NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jikan wo Tomete Dere Makuru, Saikyou Muteki no Kurono-san V1 Chapter 7


Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 7

Adik yang Mulai Bergerak


1 — Perspektif: Kurono Shia —


Ini adalah kisah masa lalu.


Orang yang melatih Kurono Shia saat masih kecil adalah ayah kandungnya, Toriya.


"Shia. Kemampuanmu adalah yang terkuat."


"Fufu. Tentu saja. Karena aku ini putri Papa."


Kurono Shia, saat itu berusia tujuh tahun.


Di dalam ruang latihan yang luas, dengan lantai beton dingin yang terbuka, ayah dan anak itu saling berhadapan.


"Namun."


"──!?"


Dia tidak sempat menghentikan waktu.


Dalam waktu kurang dari satu tarikan nafas sebelum kemampuannya aktif, jarak antara mereka telah memendek. Sebuah pukulan mengenai perutnya, membuat Kurono terjatuh.


"Kau bukanlah makhluk tak terkalahkan. Kau tahu kenapa?"


"Ugh, uu…"


Rasa sakit membuatnya sulit bernapas, dan akibatnya, kemampuannya tidak dapat diaktifkan.


Tanpa belas kasihan, sang ayah menginjak lantai hanya beberapa milimeter dari wajahnya, tanpa mengubah ekspresi sedikit pun.


"Jika ini adalah pertempuran sungguhan, kau sudah mati sekarang. Tahu kenapa?"


"A-aku… tidak tahu…"


"Karena kau lengah."


Tatapan pria itu yang dingin menatap ke bawah, tanpa sedikit pun kehangatan.


"Tadi, kau tidak bisa menghentikan waktu sebelum aku bergerak lebih dulu. Bahkan ketika aku menunjukkan niat membunuh, reaksimu sedikit terlambat. Namun, itu bukan karena kau ceroboh. Detak jantung dan nafasmu berada dalam kondisi tegang yang tepat, seharusnya kau bisa menghadapi situasi dengan tenang. Tapi kenyataannya, kau gagal. Kenapa? Karena hatimu memiliki celah."


Kata-kata sang ayah terukir di hati anaknya bersama dengan rasa sakit.


"Dengar baik-baik dan ingat ini. Celah itu berasal dari 'suka'."


Seakan itu adalah sesuatu yang menjijikkan, sang ayah melanjutkan.


"Karena aku adalah ayahmu, karena kita keluarga, perasaan itu menciptakan celah di hatimu. Hal yang sama berlaku dalam pertempuran. Jika kau merasa kasihan pada musuh, atau jika kau lengah karena sesuatu, maka itu akan menjadi celah yang membahayakanmu. Tidak peduli seberapa kuat kemampuanmu, kau tetaplah manusia yang memiliki perasaan. Kelemahan manusia tidak bisa diatasi dengan kekuatan apa pun."


Oleh karena itu—


"Mulai hari ini, kau tidak boleh 'menyukai' apa pun."


Perkataannya begitu kejam.


"Kau tidak boleh menyukai makanan atau minuman. Kau tidak boleh menyukai musik, hiburan, atau istirahat. Dan, kau tidak boleh menyukai keluarga, orang lain, atau siapa pun. Jangan biarkan rasa suka menciptakan celah di hatimu… Menurutmu, apa yang aku katakan ini terlalu keras?"


Gadis kecil itu mendengar suara ayahnya yang bahkan lebih dingin daripada lantai tempatnya terjatuh.


"Shia. Kau tahu kenapa dunia ini tidak damai?"


Sang ayah melanjutkan pembicaraannya.


"Saat ini pun, masih ada banyak orang jahat di dunia. Negara, organisasi, dan individu yang menggunakan kekerasan untuk menundukkan orang lain demi keuntungan mereka sendiri. Kenapa ini terjadi? Karena kekerasan dan kejahatan bisa menghasilkan keuntungan."


Ia melanjutkan, berbicara tentang tanggung jawab yang terlalu berat untuk disebut sekadar etika profesi.


"Dengan mengancam orang lain dan mengambil harta mereka, seseorang bisa mendapatkan keuntungan tanpa usaha. Dengan menyingkirkan orang yang menghalangi, hidup bisa menjadi lebih nyaman. Kejahatan seperti itu tidak akan hilang hanya dengan berbicara tentang hukum dan moral. Karena meskipun bertentangan dengan hukum dan moral, keuntungan yang dihasilkan tetap ada. ──Oleh karena itu, tugas kita adalah menghancurkan keuntungan itu sampai ke akarnya."


Itu adalah beban yang terlalu berat untuk ditanggung seorang gadis kecil.


"Jika melanggar hukum dan moral hanya akan berujung pada kehancuran total oleh kekuatan tertinggi yang tak terbendung, maka kesadaran itu akan menyebar di antara para penjahat di seluruh dunia, dan dunia ini akan menjadi lebih damai.

Dengan kemampuanmu, kau bisa mewujudkannya. Dengan menghentikan waktu, kau bisa melakukannya. Maka, demi perdamaian dunia, kau harus menjadi senjata terkuat dan tak terkalahkan—tanpa celah sedikit pun. …Jika kau mengerti, jawab aku, Shia."


"…Tidak."


Dengan gigi terkatup rapat, Kurono kecil menatap ayahnya dengan penuh amarah.


"Aku tidak mau!"


"Begitu, ya…"


Tanpa marah, sang ayah menjawab dengan nada datar.


"Kalau begitu, sampai kau tidak bisa mengatakan 'tidak' lagi, aku akan terus memukulmu."


Setelah itu, Kurono kecil dipukuli sampai ia akhirnya mengucapkan "ya."

Dia tidak bisa melawan kekerasan ayahnya.


Jadi, dia hanya bisa menuruti kata-katanya.


Lambat laun, senyum di wajahnya menghilang seperti sang ayah.


Seperti yang diinginkan, dia menjadi senjata terkuat dan tak terkalahkan, yang dengan tenang menghentikan waktu dan menghabisi musuhnya.


Dan saat itu hampir tiba—


Hingga dia masuk SMA.


Hingga dia mengenal cinta.


Saat Ini


Kurono duduk bersimpuh di lantai ruang tamu kamarnya.


Di hadapannya, duduk dalam posisi yang sama, adalah sang ayah—Kurono Toriga.


Ekspresi datar saling beradu. Tak perlu dikatakan lagi, suasana keluarga yang seharusnya akrab terasa membeku.


Kurono tahu. Bagi ayahnya, dia bukanlah seorang putri. Hanya senjata belaka.


Itulah sebabnya ayahnya kembali menghela napas dengan sengaja, seolah ingin menunjukkan ketidakpuasannya.


Senjata yang ia ciptakan sendiri perlahan-lahan mulai berada di bawah standar yang diharapkan.


Tatapan ayahnya mengarah pada papan gabus di dinding kamar, di mana sebuah foto tersemat dengan pin.


Itu adalah foto yang diambil Kurono ketika dia menghentikan waktu saat pergi bersama Kai beberapa hari yang lalu.


"Shia. Aku ingin memastikan. Anak laki-laki dalam foto itu, apakah dia pacarmu?"


"…Tidak, bukan."


"Kalau begitu, apakah kau menyukainya secara sepihak?"


"…Itu juga tidak."


"Shia. Menurutmu, apakah ada wanita di dunia ini yang akan memajang foto berdua dengan seseorang yang tidak ia sukai di kamarnya?"


"…Secara teori, itu mungkin."


"Begitu. Jadi kau bersikeras bahwa kau sama sekali tidak memiliki perasaan romantis terhadap anak laki-laki ini?"


"Itu benar."


Kurono menyangkal dengan tegas.


"Aku adalah agen S-Class dari Organisasi Kepolisian Internasional. Tidak mungkin aku terganggu oleh urusan cinta. Ja-jadi, a-aku sama sekali tidak menyukai Kai-kun!"


"Omong kosong. Kau pasti menyukainya."


Tentu saja, alasan Kurono dengan mudah terbongkar.


Ayahnya kembali menghela napas.


"Seperti yang kuduga. Sejak aku menyekolahkanmu di SMA biasa atas permintaan Komite Etika, aku sudah merasa tidak enak… Tapi tak kusangka kau bisa sejauh ini menjadi lemah."


"A-aku tidak lemah!"


Kurono secara refleks menaikkan suaranya dengan marah.


Namun, ayahnya mengabaikan dan tetap berbicara dengan nada datar.


"Foto itu diambil saat kau menghentikan waktu, kan? Tatapan anak laki-laki itu terlihat tidak alami. Shia, meskipun itu foto berdua, tetap saja itu bisa dikategorikan sebagai foto curian."


"…Ugh."


"Dari reaksimu, kurasa foto saja tidak cukup bagimu. Apa yang biasanya kau lakukan pada anak laki-laki itu saat menghentikan waktu?"


"T-tidak ada!"


"Pernah menggenggam tangannya?"


"…Sedikit."


"Pernah memeluknya?"


"…S-sekali, sepertinya."


"Bagaimana dengan ciuman?"


"…C-ci-ci—!? T-t-tidak mungkin aku melakukan hal seperti itu!!"


"Begitu ya. Kalau reaksimu seperti itu, berarti memang belum sejauh itu. Setidaknya ada satu hal yang agak melegakan. Bagaimanapun juga, Shia. Perbuatanmu ini adalah pelecehan. Hentikan segera."


"……"


"Jawabanmu?"


"………………Baik."


Setelah memastikan, ayahnya melanjutkan.


"Sekarang kembali ke topik utama. Kau sudah menjadi lebih lemah. Aku bisa merasakannya saat kita beradu tinju tadi. Ada keraguan dalam dirimu, celah yang terbuka. Karena itu, kau harus menjauh dari anak laki-laki itu dan kembali ke lapangan. Kembalikan insting bertarungmu. Aku akan mengurus izin dan kewajiban sekolahmu dengan Komite Etika."


Kurono menatap ayahnya dalam diam, hanya menunjukkan ketidaksetujuannya lewat sorot matanya.


"Kau tidak setuju?"


"Ya."


"Kalau begitu, kalahkan aku. Maka aku akan mempertimbangkannya."


Dalam sekejap, waktu berhenti. Dan di saat yang sama…


Tanpa mengindahkan beban pada bahu, lengan, maupun tubuhnya, tinju Kurono menembus dinding suara, hampir mengenai wajah ayahnya, tapi dihentikan tepat sebelum itu terjadi.


"…Jadi hanya sebatas ini, ya?"


Mata kiri ayahnya bersinar biru, kontras dengan milik Kurono.


Itu adalah bukti bahwa dia dapat melihat dan beradaptasi dengan dunia yang sama seperti Kurono.


Dunia di mana waktu berhenti.


"Cih."


Mendecak lidahnya, Kurono menyadari usahanya sia-sia dan melepaskan kemampuannya.


"Aku akan mengatakannya lagi. Shia, kau menjadi lemah. Itu karena kau mulai menyukai anak laki-laki itu, sehingga hatimu memiliki celah."


Ayahnya lebih kuat darinya.


Kurono menggertakkan giginya, menyadari bahwa perbedaan kekuatan mereka mungkin memang berasal dari hal yang dikatakan ayahnya.


Dengan kata lain, celah itu ada atau tidak ada?


Perbedaan rasionalitas manusia langsung tercermin dalam perbedaan kekuatan mereka.


"Shia. Akan sangat mudah bagiku untuk melatih ulangmu di sini, sekarang juga."


Genggaman kuatnya semakin menekan tinju Kurono yang ia tangkap.


Sedikit lagi tekanan, dan tulang jarinya pasti akan patah.


"Tapi, itu mungkin berhasil saat kau masih kecil. Sekarang, kau sudah cukup dewasa untuk memiliki kesadaran diri yang kuat. Artinya, mendisiplinkanmu dengan kekerasan hanya akan memberikan efek sementara. Saat kepala dan hatimu masih lunak, kau bisa dipaksa untuk berubah. Tapi jika sudah mengeras, yang ada hanya retakan."


Setelah berpikir sejenak, ayahnya berkata,


"Celah dalam dirimu harus kau buang sendiri. Itu cara terbaik agar dampaknya pada masa depanmu lebih kecil."


"Apa maksudmu?"


"Aku dengar bulan ini ada festival budaya di sekolahmu."


Barulah saat itu, genggaman pada tinju Kurono dilepaskan.


Sambil menurunkan tangannya yang kini lemas, ayahnya berkata,


"Sampai saat itu, kau boleh tetap bersekolah. Jadi, buanglah semua penyesalanmu."


Dengan kata lain—


"Ucapkan perpisahan pada anak laki-laki itu."


2 — Perspektif: Kai Rou —


Di pagi hari, Kai membuka pintu depan dengan seragam sekolah dan tasnya seperti biasa.


Namun, pintu kamar sebelah yang biasanya terbuka pada waktu yang sama tetap tertutup. Kurono tidak muncul.


"Apa ada sesuatu yang terjadi...?"


Kurono bukan tipe orang yang bisa terkena flu atau sakit. Mungkin ada tugas sebagai agen?


Kai tidak terlalu memikirkannya dan melewati kamar Kurono. Namun, tepat sebelum itu, ia berhenti. Atau lebih tepatnya, tubuhnya terasa seperti berhenti sendiri. Ada perasaan aneh yang mengusik hatinya.


"……"


Beberapa detik, ia ragu apakah harus menekan bel kamar Kurono atau tidak. Akhirnya, ia memutuskan untuk tidak melakukan apa pun dan melanjutkan perjalanannya ke sekolah.


Perjalanan ke sekolah seorang diri setelah sekian lama terasa sangat sunyi. Waktu yang terus berjalan tanpa henti terasa lebih panjang dari biasanya.


Lalu, waktu pun beranjak ke sore hari.


Untuk persiapan festival budaya yang tinggal kurang dari seminggu, kegiatan klub hari itu diliburkan. Di ruang kelas yang akan dijadikan kafe, suara Amafuro bergema.


"Susun kursi dan meja, ganti tirai, hiasi dinding itu dan yang di sana dengan lukisan yang bagus, lalu pada hari H kita bakar aroma terapi, dan selesai! Ayo semua, semangat!"


Kai berdiri di atas tangga lipat yang dipinjamnya dan sibuk menata ruangan. Di sebelahnya, Marusu yang sedang memegang bingkai lukisan menoleh.


"Kai, lukisan ini dapat dari mana?"


"Amafuro bilang dia meminjamnya dari karya individu klub seni."


"Oh, begitu ya. Tapi, apa orang bakal nafsu makan kalau melihat lukisan mirip Munch ini?"


"Yang ini malah berasa Beksinski banget..."


Marusu menoleh ke belakang sambil menata lukisan yang tampak seperti gambaran kiamat.


"Hei, Amafuro! Ini sih harus ditukar, kan?"


"Aku juga berpikir begitu, tapi ini sudah pilihan yang paling mendingan!"


"Serius? Anak-anak klub seni itu kebanyakan nyium thinner dari cat minyak, ya?"


"Kalau gitu, kenapa tidak sekalian saja kita tidak pasang lukisan?"


"Sayangnya, nggak bisa. Kita harus memajang lukisan mereka sebagai promosi, sebagai imbalannya mereka bantu jadi staf pada hari H."


Amafuro menghela napas kecil.


"Kurangnya tenaga kerja itu menyebalkan... Duh, aku pengen banget punya robot kucing itu. Ah, ide bagus! Gimana kalau kita minta mereka melukis potret imutku sekarang juga? Bagaimana, Marusu? Ide brilian, kan?"


"Eh, kalau dipikir-pikir, lukisan ini ada pesonanya juga. Kayaknya nggak perlu diganti deh."


"Heh, jawab pertanyaanku dulu, dong!"


Meninggalkan mereka yang mulai bertengkar seperti biasa, Kai melanjutkan pekerjaannya.


"……"


Saat itu, Kurono berjalan melewatinya dalam diam.


Akhirnya, Kurono tetap masuk sekolah hari ini. Ia mengikuti pelajaran seperti biasa... dan sekarang, ia sedang sibuk menata tempat duduk pelanggan di kafe.


Memang, Kurono selalu pendiam. Tapi hari ini ada sesuatu yang aneh. Karena...


(Dia sama sekali tidak menghentikan waktu.)


Sejauh yang Kai ingat, ini belum pernah terjadi sebelumnya.


Mungkinkah... saat mereka pergi keluar tempo hari...


(Apa aku membuatnya marah?)


Tapi kalau begitu, Kurono pasti sudah bereaksi saat itu juga. Nyatanya, sampai kemarin, ia masih sering menghentikan waktu... dan melakukan berbagai hal.


Hari ini, Kurono jelas berbeda, dan alasannya tidak diketahui.


Itulah sebabnya Kai tidak bisa berhenti memikirkannya.


Lalu, saat ia kembali melirik Kurono untuk kesekian kalinya...


"────Eh."


Kai terdiam.


Di pipi Kurono, ada setetes air mata yang mengalir turun.


Seakan menyadari hal itu sendiri, waktu pun berhenti. Dalam keheningan yang membeku, gadis itu menghapus air matanya.


Begitu dunia kembali bergerak, Kai spontan membuka mulutnya.


"Kurono-san..."


3 — Perspektif: Kurono Shia —



Saat menyadarinya, air mata itu sudah jatuh di pipinya.


Rasanya sama seperti hari ketika ia salah paham bahwa Kai akan pindah sekolah. Kehangatan yang sama mengalir di pipinya dan jatuh ke lantai.


"……Ah."


Kurono refleks menghentikan waktu.


Ia menghapus air matanya, menghapus jejaknya, dan kembali menggerakkan waktu.


Ia tidak ingin Kai melihatnya menangis. Itu memalukan. Dan lebih dari itu... Kai pasti akan mengkhawatirkannya.


Dan jika dia diperlakukan dengan lembut seperti itu lagi... hatinya tidak akan sanggup menahannya.


Jadi, ah... ia menyadari dengan begitu jelas.


Ia memang telah menjadi lemah. Ia tidak lagi kuat atau tak terkalahkan, hanya seorang gadis biasa.


Dan ia tahu betul, perasaan ini adalah bukti paling nyata dari semua itu.


Dirinya yang sudah melemah seharusnya tidak berada di sisi Kai lagi.


"Anu, Kurono-san... Kamu nggak apa-apa?"


Mungkin ia sedikit terlambat menghentikan waktu. Kai tetap menegurnya.


Dan itu membuatnya merasa bahagia sekaligus menyakitkan.


"Ya. Aku nggak apa-apa. Cuma ada debu masuk ke mataku, itu saja."


"Begitu ya. Kalau memang nggak apa-apa, ya sudah... Tapi, kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk cerita, ya?"


Dengan senyum tipis, Kai berkata,


"Kita teman, kan?"


Kata-kata itu menjadi pukulan terakhir. Pikirannya hancur. Perasaannya meluap-luap.


Kurono sekali lagi menghentikan waktu.


Lalu, seolah hendak menerkam, dia memeluk dada Kai dengan erat.


Karena dia tahu lawan bicaranya tak bisa mendengar, maka justru itulah saat yang tepat untuk mengungkapkan segalanya.


"Aku… tidak baik-baik saja…!"


Dalam dunia yang terhenti, perasaan yang telah tertahan akhirnya meluap tanpa kendali.


Ayahnya yang tiba-tiba datang, lalu memutuskan untuk mengeluarkannya dari sekolah.


Itu berarti dia dianggap telah menjadi lemah, dan karena itulah, dia diperintahkan untuk mengucapkan selamat tinggal pada Kai.


Kurono mengungkapkan semuanya dalam satu tarikan napas.


"Tidak… aku tidak mau berpisah! Kita akhirnya bisa pergi bersama, masih banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu…!"


Air mata yang seharusnya telah berhenti kembali mengalir.


Perasaan yang tak terbendung itu menetes di dunia yang telah dia hentikan.


Begitu lama gadis itu menangis di dada pemuda itu, hingga akhirnya, dengan suara kering, dia berbisik.


"…Tapi, mau bagaimana lagi. Aku adalah agen terkuat dan tak terkalahkan… Aku harus menjadi seperti itu… Jadi, ini adalah perpisahan."


Lalu, dia mengembalikan waktu ke semula dan berbicara pada Amafuro.


"Kain meja, sudah selesai."


"Terima kasih, Shia-chan! Kalau begitu, persiapan hari ini selesai! Ayo mampir ke restoran biasa sebelum pulang—"


"Tidak."


Kurono menundukkan kepala.


"Maaf. Aku ada urusan hari ini, jadi aku pamit dulu."


4 — Perspektif: Kurono Shia —


Kai berjalan pulang sendirian di jalur yang biasa.


Kurono menolak ajakan Amafuro untuk mampir ke restoran, mengatakan bahwa dia sedang tidak enak badan.


Dia menutup pintu depan yang terasa lebih berat dari biasanya.


Melepas sepatu, membiarkan tasnya tergeletak di lantai.


Kemudian, dia langsung terjatuh tidur di atas tempat tidur.


Kepalanya yang terasa berat tenggelam dalam-dalam ke kasur.


"……"


Dia tidak tahu bagaimana harus menerima kejadian hari ini.


Kurono telah mengucapkan selamat tinggal dalam dunia yang terhenti. Namun, Kai sendiri tidak mengerti perasaannya.


Apakah dia sedih? Apakah dia merasa kesepian?


Badai di dalam dadanya berputar begitu kencang, dan seiring waktu berlalu, warna-warna emosinya bercampur menjadi satu hingga tak lagi bisa diberi nama.


Yang pasti hanyalah satu hal. Dia merasa benar-benar buruk dan tidak nyaman.


Dia membalikkan badan, menatap langit-langit.


Ruangan yang lampunya tak dinyalakan kini sudah gelap gulita.


"Sial…"


Hari ini, semuanya terasa tidak penting lagi.


Dia hampir ingin membiarkan dirinya tertidur begitu saja.


Namun saat itu—


"Onii-sama? Kalau sudah pulang, panggil aku, dong."


"Sialan…"


Dari kamar sebelah, adiknya keluar dengan pakaian santai dan rambut yang masih berantakan akibat tidur.


"Kamu tidak melihatnya?"


Dia merujuk pada kamera dan mikrofon super mini yang ditanamkan di tubuhnya saat operasi, perangkat yang membuat Sotomichi bisa selalu mengawasi gerak-gerikku di luar.


Kai sudah terbiasa dengan fakta bahwa adiknya selalu tahu apa yang terjadi padanya.


Maka, dia mengira kejadian hari ini pun pasti sudah diketahui.


"Tentang apa? Ah… kalau itu terjadi saat waktu berhenti, aku tidak bisa mengetahuinya. Kamera dan mikrofonnya juga ikut mati, jadi beneran, hanya kau dan gadis itu yang tahu."


Sotomichi duduk di tepi tempat tidur, lalu berkata,


"Ada sesuatu yang terjadi, ya?"


Biasanya, dia akan memerintah dengan nada tegas, "Ceritakan padaku."


Tapi hari ini, suaranya berbeda.


"Kalau kau mau, aku bisa mendengarkan."


——Kai akhirnya menceritakan segalanya.


Tentang apa yang dikatakan Kurono.


Tentang bagaimana ayahnya datang dan memaksanya keluar dari sekolah.


Tentang bagaimana, dalam dunia yang terhenti, dia menangis dan mengungkapkan semuanya kepadanya.


Setelah mendengarkan dengan diam, Sotomichi akhirnya berkata dengan singkat,


"Begitu, ya."


Reaksi yang terlalu datar itu tiba-tiba membuat Kai merasa cemas.


"Hei… kalau Kurono pergi, apa yang akan terjadi dengan kita?"


"Aku tidak tahu."


Tanpa melihat ke arah Kai, Sotomichi berkata,


"Operasi Onii-sama dan aku, semuanya dilakukan demi menghadapi perempuan itu.…Jika setelah ini kita tidak bisa lagi melakukan kontak dengannya, maka keberadaan kita tidak ada artinya. Dalam situasi seperti itu, aku sendiri pun tidak tahu apa yang akan dilakukan organisasi terhadap kita."


Tapi mungkin saja… Dengan senyum sinis, dia menambahkan,


"Sebaiknya jangan terlalu berharap."


Kakak dan adik. Di dalam kamar yang tak memiliki aliran listrik, kepura-puraan sebagai satu-satunya keluarga yang mereka miliki terasa begitu rapuh dan kosong.


"──Hei, Onii-sama. Kalau kau mau, bagaimana kalau kita kabur bersama?"


"Eh…?"


"Kita tinggal di tempat yang jauh. Berdua… seperti keluarga yang sesungguhnya."


Kai tidak bisa menjawab.


Dia tidak tahu harus menjawab apa.


Seakan menyadari kebingungan itu, Sotomichi menatap Kai dan berkata,


"Hanya bercanda, kok."


Tapi senyum yang digunakan untuk menutupi perasaannya itu, sama sekali tidak terdengar seperti bercanda.


Kai, secara impulsif, membuka mulutnya.


Mungkin karena hal itu selalu terlintas di sudut pikirannya.


"…Hei, bagaimana kalau kita hentikan semua ini?"


"Eh?"


Sotomichi menatapnya dengan ekspresi bingung.


Kai melanjutkan tanpa ragu.


"Aku berpikir untuk mengatakan semuanya pada Kurono. Sebelum dia keluar dari sekolah. Tentang operasi, organisasi, dan tentang kita… semuanya."


"...Apa kau waras?"


"Aku pasti akan ditangkap dan mengalami hal yang buruk. Tapi bagaimanapun juga, kalau kita terus seperti ini, organisasi juga tidak akan membiarkan kita begitu saja. Kalau begitu, lebih baik aku menyerahkan diri. Setidaknya dengan Kurono di sana, aku bisa percaya kalau dia akan membantuku."


Kalau begitu…


"Mungkin aku dan kau bisa selamat. …Tidak, aku akan meyakinkan Kurono agar dia pasti menyelamatkan kita. Jadi, ayo hentikan semua ini."


Seberapa lama keheningan itu berlangsung?


"Haha… Haha… Ahaha."


Suara kering yang bergema di dalam kamar itu, awalnya tidak terdengar seperti tawa.


Karena itu terlalu…


"Onii-sama. Dengan kata lain, maksudmu──"


Penuh dengan kemarahan.


"Kau hanya tidak ingin berpisah dengan Kurono Shia, kan?"


Kai terlonjak dari tempat tidur dan menahan nafas.


Bukan hanya karena kata-kata itu.


Lebih dari itu, karena intensitas emosi yang dilemparkan kepadanya.


"Selamat? Yang akan selamat hanya kau saja, Onii-sama!"


"──!?"


Saat dia menoleh, Sotomichi menatapnya dengan mata yang melebar, berkilau dalam warna gelap yang pekat.


Dan Kai mengenal sensasi itu.


Waktu… berhenti.


Namun dibandingkan dengan Kurono, itu hanya berlangsung sekejap.


"Gah…!"


Dalam sekejap itu, Sotomichi menerjang ke arahnya dan menghantam perutnya dengan tinju yang memiliki kekuatan tak masuk akal untuk seorang gadis yang lebih muda.




Waktu kembali bergerak. Kai terjatuh sambil memegangi perutnya.


Apa yang terjadi? Kenapa? Dengan kepala yang masih kosong, dia menatap Sotomichi yang berdiri di atasnya.


"Akan kujelaskan padamu, Onii-sama. Aku adalah eksperimen pertama dari operasi yang sama denganmu, eksperimen penghentian waktu. …Tapi aku adalah kegagalan. Aku tidak bisa bergerak dalam waktu yang dihentikan, hanya bisa merasakan dan menghentikan waktu selama dua detik. Dan──"


Di tengah ucapannya, Sotomichi tiba-tiba batuk keras.


Bahu kecilnya bergetar beberapa kali, dan telapak tangan mungil yang menutupi mulutnya ternoda warna merah.


"...Setiap kali aku menggunakannya, tubuhku mengalami tekanan besar. Dan efek samping operasinya… tidak seperti kau yang hanya kehilangan warna rambut, otakku mengalami kerusakan parah. Umurku… kalau dihitung sebagai sisa hidup, aku hanya punya beberapa tahun lagi."


Lalu, dengan suara yang hampir seperti bergumam, dia menyimpulkan.


"Jadi, dengan kata lain, bahkan jika aku selamat, tidak akan ada masa depan bagiku."


"Ngh… hah…"


Nafasnya tersengal. Perutnya seperti mengecil. Sesuatu yang tak terlihat mencengkeram tulang punggungnya, dan keringat dingin tak berhenti mengalir.


Kai benar-benar tidak tahu harus berkata apa.


Tapi dia sadar satu hal, bahwa dia sudah melangkah ke dalam bagian dari gadis ini yang tidak bisa diperbaiki lagi, ke titik tanpa jalan kembali.


"Ah, benar juga. Aku sudah memutuskan."


Dengan ekspresi yang tak terbaca, suara dingin itu berlanjut.


"Onii-sama, mulai sekarang aku akan menghancurkanmu sepenuhnya."


"Karena aku tidak bisa memaafkan ini. Kita sama-sama eksperimen dari operasi yang sama, tapi kenapa hanya kau yang bisa hidup dengan santai, bahagia bersama orang yang kau suka? Organisasi, misi, semuanya sudah tidak penting lagi bagiku. Aku akan mempertaruhkan sisa waktuku untuk membunuhmu, menginjak-injakmu."


"......"


"Kau tidak suka? Kau ingin aku berhenti? Tapi ini salahmu sendiri, tahu? Kalau tadi kau mengangguk, kalau saja kau bilang ingin tetap bersamaku, itu sudah cukup. Itu saja sudah cukup."


Karena…


"Aku senang tinggal bersamamu, Onii-sama."


Dari mata hitamnya, air mata jatuh.


Sudah terlambat untuk menyekanya, tetesan besar jatuh ke lantai satu per satu.


"…Tapi sekarang, hanya kau yang memilih untuk mengungkapkan segalanya pada perempuan itu dan bertaruh pada masa depan di mana kau bisa selamat? Bagus, kalau berhasil, mungkin kita berdua akan selamat. Tapi aku tidak akan hidup lama. Lalu, setelah aku mati, apa yang akan kau lakukan? Kau akan melupakanku begitu saja dan hidup bahagia dengan perempuan itu, kan? Mana bisa aku membiarkan hal seperti itu terjadi."


Jadi, hei, Onii-sama.


"Pesta festival budaya sepertinya waktu yang tepat. Sesuai keinginanmu, silakan nyatakan perasaanmu pada Kurono Shia. Lalu, tepat di depan perempuan itu, aku akan membunuhmu. Apapun yang terjadi, dengan cara apapun, aku pasti akan membunuhmu. Memang benar, aku tidak bisa menandingi perempuan itu. Tapi saat dia lengah karena baru saja ditembak oleh laki-laki yang dia suka, aku pasti bisa menemukan celah untuk membunuhmu tepat di depan matanya."


"Fufu, coba bayangkan wajahnya saat itu. Aku pasti akan dibunuh dalam sekejap setelahnya. Tapi, menurutmu, apakah tidak akan terasa memuaskan mati setelah melihat wajah tanpa ekspresinya itu berubah, tenggelam dalam keputusasaan?"


"…Itu tidak…"


"…Bisa kau lakukan, maksudmu?"


Sotomichi menekan kepala Kai yang masih tersungkur di lantai dengan kakinya yang kecil.


"Itu sebabnya ada pilihan lain. Kau boleh mengabaikan permintaanku. Atau, kau ingin meminta saran dari perempuan itu tentang aku? Tapi kalau kau memilih itu, aku akan membunuh dua temanmu. Itu lebih mudah bagiku. Setelah itu, aku juga akan membunuhmu. Jangan lupa, Onii-sama, aku selalu tahu apa yang kau lihat, dengar, dan katakan."


Sambil menginjak Kai, Sotomichi tertawa dengan nada yang seakan menikmati situasi ini.


"Ayo kita sederhanakan. Pilih salah satu. Mati setelah melihat dua teman tak bersalahmu terbunuh. Atau mati setelah menyatakan perasaanmu pada orang yang kau cintai. Menurutmu, pilihan mana yang lebih baik?"


"…Berhenti. Jangan bercanda seperti ini!"


"Memilih saja tidak bisa, ya?"


Beban di kepalanya menghilang dan di detik berikutnya, wajah Kai ditendang seperti bola.


Darah mengalir dari hidungnya. Kali ini, dia jatuh telentang.


"Yah, Onii-sama yang bahkan tidak bisa mengungkapkan perasaannya dengan benar, ini memang sudah diduga. Sampai festival budaya nanti, pilihlah baik-baik, ya.──Sampai jumpa."


Lagi, waktu berhenti.


Dalam celah waktu itu, Sotomichi membuka jendela dan melompat keluar.


Dan setelahnya──


Di kamar yang tetap gelap tanpa aliran listrik, Kai ditinggalkan seorang diri.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close