Penerjemah: Sena
Proffreader: Sena
Prolog
“Baiklah, sekarang kita mulai persidangan untuk Tuan Norman Hamishhhhhh!”
Suara ceria yang tidak wajar terdengar menggema di dalam ruangan batu yang dingin.
“Wah, menyenangkan sekali! Luar biasa! Bukankah begitu, Norman-kun?”
“Tidak, sama sekali tidak menyenangkan. Ini yang terburuk. Tidak mungkin aku merasa begitu, Jim.”
Dua remaja duduk berhadapan dengan sebuah meja panjang di antara mereka, saling melontarkan kata-kata yang bertolak belakang.
Di sudut ruangan, terdapat meja panjang lain, tempat berbagai barang diletakkan dengan acak seperti sedang dipajang.
Ada topi berbahan felt hitam, mantel panjang usang, dompet, saputangan, pemantik api, rokok baru, kaca pembesar, penggaris, alat pembuka kunci, buku geografi, catatan harian, binder berisi dokumen, pistol revolver, dan tongkat lipat portabel. Di dinding yang sedikit jauh dari sana, terdapat telepon tetap yang terpasang.
Di punggung remaja berambut abu-abu yang terikat, terdapat empat jendela besar yang mengarah ke luar, menunjukkan gelapnya malam yang pekat.
“Lihat aku sekarang. Menurutmu bagaimana keadaanku?”
“Kedua tangan dan kakimu terikat erat di kursi! Aku bahkan mempelajari cara mengikat tali yang tidak bisa dilepas demi ini! Sangat menarik, bukan?”
“Bisa tolong lepaskan aku?”
“Aku menolak!”
“Betapa buruknya sikapmu. Biasanya kau selalu menghidangkan teh dan kue dengan terlalu antusias.”
“Ini bukan ruang laboratoriumku, kau tahu! Lagi pula, kau hampir tidak pernah menyentuhnya. Ingat kapan terakhir kali kau datang ke tempatku?”
“...Kapan ya. Bukankah kau sempat meninggalkan kota?”
“Tiga puluh tujuh hari yang lalu! Saat aku memberitahumu bahwa aku akan pergi ke ibu kota, kau langsung pergi hanya dalam dua menit! Aku bahkan ingin berbicara santai sedikit!”
Remaja itu terlihat jauh dari kata segar, meskipun tidak bisa dibilang terluka parah. Pakaian sederhana berupa kemeja putih, suspender, dan celana hitamnya berlumur lumpur dan darah, dengan luka kecil di seluruh tubuhnya. Rambutnya yang sedikit panjang berantakan, memperlihatkan tulang selangka yang menunjukkan jejak kekerasan.
Dengan wajah lesu dan napas yang berat, ia tampak seperti gelandangan yang tergeletak di pinggir jalan.
“Aku belum pernah melihatmu seperti ini sebelumnya. Terhiburlah sedikit, Norman-kun!”
Jim, remaja berambut pirang, tersenyum menyeringai. Tawa tulusnya begitu cerah sehingga, jika bukan karena jas putihnya, ia tampak seperti bintang pesta dansa. Ia mengenakan jas ekor walet berkualitas tinggi dengan jas laboratorium yang dikenakan di atasnya, menciptakan tampilan yang bertabrakan.
“Seleramu buruk sekali, Jim Adamworth.”
“Kau bukan orang yang berhak mengatakannya, Norman Hamish.”
Remaja yang terikat itu adalah Norman Hamish.
Yang mengikatnya adalah Jim Adamworth.
Meski terlihat seperti adegan interogasi, percakapan mereka lebih mirip obrolan santai di kafe pinggir jalan.
“Ngomong-ngomong, apa-apaan pakaianmu itu? Kenapa kau pakai jas ekor walet di bawah jas lab?”
“Apa kau tidak mengerti, Norman-kun?! Aku dikenal sebagai pria modis di kalangan sosial! Interogasi terhadapmu adalah tugas, jadi aku harus berpakaian formal! Meski tempat dan caranya kuatur sedikit unik, mengingat kau adalah temanku. Ditambah lagi, aku juga seorang peneliti, jadi jas lab adalah pakaian resmi untuk peneliti!”
“Kau tahu apa itu koordinasi?”
“Hmm… apa boleh buat. Seperti yang sudah-sudah, pelopor di zamannya selalu sulit dipahami.”
Norman memandang Jim dengan setengah mata saat pria itu duduk kembali di kursinya dengan perasaan mendalam.
Namun, tanpa peduli, Jim mengangkat bahu dan berkata,
“Jujur saja, melihatmu seperti ini membuatku merasa senang sekaligus bersalah. Bagaimana pun, kau adalah satu-satunya temanku, Norman-kun!”
“Dengan menyuruh anak buahmu mengeroyokku, memasukkanku ke karung, menculikku, mengikatku, dan kemudian kau bicara seperti itu?”
“Ah… benar-benar menyedihkan, Norman-kun.”
Dengan anggukan dalam dan lambat, Jim menghilangkan senyumnya sejenak, lalu kembali tersenyum cerah seketika.
“Namun, apa boleh buat. Begitulah hidup, bukan?”
“Haahh…”
Norman hanya bisa mendesah, tetap mempertahankan wajah datarnya.
Dia mengarahkan pandangan ke langit-langit.
“Lalu, di mana kita ini sebenarnya?”
“Hmm… bukankah tidak pantas bagi penculik untuk menjelaskan lokasi kepada korbannya? Cukup kukatakan ini adalah tempat yang cocok untuk kita berbicara.”
“...Ya, terserahlah.”
“Aku harap kau sedikit lebih peduli, Norman-kun!”
Jim mengepalkan tangannya dengan ekspresi kesal, tapi langsung kembali ceria.
“Baiklah! Mari kita dengarkan ceritamu! Bagaimanapun, ini adalah tugas resmi dari Cartesius!”
“Bisakah kau berhenti memanggil namaku seperti itu setiap saat?”
“Berkaitan dengan Unlaws yang mengelilingi kota berbenteng yaitu Balldium ini!”
Dengan tepukan keras, Jim menghela napas, menyilangkan kaki, dan dengan hati-hati merapikan kerah jas labnya.
“Kau tahu kota Balldium ini dikelilingi oleh tembok, bukan?”
“Mulai dari situ?”
“Jangan menyela. Hal seperti ini membutuhkan suasana, kau tahu.”
Namun, setelah mengatakan itu, Jim berhenti sejenak dan mengangguk.
“...Aku juga mulai bosan memanggil namamu terus.”
“Aku juga merasa begitu.”
Dengan suasana sedikit lebih santai, percakapan itu kembali ke topiknya.
“Norman-kun, sudah satu setengah tahun sejak kau datang ke kota ini. Tentu saja kau melihat tembok kota setiap hari. Tembok setinggi hampir 100 meter yang mengelilingi seluruh kota. Karena keberadaannya sudah dianggap wajar, tak ada seorang pun yang mempertanyakan kenapa tembok sebesar itu ada di sini. Ah ya, apa yang sering kau katakan dulu?”
“──Kota ini tidak pernah merasakan angin yang bertiup.”
“Benar sekali! Ungkapan yang cukup puitis, bukan? Menurut pendapatku, kota ini seperti taman dalam kotak. Taman kecil yang berada di bawah pengaruh Unlaws.
Dengan senyum puas, pemuda itu bersandar ke depan, berbicara dengan semangat.
“Unlaws, ya.”
Norman bergumam tanpa minat. Bukan karena tidak peduli pada istilah itu, melainkan karena merasa lelah menghadapi antusiasme Jim.
“Aku sempat mempertimbangkan dari mana harus memulai, tapi sepertinya lebih baik mulai dari awal. Jadi, apa itu Unlaws?”
Dengan gaya dramatis, Jim merentangkan tangannya lebar-lebar.
“Sihir, keajaiban, fantasi—hal-hal yang dipercayai anak-anak saat kecil. Tapi hal-hal itu tidak ada! Namun...”
Dia menyeringai, senyumnya semakin melebar.
“...Ada makhluk yang bersembunyi di balik hukum dunia ini. Mereka mengubah, menyimpang, bahkan memutarbalikkan realitas. Mereka adalah monster!”
“……”
“Seperti yang kau tahu, aku mempelajari Unlaws sebagai subjek penelitian, bukan?”
“Penelitian apa maksudmu?”
“Hahaha! Itu kita bahas nanti! Unlaws adalah istilah yang mengacu pada semacam penyihir, tetapi bukan dongeng yang menenangkan hati. Justru sebaliknya!”
Dengan nada seperti guru yang sedang menjelaskan, dia melanjutkan:
“Mereka itu gila! Entah sudah memiliki gangguan mental sejak awal atau menjadi rusak di kemudian hari. Tentu, manusia dengan mental tidak stabil ada di mana-mana. Tapi di Balldium ini, ketidakstabilan mental seperti itu dapat membangkitkan kekuatan supranatural yang tampak seperti sihir, dan mereka berubah menjadi monster. Mereka itulah yang disebut sebagai Unlaws!”
“Penjelasan yang sangat dangkal,” komentar Norman datar.
“Kalau begitu, mari kita langsung ke pokok permasalahan,” kata Jim sambil menjentikkan jarinya dan menunjuk Norman.
“Kau memelihara Unlaws di kota ini, Norman-kun. Sebagai agen resmi pemerintah dari Cartesius. Dan sekarang, kau akan menceritakan semua yang telah kau alami dalam misi itu. Aku akan mengevaluasinya dan melaporkannya kepada atasan Cartesius. Jadi, pahamilah situasimu sekarang!”
Jim merentangkan kedua tangannya dengan penuh gaya.
“Ini tentang peningkatan kriminalitas, penghancuran fasilitas umum, dan bahkan dugaan pengkhianatan terhadap Cartesius!”
“Itu tuduhan yang tidak adil. Aku selalu menjalankan tugasku dengan serius. Meski begitu, aku memang pernah berpikir akan menghadapi masalah seperti ini ketika kakak perempuanku mengajakku bergabung dengan Cartesius. Tapi aku tidak menyangka masalah itu akan benar-benar terjadi, apalagi melibatkanmu.”
“Siapa yang kau pikirkan sebelumnya?”
“Kakak perempuanku.”
“Hahaha! Luar biasa!”
Cartesius.
Seperti yang Jim katakan, dia, Norman, dan bahkan kakak perempuan Norman adalah anggota organisasi itu, baik sebagai peneliti maupun agen lapangan.
“Seperti yang sudah kau ketahui, tugas kita adalah menyelidiki, meneliti, dan menangani Unlaws—entitas supernatural. Aku sebagai peneliti, sementara kau dan kakak perempuanmu bertugas sebagai agen lapangan.”
Jim mengambil binder dari meja dan mengeluarkan beberapa lembar dokumen.
“Unlaws dianggap sangat berbahaya sehingga keberadaannya dirahasiakan. Tentu saja, karena penampilannya biasanya mirip manusia, tingkat bahayanya tidak perlu diragukan lagi. Oleh karena itu, beberapa agen Cartesius bertugas mengelola dan memanfaatkan mereka. Seperti yang kau lakukan.”
Dia mengeluarkan empat foto dari binder dan meletakkannya di atas meja.
“────”
Norman menyipitkan matanya yang berwarna biru pucat, menatap foto-foto itu. Jim mulai menjelaskan satu per satu:
“Teardrop.”
Seorang gadis berambut perak dengan tudung, matanya yang kuning memandang jauh ke samping, seolah-olah bosan dengan dunia ini.
“Siriusflame.”
Seorang wanita tinggi berambut pirang panjang, tersenyum lembut dengan sikap malu-malu, seakan merasa tidak pantas difoto.
“EnhanceDiah.”
Seorang wanita berkulit cokelat dengan rambut hitam dan sehelai poni merah, menyeringai penuh percaya diri, memancarkan aura seorang penguasa.
“Aerystep.”
Seorang gadis berambut pirang gelap yang memberikan tanda damai di dagunya sambil tersenyum lebar, seperti seseorang yang selalu bisa tertawa apa pun yang terjadi.
“Empat orang ini, makhluk yang kau anggap mainan, aku ingin mendengar lebih banyak tentang mereka.”
“────Mereka bukanlah makhluk. Mereka adalah manusia,”
jawab Norman dengan nada dingin, pandangannya bertemu dengan tatapan Jim yang cerah dan antusias.
Di tengah ketegangan mereka, suara dering telepon dari alat komunikasi di sudut ruangan memecah suasana.
“…Benar-benar mengganggu, ya. Boleh aku angkat?”
“……Terserah,” jawab Norman.
Jim mengangkat telepon dan berbicara beberapa kalimat sebelum kembali duduk.
Dia melihat foto-foto di meja dengan serius.
“Norman-kun, kau bilang empat orang ini adalah manusia.”
“Ya, mereka juga gadis-gadis cantik yang manis,” jawab Norman santai.
“Baiklah,” kata Jim sambil mengangguk. Dengan wajah serius, dia berkata:
“Keempat gadis itu sedang bertarung di luar saat ini.”
‹›—♣—‹›
Di jalan setapak yang sepi pada malam hari, kilauan perak berterbangan.
Rambut panjang yang menjuntai hingga pinggang mengikuti gerakan seorang gadis.
Rambut itu berkilauan indah di bawah redupnya cahaya lampu jalan yang sedikit meneranginya.
Mata kuning gelapnya yang khas tampak bercahaya, berpadu dengan pakaian seperti anak laki-laki yang energik.
Namun, seluruh tubuhnya tertutup rapat tanpa celah, bahkan kedua tangannya pun dilindungi oleh sarung tangan kulit.
Di tangan gadis itu tergenggam sebuah senapan penembak jitu yang ukurannya hampir sebesar tubuhnya.
Biasanya, senjata api semacam itu digunakan dalam posisi diam dan stabil.
Namun—
“Ah, sungguh menyebalkan sekali…!”
Gadis itu mengerutkan wajah cantiknya dengan ekspresi penuh kejengkelan, lalu menarik pelatuknya.
Suara tembakan menggema di udara—tetapi itu bukan satu-satunya suara yang terdengar.
Guncangan itu bukan hanya efek fisik yang merambat melalui udara, melainkan sesuatu yang lebih misterius.
Dan seketika,
“OOooOOooOOooOOooOOooOOooN!!”
Raungan seperti binatang menggema, diikuti oleh sesuatu yang menghancurkan kegelapan malam.
Sosoknya tidak terlihat jelas.
Namun di dalam gelap pekat itu, sepasang mata merah menyala memancarkan cahaya menakutkan.
“—Anda benar-benar kurang sopan yah, Shizuku-san.”
Mata merah itu mengeluarkan suara yang terdengar seperti teguran.
“Etiket tidak ada hubungannya dengan ini!”
Sebuah tendangan terbang dari arah samping menghantam mata merah itu dengan keras.
Benturan dahsyat dan suara ledakan menggema.
Namun, sosok dengan mata merah itu terlempar ke dalam kegelapan tanpa sempat menampakkan diri di bawah cahaya lampu jalan.
“Ha! Itu tendangan yang bagus, Elteel!”
Suara tawa lantang terdengar saat seorang wanita lain mendarat di tanah.
Ia memiliki rambut hitam dengan sejumput merah di salah satu bagian, rokok terselip di antara bibirnya, dan kulit cokelat eksotis.
Jaket hitamnya tidak dikenakan sepenuhnya, hanya disampirkan di bahu, sementara ujung celana panjang di kaki kanannya dipotong dengan sangat pendek.
“Tak perlu berterima kasih, Shizuku!”
Gadis berambut perak itu hanya membalas dengan menarik pelatuk senjatanya.
Tembakan jarak dekat itu tepat mengenai dada wanita berkulit cokelat tersebut.
Namun—
“Senjatamu memang selalu tidak sesuai dengan penampilanmu… Tapi itu tak akan bisa melukaiku.”
Peluru yang menghantam dadanya jatuh begitu saja tanpa meninggalkan goresan pada kulit maupun pakaiannya.
Sambil tersenyum tipis, wanita itu dengan santai menjentikkan peluru tersebut.
“Tcheh—!”
“Hei, jangan terlalu membenciku ya!”
Gadis berambut perak itu melompat mundur, namun wanita berkulit cokelat itu segera mengejarnya.
Jarak yang semula hanya beberapa langkah langsung terpangkas dalam sekejap.
Tepat ketika wanita itu melayangkan tinjunya dengan penuh semangat, terdengar suara lembut,
“Tampaknya giliranku untuk membalas, Lonzder-san.”
Sebuah suara baru terdengar.
“…!”
Dengan refleks cepat, wanita berkulit cokelat itu memutar tubuh dan melancarkan pukulan ke belakangnya.
Dummp!
Suara berat terdengar, seperti sesuatu yang sangat keras dihantam hingga hancur.
Namun, di sekitarnya tidak ada apa-apa—hanya bayangan samar yang diterangi cahaya redup.
Meski begitu, wanita itu menyadari sesuatu: darah perlahan menetes dari kulitnya yang semula tak dapat dilukai oleh peluru.
Namun ia hanya menyeringai, kemudian menatap seorang gadis berambut pirang kecokelatan yang perlahan mendekat dengan langkah ringan.
“Kau terlambat, Aery.”
“Pemeran utama itu selalu datang terakhir, Diah-san.”
Gadis itu memiliki rambut cokelat pirang dan mengenakan seragam.
Mata kirinya berwarna biru kehijauan, sementara mata kanannya berwarna merah muda pucat—berkilauan dalam kegelapan.
“…Kclares-san.”
“Ah, Shizuku-chan. Kau boleh berterima kasih padaku lho.”
Gadis berambut perak itu memanggil nama si pendatang baru dengan nada jengkel.
Nada suaranya seperti enggan berbicara, tetapi merasa perlu untuk melakukannya.
“…Jangan harap. Lagipula, jika Lonzder-san tidak bereaksi cepat, kau pasti akan mengenainya juga.”
“Hehe, siapa yang tahu? Bagaimana menurutmu, Elteel?”
“Anda memang selalu suka mengelak ya, Kclares-san.”
Yang menjawab adalah seorang wanita tinggi yang muncul dari kabut hitam.
Ia memiliki rambut pirang yang indah dan tubuh yang hampir setinggi dua meter, mengenakan mantel panjang berwarna hitam dengan jahitan yang tampak kasar.
“Penampilanmu cukup menyenangkan untuk dilihat, Elteel.”
Wanita itu ternyata tidak mengenakan apa pun di balik mantel panjangnya.
“Harap jangan pedulikan diriku ini.”
Wanita berambut pirang itu mendesah pelan, menundukkan pandangan sambil mencibir.
“—Tampaknya semuanya sudah berkumpul di sini.”
Seorang gadis berambut perak dengan senapan snipernya, Shizuku.
Seorang wanita berambut pirang mengenakan mantel tanpa pakaian, Elteel.
Seorang wanita berkulit cokelat dengan rambut hitam, Lonzder.
Seorang gadis berambut cokelat muda dengan tongkat di tangannya, Kclares.
Keempat gadis dan wanita itu saling berhadapan di bawah cahaya temaram.
Yang pertama membuka mulut adalah Kclares.
Ia mengetukkan tongkat yang berwarna zamrudnya sekali dan berkata:
“Jadi. Karena tujuan kita sama, bagaimana dengan situasi ini? Aku akan bertanya saja, bagaimana jika kita berempat bekerja sama untuk menyelamatkan Norman-sensei?”
Gadis yang dikenal sebagai Aery itu melontarkan pertanyaan dengan senyuman menawan.
“…Tidak mungkin.”
“Aku menolak.”
“Itu bahkan tak pantas disebut lelucon. Kenapa kau tidak jujur saja? Kau ingin menjadi pemeran utama, dan meminta kami menjadi figuranmu.”
“Seperti yang diharapkan. Cepat sekali paham.”
Kclares terkekeh, memainkan gagang tongkatnya di tangan sambil mengarahkan pandangan.
“Bagiku, karena kita sudah berkumpul, aku ingin kita bekerja sama. Ini pertama kalinya kita semua bertemu lagi setelah satu setengah tahun, kan?”
“…Meminta kita untuk bekerja sama? Lucu sekali, Kclares-san.”
“Ada apa, Shizuku-chan?”
Kclares menyunggingkan senyum lembut ke arah Shizuku, yang membalas dengan senyum menyeringai tipis.
“Norman-kun mengalami masalah tepat setelah giliranku selesai, kan? Dan sekarang seperti ini? Nama Aerystep milikmu sungguh memalukan.”
Mata kuning gelap Shizuku menancap pada Kclares, mencemooh sekaligus menuntut.
“Seharusnya kau berkata, Tolong bantu aku, karena ini kesalahanmu yang tidak bisa melindungi Norman-kun.”
“─Seperti yang diharapkan, tajam sekali, Shizuku-chan.”
Senyum Kclares yang membalas terlihat seperti topeng yang terpatri di wajahnya.
“Memang, mungkin ini bisa disebut kelalaianku. Aku terima. Tapi, hei, Lonzder-chan, bukankah kau juga bisa menyadari bahaya yang mengancam Norman-sensei? Aku yakin kau selalu mendengarkannya meskipun bukan giliranmu.”
Lalu, Kclares melanjutkan.
“Dan kau, saat menyerang orang lain, cara bicaramu jadi lebih cepat.”
“─Tsk.”
Kini giliran Shizuku yang menerima tatapan tajam. Ia mendecakkan lidahnya akibat sindiran Kclares.
“Kalau memang ada kesalahan... tidak, ini akan terdengar seperti alasan. Tapi kita sama-sama bersalah, kan? Bukankah hubungan kita memang seperti itu? Bagaimana menurutmu, Tuan detektif dan Siriusflame-chan?”
“Kenapa aku dipanggil dengan -chan?”
“Kau itu imut, tentu saja.”
“Memang benar aku ini wanita yang imut dan luar biasa cantik, tapi -chan itu tidak cocok.”
Yang memotong pembicaraan adalah Lonzder, yang sedang memegang rokok di antara jarinya.
“Sepertinya mereka tidak akur. Bagaimana, Elteel, maukah kita saling akur saja?”
“Betapa bodohnya.”
“Kau kan anjingnya Norman, bukan?”
Perkataan Lonzder membuat Elteel mengerutkan alis.
Di hadapannya, wanita cantik itu menghembuskan asap rokok sambil berkata:
“Kalau kau anjingnya dia, kenapa tidak jadi anjingku juga? Aku sudah lama memikirkannya.”
“Kau benar-benar tidak tahu sopan santun.”
“Hah! Yang tidak sopan itu kau, Siriusflame.”
“Kau juga sangat menjengkelkan. Apa kau hanya bisa berbicara jika memaksakan pemikiranmu sebagai kebenaran? Aku bisa membayangkan betapa lelahnya Tuan Norman harus menghadapi dirimu.”
“Itulah tugasku. Lagipula, Norman-sama menikmati itu semua. Dia itu masokis.”
“Apa? Justru dia hebat dalam menyerang.”
“Haha. Tampaknya soal itu ada banyak perbedaan pendapat. Benar, Shizuku-chan?”
“…Konyol. Kita tidak punya waktu untuk membahas itu.”
Keempat orang itu saling melontarkan kata-kata tajam, menyembunyikan permusuhan mereka di balik sindiran.
Seperti binatang buas yang berebut mangsa, mereka saling menatap.
Pada akhirnya, satu hal yang ingin mereka katakan adalah sama.
Meskipun kepribadian mereka sepenuhnya berbeda, dalam hal ini mereka sepemikiran.
Jadi, ───jangan menghalangi kami.
Dengan sikap, gerakan, aura, dan segala hal selain kata-kata, mereka menyampaikan niat itu ke segala arah.
“Aku juga suka berbincang, tapi kalau dengan kalian, itu lain cerita. Aery itu satu hal, tapi dua orang lainnya bahkan tak perlu dibahas,” ujar Lonzder.
“Jangan bicara sembarangan soal orang lain, Lonzder-san,” jawab Elteel dengan dingin.
“…Setuju dengan Elteel-san saja sudah membuatku kesal, tapi kali ini dia benar. Itu bukan urusanmu. Aku hanya peduli pada Norman-kun,” kata Shizuku.
“Ahaha, sudah kuduga. Pembicaraan ini memang tidak akan berjalan lancar,” ujar Kclares dengan tawa kecil.
Mereka semua saling memandang seolah yang lain adalah musuh bebuyutan.
Meski cara mereka berbeda, inti sikap mereka sama.
Shizuku menggigit ujung sarung tangan kulitnya untuk melepasnya, lalu mengangkat jarinya.
Elteel membungkuk dengan punggung melengkung dan giginya terlihat mencolok.
Lonzder menyeringai mengerikan sambil mematahkan buku-buku jarinya.
Kclares tetap memasang senyuman ramah sambil mengetukkan tongkatnya ke permukaan jalan berbatu.
Keempat gadis itu───keempat Unlaws───membebaskan diri mereka sepenuhnya.
Melepaskan sesuatu yang melawan hukum dunia ini.
‹›—♣—‹›
“────Bagaimana pendapatmu?”
“Hmm... ah.”
Norman mencoba menggerakkan lengannya untuk merespons pertanyaan itu, tetapi ia teringat bahwa dirinya tengah terbelenggu. Setelah mendesah, ia tersenyum lebar.
“Aku sungguh terharu, empat orang itu datang untuk menyelamatkanku.”
“…Jujur saja, menurutku senyumanmu itu terlalu penuh dengan kebohongan.”
Sepasang mata emas milik Jim menyipit setengah, menunjukkan ekspresi jengah.
Kata-katanya terdengar aneh, terutama di tengah situasi di mana mereka berbicara soal pertarungan hingga mati.
Jika itu benar, Norman terlalu tak berperasaan sebagai manusia. Jika itu bohong, maka kebohongannya terlalu kentara.
Apa yang sebenarnya ada dalam benak Norman? Saat ini, Jim sama sekali tidak tahu. Begitu juga di masa lalu—ia tidak pernah benar-benar memahaminya.
“…Hem. Bagaimanapun, tugasku adalah mendengar detail peristiwa yang terjadi padamu selama sebulan terakhir.”
“Aku sudah menyerahkan laporannya kepada kakak perempuanku. Harusnya kau sudah membacanya. Bahkan, kita sudah membahasnya beberapa kali di ruang kerjamu, bukan? Kenapa mesti mengulanginya lagi?”
“Tentu saja. Aku punya tujuan utama lain. Namun, sebelum itu, ini adalah langkah yang perlu diambil. Anggap saja sebagai proses verifikasi—atau mungkin, ritual formal.”
“…Dan kalau aku benar-benar mengabaikanmu sepenuhnya, apa yang akan terjadi?”
Dengan senyum lebar di wajahnya, Jim perlahan menelusuri lehernya sendiri dengan tangan kanan.
“…Menarik.”
“Tapi aku baik hati, aku bisa menyelamatkan nyawamu kalau aku mau! Namun, kalau begitu, kau akan sepenuhnya menjadi milikku! Hmm, tunggu! Itu mungkin lebih menyenangkan! Apa yah yang harus kulakukan padamu?”
“Baiklah, aku akan menjawab apa yang ingin kau ketahui. Sebagai gantinya, setelah kau puas, aku juga ingin menanyakan sesuatu.”
“Oh! Baiklah, aku setuju!”
Dengan semangat, Jim membuka binder yang ia pegang dan berhenti pada salah satu halaman.
“Pertama-tama, ini dia! Dalam sebulan terakhir, kau dan Unlaws-mu telah membuat kota ini geger, bukan? Empat insiden, empat makhluk aneh. Mari kita mulai dari kasus pertama: kematian misterius di sebuah rumah besar. Tapi kalau Unlaws terlibat, itu bukan sekadar pembunuhan biasa. Apalagi kalau yang menyelesaikannya adalah Teardrop! Tidak ada trik yang bisa menipu Teardrop! Nah, bagaimana perasaanmu menghadapi semua itu dengan alat itu di tanganmu?”
“Hmm... kalau harus kuungkapkan, mungkin soal betapa pentingnya sesuatu yang istimewa?”
“Awalan yang tidak terlalu buruk!”
Jim berbicara dengan penuh semangat, seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.
Meskipun ia menculik dan menginterogasi Norman, tidak ada sedikit pun rasa permusuhan atau niat jahat dalam sikapnya.
Kesantaian Jim seolah sedang berbicara dengan seorang teman—itulah yang membuatnya terasa begitu mengerikan.
“Ayo, ceritakanlah. Kisah tentang Unlaws itu bukan sebuah misteri. Apakah itu aksi? Atau mungkin thriler? Horor? Atau malah kepanikan akibat monster?”
“…Entahlah. Maaf, tapi jangan terlalu berharap. Mungkin tidak ada satu pun yang cocok.”
Jika ada yang bertanya apa genre cerita ini, jawabannya akan sulit diberikan.
Kalau bisa dikategorikan seperti itu, semuanya pasti jauh lebih sederhana, pikir Norman.
“Hanya saja, ada satu koreksi, Jim Adamworth.”
“Mari kita dengar, Norman Hamish.”
Norman merangkai kata-katanya, hal yang sama yang ia ungkapkan barusan.
Namun, meskipun harus diulang berkali-kali, ia akan terus mengatakannya.
“Ini bukanlah kisah tentang monster. ─── Ini adalah kisah tentang manusia.”
Gadis itu gemetar di sudut sebuah ruangan gelap.
Kedua orang tua yang seharusnya ada di sisinya telah lama melarikan diri, meninggalkan dia sendirian selama ini.
Bukan hanya orang tuanya.
Tetangganya, bahkan penghuni rumah di sebelah pun, telah hampir kehilangan nyawa karena dirinya.
Karena itu, gadis itu terus gemetar.
Bertanya-tanya kenapa semua ini terjadi padanya.
Apakah dia telah melakukan sesuatu yang buruk?
Namun, dia tidak menemukan jawaban.
Faktanya, dia hanya bisa tetap tinggal di kamar yang sempit itu tanpa keberanian untuk keluar, terus-menerus diliputi rasa takut.
Jika keadaan terus seperti itu, gadis itu mungkin akan mati kelaparan.
“---Hei, halo.”
Di hadapannya yang putus asa, seorang anak laki-laki muncul.
Dia mengenakan topi hitam dan mantel lusuh yang terlihat sudah usang.
“Jangan… jangan mendekat!”
Dengan suara serak, gadis itu berteriak.
Rasa takut itu bukan karena anak laki-laki tersebut.
Dia hanya takut bahwa sesuatu dalam dirinya akan melukai pemuda itu.
“Hmm? ...Ah, maaf karena tiba-tiba datang. Aku mungkin terlihat mencurigakan, tapi aku bukan orang yang berbahaya.”
Anak laki-laki itu berhenti seperti yang dikatakannya sendiri, lalu tersenyum santai.
Seolah-olah dia mencoba menenangkan gadis itu.
“...Apa... tidak ada yang terjadi? Meski kau mendekatiku...”
“Ya, sepertinya begitu. Itulah mengapa aku datang untuk menyelamatkanmu.”
Semua orang di sekitar gadis itu akhirnya tidak bisa lagi berada di dekatnya.
Suatu hari, dia tiba-tiba menjadi sendirian.
Seperti bunga layu yang ditinggalkan di sudut gua gelap tanpa cahaya.
Namun, anak laki-laki itu muncul dengan sikap santai, seolah hanya sedang berjalan-jalan, lalu mengulurkan tangannya.
“Aku tidak tahu apakah ini adalah yang kau inginkan. Tapi setidaknya, aku bisa memastikanmu tidak lagi gemetar di sudut ruangan seperti ini.”
‹›—♣—‹›
Mata kuning gelapnya yang selalu setengah tertutup justru menonjolkan daya tariknya.
Meski usianya baru saja 16 tahun, tubuhnya pendek, dan perkembangan fisiknya tergolong mengecewakan. Namun, semua itu adalah ciri khas dari Shizuku Teardrop.
Dia selalu memakai tudung. Pakaian yang dikenakannya, entah celana untuk anak laki-laki atau rok, selalu dilengkapi stoking atau legging, dengan sarung tangan yang tak pernah lepas. Penampilannya menolak segala bentuk keterbukaan. Di bahunya, terdapat kotak alat musik biola.
Dari balik tudungnya, rambut putih yang mencuri perhatian terurai ke bawah.
Shizuku muncul dari bayangan sebuah kereta kuda yang lewat.
Dia menyeberangi jalan dan berjalan ke arah Norman, yang berdiri di depan air mancur.
Norman berpikir bahwa gadis itu terlihat tidak cocok dengan taman yang damai ini.
“Walaupun mungkin cocok dengan cuaca cerah seperti ini,” pikirnya.
“Itu ejekan terhadap tudungku, ya?”
Cara Shizuku berjalan dengan tubuh kecil yang sedikit membungkuk, ditambah dengan pakaiannya yang tertutup rapat, memberikan kesan bahwa dia tidak cocok di mana pun. Seperti bunga yang selalu kuncup di dalam kegelapan, menolak sinar matahari, dan tidak pernah mekar.
Dia tampak seperti gadis yang, jika dibiarkan, akan layu begitu saja dan menghilang.
“Hai, Shizuku. Lama juga ya. Tapi jangan khawatir, aku juga baru saja sampai.”
“Itu apa-apaan, Norman-kun?”
Suara Shizuku terdengar jernih. Tapi ada sedikit rasa jengkel di nada bicaranya.
Saat Norman memiringkan kepala karena responsnya tidak seperti yang dia harapkan, rambut yang diikat di belakang kepala Shizuku bergoyang.
“Aneh sekali. Bukankah kamu pernah bilang, jika kita bertemu sebelum waktu yang dijanjikan, kita harus bilang aku baru saja sampai berapa lama pun kita menunggu?”
“Itu hanya berlaku jika bertemu sebelum waktu yang ditentukan. Kalau salah satu pihak terlambat dan tetap bilang begitu, bukankah itu berarti kamu juga terlambat?”
“Ah, benar juga.”
“Sudahlah…”
Shizuku menghela napas dari balik tudungnya.
Sebuah helaan napas yang mencampurkan rasa kesal, senyum kecil, dan kebahagiaan.
“Baiklah, aku terlambat. Maaf. Tapi kenapa kita bertemu di tempat seperti ini?”
“Menurutku tempat ini tidak buruk. Katanya ini tempat pertemuan yang populer.”
“Katanya? Apa kamu pernah menggunakannya untuk bertemu seseorang sebelumnya?”
“Tidak juga. Aku jarang ada urusan di daerah ini.”
“Tentu saja. Aku pun begitu. Itu sebabnya aku tersesat.”
“Namun aku tahu kalau tempat ini terkenal sebagai lokasi pertemuan.”
“Norman-kun selalu tahu hal-hal yang aku tidak tahu ya.”
“Yah, mungkin begitu.”
Shizuku Teardrop.
Percaya atau tidak, dia adalah seorang hikikomori.
Di usia 16 tahun, anak perempuan dari keluarga pedagang atau bangsawan biasanya akan bersekolah di akademi untuk calon istri, atau jika berasal dari keluarga miskin, mereka mungkin sudah menikah atau bekerja.
Namun, Shizuku tidak sekolah, tidak menikah, tidak bekerja, dan hanya mengurung diri di penginapan kecilnya sambil memainkan biola, hobinya.
Walau penampilannya sama sekali tidak mencerminkan sifat aneh itu.
Norman mengangkat bahu.
“Bagaimanapun, ayo kita pergi.”
Dia mulai melangkah, dan Shizuku, tanpa menjawab, mengikutinya dengan langkah mantap.
Ada jarak selebar kepalan tangan di antara mereka.
“Jadi?”
Sebuah tatapan dingin menusuk Norman.
Dia tidak menjawab, hanya mengeluarkan sebuah map dari dalam mantelnya dan menyerahkannya.
“…”
Tanpa sepatah kata, Shizuku mengambil map itu. Di dalamnya terdapat beberapa dokumen dan foto.
Yang pertama dia lihat adalah foto seorang wanita bangsawan yang tersenyum.
“Siapa ini?”
“Mary Wallwood. Presiden perusahaan pengangkutan. Lima tahun yang lalu, dia mewarisi perusahaan mendiang suaminya dan berhasil membawa kesuksesan sebagai seorang wanita karier hebat.”
“Berapa umurnya?”
“Tiga puluh lima tahun.”
“Harusnya kamu bilang, usia terakhirnya tiga puluh lima tahun.”
Dengan gerakan malas dan terlihat bosan, Shizuku membalikkan foto itu.
Di baliknya, ada foto jasad Mary Wallwood.
Meski cara kematiannya cukup mengejutkan, wajah Shizuku tetap datar saat dia menutup map itu.
“Di usia itu, berhasil membuat perusahaan pengangkutan sukses artinya dia memang orang yang sangat kompeten, kan?”
“Dengan tembok sebesar itu mengelilinginya, wajar saja.”
Norman menatap ke atas, dan Shizuku mengikuti pandangannya.
Di hadapan mereka, terlihat sebuah tembok raksasa.
Kota bertembok Balldium, seperti namanya, dikelilingi tembok besar di sepanjang tepinya.
Berjalan dari ujung ke ujung, bahkan dengan tergesa-gesa, memakan waktu satu hari penuh.
Di pusat kota terdapat sebuah menara yang sangat tinggi, tetapi tembok itu bahkan lebih tinggi dari menara itu.
Tidak ada yang tahu berapa banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk membangun tembok sebesar itu.
Setelah satu setengah tahun tinggal di kota ini, Norman tidak pernah tertarik untuk mencari tahu sejarahnya.
Namun, ada satu hal yang dia tahu:
“───Kota ini tidak pernah merasakan angin yang bertiup.”
Angin biasanya berhembus dari mana saja dan ke mana saja, tapi di kota ini, tidak ada yang bisa disebut sebagai angin.
Ada sedikit aliran udara, tetapi tidak cukup kuat untuk disebut angin. Seolah-olah kota ini terputus dari dunia luar.
“Bagi orang yang lahir di kota ini seperti aku, itu hal yang biasa saja,” kata Shizuku sambil mengangkat bahu.
“Karena kota ini terletak di daerah terpencil, keluar pun sulit. Selain itu, hampir semua kebutuhan hidup bisa dipenuhi di dalam kota, jadi tidak ada kebutuhan untuk mencari keluar.”
“Meski begitu, tetap ada hal-hal yang tidak cukup. Untuk itu, kota ini harus bergantung pada dunia luar. Itu sebabnya perusahaan pengangkutan di sini sangat penting.”
“Ya, ya. Aku ini hikikomori, jadi itu tidak penting bagiku.”
“Justru karena kamu hikikomori, kamu menerima manfaatnya, tahu.”
“Sudahlah, lupakan soal itu.”
Dengan bunyi basun, Shizuku mengembalikan map yang tadi diberikan.
“Jadi, setelah sekian lama tidak bertemu, kita langsung membicarakan pekerjaan?”
“Karena ini pekerjaan.”
“Ilegal, ya?”
“Jangan asal tuduh. Eh… maksudku, ini tentang novel misteri.”
Kalimat terakhir ditujukan kepada seorang pria muda yang berpakaian rapi dengan mantel ekor walet dan topi sutra yang melintas. Dilihat dari penampilannya, dia mungkin bangsawan.
Pria itu sempat berhenti mendengar kata “ilegal” keluar dari mulut seorang gadis kecil, tetapi Norman tersenyum ramah dan melanjutkan pembicaraan.
“Oh, begitu. Kalau begitu, gadis muda ini pasti asistennya, ya?”
Dengan senyum sopan, pria itu memberi anggukan kecil sebelum pergi.
“Kenapa tiba-tiba ada pembicaraan tentang asisten?” Shizuku bertanya sambil mendekat, menyadari jaraknya yang sempat menjauh.
“Kamu tidak tahu? Beberapa tahun lalu ada novel misteri yang populer. Di ibu kota, itu sangat terkenal, dan bahkan di Balldium, semua orang membacanya tahun lalu.”
“Semua orang yang dimaksud itu siapa?”
“Yah… mungkin siapa pun selain kita berdua.”
“Aku tidak tahu. Membaca buku penuh huruf hanya membuat kepalaku sakit.”
Entah kenapa, itu bukan kalimat yang ingin didengar dari seorang gadis cantik yang keren dengan aura dingin.
“Ceritanya seperti apa?”
“Protagonisnya adalah seorang detektif jenius, dan dia memecahkan kasus dengan bantuan asistennya, meskipun si asisten sering kerepotan.”
“Begitu ya... heh.”
Shizuku menundukkan kepala dan menyeringai kecil. Senyum itu terlihat aneh untuk gadis seusianya.
“Kalau begitu, kamu pasti asistennya, Norman-kun.”
“... Yah, mungkin begitu.”
“Pfft… haha…”
Tampaknya dia benar-benar merasa lucu. Bahunya bergetar kecil sambil menahan tawa.
“Yang menarik dari novel itu, menurutku, adalah bagaimana si asisten selalu kerepotan dengan tingkah laku detektifnya yang agak gila, tapi tetap setia menemaninya sambil mengeluh.”
“Hahaha… memang cocok sekali denganmu, Norman-kun!”
Bahunya semakin berguncang, membuat Norman merasa tidak puas.
“Fuu. Maaf, aku jadi tidak sopan. Tapi Norman-kun tidak pernah mengeluh, kan?”
“Benarkah? Apa iya…?”
“Ya. Kalau pun kamu mengeluh, aku tidak akan mendengarnya.”
“Dasar kau…”
“Haha…”
Tubuh Shizuku yang bergetar karena tawa tanpa sengaja menyentuh Norman.
“Baiklah, ayo pergi, Joshu-kun (asisten-kun). Membicarakan kasus pembunuhan itu tidak menarik sama sekali.”
“Seorang detektif hebat tidak akan berkata seperti itu.”
Mungkin.
‹›—♣—‹›
Setelah berjalan sekitar tiga puluh menit, mereka tiba di kediaman Wallwood, sebuah rumah mewah dua lantai yang cukup megah.
Ruang pribadi sang pemilik rumah, Mary, yang juga merupakan tempat kejadian pembunuhan, sama mewahnya.
Di tengah ruangan terdapat meja kerja besar, sedangkan di sepanjang dinding terpasang rak-rak penuh dengan buku dan dokumen yang tersusun rapi. Sebagian besar di antaranya adalah file dan binder.
Ada dua jendela besar yang cukup lebar hingga memungkinkan seseorang untuk masuk, dengan pencahayaan alami yang sangat baik.
Dekat langit-langit terdapat satu ventilasi kecil, sepertinya hanya cukup untuk dilewati tikus.
Karpet di ruangan itu begitu tebal dan empuk hingga terasa seperti tubuh akan tenggelam ketika menginjaknya.
Ruangan ini benar-benar bagus.
Namun, masalahnya adalah─meja kerja itu patah menjadi dua, dengan bekas darah di atasnya.
Norman mengambil sebuah file dan membandingkan isinya dengan foto Mary dalam pakaian santainya—sebuah foto yang memperlihatkan lokasi pembunuhan. Dalam foto tersebut, Mary terlihat terhimpit di antara meja kerja yang patah.
Lebih tepatnya, bagian dadanya remuk parah, tulang-tulang menembus keluar dari dagingnya, sementara organ dalamnya kemungkinan besar hancur berkeping-keping.
Bahkan jika seseorang membuat Mary duduk di atas meja kerja lalu memukulnya dengan palu baja raksasa, hasilnya tidak akan seperti ini.
Meja yang kokoh tersebut benar-benar hancur.
“Begitu, ya,” gumam Norman.
“Oi, Hamish,” sebuah suara menyapanya.
Suara itu bukan berasal dari Shizuku, melainkan seorang pria bertubuh tinggi, kurus, mengenakan mantel hijau lumut yang sudah lusuh serta setelan hitam yang tampak lelah.
Rambutnya dipotong pendek, menunjukkan lebih banyak prioritas pada kepraktisan dibandingkan estetika.
Wajahnya lumayan menarik, namun kantung mata yang gelap dan ekspresi letih membuatnya tampak kurang menarik bagi perempuan.
Pria itu adalah Harrison Leonard, seorang detektif dari Kepolisian Balldium, sekaligus kenalan lama Norman.
Namun, setiap kali bertemu Harrison, Norman selalu merasa pria itu tampak lelah hingga membuatnya khawatir.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Harrison dengan nada datar.
Norman mengangkat bahu. “Entahlah.”
“Aku tidak terlalu berharap dengan kemampuan deduksimu,” kata Harrison dengan suara yang penuh keletihan.
“Aku hanya ingin tahu apakah kau memahami situasinya.”
“Oh, soal itu, ya, sepertinya aku cukup paham. Mayatnya, meja yang hancur, dan...”
Norman melirik ke sudut ruangan di mana Shizuku berdiri diam sambil mengamati, lalu menggeser pandangannya ke satu-satunya pintu masuk yang ada.
Pintu itu tampaknya dulunya memiliki daun pintu, namun sekarang sudah hancur dan hanya menyisakan bingkai saja.
“Pintu yang hancur. Bagaimana dengan jendelanya?”
“Ketika kejadian, sudah dipastikan bahwa jendelanya masih terkunci,” jawab Harrison.
“Begitu. Jadi, hanya ventilasi kecil di langit-langit yang ukurannya bahkan hanya cukup untuk dilewati tikus,” gumam Norman sambil mengangguk.
“Jadi ini adalah pembunuhan dalam ruang tertutup, ya? Dengan kondisi korban yang sangat tidak wajar. Tentu saja, pelakunya belum ditemukan, dan metode pembunuhannya juga masih menjadi misteri.”
“Itulah sebabnya aku memanggilmu,” kata Harrison.
“Ya, itu sudah jelas,” jawab Norman, yang mendapat anggukan dingin dari Harrison.
Raut wajah pria itu menunjukkan bahwa ia memanggil mereka karena tidak punya pilihan lain, meskipun sebenarnya ia enggan melakukannya.
Bukan berarti Harrison tidak kompeten. Ia juga tidak sembarangan melanggar struktur kekuasaan atau hukum dengan menyerahkan dokumen kasus pembunuhan kepada sipil untuk menyelidikinya.
Ini adalah pekerjaan Norman dan Shizuku.
Kasus-kasus yang secara logis tidak mungkin terjadi.
Metode kejahatan yang menentang hukum alam.
Korban atau jenazah dengan kondisi yang tidak masuk akal.
Hal-hal yang seharusnya mustahil dilakukan manusia—namun tetap terjadi.
“Hal semacam ini memang pekerjaan kalian, para detektif,” kata Harrison.
“Sebutan itu rasanya kurang pas,” jawab Norman. “Di lapangan, kami lebih sering disebut sebagai penyelidik dari Cartesius, meskipun organisasi ini tidak dikenal secara publik.”
“Organisasi itu memang tidak resmi, kan? Dari sudut pandang polisi yang tidak berhubungan langsung denganku, kalian hanya orang luar yang seenaknya masuk dan melakukan penyelidikan sendiri. Jadi, menyebut kalian detektif jauh lebih mudah.”
“Yah, sulit untuk menyangkalnya,” kata Norman sambil mengangguk.
“Kalau begitu, kerjakan tugas kalian. Aku akan berbicara dengan penghuni rumah ini. Mereka tampaknya mencurigai kalian.”
“Kalau begitu, katakan saja kami adalah seorang detektif terkenal,” canda Norman.
“Itu tidak lucu.”
Harrison keluar dari ruangan dengan langkah santai yang sudah menjadi ciri khasnya.
“Padahal aku sudah berusaha membuat lelucon yang lucu,” keluh Norman.
“Sepertinya kamu perlu menerima kenyataan bahwa leluconmu tidak lucu, Norman-kun,” ujar Shizuku dengan nada dingin.
Ia melirik ke arah pintu keluar yang baru saja dilewati Harrison dan berkata, “Dia tetap orang yang tidak punya semangat, seperti biasa. Meskipun, masih lebih baik dibandingkan dirimu.”
“Aku bukannya tidak punya semangat. Aku hanya tahu kapan harus menunjukkannya. Lagipula, dia memanggil kami ke sini, yang artinya tugasnya adalah berurusan dengan polisi dan penghuni rumah ini,” jelas Norman.
“Baiklah,” balas Shizuku malas.
Gadis itu memang tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada dunia di sekitarnya.
“Kalau begitu, kita mulai saja.”
“Ya, aku serahkan padamu,” kata Norman.
Shizuku menggigit ujung sarung tangan kanannya, lalu menariknya hingga terlepas. Ia kemudian melakukan hal yang sama pada tangan kirinya, sebelum mengulurkan tangannya pada Norman.
Norman dengan lembut meraih tangan kecil itu—terasa lembut dan rapuh, seperti bisa hancur hanya dengan sedikit tekanan.
Mereka mendekati meja yang terbelah dua. Shizuku meletakkan tangan kosongnya di permukaan meja, menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik pelan.
“─[vision]”
Dalam sekejap, dunia Norman dan Shizuku pun berubah.
Norman dan Shizuku mendengar suara.
Sebuah gema, di mana sesuatu memantul pada sesuatu yang lain, dan suara itu menciptakan sebuah visual.
Ruang kerja itu muncul di depan mereka. Pintu dan jendelanya terkunci rapat.
Meja masih dalam kondisi utuh.
Di depan meja, Mary Wallwood bersandar dengan pakaian tidur.
Dia terlihat ketakutan.
Tubuhnya gemetar, ekspresinya kaku.
Matanya memancarkan ketakutan, kebingungan,───dan penolakan.
Mary tampaknya berteriak sesuatu.
Namun, pada detik berikutnya, tubuh Mary hancur.
Dada Mary remuk bersama meja kerja yang kokoh, membelahnya menjadi dua.
Pemandangan itu terjadi seperti lelucon yang absurd.
Mustahil bagi manusia untuk melakukannya.
Keterkejutan dan kengerian menguasai pikiran mereka.
Jika hal itu bisa terjadi, maka hanya monster yang mungkin melakukannya.
“Hah───”
Suara Shizuku yang menahan napas, seperti mengalami kejang, terdengar bersamaan dengan perubahan dunia di sekeliling mereka.
“Huu... huu...”
Dia memegang kepalanya, menunggu hingga kondisinya kembali stabil.
Norman merangkul bahu Shizuku yang goyah untuk membantunya berdiri.
Di dunia ini, tidak ada yang namanya sihir atau keajaiban.
Hanya ada kenyataan, logika, manusia biasa, dan sesuatu yang disebut Unlaws.
Makhluk yang bersembunyi, berubah, menyimpang, dan melenceng dari norma.
Makhluk yang menyerupai manusia yang mampu melakukan hal-hal mustahil bagi manusia.
Bagi Shizuku, ini disebut Echo Howling.
Kemampuan yang ia sebut “Vision” hanyalah aplikasi dari kekuatan itu.
Dia bisa membaca sesuatu yang seperti “jejak pikiran” dari benda yang disentuhnya dan melihatnya sebagai visi.
Awalnya, Norman berpikir bahwa dia hanya melihat sisa-sisa ingatan.
Namun, berdasarkan apa yang dia dengar, itu tampaknya lebih dari itu.
Karena terkadang, “Vision” milik Shizuku secara tidak sengaja menunjukkan visi dari masa depan, di luar kendalinya.
Jadi, apa yang dia lihat bukan hanya sekadar sisa ingatan.
Shizuku bisa membaca visi secara sukarela, tapi dia juga bisa melihatnya secara kebetulan dari benda yang disentuhnya.
Inilah sebabnya dia membatasi kontak langsung.
Sarung tangan adalah kebutuhan untuk menghindari penglihatan yang tidak disengaja, dan menjaga jarak dari orang lain adalah cara dia mencegah melihat hal-hal yang tidak perlu. Itu adalah strategi bertahan hidup versinya sendiri.
Kemampuan ini memungkinkan dia melihat visi masa lalu atau masa depan───jejak gema yang menyimpang dari hukum dunia.
Itulah sebabnya orang yang memiliki kemanpuan supernatural seperti itu disebut Unlaws.
Shizuku Teardrop, pemilik “Echo Howling”, bisa berbagi visinya dengan orang lain selama dia menyentuh mereka.
Norman bekerja dengan Unlaws seperti Shizuku untuk menyelidiki kasus-kasus dan kecelakaan yang mustahil bagi manusia.
Meski begitu, dia belum pernah melihat Shizuku berbagi visi dengan orang lain selain dirinya.
“Sudah tenang? Shizuku.”
“Ya, lumayan. Tapi tetap saja...”
Shizuku menghela napas, rambut peraknya bergoyang lembut.
Kemampuan ini sering kali menyeretnya ke dalam kasus pembunuhan yang tidak dapat dijelaskan.
Namun, begitu dia melihat visinya, pelaku biasanya langsung ketahuan.
Kadang, kasus pembunuhan yang tampak mustahil hanya berujung pada fakta bahwa pelaku bekerja sangat keras untuk menyembunyikan jejaknya.
Tapi kali ini─
“Aku tidak melihat pelakunya.”
“Iya, aku juga.”
Dalam visi itu, tidak ada tanda-tanda pelaku.
Selain itu, “Vision” tidak bisa menangkap jejak Unlaws.
“Jadi, masalahnya sekarang adalah, jenis Unlaws apa yang kita hadapi.”
Norman berkata sambil berpikir keras. Namun, Shizuku tidak langsung menjawab.
Sebaliknya, dia mengeluarkan sebungkus permen cokelat dari sakunya.
Dengan sarung tangan kulitnya, dia membuka bungkus cokelat itu dengan hati-hati.
Sikapnya memperlihatkan betapa tidak tertariknya dia pada kasus ini.
“Memikirkan itu adalah tugasmu,” katanya ringan.
“...Aku berharap kamu bisa sedikit menjadi Detektif, setidaknya kali ini.”
Masalahnya adalah───
Bagaimana caranya membuat detektif yang sama sekali tidak bersemangat ini bekerja.
Jika saja dia mau terlibat sepenuhnya, kasus ini pasti akan cepat selesai.
‹›—♣—‹›
Shizuku Teardrop sebagai seorang detektif ternama dan asistennya, untuk sementara abaikan dulu hal itu.
Pada kenyataannya, dia harus melakukan tugasnya dalam hal penyelidikan, karena itulah pekerjaannya.
Sudah jelas bahwa pelakunya adalah Unlaws, tetapi hanya itu yang diketahui sejauh ini.
Meski begitu, karena telah dipercayakan untuk menangani Unlaws, dia harus menemukan pelakunya.
“Jumlah tersangka... atau lebih tepatnya, mereka yang berada di dalam mansion pada waktu terjadinya pembunuhan adalah lima orang.”
Di ruang tamu mansion, berpindah dari TKP pembunuhan.
Ruangan itu memiliki luas yang hampir sama dengan ruang kerja sebelumnya, dengan sofa yang saling berhadapan dan meja rendah di antaranya.
Norman dan Harrison duduk saling berhadapan, sementara Shizuku duduk di samping Norman, sedikit menjaga jarak sambil memeluk lututnya.
“Lima orang.”
“Benar. Ada pelayan dan satu orang yang kebetulan sedang menginap.”
“Mansion ini cukup besar, tapi lima orang itu termasuk banyak atau sedikit? Apakah ada tersangka dari luar?”
“Ada, dan saat ini sedang diselidiki. Namun, mansion ini cukup aman. Setelah matahari terbenam, semua pintu gerbang, tentu saja, dan semua kunci di mansion ini dikunci secara prinsip.”
“Wah, cukup ketat, ya.”
“Setelah suami yang sudah meninggal dibunuh oleh perampok, Mary—pemilik mansion ini—mulai menerapkan sistem tersebut. Dia juga memecat pelayan yang tidak dapat dipercaya.”
“Begitu rupanya.”
“……”
Shizuku di sebelahnya tampaknya menyeringai samar di balik tudungnya.
Meski sistem keamanannya ketat, tetap saja terjadi pembunuhan, mungkin itu yang ada di pikirannya.
Norman juga sempat berpikir hal yang sama, tapi jika diucapkan, Harrison pasti akan marah.
“Jadi, saat kejadian, ada lima orang di mansion ini.”
Polisi yang tampak kelelahan mengulangi ucapannya.
“Seorang kepala pelayan, seorang pelayan magang, seorang pelayan biasa, seorang maid, dan seorang dokter. Total lima orang.”
Semua tidak memiliki alibi pada waktu kejadian, sekitar pukul 11 malam.
“......Tidak ada alibi?”
“Sang maid dan dokter berada di kamar masing-masing, sedang tidur atau bersiap untuk tidur. Sang kepala pelayan berada di kamarnya sendiri, mempersiapkan keperluan untuk esok hari. Pelayan magang sedang membersihkan ruang boiler di bawah tanah, sementara pelayan biasa sedang merapikan buku di perpustakaan. Namun, jarak antar kamar mereka cukup jauh, dan mereka tidak saling melihat satu sama lain.”
“Begitu ya. Lalu, bagaimana mereka menemukannya?”
“Karena suara.”
“Suara? Ah, ya, masuk akal juga. Memang begitu, ya.”
“Yang pertama kali datang adalah kepala pelayan, lalu diikuti oleh pelayan biasa. Setelah itu, yang lainnya pun berkumpul.”
“Dan ketika mereka pergi ke kamar korban, pintunya terkunci, tidak ada respons meski dipanggil, dan saat pintu dibuka paksa, Mary sudah ditemukan tewas, benar begitu?”
“Benar.”
“Benar-benar mengejutkan, ya.”
“……”
Seolah ada suara yang mengatakan, Coba pikirkan dengan lebih serius, meski hanya bayangan di pikiran.
Saat Norman menoleh, Shizuku langsung memalingkan pandangannya.
“Kenapa kamu melihat ke arahku?”
Misalnya, jika polisi yang tampak kelelahan ini melakukan hal yang sama, maaf, itu hanya akan terasa menyeramkan.
Meski begitu, dia tampaknya orang baik.
“Baiklah, kalau begitu apakah kami bisa berbicara dengan para calon tersangka... atau, lebih tepatnya, kandidat tersangka?”
“Sudah diatur.”
“Terima kasih atas bantuan Anda.”
“Sudah semestinya karena ini pekerjaanku.”
Dengan nada mendesah seolah tidak puas, detektif itu keluar dari ruang tamu.
Norman menyukai sisi Harrison yang seperti itu dan mempercayainya.
Mencurahkan semangat untuk sesuatu yang tak jelas seperti ini, siapa pun yang melakukannya pasti terlihat aneh.
“Akhirnya, ya,” ujar Shizuku, membuka mulutnya segera setelah Harrison pergi.
“Norman-kun.”
“Ada apa?”
“Aku lapar. Aku ingin makan shawarma di Downey Street.”
“Setelah kita mendengarkan keterangan, kita bisa pergi makan.”
Shizuku mengangkat bahunya dengan malas menanggapi jawaban Norman.
“Apakah wawancara ini sangat penting?”
“Tentu saja, ini penting.”
Bagaimanapun juga, ini pekerjaan.
Meskipun secara pribadi, sebenarnya dia tidak peduli sama sekali.
“Aku tidak suka pekerjaan ini, tapi aku harus mengakui kelebihannya: bisa dengan mudah masuk ke restoran,” ujar Shizuku dengan nada puas sambil memegang sepotong shawarma—sandwich bergaya Timur Tengah berisi daging panggang dan sayuran yang digulung dalam kulit roti tipis—dengan sumpit.
“Cartesius memang menjamin kebutuhan hidup, tapi ada batasan untuk keluar rumah.”
“......Memang ada batasan, tapi tidak benar-benar dilarang, kan?”
“Oh, Norman-kun. Apa kamu sengaja ingin aku mengatakan sesuatu?”
“Sepertinya justru kamu yang ingin mengatakannya.”
Norman mengangkat bahu sambil menggigit shawarma dalam bentuk yang berbeda dari milik Shizuku.
Itu adalah versi dengan kulit berbentuk setengah lingkaran yang diisi daging dan sayuran, sebuah makanan cepat saji yang bisa dimakan langsung dengan tangan. Saus pedasnya menggugah selera, dan itu adalah favorit Norman.
Lokasi mereka berada di sebuah restoran di Downey Street, sekitar 1 jam berjalan kaki dari Wallwood Mansion.
Norman dan Shizuku berada di sana untuk makan siang yang terlambat. Keduanya tampak tidak terganggu oleh fakta bahwa mereka baru saja datang dari TKP pembunuhan.
“Hmm, apa yang kamu ingin aku katakan?”
Shizuku bertanya dengan nada menggoda, sambil memakan shawarma gulungnya perlahan dengan sumpit kecil.
“Kamu hanya keluar rumah jika bersamaku, kan?”
“Hmm, jawabannya kurang menarik.”
“Maafkan aku.”
“Ya, mau bagaimana lagi.”
Shizuku tersenyum kecil.
Restoran itu memiliki beberapa kursi di counter dan empat meja. Norman dan Shizuku memilih tempat di sudut paling belakang, yang hampir seperti ruang semi-pribadi, tidak terlihat dari luar maupun dari counter.
Di tempat seperti ini, ekspresi Shizuku terlihat jauh lebih santai.
“Sebenarnya, alasan aku keluar hanya untuk membeli makanan atau kebutuhan rumah tangga, jadi itu bukan masalah besar.”
“Benarkah?”
“Tentu saja. Aku tidak menginginkan lebih dari itu.”
Bahkan saat makan, dia tidak melepas sarung tangan kulitnya.
Di kota ini, hampir tidak ada orang selain Shizuku yang menggunakan alat makan asing seperti itu, tetapi dia membutuhkannya. Tidak melepas sarung tangan untuk alasan kebersihan, dia memilih menggunakan sumpit.
Untuk makanan tertentu, dia juga menggunakan pisau, garpu, atau sendok. Bahkan untuk memakan keripik kentang, dia menghindari menggunakan jari.
“Mau mencobanya?”
“Oh, mencoba membuatku senang, ya?”
Ketika Norman mengambil keripik dengan jari dan menawarkan kepadanya, Shizuku menerimanya dengan senang hati. Dia menggigitnya perlahan dengan mulut kecilnya.
Sambil memperhatikan, Norman berkata, “Ngomong-ngomong soal kasusnya. Dari yang kudengar, kelima tersangka memiliki hubungan yang cukup baik dengan Mary. Tidak ada alasan untuk membunuhnya.”
“Tidak ada alasan, menurutmu itu apa?”
“Entahlah.”
Setidaknya, pelaku bukanlah orang yang normal. Pelakunya adalah sesuatu yang jauh dari normal atau logis. Itulah hakikat Unlaws.
“Hei, kamu bahkan menjilati jariku. Apa itu juga enak?”
“Kentang goreng itu, bukankah lebih enak karena garamnya daripada kentangnya sendiri?”
“Hmm, aku mengerti maksudmu.”
“Pernyataan yang samar-samar sekali.”
“Tapi kentang gorengnya berwarna emas, bukan seperti itu?”
“Jawabanmu tidak memuaskan.”
“Kamu memang keras.”
“Tapi kalau soal kasus, jangan sampai lunak. Itu tanggung jawabmu, bukan aku.”
“Ya, memang begitu. Aku tidak peduli soal kasusnya, tapi aku harus bekerja. Bagaimana pendapat detektif kita?”
“Hmm, mari kita lihat.”
Shizuku merenung sambil memakan potongan shawarma-nya. Setelah menelannya, dia berkata,
“Mary meninggal dengan pakaian tidur yang cukup... seksi.”
“Itu yang menarik perhatianmu?”
“Ya. Bagaimana menurutmu soal itu?”
Norman memikirkan hal itu dengan serius.
“......Aku rasa itu tidak buruk, tapi mungkin kurang cocok jika itu untukmu.”
“Kalau kamu berpikir aku punya masalah dengan dadaku sehingga kamu memilih kata-kata itu, aku merasa tersinggung.”
“Aku hanya merasa kamu lebih cocok memakai pakaian yang sesuai dengan dirimu. Itu membuatku senang.”
“Hmm, itu jawaban yang bagus.”
“Apakah itu membuatmu bersemangat?”
“Hmm, masih perlu lebih banyak dorongan.”
Shizuku mengangkat bahunya dan menunjuk dengan jari telunjuknya yang bersarung kulit.
“Kalau aku harus mengatakan sesuatu, aku penasaran dengan hubungan yang memungkinkan si pelaku diterima dengan pakaian tidur seperti itu.”
“Hmm... masuk akal.”
Norman mengangguk, lalu mencoba membayangkan hubungan kelima tersangka dengan Mary.
“Tapi, dari kelima orang itu, empat adalah pelayan, jadi memperlihatkan pakaian rumah sepertinya bukan hal yang aneh. Yang satu lagi adalah dokter, jadi itu juga tidak terlalu mencurigakan.”
“Kamu harus lebih memahami perasaan wanita.”
Shizuku tersenyum sambil memasukkan keripik kentang terakhir ke mulutnya.
“Ini penting, kamu tahu. Pakaian seperti itu hanya diperlihatkan pada orang yang spesial.”
“Benarkah?”
“Tentu saja. Setidaknya, bagiku itu begitu.”
Pernyataan yang menarik. Apakah itu sebagai petunjuk untuk penyelidikan? Atau tentang Shizuku sendiri—bahwa ada sisi dirinya yang hanya akan dia tunjukkan kepada seseorang yang istimewa?
Shizuku yang selalu mengenakan tudung, mengenakan sarung tangan bahkan saat makan seperti ini, dan tidak pernah membiarkan kulitnya terlihat, tentu saja memiliki keunikan tersendiri.
“Mengenai ruang tertutup... yah, itu tidak terlalu penting.”
“Benar. Lagipula, memecahkan misteri ruang tertutup itu bukan bagian dari pekerjaan kita.”
Lalu siapa yang bertanggung jawab? Umumnya, itu adalah tugas Inspektur Harrison.
Setiap kali terjadi kasus Unlaws yang membingungkan dan menimbulkan kehebohan, tugas Harrison adalah menyembunyikan kebenarannya.
Kalau ini adalah cerita novel detektif, mungkin Harrison lebih cocok menjadi pemerannya.
“Tapi bagaimanapun juga, menangani pelaku adalah bagian dari tugas kita.”
“Kamu serius sekali.”
Dia berharap Shizuku juga bisa lebih serius.
“......Ngomong-ngomong, lagumu sudah hampir selesai kamu buat, kan?”
Gerakan Shizuku, yang tadinya hendak mengambil keripik dengan sumpit, tiba-tiba terhenti.
“Jarang sekali kamu membicarakan hal itu, Norman-kun.”
“Kamu sudah cukup lama belajar membuat lagu secara otodidak. Aku tidak terlalu paham soal itu, jadi hanya melihat dari samping. Tapi belakangan ini aku merasa, lagumu sudah hampir selesai.”
Norman tahu bahwa lagu itu adalah sesuatu yang berarti bagi Shizuku.
“Jadi, kalau lagumu selesai, aku ingin menjadi orang pertama yang mendengarnya.”
“......Ya, mau bagaimana lagi.”
Shizuku kemudian menatap Norman dengan mata kuningnya yang tajam.
Dalam warna itu, ada kilau yang sebelumnya tidak pernah terlihat—kuning yang suram namun penuh makna.
“Kalau begitu, mari selesaikan ini dengan cepat dan habiskan waktu bersama.”
Meskipun kata-katanya terdengar berat, rasanya hanya seberat sepotong keripik kentang.
‹›—♣—‹›
Malam itu, di dalam rumah besar, sang pelaku tetap berada di sana karena diperintahkan oleh polisi.
Dari lima orang yang berada di tempat kejadian, empat di antaranya adalah penghuni tetap rumah itu, sementara satu orang lagi, meskipun merupakan orang luar, tidak bisa menolak ketika diperintahkan oleh polisi.
Sejak Mary Wallwood meninggal—atau mungkin dibunuh—beberapa hari sebelumnya, kelima orang itu tidak meninggalkan rumah tersebut.
Tinggal di rumah besar tempat seseorang meninggal... Tak ada seorang pun yang bisa mengeluhkan hal itu secara langsung.
Dalam suasana berkabung, mereka tidak memiliki pilihan lain.
Lagipula, kelimanya sangat menghormati Mary Wallwood.
Ketika malam telah larut, sang pelaku melangkah ke aula depan tanpa diperintahkan oleh siapa pun.
Ada perasaan tidak nyaman yang mengganggunya.
Sebuah sensasi aneh yang menyeruak di telinga bagian dalamnya.
Rasa takut dan ketidaknyamanan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Seperti suara yang memanggil namanya.
Seolah-olah perempuan yang telah ia bunuh memanggilnya kembali dengan suara itu.
Sebelum ia menyadarinya, kakinya sudah bergerak, mengikuti panggilan tersebut hingga ke kamar pribadi Mary.
“…Ah, kau datang juga.”
Di tengah ruangan, berdiri seorang gadis dengan tudung menutupi kepalanya.
Kedua tangannya mengenakan sarung tangan, menjaga agar tidak ada bagian kulit yang terlihat. Di pundaknya, sebuah kotak biola yang besar tersampir.
Rambut perak yang kehilangan warna itu mengintip dari balik tudungnya, menarik perhatian siapa pun yang melihat.
Mata kuning yang setengah tertutup, seolah-olah tidak peduli pada dunia.
Di kamar yang gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang masuk melalui jendela, gadis itu berdiri seperti bunga di dalam gua gelap—seperti kuncup bunga yang berdiri diam, menunggu saatnya mekar.
Gadis itu berdiri di tengah meja yang terbelah dua.
Dia adalah salah satu dari dua orang misterius yang tiba-tiba muncul di rumah itu siang tadi untuk melakukan interogasi terhadap kelima orang, termasuk sang pelaku.
Namun, interogasi mereka terasa aneh.
Biasanya, interogasi akan menanyakan alibi selama waktu kejadian atau hubungan dengan korban.
Namun, pasangan ini—atau lebih tepatnya, pemuda yang bersama gadis itu—hanya menanyakan hubungan mereka dengan Mary dan perjalanan hidup mereka hingga saat itu.
Sikap mereka yang tidak peduli terhadap alibi meninggalkan kesan ceroboh dan sembarangan.
Selama itu, gadis itu hanya berdiri diam di sisi pemuda tersebut, tidak mengatakan apa-apa.
“───”
Dia-lah orangnya.
Suara aneh yang mengganggu telinganya.
Entah itu insting, firasat, atau sesuatu yang lain, ia merasa yakin.
Panggilan suara itu membawa dirinya ke tempat ini.
Tatapan gadis itu yang tampak bosan kini terarah padanya.
“────Ah.”
Hanya tatapan itu sudah cukup membuatnya ketakutan.
Ia tidak tahu alasannya.
Secara penampilan, gadis itu tidak berbeda dengan seorang gadis biasa. Saat pertama kali melihatnya, ia juga merasa demikian.
Namun, kali ini berbeda.
Ada sesuatu yang memancar dari gadis itu, sesuatu yang menyentuh inti dirinya.
Tenggorokannya terasa tercekat, tubuhnya gemetar, dan tanpa sadar, ia mundur satu langkah.
“Hei, tidak boleh kabur.”
“!!”
Tiba-tiba, di belakangnya, berdiri pemuda itu.
Dengan rambut abu-abu yang diikat di belakang leher, mantel tebal, dan topi felt hitam, ia terlihat sangat cocok dengan penampilannya.
Wajahnya rapi, tetapi ekspresi matanya yang turun dan sikapnya yang tenang membuatnya tidak terkesan sebagai pemuda tampan.
Ia lebih mirip binatang kecil tanpa cakar atau taring yang bisa disukai wanita-wanita yang lebih tua darinya.
Pemuda itu muncul tanpa suara dan tanpa tanda-tanda. Dengan langkah ringan, ia melewati sang pelaku, lalu berdiri di samping gadis tersebut.
Kemudian, dengan satu tangan menahan topinya dan satu jari menunjuk ke arah pelaku, ia berkata:
“─────Kaulah pelakunya.”
‹›—♣—‹›
Dengan tubuhnya tersentak, ekspresi Alfred Curtis, pelayan magang, berubah drastis.
Matanya terbelalak, rambut pirangnya yang tipis bergetar, dan wajahnya berubah menjadi pucat pasi.
“Bagaimana... bisa...!?”
Suara yang keluar terdengar seperti desahan putus asa.
Melihat Alfred yang seperti itu, Norman justru tampak kebingungan.
Sementara itu, Shizuku mengangkat bahu, menghela napas, lalu membuka mulutnya.
“Kita langsung menemukan pelaku di percobaan pertama, ya, Norman-kun.”
Saat interogasi sebelumnya, ia hanya diam berdiri di samping Norman.
Suara yang jernih, terdengar malas dan tidak peduli.
“Ya. Untung saja begitu. Jujur, aku sempat khawatir kalau ternyata tidak ada pelaku di antara kandidatnya.”
“Hasilnya tetap bagus, kan? Siapa namanya tadi, orang ini?”
“Alfred Curtis.”
“Ah, benar.”
“Apa... yang kalian katakan!?”
Seruan Alfred terdengar seperti jeritan, terputus oleh ketegangan.
Percakapan Norman dan Shizuku yang santai itu...
Seolah-olah mereka...
“Apa kalian... hanya berpura-pura?! Tidak benar-benar tahu bahwa aku pelakunya!?”
“Siapa pelaku sebenarnya tidak terlalu penting, Alfred-kun.”
Norman berkata dengan nada tegas.
“A-apa maksudmu...?! Bukankah kalian detektif!?”
“Kami bukan detektif. Kadang disebut begitu, tapi itu bukan hal yang penting. Ah, mungkin terlalu berlebihan jika mengatakan tidak penting. Hanya saja, prioritasnya rendah.”
“Kalau begitu, apa yang penting───?”
“Apa sebenarnya monster seperti dirimu.”
“───”
Ada retakan di ekspresi Alfred.
Bukan reaksi berlebihan ketika disebut pelaku, melainkan sesuatu yang lebih mendalam.
Rasa cemas dan bingung yang sebelumnya memenuhi dirinya menghilang, berganti dengan ketakutan yang jelas terlihat.
“Makhluk seperti dirimu itu disebut Unlaws. Kau pasti tahu itu, kan?”
Unknown? Tidak, Unlaws.
“Di Balldium ini, jumlah Unlaws sangat banyak. Kami sebenarnya bukan detektif khusus Unlaws... yah, aku sendiri bukan Unlaws sih.”
“Tapi aku sama saja,” ujar Shizuku Teardrop sambil tersenyum.
Gadis itu, yang biasanya diam seperti bunga kuncup yang menolak menerima cahaya, kini mengeluarkan kata-kata dan tersenyum.
Dalam kegelapan, ia tersenyum hanya kepada sesama makhluk sejenis.
“Jadi... kau juga...”
Dalam sekejap, ekspresi Alfred berubah menjadi aneh.
Meskipun wajahnya masih menunjukkan keterkejutan dan ketidakstabilan, ada sesuatu yang berbeda kali ini.
Ada kegembiraan yang samar di wajahnya.
Sama seperti mereka.
Makhluk sejenis───monster.
“Ceritakan padaku, Alfred-kun. Kenapa kau membunuh Mary-san?”
“Itu... itu karena...!”
Kegembiraan di wajah Alfred menghilang, tergantikan oleh ekspresi terdistorsi.
Ingatan itu kembali menghantamnya. Kata-kata Mary Wallwood yang terus membayangi pikirannya.
“Dia yang mengatakan itu! Dia bilang padaku bahwa aku pasti menyembunyikan sesuatu! Bahwa dia akan menerima aku apa adanya! Karena itu... karena itu aku...”
“Kau menunjukkan kekuatanmu padanya.”
“Iya! Tapi setelah aku menunjukkannya... setelah itu dia...”
“Dia menolakmu───dan kau membunuhnya.”
“Uuhhh...!”
Dengan kedua tangan menekan kepalanya, Alfred mengeluarkan erangan penuh penyesalan.
“Jadi? Apa sebenarnya kekuatanmu?”
“...Hah?”
“Kau pasti punya kekuatan. Kami ingin tahu apa itu.”
“───”
“Ceritakan, Alfred-kun. Aku bukan Mary-san. Aku tahu tentang Unlaws. Aku bahkan mengenal beberapa. Shizuku di sampingku juga salah satu dari mereka. Kami tidak akan menolakmu hanya karena kau tidak biasa.”
Wajah Alfred tampak seperti ingin menangis sekaligus tersenyum.
Seperti seseorang yang telah putus asa di tepi jurang dan tiba-tiba diselamatkan.
“Aku... aku bisa mengubah ukuran tubuhku.”
“Oh?”
Norman mengangguk.
“Seberapa besar atau kecil?”
“Aku bisa mengecil seperti tikus... atau memperbesar lenganku hingga tiga kali lipat.”
“Begitu. Jadi itu alasan mengapa kamar itu menjadi ruang tertutup. Kau keluar melalui ventilasi, lalu membunuh Mary dengan lengan yang diperbesar.”
“Benar...”
Alfred mengangguk lemah, menjelaskan segalanya.
Dihantui rasa bersalah karena membunuh dan rasa takut identitas aslinya terbongkar, yang bisa dilakukan Alfred hanyalah merasa ketakutan.
Dan kini, hanya ada satu pikiran yang muncul di benaknya.
“───Tolong... selamatkan aku.”
“Apa?”
“Tolong selamatkan aku! A-aku harus bagaimana!? Aku telah membunuh Nyonya Mary! Aku tidak bisa tinggal di sini! Ka-kau menerima para Unlaws, bukan!? Sama seperti gadis itu, aku juga pasti bisa melakukan sesuatu───”
“Tidak ada yang bisa kau lakukan.”
“─────Apa?”
Tatapan Norman dingin.
Ekspresi ramah seperti binatang kecil itu lenyap.
Yang tersisa hanyalah pandangan yang seperti menatap dunia ini dari kejauhan.
“Ke-kenapa!? Bukankah kau menerima para Unlaws───”
“Siapa bilang aku menerimanya? Tidak ada yang akan menerima seseorang yang membunuh orang lain hanya karena dirinya tidak diterima. Jika aku menerima dirimu, apa yang akan terjadi setelah itu? Kau mungkin akan membunuh orang lain hanya karena alasan sepele. Aku tidak ingin menanggung risiko itu. Itu adalah akibat perbuatanmu sendiri.”
“Apa-apaan ini... Kau tiba-tiba bicara masuk akal───”
“Meski kau berbeda dari kebanyakan orang lainnya...”
Sesaat, tatapannya tertuju pada Shizuku yang ada di sebelahnya.
Jarak mereka hanya selebar kepalan tangan ── sedikit saja ia bergerak, ia bisa menyentuhnya.
Shizuku bergerak.
“───Hehe.”
Tidak, sebenarnya ia hanya bersandar.
Seperti merapat, saling mendukung, saling bergantung.
Senyumannya penuh teka-teki, dan Alfred tidak bisa memahami artinya.
“Meski kau berubah menjadi sesuatu yang bukan manusia─── kita hidup di dunia manusia. Tidak ada kota yang hanya dihuni oleh para Unlaws. Tembok kota ini tidak hanya melindungi para Unlaws, tapi juga semua orang.”
Para Unlaws memang berbeda dari orang biasa.
Meski banyak makhluk aneh bersembunyi di kota berdinding Balldium ini.
Mereka tetap hidup berdampingan.
Tersembunyi, berubah, menyimpang, dan beradaptasi.
Meski melanggar hukum alam, mereka tetap harus mematuhi hukum dan etika.
Itulah kenyataannya.
“Kalau kau tidak bisa memahami hal itu─── kau hanyalah seorang monster.”
Meski kata-katanya terdengar seperti ceramah, nada bicara Norman tidak mengandung kesan menggurui.
Ia berbicara seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri.
Seolah-olah ia mengatakan, “Beginilah seharusnya.”
“Aku tidak berniat menolong monster. Dan kau, yang telah membunuh Nyonya Mary karena alasan egoismu───
menjadi Unlaws bukanlah dosa, tapi pembunuhan adalah kejahatan. Kau tahu itu, kan? Bukankah kau sudah belajar?”
“Dan kau membunuh orang yang telah mengajarimu semua itu,” tambah Shizuku dengan nada mencemooh.
“Ti-tidak mungkin... Kau bicara seperti ini... sekarang...!”
Semuanya memang sudah terlambat.
Alfred Curtis telah membunuh Mary Walwood.
Hanya karena wanita itu tidak mau menerimanya.
Hanya karena wanita itu tidak memenuhi harapannya.
“Uuuuh... uuuuhhhhhh....!”
Ia meremas kepalanya sendiri dengan kedua tangan dan menggigil sambil mengerang.
Namun, Norman dan Shizuku mendengar suara lain di balik erangan itu.
Suara seperti tali yang diregangkan hingga batasnya.
“Shizuku.”
“───Ya.”
Saat namanya dipanggil, Shizuku tersenyum.
Wajah Alfred terpelintir oleh kebencian, namun Shizuku malah tersenyum lebar.
Norman menggenggam tangan Shizuku dan dengan ringan ia melangkah maju.
Sesaat ia melirik kotak biola di bahunya, lalu segera melepasnya.
Dengan gerakan itu, tudung yang menutupi kepalanya terjatuh, dan rambut putihnya terurai.
Rambut panjang yang lembut, seputih cahaya bulan.
Rambut itu panjang hingga ke pinggang, sebelumnya tersembunyi di bawah tudungnya.
Sejenak kemudian...
“Uaaaaaahhhhhhh!!”
Tali itu putus.
Tali yang mengikat akal sehat, naluri, dan kesabarannya ── semuanya putus.
Lengan kanan Alfred Curtis membesar.
Tinju yang cukup besar untuk menghancurkan dada manusia.
Bajunya robek, dan lengan besarnya kini tiga kali lipat ukuran normal.
“───Haha.”
Melihat itu, Shizuku tertawa lagi.
Ia terus tertawa.
Tawa yang tidak bisa dimengerti oleh Alfred.
Monster itu mengangkat lengannya yang besar, bersiap untuk menyerang. Namun, Shizuku mengangkat tangan kanannya.
“...!”
Alfred dengan refleks menutup kedua telinganya dengan tangan.
Telinga kanannya ditutupi oleh jari-jari besar, seolah ia tahu bahwa kekuatan Shizuku berasal dari suara.
“────Hah.”
Namun, Shizuku tidak peduli.
Sambil tetap memegang tangan Norman, ia menggerakkan jarinya seperti sedang memetik senar biola.
Pling.
“───[Echo Howling]”
Dan kemudian─── Alfred Curtis melihat sebuah penglihatan.
───Dia sedang melihat penglihatan.
Mary Walwood dalam pakaian tidur, bersandar di meja kerja.
Dia gemetar ketakutan karena Alfred. Tubuhnya menggigil, wajahnya tegang.
Ketika matanya memandang Alfred, hanya ada ketakutan, kebingungan, dan... penolakan.
Dia berteriak kepadanya.
“───Monster!”
Alfred mencoba memberitahunya bahwa Alfred berbeda.
Dan di saat berikutnya, Alfred menghancurkannya.
Bersama meja kerja yang kokoh itu, dadanya hancur. Meja itu patah menjadi dua.
Ekspresi ketakutan dan keputusasaan tetap terpahat di wajahnya saat dia tewas.
Kematian yang tiba-tiba, seperti kematian biasa yang sering dia lihat di daerah kumuh.
Kematian yang dulu dia lawan demi bertahan hidup, tapi kini justru dia yang menyebabkannya.
Dunia berputar terbalik.
“───Monster!”
Mary berteriak lagi. Penolakan. Perselisihan. Bahwa Alfred berbeda, sehingga mereka tidak bisa bersama.
“───Monster!”
Dia terus berteriak. Jangan mendekat. Jangan menyentuh. Jangan berhubungan dengannya.
Gema dari wanita yang pernah menjadi seseorang yang paling istimewa baginya kini bergema, meraung-raung.
Momen ketika dia ditolak dan membunuh dengan tangannya sendiri terus berulang, lagi dan lagi.
“────Ah───Ahhh────Ahhhhh────”
Sesuatu dalam diri Alfred Curtis mulai retak.
Setiap kali dunia berputar terbalik, retakan itu semakin besar, berderit, bergetar, dan akhirnya hancur.
Itulah───hatinya.
─────[Echo Howling: mengguncang hati]
Membuka kembali kenangan pahit, menyentuh luka-luka terdalam yang disembunyikan, dan memperbesar rasa sakit itu berulang kali.
Kenangan masa lalu yang ingin dia lupakan, bayangan masa depan yang tidak ingin dia bayangkan.
Kekuatan ini menyentuh saraf-saraf yang tersembunyi di sudut hati seseorang, menghidupkan kembali trauma dan menggandakan rasa sakitnya.
Jika dilepaskan tanpa kendali, kekuatan ini akan menggema secara acak, menyebabkan siapa pun yang terpapar terjebak dalam ingatan traumatis mereka, memicu gangguan panik, bahkan sesak napas.
Orang tuanya hampir mati karena ini.
Tetangganya juga hampir mati.
Bahkan orang-orang asing yang tinggal di dekatnya terluka akibat kekuatan ini.
Meskipun telah menjadi Unlaws, Shizuku sendiri tidak berubah sedikit pun.
Namun, hanya dengan berada di antara orang-orang, dia melukai mereka.
Dan akhirnya───hatinya sendiri mati rasa.
“Ah... aaah... Mary... sama...”
“Oh my... ternyata kau cukup keras kepala. Atau mungkin harus kusebut tidak tahu malu, ya?”
“Vision” adalah kemampuan supernatural yang memungkinkan penggunanya melihat visi masa lalu atau masa depan dari sesuatu yang disentuhnya.
Dalam kasus ini, Vision memiliki kendali terbatas untuk melihat visi tertentu, namun terkadang ia secara tidak sengaja melihat visi yang tak diinginkan di momen-momen tak terduga, sehingga ia terpaksa membatasi kontak fisiknya.
Bahkan setelah penyesuaian bersama Norman, melemahkan kemampuan itu, hasil akhirnya tetap seperti ini.
Namun, “Echo Howling” miliknya memiliki sifat yang jauh lebih buruk.
Ini adalah pengulangan trauma.
Dengan menggunakannya tanpa kontak langsung, ia bisa menciptakan gema yang nyaris tak berujung—
Kini, dia dapat mengarahkan gema itu ke target yang spesifik—
Namun, meskipun “nyaris tak berujung”, itu tidak benar-benar tak terbatas.
Kenangan, pada akhirnya, akan memudar.
Gema yang terdengar juga akan berakhir.
Pada akhirnya, Alfred berada di ambang menjadi orang yang tak berfungsi lagi, tetapi, meskipun hanya sekadar bertahan, ia masih mampu berdiri dengan kakinya sendiri.
“Semangat hidup ala orang dari jalanan, mungkin. Jadi, bagaimana? Dia hampir hancur, tinggal sedikit dorongan lagi.”
“Kurasa begitu, ya.”
Melihat Alfred yang hanya berdiri kaku seperti zombie, Shizuku menaikkan alisnya sedikit.
Ia berpikir sejenak, lalu:
“—Norman-kun?”
“Hm? Ada apa—”
Tangan yang sedang digenggamnya tiba-tiba ditarik mendekat—dan dengan setengah paksaan, Shizuku menempelkan bibirnya pada bibir Norman.
“Mmnh!? Eh, tunggu—”
“Mmn...”
Reaksi Norman yang jelas-jelas terkejut tidak membuat Shizuku berhenti. Ia malah memasukkan lidahnya, menelusuri dan menjelajahi rongga mulut Norman.
“—Hah?”
Adegan ciuman yang tiba-tiba ini membuat Alfred, yang hampir kehilangan kewarasannya, semakin bingung.
Ia tidak mengerti apa pun yang sedang terjadi. Namun, ada dua hal yang mengejutkannya.
Pertama, Norman menerima ciuman dari Shizuku.
Bukan karena ia menikmatinya, tetapi lebih kepada “tidak ada pilihan lain”. Seperti orang dewasa yang menerima tingkah laku kekanakan dengan senyuman kecil, Norman tidak menolak perilaku aneh Shizuku. Bahkan, ia masih sempat membetulkan topinya yang hampir jatuh dan dengan lembut menopang pinggang Shizuku.
Yang kedua, Shizuku tersenyum padanya dari sudut matanya sambil berciuman.
Pipinya memerah, senyumnya melengkung aneh. Mata kuning gelapnya menembus Alfred.
Sebuah retakan terlihat di hati Alfred, seolah ada sesuatu yang patah.
Shizuku menyadari itu, dan senyumnya menjadi semakin bengkok.
“────”
Dengan kata lain, itu semua adalah sindiran.
Aku dan kau adalah monster yang serupa.
Namun, kau tidak diterima.
Kau ditolak.
Sedangkan aku, aku punya seseorang yang menerimaku.
Aku punya seseorang yang tidak menolakku.
Tapi—aku dan kau tidaklah sama.
Kita mungkin serupa, tetapi berbeda.
Kau tidak dicintai, sedangkan aku berbeda.
Ciuman ini hanya untuk menunjukkan itu.
Bahkan senyum yang selalu Shizuku tampilkan hanyalah ekspresi dari perasaan superioritasnya.
Kesadaran bahwa dirinya lebih baik dari lawannya.
Dan jika ada yang bertanya apakah ia hanya ingin mencium Norman, ia tidak akan menyangkalnya juga.
“──────”
Kata-kata itu menembus hati Alfred.
Setetes air mata jatuh dari matanya, menetes perlahan ke tanah.
Retakan di hatinya semakin dalam, lalu crack—hati itu pecah berkeping-keping.
“…Kenapa?”
Ketika hatinya hancur dan berserakan, yang keluar dari Alfred hanyalah sebuah pertanyaan.
Shizuku dan Alfred memang berbeda, tetapi apa yang membuat mereka berbeda?
“────Ahaha.”
Shizuku melepas bibirnya dari Norman, tetapi kening mereka masih saling bersentuhan.
Dia tertawa pelan, sedikit bersemangat atas jembatan tak terlihat yang kini menghubungkan dirinya dan Norman.
Lalu, dengan suara penuh kemenangan, ia berbicara:
“It’s a simple thing (Elementary), (Freaks).”
Dengan pandangan santai, nada acuh tak acuh, seolah hanya berbicara sambil lalu, namun dengan gaya yang dibuat-buat,
Shizuku Teardrop, sang pemilik Echo Howling, berkata:
“Bagaimana mungkin aku tahu?”
“──────”
Dan pada saat itu, hati Alfred Curtis benar-benar hancur, dan kesadarannya lenyap.
Yang tersisa hanyalah udara dingin yang hambar, menyelimuti ruangan.
“Sederhana katanya... Tapi itu tidak cocok dengan kalimat terakhir, bukan?” Norman memotong, sambil mengerutkan alisnya.
“Karena itu dari novel yang kau baca, kan? Kalimat terakhir itu tidak nyambung.”
“Aku adalah wanita yang penuh kejutan,” jawab Shizuku sambil mengangkat bahunya, sedikit melengkungkan senyumnya.
Norman menghela napas panjang.
“Aku kecewa.”
Tentu saja, ia sejujurnya tidak benar-benar kecewa.
‹›—♣—‹›
“Mary-san ternyata sedang hamil.”
Keesokan hari setelah menyelesaikan kasus pembunuhan di ruang tertutup keluarga Wallwood, Norman berada di apartemen Shizuku.
Sebuah kamar apartemen kecil yang sederhana. Hanya terdiri atas satu ruangan yang berfungsi sebagai kamar tidur, ruang tamu, sekaligus dapur kecil, serta kamar mandi yang juga berfungsi sebagai toilet.
Dapurnya tampak jarang digunakan, dan di kamar tidurnya terdapat lemari pakaian, tempat tidur, meja, serta satu sofa yang sedikit kebesaran untuk Shizuku, tetapi pas untuk Norman.
Norman duduk di sofa tersebut dengan Shizuku duduk di pangkuannya.
Hari itu, Shizuku mengenakan pakaian yang berbeda dari biasanya: blouse tanpa lengan dan celana pendek. Tentu saja, ia tidak memakai sarung tangan, dan rambut panjang putihnya yang indah dibiarkan tergerai.
Dengan bersandar pada Norman, Shizuku menulis sesuatu pada lembaran partitur. Ia bersandar santai, mendongak untuk melihat wajah Norman yang berada tepat di atas kepalanya.
“Hamil?”
“Ya. Dokter yang ada di mansion itu rupanya ke sana karena hal itu.”
“Begitu... Kalau begitu, siapa ayahnya?”
“Tentu saja, Alfred.”
“Oh, betapa klisenya.”
Senyum di sudut bibir gadis itu melengkung aneh.
“Yah, kira-kira begitu, bukan?”
Kebenaran di balik kasus ruang tertutup itu sederhana, begitu pula hal-hal yang mengarah ke sana.
Mary Wallwood hamil. Ia memiliki hubungan dengan Alfred Curtis, dan karena itulah ia menyampaikan hal itu kepadanya. Sesuatu seperti, “Kita akan menikah, jadi tak ada lagi rahasia di antara kita,” barangkali.
Tidak diketahui apakah Mary menyadari keanehan perilaku Alfred belakangan ini, tetapi jika mereka memiliki hubungan yang mendalam, mungkin ada sesuatu yang ia rasakan.
Namun, Alfred akhirnya mengungkapkan identitas aslinya. Mary menolaknya, dan Alfred membunuhnya.
“Sepertinya ini hanya sekadar gosip keluarga Wallwood, ya.”
“Kalau kita laporkan ke surat kabar, mungkin bisa jadi uang jajan, ya?”
“Jangan. Kemungkinan kakakmu sudah mengurus semuanya dengan baik.”
“Sayang sekali.”
Namun, Shizuku tampaknya tidak benar-benar kecewa. Ia kembali menatap partiturnya.
Kasus yang melibatkan Unlaws tidak pernah dipublikasikan.
Meskipun ada sejumlah Unlaws yang menyusup di balik dinding Balldium, hanya segelintir orang yang tahu tentang keberadaan mereka.
Hal ini tentu tidak menguntungkan, karena kebenaran bahwa ada monster di antara manusia akan membuat banyak pihak terganggu.
Siapa yang merasa terganggu, tidak diketahui—apakah Cartesius, para elit di kota ini, atau bahkan pemerintah.
Karena organisasi bayangan itu pula, Norman secara resmi tidak memiliki pekerjaan. Meskipun ia sering dipanggil oleh polisi atau detektif sebagai agen, ia bukanlah seorang detektif.
Norman tetap mendapatkan gaji, sehingga ia tidak kesulitan secara finansial, tetapi tanpa status sosial yang jelas, hidup tidak mudah.
“Setidaknya ada dua hal yang bagus dari kejadian kali ini.”
“Oh? Apa itu?”
“Yang pertama, lawan kita adalah Kategori I, jadi bisa menghemat peluru.”
Shizuku melirik lemari di sudut ruangan, dan Norman mengikuti arah pandangannya.
Di atas lemari terdapat kotak biola yang terbuka, berisi senapan sniper dalam keadaan terurai.
Senjata khusus buatan Cartesius ini digunakan dalam pertempuran melawan Unlaws. Senjata ini tidak hanya digunakan sebagai alat penyerang, tetapi juga untuk menggabungkan suara tembakannya dengan kekuatan supernatural.
Meski begitu, kali ini senjata itu tidak diperlukan.
“Yah, baguslah. Meskipun senjata itu sudah disesuaikan untukmu, tetap saja penggunaannya memberikan beban pada tubuhmu.”
“Dan aku juga harus membuat laporan tentang tujuan dan jumlah peluru yang digunakan.”
“Padahal laporan itu selalu aku yang menulis, kan? Apa hal yang kedua?”
“Aku jadi lebih memahami preferensi pakaian dalammu, Norman-kun.”
“………………”
“…Baiklah, selesai.”
Dengan gerakan ringan, Shizuku berdiri dari pangkuan Norman. Ia mengambil biola yang terletak di atas tempat tidur.
“Nah, Norman-kun. Maukah kamu mendengarkannya?”
“Tentu saja. Apa judulnya?”
“Ya... bagaimana kalau Istimewa (Tokubetsu)?”
Ia tersenyum.
Bukan senyum aneh seperti biasanya, tetapi senyum lembut seorang gadis muda.
Meskipun ia adalah bunga yang hanya hidup dalam kegelapan, bunga tetaplah bunga.
Dan ia ingin mekar hanya untuk mereka yang ingin melihatnya mekar.
Shizuku mulai memainkan musik.
Siapa pun yang mengenal Shizuku dalam kesehariannya pasti akan terkejut melihat ini.
Seorang gadis yang biasanya menatap dunia dengan pandangan seolah-olah tidak tertarik pada apa pun, dengan senyum sinis hanya di sudut bibirnya.
Namun, musik yang dihasilkan olehnya tidaklah seperti itu.
Nada yang menenangkan hati siapa pun yang mendengarnya, melodi yang membawa kedamaian hanya dengan didengarkan. Seperti berbaring di padang rumput di bawah langit biru, dibelai hangatnya sinar matahari.
Musik itu menyelimuti siapa pun, tak peduli siapa mereka. Kehangatan yang menerobos ke dalam kegelapan yang seharusnya tidak mungkin diterangi.
Itulah musik yang dimainkan oleh Shizuku Teardrop untuk hati Norman Hamish.
Norman menerima Shizuku sebagai makhluk yang istimewa, dan Shizuku juga ingin terus menyentuh hati Norman. Karena dia tidak pernah takut pada kekuatan Shizuku, tidak pernah hancur oleh keberadaannya, dan selalu berada di sisinya.
Sejak pertama kali mereka bertemu, Norman menghadapi kekuatan Shizuku, Echo Howling, dengan senyuman, mengulurkan tangan padanya.
Betapa itu menyelamatkan Shizuku.
Meskipun, sedikit menyebalkan bagi Shizuku bahwa senyuman itu bukan hanya miliknya seorang. Tapi ia tahu tak ada gunanya mengeluh.
Shizuku menundukkan matanya sedikit, jari-jarinya terus memainkan biola sambil memandangi kamar kecilnya.
Sebuah kamar kecil—dunia kecil Shizuku.
Jendelanya tertutup rapat, menolak dunia luar. Di setiap sudut dunia kecil itu, ratusan lembar partitur tersebar. Semua itu ditulis secara otodidak oleh Shizuku, dan memainkannya untuk Norman adalah tujuan hidupnya.
Sebelumnya, setiap partitur adalah karya yang berdiri sendiri. Tetapi kini, ia menggabungkannya dalam satu karya yang diberi nama “Istimewa.” (Tokubetsu)
Namun, Norman tidak tahu.
Musik yang sedang ia dengarkan, juga partitur yang tersebar di seluruh kamar, semuanya adalah interpretasi Shizuku terhadap kata-kata yang Norman pernah ucapkan padanya.
Shizuku tidak memiliki kemampuan absolut seperti nada sempurna atau mengubah kata-kata menjadi notasi secara presisi. Dia hanya menulis sesuai getaran hatinya, sehingga Norman tak akan pernah mengetahuinya.
Alasan partitur itu tersebar di seluruh kamar juga sederhana.
Jika kekuatan Echo Howling tiba-tiba aktif tanpa disengaja, yang terlihat hanyalah kenangan bersama Norman. Dan bagi Shizuku, jika itu tentang Norman, ia ingin terus melihatnya.
Sejujurnya, pada hari-hari ketika dia tidak memiliki pekerjaan dengan Norman, Shizuku hanya akan mengurung diri di kamar, entah melihat visi tentang Norman, atau menciptakan musik berdasarkan visi itu.
Shizuku tidak tertarik mempelajari teori musik lebih dalam. Ia tahu judul lagunya sering kali sederhana, dan mungkin sebaiknya ia belajar untuk memperbaikinya. Namun, baginya, ilmu dan teori hanyalah hasil jerih payah orang lain, yang tidak ia butuhkan.
Yang ia inginkan hanyalah perasaan yang diberikan oleh Norman.
Kekuatannya membuatnya sulit untuk keluar rumah.
Tanpa Norman menemaninya selama tugas untuk Cartesius, Shizuku tidak dapat melangkah keluar. Bahkan untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari, ia butuh waktu lama untuk melatih dirinya.
Ia terkurung dalam kegelapan karena tidak ada pilihan lain.
Ia tetap menjadi kuncup yang tertutup, karena hanya ada satu orang yang ia inginkan untuk melihatnya mekar.
Di kamar kecil ini, dengan hatinya yang diselimuti oleh keberadaan Norman, Shizuku memainkan musik yang ia ciptakan dari hati yang telah diberi kehangatan oleh Norman.
Shizuku Teardrop mungkin adalah monster, tapi Norman Hamish memperlakukannya layaknya manusia biasa.
Itulah sebabnya dia menyukai Norman.
Itulah sebabnya dia mencintainya.
“—Fuu, selesai. Bagaimana menurutmu?”
“Ya. Hanya dengan mendengarnya, hatiku bergetar.”
Mendengar itu, Shizuku tersenyum dan menyandarkan tubuhnya ke Norman.
Ujung rambutnya yang bergerak lembut seakan memancarkan kilauan biru, mencerminkan detak jantungnya yang berdebar.
Kemudian, tanpa ragu, ia mendekatkan bibirnya ke bibir Norman yang sedang duduk.
Shizuku, yang biasanya hanya tersenyum sinis pada dunia, kali ini memberikan senyuman penuh kasih layaknya bunga yang mekar di bawah sinar matahari, hanya untuk satu orang di dunia ini.
“—Ya, musik ini menghangatkanku.”
‹›—♣—‹›
Namun, di saat itu juga, ia melihat.
Shizuku melihat sebuah visi yang tidak ia inginkan.
Langit malam. Jauh di kejauhan, cahaya kota tampak berpendar.
Di tengah kegelapan itu, ia melihat Norman Hamish jatuh ke dalam kegelapan yang pekat.
Bagaikan air terjun besar yang menelan segalanya, dan semuanya akan berakhir jika ia tenggelam di dalamnya.
Visi itu kabur, penuh dengan gangguan. Namun, ia tahu pasti.
Itu adalah visi tentang masa depan.
Pada saat bibir mereka bertemu, visi itu muncul begitu saja, tanpa peringatan.
Dan ia melihat sesuatu yang lain: Norman jatuh ke dalam kegelapan.
Sementara ia, Shizuku Teardrop, hanya bisa berdiri memandanginya—tidak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkannya.
Post a Comment