NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kurasu no Daikirai na Joshi to Kekkon Suru Koto ni Natta V1 Epilog

 


Penerjemah: Yanz

Proffreader: Yanz


EPILOG


Dan begitulah, pagi pun tiba bagi mereka berdua.

Sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar, membuat Saito menutupi wajahnya dengan futon.

Futon yang dipenuhi aroma manis seorang gadis kini membalut tubuhnya erat, mengundangnya ke alam mimpi yang nyaman. Dia kurang tidur karena merawat Akane beberapa hari terakhir, membuat tempat tidur terasa semakin tak tertahankan.

Ketika Saito berencana untuk kembali tidur, dia mendengar suara Akane di dekatnya.


“Sampai kapan kamu mau tidur. Bangun.”

“Un... iya iya.”


Saito menjawab setengah hati, lalu membenamkan dirinya lebih dalam ke futon.


“Kamu tidak mengerti apa-apa. Kita akan terlambat.”

“Tidak apa-apa... Aku akan bolos sebulan saja.”

“Apa yang kamu katakan, mou~, kubilang bangun.”


Akane mengguncang bahu Saito tapi cara mengguncangnya begitu nyaman malah membuatnya semakin mengantuk. Tepat ketika dia hampir tertidur, dia mendengar bisikan Akane.


“Kalau kamu tidak bangun sekarang, aku akan membangunkanmu dengan wajan yang baru kupakai untuk menggoreng bacon dan telur.”

“..............................!?”


Saito langsung melompat bangun. Dia membuka matanya lebar-lebar, dan melihat sekeliling untuk memastikan keselamatannya.


“Selamat pagi.”


Akane tersenyum padanya dari sudut ruangan. Dia mengenakan seragamnya dengan celemek di atasnya. Dan dia tidak membawa wajan.


“....Iblis.”

“Ara, aku bahkan repot-repot datang ke sini untuk membangunkanmu, tidak sopan memanggilku iblis. Berterima kasihlah dengan benar.”

“....Terima kasih.”

“Mana rasa terima kasihnya?”

“Aku sangat berterima kasih dari lubuk hatiku!”

“Bagus.”


Akane tertawa terbahak-bahak.

Dia sangat penurut saat demam, tapi beginilah jadinya ketika dia sudah merasa lebih baik. Sudah beberapa hari sejak malam itu, dan Akane kembali sehat seperti sedia kala.

–Tapi~, ini juga menenangkanku.

Akane yang jujur membuatnya merasa aneh, dan Akane yang sakit membuatnya tidak nyaman. Dia khawatir dirinya tertular penyakit aneh yang membuatnya hanya merasa lega ketika Akane cerewet.

Akane memelototi Saito yang turun dari tempat tidur.


“Kamu kemarin ke sekolah tanpa cuci muka kan?”

“Kemarin hujan, jadi kupikir tidak apa-apa kalau pakai air hujan untuk mencucinya.”

“Tidak boleh begitu! Kamu ini manusia purba ya? Aku kaget melihatmu masuk kelas dalam keadaan basah kuyup! Bagaimana kalau kamu masuk angin?”

“Kalau begitu tinggal minum obat flu.”


Saito mengumumkan tanpa ragu.


“Itu bukan sesuatu yang bisa kamu katakan dengan bangga. Mencuci muka itu kebutuhan manusia!”

“Kalau begitu tidak perlu cuci muka kalau melepaskan hak asasi manusia kan?... Sebenarnya itu terdengar menjanjikan.”

“Tidak ada yang seperti itu! Satu-satunya hal bagus darimu cuma nilaimu. Sisanya tidak bisa diterima. Kalau terus begini, jamur akan tumbuh di tubuhmu.”


Akane Mengoceh dan berisik, seolah-olah dia ibunya.

Saito berbalik dan mengangkat bahunya, memberi isyarat padanya untuk diam sebentar.


“Apa pantas kamu bicara begitu padaku?”

“Huh...? Apa ini, kenapa kamu terlihat begitu sombong...?”


Akane mengerutkan alisnya.


“Kamu sendiri yang bilang kan? Orang yang kamu kagumi... sesuatu sesuatu?”

“............~~!!”


Wajah Akane memerah.

Dia melambai-lambaikan tangannya dengan panik sambil membuat alasan.


“I, itu kesalahanku! Aku hanya mengigau karena demam!”

“Tapi menurutku yang kudengar bukan kesalahan lho~? Aku juga merekammu mengatakannya, bagaimana kalau kita putar ini di depan kelas dan biarkan mereka yang menilai.”

“Bagaimana kalau aku melemparmu dan ponsel itu ke dalam lava—!”


Saito berlari ke toilet melihat Akane yang mengamuk. Dia hanya ingin membuatnya diam sebentar, jadi dia tidak menyangka Akane akan semakin mengamuk.

Setelah selesai dengan urusannya, Saito menutup toilet dengan benar. Dia tidak ingin Akane marah seperti sebelumnya. Dia ingin setidaknya mendapat ketenangan sejenak di rumahnya sendiri.

Saito pergi ke ruang ganti untuk mencuci muka.

Saat dia menggunakan handuk untuk mengelap wajahnya, dia tiba-tiba melihat Akane berdiri di belakangnya melalui cermin.

Akane bersembunyi di balik dinding dan menatap lurus ke arah Saito.

Saito merasa terancam karena tidak tahu sudah berapa lama dia berdiri di belakangnya.


“A, apa....? Aku tidak membawa ponselku, dan soal rekaman itu hanya bercanda.”

“...saus”

“Eh?”

“Saus saladnya, kamu mau yang gaya Prancis atau yang bawang?”

“Um... bawang tidak apa-apa.”

“Mengerti. Cepatlah, lalu sarapan.”

Akane berbalik dan pergi.



Shisei langsung menghampiri Saito begitu dia melangkah masuk ke kelas.

Dia masih terlihat seperti boneka. Anak-anak perempuan di kelas menikmati pemandangan itu dan memujinya seperti “Imutnya~” atau “Menggemaskan sekali~”.

Shisei menyelam langsung ke dada Saito, lalu mengendus.


“Apa yang kamu lakukan?”

“Rutinitas pagiku, mengecek bau ani-kun”

“Kamu tidak perlu melakukan ini setiap pagi.”

“Ini sangat penting. Aku harus menyelidiki apakah kamu bersama gadis-gadis aneh.”

“Bagaimana kamu bisa tahu hanya dari baunya saja?”

“Aku tahu. Kalau ada bau busuk, berarti dia zombie.”

“Aku tidak punya fetish berpacaran dengan zombie.”


Saito merinding. “Apa dia akan mencium aroma Akane?”


Tidak masalah jika hanya Shisei yang tahu, tapi mereka dikelilingi teman sekelas, jadi kalau dia asal bicara, tidak akan berakhir baik untuk siapapun.

Untuk bersiap membungkam mulutnya segera, Saito memposisikan tangannya di depan mulut Shisei. Dia juga siap memblokir hidungnya untuk mencegah pernapasan.

Shisei menggenggam tangan Saito dan mengendus.


“Aku bisa mencium bacon dan telur, salad rumput laut dengan saus bawang, sup jagung dan sandwich panggang keju.”

“Bagaimana kamu tahu? Aku sudah cuci tangan!”

“Percuma saja meski kamu cuci. Molekul telur dan bacon sudah menyatu dengan sel-sel ani-kun.”

“Bagaimana mungkin...”


Saito mengendus tangannya, tapi hanya mencium bau sabun. Intuisi Shisei menakutkan.

Shisei membusung dadanya yang rata.


“Ini mengarah pada satu kesimpulan... Satu-satunya yang ani-kun pacari adalah bacon dan telur!”

“Tidak mungkin.”


Saito mengelus dadanya lega menyadari kekhawatirannya sia-sia.


“Shisei juga mau bacon dan telur. Lain kali, aku akan menggangu ani-kun di rumahmu... Dan akan menyerbu tepat saat makan siang.”

“Jangan lakukan itu.”

“Dan kalau aku tidak mendapat yang kuinginkan, aku akan menggunakan kekerasan.”


Shisei memasang kuda-kuda petinju, tapi karena kepalan tangannya terlalu kecil, dia tidak mengharapkan apa-apa dari pukulan itu. Mungkin bahkan kalah dari anak SD.


“Kamu lapar ya? Apa kamu melewatkan sarapan?”

“Aku sudah makan dengan benar. Tapi bau ani-kun membuatku lapar lagi.”


Shisei meneteskan air liur.


“Jangan pasang wajah seperti kamu berencana memakanku.”

“Aku tidak akan memakanmu. Butuh seluruh kekuatan otakku untuk meyakinkan diriku bahwa kamu bukan makanan.”


Shisei menggigit tengkuk Saito.


“Aku tidak peduli kalau kamu tidak bisa mengendalikan diri! Berhenti menggigitku!”


Saito menarik Shisei menjauh, tapi Shisei tidak melepaskan. Dia berubah menjadi boneka Barat terkutuk dan sekarang memburu Saito.

Gadis-gadis di kelas sekarang mengelilingi mereka dengan mata berbinar-binar.


“Kalau kamu lapar, akan kuberi cemilan!” “Mau roti?” “Aku juga punya puding!” “Shisei, mau ikan kering?” “Aku baru saja beli jus edisi terbatas!”


Rentetan pertanyaan, memperlakukannya seperti hewan peliharaan.


“A~ra?”


Shisei diajak oleh gadis-gadis di kelas. Gadis-gadis itu memuaskan naluri keibuan mereka, dan cinta Shisei pada makanan juga terpuaskan. Seperti hubungan yang sama-sama menguntungkan.

Saito akhirnya bisa beristirahat, dia meletakkan bukunya di meja.

Kelas terlalu berisik untuk seleranya karena gadis-gadis yang mengerumuni Shisei, jadi dia keluar ke koridor.

Langit cerah dan biru.

Berdiri di samping jendela, angin membawa aroma bunga yang nyaman, membuatnya tidak bisa menahan kuapan.

Dan Himari tiba di sekolah.


“Saito, selamat pagi!”

“Selamat pagi, kamu terlihat sehat hari ini.”


Saito membungkuk.


“Kebugaran adalah kebajikanku!”


Himari membiarkan rambut panjangnya melambai bebas dan berdiri di samping Saito.


“Aku dengar dari Akane, Saito, kamu dapat nilai sempurna lagi untuk kuis kemarin kan? Kamu luar biasa. Aku super bodoh jadi aku sangat mengagumimu.”

“Ya, kagumi aku. Kamu juga boleh menyembahku kapan saja kamu mau.”


Saito mengacungkan jempolnya.


“Ahahah~, kamu juga cukup konyol!”

“Konyol, aku...? Lebih masuk akal kalau kamu mendeskripsikan Shisei...”

“Kamu juga konyol sendiri Saito. Kamu pintar dalam belajar, tapi tidak tahu apa-apa soal hal lain. Kamu super tidak peka~”


Himari memberinya senyum nakal dan menatap wajah Saito. Mungkin karena kepribadiannya yang supel, tapi jarak mereka agak dekat. Dia bisa menyentuh rambut Himari dari jarak ini.


“Tolong menjauh dariku.”

“Ah~, apa itu apa itu~? Saito malu?”

“Siapa pun akan begitu.”

“Kamu salah tingkah~. Saito juga laki-laki ya!”

“Sudah kubilang aku tidak salah tingkah.”

“Ahahaha, aku hanya bercanda. Sampai nanti!”


Himari masuk ke kelas, sementara Saito merasa lelah. Menjadi ramah itu anugerah, tapi dia tidak berdaya menghadapi tipe yang suka menggoda.

Ketika Saito menghela napas keras-keras, Akane mendekatinya.

Dia menghentak-hentakkan sepatunya ke lantai untuk membuat suara, dan meringis seolah sedang dalam suasana hati yang buruk.

–Apa kita akan bertengkar lagi...?

Saito mempersiapkan diri. Dia tidak ingin membuang energi lebih banyak di pagi hari.

Akane diam-diam menarik baju Saito.


“A, ada apa?”

Saito kebingungan.

Dia bisa merasakan ini adalah pertengkaran biasa mereka, tapi agak berbeda dari biasanya.

Belakangan ini, sikapnya terasa berbeda.

Pipi Akane bersemu merah muda, terlihat salah tingkah.


“Kamu, kamu sudah punya istri, jadi bersikap mesra dengan gadis lain... tidak boleh ya?”


–Entah kenapa, tapi belakangan ini, istriku terlihat sangat menggemaskan.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close