Penerjemah: Tanaka Hinagizawa
Proffreader: Flykitty
Prolog - Panasnya Janji, Meninggalkan Ujung Jarimu
Aku bermimpi.
Sebuah mimpi dari saat aku masih kecil.
Ya, itu terjadi selama liburan musim semi sebelum aku naik ke kelas empat di sekolah dasar.
Seorang gadis dengan mata yang dipenuhi air mata sedang menangis terisak-isak, kepalanya menunduk.
"Ayo, Seira. Ucapkan selamat tinggal kepada Ruto-kun dengan baik."
"Hiks... Aku tidak mau... Aku ingin bersama Ruu-kun selamanya..."
Gadis itu dengan putus asa menghapus air mata yang mengalir dari mata birunya.
Rambut pirangnya yang alami bersinar dengan cahaya alami.
Penampilannya yang seperti boneka menunjukkan bahwa dia berasal dari garis keturunan yang bukan dari negara ini.
"Aku tidak ingin pergi ke Amerika... hiks... aku tidak ingin pergi..."
Ya, ini adalah kenangan perpisahan.
Sebuah cerita tentang teman masa kecil yang pindah sekolah dan pergi ke tempat yang jauh.
Melihat punggungnya yang merasa kesepian, aku merasakan sedikit ketegangan di dadaku. Ini bukanlah cerita yang luar biasa, tetapi juga bukan sesuatu yang sangat jarang.
Hanya saja tempat yang akan dia tuju sangat jauh sehingga tidak mudah untuk mengunjunginya.
Bahkan sebagai anak kecil, aku mengerti bahwa ini mungkin adalah selamat tinggal terakhir kami.
Amerika. New York.
Aku pikir itu karena pekerjaan orang tuanya atau kenyataan bahwa masa tinggal mereka di Jepang hanyalah penugasan sementara, tetapi alasan dewasa seperti itu di luar pemahamanku sebagai anak-anak.
Yang aku tahu hanyalah bahwa dia akan dibawa pergi ke tanah asing yang jauh di seberang lautan.
Itulah keseluruhan pemahamanku, dan sebuah kenyataan yang tidak dapat diubah.
"Hiks... hikss... hiks..."
Di depan rumah-rumah yang berdekatan, dia terus menangis tanpa henti.
Baik ibuku yang datang untuk mengantarkan kami maupun ibunya memiliki ekspresi cemas di wajah mereka.
Di udara musim semi yang sejuk, suara tangisannya yang tak berujung bergema.
Aku yang hanya melihat tidak bisa menahannya..
Kemudian, suara yang familiar datang—lagu pembuka dari anime tertentu.
Itu mungkin berasal dari ruang tamunya. TV dibiarkan menyala, dan lagu itu mengalir melalui jendela yang terbuka, tema pembuka anime yang dia suka. Sejujurnya, itu bukan lagu yang aku kenal dengan baik, kecuali saat-saat aku mendengarnya bersamanya.
Meskipun begitu, tubuhku bergerak sendiri.
"...Hah?"
Satu langkah—mengetuk jari kaki mengikuti irama saat aku melangkah maju.
Dua langkah—langkah besar ke samping untuk menangkap aliran musik.
Tiga langkah—putaran di kaki pivot ku, sepenuhnya menangkap aliran musiknya.
Koreografi dadakan ini tidak sempurna, dan itu adalah tarian yang canggung dan kacau seolah-olah terombang-ambing oleh musik, tetapi aku tetap menari.
Aku tidak memikirkan hal-hal yang rumit.
Aku hanya tidak ingin dia menangis.
Seperti sebelumnya, seperti biasa, seperti hari ketika kami pertama kali bertemu.
aku ingin membuatnya tersenyum dengan tarianku.
"...Tahukah kamu, Amerika adalah rumah bagi tari hip-hop."
Saat lagu berakhir dan aku berhenti menari, aku berkata kepada dia yang masih dalam kebingungan.
Ekspresinya bingung oleh ketiba-tibaan semua ini. Saat aku melihat ke dalam mata birunya yang penuh air mata, aku memberikan senyum terbesar yang bisa aku buat, berharap setidaknya kata-kata ini akan sampai padanya.
"Itulah sebabnya, aku akan menjadi penari yang luar biasa dan ikut kompetisi tari di Amerika! Dan aku pasti akan datang menemuimu, Seiran!"
Itu mungkin alasan yang sangat berputar-putar untuk bertemu dengannya lagi.
Sebuah janji yang kekanak-kanakan, seperti yang hanya bisa ditemukan dalam manga atau anime.
Tapi saat itu, aku benar-benar percaya pada masa depan yang seperti mimpi itu.
"...Benarkah?"
"Ya, aku berjanji!"
Aku mengulurkan tanganku, dan tangan kecilnya yang putih saling mengait, mengikat janji.
Dan kemudian, dia tersenyum.
Itu jauh dari senyum yang sempurna, dengan matanya masih merah karena menangis.
Tapi tetap saja, dia tersenyum.
"............"
Mobil yang membawanya pergi.
Saat mobil itu menghilang di tikungan, kenangan tentang semua waktu yang kami habiskan bersama datang menghujani kembali.
Aku merasakan kesepian yang dalam dan rasa sakit yang tajam di dadaku.
...Sebelum aku menyadarinya, air mata hangat mengalir di pipiku.
"Kamu baik-baik saja tidak menangis di depan Seira-chan, Ruto. Aku bangga padamu."
"...Diam."
Aku menepis tangan ibuku saat dia merapikan rambutku, suaraku serak karena menahan tangis.
Itu adalah pemberontakan kecil seorang anak yang terjebak dalam keinginan orang dewasa.
Sebuah kenangan perpisahan yang basah oleh air mata, menyadari bahwa dunia tidak akan berjalan sesuai keinginanku.
Dan sebuah hari di musim semi yang sepi ketika aku bersumpah untuk menjaga janji tak terputus itu di dalam hatiku.
Sekarang, itu sudah enam tahun yang lalu...
"......!"
Tiba-tiba, kesadaranku muncul dari lautan kenangan lama, kembali ke masa kini dengan tiba-tiba.
Aku bangun dari tempat tidur dan melirik jam—masih tengah malam.
Aku basah kuyup oleh keringat yang tidak menyenangkan.
Ketika aku meletakkan tangan di dada aku, jantungku berdebar keras hingga hampir tidak tertahankan.
"...Hah, hah..."
Aku menatap kosong ke ujung jariku.
Aku tidak bisa lagi mengingat kehangatan jari kelingking yang aku kaitkan saat itu.
Kerinduan untuk mimpi yang dulu sangat ingin aku capai telah lama layu.
Dan meskipun begitu—.
Rasa sakit yang menekan dadaku ini menolak untuk membiarkanku melupakan.
"Sialan..."
Kata-kata kelemahan itu keluar dan larut dalam kegelapan malam, tidak terdengar oleh siapa pun.
Sudah setengah tahun sejak aku berhenti menari.
—Pembohong.
Aku merasa bisa mendengar suaranya, meskipun tidak mungkin aku benar-benar bisa mendengarnya, suara itu berbisik di telingaku.
Post a Comment