EPILOG
"Heh~,
jadi beneran bisa jadian, ya! Yoshiki, lo gila juga, gue jadi lihat lo dengan
cara berbeda!"
"Iya,
gila banget, kan!"
Aku
menjawab dengan penuh semangat.
Malam setelah aku berhasil menyatakan
perasaanku, aku menelepon Yuzuha.
Awalnya, aku berniat memberi tahu dia
secara langsung pada hari Senin besok, tapi dia terus-menerus mengirimi pesan
mendesakku untuk segera melaporkan hasilnya. Tapi sekarang, aku merasa
bersyukur telah memberi tahu lebih cepat karena Yuzuha tampak benar-benar
senang untukku.
"Ya~ namanya juga teman gue. Udah sewajarnya lo melakukan hal kayak
gini, tahu!"
"Jangan sok ngomong gitu! Awalnya
kan gara-gara akting jelek lo, semuanya hampir gagal!"
"Fufufu~ Lo tidak ngerti juga ya,
Yoshiki."
"Hah?"
"Lo pernah kepikiran gak, kalau
semua ini cuma kebetulan yang terjadi satu demi satu?"
Pertanyaannya membuatku berpikir.
Waktu, cuaca, dan terutama kondisi hati
Hanazono—kalau saja dia dalam suasana hati seburuk Yuzuha di pagi hari, mungkin
semuanya tidak akan berjalan seperti ini.
Ditambah lagi, kencanku dengan Remi
juga punya pengaruh besar.
Keberanian yang kudapat pada hari itu,
mungkin karena kondisiku juga sedang dalam keadaan terbaik.
"Iya, sih. Sekarang kalau
dipikir-pikir, gue emang banyak beruntung juga."
"Nah, kalau begitu, lo tidak
kepikiran kalau akting gue yang katanya 'jelek' itu juga bagian penting dari
semua ini?"
"…Iya juga, ya?"
"Ini dia, Nice Recovery! Yoshiki Ryouta yang
takluk di bawah lidah ajaib gue!"
"Jangan nyimpulin dengan cara aneh gitu!?"
Saat aku menyela, Yuzuha tertawa terbahak-bahak.
Memang
benar, dia banyak membantuku kali ini juga. Kalau dipikir-pikir, memberi
tahunya tentang hasil ini memang sudah jadi kewajibanku.
Saat aku
sedang merenung, tiba-tiba suara Yuzuha berubah menjadi lebih lembut.
"Yoshiki."
"…Apa?"
Dari ujung telepon, aku bisa mendengar
dia menarik napas dalam.
"…Selamat, ya."
"…Iya. Makasih buat
semuanya."
Aku mengucapkan terima kasih, lalu
menutup telepon.
Di layar ponselku, sebuah pesan baru
dari Hanazono muncul.
Yuuka: 'Sampai besok. Ketemu di
sekolah, ya.'
Aku tidak bisa melihat wajahnya dari
pesan ini.
Seperti apa ekspresinya saat ini?
Dengan pakaian apa, dan dalam posisi
seperti apa dia sedang menulis ini?
── Hari-hari baru akan segera
dimulai.
Dengan hati
yang berdebar, aku mengarahkan pandanganku ke luar jendela.
Di langit
malam yang gelap, sebagian besar bintang tertutup oleh cahaya lampu jalan.
Tapi di
antara mereka, ada beberapa yang tetap bersinar dengan jelas.
Mungkin,
cinta juga seperti itu—mencari dan menemukan cahaya yang bersinar di antara
kegelapan.
…Semoga
malam ini cepat berlalu.
Sudah lama
aku tidak berharap seperti ini.
***
Di bawah
langit yang mendung.
Di atap
sekolah, dua bayangan tampak melayang perlahan tertiup angin.
Remi Nikaido dan Yuuka Hanazono.
Keduanya adalah gadis cantik dari kelas
1-2 SMA Nishidai Kita, yang sering disebut sebagai kebanggaan kelas.
Biasanya, mereka hampir tidak pernah
berinteraksi. Namun, hari ini, mereka duduk berdampingan di atap yang sepi,
tanpa membawa barang apa pun. Seakan tempat ini dipilih semata-mata untuk
menghindari pandangan orang lain.
"Boleh aku tanya sesuatu?"
Saat Remi membuka pembicaraan, Yuuka
sedikit membuka mulutnya.
"Kenapa kamu mau berpacaran dengan
Ryouta?"
Mendengar pertanyaan itu, Yuuka
menjawab dengan suara pelan.
"Karena dia bilang… kalau aku tidak
mau menunjukkan sisi diriku yang tidak ingin diperlihatkan, aku boleh
menyimpannya sendiri selamanya."
"Oh… itu kata-kata dari
Ryouta?"
Nada Remi
terdengar sedikit terkesan.
Dia
terkejut mendengar bahwa sahabat masa kecilnya, yang dulu begitu ia kenal, kini
telah tumbuh dewasa tanpa ia sadari.
Remi
teringat bagaimana dirinya sendiri telah berubah, dan bagaimana hal itu membuat
sahabat kecilnya terlihat sedikit kesepian.
Kini, dia merasa seperti bisa memahami
sedikit perasaan Ryouta.
"Jadi kamu juga punya sisi yang tidak
mau diperlihatkan?"
"Tentu saja. Banyak sekali.
Tergantung pada orangnya, ada bagian dari diri kita yang tidak ingin kita
tunjukkan."
"Boleh aku tahu apa itu?"
"Kenapa? Dengan alur pembicaraan
seperti ini, rasanya aneh kalau aku malah memberitahumu, kan?"
Nada Yuuka terdengar sedikit waspada.
Namun, Remi tampak sudah terbiasa dengan reaksi semacam itu.
Dia hanya
mengangkat bahunya dengan santai.
"Aku
cuma khawatir kalau dia bakal menyusahkanmu nantinya."
Sebaliknya, Yuuka tetap mempertahankan
senyum lembutnya.
Mereka
berdua tidak saling menatap.
Seakan-akan, jika tatapan mereka
bertemu, sesuatu akan terjadi.
Yuuka kemudian mengarahkan pandangannya
ke anting yang dikenakan Remi.
"Anting itu… kebetulan sama dengan
milik dia, ya?"
"Hah?"
"Mungkin dia cuma lupa. Aku pernah
lihat sesuatu yang mirip di rumahnya."
Kali ini, giliran Remi yang
mengernyitkan alisnya.
"Lalu kenapa? Aku tidak akan
bilang apa-apa soal hubungan kalian, karena itu pilihanmu. Tapi—"
"Bukan cuma tidak bisa bilang
apa-apa. Aku juga tidak akan membiarkanmu berkata apa pun."
Yuuka bangkit berdiri, mengakhiri
pembicaraan begitu saja.
Seakan tidak ingin memberi ruang untuk
perlawanan.
Seakan ingin menegaskan bahwa kendali
ada di tangannya.
"Karena Yoshiki-kun adalah
pacarku."
Yuuka tersenyum.
Namun, di mata Remi, dia sama sekali tidak terlihat seperti
seseorang yang bisa dipercaya.