Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 2 - Hari Takdir, di Atas Atap
── 4 September ──
Seperti biasa, ada sampah yang dibuang ke dalam loker sepatuku. Sampah bekas bekal dari toko serba ada dan botol minuman yang belum habis, dengan kata-kata kasar yang ditulis dengan tinta merah. Sepatuku, seperti yang sudah kuduga, dibuang ke tempat sampah.
Aku mengambilnya, berjalan menuju kelas dengan tatapan aneh dari orang-orang di sekitarku. Mungkin aku sedikit demi sedikit mulai terbiasa. Atau mungkin, aku hanya kehilangan ketahanan hatiku. Mana saja yang benar, yang penting waktu ini akan berlalu. Selama aku yang menahan semuanya, itu cukup.
"Hei, itu kan Aono yang katanya memukul Amada?"
"Wah, menjijikkan."
"Kasihan Amada-san. Lengannya sampai memar, kan? Pria yang memukul perempuan itu paling rendah."
"Dia terlalu baik. Makanya si stalker itu salah paham."
"Dulu aku menganggapnya teman, tapi sekarang aku nggak mau lagi bicara dengannya."
"Ngomong-ngomong, Kondo-senpai itu keren, ya. Dia melawan pria kasar yang suka memukul itu dengan berani. Memang luar biasa."
Setiap kali mereka melihatku, murid-murid yang bahkan tidak kukenal membicarakanku. Rasa sakit yang tumpul terasa di hatiku.
Sepertinya Kondo-senpai dan anggota klub sepak bola sedang aktif menyebarkan rumor tentangku.
Di X, aku berkali-kali mencoba menjelaskan bahwa aku tidak bersalah, tapi tak ada yang mau mendengarku.
"Para penjahat selalu berkata begitu."
"Kita putus hubungan. Jangan bicara padaku di sekolah."
"Dasar sampah!"
Itulah pesan yang mereka balas kemarin di X.
Aku memasuki kelas. Aku sudah tidak bisa lagi menyapa siapa pun. Hampir semua teman sekelasku telah memblokirku di media sosial.
Meski sudah mempersiapkan mental, kenyataannya lebih mengerikan daripada yang kubayangkan.
Di mejaku tertulis dengan spidol kata-kata seperti "Bodoh," "Mati saja," "Penjahat," "Jangan datang ke sekolah."
Terdengar suara cekikikan dari jauh. Tapi yang paling melukai hatiku adalah...
Selebaran toko keluarga kami, restoran Aono, diperbesar dan ditempel di papan tulis, disertai tulisan seperti "Ini rumah si kasar yang suka memukul," "Beritahu orang-orang di SNS juga," dan "Jangan lupa menulis ulasan!!" Di atas selebaran itu, terdapat ancaman bertuliskan, "Kalau nggak mau tersebar di internet, berhenti sekolah atau mati saja."
Aku mendengar sesuatu dalam diriku pecah. Jika ini terus berlanjut, bukan hanya aku, tapi keluargaku juga akan terkena dampaknya. Toko kesayangan Ayah... akan hancur karena aku.
Kenapa, kenapa, kenapa!!
Tak tahan lagi, aku lari keluar kelas ke koridor. Tapi di sana pun iblis menungguku.
Itu Kondo-senpai.
Dia melihat wajahku yang kesakitan sambil tersenyum sinis. Mungkin dia datang untuk memastikan hasil dari rencananya, menyebarkan rumor buruk tentangku lewat anak-anak di klub sepak bola hingga aku terisolasi di sekolah.
"Bagaimana, wahai penjahat? Gimana rasanya..."
Dia mencemoohku sambil tersenyum puas.
"Kenapa... kau berbohong seperti itu?"
"Karena menyenangkan. Aku mengambil cewekmu, dan kamu kehilangan segalanya. Pertunjukan terbaik, bukan? Kamu yang salah karena berani mendekati Miyuki, makanya cepatlah keluar sekolah atau apapun. Aku memang seorang psikopat yang suka merusak hidup orang lain."
Dari Kondo-senpai tercium sedikit bau rokok. Untuk menutupinya, dia terus mengunyah permen karet.
Itu membuat sarafku tegang.
Tak sadar, lututku lemas dan aku jatuh. Dengan jeritan tanpa suara, tubuhku ambruk ke lantai. Setelah merasakan dinginnya lantai koridor, kesadaranku perlahan tenggelam dalam kegelapan.
※
Dalam keputusasaan, aku yang terbaring tak berdaya di koridor tidak hadir dalam upacara sekolah. Mereka bilang itu untuk menghormati prestasi klub Satomi dan timnya yang meraih hasil baik di kejuaraan.
Mungkin tak ada yang peduli meski aku tidak hadir.
Dengan alasan merasa tidak enak badan, aku pergi ke ruang kesehatan dan meminta izin pada petugas kesehatan untuk beristirahat di ranjang.
Tentu saja, aku tak bisa tidur. Penghinaan, ketakutan, dan keputusasaan. Aku menghabiskan waktu di atas ranjang putih, menggigil, berusaha menahan hati dan tubuhku yang sudah hancur.
"Sebagai tindakan jaga-jaga, aku akan memberitahukan pada wali kelasmu."
Petugas kesehatan mengatakan itu, dan aku mengangguk singkat, "Tolong."
Guru wali kelasku, Takayanagi-sensei, mungkin sedang sibuk mengatur upacara sekolah dan mengurusi siswa yang mendapatkan penghargaan. Karena itu, aku yakin dia tak akan datang padaku. Aku benar-benar merasa seperti itu.
Kenapa tak ada yang mau membantuku?
Mungkin karena Miyuki memiliki sikap baik dan prestasi akademik yang cemerlang. Dia bahkan menjadi wakil ketua kelas di semester sebelumnya, dan kesaksian dari seseorang seperti dia terlalu kuat.
Para guru pasti lebih percaya padanya daripada padaku. Itulah kenapa aku tak bisa menceritakan masalah ini pada siapa pun. Bahkan pada Ibu atau Kakakku.
Mereka berdua berjuang keras demi menyekolahkanku, menggantikan almarhum Ayah. Tapi, jika ini terus berlanjut, toko kami akan terkena dampaknya.
Mungkin, aku memang tak pantas hidup.
Aku sudah benar-benar kalah sejak dikhianati oleh Miyuki, teman baik sekaligus kekasihku. Bagaimana aku bisa bertahan dalam neraka hidup ini selama satu setengah tahun ke depan?
Ponsel di saku celanaku bergetar.
Pesan dari akun yang tak kukenal. Nama akunnya pun berupa serangkaian karakter acak yang tak berarti. Pasti akun palsu.
"Segeralah keluar dari sekolah, penjahat."
"Absen dari upacara sekolah dan berpura-pura jadi korban, ya? Yang paling menderita itu Amada-san, dasar pengecut."
"Kalau kamu merasa begitu tersiksa, mati saja. Itu akan membuatmu merasa lega."
Tak ada sedikit pun niat baik di sana. Hanya kebencian manusia.
Aku tak punya apa pun yang tersisa.
Ponselku kembali bergetar. Kali ini dari Tachibana-senpai, dari klub sastra tempatku bergabung.
Dia adalah senior yang selalu tersenyum lembut dan penuh kebaikan.
Mungkin, dia akan mengerti... harapan itu akan muncul. Tapi, kemarin, aku sudah melihat kenyataan di ruang klub. Dan itu hanya berujung pada keputusasaan.
"Maaf, sebenarnya aku harus memberitahumu langsung, tapi karena apa yang kau lakukan pada Amada-san, anggota lainnya ketakutan. Maafkan aku, tapi bisakah kamu tidak datang ke klub lagi?"
Saat aku menandai pesannya sebagai telah dibaca, senpai tidak lagi mengirim pesan.
Tidak, aku tidak melakukannya.
Aku ingin mengetik itu, tapi menyadari bahwa aku tak bisa mengirim pesan.
"Akun ini telah memblokirmu." Pesan yang kejam itu muncul berulang kali.
Air mata keluar tanpa suara. Agar guru tidak menyadarinya, aku membungkus diriku dalam selimut putih, gemetar dalam keputusasaan tanpa suara. Para senior di klub yang dulu selalu baik pun tidak mempercayaiku. Apa yang harus kulakukan?
Pada pertanyaan tanpa jawaban itu, hanya keputusasaan yang bisa kuungkapkan.
※
Aku tidak bisa terlalu lama berada di ruang kesehatan, nanti akan dicurigai. Mungkin saja orang tuaku akan diberi tahu.
Jadi, aku bilang bahwa kondisiku sudah sedikit membaik dan kembali ke kelas, lalu meninggalkan ruang kesehatan.
Bahkan jika aku berada di lorong, guru mungkin akan segera menemukanku. Di saat seperti ini, entah kenapa pikiranku masih berputar dengan baik.
Aku berjalan menuju tangga. Sepertinya pelajaran sudah dimulai. Tidak ada seorang pun di sini. Dengan perasaan lega, aku mulai menaiki tangga.
Aku berhenti di tempat yang mengarah ke atas sekolah. Di sini, aku tidak perlu khawatir akan ditemukan oleh siapa pun.
Aku duduk di sana. Sekarang aku hanya bisa menunggu sampai waktu pelajaran selesai. Aku harus mulai terbiasa. Dengan niat buruk orang lain. Aku hanya perlu bertahan sampai hatiku terbiasa sepenuhnya.
Entah kenapa aku meraih gagang pintu yang mengarah ke atap. Normalnya, gagang pintu ini pasti dikunci demi keamanan, namun kali ini sepertinya tidak dikunci.
Tanpa sadar, aku mulai berpikir bahwa ini mungkin adalah kesempatan. Jika aku melompat dari atap, segalanya akan selesai dengan mudah. Barusan juga tertulis hal itu di papan tulis, bukan? Dengan begitu, aku tidak akan mengganggu kedai milik keluargaku lagi.
Saat membuka pintu, langit yang suram terbentang luas. Aroma musim panas masih tersisa. Aku menyadari ada seseorang yang sudah berada di tempat ini, padahal seharusnya tidak ada siapa pun.
Rambutnya yang indah terurai tertiup oleh angin. Mungkin mendengar suara pintu terbuka, dia menoleh dengan kaget ke arahku. "Siapa kamu?"
Seorang gadis berwajah cantik menatapku dengan tatapan waspada. Seorang laki-laki muncul di atap yang seharusnya tidak didatangi siapa pun. Wajar saja kalau dia waspada. Lagi pula, ini adalah saat homeroom setelah upacara selesai.
Rambutnya yang indah terurai lembut. Meskipun ini musim panas, kulitnya tampak segar tanpa sedikit pun keringat.
Wajahnya sedikit misterius. Warna pita seragamnya merah. Itu artinya, dia seorang siswa tahun pertama. Namun, dia memiliki keanggunan yang tampaknya lebih dewasa dari usianya.
Aku memang belum pernah berbicara dengannya sebelumnya, tapi dia terkenal di sekolah ini. Namanya adalah Ichijo Ai. Gadis pintar yang meraih peringkat pertama dalam ujian masuk tahun lalu. Dengan kecantikan yang tak kalah dari model dan sifatnya yang baik kepada siapa pun, dia menjadi idola sekolah ini hanya dalam sebulan setelah masuk.
Dia adalah sosok yang bertolak belakang denganku. Atau lebih tepatnya, seseorang yang seharusnya tidak kutemui di tempat seperti ini.
"Aku adalah Aono. Siswa tahun kedua. Aku hanya berkeliaran di sekolah dan akhirnya sampai di sini."
Alasan yang lemah. Aku yang tadi sempat berpikir untuk mengakhiri semuanya dengan melompat dari atap, entah mengapa mengucapkan kata-kata aneh seperti itu.
"Aono-senpai?"
Suara lembutnya membuatku terkejut. Meskipun dia seorang gadis pintar berwajah cantik, suaranya terdengar imut. Anak laki-laki di kelas sering mengagumi kecantikannya dan bahkan ada yang menjadi penggemarnya, tapi aku sendiri tidak terlalu tertarik karena sibuk dengan perasaan bahagia saat bisa bersama Miyuki.
Sesaat, wajah Ichijo tampak suram. Sepertinya dia tahu rumor tentangku. Yah, mau bagaimana lagi. Aku tersenyum pahit dengan wajah menyerah.
"Mengapa, di saat seperti ini..."
Dengan suara pelan, dia bergumam seperti itu. Tidak ada tanda-tanda kebencian seperti yang kuterima dari teman-teman sekelas. Aku merasa sedikit lega.
"Maaf. Kau pasti tahu rumor tentangku. Bisa beri aku tempat ini sebentar? Setidaknya sampai waktu istirahat. Aku hanya ingin bersembunyi di sini sambil makan sendirian."
Ibu sudah membuatkan onigiri untukku. Ketika melarikan diri dari kelas, aku membawa tas bersamaku, jadi aku bisa bertahan di sini sampai waktu makan siang. Aku ingin sendirian untuk mempertimbangkan lagi apakah aku akan mengakhiri hidup atau tidak.
Entah dia tahu perasaanku atau tidak, tapi dia menunjukkan rasa tidak suka.
"Tidak mau. Ini adalah tempatku. Aku tidak bisa memberikannya. Senpai sendiri yang seharusnya pergi ke tempat lain."
Ternyata dia memiliki kepribadian yang lebih tegas dari yang kupikirkan. Aku mulai menyukainya sedikit.
"Yakin? Kau pasti tahu rumor tentangku, bukan?"
Perkataanku sendiri membuat hatiku terasa sakit. Aku sadar bahwa aku sendiri belum bisa menghadapi hal ini. Aku hanya berusaha membuatnya tidak ingin berada berdua denganku, seorang yang dianggap sebagai laki-laki kasar.
"Aku tahu."
"Kalau begitu, cepatlah…"
"Tidak mau."
Tampaknya idola sekolah kita ini adalah orang yang cukup keras kepala.
"Apa?"
Secara tidak sadar, nada bicaraku menjadi sedikit lebih keras. Aku tidak menyangka reaksinya akan sekuat ini.
"Aku tahu tentang rumor itu. Tapi itu hanya rumor saja. Sepertinya ada rumor aneh yang tersebar akibat masalah dalam hubungan asmara... Namun, aku tidak melihatnya sendiri. Lagi pula, asmara itu seperti semacam penyakit, bukan? Mengapa aku harus percaya pada cerita sepihak atau rumor yang kabur seperti itu? Bukankah itu terlalu berbahaya? Murid-murid lain bereaksi berlebihan. Melakukan kekerasan tanpa mengetahui kebenaran, itulah yang benar-benar terendah."
Ucapannya lebih kuat dari yang kuperkirakan. Kata-katanya menusuk hati. Kata-kata yang ingin kudengar dari teman sekelas dan anggota klubku, sekarang justru diucapkan oleh seorang junior yang baru pertama kali kutemui. Perasaan terkejut dan bahagia sedikit menutupi luka di hatiku.
"Jadi, kau mempercayaiku?"
"Bukan masalah mempercayai atau tidak. Rumor itu disebarkan dari pihak mantan pacarmu, kan? Terlalu berisiko untuk menyakitimu hanya berdasarkan informasi sepihak dan bias itu. Rumor yang muncul dari masalah asmara itu adalah informasi yang paling tidak dapat dipercaya."
Dengan sangat logis, mungkin terlalu rasional, dia menyatakan pendapatnya. Mungkin kata-kata itu terkesan seperti perkataan junior yang lancang, tapi itu adalah kata-kata yang paling ingin kudengar.
"Terima kasih."
"Mengapa kau berterima kasih padaku?"
Dia menatapku dengan wajah cemberut yang penuh kebingungan.
"Jika kau tidak mengerti, tak apa."
Aku menahan air mata saat melihat junior yang logis ini.
Tiba-tiba hujan mulai turun dari langit. Dalam sekejap, hujan menjadi deras.
"Hujannya sangat deras. Kita akan kedinginan jika tetap di sini. Ayo kita masuk ke dalam."
"Biarkan saja aku di sini."
Aku terkejut ketika usulanku yang kukira akan disetujui justru ditolak.
"Apa? Tapi…"
"Masih belum mengerti? Kau tidak tahu kenapa aku ada di sini sendirian!!"
Suara marahnya membuatku terdiam, berbeda dengan suara rasionalnya yang tadi.
"Maksudmu?"
"Tidak perlu khawatir aku kedinginan karena basah oleh hujan. Karena, bagiku besok sudah tidak ada lagi."
Emosinya mengalir seakan seperti anak kecil yang mengamuk. Dia terus melangkah maju menuju ujung atap.
"Tenanglah."
"Biarkan aku sendiri. Aku ingin mati!!"
Dia berkata begitu sambil perlahan menuju pagar. Aku dengan panik meraih lengannya dan berkata.
"Berhenti."
Aku yang tadi memikirkan untuk bunuh diri, sekarang justru menghentikan seorang junior agar tidak bunuh diri.
Perkembangan situasi yang sangat cepat ini membuatku bingung.
"Ini bukan urusanmu. Biarkan aku melakukan apa yang kuinginkan."
Dengan kekuatan yang lebih besar dari perkiraanku, dia berusaha melepaskan tanganku. Namun, aku berusaha keras untuk menahannya.
"Cukup sudah…"
Kami berdua basah kuyup oleh hujan, namun itu tidak kami hiraukan. Dengan tangan lainnya, dia berusaha melepaskan cengkeramanku dari tangannya. Kami tergelincir dan terjatuh bersama. Untuk melindunginya, aku memeluknya sambil membenturkan punggungku ke pagar. Syukurlah, kami bisa berhenti.
"Au…"
Keluhan tertahan keluar dari mulutku, namun dia tampak baik-baik saja.
"Mengapa, mengapa kau berusaha melindungiku? Jika pagar ini sudah rapuh, kau juga bisa…"
Dengan kepala yang kacau, aku mengucapkan kata-kata selanjutnya.
"Cukup!! Untuk menolong seseorang, aku tidak perlu alasan!"
"Apa?"
Dia tampak bingung dengan suara indahnya yang terkejut.
"Kalau kau ingin mati, setidaknya temani aku hari ini!! Mari kita bolos sekolah bersama!!"
"Apa!? Bolos? Kau paham situasi ini, bukan?"
Dalam situasi mendesak, yang kukatakan hanya "mari bolos bersama," sebuah usulan yang tidak berguna, dan aku merasa kesal pada diriku sendiri. Seharusnya aku bisa memberikan usulan yang lebih baik. Kami berdua dalam keadaan seragam yang basah kuyup, situasi yang sangat menyedihkan.
"Yah, apa boleh buat. Aku datang ke sini untuk bunuh diri, tapi siapa sangka aku malah menghentikan juniorku untuk tidak bunuh diri."
Suara lemahnya terdengar.
"…Memang benar."
Idola teratas di sekolah ini duduk di tempat itu, terlihat kehilangan tenaga. Setidaknya, akhir yang terburuk telah terhindari.
Dia berkata, "Seperti orang bodoh saja," lalu entah kenapa dia tertawa. Aku pun ikut tertawa.
"Ayo, mari kita kembali ke dalam."
"Ya, memang sebaiknya begitu."
Meskipun kami berada dalam situasi yang menyedihkan, tawa kami tidak berhenti.
"Nih, pakai ini dulu."
Aku menyerahkan handuk yang ada di dalam tas.
"Eh, tapi…."
Pertama-tama, harusnya kamu duluan, kan? Matanya seolah berkata begitu memohon, "Silakan gunakan dulu."
Namun, aku tahu bahwa jika aku yang menggunakan handuknya duluan, handuknya akan terlalu basah, dan Ichijou-san tidak bisa menggunakannya.
"Tidak apa-apa, sebagai seorang pria, sudah seharusnya aku bersikap lembut kepada seorang gadis."
Sejujurnya, aku hampir kehilangan kepercayaan terhadap wanita karena kejadian dengan Miyuki, tapi aku bisa jujur pada junior yang kini menjadi teman seperjuangan.
"Terima kasih banyak. Tapi, tolong jangan terlalu menatap, ya?"
Aku sudah tahu alasannya tanpa harus bertanya. Baju musim panasnya yang tipis basah terkena hujan, membuat segalanya terlihat jelas. Baju tipis berwarna merah muda di bawah kemeja putihnya benar-benar tembus pandang.
Meski tahu itu salah, insting pria membuatku meliriknya.
"Baru saja aku bilang begitu… ini pelecehan, tahu!"
"Maaf, maaf."
Dia mengambil handuk dariku dengan sedikit kesal dan mulai mengeringkan tubuhnya. Pemandangannya begitu memikat, seakan-akan ada malaikat turun ke bumi. Singkatnya, dia sangat cantik.
"Jadi, apa rencananya sekarang? Kamu mengajakku bolos, kan? Pasti punya rencana, dong."
Sejujurnya, aku tidak punya rencana apa-apa. Aku hanya tertawa kecut dan jujur mengaku.
"Tidak ada. Aku cuma nekat saja. Ini nggak keren, kan?"
Ketika aku tersenyum kecut, dia ikut tertawa.
Dari tadi, dia sudah mulai menunjukkan ekspresi yang lebih santai. Ternyata dia bisa tertawa seperti ini juga. Biasanya, senyumnya terlihat sedikit muram.
Aku pernah dengar beberapa teman sekelas mencoba mengungkapkan perasaan padanya, tapi…
※
"Kenapa kamu berpikir bisa menjalin hubungan dengan seseorang yang tidak kamu kenal?"
"Kamu tahu rasanya ketika ada orang yang baru pertama kali bertemu lalu mengungkapkan perasaan padamu? Nggak, kan? Kalau begitu, biar aku kasih tahu. Jujur saja, rasanya menakutkan."
"Pada akhirnya, kamu cuma tertarik pada penampilan dan statusku, kan? Aku sudah baca suratmu, dan isinya hanya tentang itu saja, kan? Membaca hal seperti itu bikin sakit hati."
Menurut saksi, dia berkata begitu.
Ya, benar-benar hancur.
Jadi, jujur saja, aku agak terkejut saat aku diterima dengan begitu mudah. Kukira dia akan menghinaku habis-habisan.
"Ini nggak banyak, tapi sebagai tanda terima kasih."
Dia memberikan saputangan yang cantik. Sepertinya dia merasa bersalah karena handuknya sudah terlalu basah. Aku menerimanya dengan senang hati.
Saat mulai tenang, aku menyadari kalau aku lapar. Tapi makan sendirian nggak enak, kan?
Aku membelah onigiri yang kubawa, membaginya menjadi dua dan memberikannya padanya. Isinya tuna mayo. Beberapa hari ini, aku bahkan tidak bisa merasakan rasa makanan, tapi entah kenapa aku bisa menikmatinya sekarang.
"Enak. Ini tuna, kan? Dicampur mayones?"
Seolah-olah dia gadis dari keluarga terpandang.
"Iya. Belum pernah coba? Ini salah satu isi onigiri yang paling populer di toko."
"Benarkah? Jadi, orang-orang biasa makan makanan enak seperti ini."
Sepertinya dia memang gadis dari keluarga berada.
"Masih banyak makanan enak lainnya. Sayang kalau nggak sempat mencoba sebelum mati."
"Kamu pandai bicara ya. Dibilang begitu, aku jadi tertarik."
Matanya berbinar. Ternyata, gadis ini punya rasa ingin tahu yang besar.
Namun, onigiri yang kubawa hanya satu. Karena aku tidak terlalu nafsu makan, jadi aku hanya membawa makanan secukupnya. Setengah onigiri mungkin nggak cukup buat gadis ini. Jadi, kalau mau bolos, cuma ada satu tempat.
"Hei, Ichijou-san. Mau ke rumahku?"
"Apa!?"
※
Kami melepas sepatu luar kami, memanfaatkan atap dan tempat parkir sepeda untuk mendekati gerbang depan tanpa terlihat dari ruang kelas. Beruntung, sepertinya tidak ada yang memperhatikan kami.
Dari tempat parkir sepeda ke gerbang depan kira-kira seratus meter. Kami berhasil bergerak tanpa diketahui siapa pun, jadi aku merasa aman. Meskipun ada yang melihat kami dari ruang guru, jaraknya terlalu jauh untuk mengejar.
Untungnya, hujan deras tadi sudah reda. Bahkan, matahari kini bersinar cerah. Waktunya sempurna.
"Baiklah, ayo pergi."
"Tapi, Senpai… gerbang depan kan terkunci, ya? Bagaimana caranya kita keluar?"
Dia sedikit ragu dan bertanya dengan nada khawatir.
"Kita akan memanjatnya."
"Aku pakai rok, tahu!"
Dia sedikit terkejut mendengar candaan itu.
"Tenang, aku cuma bercanda. Gerbang depan punya pintu besi kecil di samping, kayak pintu darurat. Itu bisa dibuka dari dalam, tapi begitu ditutup, kuncinya otomatis terkunci. Jadi, kita bisa keluar dari dalam, tapi nggak bisa masuk dari luar."
Cara ini adalah trik lama untuk bolos dari sekolah. Biasanya digunakan saat pergi keluar untuk beli makanan. Para guru tahu tentang cara ini, dan meski mereka akan marah kalau terlalu terang-terangan, dalam batas tertentu mereka membiarkannya.
"Kok bisa tahu hal begituan sih senpai."
Dia berkata dengan wajah takjub. Gadis pintar ini sepertinya nggak terbiasa dengan trik seperti ini.
"Nggak apa-apa sekali-kali, kan? Yuk, pergi!!"
Tanpa sadar, aku meraih tangannya, kebiasaan yang kulakukan pada Miyuki dulu. Aku terkejut, tapi dia membalas genggamanku. Aku merasa berdebar.
"Kenapa merah(malu) begitu? Ayo, cepat."
Dia juga tampak sedikit malu.
"Kamu nggak apa-apa nih, pegangan tangan orang yang baru ketemu?"
"Bohong kalau aku bilang nggak keberatan… tapi dalam situasi seperti ini, bukankah biasanya kalau pria dan wanita bergandengan tangan? Di film atau drama juga begitu."
Sepertinya dia cukup imajinatif. Mempercampur fiksi dengan kenyataan?
"Baiklah, ayo."
"Omong-omong, ini pertama kalinya aku benar-benar bergandengan tangan dengan pria, jadi jaga baik-baik, ya."
Melihat reaksinya yang makin malu, aku ikut merasa malu. Sudahlah, tak perlu dipikirkan terlalu dalam.
"Ayo kita cusss!"
Dengan aba-aba itu, kami mulai berlari.
"Hai, kalian ngapain di sana!"
Suara itu dari guru olahraga yang ada di ruang guru. Kami terus berlari tanpa menoleh ke belakang.
Seakan meninggalkan masa lalu, kami melangkah maju ke depan.
Gadis di sebelahku tersenyum lebar saat kabur dari sekolah.
──Dari Sudut Pandang Aishi Ichijou──
Kenapa aku malah keluar dari sekolah dengan seseorang yang baru kukenal hari ini? Selama ini, aku tak pernah terpikir untuk bolos. Tangan pria yang baru pertama kali kusentuh, kuat namun lembut, memegang tanganku.
Kenapa dia mau repot-repot melindungiku, orang yang tak dikenalnya? Saat terpeleset tadi, aku sempat berpikir itu akhir hidupku. Setidaknya aku akan terjatuh ke pagar di atap sekolah yang tak terurus. Namun, dia rela mengambil resiko nyawanya demi aku yang tak dia kenal.
"Aku akan melindungimu."
Kata-kata manis seperti itu sudah sering kudengar saat orang mengungkapkan perasaan. Tapi aku tidak ingin mendengarnya, karena itu hanya akan menyentuh luka lamaku.
Namun, Eiji Aono-senpai berbeda. Tanpa berkata apa pun, dia melindungiku dengan tindakannya.
Dia bukan seperti pria-pria yang pernah kutemui sebelumnya. Meski berada dalam situasi yang sulit, dia tetap bergerak demi aku. Sifatnya yang terlalu baik ini bahkan membuatku khawatir.
Namun, bersamanya, mungkin aku bisa keluar dari neraka ini. Entah kenapa, dia memberiku harapan.
Kami mempercepat langkah. Meski tahu ini salah, aku merasa senang.
Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, aku tertawa dari hati. Semua ini gara-gara senpai yang baru kukenal hari ini.
──Sudut Pandang Kondo──
Namaku Seiji Kondo. Aku adalah pusat dunia ini. Ayahku seorang anggota dewan kota. Di bidang akademik, aku masuk ke SMA elit yang dikenal sebagai salah satu dari tiga besar di prefektur ini, dan di klub sepak bola aku adalah pemain andalan. Aku mengangkat tim sepak bola sekolah yang dulu lemah hingga ke peringkat atas di turnamen prefektur, dan berkat aku, kami berhasil lolos ke turnamen nasional tahun lalu.
Secara diam-diam, aku mendapat tawaran dari klub sepak bola terkenal di universitas swasta. Jika aku mendapatkan rekomendasi olahraga dari sekolah, hidupku akan penuh warna. Menjadi pemain profesional mungkin saja.
Dengan kemampuanku, sedikit usaha akan membuatku tak terkalahkan di dalam negeri, dan tim dari liga luar negeri pasti akan tertarik padaku. Masuk ke tim di Belgia atau Skotlandia, meraih posisi reguler, dan sukses di sana, lalu menantang liga besar Eropa. Mimpi menerima gaji miliaran dan dikelilingi wanita cantik bukan hal yang mustahil bagiku.
"Aah, hidup ini terlalu mudah."
Sejak kecil aku berbeda dari orang lain. Sedikit belajar saja sudah membuatku mendapat peringkat atas. Tinggiku terus bertambah dan hampir mencapai 190 cm. Dalam sepak bola, dengan bakat teknik yang alami, aku selalu menjadi pusat di tim mana pun.
Aku pernah ditawari bergabung dengan klub-klub lokal di Jepang, tapi aku menolaknya. Bergabung di sana akan menghabiskan waktu bersenang-senang. Meski begitu, aku tetap terpilih untuk timnas junior Jepang, jadi tidak ada yang bisa protes. Lagi pula, aku punya teknik. Jika melakukan latihan dasar dan angkat beban, aku akan menjadi pemain biasa yang terjebak dalam pola. Lebih baik aku menikmati posisi sebagai raja di sekolah yang kecil ini. Para pelatih biasa tidak akan mengerti hal ini.
Karena aku pria penuh bakat, para wanita juga tidak bisa mengabaikanku. Sejak SD, aku sudah banyak digilai. Pertama kali aku punya pacar adalah saat kelas tiga SD. Sejak saat itu, aku tidak pernah tanpa wanita di sisiku. Di kelas dua SMP, aku dan pacarku saat itu melangkah lebih jauh, dan sejak itu, hubungan cintaku semakin liar.
Aku ingat betul kejadian saat aku di kelas dua SMP. Saat itu, ada seorang otaku dan idola kelas yang berpacaran. Meski hubungan mereka hanya sebatas pegangan tangan, itu adalah hubungan yang naif. Mereka pasangan teman masa kecil, dan berpikir mereka akan menikah suatu hari nanti.
Seperti yang kuduga, setelah kuberi pujian dan perhatian, gadis itu dengan mudah tertarik padaku. Ia mengkhianati pacarnya yang dianggapnya sebagai takdirnya, bahkan menyebut pacarnya menjijikkan saat kami berdua bersama. Gadis bodoh.
Saat otaku itu mendengar rekaman kata-kata pacarnya, ia menangis dan ambruk. Melihat wajahnya yang penuh keputusasaan membuatku bersemangat. Itulah mengapa aku suka mengambil wanita milik orang lain. Wajah pria yang putus asa setelah tahu kebenaran sangat menghibur.
Setelah masuk SMA, aku putus dengan gadis itu. Hubungan cinta paling menyenangkan sebelum resmi berpacaran. Setelah berpacaran, mereka biasanya jadi posesif dan menyebalkan.
"Aku telah meninggalkan segalanya demi memilihmu!"
Melihat gadis itu setengah gila, aku berkata, "Aku tidak tertarik dengan wanita yang gampangan. Aku tidak suka kamu lagi, mari kita putus." Biasanya, setelah jatuh cinta padaku, mereka tidak belajar, nilainya turun, dan kehilangan semua teman lama karena memilihku. Apalagi pasangan teman masa kecil, mereka memutus hubungan dengan teman-teman sejak TK. Gadis yang tidak bisa memahami ini seharusnya sadar diri.
Pada akhirnya, mantan idola kelas itu kehilangan segalanya dan menjadi tidak hadir di sekolah. Menyaksikan kehancurannya sangat menyenangkan.
Selanjutnya, giliran Miyuki. Padahal dia seharusnya memilih pacarnya, bukan aku. Aku berpikir akan menyenangkan menghancurkan hidup mereka berdua.
Jadi, aku sengaja meninggalkan bekas seperti korban kekerasan di lengan Miyuki dan menyebarkan rumor tentangnya. Reaksinya? Lihat saja hasilnya nanti.
──Sudut Pandang Miyuki──
Sejak pagi, Eiji tidak kembali ke kelas. Orang-orang yang merusak mejanya berusaha menghapus coretan itu, tetapi bekasnya masih ada. Meja kotor Eiji tampak seperti hatiku yang hancur. Dia mungkin akan keluar dari sekolah, dan ini semua salahku.
Bagaimana ini? Bagaimana ini? Aku tidak menyangka Kondo-senpai akan menyebarkan rumor itu. Aku tidak salah. Jika aku meminta maaf, dia pasti akan memaafkanku.
Saat melihat keluar, aku melihat Eiji di lapangan. Melihatnya membuatku senang sejenak, namun segera jatuh ke dalam keputusasaan. Di belakangnya ada seorang gadis yang tidak kukenal, dan mereka berlari ke gerbang sekolah sambil berpegangan tangan seperti dalam adegan film.
Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Api cemburu membakar pikiranku. Tangannya, yang seharusnya hanya untukku, kini menggenggam tangan gadis lain. Kenapa? Padahal aku sendiri yang memutuskan hubungan kami dulu. Tapi aku lupa itu, dan hanya ada api cemburu yang menghanguskan.
"Siapa gadis pencuri itu?"
Post a Comment