga.


"Segitu enaknya?"


Yuzuru nanya ke Arisa yang menunduk dan bergetar.


Wajahnya tertutup rambut, jadi ekspresinya susah diliat, tapi telinganya merah banget.


"Iya"


Sambil menopang tubuh dengan tangan, Arisa jawab dengan nafas yang belum stabil.


Terus pelan-pelan mengangkat wajah.


"Nanti lagi ya, minta tolong"


"Oke... tapi sebelum itu, Arisa juga dong"


Yuzuru bilang sambil menunjuk tangan.


Terus Arisa mengangguk kecil, pelan-pelan megang tangan Yuzuru.


Dan pelan-pelan, dengan tubuh bergetar...


Pelan-pelan mencium.


"Gimana?" 


"Enggak buruk, sih. ...Kamu gimana?"


Yuzuru menjawab sambil merapatkan matanya.


Tapi, ya, gak sampe lemes seperti Arisa.


Gak buruk sih... tapi bukan berarti bagus, itu pendapat jujur dari Yuzuru.


"Aku juga... gak buruk."


Sepertinya beda dari yang diharapkan.


Arisa cenderung mencondongkan kepalanya seolah ingin mengatakan itu.


Rasanya beda antara dilakukan oleh orang dengan melakukan pada orang, tentu saja.


Untuk soal ciuman di punggung tangan, setidaknya Arisa suka jika dilakukan padanya, tapi dia sendiri gak suka melakukannya.


"Yah, mari kita latihan lebih banyak lagi."


"Iya... Baik, aku juga akan melatihnya."


Untuk sekarang, latihan ciuman diakhiri di sini.


Arisa sepertinya sudah mendapatkan kembali kekuatannya, dan dia berdiri tegak.


“Ngomong-ngomong, Yuzuru-san. Bukankah ini sudah memasuki musim bunga sakura?”


Secara tiba-tiba, Arisa mengubah topik. Yuzuru juga mengikutinya dengan memberikan respons.


"Yahh, sudah mulai mekar nih."


Mungkin butuh waktu sedikit lagi sampai puncaknya.


Tapi, bunga sakura sudah mulai bermekaran di sini-sana.


"Apakah kamu ingin melihat bunga sakura selama liburan musim semi?...Hanya kita berdua."


Ini adalah ajakan kencan yang jarang dari Arisa.


Dengan erat, Arisa mengepalkan kedua tangannya.


"Aku akan masak makanan yang enak loh."


"Itu sih bagus. Tapi..."


Yuzuru mengingat rencana liburan musim seminya dan menggaruk pipinya.


"Gak bisa ya?"


"Musim semi, rencananya... aku punya rencana pergi liburan keluarga ke luar negeri."


Setiap tahun, saat liburan musim semi, pergi liburan keluarga ke luar negeri adalah tradisi keluarga Takasegawa.


Karena tiket pesawat dan hotel sudah diatur, gak mungkin untuk dibatalkan.


Selain itu, waktunya bersama Arisa penting, tapi waktu bersama keluarga juga gak bisa diabaikan.


"Oh, ya... Kalau gitu, ya sudahlah ya..."


Dengan lesu, Arisa menurunkan bahunya.


Sebenarnya, Yuzuru berniat untuk mengungkapkan bahwa dia memiliki rencana di liburan musim semi dan tidak bisa kencan...


Tapi, karena dia harus menolak ajakan Arisa, dia merasa sedikit bersalah telah menyakiti perasaannya.


"Tapi, bukan berarti selama liburan musim semi... mungkin di awal atau akhir, aku bisa kosongkan waktu."


"…Tidak, mungkin kamu butuh waktu untuk persiapan, kan? Setelah kembali, pasti kamu akan lelah. Aku gak bisa ngajak kamu dengan paksa."


Arisa berkata sambil menggelengkan kepalanya.


Meski itu karena dia memperhatikan Yuzuru, tapi Yuzuru sendiri sedikit kecewa karena dia ingin kencan bunga sakura dengan Arisa.


"Ah, tapi kencan bunga sakura sih gak begitu..."


"Mari kita lakukan di bulan April. Setelah Yuzuru-san kembali. Dalam kondisi terbaik."


Yuzuru setuju dengan usulan Arisa.


"Iya, itu lebih baik."


Bunga Sakura gak akan lari kemana-mana... 


Jadi, bukan berarti ga bisa, meski ada batas waktu, bukan berarti cuma bisa kencan bunga pas liburan musim semi doang.


"Ngomong-ngomong, liburan... ya? Kemana?"


"Kali ini ke New Caledonia."


"…Wah, itu Prancis kan ya?"


"Ya, kira-kira… Meskipun kalo dikatain liburan ke Prancis sih agak gimana gitu."


New Caledonia itu wilayah jajahan Prancis yang ada di Melanesia.


"…Yah, aku bakal kesepian nih. Bisa ga nanti sesekali kamu nelpon aku? Sebentar aja."


Mendengar permintaan manis dari Arisa, Yuzuru langsung mengangguk.


"Oke. …Aku juga pasti bakal kesepian sih. Lagian aku juga pengen denger suara kamu."


"Hehe…"


Mendengar kata-kata Yuzuru, Arisa tersenyum kecil.


Lalu, mereka mengulurkan jari kelingking.


"Janji, ya."


"Ya, janji."


Perlahan, Yuzuru dan Arisa merentangkan jari mereka.



__--__--__



"Heii, Nii-san! Gimana, cocok ga?"


Di depan Yuzuru, sambil melepas rash akurd dan berputar di tempat, seorang gadis dengan rambut hitam yang indah dan mata biru yang jernih.


Dia memakai bikini pink yang imut dengan kain yang dililitkan.


Bertanya kepada Yuzuru adalah adik perempuannya yang bulan depan akan jadi siswa kelas 3 SMP, Ayumi Takasegawa, yang terlihat lebih berkembang dari yang dia ingat.


"Iya, cocok kok," kata Yuzuru dengan senyum sopan.


Mendengar jawaban setengah tulus dan setengah sopan dari Yuzuru, Ayumi menutupi tubuhnya dengan kedua tangan.


"Eii, Nii-san

 hentai!"


"Jadi ga cocok dong."


"Eee, Nii-san kejam!"


"Lalu, aku harus ngomong apa dong?"


"Ahahaha!"


Entah kenapa, Ayumi tertawa terbahak-bahak.


Suasana resort membuatnya merasa sangat senang.


Yuzuru merasa dia masih anak-anak di bagian ini, meskipun dia sendiri tidak bisa mengatakan itu tentang dirinya sendiri.


...Karena Yuzuru tidak cukup merasa baik untuk menemani Ayumi yang sangat bersemangat itu.


"Bagus deh cuacanya cerah."


"Iya nih."


Yuzuru dan Ayumi mengarahkan pandangan mereka ke laut yang indah di depan mereka. 


Tidak usah dijelasin juga udah ketebak.


Seperti gambaran, ini tempat liburan tropis gitu deh.


"Di Jepang masih dingin sih... Gak pengen pulang ah—"


"Ngomongnya aja gitu. Paling juga, seminggu lagi langsung bilang pengen cepet balik ke Jepang kan? Kamu kan selalu gitu."


"Kali ini beda!"


"Ya udah. Jangan ngambek kayak anak kecil lagi dong."


"Emang gak kecil lagi kok!"


Kata-kata Ayumi itu bukan bohong.


Paling nggak, tahun lalu dia gak bikin orang tuanya repot karena bilang "pengen pulang".


Tapi dua tahun lalu, dia bener-bener ngambek.


"Ahh... Iya deh"


Pengen pulang ke Jepang.


Dan, saat mereka ngomongin itu, Yuzuru tiba-tiba kepikiran...


Dia ngambil HP yang dimasukin di saku baju renangnya.


"Mau foto? Jarang banget."


"Aku mau kirim ke Arisa."


"Ahh—"


Ayumi ngeluarin suara yang sepertinya paham.


Ekspresi wajahnya campur aduk antara heran dan mengejek.


Yuzuru, sambil nyeringai melihat sikap Ayumi, mulai foto-foto.


Dan tiba-tiba...


"Eh, eh, Nii-san. Foto aku juga dong!"


Ayumi keluar sambil peace sign di depan HP.


Wajahnya berseri-seri senyum.


"Buat di-upload ke Ig nih."


"...Ya udah, tapi hati-hati sama info pribadi ya."


"Tau kok, tau kok."


Klik, klik, Yuzuru mengambil foto.


Awalnya cuma peace sign, tapi Ayumi, mungkin karena udah semangat, mulai pose berani seperti model.


"Nii-san, gimana? Seksi gak?"


"Iya, seksi, seksi."


"Emang beneran gitu?"


Dan, begitu terus mereka.


Terus Ayumi juga ngambil HPnya.


" Nii-san ayo, kita barengan foto."


"Gak masalah sih... Tapi jangan di-upload ke Ig ya. Aku gak gitu suka hal-hal begitu."


"Tau lah. Cuma mau nunjukin ke temen-temen kok."


"...Fotoku?"


"Seorang imouto yang kawai mau pamer Nii-sannya yang ganteng. Gak aneh kan?"


Dengan senyum licik, Ayumi berkata.


Ekspresinya beda dari senyum polos sebelumnya.


(Hah... Gitu ya)


Entah harus bilang seperti apa.


Tampaknya, gadis bernama Ayumi Takasegawa ini, di sekolahnya, sepertinya berkuasa sebagai ratu sekolah...


Sepertinya foto "kakak ganteng" itu jadi salah satu cara dia nunjukin kekuasaannya.


Asal dia gak bertingkah seperti villain di cerita romantis untuk gadis, Yuzuru sih gak banyak komentar.


Yuzuru akhirnya ikut foto selfie bareng Ayumi.


Dengan keahlian, Ayumi foto-foto.


"Iya, nanti juga foto sama Ayah dan Ibu ya..."


Ayumi mau mengajak orang tuanya juga, tapi langsung terdiam. 


Dia segera terdiam.


Jadi begini...


"Ah, kasihannya Kazuya-san jadi bergairah."


"Aku kan cuma oles-oles biasa? Yang salah itu kamu."


Di sana, ada Kazuya Takasegawa dan Sayori Takasegawa yang lagi asyik-asyiknya olesan minyak matahari.


Di bawah payung pantai, mereka berdua nggak peduli sama mata anak-anak meraka,dan asyik berduaan.


(Tapi, heran juga sih, di umur segitu masih berani pake bikini yang berani banget...)


Sayori, apalagi tahun lalu yang pake bikini lebih "sexy" dari Arisa, Yuzuru bingung harus heran atau harus kagum.


"...Jangan sampai kita mengganggu ya?"


"Ah, iya."


Untungnya, pantai itu lagi disewa jadi privat.


Kalau Yuzuru dan Ayumi nggak mengganggu, dunia mereka berdua nggak akan hancur.


Anak-anak udah nggak repot, orang tua mereka lagi nikmati musim semi kedua mereka tanpa diganggu.


"Kalo punya kita punya adik lagi, harta warisan bisa berkurang, jadi semoga jangan ya."


"Sepertinya nggak mungkin nambah lagi deh sekarang."


Yuzuru dan Ayumi menatap satu sama lain dan ketawa bareng.


__--__--__


"Kamu, gimana kalo balik aja? Udah malam juga loh."


Yuzuru ketawa kecut sambil liat adiknya, Ayumi, yang masih betah di kamar Yuzuru.


Keluarga Takasegawa nyewa tiga kamar di hotel.


Satu untuk pasangan Kazuya-Sayori, dan dua lainnya buat Yuzuru dan Ayumi.


Tapi, Ayumi, meskipun punya kamar sendiri, malah betah di kamar Yuzuru.


Dia bilang, nggak mau main game HP saat liburan. Itu alasan Ayumi.


Yuzuru sih ngerti perasaannya, jadi mereka main catur, shogi, poker, mahjong bersama.


Orang tua mereka, Kazuya dan Sayori, sibuk main di kasino, ninggalin dua anaknya.


Yuzuru dan Ayumi juga pengen ikut ke kasino... tapi ya, hukum nggak mengizinkan.


"Eeeh"


"Bukan eeeh. Kalo besok pagi nggak bisa bangun, jangan salahkan aku ya?"


Boleh aja santai di rumah.


Tapi sayang kan, waktu liburan berharga dihabiskan cuma gitu aja.


"Aku juga udah ngantuk sih."


"Yuk, satu lagi! Satu lagi!"


Ayumi ribut sambil pegang kartu mahjong.


Sampai sekarang, Yuzuru yang menang terus. Tapi, karena mereka nggak taruhan uang, menang-kalahnya juga nggak begitu berarti.


"Nanti lagi, aku janji mau telpon Arisa nih."


Akhirnya, Yuzuru pake alasan mau telpon Arisa buat ngusir adiknya.


Padahal, mereka memang janjian telpon, tapi nggak tentuin jam berapa.


Karena Jepang lebih lambat dua jam, telponnya agak malam juga nggak bakal ganggu Arisa.


"Ya udah deh..."


Sepertinya Ayumi juga nggak bisa banyak protes kalo udah denger nama Arisa.


Dia ngeluh sambil bahu mengkerut.


"...Sepertinya aku bakal punya keponakan juga dekat-dekat ini."


Itu kata-kata terakhir sebelum dia pergi.


Setelah memastikan Ayumi udah pergi, Yuzuru ngambil HP-nya.


Kata-kata tadi bohongan sih, tapi kalo dia telpon sekarang, bisa jadi beneran.


"Halo?"


"Hai, halo!"


Suara Arisa yang senang terdengar.


Yuzuru bisa bayangin dia senang banget di depan HP-nya.


"Gimana di sana?"


"Baru selesai mandi nih. Yuzuru-san gimana?" 


"Pas banget, karena aku mau tidur... aku pengen denger suara kamu," kata Yuzuru sambil tersenyum, dan Arisa juga tersenyum kecil.


"Aku udah liat fotonya loh. Keliatan hangat ya. Aku iri deh..."


Di Jepang bulan Maret, udah mulai agak hangat...... tapi masih dingin.


Tapi dibandingin sama disini, disini lebih hangat.


Tapi, kalo dibahas, sepertinya yang bikin Arisa bilang "iri" itu lebih ke arah pengen jalan-jalan gitu deh, daripada soal suhu. 


Dulu sewaktu masih kecil, sepertinya sering jalan-jalan, tapi sejak pindah ke rumah keluarga Amagi, belum pernah pergi lagi... Yuzuru pernah denger Arisa cerita gitu.


"Kalau gitu, nanti kalo ada kesempatan, kita pergi bareng yuk, ke pulau selatan."


"Eh, boleh ya?"


"Iya, tapi... mungkin susah selama masih SMA ya."


Kalo minta sama orang tua, mungkin tahun depan bisa ajak Arisa...


Tapi, kalo orang tua pengen liburan keluarga tanpa ada yang lain, Yuzuru juga gak bisa maksa.


"Anyway, nanti pas honeymoon pasti kita pergi ke suatu tempat, kan?"


"Ho, honeymoon... eh, tunggu, kayaknya itu masih kecepetan deh..."


Arisa suaranya naik karena gugup.


Iya sih, honeymoon masih jauh banget.


Tapi pasti suatu hari nanti bakal terjadi.


"Ya, iya deh. Daripada itu, lebih dulu ke laut atau apa kek."


"Iya, asik tuh, laut. Pengen pergi sama Yuzuru-san. ...Tapi seperti tahun lalu, ke kolam renang juga oke."


Tiba-tiba inget tahun lalu pernah pergi ke kolam renang sama Arisa.


Yuzuru jadi inget.


Waktu itu hubungan mereka belum se-erat sekarang.


...Kalo sekarang, mungkin bisa lebih menikmati.


"Eh, Yuzuru-san"


"Ada apa?"


"Itu, aku... gak terlalu bisa renang sih."


"Oh... iya, kamu pernah bilang gitu ya."


Gak bisa renang sejauh dua puluh lima meter.


Yuzuru inget Arisa pernah bilang gitu.


"Iya. Maksudku, buat main-main di kolam renang sih oke aja... Tapi, pas pelajaran..."


"Kalo mau, aku ajarin nih?"


Yuzuru menawarkan setelah ngerti maksud Arisa.


"Boleh?"


"Iya, gak masalah kok."


Sebenernya Yuzuru udah kepikiran mau ngajarin Arisa renang...


Itu udah terlintas di pikiran Yuzuru sejak musim panas tahun lalu.


Jadi buat Yuzuru, ini bukan masalah.


"Terima kasih! Jadi, janji ya?"


"Iya, janji."


Setelah janjian buat kencan selanjutnya, mereka nutup telepon.


__--__--__


Beberapa waktu berlalu...


Hari pertama sekolah setelah liburan musim semi.


"Selamat pagi, Yuzuru-san."


"Selamat pagi, Arisa."


Arisa datang menjemput Yuzuru ke apartemennya.


"Yuzuru-san... sepertinya kulitmu agak kecokelatan ya."


Ini pertama kali Yuzuru dan Arisa ketemu setelah Yuzuru pulang dari liburan.


Yuzuru sempet kirim beberapa foto dirinya ke Arisa, tapi sepertinya ada perbedaan antara foto dan aslinya.


"Ya... kan di negara tropis."


Meski bilang kecokelatan, cuma sedikit perubahannya yang bisa dilihat.


Bukan jadi hitam banget.


"Itu yang kamu pegang, jangan-jangan..." 


"Ah, ini oleh-olehnya. Aku pikir bakalan bagikan ini pas udah sampe sekolah. Nanti aku kasih kamu juga ya."


Begitu kata Yuzuru sambil angkat tas kertas yang dia pegang itu.


Itu oleh-oleh dari New Caledonia.


Lagipula, sebagai "keluarga Takasegawa", oleh-oleh buat orang-orang yang biasa "ngurusin" mereka dikirim lewat pos semua.


Yang Yuzuru pegang itu oleh-oleh pribadi buat Ayaya, Chiharu, dan lain-lain dari dia.


Ngomong-ngomong...


Yuzuru sekali lagi tersenyum ke Arisa.


"Seneng bisa ketemu kamu. Aku kangen banget."


Begitu kata Yuzuru, Arisa sedikit merah pipinya, trus ketok dada Yuzuru pelan.


"Udah deh, stop!"


"Kamu nggak gitu?"


Yuzuru nanya gitu ke Arisa yang malu-malu.


Trus Arisa sedikit menunduk dan jawab,


"Itu... ya, mungkin..."


Trus dia bicara nggak jelas.


Melihat Arisa begitu, Yuzuru lebarin tangannya.


"Boleh aku peluk?"


Trus Arisa kedip-kedip matanya yang warna zamrud itu beberapa kali.


Dan pipinya jadi warna merah muda.


Setelah liat sekeliling, pastiin nggak ada orang...


"Yuzuru-san..."


Arisa langsung loncat ke pelukan Yuzuru.


Yuzuru peluk dia erat-erat.


Rambut linen yang indah itu sedikit geli di hidung Yuzuru.


Ada wangi shampoo yang melayang.


Tubuh tunangannya itu sangat lembut dan hangat.


"...Aku kangen banget."


"Maaf ya."


Begitu, meskipun mereka cuma nggak ketemu beberapa minggu, mereka bertemu lagi seperti udah terpisah puluhan tahun.


__--__--__


"Hari ini kita akhirnya kita belajar sebagai siswa kelas 2 ya."


"Iya nih."


Sambil ngobrol hal yang nggak penting banget.


Mereka berjalan ke sekolah sambil gandengan tangan.


"Semoga kita satu kelas ya."


"Iya... Oh iya, ada pergantian kelas ya."


Diingatkan Arisa, Yuzuru baru sadar.


Naik kelas 2 berarti kelasnya diacak lagi.


Jadi, Yuzuru dan Arisa bisa jadi nggak satu kelas.


"Lupa ya?"


"Ah, nggak sih... Cuma nggak terlalu mikirin itu. Jadi agak deg-degan nih."


Tapi, walaupun nggak satu kelas, nggak berarti mereka jadi terpisah.


Toh, mereka nggak bisa ngobrol pas jam pelajaran...


Ngobrol pas istirahat, satu kelas atau nggak, nggak terlalu masalah.


"Doa pas tahun baru itu... Kalau ada efeknya, pasti kita satu kelas deh."


"...Iya nih. Doa kita berdua."


"Semoga tahun ini juga kita bisa terus bersama."


Begitu, mereka ingat mereka berdoa di kuil.


Nah, pas mereka sampai di sekolah.


Yuzuru dan Arisa ambil kertas yang dibagiin dekat kotak sepatu.


Ada detail pembagian kelas tahun ini.


Hasilnya... 


"Ah, sama ya."


"Sama nih."


Mereka satu kelas.


Leganya, Yuzuru dan Arisa bisa bernapas lega.


"...Ayaka-san, Chiharu-san, Tenka-san juga satu kelas ya."


"Souichirou dan Hijiri juga satu kelas, huh..."


Mereka mencari nama teman-teman dekat mereka dan menyadari.


Semuanya satu kelas.


"...Kebetulan ya?"


"Gimana ya? Kebetulan sih... tapi nggak yakin juga."


Meski begitu, nggak bisa juga langsung bilang itu hanya kebetulan.


Kalau dibilang mereka dikumpulin jadi satu kelas karena ribet, ya nggak salah juga sih.


"Yah, apapun itu nggak masalah. Ayo, Arisa."


"Iya, ayo."


Begitu masuk kelas, mereka langsung disapa oleh Ayaka yang sudah datang lebih dulu.


"Hai hai, Yuzuru sama Arisa-chan. ...Yuzuru, kamu kepanasan ya?"


"Ya begitulah."


Yuzuru menjawab santai, lalu mengeluarkan oleh-oleh dari tas kertas.


"Nih, silakan."


"Terima kasih. ...Hmm, coklat macadamia ya. Pilihan yang aman ya."


"Pengennya sih dibilang aman."


Lalu Yuzuru membagikan kotak coklat itu ke teman-temannya lainnya yang sudah datang, ChiHaru, Souichirou, Hijiri, Tenka.


Dan terakhir, dia memberikan kotak itu ke Arisa.


"Nih, Arisa."


"Terima kasih."


Arisa menerima kotak coklat itu dengan senang hati.


...Melihat dada yang sedikit tertekan oleh kotak itu, Yuzuru memalingkan pandangannya.


"Tapi macadamia ya... sama nih."


Sambil berkata begitu, Souichirou berdiri dan mengeluarkan kotak dari tas kertas yang dia bawa.


Lalu memberikannya ke Yuzuru dan Arisa.


"Terima kasih. ...Kamu juga ke Hawaii tahun ini?"


"Ya begitu."


Keluarga Satake biasanya pergi ke Hawaii setiap musim semi.


...Dengan anak sebanyak itu, pasti perjalanan yang ramai.


"Lalu ini, Yukishiro-san juga."


"Terima kasih."


Selanjutnya, Souichirou memberikan kotak itu ke Arisa.


Arisa, yang mengucapkan terima kasih... diperhatikan dengan serius oleh Souichirou.


"Ada apa?"


Arisa mencondongkan kepalanya dengan ekspresi bingung.


Souichirou bertanya padanya.


"Bolehkah aku memanggilmu Arisa-san mulai sekarang?"


"Ya, nggak masalah sih... tapi kenapa tiba-tiba?"


Arisa tampak bingung.


"Tidak, hanya... katanya Yukishiro-san akan menjadi Takasegawa-san, bukan?"


Mendengar kata-kata Souichirou, Arisa tampaknya tidak langsung mengerti.


Tapi, beberapa saat kemudian, wajahnya memerah.


"Itu... itu..."


"Kalau nama keluarganya akan berganti, mungkin lebih baik dari sekarang. ...Gimana?"


"Tolong! Tolong begitu saja!!"


Sambil mengangguk-angguk dengan gugup, Arisa berkata dengan semangat.


Lalu dengan suara kecil dia bergumam, "Arisa Takasegawa... Arisa Takasegawa..." sambil tersenyum lebar. 


...Tunangannya jadi anak yang sayang banget.


Yuzuru merasa campur aduk pas liat Arisa.


__--__--__


Malam hari pada hari pertama masuk sekolah


"Halo,?"

"Ah, Ayaka-san... Sekarang boleh nggak?"


Arisa nelpon Ayaka.


"Um? Yaudah, tapi... Ada apa?"


"Jadi gini... Yuzuru-san itu suka sama gadis tipe apa?"


"...Gadis pirang dengan dada besar dan cantik kali ya?"


"Eh, bukan... Bukan itu maksudnya..."


Arisa menyesal karena terlalu muter-muter.


"Jadi... Sepertinya dia suka gadis yang pemalu dan polos... Gitu deh, kayanya."


"Um, mungkin ya? Sebenernya, dia suka sifat Arisa-chan yang gitu, kan? ...Tapi kenapa?"


"Sebaliknya... Kalau terlalu pemalu gimana ya?"


"Gimana ya. Meskipun kita temen masa kecil, aku nggak terlalu tahu selera Yuzuru sih... Tapi, mungkin, kalau terlalu pemalu bisa bikin frustasi."


Kata-kata Ayaka bikin Arisa sedih.


"Gitulah... Ya kan?"


"Yah, tergantung sih... Ada apa?"


"Sebenarnya..."


Di situ, Arisa cerita tentang kejadian mereka—mereka coba ciuman tapi nggak jadi.


Waktu itu, dia terlalu malu sampai nggak bisa melakukan itu.


Untungnya, Yuzuru nggak terlalu peduli dan malah dukung Arisa buat terus maju pelan-pelan.


Meskipun mereka nggak bisa cium bibir atau pipi, tapi cium tangan masih bisa.


Makanya Arisa pikir semuanya lancar...


"Tapi, aku mikir... Apa Yuzuru-san juga pengen, dan... Aku khawatir dia kecewa atau dalam hati kesel gitu..."


"Mungkin anaknya Yuzuru yang kesel kali ya."


"Anaknya...? Eh, bukan... Bukan itu maksudnya..."


(TL/N : Ndk paham juga ama maksud “anaknya” soalnya di mtl machine gtu semua)


Begitu Arisa sadar apa maksud kata-kata Ayaka, mukanya langsung merah.


"Tau kok, tau kok. Cuma becanda."


Ayaka ketawa-ketiwi di seberang telpon.


Lalu, dengan suara serius, Ayaka bilang,


"Sebenarnya, Yuzuru dan Arisa-chan baru jadian... Sepertinya sebulan ya?"


"Eh, iya... Kurang lebih."


Secara praktis, mereka baru aja memulai hubungan sebagai sepasang kekasih baru-baru ini.


Sebelumnya, mereka cuma teman lawan jenis, dengan hubungan tunangan palsu.


"Yuzuru itu sabar kok. Aku pikir dia bakal nunggu."


"Benar ya...?"


"Khawatir?"


"Ya, agak..."


Arisa menghela napas kecil.


Intinya, Arisa khawatir dia terlalu pemalu sampai Yuzuru nggak suka.


Tentu saja, Arisa tau Yuzuru nggak mungkin benci sama dia hanya karena hal sepele begitu. 


Tapi, ceritanya beda lagi kalo mikirin sesuatu.


Mungkin aja dikit-dikit mikirin Arisa itu "Gadis yang ribet banget".


Kalo mikir gitu, Arisa jadi cemas dong.


"Yuzuru-san itu... kan cowok yang menarik ya, pasti banyak gadis yang pengen nikah sama dia... kalo misalnya, ada gadis yang lebih aktif dari aku..."


"Kamu takut dia direbut ya?"


"Iya. Tentu saja, aku tahu Yuzuru-san itu orang yang nggak akan selingkuh sih..."


Orang yang nggak akan melakukan hal yang nggak jujur seperti selingkuh.


Tapi, juga bukan orang yang mau nikah sama gadis yang nggak dia suka.


"Maaf ya. Aku... nggak bisa merasa mau nikah," katanya langsung.


"Hmm..."


Ayaka mikir sebentar sebelum menjawab.


"Kalo ngomongin serius, pertunangan yang udah maju sejauh ini, nggak gampang buat dibatalin."


Ayaka bilang dengan yakin.


"Itu karena... masalah kepercayaan ya?"


"Itu juga, dan... nggak mungkin ngecewain pendiri keluarga dan kepala keluarga sekarang. Plus, hubungan antar laki-laki dan perempuan itu gampang jadi skandal. Nama keluarga bisa tercemar."


"Iya ya..."


"Tapi, nggak ada yang mustahil juga sih. Kalo masih di tahap pertunangan, bisa dibalikin asal nggak peduli sama reputasi."


"Oh, begitu ya?"


"Iya, soalnya dalam hubungan manusia nggak ada yang absolut."


Kalo sekarang membatalkan pertunangan, bakal ada kerugian besar.


Tapi, mungkin lebih baik daripada ada masalah setelah nikah.


Kalo hubungan antara Yuzuru dan Arisa jadi buruk banget, "memotong kerugian" dengan membatalkan pertunangan nggak mustahil... kata Ayaka.


"Selain Arisa-chan, kalau ada calon tunangan lain..."


Ada di sekitar.


Tapi langsung berhenti ngomong.


Ngobrolin kemungkinan yang rendah atau hal-hal yang udah jadi masa lalu dan nggak berlaku lagi cuma bakal bikin Arisa cemas tanpa alasan.


Seperti mikirin kemungkinan batu besar dari langit jatuh ke bumi, sia-sia banget.


"Tapi, lihatnya dari sisi positif ya. Kalo Arisa-chann jadi benci sama Yuzuru, paling nggak bisa mutusin dia."


"Aku jadi benci sama Yuzuru-san itu, sejujurnya, sepertinya nggak mungkin sih..."


"Iya iya, tergila-gila banget. Sama seperti nggak mungkinnya Yuzuru benci sama Arisa-chan. Jadi, tenang aja."


"Benar ya? ...Iya sih! Yuzuru-san pasti suka banget sama aku!"


Dengan dukungan penuh dari hubungannya dengan Yuzuru, sepertinya dia jadi lebih semangat.


Arisa terlihat bahagia banget sambil "ehehehe..." tertawa.


Di ujung telepon, Ayaka dalam hati mikir (jangan ketawa dengan suara yang menjijikkan...)


"Tapi, kalo nggak bisa ciuman, ya udah suruh dia yang cium."


"......Apa maksudnya?"


Kata-kata Ayaka bikin Arisa bingung.


"Katakanlah kalo Yuzuru pengen cium Arisa-chan, sampe udah gak bisa nahan."


"Iya" 


Yuzuru mikirnya kebalikan, takut kalo dia ciuman paksa, Arisa bakal benci sama dia...


"Hmm..."


"Jadi kalo Arisa-chan bisa bikin suasana yang nyaman, Yuzuru bakal mikir, 'Ini kesempatan nih!' dan akhirnya nyium Arisa. Setelah itu, tinggal pasrah aja."


Arisa mengangguk-angguk ngerti.


Sejujurnya, dia sendiri rada ngeri kalo harus mulai ciuman sama Yuzuru. Takut dianggap nggak sopan, dan lebih dari itu, malu banget sampe badannya keras.


Tapi kalo Yuzuru yang mulai...


Arisa bisa pasrah aja.


(Pasrah...)


Begitu pikirannya sampai situ, Arisa ngerasa tubuhnya jadi panas.


Cuma mikirin jadi pasrah sama Yuzuru, udah bikin dia merinding.


"Arisa-chan? Dengerin nggak?"


"Eh, ah, iya. Ada apa?"


"Tadi kamu tiba-tiba diem, kirain sambungannya putus."


"Oh, nggak, nggak apa-apa. Cuma lagi mikir aja."


"Heh... Mikirin hal yang 'ehem' ya?"


Arisa ngerasa telinganya panas pas Ayaka ketawa dan nanya gitu.


"Itu, itu... bukan seperti itu!"


"Nggak usah teriak-teriak... Bener kan?"


"Bukan! Aku... itu... lagi mikir. Emm... gimana ya caranya yang bener..."


"Hmm..."


Ayaka mikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Arisa.


"Yang gampang dimengerti sih, seperti kontak fisik."


"...Pegangan tangan gitu?"


Kalo disuruh kontak fisik, itu yang kepikiran sama Arisa.


Sementara Ayaka malah keluar suara seperti kesel.


"Kita kan nggak di TK."


"Terus, harus gimana dong!"


"Kalo dalam batas yang bisa Arisa lakukan... mungkin bisa coba taruh kepala di bahu?"


"Seperti mengiringin kepala gitu ya?"


Arisa membayangkan dirinya menaruh kepala di bahu Yuzuru.


...dan lagi-lagi mukanya memerah.


"Iya, iya. Seperti numpang berat badan, bersandar gitu."


"Oke deh."


"Terus, bisa juga sambil bergandengan lengan... dan secara nggak langsung, dorong-dorong dada ke dia biar sempurna."


"Dada, ya..."


Arisa menelan ludah.


Nabrak-nabrak gitu mungkin oke kalo kejadian nggak sengaja, tapi kalo harus sengaja mendekatkan diri butuh keberanian.


"Kan kamu punya dada yang bagus. Lagian, Yuzuru kan suka dada Arisa-chan, kan?"


"Itu, mungkin... iya, sih..."


Memang Yuzuru sering keliatan ngelirik dada Arisa.


Yuzuru suka dada Arisa. Setidaknya, dia tertarik.


Nabrak-nabrak sengaja... mungkin bisa jadi cara yang manjur.


"Aku coba deh... pas kencan bunga nanti."


"Bagus. Kalo berhasil, kabarin ya."


Setelah itu ngobrol-ngobrol ringan, Arisa nutup telepon sama Ayaka.


Dan dia menggenggam tinjunya kecil. 


"Oke!"


Aku semangat kecil-kecilan.


__--__--__


Minggu


Yuzuru lagi nunggu di stasiun dengan pakaian santai aktif gitu.


Sambil sibuk cek jam, tiba-tiba...


"Yuzuru-san"


"Wah!"


Tiba-tiba aja bahu aku digrepe.


Kaget banget, Yuzuru langsung teriak kecil dan ngeliat ke belakang.


Di sana ada tunangannya yang muncul dengan senyum manis, "ehehe".


"Jangan bikin kaget dong. Aku kaget tau."


"Salah Yuzuru-san yang lengah."


Tapi si Arisa ini juga pake baju yang agak aktif seperti Yuzuru.


Bawahan jeans, terus atasan kaos sama cardigan.


Dan di jari manis tangan kirinya, ada cincin lamaran yang Yuzuru kasih dengan penuh perasaan berkilauan.


Kalo ke sekolah, mereka nggak pakai cincin itu.


…Maklum, pakai cincin lamaran mahal ke sekolah itu khawatir dari segi keamanan, dan lebih dari itu bakal heboh "dari siapa kamu dapat?"


Yuzuru dan Arisa udah dikenal sebagai pasangan kekasih, tapi kalo udah masuk ke hubungan tunangan itu cerita lain banget.


Lebih baik disembunyikan.


…Walaupun, ada juga yang udah tau.


"Jadi… salah yang lengah ya?"


Tiba-tiba, Yuzuru ada niat nakal dan pelan-pelan mengambil tangan kiri Arisa.


Arisa, mungkin mikirnya Yuzuru cuma mau gandengan tangan seperti biasa, kasih tangannya dengan alami.


…Tetapi itu salah.


Yuzuru mengangkat tangan Arisa pelan-pelan.


‘Eh? Bukannya kita mau gandengan tangan terus pergi kencan?’


Arisa dengan ekspresi seperti itu, tapi Yuzuru cuma tersenyum tipis…


"Ah…"


Ke punggung tangan itu.


Yuzuru pelan mengecup.


Arisa sedikit gemetar, kulit putihnya sedikit memerah.


Yuzuru tidak peduli, dan pelan mengecup lagi ke jari manisnya.


"Ngh…"


Arisa mengeluarkan suara lemas.


Dan mungkin karena kehilangan kekuatan, dia terjatuh lemas ke arah Yuzuru.


"Kamu baik-baik saja?"


"Di… di tempat umum seperti gini, tolong jangan…"


Arisa, yang dipeluk oleh Yuzuru, mengeluh dengan mata berkaca-kaca.


Minta tolong berhenti, tapi sepertinya dia nggak terlalu menolak.


Malahan, dari mata Yuzuru, dia kelihatan seperti mau dimanja.


"Salah kamu yang lengah. Iya kan?"


Yuzuru tersenyum nakal.


Lalu Arisa sedikit membengkakkan pipinya, menepuk dada Yuzuru.


"Dasar… bakaa!."


Dengan ekspresi lega, tapi entah kenapa kelihatan belum puas, sepertinya ada yang kurang, gitu dia bilang.


Nah, setelah itu mereka berdua pergi ke taman dekat stasiun.


Di taman yang lumayan luas itu, ada banyak bunga sakura yang lagi mekar dengan indah. 


Jadi, kali ini kencan kita nunggu-nunggu banget ya, kencan bunga sakura.


"Di bagian mana kita duduk?"


"Emm... sepertinya bagian itu bagus deh."


Untungnya, ada satu tempat yang keliatan oke dan lagi kosong.


Yuzuru langsung nyebarin tikar piknik yang dia bawa.


Yuzuru yang bawa tikar piknik dan minuman.


Sementara itu, tugas Arisa adalah...


"Semangat banget nih bikinnya."


Sambil senyum lebar, dia buka satu, dua, tiga kotak besar.


Arisa buka kotak demi kotak.


Isinya macem-macem, ada masakan Jepang, barat, Cina, onigiri yang imut, dan sandwich yang keliatan fancy banget.


"O, oh...?"


...Banyak amat.


Tanpa sadar hampir ngomong apa yang sebenernya dipikirin, tapi langsung disamarkan dengan kata-kata kagum.


"Sepertinya kebanyakan deh bikinnya."


Arisa cengar-cengir.


Beneran 'sedikit' kah itu?


"Ya udah... Kalau kebanyakan bisa dibawa pulang makan."


"Seneng deh kalau kamu bisa gitu. ...Sepertinya bisa tahan sampai makan malam hari ini atau sarapan besok deh."


Sepertinya dalam pikiran Arisa, Yuzuru yang harus ngabisin sisanya.


Tapi, bagi Yuzuru, bisa makan masakan Arisa buat makan malam atau sarapan itu malah jadi hal yang menyenangkan.


"Yaudah, ayo makan. Selamat makan."


"Selamat makan."


Yuzuru dan Arisa kompak doa sebelum makan.


Yuzuru langsung ambil sandwich, mikirnya makan yang gampang basi atau yang rasanya bakal berubah kalo dibekuin.


"Gimana? Enak?"


"Iya... Enak banget."


Kerenyahan lettuce dan timun, keasaman tomat yang segar, asinnya ham yang pas, dan roti yang lembut.


Dan saus yang dioles di roti itu, bikin semua bahan makanan jadi nyatu.


"...Sausnya, kamu ganti ya?"


Ini bukan pertama kali Yuzuru makan sandwich buatan Arisa.


Tapi, Yuzuru bisa ngerasa kalau ada perubahan di rasa sausnya.


"Iya. Coba ganti dikit. Gimana, enak gak?"


Keliatan Arisa seneng banget Yuzuru ngerasa ada perbedaan rasanya.


Dengan suara yang senang tapi sedikit khawatir, dia nanya.


"Kalau aku sih, lebih suka yang sekarang. Sedikit pedasnya itu, jadi poin plusnya."


"Itu sih bagus banget."


Arisa tersenyum bahagia.


Terus mereka mulai makan lauk-lauknya.


"Ebi chilli ini enak banget."


"Ayaka-san yang kasih saran."


"Em, hamburger ini, walaupun dingin tapi gak keras ya."


"Chiharu-san yang kasih tau caranya."


Sepertinya selama ini Arisa udah meningkatkan skill masaknya.


Karena udah lama gak ketemu, jadi Yuzuru makan dengan lahap.


Dan...


"Kira-kira bisa habis juga ya..." 


"Ya deh. ...Perutku udah penuh banget sih."


Kira-kira, dia berhasil ngabisin dua pertiga dari bento itu.


Sisanya bakal jadi makan malamnya Yuzuru hari ini.


"Makasih ya, Arisa. Enak banget. Sisanya aku bawa pulang aja."


"Iya. ...Maaf ya kalo kurang."


Setelah selesai makan, mereka berdua ngeliat pohon sakura lagi.


Tangan mereka, entah gimana, sudah saling nyatu.


"Cantik banget ya."


"Iya nih."


Setelah setuju sama gumaman Arisa, Yuzuru nengok ke Arisa yang duduk di sebelahnya.


Dan Arisa pun nengok balik ke Yuzuru.


Mata mereka ketemu gitu aja.


Tanpa sadar, mereka berdua tersenyum kecil.


"Ah... Aku ini orang yang beruntung banget ya. Bisa nikah sama orang yang cantik, imut, dan juga jago masak seperti ini."


Yuzuru ngomong dengan penuh perasaan, dan Arisa merona.


Trus dia mendekat sambil ngeliat Yuzuru dari bawah.


"Aku juga... bahagia."


Dia mendekat sampe bahu mereka bersentuhan.


Dan terus...


"Nh..."


Dengan lembut, dia meletakkan kepalanya di bahu Yuzuru.


Sepertinya dia nyerahin seluruh berat badannya ke Yuzuru.


Trus dengan malu-malu, dia menundukkan kepalanya sambil melilitkan tangannya ke lengan Yuzuru.


"Arisa...?"


Yuzuru bertanya, tapi Arisa nggak ngomong apa-apa.


Diam, tapi sepertinya dia menjawab pertanyaan Yuzuru dengan mendekatkan badannya lebih lagi.


Lengan Yuzuru disentuh oleh dada lembutnya Arisa.


"..."


Yuzuru juga, tanpa kata, melingkarkan tangannya ke bahu Arisa, dan dengan lembut, menariknya mendekat.


Trus dia menundukkan pandangannya ke Arisa.


Arisa... sambil memerah sampai ke telinganya, malu-malu menunduk.


Tapi bukan mukanya yang terlihat...


Tulang selangka yang putih, lekukan yang menarik, dan... sedikit kain putih yang bersih terlihat.


(Ini mungkin...)


Coba dia menyentuh rambut indah berwarna linen itu.


Dan...


"Nh..."


Arisa mengeluarkan suara kecil.


Tapi dia sama sekali nggak menolak, biarkan aja terjadi.


(...Oke)


Dalam hati, Yuzuru memutuskan...


Dan dengan lembut mengambil tangan Arisa, dan mencium punggung tangannya.


Dan benar saja, tubuh Arisa bergetar.


"Suka?"


"Ya, ya..."


Arisa bergidik kecil.


Jelas dia suka dicium di punggung tangannya.


Sepertinya dia udah lemes banget.


Arisa serahkan seluruh badannya ke Yuzuru.


Yuzuru mendukung Arisa yang lemas dengan lembut, sambil mengusap rambut indahnya.


Rambut yang halus dan lembut itu berkilauan di bawah sinar matahari.


Rambut yang Hijiri dan misterius itu, seperti dewa, jatuh dari tangan Yuzuru.


Yuzuru mengambil rambut Arisa itu, dan mendekatkan ke hidungnya.


Dia menghirup.


Wangi shampoo dan conditioner yang lembut, menembus hidungnya.


"Yu, Yuzuru-san...?" 


"Bagaimana dengan ini?"


Bisiknya pelan di telingaku.


Yuzuru mencium rambut bersih Arisa dengan lembut.


Dengan lembut, dia menggigit rambutnya dengan bibirnya.


"Ah... Aah..."


Napas panas jatuh dari bibir yang berkilau.


Ketika Yuzuru perlahan menggenggam tangannya, Arisa membalas dengan erat.


Dengan satu tangan, Arisa menarik pakaian Yuzuru seolah-olah dia bergantung padanya.


Sementara itu, Yuzuru memasukkan jari-jarinya ke dalam rambut Arisa, mendekatkannya ke arahnya.


Tanpa sadar, Arisa menempelkan wajahnya ke dada Yuzuru, dan Yuzuru memeluknya dari depan.


"Aku cinta kamu"


"... Aku juga"


Perlahan, secara alami, sedikit demi sedikit, langkah demi langkah.


Yuzuru menurunkan bibirnya dari rambut Arisa ke telinganya.


Dengan erat, Arisa memeluk Yuzuru seolah-olah dia bergantung padanya.


Dan Yuzuru mencium pipi Arisa yang gemetar.


"Yu, Yuzuru-san..."


Dengan mata sedikit memerah, Arisa menatap ke atas pada Yuzuru.


Dan perlahan mendekatkan wajahnya ke Yuzuru.


Bibirnya yang lembab dan berkilau.


Ditekan dengan ringan ke pipi Yuzuru.


Mata biru dan mata hijau bertemu.


Yuzuru mendekatkan bibirnya ke bibir Arisa...


Dengan tiba-tiba, Arisa mendorong dada Yuzuru dan menghentikan gerakannya.


Ketika Yuzuru kembali ke akal sehatnya, Arisa bergetar dengan wajahnya yang sangat merah.

(TL/N : Cabul banget woilah, di tempat umum pulak)

"... Kamu tidak suka?"


Ketika Yuzuru bertanya, Arisa menggelengkan kepalanya dengan lembut.


"Bukan... bukan itu, tapi"


Arisa mengalihkan wajahnya dari Yuzuru.


Dan hati-hati melihat sekeliling.


"Itu, di sini... di luar..."


"Eh? Ah, aah..."


Yuzuru menggaruk pipinya setelah itu dikatakan.


Dia sepenuhnya lupa bahwa mereka berada di tempat umum.


Melihat sekeliling, beberapa orang menghindari pandangan mereka.


Tampaknya mereka dilihat.


"Maafkan aku"


"Tidak... aku juga, sampai setengah jalan aku lupa"


Telinga Arisa memerah saat dia berkata itu.


Mereka berada di taman, di luar, di tempat umum.


Kecuali itu, tampaknya apa yang dilakukan Yuzuru tidak sepenuhnya salah.


Setidaknya sampai saat itu, Arisa tampaknya bersedia.


(Ah, aku jadi panik)


Lagi-lagi gagal.


...Sebenarnya, meskipun Yuzuru berusaha keras untuk memimpin Arisa dengan wajah yang tak berdosa, dia juga masih pemula dalam hal wanita, hanya memiliki pengalaman dengan Arisa.


Ini tidak bisa dihindari.


"Yuzuru-san. ...Yuzuru-san?"


"Eh? Ah... maaf, Arisa. Ada apa?"


Setelah dipanggil namanya oleh Arisa, Yuzuru akhirnya kembali ke akal sehatnya.


Sementara itu, Arisa masih memerah dan menarik-narik pakaian Yuzuru.


"Ayo, kita segera pergi?"


Rupanya, Arisa ingin segera meninggalkan tempat itu.


... Tampaknya dia merasa sangat malu.


Dan Yuzuru setuju dengan itu.


"Iya. ...Ya, ayo pergi" 


Yuzuru dan Arisa langsung mulai bersiap-siap untuk pulang.


(Di akhir, gak terlalu menikmati sakura ya)


Di jalan pulang.


Sambil berjalan pulang bersama, Yuzuru mengeluh dalam hati.


Tapi, dia bisa menikmati makanan enak dan Arisa yang imut.


Dari pada bunga, lebih suka dango.


Dari pada dango, lebih suka Arisa.


Di sisi lain, Arisa itu...


"......"


Mungkin karena malu dengan apa yang baru terjadi, dia terus diam saja.


Pipinya masih sedikit merah.


Tapi sepertinya dia gak marah, dan Arisa yang malu-malu juga imut.


Yuzuru pikir, mungkin dia akan kembali seperti semula setelah waktu berlalu, jadi dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya.


Nah, sambil mereka berjalan seperti itu...


"Oh"


"Wah"


"Wow"


Yuzuru bertemu dengan temannya, Hijiri.


Ada tas belanjaan di keranjang sepedanya.


"Ngomong-ngomong, rumahmu di daerah sini ya"


"Iya... Kalian lagi kencan ya?"


"Kira-kira begitu"


Sepertinya Hijiri baru pulang dari belanja.


Dari dalam tas, terlihat kantong snack dan coklat.


"Hmm hmm..."


Hijiri tampak berpikir sambil menempelkan tangan di dagunya.


Lalu dia menawarkan sesuatu kepada Yuzuru dan Arisa.


"Kalau gak mengganggu, mau mampir gak? Aku bisa sediain teh kok"


Ternyata sudah lama Yuzuru gak ke rumah Hijiri.


Setiap tahun, termasuk Hijiri, keluarga Zenji datang ke rumah keluarga Takasegawa untuk menyapa... tapi Yuzuru jarang yang datang ke sana.


Mungkin ini kesempatan yang bagus.


Dan...


"Gimana? Arisa"


Arisa belum pernah mengunjungi rumah keluarga Zenji.


Karena dia akan menikah ke keluarga Takasegawa, mungkin baik juga untuk menunjukkan mukanya di rumah keluarga Zenji sekali.


...Tentu saja, jika Arisa lebih ingin berkonsentrasi pada kencan mereka, Yuzuru tidak akan memaksanya.


Karena masih banyak kesempatan untuk berkunjung nanti.


Nah, ketika Yuzuru bertanya, Arisa mengangguk pelan.


"Ya, aku akan menerima tawaran itu"


Jadi, mereka tiba-tiba mampir ke rumah keluarga Zenji.


Rumah Hijiri Zenji berdiri di atas bukit kecil.


Bukit itu sendiri adalah properti pribadi keluarganya.


Di sekeliling bukit, ada kawat berduri yang dipasang, jadi satu-satunya pintu masuk adalah pintu depan yang terhubung dengan tangga batu panjang.


Saat naik tangga itu, sebuah pintu besar yang mirip dengan gerbang kuil menunggu di depan.


"Wah... Gimana ya, mirip sama rumah Yuzuru-san ya"


"Tidak sebesar rumah tunanganmu sih, dan banyak orang tinggal di sana. Jadi jangan terlalu berharap"


Mendengar komentar Arisa, Hijiri hanya bisa tersenyum pahit.


Selain itu, kemiripan antara rumah keluarga Zenji dan keluarga Takasegawa bukanlah kebetulan.


Karena rumah keluarga Zenji dibangun oleh buyut Hijiri yang terinspirasi dari rumah keluarga Takasegawa.


Lalu dengan Hijiri di depan, Yuzuru dan yang lainnya masuk melalui pintu kecil di samping gerbang utama. 


Pas masuk, ada Pria berbaju hitam, botak, dan pake kacamata hitam yang bener-bener keliatan nungguin.


Pria itu sedikit membungkuk ke arah Hijiri.


"Selamat datang kembali. Yang di belakang itu Takasegawa-san dan..."


Lewat kacamata hitamnya, cowok itu menangkap pandangan ke Yuzuru dan Arisa.


Arisa sedikit ketakutan dan nyenggol lengan baju Yuzuru.


"Yuzuru Takasegawa dan tunangannya, Arisa Yukishiro."


"Oh begitu. ...Mohon maaf atas kesalahpahaman."


Pria itu membungkuk dalam.


Sementara itu, Hijiri mengangguk kecil dan berbalik ke arah Yuzuru dan Arisa.


"Ayo, masuk."


"Iya."


"Y-ya."


Mengikuti Hijiri, Yuzuru dan Arisa juga masuk ke dalam rumah.


Begitu masuk, perbedaan besar antara rumah Takasegawa dan rumah Zenji langsung kelihatan.


Jumlah orang di dalamnya beda banget.


Rumah Takasegawa cuma ada anggota keluarga Takasegawa dan pelayan yang paling dasar.


Sementara itu, rumah Zenji dipenuhi banyak orang—dan tampangnya agak seram—kerja di situ.


"...Cukup serius ya."


Arisa ngomong dengan kesan yang susah dijelaskan.


Di sisi lain, Yuzuru menggenggam tangan Arisa dengan kuat.


Nah, setelah Hijiri berjalan sebentar di dalam rumah, dia membuka salah satu pintu geser.


Itu adalah ruangan tatami yang terlihat berkelas.


"Ini ruang tamunya. Silakan, santai saja."


Diperintah begitu, Yuzuru dan Arisa masuk ke ruangan tatami dan duduk di bantal duduk.


Hijiri duduk menghadap mereka.


Tidak lama kemudian, Pria berbaju hitam datang lagi bawa teh dan kue Jepang.


Yuzuru mengambil cangkir dan minum tehnya, sementara Arisa juga pelan-pelan minum tehnya.


"Berapa tahun ya sejak Yuzuru terakhir kali datang kesini?"


"Hmm, mungkin sejak SD?"


Setelah masuk SMP, mereka berhenti main ke rumah teman dan lebih sering hang out di kafe atau restoran cepat saji buat main game atau belajar.


"Bagaimana, setelah lama nggak kesini?"


"Masih sama sih... hmm, tapi ada yang berubah juga."


"Oh, bagian mana?"


"...Banyak orang asing, ya?"


"Kamu peka juga ya."


Sepertinya rumah Zenji sudah kena gelombang globasi.


Nah, setelah suasana agak hangat, Arisa mulai bertanya.


"Takasegawa dan Zenji... kalau nggak salah, keluarganya udah kenal dari dulu ya?"


Tentu saja, yang dimaksud "Takasegawa " dan "Zenji " di sini bukan Yuzuru dan Hijiri, tapi antara keluarga mereka.


Mendengar pertanyaan Arisa, Hijiri menjawab.


"Hubungan antara keluarga kita dan Takasegawa dimulai dari kakek buyut kita. ...Dulu, ya, kita semacam bodyguard gitu. Sekarang sih... lebih ke banyak bisnis."


Misalnya, tempat hiburan umum tempat Yuzuru dan Arisa kencan dulu.


Tempat itu sebagian didanai oleh Zenji, dan mereka juga terlibat dalam manajemennya.


Lebih ke bisnis yang dekat dengan komunitas lokal.


"...Ternyata bisnisnya cukup bener ya."


Arisa berbisik, dan Hijiri hanya bisa tersenyum pahit.


"...Kalau nggak bener, kan bisa masuk penjara."


"Iya juga ya."


Nah, sambil ngobrol-ngobrol dan minum teh...


Tamu lainnya membuka pintu geser dan muncul.


"Lama tidak bertemu ya, Yuzuru-kun." 


Ada seorang kakek yang pendek dan berjenggot putih di dagunya.


Dia pakai kimono dan karena kakinya yang kurang baik, dia berjalan dengan tongkat.


Hanya matanya yang terlihat sangat tajam.


Kiyoshi Zenji.


Dia adalah ketua saat ini dari keluarga "Zenji".


"Ini Kiyoshi -san. Lama tak jumpa."


Walaupun merasa buruk telah membuat kakek yang kakinya tidak baik itu datang, ketika Yuzuru mencoba berdiri, kakek itu menggelengkan kepalanya.


"Tidak, tidak apa-apa. Duduk saja."


Dan, sebelum mereka sadari, Kiyoshi dengan bantuan tangan Hijiri yang berlari ke sampingnya, duduk dengan berat di atas bantal duduk.


Kemudian, dia menatap tajam ke arah Arisa.


Arisa menegakkan punggungnya.


"Senang bertemu dengan Anda. Saya Arisa Yukishiro, teman sekelas Hijiri-san. Terima kasih sudah mengundang saya hari ini."


"Hmm hmm... Arisa Yukishiro. Oh, jadi kamu tunangan Yuzuru-kun."


"Ah, ya. Begitu... Saya tunangan Yuzuru-san."


Kata Arisa sambil sedikit malu-malu memerah pipinya.


Melihat gestur Arisa itu, Kiyoshi tersenyum sedikit.


"HAHAHAHA, kamu gadis yang sangat manis, Arisa-dono."


"Ya. Dia wanita yang lebih dari yang aku pantas."


Dengan mengatakan itu, Yuzuru memegang tangan Arisa erat-erat.


Di sisi lain, Arisa berkata, "Eh, tunggu sebentar..." dengan suara yang bingung.


Melihat kedekatan mereka yang begitu hangat, Kiyoshi menyipitkan matanya.


"Bagus, bagus... Tapi, aku iri pada Pak tua Takasegawa. Aku ingin cucuku juga cepat-cepat punya pacar satu atau dua, biar aku bisa tenang."


"Kalau punya dua itu kan tidak boleh..."


Hijiri dengan tenang menanggapi kata-kata Kiyoshi.


Kiyoshi mengabaikan cucunya itu dan lagi-lagi memindahkan tatapannya ke Arisa.


"Sebagai calon nyonya Takasegawa di masa depan, seharusnya aku yang datang mengucapkan salam... Tahun baru nanti, aku akan datang menyampaikan salam."


"Eh, tidak, itu... Anda tidak perlu repot..."


Di sisi lain, Arisa menunjukkan ekspresi kebingungan.


Dia lebih tua, jauh lebih tua.


Lagi pula, dia adalah kepala dari sebuah keluarga atau organisasi yang bernama Zenji, tentu saja wajar jika dia menunjukkan sikap rendah hati kepada Arisa.


Menurut urutan senioritas, wajar jika Arisa yang rendah hati, bukan orang tua di depannya.


(...Bagaimana ya jawaban yang tepat?)


Menurut pandangan umum, seharusnya Arisa yang "lebih rendah" posisinya, jadi dia harusnya yang rendah hati.


Tapi... apakah pandangan umum seperti itu berlaku di sini?


(Aku ini... tunangan Yuzuru-san, dan... Takasegawa lebih tinggi dari Zenji, sepertinya... kalau aku terlalu rendah hati, mungkin posisi Yuzuru-san bisa jadi...)


Dalam sekejap, kekhawatiran dan ketidakpastian seperti itu melintas di pikirannya.


Tapi, tidak mungkin dia tidak menjawab sama sekali.


"Ya. Tahun baru nanti... saya bersama ayah saya akan datang ke rumah Takasegawa untuk menerima salam. Saya berharap bisa bertemu lagi saat itu."


Ketika Arisa menjawab dengan suara yang jelas, Kiyoshi mengangguk kecil, "Hmm."


"Baiklah. Aku tunggu saat itu."


Kata-katanya terdengar seolah-olah dia sangat menikmati situasi itu.


Di sisi lain, Yuzuru mengerutkan kening. 


"Kiyoshi-san... tolong jangan buat masalah sama tunangan orang ya."


"Kakek... nggak keren lho kalo orang tua-tua main-main sama gadis muda."


Hijiri juga mengomel ke Kiyoshi dengan nada keras.


Terus, Kiyoshi sengaja megang jenggotnya.


"Ah, apa ya...?"


Begitu dia bilang sambil pura-pura bingung.


Kalau udah seperti gini, Arisa juga jadi sadar.


Dia diuji.


Jantung Arisa berdegup kencang karena tegang.


"Maaf ya, tapi anak dan cucu aku lagi nggak ada di rumah. Tapi... kalau bisa ketemu di tahun baru, nggak masalah sih."


Kiyoshi coba mengalihkan pembicaraan sambil menatap Yuzuru dengan serius.


"Tapi ya... waktu itu cepet banget ya. Sepertinya baru kemarin aku ngerayain pernikahan Kazuya dan Sayori. Anak mereka sekarang udah punya tunangan... beberapa tahun lagi bakal punya keluarga sendiri. Makanya aku juga jadi tua."


Dia ngomong dengan nada yang seperti lagi mengenang.


Tapi matanya masih terus berbinar.


"Perubahan di beberapa dekade ini bener-bener cepet. Banyak hal berubah dengan cepat. Zenji, Takasegawa juga. Misalnya, Takasegawa dengan Uenishi yang jadi penerus belajar di sekolah yang sama, dulu nggak pernah kepikiran."


Dia ngomong dengan perasaan seperti lagi kangen masa lalu.


Dan sepertinya dia terkejut dan sedih dengan perubahan zaman.


"Tapi ada yang nggak berubah. Seperti... misalnya persahabatan. Uang bisa putusin hubungan, tapi persahabatan yang kuat nggak bisa dibeli dengan uang. Kamu nggak setuju?"


Itu sama persis dengan apa yang Kazuya bilang ke Yuzuru.


Tapi ini bukan hal yang mengejutkan.


Mungkin itu kata-kata yang dibilang oleh buyut Yuzuru, dan itu diwariskan ke Takasegawa dan Zenji.


"Iya... Ayah juga bilang gitu. Aku juga setuju. Aku pengen tetap berteman baik dengan Hijiri."


Yuzuru menjawab dan Kiyoshi keliatan puas.


"Wow, Kazuya juga bilang begitu. Itu bagus. Apapun yang terjadi antara Takasegawa dan Zenji, aku harap cucu-cucuku bisa terus berteman baik."


Kiyoshi berharap Yuzuru dan teman-temannya tetap berteman baik.


Yuzuru mengangguk besar.


Setelah berpikir sebentar, dia bilang dengan suara tenang dan senyuman lembut.


"Tentu saja. Zenji adalah sahabat Takasegawa. Itu tidak akan berubah meski ganti generasi. Aku pengen melanjutkan keinginan buyutku."


Hubungan antara "Takasegawa" dan "Zenji" tidak akan berubah.


Itu yang dia tegaskan.


Nah, sepertinya udah waktunya Yuzuru dan Arisa pamit karena nggak enak udah lama di rumah keluarga Zenji. 


Sambil turun tangga batu, Hijiri menggaruk kepalanya.


"Ah, maaf ya. Aku kira si kakek lagi ga ada di rumah."


Sebenarnya, Hijiri mau banget ngajak Yuzuru sama Arisa ke rumah, traktir minum teh, terus suruh mereka pulang.


Kemunculan Kiyoshi Zenji itu di luar dugaan.


"Gadis muda datang, jadi sepertinya dia jadi semangat gitu... maaf ya, Yukishiro-san."


Hijiri bilang gitu sambil minta maaf ke Arisa.


Sementara itu, Arisa cuma bisa tersenyum pahit.


"Enggak apa-apa kok. ...Sepertinya banyak banget ya, masalahnya."


Arisa ga ngerti maksud percakapan terakhir antara Yuzuru dan Kiyoshi.


Tapi, dia bisa merasakan ada maksud tersembunyi di balik itu.


"Ah, apa ya. Ga usah terlalu serius sih. ...Bukan seperti kita lagi merekam atau apa."


Yuzuru bilang gitu sambil angkat bahu.


"Hah... Aku sih ga suka main-main tebak-tebakan otak gitu. ...Apalagi sama teman."


Hijiri bilang gitu sambil miringin kepala.


Yuzuru cuma bisa senyum kecil.


"Aku setuju. Aku pengen baik-baik aja sama kamu."


Tapi, saat ini masih belum jelas apakah Hijiri bakal jadi penerus atau enggak.


Kiyoshi sengaja menyebut mereka "cucu" karena itu.


Yuzuru merasa lebih gampang berurusan dengan paman atau sepupu Hijiri. ...Bisa lebih netral tanpa campur tangan pribadi.


Dan begitu mereka turun dari gunung.


"Sampai sini aja cukup."


"Terima kasih ya hari ini."


"Oke, sampai jumpa."


Hijiri berpisah dengan mereka berdua.


Udah sore, langit mulai berwarna merah senja.


"...Emm, Yuzuru-san"


"Ada apa?"


"Jawabanku tadi... itu udah oke belum?"


Yuzuru mikir sebentar sebelum menjawab.


"Hmm, ya... Sebenernya, itu cuma mau tau gimana sih karakter Arisa, seberapa jauh dia tahu tentang hubungan Takasegawa dan Zenji, dan bagaimana kamu memandang itu."


Kiyoshi tanya itu bukan buat bikin Arisa bingung.


Jadi, ga mungkin Kiyoshi bakal keberatan dengan jawaban Arisa. Lagipula, ga mungkin dia bawa-bawa itu ke hubungan antara Takasegawa dan Zenji, atau antar keluarga Amagi.


Tapi...


"Kamu ga bilang kalau kamu yang harusnya datang menyapa duluan, itu sebenernya ga buruk buat posisi Takasegawa. Kamu menunjukkan kalau Takasegawa lebih atas dari Zenji. Itu udah cukup."


Harus jelasin mana yang lebih tinggi.


Misalnya, ya... seperti waktu itu anak keluarga Amagi, itu ga boleh terjadi.


"...Jadi seharusnya aku lebih sombong gitu?"


"Ah... itu juga, kurang pas sih."


Datang buat salam itu kurang bagus. 


Tapi, bilang nungguin orang datang buat sapaan itu sepertinya terlalu sombong.


Jadi, jawabannya "Aku juga bakal mampir ke tempat Takasegawa untuk sapaan, senang rasanya kalau bisa ketemu pas itu" itu pas banget.


Gak ada yang aneh sama Arisa yang mau sapa Takasegawa.


"Hmm, susah ya"


Arisa bilang gitu dengan nada yang gak yakin dan keliatan cemas.


Kalau harus ngadepin orang penting terus dan harus ngomong seperti itu, bisa-bisa jadi gak pede.


Lagian, ini beda sama tes sekolah yang ada jawaban benernya, dan ini tiba-tiba.


"Ngomong-ngomong, Arisa... gak semua orang bakal minta hal ribet seperti itu kok."


"…Beneran?"


"Ya, tergantung orang sih. Ada yang gak suka hal ribet dan membingungkan gitu."


Pada dasarnya, situasinya beda-beda tergantung orangnya.


Bisa jadi karena beda daerah atau tradisi keluarga.


"Pokoknya, kakek itu tipe yang paling ribet deh."


Kalau ada banyak orang seperti dia, bisa-bisa jadi kesel.


Yang seperti gitu harusnya dilakuin kalau orangnya bisa ngerti maksud kita.


Kalau malah jadi bingung, ya salah tujuan.


"Jadi... gak usah terlalu dipikirin ya? Tapi, tapi..."


"Aku ada di sampingmu. Kamu cukup percaya diri saja, itu sudah cukup."


Yuzuru dengan erat memegang tangan Arisa yang keliatan cemas.


Arisa sedikit memerah dan mengangguk kecil.


"Yuzuru-san..."


Arisa juga memegang erat tangan itu.


Lalu, dia mendekatkan diri dan memeluk lengan Yuzuru.


Entah disengaja atau tidak...


Dada lembut Arisa menekan lengan Yuzuru.


Aliran darah Yuzuru sedikit mempercepat.


"…Cinta kamu"


Arisa berbisik kecil.


Lalu dia menatap Yuzuru dan tersenyum kecil.


"Aku juga... ya, aku cinta kamu"


Yuzuru menjawab dengan bisikan.


Arisa kelihatan sedikit tidak puas dan mengerucutkan bibirnya.


"Bisa nggak, bilangnya lebih keras?"


"Eh, nggak... Cinta itu bukan tentang volume suara kan?"


Yuzuru menjawab dengan malu-malu.


__--__--__


Setelah Yuzuru dan Arisa pergi kencan lihat bunga sakura.


"Ahahahahaha"


Seorang gadis dengan rambut hitam dan mata warna merah tertawa sambil memegang perutnya.


"Seperti biasa, Takasegawa melakukan hal yang ribet ya"


Gadis itu— Ayaka Tachibana, berkata dengan senang setelah tertawa.


Mendengar itu, gadis berambut linen yang duduk di depannya— Arisa Yukishiro, tersenyum pahit.


"Apakah itu memang aneh? Situasi khusus dengan Takasegawa dan Zenji itu?"


Lalu, gadis berambut coklat yang duduk di samping Ayaka— Chiharu Uenishi, menjawab.


"Di rumah kami sih, kami lakukan."


"Rumahku tidak lho"


Gadis berambut hitam yang duduk di samping Arisa— Tenka Nagi, juga menjawab.


Mereka berempat sedang di kafe dekat sekolah.


Lagi ngadain kumpul-kumpul gadis gitu deh. 


Saat itu, Arisa cerita tentang waktu dia ngunjungin keluarga Zenji bareng Yuzuru buat liat bunga sakura.


"Memang sih, kadang-kadang aku juga ngerasa ribet... tapi, ya gimana dong, kan emang lebih gampang. Soalnya, coba bayangin, kan ga mungkin langsung tanya 'Kamu gimana sih sama aku?'"


Di situ, Chiharu jadi minoritas karena dia ngebahas alasan kenapa orang-orang suka ngambil jalan memutar—nanya pendapat orang lain dengan cara yang ga langsung.


Kalo diambil contoh pas di Zenji, ga mungkin kan Kiyoshi Zenji langsung tanya ke Arisa, "Kamu itu, gimana dengan Takasegawa? Kamu merasa lebih tinggi atau lebih rendah dari dia?" 


Itu kan terlalu langsung, bisa dianggap ga sopan... dan yang paling penting, ga "elegan".


Makanya, mereka lebih milih nanya dengan cara yang ga keliatan seperti pertanyaan, terus dari reaksi Arisa, mereka bisa nangkep maksudnya.


"Sebanyak apapun kamu nyoba ngomongnya ga langsung, kalo orangnya udah ngerti maksudmu, ya sama aja. Kalo susah ditanya, ya ga usah ditanya. Kalo emang pengen tahu banget, ya tanya langsung aja."


Ayaka cuma nyengir kecil sambil ngomong gitu.


Trus, Chiharu cuma bisa nyengir getir dan mengangkat bahu.


"Ahaha... Sakit juga nih kuping dengerinnya. Emang sih... Ayaka itu punya hati yang luas banget ya."


Karena punya banyak uang (punya kekayaan), makanya hatinya juga luas (arti bebas: jangan karena lebih kaya jadi terus sombong).


Itu sindiran.


"Ah, malu aku dipuji begitu."


Ayaka jawab dengan nada santai, paham maksud sebenarnya.


Sementara itu, Chiharu tetap tersenyum lebar.


"Katanya sih, kulit jeruk mandarin itu tebal banget dibandingin buah lain."


Sambil makan kue yang pake jeruk, Chiharu ngomong gitu.


Ayaka—yang juga jenis jeruk mandarin—kata 'kulit muka tebal' itu, maksudnya gitu.


"Untuk melindungi diri dari serangga... Tapi tetep aja kalah sama semangka."


Ayaka balas, menggunakan kata "Nishi" yang sama—ngga sebanding dengan Uenishi.


"Katanya sih, bau jeruk mandarin juga buat usir serangga. Ada orang yang mungkin merasa ga nyaman sama baunya."


Ngomong secara terus terang seperti keluarga Tachibana yang kadang-kadang bisa bikin orang lain ga nyaman.


Chiharu bilang gitu sambil tersenyum kecil.


"Hmm... Ngomong-ngomong, Chiharu suka jeruk mandarin ga?"


Ayaka tanya gitu.


Lalu, Chiharu menjawab sambil menusuk jeruk yang ada di atas kue dengan garpu dan memakannya.


"Suka banget, sampe pengen makan terus."


"Aku juga... Suka banget sama semangka."


"Sayang sekali ya, Ayaka..."


"Chiharu..."


Mereka saling tatap.


Eh, tiba-tiba ada suara tepuk tangan yang kering.


"Oke, cukup sampai di situ ya."


Itu Tenka yang bertepuk tangan.


Ayaka dan Chiharu cuma mengangkat bahu sedikit.


"......Ayaka-san juga bisa ya."


‘Kata-kata dan perbuatanmu beda, ya.’


Itu yang ingin dikatakan oleh Arisa.


"Yang biasanya ga dilakuin sama dengan yang ingin dilakuin tapi ga bisa itu beda."


Ayaka menggelengkan jari sambil berkata.


Jadi, maksudnya dia ga aktif melakukannya, tapi kalo ada yang ngelakuin duluan, dia bakal balas.


"Yah...dalam bahasa Jepang, sebutan kehormatan, gelar kehormatan, dan kata orang pertama berubah tergantung waktu dan situasi...itu hanya perpanjangan dari itu."


Saat berbicara dengan orang tua atau teman, kita biasanya mengubah cara kita berbicara dibandingkan saat berbicara dengan senior atau guru.


Pada dasarnya, itu sama saja.


"Kalau berbicara tentang kata ganti orang pertama... kasihan ya laki-laki. Kita... pada dasarnya cukup bilang 'aku', tapi laki-laki punya banyak pilihan"


Laki-laki sering menggunakan "aku" sebagai kata ganti orang pertama...


Tapi di tempat resmi, biasanya mereka menggunakan "Saya" atau "Aku" yang lebih formal.


"Yuzuru-san kadang-kadang bilang 'aku', ya"


Arisa berkata sambil teringat tentang Yuzuru.


Kepada ayah angkat Arisa, kakak angkatnya, atau kepala keuarga Zenji, Yuzuru menggunakan "aku".


Sepertinya ada aturan di dalam diri Yuzuru bahwa dia menggunakan "aku" saat berbicara dengan seseorang yang lebih tua darinya secara formal.


"Tingkah laku Takasegawa-kun yang bilang 'aku' itu... ya, bisa dibilang cukup terbayang sih"


Tenka mengangguk-angguk setuju.


Karena kelihatannya dia berasal dari keluarga yang baik, menggunakan "aku" tidak terasa aneh bagi mereka.


"Yuzuru itu contoh orang yang membedakan cara berbicara tergantung situasinya... dia mengubahnya menjadi 'aku' dengan detail"


"Ya, tapi kita juga sama sih. Tapi... keluarga itu sepertinya sangat ketat ya, soal hierarki sosial"


Hmm, benarkah? Arisa miringkan kepalanya bertanya-tanya.


Saat Arisa menginap sebelumnya, dia tidak merasakan suasana seperti itu.


Lagipula, kala itu kakek nenek Yuzuru tidak ada di sana, dan yang lebih penting, dia hanya tinggal untuk waktu yang singkat.


Ayaka dan Chiharu adalah teman masa kecil Yuzuru, jadi tidak heran jika mereka tahu hal-hal yang tidak diketahui Arisa.


"Ngomong-ngomong... Arisa-chan. ...Kamu udah ciuman dengan Yuzuru?"


"Eh?!"


Arisa merona saat tiba-tiba ditanya oleh Ayaka.


Dia hampir tersedak kopi yang diminumnya.


"Ciuman? Ini tentang apa?"


"Kasih tahu lebih detail dong"


Chiharu dan Tenka maju ke depan dengan penuh rasa ingin tahu.


Lalu, entah kenapa, Ayaka dengan bangga menceritakan bahwa dia telah menerima konsultasi cinta dari Arisa---dengan menambahkan cerita.


"Jadi... udah berhasil?"


"Kamu berhasil?"


"Gimana rasanya?"


Dikerumuni oleh ketiganya, Arisa mengecilkan badannya, wajahnya merah, dan dengan suara lemah dia menjawab.


"Um... sampai... pipi saja..."


Sambil berkata demikian, Arisa menyentuh pipinya sendiri.


Entah kenapa, hanya dengan mengingatnya saja, sentuhan itu dan perasaan bingungnya kembali muncul.


"...Bagaimana dengan bibir?"


"Eh, nggak... kan, di luar, loh!?"


"Pengecut ya"


"Pengecut banget ya"


Pasangan yang ciuman di pipi di luar ruangan, bagaimanapun juga, bagi orang yang melihat dari luar, mereka tetap pasangan yang bodoh.


Mereka seharusnya saja langsung ciuman di bibir...


Itulah yang dikatakan Ayaka, Chiharu, dan Tenka dengan wajah tak percaya.


"Kali berikutnya aku akan berhasil! ...Aku juga tahu, nggak baik terus-terusan begini"


Arisa juga tidak berniat untuk terus menerus berada dalam keadaan yang tidak menentu ini.


Dia tahu, jika terus seperti ini, suatu saat Yuzuru akan menganggapnya sebagai "gadis yang merepotkan"... itulah yang dipikirkannya. 


“...Gak usah terburu-buru juga sepertinya sih”


Tapi yang mikir gitu cuma Arisa doang.


Ayaka tentu saja, Chiharu dan Tenka juga... ngerasa Arisa kelewat mikirnya.


Merasa malu cuma karena ciuman doang itu malah dianggep "gadis ribet" itu... walaupun gak diomongin langsung sih.


"Gak sengaja terburu-buru kok. Aku tau kok kalau Yuzuru-san itu suka banget sama aku, dan aku rasa gak ada gadis yang lebih cantik dari aku..."


Ngomong sendiri...


Dan, Ayaka di dalam hati cuma bisa geleng-geleng.


"Tapi, karena itu juga... aku mau Yuzuru-sab itu terus suka, lebih suka lagi sama aku..."


"Arisa-san. Kadang-kadang penting juga lho, gak kasih makan ikan yang udah dipancing"


Chiharu langsung motong pembicaraan Arisa seperti gitu.


Arisa miringin kepalanya.


"Itu maksudnya apa?"


"Denger ya? Cowok itu punya insting pengen punya keturunan sama banyak gadis"


Chiharu bilang itu dengan penuh percaya diri.


Tapi dalam hati, dia nambahin 'gak tau sih' di akhir, tapi itu suara hati jadi Arisa gak denger.


"Jadi, secara dasar, setelah selesai sama satu gadis, mereka bakal langsung liat gadis lain"


"Menurutku sih, tergantung sama hewan dan orangnya... semua cowok seperti itu berbahaya sepertinya..."


"Emang gitu!"


"Iya, iya"


Arisa keburu ketelan sama semangat Chiharu dan langsung ngangguk.


"Jadi, kalau Arisa-san mau Yuzuru terus suka sama kamu... mungkin lebih baik kalau kamu belum sepenuhnya 'nurut' gitu. Pasti nanti dia bakal punya semangat 'aku harus bikin gadis ini jadi milikku" gitu.


Gak tau sih.


Tapi, Chiharu tetep bilang itu sambil dada dibanggakan.


"Benar juga. Gak memuaskan itu juga penting"


"Kalau mau kuda terus lari, gak boleh gampang-gampang kasih wortel ya"


Ayaka dan Tenka juga dukung Chiharu gitu.


Tentu saja, Ayaka, Chiharu, dan Tenka gak bener-bener percaya "Teori Chiharu" itu.


Cuma mikir, buat kesehatan mental Arisa, lebih baik dia mikir ‘ciuman itu juga strategi' gitu.


"O, oke? ...Nah, nah gitu ya. Kalau dipikir-pikir... bener juga"


Cinta itu tarik-ulur.


Dan, kata-kata yang pernah Arisa denger itu teringat lagi.


"Lalu... aku harus gimana ya sekarang?"


"Itu tergantung rencana kencan kalian juga sih... ada rencana apa?"


"Sampai sekarang sih gak ada... ah, tapi, aku janji mau diajarin cara berenang"


Belum janjian kapan, tapi sebelum kelas renang di sekolah mulai, dia pengen belajar dasarnya.


"Berarti pake baju renang ya... bagus dong? Kalau tujuannya buat bikin dia penasaran"


"O, oke?"


"Jadi wortel yang digantung itu tepat banget"


"Wo, wortel itu..."

 

Arisa hanya bisa cengar-cengir mendengar kata-kata Chiharu dan Tenka.


Memang sih, mungkin bukan ide buruk untuk bikin Yuzuru kembali sadar akan pesonanya Arisa...


"Tapi, sebenernya tujuannya kan mau belajar cara berenang loh? Ga mungkin dong aku pakai baju renang yang imut-imut seperti bikini... Kalau pakai, paling juga yang model baju renang lomba atau baju renang sekolah, yang modelnya lebih sederhana gitu loh?"


Mau belajar berenang tapi malah pakai baju renang yang ga keliatan mau berenang sama sekali itu gimana sih.


Kalau sampai pakai baju renang seperti gitu, pasti Yuzuru bakalan heran banget deh.


"Eh, kamu ga ngerti ya, Arisa-chan. ...Baju renang lomba itu malah lebih baik lho."


"Kamu kan ga ada niat buat godain. Tapi, pesona yang keluar tanpa sengaja itu malah bisa bikin dia makin penasaran."


"Eh, beneran... gitu ya?"


Mendengar kata-kata Ayaka dan Chiharu, Arisa bertanya pada Tenka sambil melirik ke arahnya.


Sementara itu, Tenka menjawab sambil menggaruk pipinya.


"Yah, setidaknya... aku pernah dengar ada cowok yang lebih suka pakaian olahraga atau baju renang sekolah daripada bikini yang imut-imut."


"Oh, begitu ya..."


Kalo dipikir-pikir, tunangan Arisa, Yuzuru, juga lebih sering ngelirik Arisa pas dia pakai baju olahraga daripada pas pakai baju biasa...


Sepertinya sih.


"Udah pasti dong. Harus godain Yuzuru."


"Ah, iri deh sama Yuzuru."


"Tunggu, tunggu!"


Arisa cepat-cepat menahan Ayaka dan Chiharu sambil kelihatan panik.


"Go, godain... Kalau aku ngelakuin itu pas lagi belajar berenang, itu kan aneh."


Mereka pasti mikir, dia ini serius ga sih?


"Ga usah khawatir, Arisa-chan. Kan kamu bakal diajarin cara berenang sampai tahu semua detilnya?"


"Kan selama proses itu, mau sengaja atau nggak, pasti ada sentuhan-sentuhan gitu kan."


"I, itu..."


Arisa yang ga pernah kepikiran hal seperti itu langsung merona.


Mendapati Arisa yang seperti itu, Ayaka dan Chiharu semakin senang menggoda.


"Ah, mungkin aja dia sengaja nyentuh loh."


"Sepertinya kita harus simulasi dulu deh ini."


"So, soal itu! Y, Yuzuru-san ga mungkin..."


Sepertinya Arisa mulai membayangkan situasinya.


Sambil terus digoda Ayaka dan Chiharu, Arisa tambah gugup.


Sementara itu, Tenka dengan ekspresi heran berkata.


"Sudahlah, jangan digoda terus. ...Tenang aja, Takasegawa-kun bukan orang yang sengaja melakukan itu kok."


"So, soal itu... ya kan?"


"Kalau memang pengen nyentuh, dia pasti bakalan minta dengan cara yang sopan kok."


"Ta, tapi kalau diminta gitu juga masalah sih..."


Arisa semakin menyusut sambil berkata demikian. 



Previous Chapter | ToC | 

0

Post a Comment



close