NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Nageki no Bourei wa Intai Shitai V3 SS

 


Penerjemah: Sena

Proffreader: Sena 


Side Story: Liz Suka Kontak Fisik


“Kraaaai-chaaan!”


“Liz, kau selalu penuh energi, ya.”


Seperti biasa, aku menangkap tubuh Liz yang melompat ke arahku. Kulitnya yang hangat dan lembut bersentuhan dengan pipiku, menyebarkan aroma manis yang samar.


Aku yakin, aku bisa mengenali Liz hanya dari baunya.


Tubuh Liz ramping tanpa lemak berlebih, dengan kelenturan seperti binatang liar. Namun, saat ia menempel begitu erat hingga detak jantungnya terasa, tubuhnya tetap terasa lembut.


Aku mengulurkan tangan, mengacak-acak rambutnya, membuatnya mengeluarkan suara manis sebelum menyembunyikan wajahnya di leherku.


Liz Smart sangat menyukai kontak fisik.


Sitri mungkin tidak terlalu keberatan, tapi Liz akan langsung melompat ke pelukanku begitu ada kesempatan—atau bahkan tanpa alasan sama sekali.


Anggota party lain biasanya sibuk berlatih, jadi aku yang hampir selalu menjadi tempat pelampiasannya sejak dulu.


Dia menggosokkan hidungnya di kulitku dan menempelkan bibirnya ke leherku. Sebagai balasan atas kasih sayangnya, aku memeluknya erat.


Awalnya, kontak fisiknya sering membuatku gugup, tetapi sekarang aku sudah terbiasa, meski masih sedikit deg-degan.


Setidaknya, aku sudah memintanya dengan tegas untuk tidak melakukannya tanpa pakaian—Liz kurang memiliki rasa malu.


“Krai-chan... lanjutkan... ya? Boleh, kan?”


Di sudut ruangan, Tino yang ditinggalkan hanya bisa menutup mulutnya, wajahnya merah padam sambil menatap kami.


“O-Onee-chan... itu... tidak sopan...”


“Nn...”


Sebagai balasan, Liz hanya mengeluarkan suara manis, tampaknya sama sekali tidak mendengar teguran muridnya.


“Mungkin... dia sedang stres akhir-akhir ini. Ini bukan soal sopan atau tidak, ini terapi mental yang efektif.”


“Eh?”


Tentu saja, ini bukan sesuatu yang bersifat seksual.


Meski dari luar terlihat seperti pasangan kekasih, aku dan Liz tidak memiliki hubungan seperti itu.


Sambil mengusap punggung Liz dengan gerakan melingkar, aku menjelaskan pada Tino yang tampak bingung.


“Para pemburu menghadapi pekerjaan berat yang menguras mental mereka setiap hari. Kontak fisik ini membantu mereka tetap waras.”


“B-benarkah...? Aku baru mendengar hal seperti itu... tapi...”


“Benar, ini tertulis di buku. Suatu hari, kalau Liz punya kekasih, mungkin dia akan berhenti melakukannya denganku. Sampai saat itu, aku hanya pengganti.”


“A-aku rasa... dia tidak akan pernah punya...”


Ucapan Tino itu terdengar kejam.


Meski Liz memang mudah marah dan kasar, dia punya banyak sisi baik.


Untuk menghiburnya, aku melepaskan pita yang mengikat rambutnya, menyisir rambut pirang mudanya yang indah dengan jari-jariku.


Meski dia telah melewati banyak pertempuran sengit, rambutnya tetap halus tanpa satu pun simpul.


Liz sangat suka ketika rambutnya disisir.


Sentuhan kecil di kulit kepalanya membuat tubuhnya gemetar, dan pelukannya semakin erat.


Aku masih ingat pertama kali memeluknya, saat kami berumur sepuluh tahun.


Ketika itu, kami baru saja memulai pelatihan sebagai pemburu.


Dibandingkan kami yang lain, pelatihan Liz adalah yang paling keras.


Pelatihnya memaksanya melakukan latihan yang tidak masuk akal bagi seorang anak kecil, tanpa kasih sayang atau tujuan yang jelas.


Dia dipaksa berlari dari pagi hingga malam, melakukan latihan fisik dan pertempuran tiruan, hingga tubuhnya lelah tak berdaya.


Sebagai satu-satunya orang yang tidak memiliki pelatihan khusus, aku mencari cara untuk membantu.


Akhirnya aku menemukan sebuah buku tentang cara menenangkan orang lain.


Saat Liz benar-benar kelelahan dan tidak bisa bergerak, aku memeluknya untuk pertama kalinya.


Dia menangis, meski tubuhnya terlalu lelah untuk bergerak.


Sejak saat itu, memeluk Liz menjadi rutinitas.


Kini, meski dia jarang kelelahan, kebiasaan itu tetap ada.


“Krai-chan... lanjutkan...”


“A-ada lanjutannya lagi!?”


“Rahasianya adalah memberikan kasih sayang sebanyak mungkin. Kalau aku tidak ada, Tino bisa menggantikanku.”


“Tidak mungkin!?”


Aku mengangkat Liz yang memeluk leherku, lalu membaringkannya di sofa.


Dia memandangku dengan mata lembap, pipinya memerah.


Sambil membelai rambutnya, aku menjelaskan pada Tino yang terdiam.


“Liz orang yang bangga dan kuat, jadi dia perlu diberi pujian agar merasa dihargai.”


“...”


“Lihat, saat dia memperlihatkan perutnya seperti ini, itu tanda dia mempercayaimu sepenuhnya.”


Aku menunjuk perut lembut yang terekspos. Kulitnya yang sehat dan kecokelatan terlihat agak menggoda.


Tino bertanya dengan ragu.


“Master... itu... buku apa yang sedang Anda baca?”


“Eh...? Hanya... volume kedua dari Penakluk Surga.”


“Master... i-itu... Cuma novel, kan? Lagipula, kenapa hanya volume kedua?”


“…Hanya itu yang dijual. Lagipula, novel juga banyak mengajarkan hal-hal.”


Ini adalah novel petualangan dengan seorang pemburu sebagai tokohnya. Meskipun hanya fiksi, kisah ini penuh dengan ujian dan pertumbuhan, dan aku belajar banyak darinya. Aku sangat menyukainya, tapi jarang ada kesempatan untuk membacanya, sehingga hanya sempat membaca volume kedua.


Bahkan, beberapa teori pertempuran yang aku ajarkan ke Luke juga sebagian berasal dari sana.


“Yang paling menginspirasi adalah hubungan kepercayaan antara tokoh utama dan partnernya... Nanti kuberikan padamu. Meskipun hanya volume kedua.”


“...T-tidak perlu. Aku juga... memilikinya. Sudah membaca semuanya... Partner?”


Aku terkejut. Betapa kebetulan Tino juga tahu novel yang sudah terbit sepuluh tahun lalu itu.


Aku mengusap perut Liz yang lembut, sedikit lembap, dan menyenangkan disentuh.


Liz mengeluarkan suara protes kecil sambil menggeliat, tapi tidak terlihat keberatan.


Dalam cerita, sangat penting untuk tidak melewatkan sinyal yang diberikan oleh partner. Hari ini, Liz sedang dalam suasana hati yang baik. Puas, aku mengangguk besar dan melanjutkan ke langkah berikutnya.


Aku mengambil bumerang yang terbuat dari tulang dari laci meja. Tino berkata dengan ragu.


“...A-ano... Master. Kalau tidak salah, partner tokoh utama di Penakluk Surga itu... serigala, kan?”


“…Hah?”


Bumerang yang kupegang terlepas karena tak terduga mendengar itu. Liz, yang mengeluarkan napas hangat, melompat dan menangkapnya dengan kecepatan luar biasa. Dia memutar bumerang itu dengan jari-jarinya sambil berkata.


“Master, ini tidak masuk akal. Latihan ini tidam kusuka. Dulu sih oke, tapi kemampuan refleksku sudah bagus sekarang, kan? Ini tidam ada gunanya. Lebih baik kamu mmgusap kepalaku aku lagi!”


Seperti biasa, tidak seperti dalam novel, Liz tidak suka bermain tangkap.


...Apa? Serigala? Serius? Tidak, tidak mungkin—


“Tapi, dia bisa berbicara.”


“Itu karena tokoh utama punya kemampuan khusus untuk mengerti bahasa serigala...”


Tino berkata sambil menundukkan pandangan. Aku mengalihkan mataku ke arah Liz, yang melihatku dengan mata basah.


...Serius? Memang sih, dia punya ekor, tapi aku selalu berpikir dia manusia—atau gadis setengah hewan. Lagipula, di volume kedua tidak pernah disebutkan secara jelas dia itu serigala, dan partnernya lebih kuat dan pintar daripada tokoh utama.


“Cerita tentang petualangan seorang anak laki-laki yang bisa berbicara dengan serigala betina besar yang pintar, kan?”


Sekarang setelah dipikirkan lagi, mungkin memang ada beberapa bagian yang terasa janggal. Saat dipeluk, dia menjilat wajah si tokoh utama; ada adegan di mana tokoh utama naik di punggungnya untuk bepergian. Saat mandi, tokoh utama mencuci tubuhnya, dan saat tidur, dia jadi bantal. Memang sih, kalau dipikir-pikir, itu sedikit berlebihan untuk interaksi dengan lawan jenis, tapi kupikir itu hal yang biasa untuk seorang pemburu. Aku hanya menganggap begitu. Tokoh utama tidak pernah merasa gugup saat bersama partnernya karena, kupikir, dia sudah dewasa.


...Apa? Serigala? Apa? Jadi aku sudah melakukan hal seperti itu ke Liz selama lima tahun lebih, sambil mengira dia manusia? Aku ini bodoh sekali.


Liz duduk dan mendekatkan tubuhnya. Aku memeluknya dan mengusap kepalanya.


...Bulu yang indah!


“...Tentu saja aku tahu. Aku Cuma menguji Tino.”


“Benar, ya! Aku kaget. Tapi, aku tidak menyangka Master membaca buku yang ku suka... Leon itu sangat baik dan imut, ya! Memang pantas jadi partner ideal! Meskipun dia serigala.”


“Iya, benar sekali. Leon itu sangat imut. ...Meskipun serigala.”


Kupikir Liz lebih nakal daripada Leon, tapi sekarang aku bingung harus berbuat apa. Untuk menyembunyikan rasa gugupku, aku menggaruk bagian belakang telinganya, seperti di novel. Liz berbisik di telingaku.


“Hei, Master. Lanjutkan. Kita mandi, yuk? Sudah lama kamu tidak bantu cuci punggungku. Ayo dong!”


“...Bukankah kamu sudah bisa sendiri? Sudah saatnya punya rasa malu. Kamu ini bukan serigala, tahu.”


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close