PROLOG
Tiba-tiba saja, aku ingin
bertanya—apakah kau pernah merasa “nyambung” dengan seorang gadis?
Aku sendiri tidak tahu.
Perasaan “nyambung” itu bukan sesuatu
yang bisa diputuskan oleh satu pihak saja.
Namun, jika aku hanya perlu menilai
berdasarkan sudut pandang pribadiku, maka aku akan menjawab “pernah.”
Pasti ada banyak pria lain yang juga
merasa pernah mengalami hal yang sama—tentu saja, jika yang dihitung hanyalah
perasaan subjektif mereka sendiri.
Tapi kalau pertanyaan selanjutnya
adalah “Apakah ada perkembangan setelah itu?” maka jumlah pria yang bisa
menjawab “iya” pasti akan menyusut drastis.
Aku sendiri
tidak pernah mengalami perkembangan. Bahkan, lebih tepatnya, semua berakhir
dengan mundur ke belakang.
Meski
begitu, aku tetap ingin punya pacar.
Walaupun
nilai akademikku buruk, aku tidak bersinar di klub sekolah, dan tidak punya
keahlian khusus apa pun.
Tetap saja,
memiliki seseorang yang bisa menerima keberadaanku sepenuhnya—itu memiliki
kekuatan luar biasa yang mampu menutupi semua kekuranganku.
Namun, setelah menjadi anak SMA, aku
sadar akan kenyataan pahit ini.
Seorang pria yang tidak tampan, tidak
punya bakat, dan tidak memiliki sesuatu yang menonjol sepertiku, kemungkinan
besar tidak akan pernah mendapat pengakuan dari seorang gadis.
Dengan kata lain, “pacar” adalah
sesuatu yang begitu berharga, tapi orang sepertiku tidak akan bisa
mendapatkannya tanpa berusaha sendiri.
Saat menyadari hal itu, aku kembali
teringat pada masa lalu—ketika aku merasa pernah “nyambung” dengan seseorang.
Bagaimana jika saat itu bukan hanya aku
yang berpikir begitu?
Bagaimana jika aku memiliki keberanian
untuk mendekatinya lebih dulu? Apakah sesuatu akan berubah?
Aku selalu menyesal setiap kali
memikirkannya—karena “merasa nyambung” adalah gerbang pertama menuju cinta.
Ah… andai saja.
Andai aku bisa kembali menghabiskan
waktu bersama gadis yang dulu pernah membuatku merasa demikian.
Mungkin, bahkan seseorang sepertiku
masih memiliki kesempatan.
Dan itulah kegelisahanku, Yoshiki
Ryouta, seorang siswa SMA