Chapter 3 - Keluarga
Karena liburan musim panas sudah tiba, aku meminta izin pada ibuku untuk membantunya lebih banyak dalam pekerjaan rumah.
"Baiklah. Ini adalah pelatihan untuk menjadi pengantin, ya," suara ibuku terdengar penuh semangat.
Saat mulai melakukannya, aku menyadari bahwa ada banyak hal yang perlu dipelajari hanya untuk mencuci pakaian. Posisi tombol pada mesin cuci, tempat memasukkan deterjen, seberapa banyak deterjen yang harus dimasukkan, dan lain-lain. Semua itu harus diingat dan dioperasikan dengan benar.
"Ikutlah mode cuci kering untuk barang-barang yang bisa dikeringkan, dan untuk pakaian, cuci dengan mode dry," ibuku mengajarkan.
"Sentuh ini," katanya.
"Ya."
"Ini bisa dikeringkan."
"Ya."
"Selanjutnya ini,"
"Ya."
"Ini untuk cuci kering."
Ibu mengajarkan dengan menyentuh barang-barang. Saat aku berpikir bahwa ada banyak hal yang perlu diingat, dia berkata, "Yah, yang penting bisa dicuci, jadi tidak apa-apa jika ada sedikit kesalahan. Deterjen biasanya cukup satu takaran."
Ibu tertawa mengatakan bahwa tidak masalah jika sedikit sembarangan. Ketika aku sedang membersihkan lantai dengan pel, ibuku memanggil, "Koharu~"
"Ya~"
"Bagaimana kalau nanti Koharu yang masak dan menghidangkan makanan untuk Sorano-kun?"
"Eh. Boleh?"
"Lebih baik punya tujuan, kan?" Ibu memeluk bahuku.
"Yay!"
"Sorano-kun suka apa?"
"Dia suka kari~"
"Hehe, itu terasa sangat khas Sorano-kun."
Oke. Mari kita berlatih, kata ibuku sambil menepuk bahuku. Setelah itu, pelatihan intensifku dimulai.
Aku menekan tombol di kanan atas untuk menyalakan. Tombol daya di sebelah kiri, yang kedua dari atas adalah mode cuci dan kering. Tempat memasukkan deterjen, bagian tengah untuk deterjen cuci dan yang di sebelah kanan untuk pelembut. Untuk sementara, satu takaran masing-masing sudah cukup. Aku memasukkan jari ke dalam gelas deterjen untuk merasakan seberapa banyak yang ada di dalamnya.
"Bu, aku sudah siap untuk mencuci~!"
"Ya ya~," ibuku datang menghampiri.
"Ayo kita periksa."
"Silakan lakukan pemeriksaan yang ketat!"
Hari ini, aku memutuskan untuk mencoba mencuci sendirian.
Meskipun disebut tantangan, karena ini adalah mesin cuci dengan pengering, hanya dengan satu tombol, semua proses sampai pengeringan bisa dilakukan. Namun, aku harus memasukkan pakaian dalam ke dalam jaring, memisahkan pakaian, dan memikirkan tombol mana yang harus ditekan, serta di mana dan seberapa banyak deterjen yang harus dimasukkan. Banyak langkah yang harus diikuti.
"Deterjen sudah oke, dan tidak ada barang yang tidak boleh dimasukkan ke dalam pengering. Sempurna. Bagus sekali, Koharu!"
Ibuku menggenggam tanganku.
"Syukurlah. Dengan ini, mesin cuci ini juga menjadi mesin cuci pribadi-ku."
"Apa itu mesin cuci pribadi?"
Suara tawa ibuku pecah.
"Kalau dengan mesin cuci ini, aku bisa mencuci bahkan dengan mata tertutup."
"Wah, hebat sekali. Koharu ternyata memiliki bakat yang luar biasa~"
"Selanjutnya, aku mungkin akan menguasai mencuci piring."
"Kalau begitu, mari kita pergi ke dapur. Bolehkah aku minta bantuanmu?"
"Aku ingin bisa melakukan lebih banyak hal sendiri, sehingga bisa mencoba hidup mandiri~."
"Aku akan selalu bersamamu, jadi tidak perlu terlalu terbebani."
Ibu tertawa kecil, "Uhehe."
Aku merasa senang berpikir bahwa setiap hal yang bisa kulakukan semakin banyak.
🔸◆🔸
"Tadi aku membuat hamburger bersama ibu. Mau ikut makan?"
"Eh. Tidak usah."
"Tidak apa-apa. Aku sudah membuat tiga porsi karena kupikir Kakeru-kun juga akan memakannya."
"Begitu? Kalau begitu, setelah jalan-jalan, aku akan menerima tawaran itu."
"Ibu, Kakeru-kun mau ikut makan!" Aku berteriak ke arah ruang tamu, dan ibu menjawab, "Oke!"
Malam ini, sebelum pergi jalan-jalan dengan Kakeru-kun, kami berdua menyemprotkan obat pengusir serangga di pintu masuk.
Jalan-jalan di malam musim panas harus hati-hati, karena jika lengah, bisa langsung digigit banyak nyamuk.
Terutama di jalur pejalan kaki di Sungai Sumida, ada banyak tanaman, jadi banyak nyamuk. Kakeru-kun menyemprotkan obat pengusir serangga. Aku meratakan bagian yang sudah disemprot dengan telapak tangan.
"Ngomong-ngomong, bagaimana hasil pemeriksaan hari ini?"
"Tidak ada masalah. Tidak perlu khawatir."
"Benarkah?"
"Apa kamu meragukannya?"
"Karena ada sejarahnya, sih..."
Aku menggembungkan pipi.
Meskipun aku sudah mengatasi kanker, aku harus menjalani pemeriksaan setiap enam bulan. Untuk memastikan tidak ada kekambuhan atau metastasis. Itulah tujuan pemeriksaan.
Jika ditanya apakah aku tidak merasa takut karena pernah mengalami kekambuhan, itu akan menjadi kebohongan. Memikirkan kapan aku harus menjalani kehidupan di rumah sakit lagi rasanya sangat menekan.
Tapi, tidak ada gunanya merendahkan semangat, karena tidak ada hal baik yang bisa datang dari itu.
Siapa pun tidak pernah tahu kapan mereka akan sakit parah atau mengalami kecelakaan. Yang terpenting adalah menjalani hidup sebaik mungkin.
Aku tidak akan menyerah lagi. Kakeru-kun mengajarkanku untuk tersenyum cerah, seperti kembang api.
"Aku akan menyemprotkan, jadi tolong hadap belakang."
"Terima kasih."
Aku membalikkan badan dan menggerakkan rambut ke depan agar lebih mudah disemprot di leher. Semprotan dingin menyentuh kulit, dan aku mengeluarkan suara "hyah!"
Saat itu, Kakeru-kun memelukku dari belakang. "A-apa yang terjadi?"
Aku terkejut, jantung berdegup kencang. Kakeru-kun tampak ragu untuk berbicara.
"Hasil pemeriksaan bilang 'tidak ada masalah,' tapi jika aku terbiasa dengan itu, aku merasa takut."
Kakeru-kun mengatakan hal itu. Oh, jadi Kakeru-kun juga merasakan beban itu. Jika aku terbiasa dengan 'tidak ada masalah,' bagaimana jika tiba-tiba dikatakan ada masalah ketika aku tidak siap? Itu sangat menakutkan.
Kakeru-kun sepertinya membawa setengah dari kecemasanku. Begitu memikirkan hal itu, mataku terasa hangat.
"Terima kasih banyak," aku mengucapkan kata-kata itu berulang kali, sambil menyentuh tangan Kakeru-kun yang tadi memelukku.
"Aki benar-benar senang. Tapi, jika ibu datang, bukankah ini akan canggung?"
Kakeru-kun sepertinya tersadar dan segera melepaskan tangannya.
Aku mendengar dia berkata kecil, "Maaf..."
"Haruskah kita berangkat?"
Bagian yang Kakeru-kun sentuh masih terasa hangat.
Kami bergandeng tangan dan keluar dari ruangan bersama.
Malam itu benar-benar panas. Keringat bercucuran, dan aku merasa seperti obat pengusir serangga yang tadi disemprotkan mengalir.
Mungkin karena panasnya, suara serangga juga terdengar kurang bertenaga.
"Panas sekali, ya?"
"Ya, keringatnya keluar dengan cepat."
"Apa kita pulang saja?"
"Eh? Kenapa?"
Kakeru mengatakan dia khawatir kalau panasnya cuaca mungkin membuatku tidak nyaman.
"Ah, ayolah, ini kan kesempatan langka untuk jalan-jalan."
Aku tidak bisa menahan tawa.
"Ngomong-ngomong...."
"Hm?"
Aku ingin bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya Kakeru-kun sebutkan dan membuatku penasaran.
"Kamu bilang Yuko-chan dan Narumi-san memiliki hubungan yang rumit, kan?"
"Oh, itu?"
"Iya, itu. Itu sebenarnya apa?"
"Selama Koharu dirawat di rumah sakit, mereka berdua sebenarnya pacaran."
"Eh!"
"Terasa tidak mungkin, kan?"
Menurut Kakeru-kun, mereka berdua tiba-tiba menjalin hubungan saat tahun ketiga kuliah. Dan dalam waktu kurang dari tiga bulan, mereka tiba-tiba putus. Kakeru-kun sepertinya tidak tahu alasan mereka berpacaran maupun alasan mereka putus.
"Hubungan antara teman seperti itu bukan hal yang perlu digali terlalu dalam."
"Ya, memang begitu."
Hanya ada dua suara langkah kaki yang terdengar, sepertinya hari ini tidak ada orang lain yang berjalan-jalan.
"Katanya, 'Rasanya memang ada yang berbeda, jadi kami memutuskan untuk kembali berteman. Kami berpisah dengan baik, jadi jangan khawatir,' hanya itu yang bisa kudengar dari Narumi. Kira-kira apa yang sebenarnya terjadi antara mereka, ya?"
"Saat kita makan monjayaki, tidak ada tanda-tanda mereka adalah mantan kekasih, kan?"
"Begitu? Dari yang kulihat, mereka masih terlihat cukup akrab."
"Mungkin mereka berteman dengan baik," aku berkomentar sambil merenung.
"Sungguh, ini adalah fakta yang mengejutkan. Kenapa tidak bilang lebih awal?"
"Aku ingin bilang, tapi mereka segera putus, jadi aku kehilangan momen untuk mengatakannya," kata Kakeru-kun.
Wow, aku tidak pernah menyangka bahwa mereka berdua pernah pacaran.
Namun, aku merasa senang mereka masih berteman meskipun sudah berpisah.
Segera setelah itu, aku sadar bahwa pikiranku itu sangat egois. Aku hanya memikirkan diri sendiri, merasa lega bahwa hubungan kelompok kami yang terdiri dari empat orang tidak hancur.
Mungkin karena keheningan yang berlangsung, Kakeru-kun tiba-tiba berbicara dengan suara serius.
"Maaf ya, belakangan ini aku hanya bisa bertemu denganmu di malam hari."
"Tidak apa. Terima kasih sudah selalu datang menemuiku. Bagaimana dengan pencarian kerjamu?"
"Aku baik-baik saja. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja, dan aku harus membuatnya berjalan."
"Kenapa kamu terdengar ragu?"
Aku tidak bisa menahan tawa mendengar nada bercanda Kakeru-kun.
"Kita sudah sampai di Paris Square. Mau istirahat?"
"Tidak apa-apa. Mari kita lanjutkan berjalan."
Rute jalan-jalan biasa kami adalah keluar dari apartemen, menyeberangi jalan, dan berjalan lurus ke depan. Jika dilihat dari peta, itu menuju ke arah utara. Di puncak Tsukishima yang berbentuk bulan sabit, ada alun-alun yang disebut 'Paris Square,' dan kami sering beristirahat di sana.
Dari Paris Square, ada jembatan yang disebut Chuo Ohashi, dan di seberangnya ada taman yang bernama Tsukuda Park. Rute yang biasa kami ambil adalah kembali dari taman Tsukuda ke apartemen.
"Kenapa namanya Paris Square, ya?"
"Entahlah, mungkin ada alasannya."
Kakeru-kun memberi tahuku bahwa dari Paris Square, jika melihat ke arah Asakusa, kita bisa melihat Eitai Bridge yang diterangi dengan cahaya biru, dan di belakangnya, Tokyo Skytree yang juga diterangi dengan cahaya biru.
Di permukaan air yang gelap, terlihat bayangan biru dari jembatan dan menara itu.
Hitam dan biru. Aku merasa pemandangan yang menakjubkan dan fantastis ini sangat menarik.
Pemandangan seperti itu melintas dalam pikiranku.
"Apa pemandangan ini terasa seperti Paris?"
"Kalau pemandangan seperti ini ada di Prancis, pasti akan sangat indah."
"Benar juga."
Aku yakin ada asal-usul lain untuk nama itu. Namun, aku merasa pemandangan ini sudah cukup. Jika di Prancis ada pemandangan seperti ini yang tercermin di sungai, pasti akan sangat menawan.
"Besok ada wawancara, kan?"
"Ya, benar. Aku sudah mengingat motivasi melamar dan juga dibantu oleh Hayase."
“Kalau begitu, setelah wawancaranya selesai, bagaimana kalau aku memasak untukmu?”
“Eh, benarkah?”
“Aku sudah berusaha keras dengan pekerjaan rumah untukmu juga.”
Tiba-tiba aku merasa malu setelah mengatakannya. Seolah-olah aku baru saja memintanya untuk menjadikanku istrinya.
“Wah, terima kasih ya. Makan malam dengan hidangan penuh? Pasti repot menyiapkannya.”
Kakeru langsung bercanda.
Sambil tersenyum, aku menjawab, “Menunya adalah kari.”
“Pedas?”
“Bagaimana kalau kita ambil tengah-tengah dan pilih tingkat kepedasan sedang?”
Dari samping terdengar suaranya, “Oh iya, aku juga harus berusaha lebih keras.”
“Semoga sukses dengan wawancaranya.”
“Aku akan berusaha untuk Koharu juga.”
Kakeru-kun mengucapkan itu, aku segera membalas.
"Jangan hanya demi aku, kamu juga harus berusaha untuk dirimu sendiri."
Rasanya aneh setelah mengucapkan kata-kata itu. Aku berpikir sejenak, dan kemudian menyadarinya. Aku juga, belajar mengurus pekerjaan rumah sebenarnya adalah untuk diriku sendiri.
Aku harus berusaha bukan hanya untuk Kakeru, tapi juga untuk diriku sendiri.
🔸◆🔸
"Sepertinya aku sudah cukup menguasainya, mencuci dan membersihkan rumah."
Pada suatu hari saat berjalan-jalan, aku duduk di bangku dan berbicara kepada Kakeru-kun tentang pencapaian sehari-hariku.
Kakeru-kun menggenggam tanganku dan mendengarkan. Dengan kebiasaan ucapannya yang lembut 'Hee,' (TL/N: kalau di vol 1, aku pake kata 'oh, begitu...' yang penggunaannya punya artian serupa) dia memberiku dukungan dengan penuh perhatian.
Aku bahkan sempat khawatir, apakah dia mendengarkan gadis-gadis lain dengan cara yang sama. Namun, kurasa Kakeru-kun tidak akan melakukan hal seperti itu.
Entah kenapa, aku merasa begitu.
"Bagus sekali kalau kamu bisa menetapkan tujuan dan berusaha seperti itu, Koharu."
Kakeru-kun mengatakan itu dengan sangat natural, dan aku merasa senang, "Ehehe."
Aku bahkan ingin dia mengusap kepalaku.
"Eh, menurutmu, apa kekuatan-ku?"
Tiba-tiba, Kakeru-kun bertanya dengan suara serius.
Ketika bertanya tentang maksudnya, dia menjelaskan bahwa dalam wawancara pencarian kerja, hampir selalu ada pertanyaan, "Apa kekuatan Anda?"
Kakeru-kun merasa bingung dengan pertanyaan itu dan baru-baru ini mengalami kegagalan besar dalam wawancara.
"Eh," aku terkejut mendengarnya. Kakeru-kun juga terkejut dan mengeluarkan suara khawatir.
"…Tidak ada, ya?"
"Tidak, bukan begitu," aku buru-buru memperbaiki.
"Maksudku, ada banyak hal baik tentangmu, jadi aku bingung kenapa kamu bertanya."
"Oh, begitu. Jadi, bisa sebutkan sepuluh hal baik tentangku?"
Dia berkata demikian, jadi aku mulai menghitung dan menyebutkan satu per satu.
"Baik hati. Selalu siap membantu. Suara yang indah. Tangan yang hangat. Memimpin dengan baik. Tampan."
"Tunggu, tunggu."
Kakeru-kun yang terdengar malu menghentikanku.
"Tidak, kamu mengatakan itu semua dengan begitu mudah, jadi aku malu. Lagipula, bagaimana kamu tahu aku tampan?"
"Kurasa Kakeru-kun memang tampan."
Kakeru-kun terlihat canggung, dan itu menggemaskan.
"Omong-omong, Kakeru-kun, bisa sebutkan sepuluh hal baik tentangku?"
"Bisa, tapi malu rasanya kalau harus diucapkan di sini."
"Kemarin di Ginza, kamu dengan santainya mengucapkan hal memalukan."
"Nanti aku akan mengatakannya dengan lebih baik."
"Menjijikkan," aku bergumam.
"Di dalam pencarian kerja, kita harus membicarakan 'kekuatan diri', bukan?"
"Benar."
"Aku pikir, salah satu kekuatanmu dibandingkan dengan orang lain adalah cara kamu memperlakukan semua orang tanpa membedakan."
"Begitu, ya..."
"Ya, benar."
Suara serangga malam terdengar, dan aku berpikir betapa pekerja kerasnya mereka bisa bernyanyi bahkan di malam hari.
"Terima kasih," suara Kakeru-kun terdengar pelan.
"Koharu, kamu cepat sekali mengucapkan hal-hal seperti itu. Sejujurnya, itu sangat membantu."
Mendapatkan ucapan terima kasih darinya membuatku merasa sangat senang. Aku merasa bangga bisa berguna.
"Ah, besok ada wawancara, ya..."
Kakeru-kun mengatakannya.
Meskipun aku tidak bisa melihat wajahnya, aku bisa merasakan bahwa dia mungkin merasa setengah berharap dan setengah cemas saat melihat ke langit.
🔸◆🔸
Keesokan harinya, setelah pulang dari kampus, aku menelepon Kakeru-kun sambil berbaring di tempat tidur. Suara Kakeru-kun terdengar suram. Lebih tepatnya, suaranya terasa sedikit tajam.
"Ada sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi, ya?" tanyaku.
[ Hah? Kenapa begitu? ]
Hari ini seharusnya ada wawancara penting untuk Kakeru-kun. Aku penasaran bagaimana hasilnya, tetapi dengan nada suaranya yang seperti itu... mungkin hasilnya tidak begitu baik.
"Suaramu terdengar sedikit gelap."
[ Eh, tidak kok. Aku sangat baik. Sekarang aku akan sibuk dengan pekerjaan yang kucintai. ]
"Tolong jangan bilang kau mencintai yang lain selain aku."
[ Hah? Pekerjaan juga tidak boleh? ]
"Selain aku, semuanya tidak boleh."
[ Baiklah~ ]
Dia tertawa, tetapi suaranya tetap terdengar kurang bersemangat. Suara semacam itu membuatku merasa khawatir.
"Bagaimana wawancaranya?" tanyaku dengan nada ceria.
Namun, Kakeru-kun terdiam. Ah, aku merasakan sesuatu. Dan aku mulai merasa cemas karena aku terlalu tidak peka.
"Maaf. Apa tidak berjalan dengan baik...?" tanyaku. Mendengar itu, suara Kakeru terdengar panik.
[ T-tidak, bukan begitu. Wawancaranya baik-baik saja. Berkat Koharu, wawancaranya berjalan lancar. ]
"Jadi... ada apa?"
[ Hanya saja, terjadi sedikit pertengkaran... dan aku memutuskan untuk membatalkan wawancara. ]
"Pe-pertengkaran? Kenapa lagi?"
Kakeru-kun terdiam lagi, jadi aku meminta dia untuk jujur. Apapun itu, aku ingin membantunya.
[ Di wawancara, ada pembicaraan tentang aku yang pacaran dengan gadis yang tidak bisa melihat. ]
"Hah? Itu tentang aku?"
[ Iya. Aku bilang betapa cantiknya, cerianya, dan betapa aku menghormatinya... ]
Aku merasa malu mendengar pujian itu. Jangan memuji aku begitu langsung.
Lalu, Kakeru-kun mengeluarkan kata-kata yang tidak terduga.
[ Setelah itu, pewawancara bertanya, 'Bagaimana kamu bisa berpikir untuk berpacaran dengan gadis semacem itu?' ]
"Hah?"
[ Aku tidak bisa menahan diri dan berkata, 'Tidak seharusnya ada yang mengatakannya seperti itu.' ]
"Maaf."
[ Kenapa Koharu yang minta maaf? Yang salah itu mereka. Aku tidak bisa memaafkannya, jadi aku langsung membatalkannya. ]
-----Dia benar-benar mengatakannya. Mendengar kata-kata itu, aku terdiam. Tiba-tiba, aku kehilangan kata-kata. Tenggorokanku kering, dan aku merasakan sensasi dingin mengalir ke dalam pembuluh darahku.
[ Koharu? ] suara Kakeru-kun memanggilku.
Aku harus mengatakan sesuatu, jadi aku memaksakan suara keluar.
"Karena Kakeru-kun yang membanggakan diriku~. Ah, sayang sekali. Seharusnya berjalan dengan baik, sangat disayangkan. Kamu bisa saja diam mengabaikanku dan fokus saja untuk pekerjaannya..."
[ Tidak bisa begitu. ]
Suara Kakeru-kun terdengar marah. Dia kembali mengingat kembali akan kemarahannya sebelumnya. Jantungku terasa terhenti, dan dadaku sesak.
[ Segera aku harus mulai kerja paruh waktu, jadi kita bicara lagi malam nanti. ] katanya, lalu menutup telepon.
Begitu telepon terputus, semua yang kutahan seolah akan meluap.
Aku khawatir apakah aku menjadi beban bagi Kakeru-kun. Rasa cemas itu tak tertahankan.
"Aku tidak ingin menjadi... sosok seperti itu."
Air mata hangat mulai mengalir dari mataku dan jatuh ke telapak tangan. Kupikir, jika aku menangis di sini, ibuku mungkin akan khawatir, jadi aku memutuskan untuk keluar dan menghirup udara segar.
Aku bersandar pada pegangan ramp dan merasakan angin malam. Atau mungkin lebih tepatnya angin sore. Langit saat ini pasti berwarna oranye. Suara mobil terdengar dari jalan raya. Sepertinya tidak banyak orang yang berjalan. Aku bisa mendengar suara roda sepeda berputar. Dari Sungai Sumida, terdengar suara kapal seperti feri.
Jika aku menangis sendirian di sini, mungkin orang-orang akan menganggapku aneh. Aku berpikir, jarang sekali ada tempat di mana aku bisa menangis sepuasnya. Betapa baiknya jika ada tempat di mana aku bisa menangis tanpa perlu merasa khawatir.
Saat aku menahan air mata yang hampir meluap dan menyeka hidungku, suara seseorang memanggilku.
"Koharu-chan?"
"Ada apa?"
Ternyata itu suara Yuko-chan.
"Hah? Yuko-chan?"
"Aku terkejut. Aku lewat dan melihatmu di sini."
Sepertinya dia baru saja diminta oleh teman-teman yang dikenalnya dari kegiatan pencarian kerja untuk menunjukkan tempat makan monjayaki di Tsukishima, dan dia baru saja selesai dari acara minum siang.
Dia sedang berjalan pulang untuk menetralkan efek alkohol. Ketika dia lewat di depan apartemenku, dia melihatku.
"Ada apa? Kamu bertengkar dengan ibumu?"
"Tidak, tidak. Tidak ada hal seperti itu."
Setelah terdiam sejenak, Yuko-chan berkata, "Jika kamu tidak ingin membicarakannya, tidak apa-apa. Baiklah, aku juga ingin duduk beristirahat."
Yuko-chan mendekat dan duduk di sampingku, sedekat itu hingga bahu kami bersentuhan. Tanpa berbicara, kami berdua hanya terdiam.
"Hei, Koharu-chan."
"Ada apa?"
"Walaupun sudah sore, bulannya sudah terlihat."
Yuko-chan sepertinya sedang melihat ke atas. Aku juga menengadah dan membayangkan gambaran bulan. Sebuah bulan besar tampak melayang di langit.
"Apa tidak ada awan?"
"Tidak ada awan."
"Bagaimana bentuknya?"
"Sepertinya itu bulan sabit. Setengah."
Bulan... setengah melayang di langit.
"Bulan juga, tidak selalu terang. Setengahnya adalah bayangan."
"Itu benar, kan, semuanya?"
Mungkin karena dia sedang mabuk, Yuko-chan mengucapkan hal-hal filosofis seperti itu.
"Karena kita bertemu saat pencarian kerja, kita harus tetap berhubungan meskipun masuk perusahaan yang berbeda. Namun pada akhirnya, ketika jadi pekerja, kita berbicara tentang pergi ke acara kencan kelompok," katanya.
"Bahkan ada yang mencoba membawa pulang," tambahnya.
Aku membayangkan wajah Yuko-chan yang pasti terlihat bingung.
"Eh! Apa itu baik-baik saja?"
"Baik-baik saja. Aku bisa menghindarinya dengan anggun dan keluar dari acara pertama."
"Hebat sekali, Yuko-chan."
"Serahkan padaku!"
Suara Yuko-chan yang tegas membuatku tertawa. Kemudian, aku mendengar tawa Yuko-chan juga. Entah kenapa, dengan bulan setengah yang terlihat malam ini, rasanya aku bisa mengungkapkan kelemahanku.
"Tadi,"
"Ya?"
"Aku sedang menelepon Kakeru-kun."
"Ya?"
"Di wawancara untuk perusahaan yang dia impikan, sepertinya ada pembicaraan tentang pacar."
"Apa Kakeru-kun bercerita tentangmu di wawancara?"
"Tidak, sepertinya bukan itu. Dia bilang pewawancara menyebutku dengan buruk, dan akhirnya dia membatalkan wawancaranya."
Setelah jeda sejenak, aku mendengar suara Yuko-chan yang terkejut.
"Eh?! Tidak, Kakeru-kun tidak salah, tapi kenapa dia harus memberitahukan itu kepada Koharu?"
Apalagi, entah sudah seberapa banyak dia berlatih wawancara untuknya. Dan sekarang dia membatalkannya.
Aku bisa merasakan suara kemarahan Yuko-chan yang mulai membara.
"Baiklah, Koharu. Ayo pergi."
"Ke mana?"
"Ke tempat kerja Kakeru-kun."
"Eh? Sekarang juga?"
"Ada taksi yang lewat, jadi aku akan menghentikannya."
Sekali Yuko-chan mulai berbicara, dia sama sekali tidak bisa dihentikan. Kami didorong masuk ke dalam taksi, dan kami pun menuju tempat kerja Kakeru-kun.
Aku tahu bahwa tempat kerja Kakeru ada di bawah Stasiun Tokyo. Itu adalah kafe yang juga menyajikan alkohol di malam hari. Ketika aku mengatakan bahwa aku sebenarnya belum pernah ke sana, Yuko-chan tampaknya sering datang. Dia tertawa dengan ceria, "Karena bisa minum alkohol, kan?"
Aku berpikir sejenak, sejak kapan Yuko-chan menjadi begitu menyukai alkohol?
"Sudah sampai," kata Yuko-chan, yang memegang lenganku, dan taksi pun berhenti.
"Apa benar kita boleh datang ke sini? Kakeru-kun sedang bekerja, kan?"
"Tidak apa-apa. Nanti menjelang tutup, sepertinya dia akan punya cukup banyak waktu luang."
Yuko-chan mengucapkan kalimat yang terdengar seperti dari seorang pelanggan tetap.
"Kalau begitu, mari masuk."
Dia membawaku masuk ke dalam kafe. Saat itu, terdengar suara Kakeru-kun, "Selamat datang. Silakan duduk di kursi yang kosong."
Suara di dalam kafe terdengar ramai dan sepertinya sibuk.
"Eh, Hayase dan Koharu?" terdengar suara Kakeru-kun yang bingung.
"Ada apa?"
"Apa maksudnya 'ada apa'! Kakeru-kun, bukankah ada yang harus kamu katakan padaku?"
"Eh, eh. Tiba-tiba ada apa ini?"
Suara Yuko-chan yang marah dan suara Kakeru-kun yang bingung. Kakeru-kun pasti sedang ditekan oleh Yuko-chan.
"Sayang sekali, wawancara yang sepertinya berjalan baik, kamu batalkan? Aku sudah mendengar dari Koharu! Jadi, tolong jelaskan dengan rinci tentang itu! Aku akan menunggu di sini!"
"Koharu, ayo!"
Yuko-chan membawaku menuju meja.
"Kakeru-kun, maaf!" kataku.
Dia menjawab, "Silakan menikmati waktu kalian."
"Eh, Sorano-kun!"
"Para pelanggan, mohon sedikit tenang di dalam kafe."
"Untuk saat ini, satu highball, ya!"
Yuko-chan mengatakan seolah itu adalah kalimat sekali pakai sebelum pergi, dan dia mengajakku ke tempat duduk.
"Kakeru-kun, apa dia tidak kesulitan?"
Ketika aku bertanya pada Yuko-chan, dia tertawa, "Oh, dia pasti terlihat kesulitan~. Ngomong-ngomong, mau makan sesuatu? Makanan di sini cukup enak. Bagian dapurnya dipegang oleh Narumi, dia cukup pandai memasak."
Yuko-chan membacakan menu, dan aku memesan sandwich telur dan teh susu.
"Oi! Sorano-kun!"
"Apa itu?"
Kakeru-kun datang dengan suara yang sangat terkejut.
"Bisakah kamu lebih ramah? Ini bisnis layanan pelanggan, lho~."
"Kalau aku dipecat, itu sudah pastilah karena Hayase."
"Jadi, satu sandwich telur, teh susu, dan satu pasta tomat."
"Kamu mengabaikanku, ya?"
"Maaf sekali karena tiba-tiba datang."
Aku menundukkan kepala ke arah suara Kakeru-kun.
"Ya sudah, kalau sudah datang, santai saja. Sandwich telurnya akan aku potong kecil-kecil."
"Terima kasih."
Kakeru-kun mencatat pesanan dan pergi.
"Ngomong-ngomong, Narumi juga bekerja di sini, kan?"
"Benar. Ketika Kakeru-kun ingin kerja paruh waktu, kebetulan ada lowongan di tempat Narumi."
"Eh, Yuko-chan?"
"Ada apa?"
"Boleh aku bertanya tentang sesuatu yang sulit?"
"Tentu saja."
"Apakah ada perasaan sulit untuk datang ke sini setelah putus dengan Narumi? Apa kamu kau tidak merasa terbebani karena aku?"
"Tenang saja. Koharu, kamu terlalu khawatir."
Yuko-chan tertawa, "Ahaha."
Saat itu, Kakeru-kun datang dengan membawa minuman, "Silahkan, highball dan teh susu."
"Apa yang membuatmu tertawa terbahak-bahak?"
"Tidak ada apa-apa~. Ngomong-ngomong, setelah ini kita adakan rapat tentang pencarian kerja."
"Ah, ya..."
Suara Kakeru-kun yang lesu terdengar menjauh, mungkin dia langsung pergi.
Yuko-chan bersorak, "Kanpai!" dan terdengar suara seruput yang menggembirakan.
"Yuko-chan, apa kamu sedang minum sekaligus?"
"Tidak, tidak. Masih ada seperempat yang tersisa."
"Hei, Sorano-kun, tolong tambah ya~!" Yuko-chan berteriak.
Itu terasa lucu, dan aku pun tertawa.
"Eh, Yuko-chan?"
"Ada apa?"
"Kenapa kamu putus dengan Narumi?"
Setelah jeda sejenak, Yuko-chan melanjutkan, "Ah, aku belum berbicara dengan baik tentang ini."
"Tentu saja, aku tidak membencinya."
Suara Yuko-chan terdengar lembut.
"Aku suka dia sebagai seseorang dan kita cocok sebagai teman. Rasanya nyaman saat bersama."
Namun, dia mengatakan bahwa dia merasa itu bukanlah takdir mereka.
"Takdir?"
"Ya, takdir. Koharu, bisa kamu bayangkan apa yang terjadi setelah berpisah dengan Kakeru-kun?"
"Berpisah? Dengan Kakeru-kun?"
Ketika memikirkan hal itu, aku tidak pernah membayangkan perpisahan.
"Sama sekali tidak."
"Aku, sih. Setelah sebulan berpacaran, aku sudah merasa takut. Jika kita berpisah, kita tidak akan bisa berteman lagi."
Walaupun saling suka. Walaupun cocok. Rasanya aneh.
Yuko-chan mengatakannya dengan suara yang sedih.
"Begitu kita mulai berpikir tentang hal-hal seperti itu, semuanya sudah berakhir, kan?"
Mendengar suara tawa pahit Yuko-chan, aku berkata, "Maaf."
Saat itu, terdengar suara Narumi.
"Apa? Hayase dan Fuyutsuki, ya?"
"Ya. Ini pasta tomat dan sandwich," kata Narumi sambil meletakkan piring di atas meja.
"Terima kasih," jawab Yuko-chan.
"Apa yang kalian bicarakan?"
"Kami berbicara tentang hubungan antara aku dan Narumi~."
Tiba-tiba, tercium sedikit aroma alkohol dari Yuko-chan.
"Eh, hentikan itu."
"Tidak apa-apa. Itu tidak mengurangi apapun."
Dari suaranya, mereka sepertinya masih akur.
Lalu, Kakeru-kun datang sambil berkata, "Eh, Narumi, jangan bicara terlalu lama di sini."
"Dan, satu highball sudah siap."
"Apa ini cukup kuat?" tanya Yuko-chan.
"Aku membuatnya cukup kuat, meskipun tidak sekuat sampai aku akan dipecat dari pekerjaan."
Suaranya terdengar seperti seorang sahabat, dan aku hampir tertawa lagi.
Dari arah Narumi, dia berkata, "Yah, hampir tidak ada pelanggan lagi, jadi sepertinya tidak akan masalah."
"Eh, jadi mau minum bersama? Aku yang traktir?" tanya Yuko-chan.
"Ah, tidak usah," jawab Kakeru-kun.
"Lebih baik aku menolak," sambung Narumi, dan suaranya tumpang tindih, membuat suasana jadi lucu.
"Jadi kalian menolak minuman dariku ya?" Yuko-chan berkata sambil menyeruput minumannya.
"Heh, kamu minum kebanyakan. Nanti kalau tidak bisa pulang, jangan salahkan aku," ucap Narumi.
"Aku baik-baik saja, baik-baik saja."
Kemampuan bicara Yuko-chan sudah mulai kacau.
"Jadi, kalian membicarakan apa?" tanya Kakeru-kun.
Yuko-chan yang sudah mabuk kemudian mengeluarkan pernyataan mengejutkan.
"Sepertinya Koharu-chan memperhatikan soal ini, ya. Jadi kami membicarakan tentang hubunganku dan Narumi~. Sebelumnya, aku berpikir, apakah kami bisa memiliki hubungan seperti Koharu dan Sorano? Dan kami pun mulai berkencan. Namun, kami berdua menyadari bahwa itu bukanlah takdir kami, jadi kami memutuskan untuk berpisah."
Aku terkejut dengan pengakuan yang terlalu terbuka itu.
"Narumi, kamu nggak apa-apa?" tanya Kakeru.
"Narumi, kau baik-baik saja dengan ini?" tanya Kakeru-kun.
"Kalau sudah begini, tidak ada yang bisa dilakukan," jawab Narumi dengan nada pasrah.
"Mungkin kamu sudah bisa menebaknya, tapi kami pacaran sekitar tiga bulan, dan selama itu, perasaanku tidak berubah seperti saat kami masih berteman. Bahkan ketika kami bergandengan tangan, aku tidak merasakan apa-apa."
"Haha, bukankah itu keterlaluan, kan? Dia bergandengan tangan denganku dan bilang, 'Tidak ada rasa berdebar sama sekali...' loh," kata Yuuko.
"Yah, Hayase sendiri juga tertawa dan bilang, 'Aku juga tidak, sih,' waktu itu," tambah Narumi.
Mendengar itu, Kakeru-kun tertawa, "Apa-apaan, sih, itu?"
Kemudian Yuko-chan melanjutkan, "Pada akhirnya, kami memang bukan ditakdirkan satu sama lain."
"Kalau melihat pasangan yang benar-benar terikat oleh takdir, aku merasa iri," tambahnya.
Aku yakin dia berkata itu sambil melihatku dan Kakeru.
"Apa itu takdir?" tanya Kakeru.
"Takdir ya takdir," jawab Yuuko.
"Lupakan! Pokoknya---" Yuuko-chan menaikkan suaranya.
"---Kalian harus bahagia!"
Aku merasa itu adalah kata-kata yang ditujukan untuk Kakeru-kun.
Aku bisa merasakan betapa dia mendukung kami, dan aku merasa betapa beruntungnya diriku bisa memiliki teman seperti Yuko-chan.
"Terima kasih," kata Kakeru.
"Lindungi Koharu-chan dan buat dia bahagia, itu sudah jadi kewajibanmu! Tapi sebelum itu, dapatkan pekerjaan! Jadi, bagaimana kamu akan melakukannya?"
Yuko-chan benar-benar tegas.
"Tunggu sebentar, tadi ada email masuk lewat situs pencarian kerja."
"Silahkan membacanya."
"'Saya sangat berterima kasih atas kebaikan Anda'."
"Apa-apaan sih?" seloroh Narumi sambil menyela.
Percakapan itu terasa lucu, membuatku tertawa lagi. Setiap kali kami berkumpul, suasananya selalu menyenangkan.
Tiba-tiba, "Eh!" Kakeru-kun berseru kaget.
"Ada apa?"
"Aku dapat email dari perusahaan yang aku tolak untuk wawancara. Mereka bilang ingin meminta maaf dan bertanya apakah bisa bertemu di suatu tempat."
🔸◆🔸
Pagi-pagi sekali, aku membuat kari.
Tanpa bantuan ibu, aku pergi ke supermarket untuk membeli bahan-bahan, dan semuanya aku buat sendiri.
Dari jam sepuluh pagi aku mulai bersiap, dan sudah sore. Meskipun butuh waktu lebih lama dibandingkan orang lain, aku merasa ini adalah langkah besar bagiku.
"Koharu? Sudah menanak nasi?"
"Ah."
Pada akhirnya, ibu memberikan saran karena ia merasa kasihan.
Mengukur beras hanya dengan sentuhan. Ibu memilihkan beras tanpa pencucian, jadi hanya perlu direndam. Aku menyiapkan beras di rice cooker dan mencari tombol yang ada di paling kanan.
Biasanya, produk elektronik memiliki satu tombol dengan tonjolan untuk memulai atau menyalakan. Aku mengandalkan tonjolan itu untuk menekan tombol memasak nasi. Ketika tombol memasak ditekan, lagu "Twinkle, Twinkle, Little Star" mengalun dengan cepat. Aku tiba-tiba merasa penasaran, kenapa lagu ini ya?
"Kapan Sorano-kun akan datang?" tanya ibu.
"Rencananya jam tujuh malam."
"Kalau begitu, boleh ibu membuat salad sebagai pendamping?"
"Tidak boleh. Hari ini aku sudah memutuskan untuk membuat semuanya sendiri."
"Pelit~," kata ibu.
Hari ini, aku mengundang Kakeru-kun untuk menyajikan masakanku.
"Selamat makan!"
Kakeru-kun tampaknya menyatukan telapak tangannya.
Kemudian terdengar suara sendok yang beradu dengan piring.
Sebelum makan, ibu mengikatkan rambutku.
“Semoga Sorano-kun suka,” kata ibu.
“Ah, kenapa ibu bilang begitu?”
Kami berdua tertawa.
“Ini, semua buatan Koharu?”
“Iya. Dari belanja sampai memasak, semuanya aku yang lakukan.”
“Wow, hebat sekali.”
Aku sangat penasaran dengan reaksi Kakeru-kun.
Aku sudah banyak mencicipi, dan menurutku rasanya biasa saja.
Tapi, disaat seperti ini, karena tidak bisa melihat ekspresinya, aku jadi semakin gugup.
Bagaimana Kakeru-kun akan bereaksi?
Aku merasa sangat penasaran.
“Enak.”
Kakeru-kun mengucapkan kata pertama itu, dan aku merasa sangat lega.
“Enak, ya?”
“Ya. Tekstur sayur yang kenyal juga enak, dan rasanya meresap hingga ke dalam.”
“Wah, senangnya!”
"Yang senang justru aku. Kamu sudah meracik bumbu sendiri demi diriku."
"Hah?"
"Kamu bahkan sampai pergi ke Ameyoko untuk membeli rempah-rempah, kan."
Ibuku tertawa kecil. Saat itu aku sadar Kakeru-kun hanya bercanda.
"Aku tidak pergi ke Ameyoko! Ini cuma kari instan! Kalau kamu bilang begitu lagi, lain kali aku akan buat yang super pedas!"
"Bukan masalah, malah aku ini suka pedas. Tapi Koharu sendiri, apa kamu bisa makan yang pedas?”
"Kari sedang ini saja sudah hampir batasnya."
"Hampir batasnya?"
"Tidak, sebenarnya ini sudah kelewat batas."
Sejak tadi, lidahku terasa panas karena pedas.
"Ahaha," Kakeru-kun menertawakanku.
"Kami sekeluarga selalu pakai yang manis karena Koharu."
"Kalau begitu, lain kali tidak usah dipaksakan, masak yang manis aja."
"Aku pasti akan terbiasa, jadi tenang saja~"
"Benarkah? Terima kasih banyak."
Hanya dengan Kakeru-kun mengatakan itu, hatiku sudah penuh dengan kebahagiaan
Kakeru-kun duduk di depanku, aku merentangkan kakiku untuk mengaitkannya dengan kakinya.
"Ada apa?"
Saat ditanya begitu, aku tidak tahu harus menjawab apa.
Aku hanya senang dan ingin menyentuh Kakeru-kun. Aku berharap dia memahami perasaan itu.
“Enak, ya?”
“Enak.”
“Tolong katakan itu seratus ribu kali.”
Kakeru-kun mengeluarkan suara, “Mou~”. Aku tidak bisa melihat ekspresinya, tapi aku yakin dia pasti tersenyum lembut.
“Ngomong-ngomong, aku punya kabar.”
Kakeru-kun berkata dengan suara serius.
“Oh, oh. Ada apa?” tanya ibu.
“Aku sudah berhasil mendapatkan pekerjaan!”
Kakeru-kun mengatakannya.
“Jadi, kejadian sebelumnya berjalan lancar, ya?”
Ternyata, Kakeru-kun bertemu dengan orang dari perusahaan yang dia tolak wawancaranya di sebuah kafe di Monzen-Nakacho. Sepertinya ada seorang eksekutif yang hadir, dan dia meminta maaf terlebih dahulu, lalu mengundang Kakeru-kun untuk bergabung dengan perusahaan yang ingin merekrut orang yang bisa mengatakan yang salah itu salah. Kakeru-kun berbicara dengan eksekutif tersebut untuk beberapa waktu dan memutuskan untuk bergabung dengan perusahaan yang serius dalam menjalin hubungan dengan mahasiswa seperti dia.
“Koharu juga pasti khawatir, ya?”
“Wah! Benar-benar selamat, ya?”
“Kalau begitu, hari ini seharusnya kita merayakannya dengan sukiyaki daripada kari.”
“Apa pun yang Koharu buat, aku senang.”
Aku ingin segera memeluk Kakeru-kun, tapi karena ada ibu di depan, aku menahan diri.
Kemudian, ibu tiba-tiba berkata, “Apa Kakeru-kun mau tinggal di sini setelah lulus?”
“Eh?!”
Ibu sepertinya sedang bercanda dengan Kakeru-kun.
“Ah, ibu!”
Aku merasa sedikit berdebar.
Aku membayangkan tinggal bersama Kakeru-kun.
Oh, karena Kakeru-kun juga akan bekerja... jadi ada kemungkinan itu bisa terjadi...
Akhir-akhir ini, aku mulai bisa mencuci pakaian, mencuci piring, bahkan memasak sedikit demi sedikit.
Apakah aku bisa menjalani hidup dengan Kakeru-kun seperti ini?
Memikirkan hal itu membuat tubuhku terasa panas... Tidak, mungkin karena kari-nya saja yang pedas.
“Koharu?”
Aku mendengar suara Kakeru-kun.
“Ha, ah!”
“Ada apa? Kamu melamun?”
Aku tersenyum ke arahnya dan berkata tidak ada apa-apa.
Aku berharap masa depan seperti itu bisa datang.
Aku akan berusaha sekuat tenaga.
Saat aku berpikir seperti itu, “Ah, kembang api,” terdengar suara ibu.
“Ngomong-ngomong, hari ini ada festival kembang api di Sungai Sumida, ya?”
“Bisa dilihat dari sini?” tanya Kakeru-kun.
“Ada gedung apartemen di depan kembang api, jadi hanya bisa melihat sebagian kecilnya saja,” jawab ibu.
Ibu kemudian menjadi diam. Kakeru-kun juga diam, dan aku merasa mereka berdua sedang menatap keluar jendela dengan serius.
“Apa bisa melihat kembang apinya?”
“Ah, maaf. Aku terlalu fokus. Meskipun ternyata gedungnya memang menghalangi,” kata Kakeru-kun.
“Dari arah Eitai Bridge, mungkin pemandangannya lebih terbuka,” kata ibu.
“Kalau begitu, apa bisa dilihat dari Paris Square?”
Saat Kakeru-kun mengatakan itu, ibu berkata, "Jangan khawatirkan beres-beresnya, kalian pergilah saja."
Aku bilang nanti akan kubereskan sepulangnya, tapi...
"Tidak apa-apa. Serius, tidak apa-apa. Jangan begitu. Pergilah saja. Biarkan saja nanti ibu yang bereskan!"
Setelah berdebat ringan dengan ibu, akhirnya kami berdua keluar.
Kami turun dari apartemen dan berjalan di jalur biasa.
Kakeru-kun dengan sendirinya selalu berada di sisi kananku, dan aku merasa senang karena posisi itu sudah menjadi tempatnya.
Karena kami jauh dari tempat acara kembang api, hampir tidak ada tanda-tanda keramaian. Suara letupan kembang api juga terdengar samar-samar.
"Semoga kita bisa melihat kembang apinya."
"Kalau terlihat, tempat ini pasti jadi spot rahasia."
Aku meminjam lengan Kakeru-kun dan kami berjalan bersama. Malam akhir Juli terasa lembab dan panas, lengan Kakeru-kun sedikit berkeringat.
"Sebentar lagi kita sampai di Paris Square."
Kakeru-kun berhenti melangkah, jadi aku memeluk lengannya erat-erat. Dari bahunya tercium aroma Kakeru-kun.
Sungguh, apakah aroma dari orang yang kita sukai itu punya campuran yang bisa membuat seorang gadis jadi tergila-gila? Rasanya aku ingin memeluknya lebih erat lagi. Aku ingin menyandarkan wajahku di bahunya.
"Mau duduk?"
Suara Kakeru-kun membuatku kembali tersadar.
“Berdiri juga tidak masalah, kok.”
Kemudian aku lanjut bertanya, “Apa bisa melihat kembang apinya api?”
Rasanya ada banyak orang di Paris Square. Suara percakapan dan teriakan “Bisa lihat, bisa lihat!” terdengar.
“Ya, bisa lihat.”
“Ceritakan padaku.”
Kakeru-kun mulai menjelaskan tentang kembang api yang bisa ia lihat dari tempat ini.
“Di atas Eitai Bridge, ada kembang api besar yang ditembakkan. Kembang apinya meledak bulat dan bersinar perak. Selanjutnya mungkin di depan Tokyo Skytree. Ini disebut tri-color, kembang apinya bersinar dengan tiga warna: merah, biru, dan kuning ke tengah.”
Suara kembang api terdengar pelan. Mungkin hanya kembang api kecil yang terlihat jauh.
Namun, di dalam kepalaku, aku membayangkan kembang api yang besar dan megah.
Antara Eitai Bridge yang bersinar biru dan Tokyo Skytree yang bersinar biru, kembang api yang besar terus-menerus ditembakkan.
Kembang api yang berwarna-warni memantul di Sungai Sumida, dan aku merasa seolah mendengar suara ledakan yang keras.
“Star mine sudah dimulai. Kembang api kuning meledak dengan suara ‘babababab’.”
Dengan kata-kata itu, pikiranku dipenuhi cahaya kuning.
Meskipun mataku tidak bisa melihat, jika bersama Kakeru-kun, aku bisa menikmati kembang apinya.
Sungguh, aku sangat berterima kasih karena dia ada di sisiku.
Aku ingin selalu berada di dekat Kakeru-kun yang bisa memperluas duniaku.
Aku berharap bisa bersama Kakeru-kun selamanya.
Di depanku, kembang api yang beraneka warna bersinar.
Aku memegang tangan kanan Kakeru-kun dan meletakkan kepala di bahunya.
"Aku suka."
Saat aku berbisik seperti itu, Kakeru-kun bertanya, “Apa kamu bilang sesuatu?”
“Tidak, tidak ada apa-apa.”
Aku tersenyum padanya. Aku ingin dia melihat sisi baik diriku, meskipun hanya sekejap.
“Terima kasih sudah membawaku ke sini.”
“Tidak masalah. Aku juga ingin melihat kembang api.”
Tempat ini benar-benar tempat yang bagus. Mungkin kita harus datang lagi tahun depan.
Saat kami mengobrol seperti itu, tiba-tiba ponsel-ku berbunyi, 'pipipi'.
“Maaf, ya.”
Ketika aku mengetuk layar, ternyata itu adalah panggilan masuk dari ibu.
Aku penasaran dan menjawab telepon. Ibu langsung berkata, [ Koharu, ada berita buruk! ]
“Ada apa?”
Ketika aku bertanya kepadanya tentang apa yang dimaksud, ibu mengatakan sesuatu yang tidak akan pernah aku duga.
“Kudengar nenek di Niigata meninggal.”
🔸◆🔸
Nenek yang telah meninggal adalah nenek dari pihak ayahku, yaitu Nenek Yoshiko. Tahun ini dia akan merayakan ulang tahun ke-88, jadi kami sedang membicarakan untuk berkumpul dan merayakannya, tetapi tiba-tiba ada kabar yang melaporkan jika beliau meninggal karena flu yang parah.
Satu hari setelah menerima kabar itu, kami pergi ke rumah nenek.
Ayahku langsung menuju ke sana dari tempat kerjanya, sementara aku dan ibuku berangkat dengan kereta peluru (Shinkansen). Ada upacara peringatan dan pemakaman.
Sebenarnya, aku hampir tidak memiliki kenangan tentang nenek. Ayahku tidak sering pulang, dan setelah aku jatuh sakit, kesempatan untuk bertemu semakin sedikit. Jadi, alih-alih merasa sedih karena nenek meninggal, aku merasa.... entahlah, di upacara peringatan dan pemakaman, aku merasa menyesal karena tidak bisa membantu sama sekali.
Karena ayahku adalah orang yang bertanggung jawab dalam upacara, ibuku juga sangat sibuk mengurus berbagai hal seperti pengaturan tempat, menghubungi kerabat dan orang-orang yang telah membantu nenek.
Sejak berita duka itu, ibuku terus-menerus sibuk, tetapi dia masih sempat mempersiapkan pakaian berkabungku. Sejak tiba di rumah nenek, aku merasa ibuku tidak memiliki waktu untuk bernafas, sibuk mengurus makanan untuk upacara penghiburan dan menyapa para tamu yang datang.
Orang yang paling berduka adalah orang yang paling sibuk, dan aku merasa aku harus melakukan sesuatu untuk membantu.
Aku berpikir begitu, tetapi pada saat seperti ini, yang bisa aku lakukan hanyalah duduk bersila di sudut ruangan.
Meskipun aku sudah dewasa, mengapa aku merasa tidak bisa melakukan apa-apa? Aku merasa sangat frustrasi dan menggigit gigi belakangku. Aku benar-benar berharap bisa melihat dengan baik.
"Yah, dia sudah hidup sampai delapan puluh tujuh tahun, jadi itu adalah kematian yang baik," terdengar suara salah satu kerabat.
Di pemakaman nenek, suasananya tidak terlalu suram, semua orang mengucapkan terima kasih dan mengantarnya pergi. Itu adalah satu-satunya penghiburan yang aku rasakan.
Setelah upacara peringatan, pemakaman, dan kremasi selesai, diadakan makan bersama yang disebut 'seijinotoshi' di rumah nenek.
Di ruangan besar yang tercium aroma dupa, banyak orang berkumpul di sana.
"Koharu, bisa tetap di sini?"
Ibu berkata bahwa dia akan pergi untuk menuangkan minuman bagi para tamu. Ayah sepertinya dikelilingi oleh kerabat di kejauhan.
"Koharu-chan, sudah makan?"
Seorang kerabat menyapa. Aku ingat dia diperkenalkan sebagai sepupu ayah.
"Ya. Saya sudah makan. Enak sekali."
"Nasi ini juga ditanam dari tanah di sini," kata paman itu.
"Beras dari Minami-Uonuma adalah yang terbaik di Jepang," lanjutnya.
"Jika ada yang kamu butuhkan, panggil saja. Jangan ragu."
Begitu kata paman itu.
Aku pikir dia pasti khawatir tentang mataku dan datang untuk menanyakan kabar. Rasanya menenangkan mengetahui ada orang baik seperti paman itu. Namun, rasa penyesalan karena tidak bisa berbuat apa-apa kembali muncul dalam diriku.
Tiba-tiba, aku penasaran berapa banyak orang yang ada di tempat ini.
Ayah… maksudku, keluarga Fuyutsuki tampaknya memiliki banyak kerabat, dan nenek sudah lama menjalani usaha pertanian sehingga memiliki banyak kenalan.
Ketika aku mengarahkan pandanganku dan mendengarkan, terdengar berbagai suara.
Suara percakapan dan tawa orang dewasa, suara gelas yang diletakkan di meja, suara kaki yang menghidangkan makanan, suara anak-anak yang dimarahi karena tidak makan dengan tangan, dan suara anak-anak yang berlarian.
Tiba-tiba, aku teringat percakapan terakhirku dengan nenek.
Itu terjadi satu tahun sebelum aku kehilangan penglihatan, ketika kami sekeluarga menginap di rumah nenek. Sekarang aku ingat, kenangan itu adalah ingatan terakhirku melihat sosok nenek.
Meskipun nenek menderita diabetes, dia diam-diam duduk bersamaku di serambi dan kami makan semangka bersama.
'Koharu?'
'Ada apa?'
'Suatu saat, kamu mungkin juga akan mengalami penyakit besar sepertiku.'
Aku bertanya-tanya mengapa nenek membicarakan hal semacam itu.
Namun, kata-kata nenek memiliki daya tarik yang aneh.
'Itu adalah takdir. Takdir hanya memberikan ujian kepada orang yang bisa mengatasinya.'
Jadi, itu berarti penyakitku juga akan baik-baik saja.
Sambil mengatakan itu, nenek memotong semangka dan berkata,
'Ini, Koharu, makanlah yang ini.'
Dia memberikannya padaku.
'Hei, Koharu...'
'Hmn, ada apa?'
'Kalau itu terjadi, berusahalah, oke?'
'Berusaha?'
'Jika kamu berusaha, orang-orang akan mendukungmu. Tidak ada yang memperhatikan orang yang malas.'
Nenek makan semangka dengan menghisapnya, sambil tersenyum dengan wajah keriputnya, 'Manis, ya.'
'Dan juga, tersenyumlah. Jika kamu tersenyum, orang-orang di sekitar akan membantumu. Orang baik akan berkumpul di sekitarmu. Tidak ada yang mau mendekati orang yang murung.'
Begitu kata nenek sambil meludahkan biji semangka.
'Berusaha dan tersenyum.'
Itulah hal-hal paling penting dalam hidup.
Memang, nenek sendiri selalu tersenyum.
Aku mengingat itu, dan aku merasa itu benar adanya.
Aku pun menyadari, nenek dikelilingi oleh begitu banyak orang.
Meski tidak bisa melihat, aku bisa merasakan banyak orang yang berkumpul di sini, dan mereka juga tidak terlalu tenggelam dalam kesedihan.
"Seperti inilah yang kuinginkan."
Tanpa sadar, aku berbisik seperti itu.
"Apa yang kamu inginkan?" tanya ibuku.
"Oh, eh? Kapan ibu kembali?"
"Aku sudah kembali. Oh, Koharu, mau makan inari sushi? Aku akan meletakkannya di piring. Depanmu, jam dua belas."
"Ibu, pasti capek, ya..."
Saat aku mengatakan itu, ibuku mendekatkan wajahnya, dan dengan suara kecil, dia berkata di dekat telingaku.
"Tapi ayahmu juga sangat lelah. Aku rasa dia hampir tidak tidur."
"Semoga dia tidak jatuh sakit..."
"Setelah ini selesai, kita semua harus pergi ke pemandian air panas dan bersantai."
"Hehe, itu ide yang bagus."
"Kira-kira Sorano-kun mau ikut tidak ya?"
"Eeh? Bagaimana kalau tiba-tiba dia harus berbagi mandi dengan ayah?"
"Iya, juga ya," ibuku tertawa terbahak-bahak.
"Ah, ibu ini."
Aku merasa ingin pergi ke kamar mandi sebentar, jadi aku berdiri. Suara ibuku terdengar, "Aku akan menemanimu."
Ketika aku mundur sambil membawa tas dan ponsel, terdengar suara langkah kaki yang berlari dengan cepat, 'Jangan lari!' terdengar juga suara teguran, lalu *Duk!* seseorang menabrakku.
'Koharu!' teriak ibuku."
Aku jatuh terduduk di tempat itu.
Banyak orang bertanya, "Apa kamu baik-baik saja?" Ada juga suara yang sepertinya meminta maaf kepada ibuku, "Maaf, anak kami yang..."
Seorang anak berlari dan menabrakku.
"Maaf, kakak," suara anak itu. Sebaliknya, aku tidak bisa melihat apakah anak itu terluka atau tidak.
"Tak apa-apa. Tapi, apakah kamu tidak terluka?"
Aku merasa lega ketika dia menjawab, "Aku baik-baik saja."
"Koharu, kamu baik-baik saja?" suara ibuku terdengar, dan dia dengan lembut meletakkan tangannya di punggungku.
"Aku baik-baik saja. Anak-anak memang energik."
"Sepertinya ponselmu terjatuh saat kamu jatuh."
Ibu mengambilkan ponselku.
Ketika aku menyentuh layar, ada sesuatu yang terasa aneh.
"Sepertinya ada sedikit retakan," kata ibuku.
Ketika aku mengusap dengan jariku, aku memang merasakan ada sedikit tekstur kasar di sudut kanan atas layar.
"Kalau hanya segini, tidak apa-apa. Sepertinya masih bisa digunakan."
"Apa tidak diperbaiki saja?"
"Jika aku menjatuhkannya lagi dan tidak bisa digunakan, mungkin aku akan meminta perbaikan."
Ibu tersenyum lagi dan berkata, "Hati-hati, ya."
Suatu waktu, itu terjadi setelah selesai acara penghormatan terakhir, saat kami sedang beres-beres.
Para kerabat sedang membicarakan aku.
Kurasa, mereka berbicara karena mengira aku tidak ada di sana.
Jadi, aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat dan menahan napas.
Mereka bilang, "Masa anak itu tidak bisa menghindari anak kecil."
Atau, "Mengurus anak pasti sulit untuknya."
"Meskipun menikah, dia sepertinya tidak akan bisa punya anak."
"Karena dia tidak bisa membantu pekerjaan rumah, menikah pun mungkin akan sulit."
Nada bicaranya tidak terdengar jahat.
Seperti orang yang mengatakan, 'Cuaca diprediksi cerah, tapi sepertinya akan hujan,' dengan nada biasa sambil membicarakan aku.
Aku pun mencoba menghilang dari sana, seolah-olah tidak ada.
Setibanya di Tokyo, ibuku marah pada ayah.
"Kenapa kamu tidak marah saat mereka berbicara seperti itu tentang Koharu?"
Ibu berkata membelaku.
Ayah, dengan suara yang terdengar sangat lelah, menjawab...
"Maaf. Tapi itu adalah kenyataan, jadi aku tidak bisa membalasnya."
Kata-kata itu menusuk hatiku, seperti diiris pisau.
Itu lebih menyakitkan daripada kata-kata para kerabat.
Aku tidak bisa menghindari anak-anak yang berlarian.
Aku juga tidak bisa membantu.
Aku benar-benar berbeda dari yang lain.
Aku merasa seolah-olah aku harus selalu bergantung pada orang lain seumur hidupku untuk bisa bertahan.
Post a Comment