NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Mushoku Tensei: Redundancy Jilid 1 Bab 3

 


Penerjemah: Tensa 

Proffreader: Tensa 


Bab 3

Pernikahan Norn: Bagian Kedua

Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


★ POV Norn ★

Aku akan menikah dengan Ruijerd-san.

Semua terjadi begitu cepat.

Kakak menanyaiku berbagai hal, dan aku menjawabnya dengan jujur.

Tak sampai sepuluh hari kemudian, Kakak mempertemukanku dengan Ruijerd-san, dan di tempat itu juga, aku menerima pernyataan cinta sekaligus lamaran darinya.

Semuanya berlanjut dalam keadaan hatiku yang masih melayang-layang.

Mereka bilang upacara pernikahan akan diadakan sepuluh hari lagi.

Kakak dan Ruijerd-san terus mempersiapkan segalanya dengan mantap.

Yang kulakukan hanyalah membuat gaun pengantin bersama seorang wanita dari suku Superd.

Gaun yang mirip dengan pakaian khas suku Superd yang selalu dikenakan Ruijerd-san.

Katanya, upacara pernikahan akan dilaksanakan dengan tata cara suku Superd. Sejujurnya, aku memang sedikit mendambakan upacara ala Milis, tapi aku tak keberatan karena ini menegaskan kenyataan bahwa aku akan menjadi istri Ruijerd-san.

Lagipula, semua orang suku Superd sangat baik. Jujur saja, aku tak bisa meminta lebih dari ini. Ruijerd-san pasti juga tak akan suka dengan ciuman di dahi di depan umum dan semacamnya.

Apapun itu, Kakak bilang “Serahkan saja padaku”. Aku hanya bisa menerima dengan penuh rasa syukur.

Tapi, mungkin aku ingin “Kalung Milis”.

Aku berpikir untuk memintanya...

Ini mungkin kesempatan terakhirku untuk bersikap manja pada Kakak.

“...”

Sambil memikirkan hal-hal seperti itu, aku membereskan kamarku.

Kamar yang selalu kugunakan sejak Ruijerd-san membawaku dan Aisha ke sini.

Karena sudah lama tinggal di asrama, rasanya kamar asrama lebih terasa seperti kamarku sendiri dibanding kamar ini.

Tapi, saat membereskannya, aku menyadari bahwa setiap benda di sini menyimpan kenangan tersendiri.

Boneka Ruijerd-san yang kuterima dari senior Zanoba. Saat pertama kali melihatnya, aku sangat terkesan dan tanpa sadar memintanya. Boneka itu kupajang di kamar asrama sampai aku lulus.

Entah bagaimana, memandangi boneka ini setiap hari menjadi semacam rutinitas bagiku.

Boneka yang sedikit tidak mirip dengan Ruijerd-san, tapi tetap bisa dikenali sebagai Ruijerd-san.

Setiap kali melihatnya, aku selalu berpikir ingin bertemu dengannya.

Lalu, pedang kayu.

Sejak Kak Eris mulai mengajariku pedang, aku terus berlatih mengayunkannya hampir setiap hari.

Meski tidak banyak kemajuan dan aku sadar bahwa aku tidak berbakat, tapi itu tidak masalah.

Mengayunkan pedang itu menyenangkan, dan aku tidak berniat menjadi yang terkuat di dunia.

Di Sharia ini, tidak ada yang mengatakan hal konyol seperti “berhentilah karena kau tidak berbakat”.

Baik Kakak, Kak Eris, Kak Roxy, maupun Kak Sylphy... bahkan senior Zanoba dan senior Cliff pun tidak pernah mengatakannya.

Meski mereka semua orang-orang berbakat, mereka tidak pernah mengatakan hal seperti itu.

Sekarang aku mengerti betapa berharganya hal itu.

Dan aku sadar betapa pentingnya tetap berusaha meski tidak berbakat.

Jika tidak, aku mungkin tidak akan pernah bisa menjadi ketua OSIS.

Semua anggota OSIS saat aku menjadi ketua tidak memiliki bakat khusus.

Beberapa guru bahkan menyebut kami sebagai OSIS paling tidak berguna sepanjang sejarah universitas sihir.

Namun, hanya Wakil Kepala Sekolah Jinas yang berkata, “Murid-murid tampaknya lebih tenang dibandingkan saat Ketua Ariel menjabat.”

Kenyataannya, selama aku menjabat sebagai ketua OSIS, insiden kekerasan dan kejahatan di sekolah memang lebih sedikit dibandingkan masa Ketua Ariel. Mungkin itu hanya kebetulan, tapi aku merasa itu karena anggota OSIS kami tidak berbakat.

Karena kami tidak berbakat, OSIS bisa memikirkan murid-murid. Karena kami tidak berbakat, murid-murid juga memikirkan OSIS. Mungkin mereka berpikir harus membantu kami.

Di sekolah dengan sepuluh ribu murid, tentu saja lebih baik jika sepuluh ribu murid sedikit-sedikit memperhatikan, daripada hanya segelintir anggota OSIS yang berusaha keras.

Seragam sekolah di dalam lemari juga sudah tidak kupakai lagi.

Kalau tidak salah, aku dengar seragam ini didesain oleh Nanahoshi-san.

Sebelumnya, katanya pakaian murid-murid beragam.

Saat aku masuk sekolah, semua orang sudah mengenakan seragam atau jubah.

Baik murid yang sangar maupun gadis cantik yang menggoda, semua mengenakan pakaian yang sama.

Aku rasa aku bisa mendapatkan banyak teman karena kami semua mengenakan pakaian yang sama.

Pasti akan sulit bagiku untuk berteman seperti sekarang jika kami mengenakan pakaian yang berbeda-beda.

Orang-orang dari ras iblis atau ras binatang terkadang mengenakan pakaian yang membuatku ragu untuk menyapa mereka... yah, aku tidak tahu pasti, sih.

Tapi karena Aisha juga menerapkan sistem seragam di kelompok tentara bayarannya, kurasa memakaikan pakaian yang sama pada semua murid memang sangat efektif. Soalnya, bahkan Aisha pun melakukannya.

Lalu, pedang Ayah yang tergantung di dinding.

Pedang yang katanya sudah digunakan Ayah jauh sebelum menikah dengan Ibu.

Pedang yang diberikan Kakak padaku saat membagi-bagikan peninggalan Ayah.

Aisha mendapatkan pedang yang satunya lagi, tapi Kakak langsung membawanya pergi karena katanya akan digunakan untuk bertarung. Baju zirah Ayah dipajang di kamar Ibu.

Setiap kali ada sesuatu, aku selalu berdoa di depan pedang ini.

Ayah memang bukan penganut agama Milis, dan mungkin tipe orang yang akan membuat penganut Milis mengernyitkan dahi, tapi aku menyukainya.

Kalau Ayah masih hidup sekarang, mungkin dia akan banyak menggerutu... tapi kurasa aku tetap tidak akan membencinya.

Karena Ayah selalu berusaha keras.

Baik aku maupun Kakak, kadang-kadang tetap gagal meski sudah berusaha... jadi kurasa aku akan tetap menyukainya.

Hari ini pun, aku berdoa lagi kepada Ayah yang seperti itu.

“Aku juga akan menikah.”

Ah, mungkin ini bukan doa, tapi laporan, ya.

Kakak pernah bilang begitu. Katanya, Kakak juga sering pergi sendirian ke makam Ayah untuk memberi laporan.

Padahal dia orang yang sibuk... menurutku Kakak luar biasa karena bisa tetap rajin melakukan hal seperti itu.

“Kakak menggantikan peran Ayah. Meskipun selama ini aku pasti menjadi beban bagi Kakak, dia tetap bergerak dengan sungguh-sungguh demi diriku tanpa mengeluh sedikit pun. ...Aku tidak bisa cukup berterima kasih kepada Kakak.”

Niatnya ingin melaporkan pernikahan, malah jadi ungkapan terima kasih untuk Kakak.

Aku merasa Kakak benar-benar menggantikan peran Ayah yang telah meninggal dan Ibu yang menjadi seperti itu, untuk melindungiku.

Tentu saja, karena Kakak orang yang sibuk, ada kalanya dia tidak bisa memperhatikanku.

Melihat Kakak seperti itu, aku pernah berpikir bahwa dia terpaksa mengurus diriku karena Ayah sudah meninggal. Tapi sekarang aku tahu bahwa itu tidak benar.

Aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik, tapi Kakak benar-benar menggantikan peran Ayah dan Ibu.

Aku memiliki ingatan dari masa yang sangat lampau.

Ingatan dari waktu aku baru saja lahir.

Tentu saja, ingatannya samar-samar dan tidak terlalu jelas.

Ini cerita dari masa ketika aku belum bisa merangkak dengan baik. Aku sedang berlomba dengan Aisha... kurasa begitu. Aku tidak ingat kenapa kami berlomba, tapi aku ingat Ibu ada di garis finish.

Tentu saja, aku kalah dari Aisha.

Aisha mencapai tempat Ibu dengan kecepatan luar biasa, lalu Ibu mengangkat Aisha dan memujinya, “Anak pintar, bagus sekali.”

Melihat itu, aku menangis.

Ibu terasa jauh, dan aku merasa Aisha telah mengambil Ibu dariku. Aku menangis karena merasa tidak akan dipuji.

Lalu, Ibu berkata,

“Norn, Ibu akan menunggumu di sini, ayo kemari.”

Sambil berkata begitu, Ibu menungguku sampai aku tiba, lalu memuji dengan tulus.

Kakak juga orang yang selalu menungguku.

Tidak peduli betapa lambannya aku, dia tetap menunggu.

Dengan sabar, kadang tersenyum kecut, kadang panik, tapi tidak pernah meninggalkanku, dia selalu menunggu. Dia orang yang seperti itu.

Karena itu, aku tahu dia juga benar-benar menggantikan peran Ibu.

“...”

Persiapan pernikahan pun sama.

Kakak melakukan semuanya untukku.

Aku yakin, jika Ayah masih hidup, dia pasti akan bergerak seperti Kakak.

Mungkin dia akan sedikit bertengkar dengan Ruijerd-san karena tidak menyukainya. Tapi begitu waktunya tiba untuk menikah, aku yakin dia akan berkata “Serahkan padaku” dan mengatur segalanya.

Kurasa saat Ayah menikah dengan Ibu pun seperti itu.

“...”

Saat aku memikirkan hal-hal seperti itu sembari membereskan kamar, tiba-tiba semuanya sudah selesai.

Memang dari awal kamar ini tidak terlalu banyak barang, tapi sekarang barang-barang pribadiku sudah tidak ada dan kamar ini terasa kosong.

Kamar ini katanya akan digunakan oleh Lucy. Kurasa dengan membereskannya seperti ini sudah cukup.

Sekarang tinggal membawa barang-barang pribadiku dan beberapa kenang-kenangan ke rumah Ruijerd-san.

Ke rumah Ruijerd-san di desa suku Superd.

Jujur saja, rasanya seperti sedang bermimpi.

Menikah dengan Ruijerd-san yang selama ini kukagumi.

Aku merasa bersemangat dan berdebar-debar. Kata Kak Sylphy, dia juga merasa seperti itu. Memulai kehidupan berdua saja dengan seorang pria membuat perasaan harapan dan kegugupan bercampur.

Meski Ruijerd-san jauh lebih tua, kalau sudah menikah, mungkin kami akan melakukan hal-hal seperti yang dilakukan Kakak dan Kak Sylphy.

Aku sudah belajar caranya, tapi belum pernah melakukannya langsung.

Aku sedikit khawatir. Apakah dia akan bersikap lembut? Apakah aku bisa melakukannya dengan baik?

Tapi aku tahu bahwa harapanku lebih besar daripada kekhawatiranku. Rasa semangatku lebih kuat.

Aku benar-benar bersyukur telah spontan meminta Kakak untuk mengatur perjodohan saat mendengar nama Ruijerd-san waktu itu.

Ya, aku benar-benar berpikir begitu dari lubuk hatiku.

“Hei, Kak Norn... boleh aku masuk sebentar?”

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dan suara seperti itu.

Hanya ada satu orang yang memanggilku Kak Norn. Itu pasti Aisha.

“Boleh, ada apa?”

“Um... boleh aku masuk sebentar?”

Aisha masuk ke kamar dan menutup pintu dengan sikap yang agak gelisah.

Ini jarang terjadi. Mungkin ini pertama kalinya aku melihat Aisha bersikap seperti ini terhadapku.

“Duduklah.”

“Baik.”

Aisha duduk di tempat tidur sesuai arahanku.

Aku menyingkirkan barang-barang yang sudah kupersiapkan untuk dibawa ke rumah Ruijerd-san ke samping, lalu duduk di kursi.

“Itu... Kak Norn, selamat atas pernikahan... eh, pertunangan?”

“Terima kasih.”

Omong-omong, waktu Kakak mengumumkan pernikahanku, banyak orang memberi selamat, tapi Aisha belum mengucapkannya.

“Rasanya aneh. Kak Norn menikah, ya...”

“Kamu datang ke sini hanya untuk mengatakan itu?”

“Bukan, bukan itu... um, Kak Norn, bagaimana rasanya menikah?”

Aisha tidak memandang ke arahku.

Sambil mengalihkan pandangannya, dia bertanya seolah-olah ingin menanyakan sesuatu yang tidak boleh ditanyakan.

“Bagaimana... apanya?”

“Kenapa Kak Norn menikah?”

... Ah, iya, aku ingat.

Apa Aisha pernah mengatakan sesuatu seperti itu padaku?

“Kenapa melakukan hal seperti itu padahal tahu tidak punya bakat?”

Adikku ini memang tidak berubah. Tapi dulu, aku menganggap itu sebagai ejekan atau sindiran. Belakangan ini, aku mulai menyadari bahwa sepertinya bukan begitu maksudnya.

Aisha sendiri, karena terlalu berbakat dalam banyak hal, jadi bingung dengan berbagai hal.

Mungkin karena dia bisa melakukan apa saja dengan baik, dia tidak bisa memahami konsep melakukan sesuatu meskipun tidak bisa. Tidak... dulu ketika Aisha mengatakan hal-hal seperti itu, mungkin ada banyak sindiran di dalamnya. Karena itulah dulu aku sangat tidak nyaman dengan Aisha.

Tapi belakangan ini, rasa tidak nyaman itu sudah hilang.

Kapan, ya, Aisha berhenti menyindirku... Mungkin sekitar waktu aku menjadi ketua OSIS, atau mungkin lebih awal dari itu... Sekarang aku tidak bisa mengingatnya dengan pasti.

Tapi setidaknya, aku merasa Aisha berubah cukup banyak sejak Lucy lahir.

“Meskipun kamu bertanya kenapa... pernikahan ini memiliki arti, dan aku juga menyukai Ruijerd-san.”

“Suka itu apa?”

“... Itu perasaan ingin selalu bersama, ingin memeluk orang itu ketika melihatnya, ingin dipeluk olehnya, perasaan-perasaan seperti itu yang muncul secara alami.”

“Aku suka Kakak (nii-chan), tapi apa itu berbeda dengan rasa suka yang Kak Norn maksud?”

“Itu... aku bukan Aisha, jadi aku tidak tahu.”

“Benar juga...”

Setelah berkata begitu, Aisha yang masih duduk di tempat tidur meluruskan kakinya, lalu menjatuhkan diri ke tempat tidur.

“Aku tidak mengerti...”

Aisha menggumam sambil menggerak-gerakkan kakinya.

“Akhir-akhir ini Linia dan Pursena berisik sekali soal pernikahan. Katanya mereka sudah melewatkan waktu terbaik untuk menikah, atau kalau sudah sampai sini, mereka tidak bisa berkompromi lagi. Apa pernikahan itu sesuatu yang harus dikejar mati-matian? Apa kita benar-benar harus melakukannya? Secara logika, aku paham kalau sebaiknya menikah, tapi tidak semua orang berpikir sejauh itu, ‘kan?”

“Aisha tidak ingin menikah?”

“Aku bahkan tidak tahu apakah aku ingin menikah atau tidak.”

“Apa tidak ada orang yang kamu sukai?”

“Tidak ada. Waktu kecil aku berpikir akan menikah dengan Kakak, tapi ternyata ada yang berbeda dengan Kakak, dan aku bahkan tidak bisa membayangkan meninggalkan rumah ini...”

Sejak kecil, Aisha selalu lengket dengan Kakak.

Pertama kali aku bertemu dengannya adalah di Milis, tak lama setelah Ayah pulih dan mulai bekerja dengan baik.

Jujur saja, waktu itu aku tidak bisa menganggapnya sebagai adik.

Menurutku, dia lebih seperti “anak bawaan dari pernikahan kedua” yang sering kudengar dari teman-teman di asrama.

Bahkan Lilia-san pun memperlakukan Aisha bukan sebagai adik, tapi lebih seperti pelayan bawahan.

Sejak kapan, ya, aku mulai menganggapnya sebagai adik?

Apakah sejak kami bersekolah bersama di Milis?

Atau selama perjalanan ke Sharia bersama Ruijerd-san dan Ginger-san?

Sekarang aku tidak bisa mengingatnya dengan pasti. Setidaknya, ketika kami mulai tinggal di Sharia ini, aku sudah menganggapnya sebagai adik.

“Kak Norn, bagaimana perasaanmu sekarang?”

“Aku... bahagia.”

“Bahagia? Bagaimana rasanya itu?”

“Sulit dijelaskan dengan kata-kata, tapi bagaimana, ya... sekarang aku tidak merasa ada yang tidak menyenangkan. Aku tahu ke depannya tidak akan selalu mulus, tapi aku merasa yakin bahwa hal-hal baik akan datang.”

Saat aku selesai berbicara, Aisha sudah duduk tegak dan menatapku lekat-lekat.

Setelah beberapa saat, dia berkata pelan.

“Itu yang disebut bahagia?”

“Itu... apa maksudmu?”

“Habisnya, aku hampir selalu merasa seperti itu.”

“Kalau begitu, bukankah Aisha selalu bahagia?”

Mendengar itu, Aisha kembali menjatuhkan diri ke tempat tidur.

“Rasanya... bukan bahagia. Entah kenapa aku iri. Untuk pertama kalinya, aku merasa kalah dari Kak Norn.”

“Aku tidak merasa menang atau apa...”

“Tidak, aku kalah. Sepertinya aku kalah dari Kak Norn.”

Aku terkejut mendengarnya.

Sejak lahir, aku tidak pernah menang dari Aisha dalam hal apa pun.

Bukan hanya Aisha. Di sekolah pun, aku tidak pernah menonjol. Dalam pertandingan sihir serangan, tingkat kemenanganku hanya sekitar 45 persen, dan nilai rata-rata ujianku hanya sekitar 80 poin meski aku sudah berusaha keras.

Tentu saja, aku bukan juara kelas atau apa pun.

Memang, jika kami bersaing dalam hal yang kupelajari tapi Aisha belum, mungkin aku bisa menang satu atau dua kali. Tapi setelah sepuluh atau dua puluh kali, aku pasti akan kalah telak.

Aisha sangat cerdas, berkembang pesat, dan pandai memahami inti dari segala hal.

Aisha yang seperti itu mengatakan dia kalah... tapi anehnya aku tidak merasa senang.

Mungkin karena aku tidak berusaha keras untuk ini, dan kami juga tidak bersaing.

Aku tidak menikah untuk mengalahkan Aisha.

“Hei, Kak Norn.”

“Ya?”

“Setelah menikah nanti, boleh aku sesekali mengunjungimu?”

Ini juga membuatku terkejut.

Belakangan ini, aku merasa Aisha menjaga jarak denganku.

Saat dia mengurus anak-anak Kakak, dia memang tidak bersikap seperti itu.

Tapi setidaknya, ketika aku sendirian, dia jarang mendekat atau mengajakku bicara tanpa alasan.

“Ya... tentu saja boleh.”

“Kalau nanti kamu punya anak, biarkan aku menggendongnya, ya.”

“Baiklah.”

Anak...

Aku sudah banyak bertanya pada Kak Sylphy tentang hal itu.

Meski aku merasa masih terlalu cepat, aku tahu suatu saat nanti itu akan terjadi, dan aku sudah mempersiapkan diri. Yah, sebenarnya aku lebih mempersiapkan diri untuk tahap sebelumnya.

Aisha masih mengurus anak-anak Kakak sampai sekarang.

Kak Sylphy juga bilang dia sangat terbantu.

Kalau dipikir-pikir, jika aku meninggalkan rumah ini, berarti aku harus membesarkan anak sendirian.

Itu juga membuatku khawatir. Apakah aku bisa melakukannya...

Kak Sylphy mungkin akan mengatakan, “Norn pasti bisa.” Kak Roxy mungkin akan ikut khawatir bersamaku. Kak Eris mungkin akan berkata, “Anak itu akan tumbuh dengan sendirinya.”... Tapi aku tetap khawatir.

“Justru, aku akan sangat terbantu kalau kamu bisa mengajariku hal-hal yang tidak kupahami tentang mengasuh anak.”

“Serahkan saja padaku!”

“Baiklah... hehe.”

Aku tertawa.

Entah kenapa, melihat senyum Aisha membuatku senang, jadi aku ikut tertawa.

Hari itu, aku mengobrol dengan Aisha sampai larut malam.

Bukan obrolan yang berarti khusus, hanya keluhan-keluhan tanpa kesimpulan yang tak ada habisnya.

Keesokan harinya, aku pindah ke rumah Ruijerd-san dengan membawa barang-barangku.


★ POV Rudeus ★

Upacara pernikahan Norn dan Ruijerd diadakan di desa suku Superd.

Sesuai dengan adat suku Superd.

Pada malam bulan purnama, para penduduk desa membawa makanan masing-masing, dan mereka makan bersama sambil merayakan pernikahan pengantin baru.

Meski aku bukan penduduk desa, tentu saja aku membawa makanan dan mengajak seluruh keluargaku untuk ikut serta.

Karena kami keluarga Norn, kami tidak akan menolak.

Tidak ada yang menolak, malah kami disambut dengan hangat.

Makanan yang kami bawa dibuat oleh Lilia dan Aisha.

Sepertinya Aisha memiliki perasaan yang sangat kompleks tentang pernikahan Norn.

Sejak pernikahan diputuskan, aku sering melihatnya berbaring di sofa, memikirkan sesuatu, dan dimarahi oleh Lilia.

Omong-omong, beberapa hari sebelum pernikahan, sepertinya Aisha dan Norn mengobrol berdua di kamar Norn sampai larut malam.

Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan... tapi sepertinya Aisha juga punya banyak hal yang dia pikirkan.

Biar bagaimanapun, sepertinya dia tidak benar-benar menolak untuk memberi selamat.

Untuk makanan yang akan dibawa ke pesta pernikahan, dia tidak setengah-setengah, bahkan dia memasak dengan sepenuh hati.

Dia mengumpulkan bahan-bahan dari Milis dan Asura untuk membuat kue buah yang sangat besar.

Aku sempat berpikir apakah suku Superd menyukai makanan manis, tapi Roxy menjamin bahwa itu tidak masalah.

Yah, mungkin itu hanya karena Roxy sendiri suka makanan manis...

Karena ini adalah momen penting bagi Norn, seluruh keluarga ikut berpartisipasi.

Tentu saja termasuk anak-anak kecil seperti Ars dan Sieg, bahkan Leo, Jirou, dan Beat juga.

Meski bukan keluarga, Orsted yang berperan besar dalam pernikahan ini juga ikut serta, meski hanya di sudut ruangan. Selain itu, kami juga mengundang teman-teman Norn yang sedang tinggal di kota sihir Sharia untuk berpartisipasi secara aktif.

Ketika para anggota OSIS, junior Norn, mendengar bahwa Norn akan menikah, mereka memohon dengan sangat untuk diizinkan ikut serta.

Memang agak menyedihkan melihat sekelompok manusia gemetar di tengah kerumunan suku Superd...

Tapi, saat mereka melihat Norn yang tampak bahagia, ketegangan mereka perlahan-lahan mencair. Menjelang puncak pesta, mereka bahkan sudah cukup rileks untuk menuangkan minuman untuk Norn.

Ya, Norn terlihat sangat bahagia.

Di rumah, atau lebih tepatnya di depanku, Norn sering menunjukkan ekspresi masam. Tapi saat dia duduk di samping Ruijerd, dia terus-menerus tersenyum malu-malu.

Bahkan, Norn sesekali melirik ke arah Ruijerd, dan setiap kali Ruijerd menyadarinya dan menatap balik, wajah Norn memerah dan dia menunduk.

Mengenakan gaun pengantin tradisional yang dibuat oleh para wanita suku Superd, dikelilingi banyak hidangan, dia terus memandang Ruijerd, wajahnya memerah dan tersenyum.

Selain itu, memasukkan upacara pernikahan gaya Milis sebagai kejutan di tengah acara juga merupakan ide yang bagus.

Dengan alasan berganti pakaian, Ruijerd dan Norn mengenakan pakaian putih bersih. Saat mereka kembali, Cliff yang bersembunyi sebagai tamu kejutan muncul dan membacakan doa pernikahan gaya Milis.

Akhirnya, ketika Ruijerd memakaikan kalung yang telah dia siapkan sebelumnya kepada Norn, Norn dengan wajah merah padam memberikan ciuman kaku di dahi Ruijerd yang berlutut.

Norn terus menunjukkan ekspresi terkejut, tapi saat rangkaian acara selesai, dia tersenyum dengan wajah yang hampir menangis.

Itu benar-benar senyum yang sangat, sangat bahagia.

Kalau ini bukan kebahagiaan, lalu apa namanya?

“Kak Norn sangat cantik, ya,” puji Aisha.

Entah karena pakaiannya yang cocok membuatnya cantik, atau karena kebahagiaannya yang membuatnya cantik.

Aku tidak tahu, tapi Aisha memandang Norn dengan tatapan iri.

“Suatu hari nanti, Aisha juga akan seperti itu.”

“Aku tidak akan seperti itu.”

Dia menjawab dengan cepat.

Sepertinya Aisha tidak berniat untuk menikah.

Aku ingin mengantar bukan hanya Norn, tapi Aisha juga...

Yah, pernikahan bukan satu-satunya hal dalam hidup, jadi tidak masalah jika dia tetap tinggal di rumah.

“...”

Tapi tetap saja, Norn sudah menikah, ya. Sungguh mengharukan.

Saat kami bertemu di Milis, dia masih sangat kecil dan agresif. Saat masuk sekolah, dia bahkan pernah mengurung diri di kamar asrama.

Norn yang dulu kuberi kesan sebagai anak yang merepotkan dan ceroboh, entah sejak kapan bergabung dengan OSIS, berhasil menjadi ketua OSIS yang hebat, dicintai oleh banyak junior, dan sekarang menikah.

“...shn.”

Tanpa sadar, aku merasa hidungku gatal.

Salam hormat, Tuan Paul.

Norn tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan baik. Apakah kau melihatnya dari alam sana? Pasti kau melihatnya, ‘kan? Kalau tidak, cepatlah datang ke sini.

“Kak, jangan menangis di saat seperti ini.”

“Aku tidak menangis.”

“Apaan, tuh... Daripada cuma melihat dari jauh, kenapa tidak menyapa Kak Norn sebentar?”

“Hmm, hmm~”

Saat ini, pesta sedang meriah dan para tamu secara bergantian mengucapkan selamat kepada pengantin baru.

Katanya, ini bukan tradisi suku Superd... mungkin Cliff yang mengusulkannya.

Norn tersenyum sambil membalas sapaan masing-masing tamu.

Saat-saat bahagia seperti ini. Apakah tidak apa-apa kalau aku mendekat?

Rasanya lebih baik kalau aku hanya mengawasi dari jauh.

“Apa Norn tidak akan cemberut melihatku?”

“Mana mungkin lah.”

“Begitu, ya?”

“Iya, begitu.”

“...Aisha mau ikut denganku?”

“Lebih baik kita semua pergi bersama-sama...”

Yah, sebenarnya aku tidak khawatir.

Malahan, aku lebih khawatir. Aku pasti akan menangis. Padahal ini momen bahagia, tapi aku akan menangis.

Aku akan menangis tersedu-sedu dengan memalukan, dan semua orang akan menunjukku sambil berkata, “Kakak Norn itu cengeng sekali.”

Yah, itu tidak masalah, sih, tapi baru-baru ini Ruijerd memintaku untuk tidak menangis. Jadi aku tidak ingin terlalu banyak menangis di sini.

Setidaknya, aku ingin menangis nanti setelah pulang ke rumah, membenamkan wajahku di pangkuan Sylphy.

“Baiklah. Ayo kita pergi.”

Bagaimanapun, aku tidak bisa tidak pergi.

Aku mengajak semua orang mendekati Norn.

“Ah.”

Saat melihat kami, Norn sejenak mengatupkan bibirnya.

Dia segera kembali tersenyum, tapi mungkin ada sesuatu yang ingin dia katakan.

Apa, ya, aku takut... Saat aku ragu-ragu, Sylphy mendahuluiku dan berdiri di depan Norn.

“Norn-chan, selamat atas pernikahanmu.”

“Terima kasih, Kak Sylphy.”

“Mungkin akan ada banyak hal yang membuatmu khawatir nanti, tapi kebanyakan masalah bisa diatasi. Pastikan kamu selalu berbicara dengan Ruijerd dan berusaha yang terbaik, ya.”

“Iya, aku akan berusaha.”

Sylphy tersenyum pada Norn setelah mengatakan itu, lalu minggir.

Selanjutnya giliran Eris.

“Norn, selamat!”

“Iya, terima kasih, Kak Eris.”

“Jangan lupa terus berlatih pedang, ya? Ruijerd memang kuat, tapi akan ada saatnya kamu harus melindunginya.”

“Baik, aku akan selalu mengingatnya.”

Eris mengangguk puas, lalu minggir.

Kemudian dia pergi ke arah Ruijerd dan mulai berbicara dengannya. Kelihatannya dia mengatakan sesuatu seperti, “Awas kalau kamu tidak melindungi Norn dengan baik.” Sepertinya bagi Eris, ini yang lebih penting.

Dari samping Eris, Roxy maju ke depan.

“Norn-san, selamat, ya.”

“Terima kasih, Roxy-sensei.”

“Sudah kubilang jangan panggil sensei lagi di saat seperti ini... Yah, karena ini yang terakhir, biarkan aku mengatakan sesuatu sebagai sensei-mu. Dalam pernikahan antar ras, biasanya orang-orang di sekitarlah yang akan banyak berkomentar, bukan pasangan itu sendiri. Tapi jangan pedulikan itu. Kalau kalian menjalani hidup seperti biasa, pada akhirnya semua orang akan menerima kalian.”

“...Baik, Sensei!”

Selanjutnya, Lilia dan Zenith maju.

“Nona Norn, selamat, ya.”

“Lilia-san, Ibu... terima kasih.”

“Kalau dipikir-pikir, mungkin selama ini saya bukan sosok yang menyenangkan bagi Nona Norn. Aisha berkali-kali membuat Nona Norn sedih, dan itu semua adalah tanggung jawab saya...”

“Tidak, bukan begitu. Lilia-san juga sudah menjadi ibu bagiku. Aisha juga adalah adikku. Memang ada beberapa hal yang tidak menyenangkan, tapi itu bukan karena Lilia-san atau siapa pun. Itu hal yang wajar terjadi.”

“...Mendengar Anda berkata begitu, hiks... uuu...”

Lilia yang tadinya bersikap sopan tiba-tiba menangis.

Akhir-akhir ini Lilia memang mudah menangis. Zenith mengelus-elus Lilia yang sedang menangis.

Namun, setelah beberapa saat, Zenith perlahan berpindah ke samping Norn.

“Ibu?”

“...”

Zenith tersenyum sedikit, lalu menggenggam tangan Norn.

Dia menggenggam kedua tangan Norn dengan lembut, seolah-olah sedang memegang sesuatu yang sangat berharga.

“I... I... Ibu...”

Zenith tidak mengatakan apa-apa.

Tapi perasaannya pasti tersampaikan, karena air mata mulai mengalir deras dari kedua mata Norn.

Aku langsung menyadari bahwa ekspresi Norn sebelumnya adalah karena dia menahan tangis.

“Ibu, se... selama ini... hiks, te... terima kasih...”

Norn sudah tidak bisa berkata-kata lagi.

Ketika giliranku tiba, wajah Norn sudah basah oleh air mata dan ingus.

Padahal ini pesta pernikahan, momen yang bahagia...

“Kakak...”

Aku mengeluarkan sapu tangan dari sakuku dan mendekatkannya ke hidung Norn.

“Ayo, tiup hidungmu.”

“Aku bisa melakukannya sendiri!”

Norn merebut sapu tangan itu dan meniup hidungnya dengan keras.

Kemudian, dia tampak bingung harus berbuat apa dengan sapu tangan yang sudah dipakai, jadi aku mengambilnya kembali dan memasukkannya ke dalam saku.

Lalu, aku kembali menghadap Norn.

“Um... Norn... selamat, ya.”

“Kakak...”

Norn menatapku dengan ekspresi tegang, bibirnya terkatup rapat.

Aku bingung harus berkata apa. Rasanya tadi aku sudah menyiapkan kata-kata, tapi semuanya hilang begitu saja.

“Kakak, terima kasih untuk segalanya selama ini. Aku sangat bahagia sekarang. Tapi kebahagiaanku ini, kurasa pasti berkat Kakak.”

Saat aku ragu-ragu, Norn berkata demikian.

Dia bilang dia bahagia sekarang. Itu sudah jelas terlihat.

“Tidak... ini karena Norn sudah berusaha keras.”

“Aku tidak berusaha keras. Bahkan pernikahan ini pun Kakak yang mengurus semuanya.”

“Kalau Norn tidak berusaha keras, Ruijerd tidak akan meminta izin untuk menikahimu.”

Ruijerd adalah orang yang hanya mengenal prajurit atau anak-anak.

Kalau Norn masih seperti dulu, pasti tidak akan jadi begini.

“Tapi aku merasa ini semua berkat Kakak. Sungguh, terima kasih banyak.”

Norn tampak akan menangis lagi, jadi aku bermaksud mengeluarkan sapu tangan dari sakuku, tapi saat menyadari sapu tangan itu masih basah, tiba-tiba ada yang menyodorkan sapu tangan dari sampingku.

Ternyata itu Aisha.

Aku menerima sapu tangan itu dan mengelap air mata Norn.

“Norn.”

“Ya.”

“Aku tidak pandai bicara, dan hal-hal penting sudah disampaikan oleh yang lain, jadi tidak banyak yang bisa kukatakan.”

“Ya.”

“Mungkin nanti akan ada saat-saat yang sulit dan menyakitkan... tapi tetaplah berjuang, dan teruslah bahagia selamanya.”

Anehnya, air mataku tidak mengalir.

Padahal aku yakin pasti akan menangis, dan tadi pun mataku sudah berkaca-kaca, tapi saat mengucapkan kata-kata itu, air mataku sudah surut.

Aku hanya bisa berdiri di depan Norn dengan perasaan bangga.

“...Baik!”

Norn pun berhenti menangis dan mengangguk kuat-kuat dengan senyum lebar di wajahnya.


★ ★ ★


Demikianlah, Norn menikah.

Ruijerd dan Norn, pasangan dengan perbedaan tinggi badan dan usia yang besar, namun ternyata kecocokan mereka lebih baik dari yang diperkirakan. Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak.

Seorang anak perempuan suku Superd dengan wajah yang sangat mirip Norn, rambut hijau, ekor yang imut, dan permata di dahinya.

Anak itu diberi nama “Luicelia Superdia”.

Saat mendengar nama itu, Orsted membuat ekspresi yang sangat menakutkan.

Dengan ekspresi yang sangat menakutkan itu, dia tersenyum. Melihat senyuman yang membuat bulu kuduk merinding itu, aku menyadari sesuatu.

Pasti nama itu cocok dengan nama yang ada dalam ingatannya.

Tanaka Note: Asuuu, radak mewek njir bacanya......


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close