NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomeina Yoru Ni Kakeru-kun Volume 1 Chapter 7

 


Penerjemah: Rion 

Proffreader: Rion


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.

Jangan lupa juga join ke DC, IG, WhatsApp yang menerjemahkan light novel ini, linknya ada di ToC ini.


Chapter 7 - Gambar Kembang Api 


Aku pikir, aku tidak pernah bergantung pada orang lain. Namun, ternyata itu lebih mirip dengan bentuk perlindungan diri yang mendekati keputusasaan, dan aku terkejut betapa kuatnya keinginan yang mendalam ini dalam diriku.

Meski sudah menangis begitu banyak, aku mencemooh diriku yang tanpa kapok kembali pergi ke rumah sakit.

Hari ini adalah hari mendongeng buku cerita. Suara lembut Hayase yang satu nada lebih tinggi bergema di ruang anak, dan anak-anak terpaku pada isi buku cerita tersebut.

“Putri itu meneteskan air mata setelah menggigit buahnya.”  

Sang putri memakan 'buah kebenaran' yang dibuat oleh penyihir, dan menangis dengan keras karena merasa bersalah atas kebohongan yang dia buat tentang pangeran. Beberapa anak terlihat menahan air mata pada momen itu.  

“Lalu kemudian, putri dan pangeran hidup bahagia selamanya.”  

Dengan keberanian sang pangeran yang akhirnya mengetahui kebenaran, cerita itu berakhir dengan bahagia. 

Meskipun anak-anak tampak bahagia, Fuyutsuki yang duduk dibelakang, memasang ekspresi sulit. Fuyutsuki yang duduk dibelakang, memasang ekspresi sulit. 

Sesi bermain piano dimulai setelah sesi dongeng buku cerita berakhir.

Fuyutsuki banyak melakukan kesalahan dan menginterupsi lagunya berkali-kali.


Hari berikutnya, ketika aku pergi sebagai relawan, aku tidak melihat Fuyutsuki.

Tampaknya dia sakit.


Hari berikutnya lagi, dia juga tidak ada.

Aku tahu letak di mana ruang rawat Fuyutsuki berada. Suatu hari, saat melihat Fuyutsuki yang terhuyung-huyung dan khawatir, aku berjalan mengikutinya sampai ke depan ruangannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tindakan yang sepenuhnya mirip dengan penguntit itu membuatku takut pada diriku sendiri saat itu, tetapi sekarang aku ingin mengatakan 'kerja bagus' pada diriku di masa lalu.

Setelah berpisah dengan Hayase dan Narumi yang ikut dalam 'waktu anak', aku langsung pergi menuju ruangan Fuyutsuki.  

Seperti yang diharapkan dari rumah sakit besar atau rumah sakit mewah, semua kamar di bangsal adalah kamar pribadi. Pada plakat yang teratur di setiap kamar, hanya ada satu nama yang tertera. 

Aku berdiri di depan kamar 'Fuyutsuki Koharu' di lantai tujuh bangunan barat.  

Ketika aku hendak mengetuk pintu, aku mendengar suara dari dalam.


"Benar-benar mau dipotong?"

"Iya, tolong."


Dengan perlahan, aku sedikit membuka pintu dan mengintip ke dalam. 

Dari celah pintu, hanya bagian kaki dari tempat tidur putih yang terlihat, sehingga aku tidak bisa melihat Fuyutsuki. Sebagai gantinya, terlihat seorang wanita yang mengenakan kimono. Aku tidak begitu paham tentang kimono, tetapi dari sekilas tampak jelas bahwa itu adalah kimono mahal. Kain yang tampak lembut itu berwarna biru langit pudar, dengan gambar kipas yang menghiasi.

Wanita yang mengenakan kimono itu mirip sekali dengan Fuyutsuki. Dia terlihat seperti versi Fuyutsuki dengan mata yang lebih sayu dan kesan yang lebih lembut. Aku pikir itu pastilah ibunya. 

Wanita yang tampak sebagai ibu Fuyutsuki itu memegang sebuah gunting.

Mungkin menyadari tatapanku, beliau melihat ke arah pintu. Jantungku hampir berhenti ketika mata kami bertemu, tetapi ibunya hanya tersenyum cerah sembari mengangkat jari telunjuk ke bibirnya. Itu adalah isyarat untuk 'diam'.

"Baiklah kalau begitu. Ibu akan pergi membeli minuman dulu sebentar, hehe," katanya kepada Fuyutsuki yang berbaring di tempat tidur. Kemudian dengan langkah kecil, dia berlari ke arah pintu. 

Setelah keluar dari dalam ruangan, dia menoleh ke arahku dengan mata penasaran.

"(Temannya Koharu?)" bisiknya.

"Ah, ya---" jawabku, dan dia membalas cepat, "Diam!"

"(Mari bicara di tempat lain, tanpa sepengetahuan Koharu.)" 

Dengan gunting di dadanya, beliau tersenyum. Padahal bisa meninggalkannya, tapi dia tetap memasukkan jari telunjuk dan ibu jarinya ke dalam lubang pegangan gunting itu. Dia tampak agak menyeramkan, tapi juga terlihat sangat polos. Benar-benar ibu Fuyutsuki.


Aku duduk di sofa di depan mesin penjual otomatis. Ibunya Fuyutsuki tersenyum sambil menatapku.

Mungkin karena dia mirip dengan Fuyutsuki, aku merasakan sensasi aneh ketika akhirnya bisa 'bertatapan mata,' sesuatu yang tidak pernah bisa kulakukan dengan Fuyutsuki sebelumnya.

"Jadi kamu temannya Koharu, ya?"

"Ah, ya. Nama saya Sorano Kakeru. Dari kampus yang sama---"

Setelah aku mengatakan itu, beliau menyela, "Kampus?"

“Lagipula, dia memang benar-benar kuliah, kan?”

"Ah, ya. Kami dari jurusan yang sama."

"Syukurlah~" katanya sambil terjatuh di sofa.

"Karena dia terus-terusan bilang 'Aku tidak pernah ikut kuliah,' sejak masuk rumah sakit, aku pikir ada yang salah."

"Apa dia juga mengatakan hal-hal seperti itu di rumah?"

"'Hal-hal seperti itu'? Memangnya dia ada mengatakan sesuatu lagi?"

"…Umn, seolah-olah dia melupakan kita."

Begitu aku berkata, ibu Fuyutsuki membulatkan matanya. Mungkin seharusnya aku tidak mengatakannya seperti itu. Rasa bersalah perlahan-lahan memenuhi dadaku. Namun, yang mengejutkan, ibu Fuyutsuki tersenyum lembut.

"Begitu ya… Kalian pasti merasa sulit juga..."

Ekspresinya yang seolah tidak menunjukkan kesedihan membuat hatiku terasa tertekan.

"Tidak, saya baik-baik saja."

"Tidak mungkin. Pasti sulit, kan?"

"Saya... baik-baik saja."

"Oh, begitu," kata ibu Fuyutsuki sambil tersenyum. Kenapa dia bisa tersenyum seperti itu? Secara tidak sadar, aku bertanya, "Ibu, bukankah Nada juga merasa sulit?"

"Ah, 'Ibu', ya. Mungkin...."

"Tidak, bukan begitu," jawabku dengan panik, dan ibu Fuyutsuki tertawa. "Itu hanya lelucon," katanya sambil tertawa. Haha, ahaha, dia sudah sering tertawa seperti itu dari tadi. Sepertinya, semua hal baik dari Fuyutsuki berasal darinya. Memang, tidak bisa diragukan lagi dia benar-benar ibu Fuyutsuki.

"Aku tidak tahu apakah boleh mengatakan hal semacam ini kepada Sorano-kun," kata ibu Fuyutsuki dengan suara lembut, lalu berhenti sejenak.

"Jujur saja, itu sangat sulit."

Suara yang diucapkannya dengan tenang membuat seluruh tubuhku kaku. "Kenapa aku tidak bisa memberinya tubuh yang sehat? Tidak ada satu hari pun ketika aku tidak merasa menyesalinya."

"Tapi," lanjutnya, "jika aku terlihat menderita, itu akan membuat semuanya semakin menyedihkan untuk anakku, bukan? Jika dia harus melewati ini, maka aku juga harus bisa tersenyum di sampingnya."

Air mata mulai mengumpul di sudut mata ibu Fuyutsuki. Melihatnya, pandanganku mulai kabur. 

"Oleh karena itu, aku mohon agar kamu tetap berada di sisinya. Mungkin sulit, tapi aku ingin kamu juga tersenyum dan berada di sampingnya."

"Baiklah," jawabku, dan dia tersenyum sambil berkata, "Terima kasih," lalu menggerakkan guntingnya dengan ceria.

"Gunting itu... untuk apa?"

Ibu Fuyutsuki melihat gunting itu dan berkata, "Oh, ini? Untuk memotong rambut. Dia akan mulai kehilangan rambutnya karena efek obat. Ini sudah ketiga kalinya, dan aku rasa dia pasti tahu apa yang akan terjadi pada dirinya."

"…Begitu ya. Padahal rambutnya begitu panjang dan indah."

"Ah, tapi, kami tidak akan memotong dan membuangnya. Apakah kamu tahu tentang donasi rambut?"

"Donasi rambut?"

Aku mengeluarkan ponsel dan mencari informasinya. Ternyata, itu adalah kegiatan mendonasikan rambut sendiri untuk anak-anak yang kehilangan rambut karena penyakit. Rambut yang didonasikan akan dijadikan wig dan dibagikan secara gratis. Banyak orang yang mencarinya, dan tampaknya banyak anak-anak yang sedang menunggu giliran.

"Kalau begitu, jika Fuyutsuki akan kehilangan rambutnya, bukankah seharusnya dia membuat wig untuk dirinya sendiri?"

Ketika aku mengatakan itu, ibu Fuyutsuki menggelengkan kepala.

"Karena pernah merasa sedih saat kehilangan rambut, dia ingin mendonasikan rambutnya untuk anak-anak yang membutuhkan."

"Saya mengerti..." 

Aku terdiam sejenak. Mendengar kebesaran hati Fuyutsuki, aku hampir tidak bisa menahan air mata. Aku mengambil napas dalam-dalam, berusaha menahan diri.

"Memang, jika itu Fuyutsuki... dia pasti akan mengatakan hal seperti itu."

"Dia memang begitu. Mungkin aku terdengar seperti orang tua yang terlalu menyombongkan, tapi aku pikir dia memanglah anak yang sebaik itu."

"Kalau begitu, berkunjunglah lagi di lain waktu," Dengan kata-kata itu, ibu Fuyutsuki melambaikan tangan kanannya yang masih memegang gunting, lalu kembali ke dalam ruangan.


🔸◆🔸


"Hari ini, mari kita gambar kembang api di atas kertas ini."  

Dalam waktu anak-anak hari ini, aku berencana untuk mengajak anak-anak menggambar kembang api bersama. 

Ada jenis kembang api yang disebut sebagai kembang api berbentuk, seperti bentuk senyum, bintang, dan lain-lain, yang mengekspresikan bentuk melalui gambar kembang api. Dan, aku ingin anak-anak mendesain untuk kembang api tersebut.


---Satu minggu yang lalu, setelah aku berhasil menguraikan tulisan dengan huruf braille di dalam penanda buku Fuyutsuki di perpustakaan, aku menelepon Hayase.

Aku langsung mengatakannya, "Mari kita buat acara kembang api!"

Aku mendiskusikannya dengan Hayase, yang merupakan anggota panitia pelaksana festival, tentang kembang api yang seharusnya diluncurkan di festival kampus. 

"Jika kita bisa menstimulasi ingatannya, mungkin akan terjadi sesuatu."

Aku juga telah membagikan kata-kata dari dokter Fuyutsuki dan tentang membuat kembang api yang tidak dapat dilihat oleh Fuyutsuki. 

Kami mambawa topik ini dalam beberapa hari terakhir.

Ketika merencanakan kembang api dengan Hayase, kami juga membahas tentang apakah anak-anak di rumah sakit bisa melihatnya atau tidak. Dalam konsultasi bersama Kotomugi-senpai, ide ini berkembang menjadi proyek, 'Fireworks for Kids.'

Kami menjelaskan ini kepada pihak universitas dan perusahaan pembuat kembang api serta pihak terkait lainnya, sampai akhirnya sepakat untuk mengadakan festival kembang api musim panas sebagai pengganti kembang api yang tidak dapat diluncurkan pada hari festival kampus.


Anak-anak sibuk menggambar kembang api dengan krayon dan pensil warna mereka.

Fuyutsuki masih tidak datang ke ruang anak. Menurut cerita yang kudengar dari salah seorang perawat yang sudah akrab, dia tampaknya sedang berbaring di ruang perawatan. Karena ini menyangkut informasi pribadi, aku tidak bisa mengetahui kondisinya lebih lanjut. 

Setelah waktu anak selesai, Hayase menyerahkan selembar kertas putih dan pensil warna, sambil berkata, "Ini, tolong ya." 

Aku mengangguk dan berpisah dengan Hayase. Dia membawa gambar yang dibuat anak-anak ke kampus, sementara aku pergi menuju ruang perawatan dimana Fuyutsuki berada.

Saat menuju ruang perawatan, aku bertemu dengan ibu Fuyutsuki. Dia tersenyum ramah, "Terima kasih."  

"Tidak, maaf sudah mengganggu setiap hari."  

"Jaga Koharu ya. Aku harus keluar untuk menyelesaikan urusan sebentar." 

Di tangan ibu Fuyutsuki ada ponsel Fuyutsuki yang layarnya pecah seperti jaring laba-laba.  

"Baru-baru ini, dia sepertinya merusak ini di kamarnya. Akhirnya model yang sama sudah tiba, jadi aku harus pergi untuk mengambilnya."  

"Begitu ya..."  

"Oh, ini. Masker dan semprotan disinfektan. Mungkin dia sedang tidur."  

Ibu Fuyutsuki menyerahkan masker kepadaku dan menyemprotkan disinfektan ke tanganku. Dari titik ini, aku bisa merasakan bahwa kondisi Fuyutsuki semakin memburuk.


Berhenti di depan ruang rawat Fuyutsuki, aku menarik napas dalam-dalam. Setelah menenangkan diri sejenak, aki mengetuk pintu ruangan. Namun, tidak ada jawaban. 

"Permisi..."  

Bagaikan seorang pencuri, aku masuk ke dalam dengan sangat hati-hati.

Di sana, Fuyutsuki sedang tidur. Sandaran tempat tidur yang bisa disesuaikan dinaikkan, dan Fuyutsuki tidur dalam posisi setengah duduk. 

Jendela terbuka, dan angin sejuk yang masuk setiap kali gorden bergerak terasa segar, untuk ukuran sesuatu yang jarang terjadi di tengah kota besar.

Rambut Fuyutsuki sudah dipotong pendek. Sebelumnya, rambutnya panjang dan terlihat anggun, kini rambutnya dipotong pendek hingga telinga. 

Aku duduk di kursi di samping tempat tidurnya, merasakan angin yang mengalir dari jendela.

Dari samping, saya bisa mendengar napas Fuyutsuki yang lembut. Aku berpikir bahwa wajah tidurnya terlihat seperti Putri Salju. Saat melihatnya, aku merasakan perasaan yang melimpah di dalam hati. 

Berusaha menghilangkan kehadiran agar tidak membangunkannya, aku terus memandangi wajah tidur Fuyutsuki. 

Kuharap waktu yang tenang seperti ini bisa terus berlanjut. Namun, di sisi lain, ketika memikirkan penyakit yang menggerogoti Fuyutsuki, hatiku terasa dingin. 

Mengapa nasib seperti ini harus jatuh pada Fuyutsuki? Tahun ini, kemungkinan hidupnya hanya lima persen. Mengingat angka tersebut, wajah tidurnya yang damai ini tiba-tiba terasa sangat menakutkan. 

Kematian melintas di benakku, dan keputusasaan akan kehilangan dirinya menghantam diriku. 

Angin sejuk dari jendela yang sebelumnya terasa nyaman kini menjadi dingin. 

Aku perlahan menutup jendela. Saat menutup jendela, terdengar suara 'kriiiik,' dan aku merasa terkejut. Suara itu membuat Fuyutsuki bereaksi, mengerang, dan meregangkan tubuhnya.

"Ibu?"

Fuyutsuki membuka mata dan mengarahkan pandangannya ke arahku. Jantungku berdebar, aku merasakan sensasi seolah-olah dia melihat kehadiranku, meksipun sebenernya dia tidak menyadarinya. 

"Jendelanya boleh dibuka saja. Rasanya enak dan sejuk," katanya dengan suara manja. 

Suaranya yang manja terasa segar. Melihat cara dia menggerakkan punggungnya saat berbalik bahkan membuatku hampir tertawa. 

Mungkin merasa curiga karena 'ibu'-nya tidak memberikan respon, Fuyutsuki bertanya, "Ibu? Maaf, ataukah perawat?"

Nada manja berubah menjadi suara cemas. Karena merasa tidak enak jika terus diam, aku memutuskan untuk berbicara.

"Maaf, ini... Sorano."

Fuyutsuki terlihat bingung mendengar kata-kataku, kemudian sepertinya teringat dan mulai mencari tombol panggilan perawat.

"Sebentar, sebentar!"

"Kenapa kamu masuk tanpa izin?"

"Ah, aku hanya khawatir karena kamu tidak menunjukkan wajahmu belakangan ini."

"Aku sudah bilang padamu untuk melupakanku sebelumnya, kan?"

"Tidak apa-apa. Ini hanya kunjungan biasa. Aku juga diminta oleh ibumu."

"Kamu bertemu ibu?!"

Fuyutsuki tampak marah dan meregangkan tubuhnya. Namun, tiba-tiba dia menekuk tubuhnya sambil menekan dada. Di lengan kiri, terhubung sebuah selang infus yang tersambung ke kantong transparan bertuliskan 'Sordem,' yang tergantung di stand infus.

"Apa kamu baik-baik saja?"

"Sebentar, beri aku..... sedikit waktu," katanya.

Fuyutsuki berusaha menenangkan napasnya, terdengar suara napas berat, 'haah, haah, haah.' Wajahnya pucat, dan keringat mengucur deras di wajahnya.

Aku juga menyadari bahwa dia tampak semakin kurus.

"Maaf," aku meminta maaf tanpa mengerti kenapa aku mengucapkannya.

Fuyutsuki, yang tampaknya masih merasa kesal denganku, berkata, "Sorano-san, kenapa kamu begitu keras kepala?"

"Maaf," aku lagi-lagi meminta maaf tanpa alasan yang jelas.

"Berhenti minta maaf."

"Apa... kamu baik-baik saja?"

"Aku merasa kesakitan."

Fuyutsuki menatapku dengan matanya yang tidak terlihat dan tersenyum. Senyuman itu terlihat berbeda dari senyuman tulus seperti biasanya, itu terlihat seperti mengandung kesedihan yang tersirat.

"Belakangan ini, meskipun aku minum air, aku sering muntah. Jadi aku harus diinfus."

"Sampai punya efek samping seperti itu? Apa obatnya cukup kuat?"

"Ya, sangat kuat. jumlah sel darah putihku menurun, dan mulutku dipenuhi sariawan."

Saat berbicara, napasnya mulai terengah-engah dan keringat dingin tampak menetes dari wajahnya.

"Bukankah itu menjijikan?"


---Lebih baik kamu melupakan aku.


Kata-kata itu diucapkan oleh Fuyutsuki.

"Tidak, sama sekali tidak."

"......Sungguh, kamu keras kepala sekali."

Setelah mengatakan itu, Fuyutsuki mengalihkan pandangannya. Dia melanjutkan dengan suara yang lemah.

"Dokter bilang, mungkin minggu depan rambutku akan mulai rontok."

"Begitu..."

"Itulah yang paling aku takutkan."

Hari ini, Fuyutsuki banyak bicara. Mungkin jika dia tidak mengungkapkan


ketakutannya, dia merasa akan hancur. Atau mungkin, dia hanya sedang putus asa.

"Aku tidak bisa melihat, jadi aku tidak tahu bagaimana keadaanku," suaranya mulai bergetar, dan mendengarnya membuatku hatiku terasa berat 

"Rasanya sangat sulit membayangkan hanya dengan sentuhan."  

Akhirnya, Fuyutsuki mulai menangis. 

Ini adalah pertama kalinya aku melihatnya menangis. Perasaan kasih yang kumiliki teredam oleh rasa sakit di dada, aku merasa seperti sedang tercekik.

Kemudian, Fuyutsuki akhirnya mengucapkan satu kalimat dengan suara kecil, "Aku... ingin mati saja." 

Aku terkejut. Fuyutsuki yang selalu tersenyum, mengatakan itu?

Tapi, Fuyutsuki yang mana itu? Apakah itu Fuyutsuki yang aku bayangkan dan ciptakan sendiri? 

Apakah Fuyutsuki yang sedang bergetar di depanku ini bukanlah Fuyutsuki yang sebenarnya? 

Apa yang bisa aku lakukan? 

Apa yang bisaku lakukan? 

Dalam situasi seperti ini, apakah lebih baik jika aku mengusap punggungnya? Seketika, aku merasa ragu untuk menyentuhnya. Namun, aku tidak ingin hanya diam saat orang yang kusayangi menangis terisak-isak seperti ini.

Ketika aku menyentuh punggungnya, Fuyutsuki terkejut. Aku khawatir dia akan menolak, tetapi ternyata dia tidak mengatakan apa-apa. 

Sebisa mungkin, aku berusaha untuk berbicara dengan suara yang tenang kepadanya.

"Di kampus, ada proyek yang dinamakan 'Firewors for Kids'."  

"Fireworks for kids?"  

"Ini adalah bagian dari kegiatan sukarela di rumah sakit, di mana kita akan mengubah gambar anak-anak menjadi kembang api sesungguhnya. Kampus kami akan melakukannya sebentar lagi."  

Aku perlahan-lahan mengusulkan sambil menunggu pemahaman Fuyutsuki.  

"Aku ingin bertanya, apakah Fuyutsuki mau menggambarnya juga?"  

"Apa, aku?"  

"Ya. Hari ini, kami mengumpulkan gambar untuk dikirim ke perusahaan kembang api. Ada waktu untuk produksi dan persiapan, dan peluncurannya akan dilaksanakan di akhir September."  

"Jadi," aku melanjutkan, "Mari kita berusaha. Hanya tinggal tiga bulan lebih sedikit. Kita bisa menjadikan ini sebagai motivasi untuk memperbaiki kesehatanmu."  

"Kenapa..." Fuyutsuki mengangkat suaranya.  

"Kenapa kamu mengatakan hal seperti itu?!"  

Suara Fuyutsuki terdengar lebih keras dari biasanya.  

"Padahal aku sudah bilang ini sulit! Kenapa kamu harus mengatakan hal yang lebih menyakitkan seperti itu?"  

Dengan kedua tangan menutupi wajahnya, tangisan Fuyutsuki mulai menjadi-jadi.  

Air mata mulai menetes, membasahi seprai putih.  

"Apa kamu bisa menyentuhnya?" 

Aku memegang tangan Fuyutsuki yang tak dapat melihat, lalu membiarkannya merasakan sesuatu. Itu adalah penanda buku kuning yang aku temukan.  

Ketika Fuyutsuki menyentuh penanda buku itu, ekspresi terkejut muncul di wajahnya.  

"Ini, milikku?"

"Maaf, aku sudah membacanya isi didalamnya."  

"……Tidak adil.…… Sungguh tidak adil."  

Fuyutsuki kembali membasahi pipinya dengan air mata. Aku menggenggam bahunya dan mencoba sebisa mungkin untuk mengeluarkan semua energi positif yang aku miliki.

"Lebih baik punya sebuah tujuan, bukan?"  

Meskipun Fuyutsuki terluka, aku ingin menyemangatinya. Aku ingin menguatkan orang yang bahkan dengan tulus ingin menyumbangkan rambutnya untuk orang lain.

"Daripada menangis seperti itu, lebih baik punya tujuan. Ayo kita berjuang. Meskipun kita mungkin tidak bisa mengurangi rasa sakit saat berjuang melawan penyakit ini. Aku akan datang menjenguk, mendengarkan, dan memberi semangat. Jadi...."  


---Ayo kita berjuang bersama.


Aku tersenyum meskipun tahu bahwa Fuyutsuki tidak akan bisa melihatnya. 

Senyum itu mungkin bisa tersampaikan melalui suara, atau melalui suasana hati. Bahkan jika hanya satu persen, itu sudah cukup bagiku.

"Apa ini baik-baik saja?"  

"Tentu."  

"Apakah... aku benar-benar bisa berjuang?"  

Fuyutsuki yang menangis dengan wajah berantakan. Aku mengusap punggungnya, mencoba menenangkan, "Tentu, aku yakin semuanya akan baik-baik saja."  

"…Baiklah."  

Fuyutsuki berkata dengan suara serak.  

"Aku juga boleh menggambar kembang apinya, kan?"  

"Tentu saja."  

"Kalau begitu, tolong berjanjikan. Setelah aku menggambar, aku akan melipat kertasnya, dan Sorano-san tidak boleh melihat isinya."  

"Baiklah."  

"Silakan hadap belakang."  

"Oke."  

"Apa kamu benar-benar sudah menghadap belakang?"  

"Aku sudah berbalik."  

Setelah memberikan pensil warna yang diminta Fuyutsuki, dia segera menggambar sesuatu.  

"Kamu butuh bantuan?"  

"Tidak, aku bisa menggambar ini sendiri."  

Setelah itu, aku menerima kertas yang dilipat dengan rapi menjadi delapan bagian dan dia menekankan agar aku tidak melihatnya.


🔸◆🔸


Hari Laut (Umi no Hi - 海の日) telah tiba, dan mulai hari ini liburan musim panas dimulai. Banyak kamps tampaknya memiliki liburan musim panas dari bulan Agustus hingga September. 

Kampus tempat aku kuliah menetapkan periode liburan musim panas yang sama dengan yang ada di SD, SMP, dan SMA. 

Sepertinya jurusan Narumi dan yang lainnya akan melakukan praktik pelayaran selama sebulan dari akhir Juli hingga akhir Agustus. 

Selain itu, mulai bulan September setelah liburan musim panas, ujian semester pertama juga menjadi jadwal yang jarang ditemui dibandingkan dengan kampus lain.


Hari Laut memang pantas untuk disambut, cuacanya sangat cerah dan panas. Di kegiatan sukarela, untuk pertama kalinya kami bertiga bermain dengan anak-anak. Anak-anak sangat menyukai Narumi, dan ketika Narumi datang, para bocah berlari menghampirinya sambil memanggil, "Oniichan!" Sementara itu, aku dipanggil "Oniisan."

Setelah waktu bermain anak-anak berakhir, kami bertiga, Hayase, Narumi, dan aku, mengunjungi ruang rumah sakit Fuyutsuki. Setiap kali bertemu, Fuyutsuki tampak semakin kurus. 

"Bagaimana kabarmu?" tanyaku. 

"Sedikit," jawabnya, dengan senyuman samar, entah apakah ia merasa sedikit lebih baik atau sedikit lebih menderita. Gaya bicara Fuyutsuki yang tajam mulai melunak, tetapi ia tetap tampak sangat menderita. 

Sementara Narumi terus menceritakan cerita kerja paruh waktunya dalam bahasa Kansai sebagai kisah kepahlawanannya, dan Hayase merespons semua itu dengan dingin, Fuyutsuki hanya bisa tersenyum tipis, seolah itu adalah senyuman basa-basi.


Dalam perjalanan pulang dari kunjungan, aku berkeringat hanya dengan berjalan. Di tengah jalan, aku membeli es krim di minimarket. Karena Narumi memilih es krim rasa soda, kami semua tertarik dan membeli jenis yang sama. 

Kami bertiga berjalan beriringan sambil memakannya.

Mengunyah es biru yang renyah, rasa dingin dan rasa soda yang sudah dikenal langsung menyebar di mulutku. 

"Uh-oh," Narumi menggigit bagian bawah es krim yang sudah mulai meleleh. 

Meskipun sudah petang, matahari masih tinggi.

Di bawah sinar matahari yang terik, kami harus makan dengan cepat agar es krimnya tidak mencair. Hayase bahkan terlihat kesulitan mengikuti. 

"Hey, Hayase, jangan sampai tumpah!" Aku mengingatkannya. 

"Karena ini menetes, jadi..." dia menjawab sambil memutar tubuhnya menghadap Narumi. 

"Wow, jangan hadap ke sini!" kata Narumi, dan Hayase kembali menghadap ke arahku. 

Sambil terus mengoceh dengan Narumi seperti, "Uh-oh, hadap sana." dan "Tidak boleh," kami tertawa mengelilingi Hayase. 

"Jangan tertawa!" 

Mungkin karena kesal, Hayase berteriak. Saat itulah, sisa es krim miliknya jatuh ke aspal. 

" " "Ahh..." " "

Melihat itu, kami semua saling memandang dan menghela napas.

Entah kenapa, tawaku tiba-tiba pecah. Di antara kunjungan kami yang serius ke rumah sakit, ini adalah momen langka ketika kami tertawa terbahak-bahak.

"Perutku sakit," kata Hayase, dan Narumi berkomentar, "Kenapa kita semua membeli es krim yang sama?"

"Meski agak awal, bagaimana kalau kita makan malam dengan hamburger? Ada di Tsukishima, kan?" Aku setuju, tetapi Hayase tampak tidak puas dan berkata, "Eh?"

"Hayase, kamu mau makan apa?" tanya Narumi. 

"Ada restoran ramen yang sudah lama aku perhatikan," jawabnya. Menurutnya, ada restoran ramen di bawah jembatan jalan tol setelah melewati Stasiun Monzen-Nakacho. Dia mendengar dari para senpai bahwa ramen di sana enak, dan dia sudah lama penasaran. Namun, dia merasa tidak berani masuk ke restoran ramen sendirian dan merasa ragu untuk dengan santai berkata, "Ayo pergi!"

"Kami sih tidak masalah," aku menanggapi dengan tatapan dingin, sementara Hayase tersenyum canggung. 

Narumi menyilangkan tangan di belakang kepala dan berkata dengan suara tenang, "Kalau begitu, mari naik kereta dari Tsukishima." Lalu dia melanjutkan, "Oh iya, kedepannya kita sebaiknya berhenti berkunjung ke tempat Fuyutsuki dalam kelompok besar."

"Benar," jawab Hayase dengan wajah serius. 

Kami tidak bisa tinggal lebih dari lima belas menit di ruangan rumah sakit setelah melihat kondisi Fuyutsuki yang semakin memburuk. Meskipun seharusnya tidak berlama-lama jika Fuyutsuki sakit, hari ini kami merasa tidak nyaman karena tetap berada di sana ramai-ramai. Melihat Fuyutsuki yang tampak kesakitan membuat kami tidak bisa tenang, dan itu memberikan bayangan gelap di hati kami.

"Aku, setelah masuk liburan musim panas, ada praktik pelayaran. Jadi, aku tidak akan kembali ke asrama sampai akhir Agustus," Narumi menjelaskan. 

"Begitu?" tanya Hayase. 

"Kamu tidak tahu? Jurusanku memang begitu. Kita akan berlayar mengelilingi Jepang dengan kapal latihan."

"Kalau begitu, souvenirnya haruslah Genghis-khan Caramel," kata Hayase.

"Aku bukan pergi untuk bersenang-senang," kata Narumi sambil tersenyum canggung, tetapi dia tampak akan membelinya dengan baik.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita bergiliran mengunjungi Koharu-chan?" tanya Hayase. 

"Aku yang akan pergi," Tanpa sengaja, kata-kata itu keluar dari mulutku. 

"Sendirian?" 

"Ya."

"Aku tidak diikut sertakan?"

"Iya. Justru, aku ingin pergi sendirian."

"Baiklah," kata Hayase sambil mengangguk. "Sebagai gantinya, aku akan menyiapkan rencana kembang api. Mungkin kembang api bisa membantu mengembalikan ingatan Koharu-chan."

"Itu sih kita tidak akan tahu sampai mencobanya."

Setelah itu, suasana menjadi agak berat.

"Ini memang taruhan dengan harapan yang sangat tipis. Tapi begitu, bisa menunjukkan kembang api kepada Fuyutsuki dan anak-anak saja juga sudah sangat cukup," aku melanjutkan. Hayase dan Narumi saling bertatap muka dan mengangguk setuju.

"Ngomong-ngomong, kamu tidak pulang ke rumah selama liburan musim panas, ya?" tanya Narumi.

"Aku tidak ada rencana untuk pulang," jawabku. 

"Ngomong-ngomong, rumah Hayase di mana?"

"Kalau aku? Aku tinggal di rumah orang tuaku," jawab Hayase.

"Eh, rumahmu di Kiyosumi Shirakawa? Punya rumah di dalam 23 distrik itu, pasti kaya sekali ya..."

Saat aku mengatakannya, Narumi tertawa dan berkata, "Hari ini kita minta si kaya ini traktir ramen, ya!"

"Enggak! Rumahku hanya rumah pegawai biasa!" Hayase menjawab, dan entah kenapa dia mengucapkan 'pegawai biasa' menggunakan nada ritmis. Aku dan Narumi hanya bisa tertawa mendengarnya. 

Bersamaan Hayase yang membulatkan pipinya, kami akhirnya naik kereta bawah tanah dan pergi makan ramen bertiga.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter


Join server Discord disini: https://discord.com/invite/HMwErmhjMV

0

Post a Comment



close