NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tatoe Mou Aenakutemo, Kimi no Ita Kiseki wo Wasurarenai V1 Chapter 7


 Penerjemah: Kazehana 

Proffreader: Kazehana


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


Kini, Juli. Kenangan yang Tak Memudar


 Sejak terinspirasi Mizuno-kun, aku mulai mempersiapkan turnamen renang dengan semangat yang lebih positif dibanding sebelumnya. Meski begitu, aku merasa belum terlalu mahir. Mungkin orang-orang di sekitarku sama sekali tidak melihat perubahan apa pun.

 Latihan berjalan lancar dan pagi ini, satu minggu sebelum turnamen renang dimulai. Aku dan Nacchan menikmati sarapan ala Jepang yang dia siapkan. Mungkin karena reaksi dari pekerjaannya sebagai pemilik toko roti, makanan yang dia buat di rumah justru lebih sering masakan Jepang. Menu hari ini adalah sup miso, ikan bakar, dan bayam dengan saus wijen. Tentu saja lezat dan merupakan sarapan ideal dengan nutrisi yang seimbang.

 Tepat saat aku hendak menyelesaikan sarapan, Nacchan berdiri dan membawa sebuah kantong dari dapur.

 "Ai. Bawa ini untuk teman-temanmu yang lagi latihan renang."

 "Hm?"

 Yang Nacchan tunjukkan padaku adalah berbagai jenis kue kering di sebuah kantong, seperti brownies, scone, dan macaron. Warnanya beragam, dan meskipun baru saja selesai makan, aku langsung ingin melahapnya.

 "Ini, ‘kan ...."

 "Iya, pasti sehabis renang kalian lapar, ‘kan? Pasti jadi lebih lezat," kata Nacchan dengan senyum lebar. Aku membayangkan Mizuno-kun memakannya dengan lahap dan tanpa sadar tersenyum.

 "Terima kasih! Mereka pasti senang."

 "Ya. ... Ai, akhir-akhir ini kamu kelihatan semangat, ya."

 "Eh?"

 Nacchan masih tersenyum, tapi aku mendengar ada sedikit kesedihan dalam kata-katanya. Aku menatap wajahnya lekat-lekat.

 "Beberapa hari ini. Entahlah, kami kelihatan bersungguh-sungguh, juga kelihat lebih hidup .... Aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik."

 " ... Memangnya, ya"

 Mungkin sejak berbicara dengan Mizuno-kun di gudang beberapa hari yang lalu. Sejak saat itu, aku bertekad untuk bisa mendukung teman-teman berlatih keras dengan sepenuh hati. Meski aku merasa belum bisa melakukannya dengan baik dan terkadang pikiran negatif masih muncul.

 "Sejak kecelakaan itu, ini pertama kalinya aku melihatmu seperti ini. Aku senang sekali."

 " ...."

 Nacchan berkata sambil berkaca-kaca.

 Sekarang kupikir, jika Mizuno-kun yang baru bertemu denganku saja bisa sadar aku manusia hampa, tentu saja Nacchan juga bisa. Kukira aku sudah melakukannya dengan baik, tapi ternyata kemampuan aktingku buruk ya. Nacchan tidak pernah mengatakan apa-apa selama ini. Mungkin dia mencoba mengawasiku perlahan. Agar aku bisa hidup dengan caraku sendiri. Mizuno-kun yang dengan jelas mengatakan "Aku khawatir", dan Nacchan yang diam menunggu.

 Mereka berdua benar-benar baik hati. Aku dikelilingi orang-orang yang luar biasa ... dan aku senang di mata Nacchan, aku sudah bisa sedikit lebih positif. Rasanya aku bisa keluar dari keadaan hampa.

 "Nacchan, terima kasih banyak. Untuk saat ini, aku akan berusaha keras sebagai petugas lomba renang."

 "Ya, berjuanglah. Kamu bisa berusaha keras karena Mizuno-kun?"

 Nacchan berkata dengan sedikit menyeringai. Yah, memang benar itu berkat Mizuno-kun. Aku merasa ada makna tersembunyi di balik kata-kata Nacchan yang seolah menggodaku dan aku menggelengkan kepala dengan malu.

 "T-tidak seperti yang Nacchan harapkan!"

 "Eh? Yakin? Tapi Mizuno-kun keren, ya."

 "Yah, memang sih ...."

 "Hmm? Benar-benar tidak ada rasa sama sekali?"

 "Tidak ada! Sudah, aku berangkat!" Tidak tahan lagi, aku menyambar kantong kue kering dari Nacchan dan bergegas keluar dari ruang tamu.

 Tidak ada rasa, kataku. Aku yang baru saja mencoba berubah dari keadaan hampa, rasanya terlalu cepat untuk jatuh cinta pada seseorang. Bahkan rasanya lancang menyukai orang yang begitu bersinar dan keren.


 "Luar biasa! Lebih cepat sepuluh detik dari awal!"

 Aku melompat sambil mengangkat stopwatch. Semua orang kecuali Mikami-san mendekatiku, dan Mizuno-kun yang menjadi perenang terakhir, mengangkat kacamata renangnya ke dahi di dalam kolam, menatapku dengan terkejut.

 "Keren! Semakin cepat saja!" Kata Nitta-kun tersenyum gembira di sampingku.

 "Aku sudah tidak menghambat lagi, ‘kan?! Tidak apa-apa, ‘kan?!"

 "Ya, tentu saja."

 " ... Kamu sudah berusaha keras," kata Miyu dengan antusias, diikuti anggukan lembut Sakashita-san dan persetujuan Naito-kun.

 Mikami-san berdiri agak jauh, mungkin tidak ingin mendekatiku, tapi ketika aku melirik sekilas, dia tampak puas.

 "Dengan ini, kita benar-benar bisa mengincar juara, ‘kan?" Kata Mizuno-kun yang keluar dari kolam, tersenyum tanpa beban seperti biasa di sampingku.

 Benar, dengan catatan waktu ini, mungkin kita bisa mengincarnya. Aku merasakan kegembiraan yang tulus. Senyum mengembang dengan alami. Sudah berapa lama ya, sejak aku bisa merasa "bahagia" dari lubuk hatiku seperti ini?

 "Kalau begitu, sekali lagi ...."

 Tepat ketika aku hendak mengatakan "Ayo", saat itulah.

 "Hah .... Aneh banget. Mereka benar-benar tidak bisa baca situasi, ya."

 "Benar banget. Masih kelas sebelas tidak perlu sesemangat itu, ‘kan. Kasih kelas 12 kesempatan, dong."

 Suara tajam terdengar dari sisi kolam yang agak jauh. Tanpa sadar, aku menoleh ke arah suara itu. Di sana berdiri dua siswi kelas tiga yang mengenakan pakaian renang, tersenyum sinis.

 "Padahal ini turnamen renang terakhir kita. Masa sih anak kelas bawah mau menang? Aneh banget."

 "Tidak ada sopan-sopannya ke yang lebih tua."

 Mereka berdua sengaja tidak melihat ke arah kami, tapi jelas-jelas menyindir dengan suara keras.

 "Eh, apa-apaan itu .... Menyebalkan sekali," bisik Miyu.

 Miyu biasanya tipe yang langsung protes jika ada hal yang tidak dia sukai, tapi sepertinya dia menganggap ribut karena hal sepele ini adalah hal bodoh.

 "Lebih baik tidak usah ditanggapi. Ayo kita selesaikan untuk hari ini. Kita sudah dapat catatan waktu yang bagus, jadi cukup sampai di sini," kata Mizuno-kun dengan tenang.

 "Ya, ayo pulang."

 "Besok kita berjuang lagi!"

 " ... Pulang dan tidur."

 Sakashita-san, Nitta-kun, juga Naito-kun setuju dengan Mizuno-kun, dan mulai mengeringkan tubuh mereka dengan handuk yang ada di pinggir kolam, seolah tidak terjadi apa-apa. Mungkin karena kesal dengan sikap kami yang sama sekali tidak terganggu, para senior itu semakin jengkel.

 "Apa-apaan itu! Kurang ajar!"

 "Biasanya orang lebih pengertian dong, benar-benar tidak bisa dipercaya."

 Pengertian apanya? Pertama-tama, kami hanya berusaha keras untuk kegiatan sekolah, tidak ada alasan untuk dikomplain. Dasar pemikirannya saja sudah salah.

 Aku yang mulai kesal berpikir untuk membalas perkataan senior itu. Mungkin akan memperburuk keadaan, tapi aku tak bisa menerima perkataan yang merendahkan usaha keras semua orang.

 Tapi, sebelum aku membuka mulut.

 "Kelas dengan waktu tercepat yang akan menang. Hanya itu saja, ‘kan?"

 Mikami-san yang selama ini hanya mengamati situasi, berkata perlahan tapi tegas.

 "Daripada buang-buang waktu mengatakan hal-hal tidak penting, lebih baik berlatih untuk meningkatkan peluang menang. Kami akan berjuang lagi besok."

 Mikami-san berkata dengan wajah tanpa ekspresi, tapi matanya dingin seperti es, menatap tajam ke arah para senior.

 "A-apa-apaan!"

 "B-benar-benar kurang ajar!"

 Dua senior itu tergagap, tidak mampu membantah argumen tajam Mikami-san. Mereka hanya bisa menggerutu dengan nada kesal. Tapi, ketika beberapa siswa yang tampaknya teman sekelas mereka mendekat, tiba-tiba senyum manis tersungging di bibir keduanya. Seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya, mereka mulai berbicara dengan nada manja.

 Lalu, mereka berjalan ke sisi kolam yang berlawanan dengan kami. Ah, rupanya tipe Kato-san. Ternyata memang ada di setiap kelas, ya.

 "Mikami-san keren! Hei, boleh kupanggil Mai-chan?!"

 "Hah ...? Boleh sih ...."

 "Mai-chan! Tadi keren banget! Aku jadi suka, deh!"

 "I-iya."

 Miyu mulai menggoda Mikami-san. Meski Mikami-san terlihat agak bingung, sudut bibirnya tetap tersenyum. Sepertinya dia tidak keberatan.

 "Wah, jujur saja, aku merasa lega."

 "Benar, tidak ada bedanya antara kelas 11 atau 12. Yang cepat yang menang," timpal Nitta-kun, ikut tersenyum lega. Mizuno-kun dan Nitta-kun tampaknya puas dengan sikap Mikami-san. Mereka tertawa riang.

 Entah mengapa, suasana kekeluargaan ini terasa menyenangkan. Perlombaan renang yang tadinya terasa merepotkan, kini malah terasa sedikit menyedihkan karena akan segera berakhir.

 "Kalau begitu, ayo kita bubar."

 "Oke, kerja bagus semuanya."

 "Oh, iya!" Mendengar jawaban Miyu pada ucapan Mizuno-kun, tiba-tiba aku teringat kue kering pemberian Nacchan tadi pagi.

 Ruang ganti tentu saja terpisah antara pria dan wanita. Biasanya, setelah pisah di kolam, kami pulang sendiri-sendiri. Anak laki-laki selalu pulang lebih dulu karena anak perempuan butuh waktu lebih lama untuk bersiap-siap setelah berenang. Ini saat yang tepat untuk membagikan kue kering kepada semuanya.

 "Tunggu sebentar!" Seruku kepada mereka. Aku bergegas masuk ke ruang ganti untuk mengambil tas berisi kue kering, lalu kembali ke tepi kolam. "Ini dari bibiku yang punya toko roti. Silakan dicicipi."

 "Wah! Roti dari rumah Ai enak sekali, lho! Asyik!" Miyu berseru gembira, matanya berbinar-binar. Aku tersenyum dan memberikan satu bungkus kue padanya.

 "Aku baru pernah mencoba roti kari dari toko Yoshizaki-san, tapi memang enak. Terima kasih, kebetulan aku lapar," ujar Mizuno-kun dengan senyum lebar.

 "Syukurlah kalau begitu," balasku. Entah mengapa, senyum tulus Mizuno-kun membuat hatiku berdesir. Tanpa sadar, bibirku pun ikut mengembangkan senyum.

 Yang lain juga menerima kue dengan gembira. "Serius? Aku harus mencoba toko rotinya kapan-kapan!", "Hei, di mana tokonya?", "Kue keringnya imut sekali," komentar mereka bersahut-sahutan.

 Kemudian, aku berpaling ke arah Mikami-san. Dia tampak terkejut. Mikami-san, sosok kakak yang bisa diandalkan dan disukai semua orang, meski sepertinya tidak menyukaiku. Meskipun kadang harus meninggalkan latihan voli lebih awal, dia tetap berjuang keras dalam latihan perlombaan renang ini.

 "Ini untukmu juga, Mikami-san," kataku, menyodorkan bungkusan kue dengan sikap yang sama seperti kepada yang lain.

 "T-terima kasih ...." jawabnya, menerima kue itu meski dengan wajah bingung.

 Tentu saja ada kecemasan dia akan menolak dengan berbagai alasan. Mungkin dia menerimanya hanya karena ada orang lain di sekitar kami. Tapi tak apa. Meskipun Mikami-san tidak menyukaiku, aku tak punya alasan untuk membencinya. Masalah Mikami-san yang sepertinya menyimpan dendam padaku memang sempat mengganggu pikiranku. Tapi, entah mengapa, setelah berinteraksi dengan Mizuno-kun, aku bisa bersikap lebih positif tentang hal ini. Aneh, ya, padahal ini tidak ada hubungannya langsung dengan Mizuno-kun.

 " ... Aku harus pergi latihan voli. Sampai jumpa," ucap Mikami-san dengan kepala tertunduk, lalu bergegas menuju ruang ganti. Kuharap dia mau memakan kuenya.

 Sementara itu, yang lain ....

 "Wah, ini enak sekali. Sempurna untuk tubuh yang lelah setelah berenang," puji Naito-kun yang sudah membuka bungkusan dan melahap kue dengan nikmat.

 "Hei, hei, kalau ketahuan makan di tepi kolam bisa gawat, lho!"

 "Habisnya, mana bisa tahan kalau ada makanan seenak ini di depan mata," balas Naito-kun, memasukkan satu kue lagi ke mulutnya tanpa peduli ucapan Nitta-kun.

 "Lihat! Senior yang tadi melihat ke sini! Bisa-bisa kita dilaporkan!"

 "Ayo cepat pulang!"

 "Eeh ... Yoshizaki-san, terima kasih banyak. Kuenya enak sekali. Sampai jumpa."

 Naito-kun diseret pergi oleh Nitta-kun dan Mizuno-kun yang gugup pun masih tetap berbincang menuju ruang ganti.

 "Ahaha! Mereka bertiga memang lucu ya."

 "Iya. Terutama Naito-kun, selalu bikin ketawa."

 Miyu dan Sakashita-san tertawa bersama sambil memandang pintu ruang ganti laki-laki. Meski aku jarang berbicara dengan Sakashita-san sebelumnya, dia ternyata orang yang lembut dan mudah diajak bicara. Aku merasa jadi lebih akrab dengannya berkat kesempatan ini. Begitu juga dengan ketiga anak laki-laki tadi. Bahkan dengan Mikami-san, hari ini aku bisa sedikit berinteraksi.

 "Ah, aku juga harus pergi ke klub musik. Sampai nanti ya."

 "Oke, dadah!"

 "Sampai jumpa," kataku, sambil melambaikan tangan bersama Miyu saat Sakashita-san memasuki ruang ganti.

 Setelah Sakashita-san pergi, Miyu mendekat dengan senyum mencurigakan.

 "Ada apa, Miyu? Entah kenapa terasa jijik."

 "Belakangan ini, kamu ... kelihatan senang kalau lagi dekat Mizuno-kun?”

 "Eh...?"

 Aku mengernyitkan dahi, sama sekali tidak menyangka pertanyaan seperti itu.

 "Tadi saja, waktu Mizuno-kun menerima kue ... kamu senyum-senyum sendiri, lho!"

 "A-aku tidak senyum-senyum!"

 "Kelihatan jelas, kok. Benar-benar seperti gadis yang lagi jatuh cinta."

 Aku panik mendengar pernyataan Miyu. Apa benar ekspresiku seaneh itu? Gadis yang sedang jatuh cinta? Gawat.

 "P-pokoknya bukan begitu!" sanggahku cepat-cepat.

 Memang aku mulai berpikir cara pandang Mizuno-kun itu bagus dan aku jadi ingin berusaha dalam perlombaan renang ini. Tapi bagi diriku yang sudah mengurung hati selama enam tahun, semua ini masih terlalu menyilaukan.

 "Eh, kamu serius?"

 "Iya! Keras kepala banget, sih."

 Meski aku menyangkal sekuat tenaga, Miyu tetap terlihat tidak puas. Bahkan selama berganti pakaian di ruang ganti dan dalam perjalanan pulang, dia masih memasang ekspresi ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku pura-pura tidak menyadarinya sampai kami berpisah dan aku pulang ke rumah.


 Begitulah aku mulai menjalani kehidupan sekolah dengan lebih positif. Tapi, aku

kembali terkena flu dan terpaksa absen dari sekolah. Padahal perlombaan renang sudah di ambang pintu. Belum genap sebulan sejak terakhir kali aku sakit. Padahal aku bukan orang yang gampang sakit, tapi kenapa bisa kena dua kali dalam waktu dekat?

 Sambil melamun di balik selimut, sebuah kesadaran menyeruak dalam benakku. Bukankah ini karena aku yang tadinya apatis dan berpikir "tak masalah jika mati kapan saja", tiba-tiba meniru semangat Mizuno-kun yang menyilaukan? Aku berusaha keras menjalankan tugas sebagai penanggung jawab dan bergembira melihat waktu renang teman-teman yang membaik.

 Tapi, di dasar hatiku masih tertanam pikiran negatif. "Percuma saja berusaha, toh semuanya bisa lenyap sekejap.", "Meski ada hal yang membahagiakan, suatu hari nanti pasti akan hancur." Pikiran-pikiran itu masih menghantuiku. Mungkin karena melakukan hal yang tidak sesuai dengan diriku, aku jadi terserang flu seperti ini. Aku terpuruk dalam realita yang menyakitkan, menatap langit-langit kamar yang sudah tak asing lagi.

 Demam menyerangku sejak kemarin pagi dan belum juga mereda pagi ini. Tapi, setelah tidur siang, tubuhku terasa lebih segar dan suhu tubuhku kembali normal. Aku rasa besok aku sudah bisa masuk sekolah. Lusa adalah hari perlombaan, jadi aku masih bisa ikut latihan terakhir. Tapi, bagaimana caranya menghilangkan diriku yang apatis ini? Kondisi tubuh yang memburuk di saat yang tidak tepat ini menghempaskan hatiku yang baru saja mulai bersemangat berkat Mizuno-kun kembali ke dasar jurang.

 Tepat saat aku menghela nafas, terdengar ketukan di pintu kamar. Sambil tetap berbaring, aku menjawab dengan suara yang kubuat ceria, "Ada apa?"

 "Miyu-chan datang menjengukmu. Boleh dia masuk?" Terdengar suara Nacchan dari balik pintu.

 "Iya, boleh."

 Miyu membuka pintu dan masuk ke kamarku. Nacchan yang ada di belakangnya tidak ikut masuk, mungkin kembali ke toko.

 "Ai! Kamu baik-baik saja? Bibi bilang demammu sudah turun, sih!"

 "Iya, kurasa besok aku sudah bisa masuk sekolah."

 "Syukurlah! Aku khawatir karena kamu sudah absen dua hari," ujar Miyu dengan senyum lega di sisi tempat tidurku. Miyu selalu memperhatikanku. Baik sebelum atau sesudah kecelakaan itu, dia selalu ada untukku.

 Tapi kalau dipikir-pikir, Miyu yang dulu lebih kecil dan agak pemalu sering diganggu anak laki-laki. Sebaliknya, aku yang kuat karena berenang sering membelanya dan berkelahi dengan anak laki-laki. Rasanya itu seperti masa lalu yang tak terbayangkan sekarang.

 Pasti Miyu menyadari perubahanku setelah kecelakaan itu. Meski aku berusaha menyembunyikannya, Mizuno-kun dan Nacchan saja menyadarinya. Tak mungkin Miyu yang peka tidak mengetahuinya.

 Aku heran, mengapa dia tetap berada di sisiku meski aku telah berubah.

 Tanpa mengetahui pikiranku yang gelap, Miyu tersenyum jahil seperti anak kecil yang baru mendapat ide nakal.

 "Oh iya, hari ini ada satu orang lagi yang datang menjenguk lho~!"

 "Eh, siapa? Sakashita-san?"

 "Tetot, salah. Mari kita sambut tamunya!"

 "Permisi ...."

 Yang masuk ke kamarku dengan sedikit malu-malu adalah ... Mizuno-kun dalam seragam sekolahnya, tas tersampir di bahunya.

 "Mizuno-kun!"

 Aku terkejut sekaligus senang, senyum mengembang tanpa kusadari.

 "Lho? Kok sepertinya Ai lebih senang melihat dia daripada aku, ya."

 "Hah ...?! Tidak, kok!" bantahku, menyadari perkataan aneh Miyu.

 Lalu, aku baru menyadari penampilanku. Rambutku berantakan karena seharian berbaring, wajahku tanpa riasan, dan aku masih mengenakan piyama!

 "Harusnya bilang dulu kalau mau datang ...." gumamku pelan, menarik selimut hingga menutupi hidung untuk menyembunyikan penampilanku yang berantakan.

 "Eh, maaf. Aku khawatir."

 "Iya, yang lain juga lho. Nitta-kun, Naito-kun, Koharu-chan, Mai-chan juga.”

 Mai-chan ... Mikami-san juga? Apa mungkin Mikami-san yang sepertinya membenciku mengkhawatirkan keadaanku? Tapi Miyu yang sudah cukup akrab dengan Mikami-san yang mengatakannya, jadi mungkin memang benar.

 "Ah! Aku baru ingat ada urusan!" seru Miyu tiba-tiba dengan nada yang jelas dibuat-buat.

 "Eh, Miyu?"

 "Aku harus pergi sekarang. Nah Mizuno-kun, kuserahkan padamu, ya!" 

 "T-tunggu!"

 "Dadah! Sampai jumpa lagi!"

 Mengabaikan usahaku untuk menahannya, Miyu keluar dari kamarku dengan senyum jahil.

 Dasar Miyu. Dia pasti salah paham. Nacchan, Miyu, kenapa semua orang bersikeras menganggap aku suka Mizuno-kun? Apa benar aku terlihat seperti itu?

 Aku ditinggal berdua dengan Mizuno-kun dan untuk sesaat kamar menjadi sunyi. Tapi dia sudah repot-repot datang karena mencemaskanku. Aku tak bisa membiarkan keheningan ini berlanjut. Aku menurunkan sedikit selimutku, menampakkan wajah.

 "B-begini, mungkin kamu sudah dengar, tapi kondisiku sudah membaik. Jadi tak usah cemas.”

 " ... Begitum ya. Syukurlah." Mizuno-kun tersenyum lembut sambil duduk di sisi tempat tidurku. Saat melihat senyumnya, entah mengapa jantungku berdetak lebih cepat.

 "Kita mau semuanya bisa ikut lomba renangnya.”

 "Aku kan hanya penanggung jawab, bukan peserta. Tidak masalah kalau aku tidak ada di hari H.”

 "Eh, tidak boleh begitu. Kita sudah berusaha keras bersama-sama selama ini. Lagi pula, belakangan ini Yoshizaki-san terlihat lebih ceria dan menikmati kegiatan ini. Kamu sudah berusaha keras, jadi harus hadir.”

 " ...."

 Aku terlihat lebih ceria dan menikmati kegiatan ini. Kalau memang begitu, itu semua berkat Mizuno-kun. Karena sosokmu yang bersemangat dan berusaha keras itu begitu berkilauan, membuatku kagum.

 Tapi, pikiran negatif di dasar hatiku tak kunjung hilang. Bagaimana kalau semua usaha dan kebahagiaan ini lenyap begitu saja? Bagaimana kalau semua ini sia-sia? Memikirkan hal itu, air mataku tiba-tiba menggenang.

 "Ada apa?" Menyadari perubahaanku, Mizuno-kun bertanya cemas.

 Tapi aku tak bisa mengungkapkan perasaanku dengan baik. Aku membenci diriku yang tak bisa menghilangkan pikiran negatif ini dan aku juga tak ingin dia mengetahuinya. Aku hanya bisa membalas tatapannya dengan mata yang berkaca-kaca.

 Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari arah rak buku. Aku menoleh ke arah suara itu. Melihat benda yang jatuh dari rak buku, aku terpaku.

 "Hm? Ada album foto yang jatuh.”

 Benar, yang jatuh adalah album foto. Album yang berisi foto-foto ayah dan ibu semasa hidup, diriku yang terlihat bahagia dikelilingi mereka, dan foto-foto perjalanan terakhir kami ke Osaka—simbol kebahagiaan masa lalu yang berkali-kali ingin kubuang. Mungkin karena terburu-buru merapikannya waktu itu, aku tidak memasukkannya ke dalam rak dengan benar.

 Saat Mizuno-kun hendak menuju rak buku, aku bangkit dan mengambil album itu lebih cepat darinya.

 "Yoshizaki-san ...?"

 Mizuno-kun terdengar bingung melihat gerakanku yang tiba-tiba.

 "T-tidak apa-apa! Biar aku yang membereskannya.”

  "Begitu ...?"

 Entah mengapa, aku tidak ingin dia melihatnya. Foto-fotoku yang tersenyum polos bersama keluarga yang kini sudah tiada. Bahkan pada Mizuno-kun yang juga kehilangan keluarganya. Sekarang, aku tidak lagi memiliki ayah dan ibu yang mencintaiku. Aku yang telah mengenal keputusasaan, tak lagi bisa tersenyum tanpa beban seperti dulu. Dibandingkan dengan diriku di foto-foto itu, aku yang sekarang terlalu berbeda.

 Tapi, karena tergesa-gesa mengambil album itu, dua lembar foto terlepas dan melayang jatuh. Foto-foto itu jatuh dengan bagian gambar menghadap ke atas, tepat di dekat kaki Mizuno-kun. Sebelum aku sempat berkata apa-apa, Mizuno-kun sudah memungut foto-foto itu.

 "Foto ini ...."

 Raut wajah Mizuno-kun menegang. Meski aku tidak ingin melihatnya langsung, dari sudut mataku aku bisa melihat salah satu foto menampilkan kedua orang tuaku dengan diriku yang berusia sepuluh tahun di antara mereka. Dan foto yang satu lagi adalah foto gelang manik-manik biru berbentuk capung yang kubuat saat perjalanan ke Osaka, yang hilang sesaat sebelum kami pulang.

 "Ini aku yang dulu sekali," ujarku dengan senyum getir, seolah-olah hanya aku yang ada dalam foto itu.

 ——Aku masih berusaha meyakinkan diriku bahwa orang tua yang menyayangiku itu tidak pernah ada sejak awal.

 ——Tapi ....

 "Ibumu mirip sekali denganmu, Yoshizaki-san. Ayahmu terlihat keren dan baik hati," ucap Mizuno-kun tanpa basa-basi. Tentu saja, dia tidak bermaksud jahat.

 Tetapi kata-katanya itu menghantamku dengan kenyataan bahwa dulu aku memang memiliki ibu yang mirip denganku dan ayah yang keren.

 "Iya ...." gumamku sambil menunduk. Rasanya ingin menangis. Padahal selama ini aku berusaha untuk tidak melihatnya, ingin menganggap mereka tidak pernah ada.

 "Ada apa ...?" Tanya Mizuno-kun dengan nada cemas melihatku tertunduk.

 "Aku tidak ingin melihatnya. Karena aku menyayangi ayah dan ibu ...."

 "Eh ...?"

 "Karena itu, aku tidak ingin mengakui bahwa mereka sudah pergi dariku. Aku benci melihat foto-foto ini karena akan membuatku teringat."

 Setelah jeda sejenak, aku melanjutkan.

 "Padahal aku sangat sayang mereka. Tapi tiba-tiba mereka menghilang. Tanpa mengucapkan selamat tinggal. Padahal aku ingin selalu bersama mereka ... aku takut. Takut orang-orang di sekitarku akan menghilang lagi."

 Nacchan, Miyu, Mizuno-kun ... bagaimana jika suatu hari mereka juga tiba-tiba menghilang? Karena itulah aku ingin meyakinkan diriku bahwa orang tua yang telah tiada itu tidak pernah ada sejak awal. Bahwa hari-hari yang kulewati bersama keluargaku hanyalah mimpi yang kuciptakan sendiri. Dengan begitu, mungkin aku bisa bertahan jika ada orang lain yang menghilang di masa depan.

 Tiba-tiba ....

 "Meskipun mereka menghilang, waktu yang telah kau lalui bersama mereka tidak akan pernah lenyap," ucap Mizuno-kun tegas. Kata-katanya tak terduga itu membuatku terkejut.

 Jika ini diucapkan oleh orang lain, mungkin aku tidak akan mendengarkannya. Tapi karena ini kata-kata Mizuno-kun yang juga sama sepertiku, aku merasa harus merenungkan maknanya dengan sungguh-sungguh.

 "Waktu yang telah dilalui ...?"

 "Saat-saat bahagia yang kamu lalui bersama orang tuamu itu nyata, Yoshizaki-san. Mungkin tidak bisa bertambah lagi, tapi juga tidak akan berkurang atau hilang. Kenangan indah bersama mereka sampai saat kecelakaan itu akan selalu kamu ingat. Pasti banyak hal yang mereka berikan padamu selama itu. Jika kamu menganggap semuanya tidak pernah ada, maka semua itu juga akan lenyap. Semuanya masih ada dalam ingatanmu, ‘kan?"

 "Dalam ingatanku ...."

 Mendengar kata-katanya, kenangan bersama orang tuaku mulai bermunculan dalam benakku. Upacara masuk sekolah dasar. Wajah gembira mereka saat aku pertama kali memenangkan lomba renang. Perayaan ulang tahunku. Kenangan tak terhitung banyaknya bersama ayah dan ibu. Tapi, karena sudah bertahun-tahun tidak melihat foto mereka, aku bahkan sudah tidak bisa mengingat wajah orang tuaku dengan jelas. Tiba-tiba aku ingin sekali melihat wajah mereka.

 "Mizuno-kun! Tolong perlihatkan fotonya!"

 "Eh ...?! I-iya."

 Sedikit terkejut dengan permintaanku yang tiba-tiba, Mizuno-kun menyerahkan kedua foto itu padaku. Foto pertama adalah gelang manik-manik dengan hiasan batu berbentuk capung. Aku ingat membuatnya bersama ibu. Batu capungnya berwarna biru tua dan biru muda yang tidak merata. Ibu bilang, "Warnanya cocok dengan namamu, Ai." Sayang sekali aku menghilangkannya di stasiun Shin-Osaka.

 Lalu aku melihat foto kedua. Itu foto yang diambil di taman hiburan Osaka sesaat sebelum kecelakaan terjadi. Kamera itu ikut terlibat dalam kecelakaan, tapi ajaibnya tidak rusak. Nacchan yang mencetaknya untukku. Di tengah foto, ada aku yang sedang meniru pose karakter maskot taman hiburan dengan wajah konyol. Ayah mengawasiku, sementara ibu tertawa geli melihat tingkahku.

 Ah, begitu rupanya wajah mereka. Ayah dan ibu. Begitu menyadarinya, air mata besar-besar mulai berjatuhan dari mataku. Seluruh tenagaku seolah lenyap, dan aku terduduk di tempat.

 " ... Kamu tidak apa-apa?" tanya Mizuno-kun, berjongkok di sampingku dengan wajah cemas.

 "Ayah dan ibu selalu bilang aku adalah harta mereka yang paling berharga," ucapku spontan pada Mizuno-kun. Setelah mengatakannya aku sedikit menyesal. Mungkin dia akan bingung mendengar hal seperti ini? Tapi melihat Mizuno-kun mengangguk pelan, aku merasa lega.

 "Aku juga sangat menyayangi mereka .... Kenapa, ya, padahal aku sangat menyayangi mereka, tapi aku malah berusaha melupakannya?"

 Berbagai ekspresi ayah dan ibu terus bermunculan dalam benakku. Wajah tertawa, wajah marah, wajah khawatir. Semua ekspresi itu ditujukan padaku karena mereka menyayangiku. Aku benar-benar dicintai oleh orang tuaku. Meskipun sekarang mereka sudah tiada, tapi karena merekalah, karena mereka telah membesarkanku dengan penuh kasih sayang selama sepuluh tahun, aku bisa menjadi diriku yang sekarang.

 "Aku ... tidak akan ... pernah ... melupakan mereka ...."

 Air mataku semakin deras mengalir, membuatku kesulitan berbicara. Tiba-tiba aku merasakan kehangatan lembut di bahu dan punggungku. Mizuno-kun memelukku dengan lembut. Aku terkejut sesaat, tapi sama sekali tidak merasa keberatan. Bahkan, berada dalam pelukannya terasa sangat nyaman. Aku bahkan berharap bisa terus seperti ini.

 Entah mengapa, detak jantungku semakin cepat. Tubuhku terasa memanas. Ada apa ini? Jantungku berdebar kencang sekali. Apakah karena dipeluk oleh seorang laki-laki? Tapi rasanya bukan hanya itu.

 Pasti karena ini Mizuno-kun ....

 Dalam pelukannya, dengan suara bergetar karena menangis, aku berkata terbata-bata,

 "Aku ... tidak akan ... melupakan ... ayah dan ibu. Mereka ... akan selalu ... bersamaku."

 Mereka hidup dalam hatiku. Selama aku tidak melupakannya, ingatan itu tidak akan pernah hilang. Hari-hari bahagia yang kami lalui bertiga akan selalu berwarna cerah.

 "Ya ...." 

 Mizuno-kun memelukku erat. Aku tidak bisa menahannya lagi dan menangis tersedu-sedu. Untuk beberapa saat, dalam pelukan Mizuno-kun, aku menumpahkan air mata tanpa henti, seolah-olah semua kesedihan yang selama ini kutahan akhirnya bisa kukeluarkan.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close