Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
Perjalanan menuju arcade berlangsung dalam sekejap.
Begitu memasuki tempat itu, musik yang riuh langsung
menggema di telingaku, membangkitkan semangat.
Namun, ternyata efeknya bukan hanya berlaku untukku,
tetapi juga untuk teman masa kecilku.
"Entah kenapa lagu ini bikin semangat, ya. Cocok
banget buat memulai hidup baruku sebagai pengumpul medali. Nah, kira-kira
berapa banyak yang bisa aku kumpulkan, ya?"
"Ucapanmu itu kayak penjudi tulen, yakin masa
depanmu aman?"
"Apa sih? Justru menabung itu sehat, tahu!"
"Aku ngomongin soal pola pikir yang kepikiran nabung
pakai medali!"
Remi tidak bisa menemukan balasan, dan untuk pertama
kalinya, dia hanya bisa menggerutu kesal.
"Sudahlah, ayo mulai main medali!"
…Oh iya, aku baru ingat. Remi memang suka banget sama
permainan medali sejak dulu.
"Jujur aja, aku kaget kamu masih main ini. Kukira
kamu sudah berhenti dari dulu."
Aku menggoda sambil mengingat kembali masa lalu, tapi Remi
malah mengernyitkan alis.
"Hah? Jadi kamu berhenti, Ryouta? Padahal kamu yang
menyeretku ke sini dulu!"
"Hah? Masa, sih?"
Begitu menyadari aku benar-benar lupa, ekspresi Remi
makin kesal.
"…Iya! Dulu, waktu ayahmu ngajakmu ke arcade, kamu
yang ngajak aku ikut! Terus setelah bikin aku kecanduan, kamu malah kabur
sendiri! Jahat banget, tahu!"
"Jangan ngomong kayak gitu, kesannya buruk
banget!"
Dulu, karena Seira tidak tertarik dengan game-game
kompetitif, aku sering mengajak Remi untuk bermain berbagai jenis permainan
denganku.
Pada akhirnya, yang paling membuat kami ketagihan adalah
permainan medali. Jadi, kalau dibilang aku yang menyeretnya ke sini, mungkin
ada benarnya juga.
Dulu, kami selalu bertaruh jumlah medali yang tersisa di
akhir hari.
"Sampai sekarang pun aku masih suka main gara-gara
kamu, jadi kamu harus tanggung jawab, tahu! Soalnya kalau aku ketahuan main
sendirian, orang-orang pasti mikir aku anak nakal. Padahal medali ini tidak
bisa ditukar jadi uang, kan!"
"Mungkin karena suasana arcade yang bikin kelihatan
seperti itu. Apalagi kamu pakai anting juga."
Aku melirik telinganya, di mana anting biru berkilau di
bawah cahaya lampu.
Mendengar ucapanku, Remi mendengus.
"Anting itu tidak ada salahnya, kan? Bukannya
aturan sekolah kita juga longgar soal penampilan? Aneh aja kalau tidak ada yang pakai anting."
"Ya, sih. Sekolah kita memang bebas soal itu, bahkan
ada yang mewarnai rambut juga. Tapi tetap aja, anting itu levelnya beda. Bisa
bikin kesan garang."
"Aku pakai ini buat fashion, tahu!"
"Aku tahu, kok. Tapi tetap aja, dari sudut pandang
orang lain, kesannya beda."
Remi memang sudah mencolok karena wajahnya yang cantik,
dan anting itu makin mempertegas kesan yang ia tinggalkan.
Kupikir Remi tidak akan suka jika aku mengatakannya
langsung, jadi aku memilih diam.
Lagipula, Hanazono mungkin juga tidak akan menyukai cara
berpikir seperti ini.
"Tapi ya, orang yang bisa cocok pakai anting itu
keren, sih."
"Hah?"
Remi terkejut, lalu tiba-tiba berhenti melangkah.
Tanpa menoleh ke arahku, dia bertanya lagi.
"Coba ulangi?"
"Hah? Eh… Aku cuma bilang, orang yang pakai anting
dan kelihatan cocok itu keren."
Aku bisa melihat matanya membelalak.
Beberapa detik keheningan pun menyelimuti kami.
Musik latar dari arcade mendadak terdengar lebih
nyaring.
Tapi kemudian, ekspresi Remi melembut.
Ia tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang
putih.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihatnya
tersenyum seperti itu.
"…Oh, begitu. Hehe, makasih, ya."
"A-apa, sih, tiba-tiba?"
"Tidak ada. Aku cuma… senang aja."
"O-oh, gitu…"
…Hanya dipuji saja, tapi dia bisa begitu senang. Ada apa
dengannya?
Senyum cerah tanpa beban yang ditunjukkannya tadi begitu
membekas di pikiranku.
Aku mengalihkan pandangan dan melangkah menuju area
permainan medali.
Masih sedikit merasa canggung, aku pun bertanya pada Remi.
"Permainan medali ada banyak. Mau mulai dari yang
mana?"
"Apa saja boleh. Ada banyak pilihannya, kan?"
"Ya, tapi aku sudah lama berhenti main, jadi tidak
terlalu ingat."
"Aku juga sudah lama tidak main, kok."
"Dari cara ngomongmu, kelihatan banget kalau kamu
memang kangen main ini."
Remi cemberut dan hendak membalas ketika tiba-tiba—
"Eh?"
Di depan mesin capit, aku melihat sosok yang familiar.
Sepertinya Remi juga menyadarinya dan langsung berhenti
melangkah.
"Itu… bukannya Yuzuha-san?"
"Kamu juga berpikir begitu?"
Sekitar lima atau enam meter di depan kami, seorang
gadis sedang berjongkok.
Topi yang dikenakannya sedikit menutupi wajahnya,
tapi ekspresi tegas dan warna rambutnya sangat khas.
Begitu aku mendekat hingga berjarak sekitar satu
meter, dugaanku berubah menjadi keyakinan.
Itu benar-benar Yuzuha Yui, salah satu pusat perhatian di
kelas.
"Seriusan, itu beneran Yuzuha. Kenapa dia ada di
arcade ini?"
"Tempat ini kan lumayan jauh dari titik kumpul. Rencananya, kita bakal ketemu pas belanja di mal,
kan?"
"Ya. Tapi sebenarnya, syarat pertemuannya juga
terpenuhi di sini…"
Kami memang memilih lokasi pertemuan yang memungkinkan
orang-orang menyebar tanpa langsung ketahuan.
Awalnya, tempat yang disepakati adalah pusat
perbelanjaan, karena mudah berpindah-pindah antar toko. Tapi arcade juga bisa
memenuhi syarat itu.
"…Tapi Remi, kamu mau main medali dulu, kan?"
"Hmm… Mau, sih. Tapi kita tidak tahu kapan
Hanazono-san datang. Mungkin lebih baik kita tunda dulu."
…Justru karena belum tentu ada kesempatan lagi, makanya
aku bilang sekarang.
Bagiku, ini bisa jadi kesempatan terakhir.
"Yah, kalau begitu, masa-masa pacar pura-puraku
selesai. Hmm… lumayan menyenangkan juga."
"Eh, tunggu. Kita tetap ke area medali, ya."
"Hah? Eh, bentar—"
Aku menarik tangan Remi sebentar, lalu segera
melepaskannya.
Dia tampak sedikit bingung dan bergumam pelan.
"…Jangan
tiba-tiba narik gitu, dong."
"Maaf, maaf."
Tuhan tidak akan marah hanya karena kita bermain sampai
waktu habis.
Jadi, menurutku tidak ada salahnya menikmati sedikit
lebih lama.
Saat aku berpikir begitu dan hendak pergi dari situ—
Dari sudut penglihatanku, aku melihat Yuzuha tiba-tiba menoleh.
"Hah? Eh, Yoshiki!?"
…Ketahuan.
Kalau aku sendirian, mungkin bisa menghindar. Tapi kalau Remi
juga sudah terlihat, tidak ada gunanya berbohong.
Aku menghela napas dan menyerah.
"Yah,
sepertinya waktunya sudah habis."
"Iya…
Aku juga sudah bersiap untuk itu."
Setelah mendengar jawaban Remi, aku mengangguk dan
berjalan mendekati Yuzuha.
"Yo. Ngapain di sini?"
"Ya, jelas main, lah… Wah, ketemu di sini, ya!"
Yuzuha menepuk dahinya.
Sekarang aku sadar, ini pertama kalinya aku melihatnya di
luar sekolah.
Sama seperti saat melihat Remi tadi, ada sesuatu yang
mencolok ketika melihat gadis yang biasanya berseragam kini memakai pakaian
kasual.
Ia mengenakan kemeja putih tipis dengan dua kancing
teratas terbuka, memperlihatkan kalung perak di dadanya.
Kalau cuma sampai situ, mungkin masih bisa dianggap
biasa.
Tapi kali ini, ujung kemejanya diikat di sekitar
pinggang, memperlihatkan perutnya.
Celana pendeknya bahkan lebih pendek dari yang dikenakan Remi,
dengan model jeans robek yang membuatku tidak tahu harus melihat ke mana.
Belum lagi, makeup yang menghiasi wajahnya membuat
matanya tampak berkilau.
Hanya menatap matanya saja butuh keberanian besar.
Kalau Takeru ada di sini, dia pasti bakal makin heboh.
Saat aku melakukan gerakan mulut tanpa suara untuk
memberi tahu "akting," Yuzuha dengan sigap melihat sekeliling.
Lalu, dengan sengaja ia mengangkat suaranya lebih keras.
"Eh, Yoshiki-kun! Aku lagi main UFO catcher buat
dapet jackpot? Mau coba? Siapa tahu bisa jadi miliarder dalam sekali
tarik!"
Meskipun tindakannya jelas dibuat-buat, senyuman cerahnya
tetap terpancar alami.
Sepertinya itu adalah ekspresi yang sudah terbiasa ia
tunjukkan secara refleks.
Namun tetap saja, aktingnya terlalu buruk sampai
membuatku khawatir.
"Kalau bisa jadi miliarder cuma dari boneka, dunia
bakal kacau. Minimal pakailah medali game buat cita-cita kaya mendadak.
Dan lagi, aktingmu payah banget."
Bagian
terakhir aku ucapkan dengan suara pelan, tapi Yuzuha hanya menanggapi santai.
"Aku tahu kok, ini baru pemanasan."
"Kalau tahu, ya tolong lebih diperhatikan
dong?"
"Oke! Tapi jangan hancurkan mimpiku jadi miliarder
ya, ini kan cuma bagian dari karakternya aja."
"Kenapa semua orang di usia ini udah pada jadi
penjudi sih…"
Yuzuha sempat menggembungkan pipinya, lalu buru-buru
mengempiskannya begitu ia menyadari keberadaan Remi di belakangku.
"Ah, maaf ya, Nikaido-san. Aku malah asyik ngobrol
sama Yoshiki. Salam kenal, hari ini kita main bareng ya!"
"Iya, salam kenal. Jangan pedulikan aku, Yoshiki-kun
memang tidak pernah melihatku kok."
"Oi!?"
Saat aku menatap Remi, dia sudah sepenuhnya dalam mode
sopan santun.
Yuzuha meliriknya dengan ekspresi lelah.
"Yoshiki, ya ampun… Tapi kalau dipikir-pikir,
dengan kondisi sekarang, sikap begitu lebih aman sih…"
"Jangan asal ngomong! Kalau sampai jadi masalah,
aku bakal kasih penjelasan yang jelas!"
"Hmm. Ya udah, anggap aja itu rencana yang masih
belum pasti."
"Maksudmu 'menjual kulit beruang sebelum
menangkapnya'? Seriusan, yang lupa bagian itu?"
Yuzuha memicingkan matanya sambil menggerutu, lalu
kembali tersenyum ke arah Remi.
"Ngomong-ngomong,
Nikaido-san juga suka ke arcade, ya? Kaget juga,
ternyata beda dari kesan pertama!"
"Yah, ini karena Yoshiki-kun bersikeras mau ke sini
sebelum ketemu yang lain."
"Ah, jadi ini idenya Yoshiki. Denger ya, Yoshiki,
kalau kamu sampai ngebiarin Nikaido-san kena masalah, bisa jaga dia tidak?"
"Tidak ada yang lebih merepotkan dari kamu,
Yuzuha."
"Heeeh? Barusan aku dengar sesuatu yang mencurigakan,
nih!"
"Masa? Remi, kamu dengar sesuatu?"
"Iya, aku dengar. Yoshiki-kun barusan bilang sesuatu
yang kejam ke Yuzuha-san."
"Jangan jual aku begitu aja dong!?"
Tadi, aku yakin banget Remi semangat banget buat main
medali game, tapi sekarang dia terlihat begitu tenang.
Kalau saja dia tidak mencubit pinggangku dari belakang,
aku pasti sudah keceplosan ngomong hal lain tentang sifatnya sejak kecil.
Sakit, tahu!
"Tapi Yoshiki, ini pertama kalinya kita ketemu di
luar sekolah pas libur, kan? Kirain kamu tidak pernah keluar rumah pas akhir
pekan. Kocak banget!"
"Jangan ngomong kayak aku ini hikikomori!"
Yuzuha tertawa sambil menepuk pundakku berkali-kali.
"Kalau bisa keluar, kenapa tidak bilang sih? Aku
jadi segan ngajak kamu. Tiga orang lainnya lagi main di lantai atas, lho. Mau
main bareng kita juga tidak? Aku lagi santai, nih!"
"Ya, sih. Aku memang jarang keluar pas weekend, tapi
bersantai di rumah juga asik…"
"Jadi boleh ngajak kamu keluar mulai sekarang? Atau tidak?"
"Tergantung situasi hari ini, deh."
"Yess! Asik banget!"
…Senyuman cerah ini terlalu silau.
Apakah efek liburan bikin dia jadi seceria ini?
Kalung perak di dadanya berkilau, dan jari-jarinya
yang ramping juga dihiasi cincin perak, benar-benar mencerminkan seorang gadis
yang stylish.
Bisa dibilang, dia terlihat lebih sulit didekati
dibanding saat memakai seragam.
Tapi di balik semua itu, dia tetap orang yang ramah.
Saat aku berpikir begitu—
"Eh, Yoshiki? Yui, kamu manggil dia ke sini?"
"Apa, emang kita kurang seru buatmu? Bukan masalah
sih, cuma nanya aja."
Dua orang mendekat.
Mereka adalah Takano Youko dan Sudou Maki, dua teman
sekelas yang dulu mengerumuni Remi saat hari pertama dia pindah sekolah.
Mereka juga bagian dari geng Yuzuha.
Yuzuha menggeleng pelan saat menyambut kedua temannya.
Rambut pirangnya yang terang berayun ke kiri dan kanan.
"Tidak, kita cuma kebetulan ketemu. Ngomong-ngomong,
kalian pernah ngobrol sama Yoshiki tidak?"
"Tidak terlalu sering sih."
"Sama, masih jarang juga. Yaahhoo~ Yoshiki-kun, mau
main bareng kita sekarang? Atau… kita bisa ngelakuin hal yang lebih
seru~?"
"Hei, jangan bercanda kayak gitu!"
Candaan konyol Sudou Maki langsung dihentikan oleh
Yuzuha.
Sebagai penghubung utama dalam grup ini, dia memang
pantas disebut idola.
Aku sebenarnya penasaran ingin menanyakan maksud dari
"hal yang lebih seru," tapi tatapan Remi cukup menyeramkan. Ditambah
lagi, bakal repot kalau Seira sampai tahu soal ini.
Saat aku tenggelam dalam pikiranku, Yuzuha tiba-tiba
berbisik.
"Maaf, becandaan tadi terlalu berat buat seorang
perjaka, ya?"
"Dengar ya, cuma fakta bahwa kamu tahu soal itu aja
udah cukup bikin aku menderita."
Yuzuha menjauh dariku sambil tertawa cekikikan.
Sudou dan Takano juga ikut tertawa kecil sambil berkata,
"Kalian akrab banget, ya."
Yah, mereka memang bagian dari grup Yuzuha. Keduanya
terlihat ramah, setidaknya kesan yang kudapat sejauh ini.
Saat aku bertemu kembali dengan Remi, mereka berusaha
menjaga agar suasananya tetap santai.
Dan bicara soal Remi… dia sekarang malah berdiri di
samping mereka, menyebarkan senyuman ramah.
Aku mencoba mengarahkan tatapanku padanya, tapi dia sama
sekali tak membalas pandanganku.
Kemudian, Takano dengan ceria mengusulkan sesuatu.
"Kalau gitu, sekalian aja kita semua main bareng! Lagian, anak itu juga sebentar lagi bakal
datang."
"Eh… uhm…"
Fokus utamaku hari ini adalah kencan dengan Hanazono.
Dan kalaupun bukan karena itu, aku tetap merasa tidak
cukup percaya diri untuk ikut bergabung dengan geng cewek-cewek ini.
"Tentu aja, Nikaido-san juga ikut, kan?"
Nada suara Takano terdengar penuh minat.
Dia dan Sudou tidak tahu tentang tujuan utama pertemuanku
hari ini, tapi mereka jelas punya ketertarikan dalam gosip.
Mungkin karena itu Remi otomatis diajak juga—mungkin ada
sesuatu yang tidak bisa sepenuhnya kusembunyikan.
"Hmm, kalau gitu aku terima aja ajakannya."
Sesuai rencana, Remi setuju untuk ikut.
Takano hendak menanggapi ucapannya, tapi sebelum itu—
Aku mencium aroma bunga yang samar.
──Sebuah firasat muncul dalam benakku.
Sebelum sempat menoleh, suara lembut terdengar dari
belakangku.
"Yosshi juga ikut, kan?"
Aku menoleh.
Hanya berjarak beberapa puluh sentimeter dariku,
Hanazono berdiri di sana.
Sepertinya dia mengintip dari belakangku sejak tadi.
"Uoah!?"
"Fufu. Kaget, ya?"
Hanazono tersenyum kecil, mengangkat ujung bibirnya.
…Sudah lama sejak terakhir kali aku melihatnya mengenakan
pakaian kasual.
Kardigan cokelat, tas tangan kecil berwarna hijau, serta
sepatu loafer yang senada dengan kardigannya—semua itu semakin mempertegas
pesonanya.
Sungguh mengejutkan melihatnya bisa begitu menyatu dengan
grup para gyaru ini.
Penampilannya lebih santai dibanding saat aku melihatnya
di tempat les.
Mungkin dia sengaja menyesuaikan diri dengan suasana grup
hari ini.
"H-Hanazono… Jadi kamu di sini juga?"
"Iya, aku di sini. Hari ini aku diajak gabung sama
mereka."
Di sebelahnya, Yuzuha tertawa pura-pura.
"Hehe, akhirnya aku berhasil ngajak dia!"
"O-oh gitu ya…"
Dia adalah cewek yang paling aku suka belakangan ini, dan
mungkin kami sedang dalam tahap "nyaris jadian."
Sekarang, aku berada dalam jarak yang belum pernah
terjadi sebelumnya dengannya, bertukar tatapan langsung.
Tapi kemudian—
Sebuah suara ceria menggema, menusuk telingaku.
"Eh, Yoshiki! Kayaknya kita baru inget ada rencana
lain, deh!"
Aku spontan menoleh ke arah Yuzuha.
…Tunggu. Jangan bilang dia benar-benar berencana
meninggalkanku di sini dengan Hanazono!?
"Oke! Youko! Maki! Nikaido-san!
Yuk, kita foto purikura!"
──Terlalu buruk!!
Remi juga tampak terkejut saat menatap Yuzuha.
Aku sudah menyerahkan rencana untuk membuatku berduaan
dengan Hanazono sepenuhnya pada Yuzuha, tapi tidak kusangka dia bahkan tidak
bisa berimprovisasi dalam situasi seperti ini.
“Eh? Terus aku sama Yocchi gimana?”
Hanazono
bertanya dengan nada bingung.
Ya, wajar
saja.
Takano, yang
tidak terpengaruh oleh Yuzuha, menunjukkan ekspresi curiga.
“Yui, apa yang kamu omongin sih? Tiba-tiba ngejauhin
mereka berdua, itu keterlaluan banget, tahu?”
“Yoshiki dan
Nikaido-san, ayo main bareng kita~”
Sudo
menambahkan dengan suara manja, membuat Yuzuha tersentak.
Aku ingin tahu bagaimana dia bisa bereaksi seperti itu.
Dan, seperti yang kuduga, kedua gadis ini memang baik
hati.
Mereka selalu melihat interaksiku dengan Yuzuha
dengan penuh kehangatan.
Aku melirik ke arah Remi, dan dia memasang ekspresi
seolah-olah berpikir hal yang sama denganku.
Kalau begini, mungkin lebih baik aku menghubungi
Hanazono nanti setelah berpisah.
Dengan Yuzuha yang tidak bisa mengarahkan situasi,
akan sulit bagiku untuk berpisah dengan Hanazono.
Jika begitu, pilihan yang ada hanyalah tetap bermain
bersama mereka berenam, tapi aku lebih memilih untuk membuka peluang di lain
kesempatan.
“Go-gomen, Hanazono, semuanya. Aku baru ingat ada
urusan, jadi aku harus pergi. Ajak aku lagi lain kali, ya.”
Jika aku keluar dari grup sekarang, aku tidak perlu
mengundang Takano dan Sudo yang hubungannya denganku tidak terlalu dekat di
pertemuan berikutnya.
Artinya, nanti aku bisa lebih mudah bermain hanya
dengan Hanazono, Yuzuha, dan Remi. Jika itu terjadi, peluang untuk berpisah
akan lebih besar dibanding hari ini.
Saat tujuan utamaku hari ini sudah sulit tercapai,
aku harus mempertaruhkan kemungkinan yang lebih besar.
“Oh, sayang sekali. Padahal aku ingin main bareng,”
kata Hanazono dengan nada benar-benar kecewa.
Mungkin itu hanya basa-basi, tapi tetap saja aku
senang mendengarnya.
Saat aku memikirkan itu, Yuzuha melirik Hanazono.
“Hanazono-san, ternyata kamu akrab banget sama Yoshiki,
ya. Di kelas jarang ngobrol, tapi aslinya dekat, ya!”
“Iya, soalnya kami satu bimbel. Dia teman baikku.”
“Hanazono-san bisa ngomong sejelas itu… Yoshiki, kamu
beneran populer, ya.”
“Kalau begitu, aku pergi dulu.”
“Kamu langsung ngacuhin!? Padahal kita bisa dapet foto
purikura yang langka banget bareng semua!”
Yuzuha tampak jelas kecewa, tapi Takano dan Sudo hanya
melambaikan tangan sambil berkata, “Oke, sampai ketemu di sekolah, ya~”
Dengan Yuzuha yang terlihat murung, kedua gadis itu
tertawa sambil berkata, “Kenapa, Yui? Tidak puas main sama kita?” lalu berjalan
menuju bagian dalam arcade.
…Persis seperti yang kuduga.
Mereka berdua memang suka Yuzuha, tapi mereka tidak
benar-benar tertarik padaku.
Remi menatapku dengan alis sedikit terangkat, lalu
menggeleng pelan sebelum melangkah pergi.
…Yah, wajar saja kalau Remi memilih ikut mereka.
“Yocchi.”
“Hmm?”
Hanazono sempat berdiri diam sejenak sebelum tersenyum
padaku.
“Kita main lain kali, ya?”
“…O-oke.”
Jadi, aku benar-benar boleh mengajaknya lagi nanti?
Semoga ada makna “berdua saja” yang tersirat di dalamnya.
Hanazono berbalik dan berjalan mengikuti keempat gadis
lainnya.
Punggungnya yang semakin menjauh, apakah akan kembali
jika kupanggil?
Aku menghela napas panjang, mungkin yang paling dalam
dalam beberapa waktu terakhir.
“Haaah…”
…Sama sekali tidak berjalan sesuai rencana.
Seperti yang Remi bilang, semuanya hanya perhitungan
kosong.
Bukan hanya karena Yuzuha yang tidak bisa
berimprovisasi, tapi faktanya, aku tetap tidak bisa mengajaknya tadi berarti
aku kalah.
Jika aku benar-benar ingin melakukannya, aku bisa mencari
kesempatan untuk berduaan kapan saja. Terutama di saat terakhir tadi, aku punya
peluang lebih dari cukup.
Memilih opsi yang punya kemungkinan lebih besar.
Aku berpikir begitu saat memutuskan untuk mundur, tapi
begitu sendirian, aku justru merasa lega.
…Pada akhirnya, aku hanya mencari alasan untuk tidak
bertindak.
Alasan kenapa aku belum pernah bisa menyatakan perasaanku
bukan karena ada sesuatu yang menghalangi, tapi karena aku tidak punya
keberanian.
Aku tidak bisa mengambil langkah terakhir itu.
Dan hari ini, fakta itu terbukti dengan jelas.
…Padahal aku sudah banyak dibantu.
Terutama Remi, yang sudah menemaniku sepanjang hari ini.
Aku tidak akan bisa menatap wajahnya nanti.
Mungkin dia tidak mengharapkan permintaan maaf dariku.
Tapi perbedaan besar antara kebahagiaan yang kurasakan
tadi dan kenyataan sekarang ini membuatku merasa seperti akan terkena flu.
BGM arcade terdengar terlalu bising saat aku sendirian,
jadi aku segera melangkah keluar dari gedung.
Saat aku hendak langsung pulang—
Tiba-tiba, ponselku bergetar.
Aku buru-buru mengeluarkannya dari saku.
Di layar, ada pesan dari Hanazono.
Jantungku berdetak lebih kencang.
Hanazono mengirimiku pesan saja sudah sangat jarang, jadi
ini saja sudah merupakan kejutan besar.
Saat aku membuka layar percakapan, mataku terpaku pada
pesan yang dikirimnya.
Melihat isi pesannya, aku merasa jantungku benar-benar
berhenti sejenak.
Yuuka: “Gimana kalau aku kabur? wkwk”
“…Hah?”
Aku tak sengaja mengeluarkan suara.
Kabur.
Artinya dia akan keluar dari grup.
Dan itu berarti kami bisa bertemu berdua saja.
Begitu aku memahami artinya, aku langsung membalas
dengan refleks.
Ketikanku sedikit berantakan, tapi aku berhasil
mengirim dua stiker sekaligus: “Hah!?” dan “Siap!”
Namun, sebelum aku bisa mengetik pesan lain, Hanazono
sudah mengirim pesan berikutnya.
Yuuka: “Aku tunggu di vending machine dekat situ ya”
“O-ooh…!?”
…Aku harus menyimpan layar percakapan ini nanti di rumah.
Mungkin Seira bakal menganggapku aneh, tapi tidak mungkin
ada cowok yang tidak bahagia dengan ini.
Aku memasukkan ponsel ke saku belakang dan berlari menuju
vending machine tempat Hanazono menunggu.
Kenapa dia memilih untuk kabur dan menemuiku?
Apa pun alasannya, ini mungkin adalah kesempatan
terbesarku.
Dan firasat itu membuat seluruh tubuhku dipenuhi energi.