NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomeina Yoru Ni Kakeru-kun Volume 1 Chapter 6

 


Penerjemah: Rion 

Proffreader: Rion


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.

Jangan lupa juga join ke DC, IG, WhatsApp yang menerjemahkan light novel ini, linknya ada di ToC ini.

 

Chapter 6 - Penanda Buku Warna Kuning 


Setelah kejadian itu, aku tak pernah melihat Fuyutsuki di kampus. 

Aku tahu dia selalu melakukan kegiatannya, yaitu bernyanyi untuk anak-anak di sekitar pukul dua belas di rumah sakit. 

Dinding, koridor, dan seragam staf di rumah sakit semuanya berwarna putih, dengan bau disinfektan yang tercium. Ruang anak-anak dicat dengan warna pastel, dan di tengah-tengah area rumah sakit yang telah disterilkan, hanya tempat itu saja yang terasa seperti dunia lain dengan keunikannya. 

Aku diam-diam memperhatikan Fuyutsuki yang tengah bermain piano sambil bernyanyi dengan gembira dari balik kaca. Namun, meskipun juga bisa melihat anak-anak bermain, bernyanyi, dan bersenang-senang diantara nyanyiannya, tidak ada jejak kehangatan yang merasuk di dalam hatiku.

Melihat Fuyutsuki, hatiku hanya bisa terus merasa gelisah. 

Sejauh yang kusadari, Fuyutsuki selalu mengenakan piyama tebal. Apa dia selalu memakai piyama itu karena dirawat? Bagaimanapun, aku tidak bisa berbicara dengannya.

Apa dia benar-benar lupa ingatan? Aku belum bisa menerimanya.

Bisa saja itu hanya lelucon, bisa saja itu hanya kebohongan, bisa saja itu hanya sekedar sandiwara... Apapun itu, aku tak bisa melepaskan segala kemungkinan yang ada.

Merasa seperti sedang bergantung pada satu harapan yang sangat samar, aku mencoba berbicara, "Hei!" dan berakhir diabaikan.

Seperti tidak terdengar sama sekali, seperti sengaja tidak disadari. Itu menyakitkan, itu sulit. Aku merasa makin terpuruk dan menyesal. Aku bahkan mulai merasa ingin mati saja.

Namun begitu, ada satu perasaan pasti yang menyertai; Aku ingin selalu berada didekat Fuyutsuki.

"Ini aneh..." aku berkelakar pada diri sendiri. Aku yang biasanya tidak memiliki perasaan keterikatan pada apapun, kini begitu terobsesi pada kehadiran Fuyutsuki.


🔸◆🔸


Kejadian ini terjadi saat istirahat makan siang. 

Aku memesan hidangan menchi katsu, Narumi memesan katsu curry ukuran besar, dan Hayase memesan ten soba. 

Kami mencari meja kosong di kantin saat waktu paling ramai. Hingga akhirnya, kami menemukan tempat untuk duduk, tetapi setelah mengambil satu suapan, aku menyesalinya. Aku memesan hidangan berat, tetapi nafsu makanku ternyata tidak sebesar itu.

"Eh, lihat ini," kata Hayase dengan suara yang cukup keras di tengah keramaian, sambil menunjukkan layar ponselnya.

Di sana tertulis 'Perekrutan Sukarelawan untuk Mahasiswa'.

"Kamu mau jadi relawan lagi?"

Sambil memasukkan curry ke dalam mulutnya, Narumi berkata kepada Hayase, seolah-olah mengejek kalau dia kecanduan menjadi relawan.

"Lihat isinya baik-baik."

"Eh, relawan untuk rumah sakit itu?"

"Iya! Membantu bermain di ruang anak, membacakan buku cerita, pertunjukan boneka, dan sebagainya." 

Aku merasa seolah-olah ada sinar harapan yang menerangi.

Mungkin dengan ini... aku bisa punya alasan pasti untuk berada di sisi Fuyutsuki.

Begitu mulai memikirkannya, aroma saus menchi katsu tiba-tiba tercium oleh hidungku. Perutku seketika terasa sangat lapar.

"Kalau begitu, ayo kita daftar saja."

"Mungkin kita bisa bicara dengan Koharu-chan juga!"

"Tapi, kan---" kata Narumi sambil melahap sejumlah besar makanannya.

"Kta bsah gglh-------"

"Telan dulu makananmu sebelum bicara." 

Narumi menelan dengan cepat lalu melanjutkan, "Kalau mereka merasa kita punya motif tersembunyi, mungkin kita bisa ditolak saat wawancara."

Dia mengucapkan sesuatu yang masuk akal.

"Aku akan berpartisipasi dengan sepenuh hati tanpa mempertimbangkan Koharu-chan."

Hayase membulatkan tekad. 

Tidak ada lagi Hayase yang terlihat lemah seperti panda sakit beberapa waktu lalu. Kini, dia melihatku dengan wajah yang kuat.

"Ayo kita mendaftar. Mari berusaha untuk Koharu-chan!" katanya dengan sedikit antusiasme. 

Emosi yang menggelegak di dalam diriku juga tidak bisa dihentikan.

Tidak ada yang perlu dipertimbangkan, jawaban sudah jelas.

Aku akan lakukan apapun selama bisa berada di sisi Fuyutsuki.

Perasaan seperti itu mulai mengalir secara alami dari dalam hatiku, perlahan membuat kepalaku terasa mati rasa.

Hidungku terasa panas, dan aku bisa merasakan kegembiraan itu.

Esok harinya, kami bertiga langsung mendaftar sebagai relawan di rumah sakit.


🔸◆🔸


Berkat reputasi universitas dan semangat relawan yang Hayase sangat membantu, tiga dari kami berhasil melewati wawancara tanpa masalah. 

Namun, lulus wawancara bukan akhir dari perjalanan ini.

Sebagai relawan, kami harus mengisi dokumen, menjalani tes antibodi, dan mendaftar asuransi relawan.

Kami juga mengikuti orientasi relawan, yang mengajarkan tentang perilaku yang tidak akan merugikan anak-anak dan tindakan-tindakan pencegahan, seperti tidak berbicara tentang penyakit dan sebagainya.

Ketika orientasi berlangsung, kata-kata seorang perawat menggema di hatiku, "Ini pekerjaan yang sulit, tetapi kita harus tetap melanjutkan."

Aku tahu ini bukan tugas relawan yang mudah.

Pada hari pertama sebagai relawan, ada juga dua wanita paruh baya selain kami. Sepertinya mereka adalah tetangga yang tinggal di sekitar sini.

Ada tiga belas anak-anak di sini. Ada anak dengan sebuah luka di lengannya, anak yang kakinya terbalut gips, anak yang memakai topi rajut. Usia dari mereka berkisar antara lima hingga sembilan tahun.

Menurut perawat, anak-anak ini mengidap penyakit serius sehingga harus dirawat di departemen anak-anak rumah sakit untuk waktu yang lama. Semuanya juga dilarang menyentuh topik seputar penyakit itu, karena waktu di tempat ini adalah demi agar mereka bisa melupakan sedikit rasa sakit yang dialami.

Di ruang bermain, suara ceria terdengar saat anak-anak asyik membuat origami.

"Roaarr!" 

Meskipun mereka seharusnya sedang melipat origami, Narumi malah berakhir diganggu oleh sekelompok anak laki-laki yang mengejar dan menendangnya.

Dilain sisi...

"Mari lipat origami seperti ini," kata Hayase yang dikelilingi oleh anak-anak perempuan. Seharusnya dia bisa melipat pesawat kertas atau bangau yang sederhana, tetapi dia tampaknya mencoba untuk melipat bunga mawar atau bunga lili, yang melebihi kemampuannya sendiri.

Waktu bermain anak-anak di rumah sakit disebut 'Waktu Anak'. Setiap hari, waktu ini disediakan agar anak-anak yang dirawat tidak merasa bosan. 

Sebelum waktu bermain dimulai, perawat yang bertanggung jawab memperkenalkan Fuyutsuki. 

"Dia adalah pasien yang juga dirawat, tetapi dia ikut bermain piano selama Waktu Anak." 

Saat mendengar 'pasien yang juga dirawat,' seluruh tubuku terasa tegang. Aku sebenarnya sudah menduga hal itu, tetapi ketika itu dikonfirmasi secara langsung, perasaan berat melanda dadaku.

Ketika perawat mengatakan bahwa staf mahasiswa baru akan bergabung mulai hari ini, aku merasa Fuyutsuki sedikit terkejut. 

"Senang bertemu," ujarku dengan suara kecil, "Senang bertemu denganmu, mohon bantuannya." 

Ini berbeda dengan Fuyutsuki yang aku kenal. 

Fuyutsuki yang dulu selalu tersenyum ceria saat di universitas, kini menutup mulutnya rapat-rapat.  

"Eh, apa aku bisa melipat origami juga?" kata Fuyutsuki sambil mencoba-coba melipat origami dengan tangannya.

Seolah terpesona oleh suara lembut Fuyutsuki, anak-anak mulai berkumpul di sekitarnya.

Fuyutsuki sedang melipat pesawat kertas. Mungkin pesawat adalah sesuatu yang bisa dia buat meskipun tidak bisa melihat. 

Dia melipat satu dan memberikannya pada seorang anak, kemudian anak itu melemparkannya. Anak-anak meminta origami baru segera setelah melempar yang pertama, sehingga Fuyutsuki kesulitan menjaga kecepatan lipatannya.

Saat dia hampir kehabisan stok origami, aku diam-diam meletakkan beberapa lembar di samping Fuyutsuki. Dia tidak akan menyadarinya karena tidak dapat melihat. Begitulah yang kupikirkan, sampai kemudian....

"……Terima kasih," dia membalas.

Mungkin dia menghitung sisa lembaran kertas itu dengan ujung jari. Jika bisa menghitung uang receh dengan perasaan ujung jari, maka tidak mustahil jika dia juga bisa menghitung sisa lembaran origami dengan cara yang sama.

Aku merasa begitu senang mendengar tanggapan Fuyutsuki, bahkan jika dia tidak menyadarinya. Karena perasaan itu, tanpa sadar aku bahkan mengatakan, "Mungkin aku juga akan melipat pesawat origaminya! Walaupun aku pasti tidak bisa menyusulmu---"

*Bruak--!*

Tiba-tiba, suara terdengar dari belakang, dan seketika itu juga, ada rasa sakit seperti aliran listrik dari belakang hingga kepalaku.

"Sakiiitttt!"

Aku tak sengaja berteriak.

Ketika berbalik, seorang anak laki-laki dengan rambut cepak menatap jijik.

"Tidak boleh, sakit... Itu tidak boleh..."

"Apa yang kamu lihat, onii-chan? Menjijikkan!"

"Bukan begitu, aku tidak melihat..."

"Bohong!"

"Tidak, aku benar-benar tidak melihatnya!"

"Bohong! Onii-chan, kau menatap mesum payudaranya, kan?"

Aku melirik Fuyutsuki sebentar, dan dia memegang dadanya dengan wajah yang memerah.

"Aku tidak melihat, aku tidak melihatnya!"

"Bohong~"

"Hei, hei, hei, kamu tahu? Mereka bilang anak-anak tidak boleh mengolok-olok orang dewasa."

Anak laki-laki itu sepertinya menganggap ini menarik dan mulai berteriak, "Ooppai! Ooppai!" sambil berlari-lari.

"Hey, berhenti! Berlari itu berbahaya!" 

Bahkan saat aku marah, semua orang di sekitar mulai terkikik, sehingga anak laki-laki itu terbawa suasana dan semakin bersemangat dengan teriakan, "Ooppai!" nya.

Narumi, yang berdiri di depan anak laki-laki itu, memeluknya secara tiba-tiba.

"Aku menangkapnya!"

"Tidak, paman. Ini panas sekali."

Anak laki-laki itu mencoba melepaskan diri dari pelukan Narumi. Di sisi lain, Narumi yang mungkin sangat terkejut karena dianggap tua, hanya mengeluarkan suara pendek "P-paman?" dan terdiam kaku.

"Lain kali, kalau kamu lari-lari, aku akan menyuruh paman otot itu menangkapmu lagi."

Ketika aku menegur anak itu, dia dengan tenang berkata, "Aku mengerti...''

"Tunggu, apa itu paman otot?" 

"Kedengarannya seperti sesuatu yang akan populer di situs video."

"Nah, yang begini: Kali ini, 200 push-up. Hari ini juga kita akan berusaha keras bersama paman, kalian tahu?"

"Tidak lucu."

"Eeeh. Rasanya seperti aku yang gagal."

"Kamu memang gagal."

"Apa itu paman otot?"

Mereka terus membicarakan tentang hal tidak jelas itu sambil terus tertawa.

"Hei! Lipat origami kalian!" teriak Hayase marah, Narumi dan anak laki-laki lain serempak menjawab, "Baik."

Seorang ibu rumah tangga yang mendengar percakapan mereka berkata sambil tersenyum, "Seperti pertunjukan komedi, ya."

Tepat pada saat itu, Fuyutsuki tertawa terbahak-bahak. Dia tertawa dengan riang, gemetar dan menggerak-gerakkan bahu. 

Melihat Fuyutsuki yang sudah lama tidak tertawa, membuat perasaan nostalgia muncul kembali. Aku merasa seperti melihat Fuyutsuki yang lama kembali tersenyum.

Itu adalah saat-saat bahagia di teras. Dia terlihat sama, seperti Fuyutsuki biasa yang selalu ada di teras. Membayangkannya seperti ini membuat pandanganku menjadi kabur.


Waktu bermain selama sekitar dua jam berakhir, kami membawa anak-anak kembali ke ruangan mereka, dan saat membersihkan ruangan yang kini mulai sepi, kami mendengar percakapan antara staf sukarelawan. 

"Hei, kamu tahu, Sumire-chan tidak datang hari ini, kan?" 

"Katanya dia mulai menjalani pengobatan." 

"Tentu saja, itu akan menjadi masa-masa sulit baginya." 

Percakapan itu membuat hatiku terasa semakin sesak.


🔸◆🔸


Dua minggu telah berlalu sejak aku mulai menjadi sukarelawan. 

Berbicara dengan Fuyutsuki tidak membuat percakapan menjadi lebih hidup, malah terasa seperti dia sengaja menghindar.

Bulan Juni juga akan segera berakhir, musim hujan berakhir lebih awal dari biasanya, dan liburan musim panas akan segera dimulai.

Pada hari itu, aku ikut serta dalam waktu anak sendirian dan sedang bersih-bersih ketika Fuyutsuki mendekatiku. Hatiku hampir berhenti. Perasaan gugup merayap dalam diriku. Di antara semua kemungkinan, aku paling ingin mendengarnya memanggilku, 'Kakeru-kun'.

Namun, kenyataannya berbicara lain.

"Sorano-san, apa kamu di sini?" 

Aku berusaha sebisa mungkin untuk tetap tenang saat merespon.

"Eh? Aku di sini."

"Sorano-san, apa... kuliahmu baik-baik saja?"

"Baik-baik saja dalam artian apa?"

"Err, maksudku, bagaimana dengan jumlah kehadiranmu?"

"Oh, itu. Tenang saja. Hayase sudah menjadi pengganti untukku."

"Aku cukup khawatir, tahu?"

Fuyutsuki menunjukkan wajah serius. Aku jarang melihat ekspresi seperti itu dari dirinya.

"Bukannya kamu harus lebih mengkhawatirkan dirimu daripada aku sendiri, Fuyutsuki?"

"...? Apa maksudmu?"

"Ah, bukan. Maksudnya, bagaimana dengan kuliahmu sendiri? Apa itu baik-baik saja?"

"Kuliah?"

Dia terlihat bingung, lalu Fuyutsuki berkata dengan tenang,

"Aku tidak pernah masuk ke universitas, lho."

Ini membuat darahku seakan mendidih. Reaksi ini adalah sesuatu yang tidak pernah kusangka. 

Bukankah dia lulus SMA dan bahkan berjuang keras untuk masuk universitas? Kenapa semua ini begitu tidak masuk akal?

"Jangan lari dari pembicaraan ini. Sekarang saatnya berbicara tentang dirimu, Sorano-san."

Aku mulai merasa lelah. Hati ini mencapai batasnya.

"Aku pikir menjadi sukarelawan itu memang luar biasa, tetapi kurasa kamu tidak boleh mengabaikan kewajiban utamamu. Sorano-san."

Aku tidak ingin memikirkannya.

"..."

"..."

Sejenak, kami berdua terdiam.

Ketika keheningan melanda, Fuyutsuki akhirnya bertanya, "Sorano-san?"

"Ya?"

"Aku pikir kamu telah pergi entah ke mana."

"Aku... menyembunyikan kehadiranku sebentar."

Aku memberikan jawaban yang biasanya kuberikan. Aku suka saat Fuyutsuki bermain-main dengan kata-kata, baik itu mengejek atau merayu. Itu adalah momen-momen berharga.

Namun, kali ini, Fuyutsuki tiba-tiba menjadi sangat serius. 

"Tolong hentikan candaan itu," Fuyutsuki mengucapkan dengan suara tajam.

"Kamu mendengarkanku, kan?"

Dia berbicara dengan nada kesal, dan itu membuatku merasa pusing.

Aku tidak ingin memikirkannya. Aku benar-benar tidak ingin memikirkannya.

"Tidak masalah, tidak perlu peduli soal kuliahku," Suaraku semakin keras. Aku menyadari bahwa tatapan para relawan lain mulai tertuju padaku.

Tapi...

Ini terlalu berat.

Aku sudah melupakan semuanya, termasuk perjuanganku sendiri

Untuk bisa menghadapi Fuyutsuki yang seperti ini, apa yang harus aku lakukan?

"Tunggu, apa yang terjadi?"

Fuyutsuki bertanya dengan suara cemas, perlahan mencari-cari di sekitarnya, lalu menyentuh bahuku. Di tengah pandangan yang mulai memudar, aku merasakan sentuhannya. Dia menyentuhku.

Namun, aku menepis tangan Fuyutsuki yang tampak cemas itu. Aku mengibaskannya....

"Tidak, tidak apa."

Aku hampir berteriak, mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.

"Bagaimana kalau kita bicara di luar? Ya?"

Dengan senyum paksa yang tampak kesulitan, Fuyutsuki berkata.

Melihat sekeliling, aku menyadari bahwa semua pandangan tertuju padaku. Aku terlihat sangat tidak stabil secara emosional.

"Maaf."

Meskipun aku tidak benar-benar mengerti mengapa aku harus minta maaf. Tapi aku tetap mengatakannya.

Kami keluar dari ruang anak-anak dan pergi menuju ke taman gantung di atap bersama.

Fuyutsuki memegang lenganku dan pegangan tangga, membimbingku ke taman. Tangan Fuyutsuki yang menyentuhku setelah sekian lama terasa jauh lebih dingin dibandingkan saat aku pernah merasakannya sebelumnya.

Ketika kami tiba di taman, kelembaban awal musim panas membuatku hampir sesak napas. Fuyutsuki berjalan di sepanjang rel pegangan taman. Di ujungnya ada bangku, dan dia duduk di sana.

Setelah beberapa napas dalam-dalam, Fuyutsuki akhirnya mulai berbicara. "Mari kita susun semuanya."

"Apa maksudnya susun kembali?" 

"Maksudku, tentang fakta bahwa aku pernah kuliah di kampus yang sama denganmu dan yang lainnya, benarkah?"

"Yeah, itu benar."

"Jadi, aku dan kamu adalah teman, dan sekarang aku tiba-tiba terlihat seolah-olah aku kehilangan ingatanku?"

"Ya."

Fuyutsuki menatapku dengan tajam, atau lebih tepatnya, dia mengarahkan wajahnya ke arah suaraku berasal.

"Sejujurnya, aku merasa sangat terguncang. Aku bingung tentang apa yang harus kulakukan."

Sebaliknya, Fuyutsuki membalas, "Apa yang kamu ingin aku lakukan? Apakah kamu ingin aku mengingat semuanya?"

"Aku... tidak tahu."

"Jujur saja, itu bisa sangat merepotkan."

"Merepotkan?"

Jawaban tak terduga ini membuatku bingung. 

Apa yang dimaksud dengan merepotkan? Apakah mengingat kenangan lama itu benar-benar merepotkan? Apakah kenangan yang aku anggap sangat berharga itu tidak memiliki nilai bagi Fuyutsuki? 

Detak jantungku semakin cepat dan aku merasa sakit. Pikiranku bergejolak dan kepala ini semakin terasa sakit. Suara-suara serangga dari pohon-pohon taman menambah kebisingan; membuatku semakin gelisah.

"Kenapa begitu? Apa maksudmu?"

Apa ini semua? Aku tak bisa merangkum pikiranku.

Kemudian, entah mengapa, Fuyutsuki dengan senyum lebar di wajahnya berkata dengan suara tenang,

"Aku... sepertinya hanya punya waktu sampai setengah tahun lagi."

Dia melanjutkan, "Kanker sudah menyebar kearah hati, dan aku akan mati sebentar lagi."

'Aku akan mati' — dengan mudahnya, Fuyutsuki mengucapkan kata-kata itu.

"Mengingat memori-memori yang terjadi ketika aku tahu akan mati sebentar lagi... itu akan jadi menyakitkan, bukan? Dan untukmu, Sorano-kun, kamu sebaiknya tidak perlu terlibat lagi denganku, seseorang yang sebentar lagi akan segera mati."


---Semua usahamu hanya akan berakhir menjadi waktu yang terbuang.


Dengan sangat ringan, Fuyutsuki mengatakan hal yang sangat menyedihkan. 

Mataku mulai berair dan pandanganku menjadi kabur. Air mata hangat mengalir di pipiku.

"Aku mengerti," air mataku tidak bisa berhenti. 

"Aku... Mengerti..."

Aku mencoba menghapus air mata berulang kali, tetapi mereka terus mengalir tanpa henti.

"Maaf. Ini cara aneh untuk terlibat, maaf."

"...? Apa kamu baik-baik saja?" 

Aku tidak ingin Fuyutsuki menyadari tentang hal ini, jadi aku berusaha keras untuk menahan isaknya.

"Apakah waktumu... benar-benar sudah... tidak lama lagi?" aku bertanya dengan suara goyah.

"Ya, sepertinya begitu," dia mengakui dengan santai. "Ini sudah yang ketiga kalinya, jadi aku yakin."

Apakah itu tekad ataukah rasa putus asa? 

"Mereka memulai kemoterapi minggu lalu, jujur saja, kondisiku sangat buruk. Dalam dua minggu lagi, aku tidak akan bisa meninggalkan kamar rawat inap."


---Itulah sebabnya...


"Tolong lupakan saja."


---Aku...


"Tolong, lupakan aku."

Dia berkata dengan senyum lebar di wajahnya.

"Aku... mengerti."

'Aku mengerti', mungkin itulah yang kuucapkan. Meskipun tahu ini tidak akan semudah itu. 

Hatiku hancur. 

Aku merasakan sesuatu pecah dalam diriku, seperti sesuatu sedang hancur. Bahkan suaraku sendiri terasa bergetar, dan itu menyesakkan. 

"Maaf sudah jadi merepotkan."

Aku meminta maaf sekali lagi, meskipun tidak benar-benar mengerti apa yang salah.

Air mata terus mengalir tanpa henti. Aku mencoba mengusap mereka dengan tangan, tetapi itu terus muncul. Aku tidak punya tisu, jadi aku hanya bisa mengusap air mata dengan telapak tangan. 

Wajahku berantakan, dan aku merasa bingung tentang apa yang harus dilakukan.


🔸◆🔸


Fuyutsuki meninggalkan aku dan kembali ke ruangannya sambil mengikuti rel taman. 

Aku yang berantakan karena air mata, mencoba menenangkan diri dengan beristirahat di bangku taman. 

"Kamu, teman sekuliahnya Fuyutsuki-san, kan?" seorang dokter paruh baya dalam jas putih mendekatiku.

Dia terlihat muda, tetapi dia memiliki lingkaran hitam yang dalam di bawah matanya, menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang jelas.

Seolah menyadari ketidakpercayaanku saat menatapnya dengan curiga, "Aku adalah dokter utama Fuyutsuki-san," katanya sambil mengangkat tangan sebagai tanda perdamaian.

"Jadi, Anda adalah dokternya?" aku mengangguk sekilas setelah tahu siapa dia.

Percaya atau tidak, dia menyalakan sebatang rokok. Aku cukup terkejut. Dia merokok di ruang bersama ini? 

"Biar aku jelaskan sebelumnya, tempat ini adalah area bebas merokok. Jadi, sebenarnya, kamu yang tidak seharusnya ada di sini." 

"Bahkan jika itu masalahnya, apa Anda tahu tentang perokok pasif? Itu buruk untuk kesehatan, Anda tahu." 

Aku menyesali nada tajamku, walau pikiranku masih penuh dengan Fuyutsuki.

"Bagaimanapun juga, akan baik jika kamu bisa menahan napasmu sebentar, kan?" 

Dokter itu tersenyum sinis sambil menyalakan rokoknya.

"Maaf telah berbicara kasar. Tapi, jika Anda adalah dokter pribadi Fuyutsuki, itu berarti Anda adalah dokter kanker, kan? Saya dengar merokok meningkatkan risiko kanker paru-paru." 

"Aku sudah melakukan pemeriksaan setiap bulan, jadi itu baik-baik saja. Kalaupun terdeteksi dini, aku bisa mengobatinya sendiri." 

Dokter pribadi yang dengan santai menghembuskan asap rokoknya membuatku merasa dia adalah seseorang yang mudah diajak bicara. 

"Boleh saya bertanya?" 

"Hmm? Tentang ingatan Fuyutsuki-san?" 

Dokter itu berkata seolah-olah dia telah menduga pertanyaanku. 

"Ya. Apakah mungkin ingatan seseorang bisa hilang seperti itu?" 

Sambil menghembuskan asap ke udara, dia menjawab, "Jika kanker terjadi di bagian otak yang bertanggung jawab atas ingatan, kemungkinannya bukan nol. Namun, dalam kasus Fuyutsuki-san, kanker hanya menyebar ke hatinya. Biasanya, kehilangan ingatan tidak akan terjadi." 

"Lalu, mengapa?" 

"Ada kemungkinan meskipun sangat kecil. Namun, saat memulai kemoterapi kanker, ada kemungkinan bahwa kenangan bisa menjadi kabur. Seperti tidak bisa mengingat apa yang terjadi kemarin, atau kepala terasa kosong. Mereka menyebutnya 'Chemobrain'. Ketika menggunakan obat-obatan yang kuat, ini bisa saja terjadi."

"Jadi, kali ini juga begitu?" 

"Namun, dalam kasus Fuyutsuki-san, gejalanya berbeda dari chemobrain." 

"Apa maksud Anda?" 

"Kupikir bukan penyakit atau obat yang menjadi penyebab. Mungkin ada sesuatu yang bersifat psikologis, seperti dia sendiri yang menutup ingatannya." 

"Menutup...?" 

"Mungkin jika ingatannya distimulasi secara konsisten, sesuatu bisa terjadi... Bagaimanapun, mau mencobanya?" 

"Aku tidak bisa melakukannya, Fuyutsuki baru saja menolakku."

Dokter itu menghela nafas saat menghembuskan asap rokoknya. 

"Yah, lakukan saja kalau merasa ingin. Prioritas pertama untuknya adalah mengurangi ukuran kankernya."

"Tolong beritahu saya," kataku. 

"Apa?"

"...Apa kanker Fuyutsuki bisa disembuhkan?"

Dokter itu mematikan rokoknya dan menatapku, "Hmm, yah sekitar lima persen, kira-kira."

"Itu... persentase kematian?"

"Persentase kemungkinan tentang apakah dia bisa hidup hingga akhir tahun ini. Kemungkinan hidup hingga lima tahun hampir tidak ada untuknya."

Dokter itu memberikan penjelasan rinci tentang kanker, tetapi aku tidak bisa fokus. Pikiranku masih terpaku pada Fuyutsuki.

Hanya lima persen untuk tahun ini. Sedangkan kemungkinannya hampir tidak ada untuk hidup lima tahun kedepan.

Itulah mengapa Fuyutsuki memintaku untuk melupakannya. Hatiku terasa seperti diremas; rasanya sangat sakit.

Ketika dokter itu pergi, dia mengatakan dengan pandangan tajam, "Tapi apapun itu, kami akan mencoba menyembuhkannya."


🔸◆🔸


Tiga hari telah berlalu.

Aku tidak bisa tiba-tiba berhenti menjadi sukarelawan, jadi Hayase pergi menggantikanku.

Sudah terasa menyakitkan untuk bertemu dengan Fuyutsuki, bahkan hanya dengan melihatnya.

Setelah kelas keempat berakhir, aku duduk termenung di bawah sinar matahari di teras biasa.

Matahari bersinar terang, dan kulitku terasa terbakar perlahan-lahan. Terus berdiam diri sambil merasakan hangatnya sinar matahari. Di kejauhan, aku melihat awan, dan mulai membayangkan hujan lebat di bawah awan itu. 

Bagaimana jika hujan deras terjadi begitu dekat dengan cuaca cerah?

Mungkin kehidupan itu memang seperti ini, cerah di satu sisi dan hujan lebat di sisi lain, pikirku, terjebak dalam pandangan filosofis yang aneh. Mungkin ini terjadi karena aku baru saja mengikuti kuliah Filsafat.

"Kamu baik-baik saja?"

Tiba-tiba, ada suara.

Orang yang berbicara adalah seorang pria kurus dengan jenggot yang tidak terawat---dia pria dari klub kembang api sebelumnya.

"Apa kabar, Senpai?" 

"Kamu menggunakan kata-kata yang kurang jelas. Namaku Kotomugi." 

"Maaf."

Senpai mengenakan kaos dan celana pendek dengan sandal pantai, dan dia membawa ember dan tongkat pancing. Terlihat jelas dia akan pergi memancing. Terkadang aku merasa, bukankah kampus ini terlalu bebas?

"Lalu dimana gadis buta itu?"

Ketika dia bertanya tentang Fuyutsuki, aku hampir menangis... Tidak, jangan.

"Sekarang dia dirawat di rumah sakit. Dia sakit, jadi..."

"Oh, begitu. Kalau begitu, sebagai pacarnya, kamu seharusnya ada di sampingnya."

"Dia bukan pacarku."

"Kalian tidak pacaran?"

"Aku ditolak."

Ini tak baik. Aku hampir menangis, jadi kumohon berhenti.

"Kalau begitu, saat kamu sedang kesulitan, cobalah melihat kembang api."

Aku jadi cukup kesal dengan cara bicaranya yang begitu santai. Aku benar-benar merasa down, namun dia dia malah berbicara tentang Firework Festival yang akan datang. 

"Ngomong-ngomong, dengarkan ini."

Senpai tampak kesulitan.

Entah sengaja atau mungkin tidak sengaja, suaraku terdengar kasar.

"Apa memang?!"

"Tidak, saat festival di kampus yang lalu, kamu tahu kan bahwa pertunjukan kembang apinya dibatalkan? Itu menyebabkan masalah bagi kami."

Meskipun dia mengatakan ada masalah, tampaknya dia tidak terlalu khawatir. Dia mulai menceritakan masalah itu tanpa perlu dipertanyakan.

"Masalahnya adalah biaya pembatalan kembang api. Kenalanku, yang membuat kembang api berkata harus membeli semua yang sudah dibuat, sementara panitia pelaksana festival berkata bahwa kembang api bisa digunakan lagi di festival lain sehingga hanya perlu membayar biaya pemasangan, dan keduanya tidak menemukan titik temu."

Dia melanjutkan, seakan-akan ingin aku memahami posisinya yang terjepit, meski sejujurnya aku tidak terlalu peduli.

"Jadi, kampus bisa mengadakan kembang api ya untuk yang selanjutnya?"

Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan sesuatu yang tidak penting, tapi senpai terlihat sangat senang dan mulai menjelaskan prosedur dan pengaplikasian yang diperlukan untuk meluncurkan kembang api dengan semangat. 

Aku jadi menyesal telah memicu dia.

Meski mendengarkan dengan setengah hati, aku jadi mengerti bahwa untuk meluncurkan kembang api, butuh izin yang diperlukan dari pemerintah prefektur, persetujuan pemadam kebakaran, dan sebagainya. 

Meskipun terdengar sulit, tapi dia terus dengan gembira, mengatakan bahwa ada celah.

"Cukup pakai lima puluh peluru ukuran dua, lima belas peluru ukuran tiga, sepuluh peluru ukuran empat, ditambah dengan Niagara dan kembang api perangkat di tengah, untuk program tiga menit. Dengan jumlah total tujuh puluh lima peluru, bisa dilakukan tanpa perlu mengajukan izin."

"Wah, aku tidak tahu itu."

Meskipun aku bicara dengan nada datar, Senpai tampak senang dengan responku yang tidak begitu antusias. Aku bertanya-tanya mengapa dia begitu senang menceritakan semuanya, padahal aku benar-benar tidak peduli.

Aku bicara datar, namun sepertinya senpai merasa senang karena mendapat respon.

Entah karena dia menyukaiku atau apa, dengan mata yang polos dia mengajak, "Nah, aku mau pergi memancing sekarang, mau ikut?"

Dalam keadaanku saat ini, berbicara dengannya terasa sangat berat.

"Sekarang ini bisa dapat ikan teri kecil loh. Bibi di kantin bisa menggorengnya untuk kita."

Pembicaraannya tidak berhenti. Aku hanya menjawab "ya" atau "oh" dengan jelas untuk menunjukkan ketidakberminatan, tetapi dia terus berbicara.

---Tolong berhenti.

Saat aku hendak mengatakan itu,

"Oh, ya!"

Senpai memasukkan tangan ke dalam saku. Sambil berkata, "Ini atau itu ya," dia mulai mencari sesuatu di saku celana, tas pancing, dan tas ranselnya.

"Aku pulang, aku harus menulis laporan," ucapku; berdiri karena kesal.

"Ah, ini! Aku menemukannya. Ini punya pacarmu, kan?"

Senpai mengambil sesuatu dari tas yang tergantung di bahunya, dan aku seketika mengenalinya. 

Mataku terbelalak, jantung yang seolah-olah tidak punya kehidupan sebelumnya, tiba-tiba berdetak kencang.

Apa yang ia pegang... Itu adalah penanda buku dengan huruf braille.

Penanda buku kuning yang kupikir telah hilang.

'Kuharap kamu bisa membacanya,' kata-kata Fuyutsuki terlintas di pikiranku.

"Kamu menemukannya.... di mana?" 

Tanganku gemetar saat hendak menerima penanda buku.

"Aku menemukannya di depan gedung sementara klub. Ini mungkin milik gadis buta itu, kan? Aku berencana memberikannya padanya kalau bertemu. Tapi jika dia sedang dirawat di rumah sakit, aku berikan saja kepadamu, oke?"

Aku bingung bagaimana harus berterima kasih atas keajaiban ini.

Sebelum bisa menyadarinya, aku sudah memeluk senpai.

"Terima kasih banyak, Senpai! Aku benar-benar berterima kasih!"

"Wah! Eh, kamu membuatku sesak!"

Aku mengambil penanda buku dari senpai dan memandanginya dengan serius.

Memang benar, itu milik Fuyutsuki.

Sudut-sudutnya aus, dan ada noda di beberapa tempat. Tapi, bisa dipastikan kalau ini adalah penanda buku Fuyutsuki yang hilang.

Aku hampir menangis.

Ketika aku menyentuhnya, perasaan kebahagiaan memenuhi hatiku.

"Maaf!"

Tanpa sadar, aku berteriak.

"Aku punya urusan sebentar."

Tanpa alasan yang jelas, aku merasa jika membaca penanda buku ini, situasinya akan membaik.

Senpai sendiri tampaknya menyadari sesuatu, dan dengan semangat berkata, "Semangat ya!" sambil mengangkat joran pancingnya.


Kemudian, aku berlari ke perpustakaan di universitas. Perpustakaan itu sepi, dan aku mendapat peringatan, "Jangan berlari!" saat melewati meja resepsionis.

Sambil menahan napas yang tersengal, aku mencari kamus braille.

Sedikit kesulitan, aku menggunakan komputer di perpustakaan untuk mencari di rak.

'Aku membuatnya setelah jadi mahasiswa. Pernahkah kamu membuatnya? Daftar hal yang ingin dilakukan sebelum mati.'

Teringat kembali perkataan Fuyutsuki, aku mencoba memikirkan sejenak. Apa yang tertulis di dalamnya?

'Manusia tidak pernah tahu kapan akan mati, bukan?'

Apa yang dia katakan itu mungkin bukanlah sebuah lelucon.

Mungkin Fuyutsuki sedang berjuang dengan ketidakpastian. 

Hal-hal yang ingin dilakukan Fuyutsuki mungkin tercantum di sini. Setidaknya, itulah yang kurasakan.

Membuka kamus tebal itu, bau khas dari buku lama menyengat hidung.

Aku membolak-balik halamannya, bertanya-tanya bagaimana cara menggunakan kamus Braille, meskipun aku belum pernah melakukannya. 

Membaca satu huruf demi satu, aku menghabiskan sekitar tiga jam hanya untuk mendeskripsikan tiga baris kalimat yang sangat singkat.


---Kalimat pertama.

"Pergi ke pertemuan minum, dan masuk ke dalam klub."


Air mataku tak tertahan.

Aku gemetar sambil menangis tersedu-sedu.

Mendapatkan sertifikasi kelulusan sekolah menengah, masuk universitas, menghadiri pesta perkenalan...

Di sana, ada seorang gadis yang berusaha mewujudkan mimpinya dengan bergantung pada penanda buku ini.


---Kalimat kedua.

"Membuat teman, pergi berbelanja."


Fuyutsuku berhasil membuat teman. Kami bahkan juga pergi membeli kembang api.

Merasa bahwa aku ada di sana untuknya, membuatku merasa senang sekaligus kesal.


---Kalimat ketiga.

"Bermain kembang api, jatuh cinta..."


Setelah menyelesaikan dekripsi, tanpa sadar aku terisak.

Tidak ada siapa-siapa di perpustakaan. Itu sebabnya aku bisa menangis tanpa harus menahan diri.

"Dia belum melakukannya..."

Itulah sebabnya dia pergi membeli kembang api.

Itulah sebabnya ida bilang ingin bergabung dengan klub.

"Dia... belum... melakukannya," ucapku lagi, sambil mengulangi kata-kata itu berulang kali.

Aku menjadi begitu frustasi sampai tidak bisa berhenti menangis.

"Benar."

Tanpa sadar, sudut mulutku bergerak.

"Benar, itu benar."


'Aku pikir akan bagus jika kita bisa menyalakan kembang api sendiri suatu saat nanti. Itu akan menjadi momen spesial, sesuatu yang akan kita kenang seumur hidup.'

Aku teringat akan kata-kata Fuyutsuki.

Benar, kami tinggal melakukannya saja, kan?

Aku harus mewujudkannya.

Aku harus mewujudkan impian yang sangat diinginkannya.

Aku tidak tahu tentang masa hidup yang terbatas, "Tapi, sejak awal manusia memang tidak pernah tahu kapan mereka akan mati."

Ya, itu benar.

Karena itu, tidak ada alasan untuk menyerah.

"Tidak ada alasan untuk menyerah!"

Seolah-olah mengingatkan diri sendiri, aku bergumam.

Ketika aku keluar dari perpustakaan, langit telah berubah menjadi warna merah keemasan. 

Awan besar yang terlihat jauh tadi sudah menghilang. 

Langit terwarna tanpa adanya awan satu pun, dan tidak ada tanda-tanda hujan akan turun.

Memulai langkah awal, aku mengeluarkan ponsel dan mulai menelepon.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter


Join server Discord disini: https://discord.com/invite/HMwErmhjMV

Post a Comment

Post a Comment

close