NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jinseigyakuten Uwakisare Enzai wo Kiserareta Orega Gakuenichi no Bisyoujo ni Natsukareru V1 Chapter 5

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 5 - Orang Dewasa yang Dapat Diandalkan


──5 September──


Pagi yang menentukan telah tiba. Aku sudah memberitahu Satoshi bahwa hari ini aku akan masuk sekolah. Namun, jujur saja, yang kurasakan hanya ketakutan.


Aku tidak ingin menghadapi kebencian yang sama seperti kemarin. Mungkin rasanya seperti mengalami serangan di internet. Aku merasa bahwa bahkan orang yang tidak ada hubungannya denganku juga menyimpan kebencian terhadapku.


Roti panggang untuk sarapan kutelan dengan paksa dengan sup hangat. Stres membuat perutku sakit dan rasa mual muncul, kondisiku benar-benar buruk.


"Aku pergi dulu."


Aku memberi tahu ibu dan kakakku yang sedang mempersiapkan sesuatu, lalu aku keluar rumah.


Sinar matahari bersinar terik, membuat tubuhku semakin berat.


Seorang gadis berseragam sekolah sedang menunggu di depan rumah. Apakah itu Miyuki? Begitu pikirku, rasa tidak nyaman muncul, dan keringat dingin membasahi punggungku.


Namun, saat ia menoleh, ia terlihat sangat anggun, seperti malaikat. Teman tak tergantikan yang bukan Miyuki ada di sana.


"Ah, Senpai. Selamat pagi."


Itu adalah Ichijou Ai. Aku langsung masuk ke dalam rumah karena melihat momen yang tidak biasa ini.


"Apa!? Kenapa pintunya ditutup? Aku bangun pagi-pagi untuk berangkat bersama denganmu, lho!"


Ai yang sedikit panik menambah kesan ketidakbiasaan ini.


"Oh, itu suara Ai-chan! Dia datang menjemputmu. Pergi sana, Eiji. Tidak sopan membuat gadis menunggu."


Ibu, yang antusias, keluar menyapa Ichijou-san.


"Selamat pagi, Ai-chan. Terima kasih sudah datang demi anak bodohku ini. Ngomong-ngomong, kamu suka katsu tiram? Mulai hari ini kami menyediakannya. Malam ini, mampir ya. Katsu tiram dengan saus tartar banyak, menu populer musim ini. Kamu tidak perlu membayar!"


Obrolan khas ibu mulai meledak.


"Ah, Ibu Senpai!! Selamat pagi. Aku sangat suka katsu tiram. Tapi rasanya tidak enak kalau selalu diberi gratis, jadi lain kali aku akan membayar."


"Oh, tidak perlu sungkan. Kami juga menyediakan untuk dibawa pulang, jadi katakan saja kalau ingin."


"Terima kasih! Aku menantikan katsu tiramnya."


Seperti biasa, ibu dan Ichijou-san sangat cocok. Mereka bicara tanpa henti, terlihat nyaman satu sama lain.


Akhirnya, setelah didorong keluar, aku berangkat.


"Kalau begitu, selamat jalan, kalian berdua."



Kami berjalan di jalan menuju sekolah. Sedikit demi sedikit, aku mulai melihat murid lain.


Sejujurnya, ketakutanku berkurang berkat Ichijou-san yang menemaniku. Kami bisa berbicara dengan santai, dan dalam keadaan seperti ini, aku bisa tersenyum di perjalanan.


Ternyata dia benar-benar suka katsu tiram.


"Eh, ini gak apa-apa kan? Kalau pergi dengan aku, kamu bisa kena bully juga."


Dia hanya tertawa mendengar kekhawatiranku.


"Tenang saja, itu tidak akan terjadi. Kalau boleh bilang, aku cukup populer, baik di kalangan pria maupun wanita."


Memang, aku tidak pernah mendengar rumor buruk tentangnya. Dia memang menolak pernyataan cinta dengan tegas, tapi selalu tulus, hingga tidak ada yang merasa sakit hati. Dia disukai banyak orang.


"Ya, kurasa begitu."


"Senpai harus lebih memanfaatkan situasi. Bersamaku, senpai pasti akan aman. Setidaknya, mereka takkan berani menghinamu secara langsung."


Benar juga. Kami melewati beberapa murid, dan bukannya menghina, mereka malah terkejut melihatku bersamanya.


"Kenapa Ichijou-san yang tidak suka pria berjalan dengan pria?!"


"Itu Aono, kan? Jangan-jangan dia memaksa Ichijou-san..."


"Tidak mungkin. Ichijo-san terlihat senang."


Begitulah reaksi orang-orang.


"Mungkin gosip buruk itu akan tergantikan oleh rumor hari ini. Toh, orang-orang suka gosip cinta."


Dia tersenyum bahagia.


"Tapi aku tidak ingin reputasimu rusak."


"Senpai terlalu baik. Tapi itu tidak perlu dikhawatirkan. Aku tidak butuh reputasi dari orang yang bahkan tidak mengenal kita."


Baru satu hari kenal, tapi...


"Luar biasa..."


Punya teman sehebat ini membuatku hampir menangis bahagia.


"Menangis masih terlalu cepat. Setelah semuanya selesai, kita bisa menangis bersama."


Dengan bantuan Satoshi, aku memutuskan untuk kembali ke sekolah. Dan berkat Ichijou-san, aku siap untuk melawan.


Aku hampir kehilangan kepercayaan pada manusia, tapi kini aku merasa masih bisa mempercayai orang lain. Kami melangkah maju sedikit demi sedikit.



Kami menarik perhatian banyak murid. Sekolah sudah dekat, jadi pasangan antara kami yang unik ini menjadi sorotan banyak murid-murid.


Di satu sisi, Ichijou Ai, gadis cantik dan pintar di sekolah.


Di sisi lain, aku, Aono Eiji, pria yang dituduh melakukan kekerasan pada kekasihnya.


Mereka melihatku dengan tatapan dingin, namun tak ada yang berani bicara, karena mereka takut terlihat oleh Ichijou. Siapa pun yang berani bergosip di depan idolanya mungkin akan kehilangan posisinya di sekolah.


Selain itu, Ichijou-san tampak sangat senang. Ia berbicara bersamaku dengan ekspresi bahagia yang terlihat jelas.


"Ah, kita sudah hampir sampai. Senpai, kita nanti pulang bareng lagi, ya?"


Itu bentuk kebaikan hatinya. Kata "lagi" ditekankan, seolah menyiratkan bahwa kami juga pulang bersama kemarin.


"Boleh, ya?"


"Tentu saja! Lagian aku yang minta!"


Dia berkata cukup keras agar terdengar oleh banyak orang. Siapa pun akan sulit menolak permintaannya.


"Aku akan traktir katsu tiram."


"Hehe, terima kasih!"


Kami berpisah di dekat tempat loket sepatu, dan berjanji bertemu lagi setelah pulang sekolah.



Dari sini, aku harus bertarung sendiri. Aku bersiap-siap menuju loker, berpikir mungkin akan ada paku atau sampah.


Namun, terlihat lokerku bersih, tanpa tanda-tanda kekacauan. Aku melihat Iwai-sensei, wali kelas, berada di dekat pintu masuk, tampaknya menjaga barang-barangku.


"Begitu rupanya."


Tampaknya, ia berjaga untuk memastikan aku tidak mendapat gangguan.


"Oh, Aono. Selamat pagi. Kau sudah mendengar dari Imai, kan?"


"Iya, sudah."


"Begitu,ya."


"Kalau begitu, temuilah dulu Guru Takayanagi di ruang guru. Dia sangat mengkhawatirkanmu sejak kemarin."


Aku pikir mungkin akan ada teguran karena meninggalkan sekolah, tapi tidak ada tanda-tanda hal itu sama sekali.


"Ya."


Aku tidak bisa banyak berbicara, tapi guru itu tersenyum puas.



Aku menuju ke ruang guru di lantai satu. Sejujurnya, masuk ke ruang guru dalam situasi seperti ini adalah hal yang tidak menyenangkan. Pasti akan menjadi sorotan, dan mungkin ada guru yang mencurigai aku, sehingga mungkin saja aku akan dipandang dingin.


"Selamat pagi, Aono."


Saat aku merasa khawatir seperti itu, Guru Takayanagi, wali kelasku, sedang menungguku di lorong depan ruang guru.


"Selamat pagi. Mengapa bapak ada di luar?"


"Oh, begitu ya. Dalam situasi seperti ini, aku pikir akan sedikit menakutkan bagimu untuk masuk ke dalam ruang guru sendirian, jadi aku menunggumu di sini."


Meskipun berbicara seperti biasa dengan nada tenang, aku merasa sangat berterima kasih atas perhatiannya terhadapku.


"Terima kasih."


"Ini hanyalah perhatian yang minimal, tidak perlu berterima kasih. Sementara itu, ceritakanlah padaku. Karena kita di lorong ruang guru, mari kita gunakan ruang rapat di sana."


Eh, bukankah biasanya dalam situasi seperti ini seharusnya menggunakan ruang bimbingan siswa? Itu adalah pertanyaan polos yang muncul dalam benakku, tapi tampaknya guru telah menyadari hal itu.


"Apakah kamu lebih suka di ruang bimbingan siswa? Di sana suasananya memang cenderung membuat guru berada dalam posisi yang lebih tinggi. Kali ini, aku ingin berbicara denganmu secara setara, jadi aku tidak ingin menggunakan tempat itu."


Aku segera menggelengkan kepala. Aku tidak ingin berbicara di tempat yang begitu berat dan menekan.


"Begitu ya."


Kami pun masuk ke ruang rapat.


"Aono, duduklah di sebelahku. Lebih mudah berbicara dibandingkan duduk berhadapan, bukan?"


Aku bisa melihat sensei berusaha membuatku rileks dengan tersenyum padaku.


"Sebelum mendengarkan ceritamu, ada sesuatu yang perlu aku katakan terlebih dahulu."


Sensei tiba-tiba menggunakan nada serius.


Kecemasanku meningkat seketika.


"Aono, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bisa menyadari perubahan pada dirimu kemarin, sehingga membuatmu merasa tersiksa. Jika saja aku bisa menciptakan lingkungan untuk berbicara sebelum liburan musim panas, mungkin bisa mengurangi penderitaanmu. Dalam kejadian kali ini, aku juga memiliki tanggung jawab. Aku sungguh-sungguh minta maaf."


Sensei membungkukkan kepala dengan dalam.


Dia tetap dalam posisi itu lebih dari satu menit. Aku jujur merasa bersalah.


"Sensei, tolong angkat kepala Anda. Aku juga tidak mencoba untuk berkonsultasi. Lagipula, hanya dengan menyadari masalah ini secepat ini sudah sangat luar biasa..."


Saat aku buru-buru mengatakan itu, sensei akhirnya mengangkat kepala dan berkata "Terima kasih" sambil menatapku dengan pandangan tulus.


"Aono, aku kira sudah memahami bahwa ada hal yang sulit bagi dirimu. Kemarin, aku juga sempat mendengar sebagian dari Imai. Jadi, tidak apa-apa jika kamu ingin memberitahuku setelah perasaanmu sudah lebih tenang, atau sedikit demi sedikit. Maukah kamu berbagi cerita denganku?"


Secara umum, menceritakan kisah patah hati kepada seorang guru adalah hal yang tidak nyaman. Terlebih lagi, aku dihina sebagai "pria penguntit dan kejam" oleh sahabat masa kecil yang kukira dapat dipercaya, dan disodorkan kata putus. Aku tidak ingin bercerita kepada siapa pun tentang ini.


Gara-gara itu, aku terisolasi dari teman-teman sekelas dan anggota klub, bahkan mengalami pelecehan. Terasa memalukan bahkan saat kuingat kembali. Namun, aku mungkin bisa menceritakannya kepada guru.


Hanya butuh sedikit keberanian lagi... Di sisi lain, aku takut jika aku bercerita kepada guru, hal itu mungkin membuatnya harus melakukan sesuatu sebagai tanggapan.


Aku khawatir jika aku dibalas dendam oleh orang-orang yang menggangguku, dengan mengatakan aku "mengadu kepada guru."


Mungkin guru menyadari ekspresi cemas di wajahku.


"Maafkan aku, Aono. Mungkin aku terlalu terburu-buru, ya? Jangan memaksakan diri. Tidak perlu memaksakan untuk bercerita hari ini. Kamu juga butuh waktu untuk menenangkan diri."


"...Maafkan aku."


"Tak perlu minta maaf. Apakah kamu haus? Sebenarnya ini tidak boleh, tapi hari ini adalah pengecualian. Aku akan traktir minuman kaleng. Ingin minum apa?"


Sensei mengatakan itu dengan lembut, seolah ingin mendukungku.


"Kalau begitu, cola."


"Baiklah. Tunggu sebentar."


"Tapi, guru, bukankah anda ada pelajaran pertama, apakah tidak apa-apa? Waktunya hampir tiba, kan?"


"Iya, itu sudah diatur oleh guru kelas sejarah dunia. Prioritas tertinggi di sekolah saat ini adalah mendukung Aono yang sedang dalam keadaan sulit."


Tampaknya para guru juga memperhatikan keadaan diriku. Seperti yang dilakukan oleh Guru Iwai tadi. Aku merasa sangat bersyukur, tapi juga malu karena tidak bisa berbicara dengan baik.


"Terima kasih."


Aku tanpa sadar mengucapkan kata itu.


"Tunggu, aku belum membelikan cola. Ucapkan terima kasihnya nanti saja."


Aku senang sensei sedikit bercanda seperti biasanya.



"Nih, minumlah."


Takayanagi-sensei kembali dengan membawa cola dingin yang baru saja dibelinya dari mesin penjual otomatis.


Dia memegang dua kaleng minuman cola di kedua tangannya.


"Terima kasih."


"Saking panasnya, aku juga melanggar diet rendah gula hari ini."


Senseu berkata sambil membuka cola dengan senyuman, lebih seperti saudara sepupu daripada seorang guru.


"Mengapa Anda percaya padaku, sensei? Padahal yang lainnya tidak ada yang mau mendengarkan penjelasanku sama sekali."


"Begitu ya. Ada dua alasannya."


"Dua?"


"Ya, yang pertama, aku tahu sebagian besar siswa sedang panik dengan rumor yang tidak bertanggung jawab, seperti kepanikan massal. Kami sebagai orang dewasa bisa melihat situasi itu dengan lebih objektif. Kamu pasti sering melihat keributan di internet, bukan? Di mata masyarakat dunia maya, siapapun yang terkena skandal akan dilabeli sebagai pihak yang salah, dan orang-orang merasa seperti pahlawan yang menyuarakan kebenaran, hingga melontarkan kata-kata kasar."


"Ya."


Itulah tepatnya posisiku.


"Tapi seringkali penyebab keributan itu tidak jelas. Jika seseorang ikut-ikutan menyakiti orang lain dengan mudah, dia juga bisa kehilangan segalanya. Para pelaku yang mengganggumu itu sedang terjebak dalam situasi tersebut."


"…Tapi, bagaimana jika aku memang seperti yang dikatakan dalam rumor itu?"


"Itu juga mungkin, tetapi ada alasan kedua. Seburuk apapun situasinya, aku tidak merasa kamu akan melakukan kekerasan. Aono, saat sesuatu yang buruk terjadi, kamu bukan tipe yang menyalahkan orang lain, melainkan lebih sering menyalahkan diri sendiri. Setidaknya, kamu tidak pantas menerima perundungan seperti itu. Kalau boleh berkata jujur, ini adalah naluri seorang guru."


Sensei meminum cola-nya sambil sedikit menyembunyikan kata-katanya. Aku tahu Takayanagi-sensei adalah orang yang sangat cerdas. Jadi, aku merasa kata "naluri guru" adalah cara halus untuk menyampaikan maksudnya.


Kurasa dia memilih kata-kata tersebut demi aku. Seorang guru biasa mungkin akan berkata, "Aku mempercayaimu."


Tapi, dalam posisiku yang lemah, ucapan seperti itu bisa menimbulkan tekanan. Terkesan ada desakan untuk segera menceritakan semuanya.


Namun, kali ini, dia menyampaikan rasa percayanya dengan cara yang sedikit tidak langsung.


Dengan dukungan dari guru seperti ini, aku pun...


Keputusanku sudah bulat.


Aku menatap lurus ke mata sensei. Mungkin dia mengerti keputusanku, dan mengangguk dengan lembut.


"Takayanagi-sensei, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan."



──Sudut Pandang Takayanagi──


Aono menguatkan tekadnya dan mulai berbicara untukku.


"Sensei, Anda tahu bahwa aku dulu berpacaran dengan Miyuki... Amada Miyuki, kan?"


"Aah."


Ternyata memang dimulai dari hubungan asmara. Ketika berbicara tentang masalah anak SMA, sering kali itu berhubungan dengan asmara.


"Lalu, pada ulang tahunku tanggal 30 Agustus, aku membuat janji untuk pergi kencan bersama Miyuki. Tapi tiba-tiba aku diberi tahu kalau dia tidak bisa pergi. Saat aku berjalan di kota, aku melihatnya sedang berjalan di distrik perbelanjaan sambil bergandengan tangan dengan Kondo-senpai, siswa kelas tiga..."


Mendengar cerita seperti itu membuat hatiku terasa tidak nyaman.


Apakah Amada berselingkuh? Kondo dari tim sepak bola. Dia adalah pemain andalan yang cukup populer di kalangan siswi. Jika tidak salah, orang tuanya adalah anggota dewan kota. Pernah juga kudengar bahwa dia mendapat tawaran dari universitas dengan tim sepak bola unggulan. Nilainya juga tidak buruk. Namun, dia jauh dari tipe siswa teladan.


Terus terang saja, reputasinya di kalangan guru tidak baik. Meski dari luar terlihat seperti anak muda yang sangat menyenangkan di tim sepak bola, dia terlalu sering terlibat dalam masalah asmara.


Yang merepotkan adalah caranya yang licik dalam bertindak.


Jika berbicara tentang perselingkuhan, jelas itu perbuatan buruk. Secara moral, itu adalah tindakan yang tidak bisa dimaafkan. Namun, jika tidak ada ikatan pernikahan, hukum tidak bisa menyalahkan.


Jika perselingkuhan terjadi pada salah satu pihak dalam pernikahan, mungkin bisa menuntut ganti rugi, tapi jika itu terjadi dalam hubungan biasa, tidak ada dasar untuk meminta ganti rugi.


Tentu saja, sebagai manusia itu adalah tindakan yang tidak terpuji. Itu adalah prinsip dasarnya.


Namun, jika perselingkuhan saja, tanpa tindakan jelas yang melanggar hukum seperti kekerasan, narkoba, atau pencurian, sekolah akan sulit untuk memberikan sanksi.


Pernah kudengar bahwa wali kelas Kondo tahun lalu memberi peringatan secara tidak langsung mengenai hubungannya, tapi justru dia terancam dengan pertanyaan "Apa guru berhak mencampuri hubungan asmara siswa?". Dalam situasi di mana sekolah tidak bisa campur tangan dalam hubungan asmara, banyak kehidupan siswa yang akhirnya kacau.


Apakah hal itu akhirnya berkembang menjadi masalah besar?


"Aku mendekati mereka untuk menanyakan kejelasannya, lalu aku memegang lengan Miyuki. Aku kira itu tidak begitu keras, tapi dia terlihat kesakitan... Lalu tiba-tiba, Kondo-senpai yang berdiri di sebelahnya..."


Aono tampak kesulitan memilih kata.


Bagi seorang siswa SMA, bercerita tentang patah hati kepada gurunya tentu bukan hal mudah.


Saat aku hendak mengatakan bahwa dia tidak perlu memaksakan diri untuk bercerita, Aono menatapku dengan tegas, dan menjawab, "Tidak apa-apa."


"Dia memukul wajahku... dan mengatakan aku lelaki kasar dan penguntit..."


"Apa..."


Kata-kata Aono yang berikutnya membuatku tercengang. Apa yang sebenarnya dikatakan Kondo?


Jika sudah seperti ini, ini bukan sekadar perselingkuhan lagi, tapi sudah menjadi kasus kekerasan.


"Setelah itu, Kondo bertanya kepada Miyuki siapa yang akan dia pilih di antara kami berdua. Dan kemudian... dia memilih..."


Aono menundukkan kepala, gemetar.


"Dia memilih Kondo."


Tanpa sengaja aku mengucapkan kata-kata itu, dan langsung menyesalinya. Seharusnya tidak kuucapkan itu. Bagaimana bisa aku menambah beban pada Aono yang sudah menderita?


"Iya..."


Melihat Aono yang menahan jeritannya tanpa suara membuat mataku tak sengaja berkabut.


Sebagai seorang guru yang sudah berusia lebih dari 30 tahun, mungkin pikiranku ini terlalu naif.


"Kamu sudah sangat menderita, pasti sulit bagimu, Aono. Terima kasih sudah mau bercerita."


Melihat Aono, sepertinya dia tidak pergi ke rumah sakit setelah dipukul. Dia mungkin juga menyembunyikan hal ini dari orang tuanya. Jika saja dia memiliki bukti obyektif seperti surat keterangan dari dokter, Kondo bisa segera diberi sanksi.


Namun, tanpa bukti itu, Kondo yang licik itu pasti akan mencari alasan atau justifikasi untuk tindakannya.


Aku bisa membayangkan wajahnya yang tersenyum licik sambil mengatakan bahwa dia hanya menolong seorang gadis yang diganggu oleh penguntit atau hanya mendorong sedikit dan bukan memukul.


Dalam situasi ini, aku harus mengumpulkan sebanyak mungkin informasi dan menemukan celah dalam klaim Kondo untuk membongkarnya.


"Ini sekarang urusan orang dewasa."


Hal yang paling utama adalah bagaimana memastikan agar kehidupan sekolah Aono ke depannya tidak semakin sulit.


Dalam kondisi seperti ini, membiarkan Aono mengikuti pelajaran di kelas hanya akan meninggalkan luka yang lebih dalam di hatinya. Jika kondisinya semakin parah, hal itu tidak akan berarti apa-apa.


Kepala sekolah berkata, "Memilih untuk berhenti atau tidak bersekolah adalah hal yang sama sekali bukan solusi bagi korban perundungan. Tidak boleh ada kerugian dalam ketidakhadiran kelas mereka."


Dengan begitu, kepala sekolah meminta kepada para guru mata pelajaran untuk menyesuaikan agar Aono tidak ketinggalan meskipun dia absen dengan memberikan pelajaran tambahan dan tugas.


Namun, semakin lama masalah ini berlangsung, semakin sulit posisi Aono nantinya.


"Maaf, Sensei. Karena aku, Anda jadi repot."


Anak ini, meskipun yang paling menderita adalah dirinya, dia tetap memikirkan kekhawatiran orang-orang di sekitarnya...


"Tidak ada yang merepotkan kok. Aono, kau mungkin berpikir ini hanya masalahmu sendiri, tapi ini juga masalah bagiku sebagai guru dan bahkan masalah bagi seluruh sekolah. Jadi, tidak ada yang perlu dianggap merepotkan ketika aku atau guru lain berusaha menyelesaikan masalah ini. Kau terlalu bertanggung jawab dan terlalu baik hati."


"...."


Aono tampak bingung mendengar hal itu.


"Itu memang kelebihanmu. Justru karena kau bisa peduli pada orang lain, orang-orang di sekitarmu ingin kau bergantung pada mereka."


"Benarkah?"


"Iya. Menyukai seseorang adalah perasaan yang sangat murni. Jika seseorang menodainya, bahkan orang dewasa pun akan terluka. Apalagi pada kalian yang sedang dalam masa remaja. Maka dari itu, saat kau merasa kesulitan, bergantunglah pada seseorang. Boleh padaku, pada Mitsui-sensei, atau pada guru lain yang peduli. Bisa juga pada teman seperti Imai, atau pada keluargamu. Saat merasa susah, utamakanlah dirimu sendiri. Kumohon."


Dengan kata-kata yang mungkin terdengar naif itu, aku memperbarui tekad untuk mengatasi masalah ini sepenuh hati.



Aku berada di ruang kesehatan. Mulai besok para guru akan mengadakan pelajaran tambahan, tetapi hari ini nampaknya belum sempat disiapkan.


Sejujurnya, aku merasa seperti sedang bermimpi melihat pihak sekolah sangat mendukungku seperti ini. Meskipun rasanya tidak nyaman berada di ruang kesehatan sepanjang hari, tidak ada yang bisa dilakukan, padahal fisikku sehat.


"Aono-kun, kamu baik-baik saja? Apa kamu sehat?"


Mitsui-sensei datang menjengukku.

"Iya, terima kasih."


"Syukurlah. Meski tubuhmu sehat, kau tetap harus menjaga diri karena kau telah melalui pengalaman yang berat. Hatimu masih lelah."


Dari tadi, aku terus diberi kata-kata yang menenangkan.


"Rasanya aman karena merasa para guru benar-benar melindungiku."


"Benarkah? Tapi ingat, Takayanagi-sensei yang paling berjuang keras, jadi jangan lupa itu."


"Iya."


"Menghabiskan tujuh jam di ruang kesehatan pasti membosankan, bukan? Bagaimana kalau aku pinjamkan buku dari perpustakaan untuk menghilangkan kebosananmu? Aku sudah mendapat izin khusus."


Jujur saja, jika aku tidak melakukan apa-apa, aku merasa akan tenggelam dalam pikiran negatif. Aku ingin melakukan sesuatu.


"Benarkah?"


"Iya, tapi jangan terlalu terang-terangan. Kalau terlalu mencolok nanti malah kena marah."


Melihat senyum lembut Mitsui-sensei dengan sedikit keisengan, aku tertawa tanpa sadar.


"Tentu saja."


"Jadi, ini rahasia kita berdua saja, ya."


Aku merasa bahwa ruang kesehatan ini perlahan menjadi tempat yang nyaman bagiku.



Mitsui-sensei meminjamkan beberapa novel kepadaku. 


Kebanyakan adalah karya populer yang belakangan menjadi best-seller. Ada juga karya sastra umum yang masuk peringkat atas dalam kontes pegawai toko buku tahun lalu, manga medis klasik karya seorang maestro yang dijuluki "Dewa Manga," dan buku wawancara yang ditulis berdasarkan percakapan dengan pakar di berbagai bidang.


Kelihatannya, sensei memilihkan buku yang isinya tidak terlalu berat untuk menghiburku yang sedang merasa sedih. Sebagian besar isinya berkisar pada drama manusia. Karena aku tergolong cepat dalam membaca buku, hanya dalam setengah hari aku sudah menyelesaikan satu buku sastra. Membeli buku seharga lebih dari seribu yen adalah tantangan bagi seorang pelajar SMA, jadi aku merasa beruntung bisa membacanya dengan cara ini.


"Oh, sudah selesai membaca? Cepat sekali. Bagaimana kalau kita istirahat sebentar? Aku bisa membuatkan teh."


Sensei yang tadi pergi ke ruang guru untuk mengambil dokumen itu kembali dan tersenyum saat melihatku.


"Boleh kah?"


"Ya, khusus untuk kali ini. Teh hijau saja ya? Aku tidak punya kopi karena aku tidak bisa meminumnya."


"Terima kasih banyak."


Aku jadi mengetahui sisi lain dari Mitsui-sensei, yang biasanya terlihat sangat profesional.


Aroma tehnya sangat harum. Saat melihat kotak kantong teh, sepertinya itu teh hijau yang cukup mewah. Merasa rileks, aku tanpa sadar bertanya.


"Kenapa Guru memilih untuk menjadi guru?"


Dengan senyum, sensei menjawab, "Sejujurnya, aku mendapatkan lisensi mengajar lebih sebagai cadangan. Aku ingin mendapatkan sertifikat saat kuliah, meskipun sebenarnya tidak tahu mau jadi apa. Jadi, aju masuk fakultas pendidikan di universitas dekat rumah dan mendapatkan lisensi mengajar."


Aku merasa jawaban beliau sangat jujur. Menyadari ekspresiku, beliau tertawa kecil.


"Mungkin ini bukan sesuatu yang seharusnya aku ceritakan pada seorang murid, tapi karena hanya ada kita berdua, aku ingin jujur saja."


"Jadi, sensei langsung menjadi guru setelah lulus kuliah?"


"Tidak, sebenarnya aku sempat bekerja di perusahaan umum, lalu lima tahun lalu baru pindah menjadi guru."


"Eh, itu tidak aku sangka. Aku pikir sensei selalu bekerja di sekolah."


"Sebenarnya, aku sempat berpikir untuk menjadi guru saat kuliah, tapi akhirnya sempat menyerah."


Sensei menunjukkan ekspresi sedikit sedih. Aku merasa ini mungkin bukan topik yang harus aku gali lebih jauh, jadi aku juga berhenti sejenak.


"Tidak apa-apa. Ini bukan karena aku tidak bisa menceritakannya. Sebenarnya, dalam beberapa hal, aku melarikan diri. Aku senang saat praktik mengajar, dan banyak yang bilang aku cocok menjadi guru, tapi entah kenapa aku merasa takut."


"Takut?"


Mitsui-sensei cukup populer di kalangan siswa. Banyak siswa yang sering datang untuk meminta saran darinya.


"Ya, aku takut. Menjadi guru itu, tanggung jawabnya besar. Hanya dengan satu kata, kita bisa mengubah masa depan seorang anak. Ketika aku menyadari itu, aku merasa takut."


"Jadi, sampai sekarang sensei masih merasa takut?"


Meski terasa kurang sopan, aku tetap ingin tahu.


"Ya, aku masih merasa takut. Apalagi karena ini adalah masa paling penting untuk Aono-kun. Tapi aku ingin berbagi sedikit tentang diriku. Apakah kamu mau mendengarnya?"


"Tentu."


Sensei menatap mataku dan mulai bercerita.


"Dulu, aku mengalami masalah hubungan di pekerjaan sebelumnya. Hatiku benar-benar hancur. Aku bekerja di perusahaan dengan budaya yang keras yang sangat kolot…"


Aku mengangguk. Dalam novel pun sering digambarkan kondisi seperti itu. Perusahaan dengan budaya tua sering kali dikaitkan dengan masalah, sama seperti lingkunganku sekarang.


"Karena budaya yang kolot itu, aku merasa terbebani secara mental dan fisik. aku tidak bisa melakukan apa-apa selain terus berusaha. Namun, semakin keras aku berusaha, hatiku semakin lelah hingga mencapai batasnya. Tapi aku tidak bisa berbicara dengan siapa pun. Aku merasa terjebak sendirian."


Aku juga akan merasakan hal yang sama jika Ichijou-san, Satoshi, atau Takayanagi-sensei tidak menyadari keadaanku.


"Akhirnya, aku tumbang karena kelelahan dan dilarikan ke rumah sakit. Saat aku sadar, ibuku menangis di sampingku. Dia meminta maaf berkali-kali karena tidak menyadari apa yang terjadi padaku. Sebenarnya, aku tinggal sendiri saat itu, jadi sangat sulit bagi ibuku untuk menyadari perubahanku."


Walaupun ini cerita tentang sensei, entah kenapa terasa seperti pengalamanku sendiri.


"Aku meminta maaf pada ibu, lalu dia berkata, 'Kenapa tidak pernah cerita? Kalau sampai sesuatu terjadi padamu, ibu akan menyesal seumur hidup. Daripada membebani dirimu sendiri, kenapa tidak meminta bantuan?' Itu menjadi pelajaran besar bagiku."


Aku tidak bisa menahan air mata. Melihat aku, sensei menghiburku.


"Tidak apa-apa. Kami akan selalu mendukungmu."



—Perspektif Ai Ichijou—


Setelah berpisah dengan Senpai, aku menuju kelas. Kemarin, aku sempat keluar dari kelas diam-diam, jadi teman sekelas menatapku dengan bingung. Sebenarnya, aku sudah izin ke wali kelas bahwa aku merasa tidak enak badan.


"Ai-san, aku dengar kamu sakit. Apakah sudah baikan?"


Ketua kelas yang terlihat cerdas dengan kacamata dan kepang bertanya dengan khawatir.


"Iya, setelah istirahat kemarin, sudah baikan. Mungkin karena panas."


Aku menjawabnya dengan ramah seperti biasa.


"Begitu, ya. Jaga kesehatanmu, ya."


"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."


Ini adalah cara aku berteman di kelas: ramah tetapi tetap menjaga jarak. Dengan begini, aku tidak akan terisolasi, dan tidak ada yang salah paham.


Penampilan yang menarik bisa menjadi pedang bermata dua di lingkungan sekolah. aku berusaha untuk tidak membuat musuh, tapi juga tidak terlalu dekat dengan siapa pun.


Kadang, aku merasa ini melelahkan. Sebenarnya, aku ingin bergantung pada seseorang, tapi aku tidak bisa. Itu membuat aku tertekan, seperti kemarin. aku harus memainkan peran Ichijou Ai yang diinginkan orang-orang di sekolah, sementara aku merasa tidak ada yang benar-benar melihat siapa diriku sebenarnya. Bahkan orang tuaku.


Lalu aku bertemu Senpai kemarin, seseorang yang bisa melihat aku apa adanya. aku bisa menunjukkan diriku yang sesungguhnya tanpa merasa malu.


"Jadi, ternyata ini wajah asli aku saat tertawa. Aku sendiri bahkan tidak tahu."


Anehnya, aku merasa nyaman berjalan bersamanya. aku pikir dia melindungiku, tapi sebenarnya dialah yang melindungi hatiku.


Mungkin inilah yang dirasakan seorang gadis saat jatuh cinta.




"Kamu tidak apa-apa? Maaf, ada satu pertanyaan lagi."


Ketua kelas kembali bertanya.


"Ada apa?"


"Maaf, aku melihat sesuatu tadi pagi."


"Sesuatu? Apa?"


Aku sudah menduga ini akan terjadi, jadi aku tidak kaget.


"Aku melihatmu dan senpai berangkat bersama pagi ini."


Sudah aku duga.


"Oh, maksudmu Aono-senpai?"


Sengaja aku ucapkan namanya agar semua mendengar. Seperti yang aku harapkan, teman-teman mulai bergosip.


"Kenapa kamu bisa…?"


"Itu bukan urusanmu. Tidak perlu menyebar rumor."


Jawab diriku dengan tegas.


Jika terlalu keras, mungkin malah akan berbalik efeknya. Karena itu, aku berencana untuk menyampaikan dengan nada lembut, seolah-olah memberi nasihat.


Namun, aku tak sadar menguatkan nada bicaraku. Aku tak sengaja membandingkannya dengan diriku yang dulu.


"Ya, maaf kalau aku bicara tanpa tahu banyak."


Syukurlah, dia dengan tulus meminta maaf. Meskipun dia terkesan santai, aku tahu dia bukan orang yang jahat, jadi aku juga merasa lega.


"Ah, tidak, aku yang seharusnya minta maaf karena nada bicaraku sedikit keras."


Aku menyelesaikan situasi itu dengan senyum yang aku pakai untuk orang luar.


"Maaf, aku juga ikut-ikutan bicara yang aneh," ketua kelas pun turut meminta maaf.


"Tidak apa-apa kok, lagipula ini bukan sesuatu yang perlu disembunyikan."


Sebaliknya, aku sedikit merasa bersalah karena melibatkan mereka dalam rencanaku yang cerdik.


Karena Senpai menjadi korban hinaan dan perundungan, bahkan jika dia terbukti tidak bersalah, membersihkan nama buruknya bukanlah hal yang mudah. Aku tidak ingin melihat masa depan di mana rumor buruk itu menjadi beban yang menghantui Senpai.


Jadi, aku ingin menggantikan rumor buruk itu dengan rumor positif, walau sedikit.


Apapun yang bisa aku lakukan untuk Senpai, aku akan melakukannya. Aku memantapkan tekadku.



──Dari sudut pandang Kondo──


Sial, menyebalkan.


Karena pertandingan latihan sudah dekat, aku terpaksa ikut latihan pagi yang biasanya aku bolos, dan itu membuatku kesal.


"Jangan sampai terjebak oleh trik semacam ini, Mita! Lagi pula, ruangnya terlalu terbuka, anak tahun pertama di sayap belakang! Mana mungkin kita bisa menang di pertandingan latihan seperti ini, dasar bodoh."


Aku melampiaskan rasa kesal ini kepada teman-teman satu tim. Sungguh, jika kalah di sini dan reputasiku ternoda, siapa yang akan bertanggung jawab? Aku adalah raja di tim ini.


Aku dibebaskan dari tugas bertahan. Pelatih dan teman-teman juga sudah paham bahwa selama aku tampil baik saat menyerang, itu sudah cukup.


Jadi, aku tidak perlu mati-matian mengejar bola yang hilang. Pemain tengah dan bek di belakangku akan mengatasinya. Jika aku menghabiskan tenaga untuk bertahan, aku tidak akan bisa menyerang dengan artistik. Itu sudah jelas, bukan?


Aku mengirimkan umpan yang luar biasa ke ruang terbuka dengan sentuhan yang halus, kekuatan terbesarku.


Orang biasa mencoba bertahan mati-matian, tapi itu sia-sia. Bakat kita berada di level yang berbeda. Melihat mereka terkecoh oleh sentuhanku mengingatkanku pada wajah terpuruk Aono Eiji.


Apakah dia masih bisa datang ke sekolah? Aku ingin tahu sampai kapan dia bisa bertahan datang ke sini.


Kemarin, budak-budakku melakukan perbuatan jahat di mejanya. Desas-desus bahwa dia melakukan kekerasan mulai menyebar ke seluruh sekolah. Dengan reputasi yang jatuh begitu dalam, hidupnya pasti akan semakin sulit. Kemungkinan besar dia akan berhenti sekolah.


Dan ada satu hal lagi yang menarik.


Sepertinya, Miyuki mulai melarikan diri dari kenyataan.


Semalam, dia mengundangku ke rumahnya saat orang tuanya tidak ada, dan aku sangat terhibur.


"Lupakan semuanya."


"Aku sadar kalau aku tidak bisa kembali seperti semula."


"Kamu satu-satunya yang aku punya."


Aku menahan tawaku dengan susah payah saat kami berpelukan.


Ya, gadis ini juga akan jatuh. Kamu tahu, kan? Kamu juga akan jatuh seperti Aono, terseret ke dalam kehancuran.


"Iya, aku akan selalu bersamamu. Kita adalah satu takdir."


Ketika aku membisikkan itu dengan manis, Miyuki menangis bahagia sambil mengucapkan "terima kasih" berulang kali. Aku juga memberi saran untuk persiapannya menghadapi pertemuan dengan guru. Setidaknya, untuk sekarang dia aman.


Begitu Aono benar-benar hancur, aku akan meninggalkan Miyuki dan beralih ke gadis lain.


Saat ini, dia berusaha keras menahan rasa bersalah karena mengkhianati teman masa kecilnya, dan aku menantikan momen ketika wajah cantiknya berubah penuh keputusasaan. Itu yang terbaik.


Dia mengatakan hal-hal seperti ini:


"Aku meninggalkan teman masa kecil yang aku sayangi, dan memilihmu."


"Tolong, jangan tinggalkan aku."


"Aku akan melakukan apapun."


Kalau aku mengatakan ini pada gadis yang merayu seperti itu, siapa pun akan menangis dan terjatuh.


"Sudah cukup, dasar gadis tukang selingkuh."


"Tidak mungkin aku bisa percaya gadis sepertimu."


"Aku tidak suka perempuan yang terlalu posesif."


Saat gadis itu jatuh menangis, itulah saat di mana rasa percaya diriku meningkat.


Aduh, aku tidak sabar menunggu kedua orang itu hancur!



Akhirnya latihan pagi yang melelahkan selesai, dan aku berganti pakaian di ruang klub.


Huh. Akhirnya selesai.


"Ah, Kondo-senpai. Lihat deh, ini beredar di luar."


Siswa tahun kedua, Aida, menunjukkan layar ponselnya padaku. Tampaknya itu adalah layar obrolan grup kelas.


"Apa ini...?!"


Aku tak bisa berkata-kata melihat layar itu.


Di sana, ada foto yang mustahil untuk dipercaya.


Foto itu menunjukkan Aono dan idola sekolah, tersenyum dan berjalan bersama.


Siswa kelas tiga lain melihat foto itu dan mulai tertawa.


"Itu, kan, Ichijou Ai dari tahun pertama, ya? Kenapa dia jalan bareng sama si tukang pukul itu? Dan terlihat begitu bahagia..."


"Iya, kan? Lucu banget. Ichijou itu dianggap manusia sempurna, tapi ternyata dia punya kelemahan juga. Selera prianya buruk banget."


Aida juga ikut tertawa.


"Benar kan? Aono itu bukan siapa-siapa. Selera gadis itu buruk banget."


Setelah itu, mereka pergi keluar.


Tapi aku merasakan amarah yang membara.


Ichijou Ai...


Gadis yang aku ajak main di semester pertama dan menolakku dengan dingin, kenapa dia bersama orang seperti itu?


Aku yang menguasai seluruh sekolah ini, tapi kenapa harus menerima penghinaan ini?


Akulah raja di sekolah ini.


Aku tidak akan kalah dari orang biasa sepertinya.


Aku akan memberinya pelajaran, perbedaan kelas yang sesungguhnya!




──Dari sudut pandang Takayanagi──


Karena aku sudah mendapatkan informasi yang akurat dari Aono, aku memintanya untuk tetap berada di ruang kesehatan agar tidak memaksakan diri.


Setelah kejadian yang cukup berat itu, aku rasa terlalu sulit baginya untuk langsung kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran.


Aono juga setuju denganku, jadi sesuai dengan permintaan sebelumnya kepada Mitsui-sensei, kami akan memberlakukan sementara kehadiran di ruang kesehatan.


Namun, karena kami juga tidak ingin mempengaruhi nilai belajarnya, kami sedang mengatur agar pelajaran tambahan bisa diadakan di ruang kelas kosong saat dia tidak ada jadwal. Kepala sekolah dan wakil kepala sekolah sedang mengatur agar bisa dimulai besok.


Masalahnya adalah ketika aku menyampaikan keinginan untuk berbagi insiden ini dengan orang tua Aono, dia dengan tegas menolak.


Aku paham, dia tidak ingin membuat khawatir ibunya yang merawatnya seorang diri, serta kakaknya yang muda tapi sudah harus mengurus keluarga.


Saat ini aku menyerah, tapi tetap aku merasa tidak nyaman jika tidak menyampaikan apa pun. Kami adalah guru yang dipercaya untuk menjaga anak mereka, dan kami merasa penting untuk berbagi informasi ini. Sesuatu sudah terjadi.


Namun, mendekati masalah pribadi siswa yang tengah dalam masa remaja memang sulit. Setelah berdiskusi dengan kepala sekolah, beliau mengatakan, "Ini masalah yang rumit. Kami ingin segera memberi tahu orang tuanya, tapi memahami perasaan Aono juga penting. Dalam hal ini, mungkin kita harus meminta bantuan Mitsui-sensei atau konselor sekolah."


Sementara aku melakukan apa yang bisa aku lakukan, aku akan mengatur pertemuan dengan anggota klub sepak bola seperti Aida dan Shimokawa, dan juga Amada.


Berdasarkan sifatnya, kecil kemungkinan Amada melakukan gangguan langsung pada Aono. Namun, seseorang yang dekat dengan Kondo tampaknya mencurigakan.


Namun, saat aku cek ke ketua kelas kemarin, dia bersaksi, "Waktu aku masuk kelas jam 8, sudah ada coretan di meja.''


Jika mereka datang ke sekolah lebih awal dari ketua kelas, besar kemungkinan mereka tergabung dalam klub yang mengadakan latihan pagi.Jika itu terjadi, mau tidak mau tersangkanya akan dipersempit.



Setelah pertemuan dengan Aida, aku memulai yang berikutnya dengan Shimokawa.


Keduanya telah diminta untuk datang meninggalkan kelas.


"Maaf, Shimokawa. Sudah merepotkanmu datang mendadak seperti ini."


Aku memulai percakapan dengan Shimokawa, yang berambut kecokelatan, di ruang bimbingan siswa.


"Kenapa aku dipanggil?"


"Oh, hari ini, aku ingin mendengarkan beberapa murid, dan kamu yang pertama berdasarkan urutan abjad. Kemarin aku juga sudah berbicara dengan anak-anak yang tidak mengikuti klub olahraga. Sebagai tindakan berjaga-jaga saja. Mohon dimaklumi, ini juga pekerjaanku."


Untuk membuatnya sedikit lebih santai, aku berakting seperti biasa. Dia tampak mulai lebih rileks.


"Ini tentang kasus Aono, kan? Apa aku dicurigai?"


Dia cukup banyak bicara. Ini mempermudah diskusi.


"Tidak, bukan begitu. Setelah mengecek pada siswa yang datang pagi kemarin, mereka mengatakan ketika mereka tiba, coretan di meja itu sudah ada. Aku harus berbicara dengan anak-anak dari klub olahraga."


Dengan berlagak sebagai guru yang kurang bersemangat, aku mengatakan itu.


"Oh, guru juga kerepotan ya. Tapi bukan aku, lho. Kami di klub sepak bola langsung ke ruang klub, tidak langsung pergi ke kelas."


"Begitu ya?"


"Iya, jadi kami juga kaget saat melihat itu di kelas pagi-pagi."


"Oke, apakah sebelum latihan pagi, kamu melihat anggota kelas yang lain?"


"Eh, tidak. Mungkin hanya Aida. Dia juga anggota klub sepak bola."


"Begitu, ya."


"Kalau guru mencurigai kami, setidaknya tunjukkan buktinya, Takayagi-sensei!"


"Benar juga. Aida mengatakan hal yang sama. Baiklah, kamu bisa kembali ke kelas."

"Iya, guru!"


Dengan sikap santai dan tertawa kecil, dia meninggalkan ruang bimbingan.


Melihatnya pergi, aku menghela napas.


"Kenapa mereka berdua memberikan pernyataan yang persis sama? Setidaknya tunjukkan sedikit usaha untuk menyembunyikannya."


Sepertinya mereka berdua mencurigakan. Awalnya mereka memastikan apakah mereka dicurigai, kemudian bersaksi bahwa mereka langsung ke ruang klub tanpa ke kelas, dan menyebutkan bahwa selain satu sama lain, mereka tidak melihat teman sekelas lainnya. Seolah-olah ada skenario yang diikuti, jawaban mereka terasa seperti mesin, terlalu mirip.


Selain itu, Aida dan Shimokawa, aku tahu kalian bertemu dan menyapa Makabe dari klub basket. Kemarin aku bicara dengan Makabe, jadi aku tahu.


Nah, untuk sekarang aku akan memantau mereka berdua. Ini semua demi menangkap dalang yang mengatur mereka dari belakang.



Lanjut ke pertemuan berikutnya.

Murid yang ditunggu-tunggu masuk ke ruang bimbingan.

Amada Miyuki.


Dia teman masa kecil Aono, dan seharusnya mengetahui semua rahasia selain yang diketahui Kondo. Dia sangat cerdas dan pernah menjabat sebagai wakil ketua kelas di semester lalu. Seharusnya dia mulai menjalin hubungan dengan Aono sejak musim dingin tahun lalu.


Jujur, dia menarik dan populer di kalangan lawan jenis. Dia tidak tampak seperti siswa yang akan berselingkuh, tetapi cinta adalah sesuatu yang bisa membuat seseorang kehilangan akal.


Sejak awal sejarah, banyak pemuda telah dihancurkan oleh buah terlarang ini. Sebagai guru sejarah, aku bisa memikirkan banyak peristiwa besar yang terkait cinta.


Dalam sejarah Jepang, ada pemberontakan Yakushi dan Dokyo.


Dalam sejarah Tiongkok, Kaisar Xuanzong dan Yang Guifei.


Dalam sejarah Inggris, masalah perceraian Henry VIII atau cinta yang berhubungan dengan mahkota.


Bahkan penguasa tertinggi negara telah dibuat gila oleh cinta, apalagi siswa pintar yang masih remaja.

Yah, mungkin aku terlalu memikirkan sejarah, dan itulah alasan aku masih belum menikah. Sebagaimana dikatakan, orang bodoh belajar dari pengalaman, sedangkan orang bijak belajar dari sejarah, tetapi itu juga ada batasnya.


"Maaf, Amada, sudah merepotkanmu datang."


"Tidak apa-apa. Ini tentang Eiji, kan?"


"Ya, benar."


Amada tidak terlalu terguncang seperti yang aku kira. Hanya saja, lingkaran hitam di matanya tidak bisa disembunyikan, dan wajahnya tampak pucat.


"Aku tidak terlibat dalam insiden ini sama sekali!!"


Dia berkata dengan nada yang sedikit histeris, menegaskan pernyataannya dengan tegas.


"Hm?"


"Soalnya, Sensei memanggilku karena curiga padaku, kan!! Memang benar, aku dan Eiji bermasalah karena pembicaraan perpisahan... Dan saat itu, aku terlihat berjalan dengan Senpai Kondo yang sedang membantuku, lalu Eiji salah paham."


Ketenangan yang ada sebelumnya langsung hancur. Cara dia terus berbicara cepat tentang hal-hal yang bahkan tidak ditanyakan membuatnya terlihat sangat berbeda dari wakil ketua kelas yang aku kenal di semester pertama.


"Jadi, Aono memegang lenganmu?"


"Iya. Eiji menjadi terguncang dan menarik lenganku dengan kuat untuk memisahkan aku dan Senpai! Kami sudah membicarakan perpisahan sejak beberapa waktu lalu... jadi itu..."


"Cerita ini berbeda jauh dari yang diceritakan Aono, ya?"


"Itu... mungkin karena dia mencoba menutup-nutupi."


Hmm. Baiklah, kita dengarkan dulu seluruh pendapatnya.


"Jadi, kau tidak tahu apa-apa tentang postingan sosmed yang menyebar, yang mengatakan bahwa Aono melakukan kekerasan padamu?"


Ekspresinya menunjukkan kilatan yang mencurigakan. Sepertinya dia sudah mempersiapkan jawabannya.


"Aku pikir Kondo-senpai khawatir padaku dan mungkin membicarakannya pada seseorang, lalu itu bocor. Dia bukan tipe yang menyebarkan gosip untuk kesenangan. Lagipula, memang benar ada sedikit bekas karena tarikan kuat itu."


Untuk sesaat, dia kembali menjadi siswa teladan seperti biasa.


"Ada satu hal yang membuatku penasaran, bolehkah aku bertanya?"


"Iya."


Siswa teladan itu sedikit ragu sejenak sebelum menjawab. Sepertinya dia tidak menyangka akan ditanya saat ini.


"Maaf, untuk memastikan kebenarannya, aku memeriksa postingan sosmed yang menjadi masalah. Jika benar Aono melakukan kekerasan, sekolah harus memberi sanksi pada Aono. Jadi, izinkan aku mengkonfirmasi satu hal ini. Apakah, seperti yang dikatakan di sosmed, kau benar-benar mengalami kekerasan dari Aono?"


Ini adalah taktik. Dengan menyebut hukuman untuk Aono, aku mencoba menyentuh hati nuraninya. Dari bagaimana dia terguncang tadi dan kesaksian mencurigakan dari keduanya sebelumnya, kemungkinan besar Aono adalah korban di sini.


Ini adalah gertakan. Sebagai kartu truf terakhir, aku telah memberitahu Aono untuk menyimpan catatan pesan sosmed-nya dengan Amada.


Sepertinya catatan itu masih ada. Karena ada masalah privasi siswa, aku sebisa mungkin ingin menghindarinya, tetapi jika aku meminta Aono menunjukkan catatan itu, mungkin akan segera terlihat siapa yang berbohong.


Ya, aku sudah melihat Aono dengan jujur menyimpan catatan melalui fitur tangkapan layar di samping, jadi aku sudah tahu siapa yang berbohong. Tidak ada orang yang sebodoh itu menyimpan catatan yang bisa merugikan dirinya sendiri.


Di dalam Amada pasti ada perasaan bersalah karena telah berselingkuh dan menuduh Aono secara tidak adil. Maka dari itu, aku mencoba mengguncangnya.


"Itu... Aku..."


Dia menunduk, ragu-ragu untuk berbicara.


"Ini penting."


Hal yang bisa menentukan masa depan seorang pemuda. Aku menyampaikan nuansa itu dengan nada suara yang tegas sambil menatap matanya.


"Aku... tidak tahu. Aku juga terguncang saat itu."


Begitu rupanya.


"Baiklah. Sementara ini kita cukupkan dulu. Aku mungkin akan bertanya lagi, jadi jika ada sesuatu yang teringat, jangan ragu untuk memberitahuku segera. Jika ada yang ingin disampaikan, katakan saja sekarang."


"...Tidak ada."


Amada berpikir sejenak, dan memilih jalan yang menyesatkan.


"Baiklah. Terima kasih. Sekarang kembalilah ke kelas."


Jujur saja, aku merasa sangat kecewa. Jika dia menceritakan semuanya dengan jujur sekarang, mungkin ada pilihan lain.


Namun, tak ada jalan lain. Jika sudah begini, aku akan menyelidikinya sampai tuntas, menelusuri kontradiksi dari Amada dan mengejar dalangnya. Itu satu-satunya cara. Amada juga harus menerima konsekuensinya.


Dengan catatan sosmed dari Aono dan satu kartu truf lagi... kemungkinan besar tidak akan ada jalan keluar. Namun, aku masih kekurangan bukti yang pasti untuk menangkap dalang sebenarnya. Jadi, aku biarkan dia bebas untuk sementara waktu.


Sungguh, aku kecewa padamu, Amada.



Dan akhirnya, orang terakhir yang akan diwawancarai tiba.

Kondo, siswa kelas tiga yang diduga menjadi dalang di balik semua ini.


"Halo!"


Ia berkata dengan senyum polos. Dipanggil ke ruang bimbingan, dan ia bersikap seperti ini. Dalam beberapa hal, dia mungkin seorang jenius.


"Maaf sudah menunggu. Apakah kamu sudah mendengar tentang masalah ini?"


"Ya!! Sensei ingin mendengar tentang pria bernama Aono yang melakukan kekerasan terhadap Miyuki, kan? Tentu saja."


Bahkan setelah sampai di sini, ia masih berbicara seolah-olah Aono yang salah. Bakat sejati untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan.


"Ya, Amada tampaknya terguncang dan tidak bisa menjelaskan dengan baik tentang hari itu. Jadi, aku ingin mendengar dari Kondo, yang seharusnya paling dekat saat itu."


"Benar sekali. Kalau seorang gadis biasa mendapat kekerasan dari pacarnya, pasti akan begitu. Hari itu, Miyuki datang berkonsultasi padaku. Dia ingin putus dengan pacarnya, tapi dia tidak mendapat izin. Pacarnya mulai bersikap seperti penguntit dan membuatnya takut."


"Hmm."

Nada bicaranya sangat yakin, hingga orang bisa saja langsung percaya jika tidak ada bukti yang kuat.


"Lalu, saat kami sedang berjalan bersama secara kebetulan, dia melihat kami, dan mungkin berpikir Miyuki selingkuh. Dia marah dengan hebat dan menarik tangan Miyuki dengan paksa. Padahal Miyuki sudah berusaha menolak dengan keras dan berkata sakit. Aku pun masuk untuk memisahkan mereka berdua. Kalau tidak, itu bisa berbahaya, aku tak tahu apa yang akan dilakukannya."


Ia berbohong seolah-olah sedang bernapas.


"Aono bilang bahwa ia dipukul olehmu."


"Itu pasti delusi si penguntit. Dia memegang lengan Miyuki terlalu erat, jadi aku hanya mencoba mencegahnya agar tidak terluka. Justru, dia yang memulai kekerasan lebih dulu."


"Hmm."


Kali ini, fokus utamanya hanya bertemu muka dan mendengar pernyataan pihak lawan. Aku masih harus bersabar.


"Apakah sensei puas?"


"Lalu, satu hal lagi. Kenapa kamu memposting kejadian itu di media sosial?"

"Oh~ Tentu saja Bapak berpikir begitu. Tapi itu bukan akunku. Aku hanya meminta bantuan anggota klub untuk melindungi Miyuki dari penguntit. Kesalahanki adalah mengirimkan foto Miyuki yang terluka kepada mereka. Lalu, seseorang mungkin merasa marah dan menyebarkannya dengan akun palsu."


Itu skenario yang kamu buat, ya. Kamu lebih cocok menjadi penipu daripada pemain sepak bola.


"Jadi, kamu tidak tahu siapa yang melakukannya?"


"Aku benar-benar tidak tahu. Tapi aku punya permintaan pada Bapak. Sekarang, klub sepak bola sedang dalam masa penting karena ada pertandingan besar. Orang yang menyebarkannya mungkin tidak berniat buruk. Mungkin mereka melakukannya demi Miyuki. Jadi, kalau bisa, tolong selesaikan masalah ini secara damai."


Dia hanya peduli pada citranya. Cocok untuk jadi politikus atau entah apa.


"Itu tidak bisa dijanjikan, tapi aku akan melakukan sebisa mungkin."


Aku sengaja menjaga jarak agar tidak terjebak oleh permainan penipunya.


"Terima kasih. Ternyata, Bapak benar-benar memahami saya. Aku sempat khawatir jika Bapak malah membela penguntit itu. Dia adalah aib sekolah ini."


Sebetulnya, menerima siswa dengan kepribadian seperti dia adalah aib terbesar sekolah ini. Aku hampir saja meluapkan kemarahanku, namun berhasil menahan diri.


Jika aku menunjukkan permusuhan sekarang, dia pasti akan berusaha menghalangi penyelidikan. Menghadapkan pria jahat seperti dia pada kesadarannya di ujung kehancurannya adalah yang terbaik.


"Satu lagi. Jika benar Aono melakukan kekerasan pada Amada, sekolah mungkin harus mengambil tindakan. Kami mungkin harus meminta bantuan polisi. Jadi, aku ingin dengar baik-baik, kamu yakin benar-benar melihat kejadian itu?"


Jika dia punya sedikit hati nurani, mungkin pertanyaan ini akan membuatnya berpikir. Tapi, jawabannya seperti yang kuduga.


"Aku benar-benar melihatnya. Tapi, aku rasa Miyuki tidak ingin masalah ini dibesar-besarkan."


Kata-katanya membuatku menyipitkan mata.


"Kenapa begitu?"

"Karena semakin besar masalahnya, semakin buruk reputasi Miyuki, dan ia harus mengingat kembali kejadian menakutkan itu. Itu menyedihkan, kan? Jadi, dia pun menutup-nutupinya pada Bapak."


Secara logika, itu memang bisa diterima, namun…


Ketika aku menyebut polisi, Kondo menunjukkan wajah yang sedikit kesal. Tampaknya, jika polisi terlibat, dia akan merasa terganggu. Itu berarti ada sesuatu yang tak ingin dia ketahui dalam penyelidikan.


Aku hanya secara tidak langsung mengatakan bahwa Amada terguncang dan tidak bisa menjelaskan dengan baik, namun Kondo berbicara seolah dia tahu semuanya dan berkata "Amada menutup-nutupinya." Dia baru saja menunjukkan celah.


"Begitu, ya."


Aku menjawab dengan berbagai makna.


"Kalau begitu, aku boleh pergi, kan? Aku baru saja diundang untuk ikut latihan di klub sepak bola universitas di Tokyo. Aku harus pergi segera."


"Oh, maaf sudah mengganggumu."


Kondo keluar dari ruangan dengan langkah ringan. Memang, kepintaran dan kemampuan berbicaranya lebih unggul dari teman-teman sebayanya.


Namun, dia tetaplah siswa SMA. Sebagai seorang guru, aku merasa kasihan padanya sejenak, namun sebagai manusia, aku langsung merasa jijik.


Aku menatap kursi tempatnya duduk tadi dengan pandangan penuh hinaan.


"Lanjutkan saja, di jalan yang akan membawamu ke neraka."


──Dari sudut pandang Kondo──


"Hah, mudah sekali. Sudah selesai? Guru itu memang mudah dikendalikan!"


Tawanya tak terhentikan.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close