NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Anokoro ii Kanjidatta Joshi-tachi to Onaji Kurasu ni Narimashita Jilid 1 Bab 5

 Penerjemah: Arif77

Proffreader: Arif77


BAB 5 - Gadis yang Memberi Tanda Positif

Rumah dua lantai yang berdiri sendiri.

Rumah keluarga Yoshiki ini berada di lingkungan perumahan yang tenang. Tidak bisa dibilang sempit, tapi juga jauh dari luas—hanya memiliki tata letak yang umum.

Kalau ada sesuatu yang sedikit berbeda, mungkin itu adalah ketimpangan antara kakak dan adik.

Sebagai kakak, aku hanya mendapatkan kamar berukuran enam tatami.

Sementara adikku, Seira, memiliki kamar sepuluh tatami.

Dulu kami berbagi kamar, tapi setelah pindah rumah beberapa tahun lalu, Seira—yang kini duduk di bangku kelas tiga SMP—selalu menunjukkan wajah kesal setiap kali aku memasuki kamarnya.

"Apa-apaan wajah itu? Aku sudah mengetuk pintu, tahu."

"Kalau aku tidak menjawab, artinya jangan masuk. Mungkin bagimu malam baru saja dimulai, tapi buatku ini sudah waktunya istirahat."

"Masih jam delapan, tahu? Jangan gitu, ini ada kejadian besar!"

Seira menatapku dengan mata besarnya yang sama sekali berbeda dariku.

Ekspresinya menunjukkan betapa tidak tertariknya dia, tapi aku akan bertaruh. Dalam tiga detik lagi, dia pasti bakal kaget setengah mati.

"Dengar baik-baik! Remi sudah kembali!"

"Udah tahu."

"Kok bisa!?"

Di dalam kamar adikku, yang lebih luas daripada kamarku sendiri, aku menaikkan suaraku dengan kaget.

"Jadi kamu udah tahu kalau dia bakal balik?"

"Yang tidak tahu cuma kamu. Mama kan sering banget teleponan sama mamanya Remi."

Seira mengerutkan dahi di balik majalah model yang dibacanya, lalu menghela napas panjang.

Celana pendek yang dikenakannya tersingkap sedikit, memperlihatkan bagian pakaian dalam yang sebenarnya enggan kulihat. Tapi kalau aku bilang, dia pasti bakal marah.

Ujung rambut hitam pendeknya melengkung sedikit, sepertinya baru belajar menata rambut seperti itu.

Meskipun baru masuk kelas tiga SMP, dia sudah berbicara kepada kakaknya dengan nada yang terdengar meremehkan.

Tapi aku sudah terbiasa dengan semua ini sejak lama, jadi hanya bisa menjawab dengan pasrah.

"Jadi, itu sebabnya belakangan ini Mama sering teleponan lama-lama, ya? Aku pikir dia baru punya teman baru di kelas melukis atau semacamnya."

Beberapa kali dalam seminggu, aku melihat Mama mengobrol lewat telepon di ruang tamu selama lebih dari satu jam.

"Kalau gitu, pantesan aja waktu aku coba telepon rumahnya Remi, tidak pernah tersambung."

"Mungkin, ya. Tapi bukannya ini kabar bagus buatmu? Remi balik, jadi kamu untung, kan?"

"Yah… kalau dari sisi dia gimana, aku tidak tahu."

"Tuh kan, kamu sendiri mengaku kalau ini menguntungkan buatmu. Duh, kebaca banget pikirannya, jijik banget deh."

"Oi, dasar anak ini…"

Sungguh, mulut adikku luar biasa tajam.

Bahkan lebih tajam dari Remi atau Yuzuha.

Apakah ini murni karena dia lagi di fase pemberontakan, atau memang aku yang tidak punya wibawa sebagai kakak? Aku rasa sih, kemungkinan besar yang kedua…

"Lagian, dia tinggal di apartemen, sementara kita di rumah tapak. Meskipun sebelahan, belum tentu sering ketemu, kan? Aku sendiri juga belum lihat dia sama sekali."

"Ya juga sih… Tapi tetap aja tidak nyangka kalau Remi bakal tinggal di apartemen yang selama ini bikin rumah kita kekurangan cahaya."

Mama selalu mengeluhkan apartemen itu yang berdiri tepat di batas aturan hak cahaya matahari.

Tapi belakangan dia berhenti mengeluh. Mungkin karena keluarga Nikaido yang pindah ke sana? Sepertinya sifat praktisku ini memang warisan dari Mama.

"Ah, sial. Gimana kalau aku ketemu dia pas lagi buang sampah pagi-pagi? Atau pas pakai baju rumah yang acak-acakan? Dia bakal ngira aku orang aneh tidak, ya?"

"Kamu ini kayak mahasiswi yang panik ketahuan bare face. Aku yakin dia sama sekali tidak peduli. Lagi pula, Remi kan katanya sudah sering banget dapat tawaran dari agensi sejak SD, kan? Punya wajah secantik itu, terus masih ingat kamu aja udah keajaiban."

"Kenapa sih kamu ngomong gitu!? Meskipun itu benar, ada hal-hal yang tidak perlu diucapkan!"

Aku mengacak-acak rambutku sambil berteriak.

Ya, aku tahu itu benar, tapi tetap saja… sakit rasanya mendengar langsung.

Sepertinya di dalam pikiranku, aku masih meyakini kalau aku adalah teman laki-laki paling dekat dengannya di masa lalu.

Sungguh manusia yang praktis.

Melihatku yang tampak frustasi, Seira menghela napas lagi dan menutup majalahnya.

"Tapi, Kak… Bukannya waktu SMP dulu kamu suka sama orang lain? Aku pikir sampai sekarang pun masih, tapi ternyata etidak?"

Tangan yang tadi sibuk mengacak rambutku langsung terhenti.

Seira menatapku dengan dahi berkerut.

"Ugh, kena banget, ya. Baru saja putus asa soal satu cewek, langsung pindah ke Remi-nee? Cowok kayak gitu sih jelas tidak bakal laku."

"…Bukan gitu maksudnya. Wajar kan kalau jadi agak bersemangat pas ketemu lagi setelah sekian lama? Lagian, siapa tahu orang yang kamu maksud itu beda sama yang aku pikirin."

"Hah? Bukannya pas SMP dulu kamu cuma suka sama satu orang?"

"Kamu tidak tahu, ya? Setelah sebulan kelas baru dimulai, suka sama orang lain itu hal yang biasa terjadi!"

"Ugh, jijik banget!? Cowok emang jijik!?"

"Kamu sendiri juga sering gonta-ganti idola favorit, kan!?"

Seira langsung berkata, "Itu mah beda jauh, kali!" sebelum akhirnya menyadari tatapanku.

Di saat yang sama, aku juga membuka mulut.

Bukan cuma sekadar balas-balasan kata, tapi sebagai kakak, aku merasa perlu mengatakannya.

"Seira."

"A-apa?"

"Kamu dari tadi kelihatan celana dalamnya, tahu—"

"Keluar dari sini, dasar kakak brengsek!!"

Bantal yang melayang ke arahku berhasil mengusirku keluar dari kamarnya.

◇◆

Keesokan paginya, begitu aku keluar dari rumah, aku langsung melihat Remi keluar dari lobi apartemennya.

Pertemuan di pagi hari, seperti menyelesaikan misi dengan kecepatan suara.

Kalau dipikir-pikir, waktu berangkat sekolah kami memang sama.

Dengan kata lain, kemungkinan bertemu dengannya lebih tinggi daripada ketemu slime di game RPG.

Remi tampaknya belum menyadari keberadaanku. Dia melangkah menuju sekolahnya yang baru di hari kedua kepindahannya.

Aku sempat ragu apakah harus memanggilnya atau tidak, tetapi akhirnya aku menguatkan diri dan menghentakkan kaki ke tanah.

"Pagi!"

"Hmm..."

Remi mengangkat wajahnya dengan ekspresi malas, lalu melepas earphone-nya.

Sayang sekali rambutnya menutupi wajahnya saat berbalik, jadi aku tidak bisa melihat profil sampingnya dengan jelas. Aku sadar betul kalau ini agak menjijikkan, tapi tetap saja.

...Seragam sekolah Remi kelihatan segar di mataku.

"Pagi. Kamu ternyata berangkat lebih awal juga, ya," ucapnya.

Tanpa sadar, aku tersenyum mendengar sapaan itu.

Mulai sekarang, pertukaran salam seperti ini akan menjadi bagian dari keseharianku lagi.

Memikirkan itu saja sudah membuatku sedikit bersemangat.

Sejauh ini, kehidupan sekolahku tidak buruk, tapi akhir-akhir ini terasa semakin baik.

Meskipun Hana Sono menolakku secara halus, hubungan pertemanan kami masih tetap ada. Aku memang sudah merasa kami cukup berjarak sejak awal, jadi itu bukan kehilangan besar.

Dengan kata lain, kehadiran Remi di sini adalah keuntungan murni bagiku.

Aku berjalan sejajar dengannya dan menjawab dengan riang.

"Ya dong! Percaya atau tidak, aku tidak pernah telat, lho!"

"Kamu memang selalu kelihatan rajin sih… dari dulu juga tidak pernah telat, kan?"

Dengan nada lesu, Remi menjawab sambil mengangkat bahunya.

Sepertinya fakta bahwa aku tinggal di sebelahnya sudah ia terima dalam semalam.

Yah, memang tidak ada pilihan lain selain menerimanya.

"Kamu kurang suka bangun pagi, ya?" tanyaku.

"Yah, lumayan sih," jawabnya datar.

Suara dan ekspresinya sedikit lebih dingin daripada kemarin.

Kalau bukan karena dia membenciku, berarti dia memang sangat tidak suka pagi.

Tapi mengingat dia bisa sampai di sekolah sepuluh menit sebelum bel berbunyi, dia masih lebih baik daripada Yuzuha.

Kalau aku memberi tahu Takeru bahwa "Nikaido Remi ternyata tidak suka pagi," dia pasti akan langsung berkata, "Wah, gua jadi relate banget!"

"Dulu pas kecil kamu tidak gini, kan? Apa karena udah SMA?" tanyaku lagi.

"Diam. Anak cewek itu banyak perubahan, tahu!"

"Ohh… banyak perubahan, ya."

"Hentikan jawaban bodoh itu! Gara-gara kamu, mood-ku jadi berantakan! Aku masih harus berusaha berlagak seperti anak baru pindahan hari ini!"

"Biasanya anak pindahan tuh justru berusaha cepat beradaptasi, kan?"

"Diam, kau!"

Remi menepuk pipinya sendiri dengan kedua tangan, seolah ingin memberi semangat pada dirinya sendiri, lalu berdeham.

"Aah, aah, tes mic, tes mic."

"…Kamu lagi ngapain?"

"Latihan. Kalau aku ngomong dengan nada seperti tadi, orang-orang suka salah paham."

"Salah paham jadi orang yang menakutkan?"

"Kurang lebih begitu."

Dia mengakuinya dengan mudah. Bukan karena itu benar-benar perasaannya, tapi mungkin dia hanya malas berdebat.

Waktu SD dulu, Remi tiba-tiba menjadi pemimpin di suatu titik.

Mungkin saat itu dia juga sering beradaptasi seperti ini.

Tapi Remi yang sekarang berbeda dari dirinya yang dulu sebagai pemimpin.

Gaya bicaranya lebih lembut, seperti seseorang yang berpotensi menjadi idola di sekolah.

Aku jadi penasaran, bagaimana dia saat SMP?

Aku merasa mengenal Remi, tapi ternyata masih banyak yang tidak kutahu tentangnya.

Aku sempat merasakan hal yang sama dengan Hanazono, tapi bedanya dengan Remi, aku bisa menanyakan langsung.

"Remi."

"Apa?"

"Aku sadar kalau aku sama sekali tidak tahu tentang dirimu yang sekarang."

"…Hah? Ya wajar lah, kita udah lama tidak ketemu."

Remi menjawab dengan nada sedikit heran.

"Itulah kenapa aku mau tanya. Kamu juga mengalami sesuatu waktu SMP?"

"'Kamu juga' maksudnya apa? Memangnya kamu ngalamin sesuatu? Aku sih tidak ada apa-apa."

"Uh..."

Dulu, Remi adalah teman masa kecilku, sama seperti Hanazono, tempat aku bisa berbicara tentang apa saja.

Tapi sekarang, perasaan ingin menjaga jarak agar dia tidak khawatir lebih kuat.

Karena suasana tidak mendukung, aku memutuskan mengubah topik.

"Kalau gitu, kamu mau masuk klub apa? Di sekolah kita, kecuali beberapa klub tertentu, hampir semua murid harus ikut klub, kan?"

Mendengar pertanyaanku, alis Remi sedikit bergerak.

Dia melirikku tajam, lalu segera mengalihkan pandangannya ke depan.

"…Aku masih bingung. Sebenarnya aku tidak berniat masuk klub mana pun."

"Oh, gitu ya."

"Kamu sendiri masuk klub apa? Masih main handball?"

"Aku? Aku sih... bisa dibilang anggota utama klub pulang sekolah."

Remi mengedip beberapa kali, seolah tidak percaya.

"Apa-apaan itu 'bisa dibilang'? Itu bukan kata yang dipakai untuk seseorang yang benar-benar ikut klub. Terus, peraturan sekolah ke mana? Jangan bilang kamu udah berhenti main handball?"

"Ya bisa dibilang begitu…"

"Aku tidak sedang memujimu! Jawab yang bener! Dua-duanya belum kamu jawab!"

Nada bicara Remi sedikit lebih keras, dan dia menatapku tajam.

Tapi bagiku, yang tiba-tiba merasa nostalgia dengan masa kecil kami, aku hanya bisa berpikir bahwa dia memang cantik.

Selama dia tidak menggunakan kecantikan dan bentuk tubuhnya sebagai senjata, aku tidak akan terpengaruh.

Mungkin karena merasa tatapannya tidak mempan, dia menghela napas setengah pasrah lalu berbicara lagi.

"Sudahlah, kalau kamu tidak mau cerita, aku tidak bakal maksa."

"Eh, kok malah jadi marah?"

"Aku tidak marah. Tapi kalau kamu tanya itu lagi, aku bakal tonjok kamu."

"Serem!?"

Nada suara Remi terdengar sangat kesal.

Mungkin karena tidak ada siswa lain di sekitar, dia kembali seperti teman masa kecilku yang dulu.

"Kalau gitu, mungkin aku juga bakal jadi anggota klub pulang sekolah dulu. Toh, waktu kita ketemu nanti paling cuma pas berangkat dan pulang sekolah, kan?"

"Oh, jadi maksudnya kita bakal sering bareng pas berangkat dan pulang sekolah?"

"Itu rencanaku."

Aku tanpa sadar mengeluarkan suara kaget, "Eh?"

Bukan karena aku menolaknya, tapi kalau cowok dan cewek sering pulang-pergi bareng, pasti bakal jadi pusat perhatian.

"Kamu yakin tidak apa-apa?"

"Aku kan tidak bilang setiap hari. Rumah kita sebelahan, jadi pasti bakal sering ketemu begini. …Kenapa? Keberatan?"

Remi menyipitkan mata, dan aku buru-buru menggeleng.

"Tidak, tidak! Aku cuma mikirin kalau orang-orang lihat, mereka bakal salah paham! Buatku sih ini keuntungan, jelas!"

Saat aku mencoba menjelaskan, Remi malah menunjukkan ekspresi terkejut.

"Jadi kamu ternyata mikirin hal itu. Tapi tidak masalah, kan? Lagian, buat kamu ini keuntungan, ya?"

"Tentu saja, kita ini teman masa kecil... Yah, selama tidak sampai merepotkan, tidak masalah sih."

"Bukan itu maksudku. Dari sudut pandang orang lain, kita ini tidak seimbang. Jadi mereka juga tidak bakal salah paham."

"Apa—!?"

Tanpa sadar aku menaikkan suaraku, sampai-sampai anjing yang sedang jalan-jalan beberapa meter di depan menggonggong.

Tapi Remi sama sekali tidak terpengaruh dan melanjutkan pembicaraan.

Aku benar-benar ingin dia memberikan penjelasan lebih lanjut.

"Yah, setidaknya aku lega bisa masuk klub pulang sekolah. Bakal merepotkan kalau aku dipaksa masuk klub."

"Barusan itu terdengar seolah-olah aku yang tidak selevel sama kamu!?"

"Dari sudut pandang orang lain, bukannya memang begitu?"

"Ugh!"

Serangan balik setelah pembicaraan berputar ini terasa seperti pukulan telak.

Aku sengaja menunjukkan ekspresi yang berlebihan, tapi jujur saja, itu cukup menggambarkan perasaanku saat ini.

Sial, ternyata semua yang dikatakan Seira benar...

Saat aku merasa sedikit down, Remi justru tertawa kecil, seolah merasa puas.

"Jangan sedih gitu, deh. Dari yang kulihat kemarin, reputasimu di kelas lumayan bagus, kok. Lagipula, aku juga berencana mendapatkan reputasi yang cukup baik agar tidak ada yang salah paham. Jadi, bagaimana menurutmu? Gimana impresimu tentang aku sebagai murid pindahan?"

"Jadi kamu sengaja akting, ya... Kepribadianmu tetap aja seperti dulu."

Mendengar jawabanku, Remi tersenyum tanpa beban.

"Kan?"

Melihat senyumannya yang kini tampak lebih lembut daripada dulu, pikiranku mulai berputar.

…Jadi dia benar-benar memperhatikanku seharian kemarin.

Sama seperti yang dikatakan Yuzuha.

—"Nikaido-san terus memperhatikan Yoshiki, lho."

Tapi kalau aku memberikan reaksi positif di sini, dia pasti langsung tahu apa yang kupikirkan.

Rasa gengsi yang aneh menahanku, jadi aku hanya memasang wajah santai.

"Yah, sudahlah. Ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak mau masuk klub?"

Begitu aku bertanya, Remi menatapku dengan ekspresi seolah dia sudah tahu aku akan menanyakan itu.

Saat aku tetap diam menunggu jawabannya, akhirnya dia berbicara.

"…Aku cuma merasa ingin punya lebih banyak waktu untuk diriku sendiri. Waktu SMP sih aku masuk klub, tapi kalau menurut ceritamu, aturan sekolah ini juga cuma formalitas, kan? Jadi untuk sementara, aku mau jadi anggota klub pulang sekolah dulu."

"Hmm, masuk akal juga. Itu bisa jadi pilihan yang bagus."

Memang, aturan wajib ikut klub di sekolah ini sudah lama tidak ditegakkan dengan ketat.

Bahkan aku dan Yuzuha, yang sejak awal tidak ikut klub, cuma ditegur sebentar setelah masa percobaan klub berakhir.

Apalagi untuk Remi yang murid pindahan, mungkin dia bakal langsung mendapat pengecualian.

Setelah itu, kami ngobrol ringan sepanjang jalan, dan sebelum sadar, kami sudah sampai di sekolah.

Begitu melewati gerbang, aku langsung merasakan banyak tatapan tertuju ke arah kami.

Saat masuk ke gedung sekolah, jumlah tatapan itu bertambah drastis.

Waktu aku mengambil sepatu dalam loker, ada beberapa orang yang melihat dari lantai dua.

Saat berjalan di lorong, hampir semua teman seangkatan menoleh ke arah kami.

Terutama para cowok, yang ekspresinya terlihat kurang senang.

"…Beberapa dari mereka mungkin bakal pingsan kalau tahu rumah kita hampir sebelahan."

"Itu bisa bikin orang salah paham, jadi jangan bilang, ya?"

"Tenang aja, ini rahasia kita berdua."

"Kenapa sih ngomongnya kayak gitu, jijik banget..."

"Keji banget, sih!?"

"Ahaha."

Tawa Remi menarik beberapa tatapan lagi dari para cowok.

Hari ini hari kedua dia pindah, jadi sepertinya mereka mulai berani mendekatinya.

Bisa saja hari ini aku tidak akan punya kesempatan bicara dengannya lagi.

Karena itu, aku memutuskan untuk bertanya tentang sesuatu yang mengganjal di pikiranku.

"Ngomong-ngomong, kalau kamu tidak tertarik sama klub, kenapa masuk sekolah ini? Kan masih banyak pilihan lain."

"…Kamu serius nanya itu?"

Remi berhenti melangkah dan menoleh ke arahku.

Seketika, sebuah ingatan muncul di benakku.

Wajah Remi yang berlinang air mata, dengan suara bergetar seolah sedang bersumpah.

—"Aku pasti akan kembali."

Kata-kata yang diucapkannya saat itu kembali terngiang di kepalaku.

"Aku cuma menepati janjiku."

"…Kamu serius?"

Saat kutanya, Remi melemparkan pandangannya ke luar jendela.


Lalu, Remi mengalihkan pandangannya kepadaku dan mengangkat bahunya.

"Berbohong, kok. Anak SD mana mungkin punya pengaruh untuk menggerakkan orang tua."

"Sial! Aku tertipu! Hampir saja tertipu!"

"Fufu. Tapi ibuku memang bilang kalau Ryota ada di sekolah ini, dan itu juga jadi salah satu alasanku memilih sekolah ini."

"Serius, nih? Aku boleh percaya yang ini, kan!?"

"Tentu saja. Kita dulu cukup dekat untuk itu, bukan?"

Remi tersenyum tipis, lalu masuk ke kelas lebih dulu.

Aku berdiri sejenak di pintu masuk, mengulang kembali kata-katanya di benakku.

...Remi benar-benar berubah dibanding dulu.

Dia masih tetap terus terang dalam mengekspresikan perasaannya, tapi aku tidak ingat dia pernah mengungkapkan perasaan baiknya dengan begitu jelas seperti sekarang.

Meskipun kata "sebagai teman" masih jadi embel-embelnya, kalau ini terjadi beberapa tahun lalu, aku pasti sudah salah paham.

Kalau ini terjadi saat kami masih SD, aku pasti semakin menyukainya.

Dulu, aku berpikir bahwa pacar pertamaku pasti adalah orang pertama yang kusukai.

Kenangan saat aku dan Remi akrab serta kenangan saat aku menjalani hidup setelah dia pindah, silih berganti muncul di pikiranku.

Lalu, aku menggelengkan kepala.

...Aku sudah tahu lebih dari cukup bahwa cinta tidak semanis itu.

Meyakinkan diri kembali, aku melangkah masuk ke kelas.

Udara yang hangat oleh sinar matahari menyambut kedatanganku.

***

Aku bermimpi.

Tentang apa yang terjadi setelah Remi pindah sekolah.

Aku kehilangan orang yang paling aku percayai dan paling aku sukai sepanjang hidupku, dan setiap hari terasa suram.

Aku tidak bisa terbiasa dengan kehidupan tanpa Remi, jadi setiap hari aku melewati rumah kosong tempat dia dulu tinggal dengan sepedaku.

Mungkin dia lupa sesuatu dan kembali mengambilnya.

Mungkin ada kerabatnya yang masih tinggal di sana, dan suatu hari dia akan pulang berkunjung.

Meskipun aku tahu kemungkinan itu hampir nol, selama liburan musim semi sebelum masuk SMP, aku tetap pergi ke sana setiap hari.

Saat hujan deras turun, aku tidak membawa sepedaku.

Itu menjadi alasan aku tidak pergi selama beberapa minggu, tetapi ketika aku kembali karena merasa kesepian, rumah Remi sudah berubah menjadi tanah kosong yang bersih.

Rasanya seperti semua kenangan ikut menghilang bersamanya, dan untuk pertama kalinya, aku menangis.

Mungkin saat itulah aku benar-benar menyadari kenyataan bahwa Remi sudah tidak ada lagi.


Setelah masuk SMP, aku mulai sibuk dan tidak lagi mampir ke tempat Remi dulu tinggal.

Di kepalaku, untuk pertama kalinya, ada banyak hal lain yang harus kupikirkan. Tapi di sisi lain, aku juga berusaha mencari cara untuk menyesuaikan diri dalam dunia tanpa Remi.

Namun, karena selama ini aku selalu berteman melalui Remi, awalnya aku kesulitan berbaur dengan teman sekelas.

Baru ketika aku naik ke kelas dua dan mulai merasa kehidupan SMP menyenangkan, sesuatu terjadi.

Di musim dingin, saat napas berubah menjadi putih di udara dingin, aku mendapati diriku sendirian dengan seorang gadis.

Sekarang, aku bahkan tidak ingin mengingat namanya.

Dengan senyum di sudut bibirnya, dia berkata,

"Aku sudah lama berpikir, Yoshiki itu orang yang baik, ya."

"Hah?"

Aku dan dia hanya kadang-kadang bertemu di jalan sepulang dari klub. Tapi ini pertama kalinya kami benar-benar berduaan.

Dia mengajakku pulang bersama, dan aku berusaha keras untuk tidak salah paham.

"Anak-anak cowok di kelas itu kebanyakan bodoh. Tapi kalau ngobrol sama Yoshiki, rasanya tenang. Kamu kayak tidak bakal tiba-tiba ngelakuin hal konyol gitu."

"Senang dengarnya, tapi aku juga udah kelas dua SMP. Ini wajar, kan?"

"Justru karena kita udah kelas dua SMP. Kayaknya kebodohan anak-anak cowok makin parah, deh."

"Haha, iya juga."

"Tuh, kan. Jadi Yoshiki jangan ikutan jadi bodoh, ya?"

"Serahin aja padaku!"

Saat itu, aku berpikir.

Aku dan dia sudah cukup akrab.

Setiap kali kami berbicara, rasanya jarak di antara kami semakin dekat, dan saat musim dingin tiba, aku bahkan mulai merasakan sedikit perasaan suka padanya.

Dia cukup populer, tapi sejak Remi pindah, aku tahu bagaimana rasanya menyesal karena tidak bertindak.

"…Syukurlah kamu ada di kelasku."

Dia bergumam seperti itu.

Aku bisa merasakan perasaanku berkembang dengan cepat.

—Mungkin ini yang disebut "berjalan dengan baik."

Teman-teman seusiaku mulai memiliki pacar pertama mereka, dan aku juga sangat ingin merasakan bagaimana rasanya berpacaran dengan orang yang kusukai.

Setelah menyadari perasaanku, aku mengambil tindakan.

"Hei."

"Hm? Apa?"

"…Mau tidak pacaran sama aku?"

Sesaat sunyi.

Lalu—

"Hah? Tidak mau, lah. Kenapa tiba-tiba?"

"Hah? Tapi… tapi kan…"

"Apa maksudnya 'tapi'? Aku baru aja bilang jangan ngelakuin hal bodoh, kan? …Serius deh, tidak banget."

Penolakan total yang begitu gamblang.

"Kamu tuh ya, salah paham kaya gini menjijikkan banget."

Setelah mengatakan itu, dia bangkit dari bangku dan pergi.

Di bawah langit yang dingin, aku sendirian.

Kalau memang dia tidak tertarik, kenapa dia mau pulang berdua denganku?

Kalau memang dia tidak tertarik, kenapa dia bilang merasa tenang saat bicara denganku?

Saat itu, aku benar-benar tidak mengerti.

Tapi aku belajar satu hal.

Kalau aku salah dalam menjaga jarak dengan seseorang, beginilah hasilnya.

Aku tidak bisa mempercayai instingku sendiri tentang hubungan dengan orang lain.

Ekspresi terkejut yang berubah menjadi rasa jijik—aku masih terkadang memimpikannya.

Dan setelah ditolak olehnya, aku mulai terisolasi dari kelas.

Namun, di saat itulah—orang yang membantuku adalah...

***

"Yuzuha Yui."

Saat nama lengkap itu keluar dari mulut Pak Hasegawa, aku terbangun dari tidurku.

Sepertinya tadi aku sempat tertidur sebentar.

"Dia telat lagi, ya. Yang akrab dengan Yuzuha, tolong ingatkan dia.»

Beberapa teman sekelas menoleh ke arahku, tapi mereka langsung mengalihkan pandangan.

Di bangku depan, sepertinya Takeru sedikit gelisah.

...Takeru, apa dia merasa harus mengambil inisiatif?

Waktu di sekolah berjalan dengan cepat.

Rumor tentang aku dan Yuzuha berpacaran sekarang sudah terbukti sebagai kabar bohong.

Padahal baru sebulan yang lalu rumor itu menyebar, tapi rasanya sudah seperti cerita lama.

Justru karena itu, jika ada yang diminta untuk menegur Yuzuha, pasti banyak yang ingin mengangkat tangan di kelas ini.

Atau mungkin lebih tepatnya, di seluruh sekolah.

Meski begitu, kalau ada yang harus bicara lebih dulu, aku ingin menjadi orang pertama yang melakukannya.

Alasannya sederhana.

Karena kami adalah teman.

Hanya itu saja yang diperlukan untuk memulai percakapan.

...Selain itu, aku juga punya utang besar padanya.

Aku mengingat kembali kejadian di masa lalu, lalu segera mengusirnya dari pikiranku.


Bel sekolah berbunyi, menandakan upacara pagi telah berakhir.

Saat semua orang mulai bersiap untuk pelajaran pertama, Takeru berbalik dan menatapku.

”Kamu tidak tahu apa-apa? Padahal kamu kan akrab sama Yuzuha.”

«Aku benar-benar tidak tahu. Lagipula, bukan berarti aku selalu berkomunikasi dengannya setiap hari.»

«Oh gitu? Kalau kamu aja tidak tahu, bisa jadi Yuzuha bakal tinggal kelas, nih. Tolong cegah, dong! Dia kan matahari kelas dua ini!»

«Yah... kalau aku bisa, aku pasti bakal ngomong sama dia. Aku memang udah berencana begitu.»

Dalam dua bulan terakhir, Yuzuha sudah tujuh kali terlambat.

Kalau dia masih bisa datang untuk pelajaran pertama, sih, tidak masalah. Tapi sejak SMP, dia memang selalu kesulitan bangun pagi.

Seperti yang dikhawatirkan Takeru, kalau begini terus, bukan mustahil dia bakal tinggal kelas.

”Aku yakin dia udah ngitung jumlah kehadirannya, sih. Bisa jadi malah dia bakal marah kalau aku ingetin.”

”Yah, mudah-mudahan aja dia udah hitung. Tapi aneh juga, ya? Tidak nyangka kalau Yuzuha itu susah bangun pagi. Soalnya dia kan tipe yang ‘selalu ceria dari pagi!’ gitu, kan? Sampai-sampai dijuluki Matahari.”

”Itu bukan julukan yang dia buat sendiri, sih. Lagipula, dia itu gyaru sejati, lebih condong ke tipe yang aktif di malam hari.”

”Itu sih bener. Tapi meskipun gyaru, dia juga baik ke anak-anak otaku. Wajar aja kalau dia dijuluki Matahari.”

Saat itu juga, pintu kelas terbuka dengan keras.

”Wah, kalau ngomongin orang, dia beneran muncul!”

Takeru berkata begitu lalu pergi ke loker untuk mengambil buku pelajarannya.

Padahal sebenarnya dia pasti ingin bicara dengan Yuzuha.

Tapi aku paham perasaannya.

Aku juga masih belum bisa berbicara dengan Hanazono. Sejak kejadian itu, aku bahkan tidak bisa menatap matanya.

Aku sempat mencari Hanazono di kelas, tapi langsung sadar kalau dia memang tidak ada.

Kalau dia tidak di kursinya, berarti dia memang tidak ada di kelas ini.

Aku menghela napas dan melangkah menuju Yuzuha.

Namun, sebelum aku sempat bicara, dia sudah menelungkupkan wajahnya di atas meja.

”Selamat pagi,” sapaku.

Dengan lesu, Yuzuha mengangkat wajahnya dan menatapku.

”…Haa. Yoshiki.”

”Pagi. Kamu ketiduran lagi?”

”Ya… semalam aku tidur kemaleman.”

”Kamu bisa tinggal kelas kalau begini terus, tahu.”

«Berisik. Biarkan aku tidur dulu.»

Setelah menjawab begitu, Yuzuha kembali menelungkupkan wajahnya di meja.

Setiap kali terlambat, dia pasti dalam suasana hati yang buruk.

Bahkan teman-teman cewek di gengnya pun enggan mendekat alua dia seperti ini.

Aku sendiri menyebutnya sebagai ‘Mode Pagi Yuzuha Yui.’

Hanya orang yang benar-benar dekat dengannya yang pernah melihatnya seperti ini.

Aku memilih untuk menganggap ini sebagai sebuah keistimewaan.

Bagaimanapun, kepribadiannya tetap sama.

”Hei, Yuzuha.”

Saat aku memanggil namanya, dia menggerutu dengan malas, ”Apa?” lalu menatapku.

Meski tampak ogah-ogahan, setidaknya dia masih mau melihat ke arahku saat aku memanggilnya.

Karena itulah, aku lebih mudah mengajaknya bicara.

”Ayo minum kopi. Kita ke vending machine di taman utara, yuk.”

”…Ah, itu ide bagus. Aku mau.”

”Baiklah, ayo pergi.”

”Uii~”

Seperti yang kuduga, Yuzuha sedikit lebih ceria dan mulai berdiri.

Aku merasakan tatapan seseorang dan menoleh ke samping.

Remi sedang berbicara dengan teman-temannya, tapi sepertinya juga memperhatikanku, mungkin bertanya-tanya ke mana aku akan pergi.

”…Ada apa?”

”…Ah, tidak. Bukan apa-apa. Ayo pergi.”

Setelah menjawab begitu, aku dan Yuzuha keluar dari kelas.

Nanti saja aku bicara dengan Remi.

Setiap kali aku dan Yuzuha keluar kelas berdua, dia pasti terlambat lagi.

***

"Sudah hilang ngantuknya?"

"Hmm... udah. Maaf, makasih ya."

Yuzuha menguap lebar lalu melemparkan kaleng kosong ke tempat sampah.

Sejak masuk SMA, Yuzuha jadi sering terlambat. Cara tercepat untuk mengatasinya adalah dengan memberinya kafein. Kadang-kadang aku yang harus traktir, tapi karena dia sering membantuku, rasanya aku harus membalasnya.

Yah, Yuzuha sendiri mungkin tidak merasa sudah banyak membantuku.

Yang jelas, lebih baik daripada dia harus mengulang tahun ajaran.

"Yuzuha, sejak masuk SMA kamu sering banget telat, ya. Sampai-sampai guru nyuruh aku buat negur kamu."

"Eh, parah. Aku udah jadi siswa yang kayak gitu, ya? Gurunya kan baru pertama kali jadi wali kelas, mungkin dia bisa memaklumi ini sebagai latihan dan ngelewatin aja, gimana?"

"Kamu ngomong kayak gitu dari posisi apa sih?!"

Yuzuha tertawa kecil. "Yoshiki ketat banget, deh."

Dia pasti bercanda, tapi kalau guru dengar, pasti bakal marah banget.

Setelah jeda sebentar, Yuzuha meregangkan bahunya hingga terdengar suara sendi berbunyi.

Aroma sabun menguar dari hoodie yang dia pakai di atas seragamnya.

"Ngomong-ngomong, gimana sama Nikaido?"

"Oh... Kami berhasil pulang bareng."

"Serius?! Mantap! Terus, abis itu gimana? Ternyata beneran ada harapan kayak yang aku bilang?"

"Tidak ada apa-apa, kok. Gimana mungkin aku bisa macem-macem sama cewek yang mungkin jadi idola semua orang?"

Bukan cuma karena itu juga, sih.

Yuzuha menggeleng mendengar jawabanku.

"Idola semua orang? Maksudnya Hanazono, kan? Soalnya menurutku, dia tuh idolanya kelas dua."

"Ya... bisa dibilang begitu."

Memang, Hanazono bukan cuma terkenal di kelas kami, tapi juga makin dikenal di seluruh angkatan cowok.

Setiap kali ada yang ngomongin cewek cantik, namanya pasti disebut.

Dia bahkan mulai masuk kategori legenda, sampai-sampai kalau ada yang nyebut namanya, dianggap terlalu aman dan tidak menarik.

Waktu Remi pindah ke kelas kami, cowok-cowok juga tidak langsung menyerbu. Mungkin karena tidak mau terlihat memalukan di depan Hanazono.

Tapi, Yuzuha juga ada di kategori yang sama.

Faktanya, Hanazono sampai dijuluki "malaikat tersembunyi," yang berarti di permukaan, Yuzuha lebih populer.

Buat para cowok, Hanazono mungkin yang "nomor dua di kelas," tapi buat Yuzuha sendiri, mungkin dia melihatnya sebagai nomor satu.

Bagaimanapun juga, aku bukan tipe orang yang suka bergosip soal begituan sama Yuzuha.

"Hanazono memang disebut sebagai idola, tapi menurutku, lebih banyak yang ngefans diam-diam sama dia."

"Hmm... iya juga. Kayaknya lebih sering dibilang cantik dari kejauhan."

Yuzuha mengangguk setuju, lalu dengan suara pelan bertanya:

"Kalau aku, orang-orang bilang aku apa?"

"Hmm... Ini bukan denger dari siapa-siapa sih, tapi menurutku, kamu itu 'gyaru idola yang bisa ditemui setiap hari.' Kamu kayak jadi pusat yang nyatuin semua orang."

"'Gyaru idola'?! Nama yang aneh banget!"

Mata Yuzuha membulat, lalu dia tertawa terbahak-bahak.

Tapi kemudian, dengan senyum yang masih tersisa di wajahnya, dia berbicara dengan nada yang lebih tenang.

"...Oh, gitu. Kalau Yoshiki mikirnya gitu, berarti usahaku tidak sia-sia, ya."

...Ternyata, nama itu lumayan pas juga, kalau kupikir-pikir.

Tidak nyangka si "gyaru idola" sendiri malah ketawa sampai segitunya.

"Ngomong-ngomong soal Hanazono, Yoshiki kan dulu satu bimbel sama dia pas SMP, kan?"

"Oh, kamu masih ingat juga ya. Sekarang sih udah tidak satu bimbel lagi."

"Iya, kan? Aku tidak pernah lihat kalian ngobrol di kelas, jadi aku sempat curiga Yoshiki cuma ngarang."

"Mana mungkin aku bohong soal itu. Cowok juga punya banyak alasan, tahu."

Belakangan ini, di antara para cowok, sudah mulai ada kesepakatan tak tertulis kalau Hanazono itu sosok yang tidak boleh disentuh.

Alasan aku kemarin bersikap hati-hati juga ada hubungannya dengan hal itu.

"Padahal mendingan kamu lebih sering ngobrol sama dia di kelas. Aku udah bikin suasana lebih enak dibanding pas SMP, loh."

"Aku sih berterima kasih, tapi tetap aja, ini soal lain."

Soalnya, sekarang ini aku susah ngobrol sama dia karena secara halus aku udah kena tolak.

Tapi tentu saja Yuzuha tidak tahu itu. Dengan ekspresi santai, dia malah berkata, "Tenang aja, Yoshiki pasti bisa!"

"Dasarnya apa coba...?"

"Ada, dong! Soalnya kamu itu temen yang udah aku pilih sendiri!"

Yuzuha tersenyum lebar.

...Kalau aku bilang dulu aku pernah hampir dekat sama Hanazono pas SMP, kebanyakan orang tidak bakal percaya.

Tapi, mungkin Yuzuha bakal percaya.

Kalau aku bilang ke adikku, sih, dia pasti bakal ngejek, "Itu mah tidak dekat sama sekali! Cuma salah paham doang, jijik banget!"

"Tapi ya, kalau dipikir-pikir, Nikaido lebih mungkin suka sama kamu karena dia teman masa kecilmu."

"Dasar bodoh. Hanazono aja jelas etidak, apalagi Nikaido. Kemarin juga—"

"Lho, kenapa? Kan aku udah bilang, dia sering melihat ke arah kamu. Itu jelas tanda ada harapan!"

"Ngeliat ke arah seseorang berarti suka, ya..."

Kalau yang dilihat itu Yuzuha Yui, mungkin iya.

Aku menghela napas, capek juga meladeni jawaban cewek yang ada di puncak kasta sosial ini.

"Hei."

"Apa?"

Aku melempar kaleng kosong ke tempat sampah.

Kaleng itu melayang membentuk lintasan parabola yang sempurna sebelum masuk ke dalam.

Yuzuha langsung bertepuk tangan dengan riang.

"Wow, keren banget!"

"Salah. Barusan kamu otomatis melihat ke arah kaleng itu, kan?"

"Hah?"

"Itu sama aja dengan apa yang aku bilang tadi."

Yuzuha memiringkan kepalanya sebentar, lalu menepuk tangannya begitu menyadari sesuatu.

"Oh, maksudnya Yoshiki itu sampah ya!"

"Salah besar! Jangan salah paham gila-gilaan gitu dong!? Maksudku, kamu tadi ngikutin pergerakan kaleng itu secara refleks, sama kayak orang ngikutin gerakan orang lain tanpa sadar!"

"Hahaha, jadi itu maksudnya!"

Dia ketawa lepas banget. Ini beneran temenku tidak sih?

"Ya ampun... Ayo balik ke kelas, bentar lagi pelajaran mulai."

"Eh, masih ada waktu satu menit, kan? Kita di sini dulu aja sebentar lagi."

"Itu cuma perasaan kamu doang! Normalnya kalau udah tinggal satu menit, orang udah balik ke kelas!"

"Tuh, keluar lagi kata 'normal'! Normal versiku aja beda!"

"Iya, iya..."

"Kalau sekali lagi kamu asal jawab gitu, aku bakal marah!"

"Maaf!?"

Sambil bertukar candaan seperti biasa, aku mulai berjalan ke arah lorong.

Guru berikutnya sih cukup santai, jadi kalau telat sedikit, mungkin tidak bakal kena marah terlalu keras.

Tapi pas aku mulai mikirin hal-hal tidak penting, Yuzuha tiba-tiba memanggilku.

"Hei, Yoshiki."

"Hm? Kenapa?"

Aku berhenti dan menoleh ke belakang.

Mata Yuzuha yang besar berkedip beberapa kali.

"...Menurutmu, aku temen yang baik tidak?"

"Tentu aja. Malu juga sih bilangnya, tapi aku beneran bersyukur punya temen kayak kamu, Yuzuha. Kamu bikin aku ngerasa lebih kuat."

Mata Yuzuha kembali berkedip beberapa kali.

Lalu.

"Kamu tuh jujur banget kalau ngomong, ya. Mungkin itu yang bikin aku suka."

Dia tersenyum.

"...Kamu juga jangan gampang ngomong kayak gitu. Kalau ada yang salah paham, kamu tidak bisa protes lagi, loh."

"Memangnya aku bakal protes? Ngomong jujur kan tidak ada salahnya. Aku suka, kok, habisin waktu bareng Yoshiki."

"......?"

Ada apa dengan Yuzuha?

...Dia adalah matahari kelas ini, yang bisa berbaur dengan siapa saja, baik yang populer maupun yang tidak.

Tapi mungkin, di balik itu semua, dia juga bisa merasa lelah.

Aku tidak punya bukti apa-apa, tapi entah kenapa, aku merasa begitu.

***

Saat kami kembali ke kelas, Remi sudah mulai memberikan presentasinya.

Dalam pelajaran bahasa Jepang, para cowok yang sedang serius mendengarkan pembacaan Remi melirik kami sekilas dengan ekspresi sedikit terganggu.

Namun, begitu melihat Yuzuha, mereka langsung menerima situasinya dan kembali fokus ke buku pelajaran.

Sepertinya senyum cerah Yuzuha sudah cukup untuk "menghancurkan" otak mereka.

Tapi anehnya, tatapan mereka yang diarahkan ke aku terasa lebih menusuk.

"Sekian."

Setelah mengucapkan itu, Remi langsung duduk kembali.

Dulu, kalau Remi mengakhiri pembacaan dengan kalimat seperti itu, mungkin orang-orang akan menganggapnya sedang bad mood.

Guru yang dikenal ramah itu menatap Remi dengan ekspresi lembut dan tersenyum.

"Terima kasih, Nikaido-san. Untuk kalian berdua yang terlambat, datang ke saya setelah kelas selesai, ya."

"Uh... baik, Bu."

Kupikir gurunya bakal santai, tapi ternyata tetap saja kami kena tegur.

Kalau sudah diperhatikan seperti ini, ke depannya bakal repot.

Sementara itu, Yuzuha tampak santai dan menjawab dengan ceria, "Maaf, ya!"

Jawabannya yang terlalu bersemangat membuat sang guru sedikit terkejut.

"Eh? A-anu... yang penting kalian paham, ya," ujarnya dengan suara sedikit goyah.

Kalau biasanya ada cewek bergaya gyaru yang datang terlambat, kesan pertama yang muncul pasti negatif, bahkan bisa dikira anak nakal.

Tapi entah kenapa, kalau Yuzuha yang melakukannya, orang-orang justru tidak menganggapnya begitu.

Biasanya, orang yang meminta maaf dengan terlalu ceria justru terkesan tidak tulus, tapi entah kenapa Yuzuha tidak pernah dicurigai.

Saat jam istirahat nanti, dia pasti bakal kembali seperti biasa—menjadi matahari kelas ini.

Aku duduk di tempatku dan secara refleks melirik ke arah Hanazono.

Dia tampak sibuk membaca buku pelajaran dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan menoleh ke arahku.

...Dingin banget.

Ya, aku tahu. Aku ini sudah pernah "diperingatkan" olehnya, jadi wajar kalau dia bersikap seperti itu.

"......Hmph."

Saat sadar, Takeru sudah menatapku dengan seringai jahil.

"Hei, kemarin aku bilang kalau lo bakal tetap menarik perhatian orang, kan? Dan lo bilang tidak mau bikin orang salah paham sama hubungan lo sama Yuzuha, tapi—"

"Diam, hadap ke depan."

"Kejaaaam!"

Sambil berpura-pura menangis dengan suara pelan, Takeru akhirnya kembali fokus ke papan tulis.

...Ya, aku tahu kalau terlambat masuk kelas bakal jadi pusat perhatian.

Tapi aku masih punya utang budi ke Yuzuha, dan aku tidak bisa gagal kelas sebelum membalasnya.

Saat itulah ponsel di sakuku bergetar.

Kulihat layarnya—pesan dari Yuzuha.

Yui: "Kita kena marah 😂 Maaf ya, aku jadi nyeret kamu juga 😂"

...Nah, ini aku setuju.

Saat aku hendak membalas dengan stiker, pesan lain datang bertubi-tubi.

Yui: "Oh iya, hampir lupa. Kemarin kamu bilang mau berusaha biar bisa maju dari ‘hampir dekat’ ke ‘beneran dekat’, kan? Terus sekarang ke mana semangat itu?"

...Sial, dia tahu titik lemahnya.

Aku juga sadar.

Kalau aku tidak segera bertanya, ini pasti bakal berlarut-larut lagi.

Tapi, ada satu hal yang masih mengganjal di pikiranku.

Aku pun melirik ke arah teman masa kecilku.


 Previous Chapter | ToC | Next Chapter

 

Post a Comment
close