Penerjemah: Ariel Yurisaki
Proffreader: Ariel Yurisaki
Chapter 04:
Guardian Angel (Kaori Arc)
Sebuah mobil sedan buatan luar negeri yang terkenal melaju dengan gesit di jalanan sepanjang pantai.
Dari jendela yang terbuka, angin laut berhembus masuk, dan sang pengemudi melontarkan komentar yang terdengar sedikit dibuat-buat.
“Kapan pun lewat sini, jalan pesisir ini memang terasa menyenangkan, ya.”
Dengan rambut rapi yang disisir ke belakang tanpa satu helai uban pun dan sorot mata yang memancarkan kelembutan, pria itu tampak masih muda meski sudah berusia pertengahan empat puluhan — bahkan sekilas, ia masih bisa dianggap berusia awal tiga puluhan.
Dia adalah Shirasaki Tomoichi, ayah dari Kaori.
“Hehe, iya, benar,”
Sosok yang mengangguk sambil tersenyum masam di kursi penumpang adalah ibu Kaori —Shirasaki Kaoruko.
Kaori sangat mirip dengannya, sampai-sampai terasa bahwa ketika Kaori dewasa nanti, ia akan menjadi wanita seperti ini. Wanita itu memancarkan aura seorang putri dari keluarga terpandang. Ia pun tampak masih muda dan sama sekali tidak terlihat seperti wanita paruh baya.
“Ka-Kaori, kamu juga merasa begitu, kan? Ya, Kaori?”
Sambil tetap fokus menyetir, Tomoichi sesekali melirik ke kaca spion.
Ia sudah melakukan itu sejak mereka berangkat — yang juga menjadi alasan senyum masam istrinya.
“...”
Namun, Kaori, yang duduk di kursi belakang dan diajak berbicara, tidak menjawab.
Mengenakan gaun putih polos dan cardigan agak tebal, duduk dengan rapi sambil merapatkan kedua kakinya dan meletakkan kedua tangan di atas pangkuan, Kaori benar-benar terlihat seperti putri dari keluarga terhormat.
Dengan rambut yang dimainkan angin sambil menatap laut, sosoknya terlihat seperti adegan dalam sebuah film.
Namun, ekspresinya merusak semuanya.
Bukan karena ia tidak mendengar. Ia jelas-jelas mengabaikan. Wajah super muramnya cukup untuk menyampaikan itu dengan jelas. Seluruh tubuhnya memancarkan penolakan.
Tomoichi, dengan gaya yang juga terdengar dibuat-buat, berdeham, “Ehem!” demi menarik perhatian putrinya. Ia memilih kata-kata dengan hati-hati, sambil menerima tawa kecil dari sang istri.
“Punya rumah dengan pemandangan laut itu impian banget, ya. Oh! Gimana kalau kita sekalian pindah ke sini aja—”
“Nggak mau, aku menolak.”
Penolakan yang tegas dan tanpa celah membuat Papa Tomoichi mengerang, “Ughh...”
Namun, Dia tidak menyerah. Ayah tidak akan pernah menyerah!
“Dulu kan, tiap kali main ke sini kamu selalu ngambek gak mau pulang. Bisa ketemu terus sama sepupumu yang kamu sayang, Sakura. Nggak buruk, kan—”
“Kalau begitu, kenapa nggak Ayah saja yang pindah ke sini?”
“!? Kok bisa!? Jahat banget, Kaori~!”
Tomoichi langsung menoleh ke kursi belakang dengan cepat. Mobil jadi oleng! Sebuah tamparan keras dari istrinya langsung menghantam wajahnya! Kepala Tomoichi dipaksa kembali menghadap ke depan!
Dengan suara kecil namun penuh aura dingin, Kaoruko berkata, “Sayang?” yang mengguncang gendang telinga.
“Aku minta maaf,” ucap Tomoichi dengan cepat dan tulus.
Tomoichi sangat tahu. Ia tahu betul bahwa kemarahan serius istrinya adalah mesin pembuat trauma. Bahkan, ia bisa membayangkan sosok “Shiroyasha yang mengerikan” berdiri di belakangnya! (Emaknya Kaori Yandere :v)
“Aduh, kamu ini… Mana mungkin Kaori mau mengangguk setuju? Padahal ada Shizuku-chan dan yang lainnya juga.”
“Y-ya, mungkin kamu benar, tapi…”
Sambil merasakan perih yang masih membakar pipinya, Tomoichi mengalihkan pandangan ke arah lain, tak sanggup menatap istrinya. Ia masih belum bisa sepenuhnya melepas keinginannya, dan bergumam pelan, “Tapi tetap saja, aku pikir itu bukan ide yang buruk…”
Saat ini, keluarga Shirasaki sedang menuju rumah orang tua Tomoichi — rumah masa kecilnya, tempat orang tua dan keluarga kakaknya tinggal.
Kakaknya memiliki seorang putri bernama Sakura, yang empat tahun lebih tua dari Kaori. Sakura adalah gadis yang sangat penyayang dan perhatian, dan bagi Kaori, dia seperti seorang kakak perempuan.
Kaori adalah anak tunggal, dan sejak kecil sangat menyayangi Sakura — bahkan sampai tidak mau lepas darinya. Karena itulah,
(Sial, kupikir aku punya peluang kalau memakai Sakura sebagai alasan...)
Tampaknya harapan itu terlalu naif. Sang Ayah benar-benar berusaha keras.
Namun, itu tidak bisa disalahkan.
Putri tercinta yang seperti sebuah keajaiban kembali ke pelukannya dari situasi yang begitu putus asa.
Itu, dia… sial, bahkan mengingat namanya saja sudah membuat Tomoichi kesal...
“Lagipula, mana mungkin Kaori mau meninggalkan kota tempat Hajime-kun tinggal?”
Dengan tawa kecil, sang istri mengucapkannya dengan begitu santai. Nama yang akhir-akhir ini paling mengacaukan emosi Tomoichi, nama si bajingan itu yang paling tidak ingin ia dengar!
“Berhenti, Kaoruko! Ini kan momen pulang kampung yang seharusnya hangat dan penuh kebersamaan!? Kenapa harus menyebut si brengsek yang sok-sokan menggoda malaikat kecil kita itu—”
“Ayah?”
Tomoichi langsung merinding dan tersentak. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu. Aura itu sangat mirip dengan sang istri! Begitu menoleh, pasti sosok itu ada di sana — sang putri, yang entah sejak kapan mewarisi amarah ibunya... wujud nyata dari kemarahan: Si Hannya!
Tapi... tapi dia tidak akan menyerah! Ini menyangkut hal besar bagi putrinya (menurut pandangan sang ayah)! Putri kesayangannya — yang bahkan seandainya masuk ke mata pun takkan terasa sakit — sedang dipermainkan oleh pria bejat! Mana bisa dia tinggal diam!
“Ka-Kaori, tenang dulu, ya? Tadi Ayah memang agak keterlaluan ngomongnya. Tapi tetap saja, Ayah yakin kalau laki-laki itu—”
“...Aku mau pulang sekarang. Aku nggak mau ngomong sama Ayah lagi.”
“Tidak! Kaori, tolong dengarkan dulu! Ayah benar-benar memikirkan yang terbaik untukmu, tahu…”
“Jadi Ayah mengatai orang lain demi kebaikanku? Aku nggak pernah menyangka Ayah orang yang seperti itu.”
“Bukan begitu, Kaori! Ayah juga… H-Haji… Hajime… Ayah bukannya ingin menjelek-jelekkan dia. Bahkan Ayah juga merasa berterima kasih padanya!”
“...Benarkah?”
Akhirnya, Kaori menoleh ke arah ayahnya. Dari kaca spion, tatapan yang penuh keraguan tajam menusuk ke arahnya.
“Tentu saja benar. Kalau bukan karena dia—eh, maksud Ayah, kalau bukan karena Hajime-kun, kamu tidak akan bisa pulang, kan? Bahkan… meskipun Ayah masih sulit percaya sampai sekarang, Kaori, kamu sempat—”
“Iya, dia juga penyelamat nyawaku.”
Setelah kembali ke rumah, Tomoichi dan Kaoruko menangis sejadi-jadinya, dan Kaori menenangkan mereka sambil menceritakan apa yang terjadi di dunia lain. Ia bahkan mempraktikkan sihir dan perlahan-lahan meyakinkan mereka.
Pada saat pertemuan “keluarga besar”, berbagai bukti juga telah ditunjukkan, jadi sekarang Tomoichi dan yang lainnya tidak lagi meragukan kenyataan tentang pemanggilan ke dunia lain.
Namun, justru karena itulah, perasaan ngeri itu masih terus menghantui.
Putri tercinta yang nyaris mati, pertukaran tubuh, pertarungan hidup dan mati melawan pasukan dewa jahat…
Itu semua adalah pengalaman yang tak ubahnya seperti memainkan Russian roulette dengan peluang kalah yang sangat besar—dan berkali-kali.
“Fakta bahwa kamu bisa kembali benar-benar terasa seperti keajaiban. Dan orang yang paling berjasa atas keajaiban itu… adalah dia. Ayah merasa harus berterima kasih seumur hidup.”
“Ayah…”
Aura muram Kaori perlahan mulai memudar. Ia bisa merasakan bahwa nada suara ayahnya yang berbicara dengan ekspresi serius sambil menatap lurus ke depan itu tulus, tanpa kebohongan. Kaoruko pun mengangguk dalam, sangat dalam.
Faktanya, baik Tomoichi maupun Kaoruko, saat pertama kali bertemu Hajime, langsung memeluknya sambil menangis dan terus-menerus mengucapkan terima kasih.
Namun… namun tetap saja. Rasa syukur karena sang putri tercinta berhasil kembali dengan selamat dan hubungan lebih dari sekadar teman yang terjalin dengan putri mereka… bagi sang ayah, itu adalah dua hal yang sepenuhnya berbeda!
“Tapi, tapi ya!? Walaupun dia punya Kaori, tahu nggak sih berapa banyak cewek yang dia pacari!? Dan lebih parahnya lagi, bukannya merasa bersalah, dia malah santai aja seolah-olah itu biasa!? Kalau itu bukan brengsek, terus apa dong!?”
“Ayah, aku benci banget sama Ayah!”
“Gah!?”
Kaori melontarkan salah satu kalimat yang bisa langsung menghabisi HP hati para ayah di seluruh negeri, dan Tomoichi tampak seperti akan memuntahkan darah kapan saja.
Air mata mulai menggenang di sudut matanya, dan dari mulutnya keluar suara memelas, “Tidak… Kaoriii… malaikat kecil Ayaaah~”
“Aduh, kamu ini… Dari sebelum dia dipanggil ke dunia lain pun, Kaori memang sudah menyukai Hajime-kun, tahu? Dan sekarang mereka bisa bersatu, bahkan melintasi dunia. Bukankah itu romantis?”
“Apa…!? Kenapa Aku tidak tahu fakta itu!?”
Inilah yang benar-benar bisa disebut sebagai petir di siang bolong.
Pada pertemuan “keluarga besar” sebelumnya, tentu saja Yue dan yang lainnya juga diperkenalkan. Dijelaskan bahwa berkat bantuan merekalah Kaori bisa kembali, jadi sudah pasti Tomoichi bersyukur dari lubuk hati yang paling dalam.
Tapi… ternyata semua gadis itu punya hubungan spesial dengan Hajime!?
Apa-apaan!? Wajar saja kalau dia merasa ada yang aneh.
Setelah mendengar cerita tentang dunia lain dari Kaori, tentu saja Tomoichi juga menyadari bahwa putrinya memiliki perasaan istimewa terhadap Hajime-kun.
Sebagai seorang ayah, jelas saja hatinya tidak bisa tenang. Dia sampai menggoyang-goyangkan kakinya karena kesal, berharap Kaori tidak menceritakan semuanya dengan wajah penuh cinta seperti itu.
Namun, karena rasa terima kasih yang sangat besar, dia mencoba menahan diri. Kalau memang Hajime-kun, mungkin tidak apa-apa…—begitulah dia mencoba meyakinkan diri.
Tapi ternyata dikhianati!
Perasaan ayah ini telah dikhianati!
“Dan lagi, si brengsek itu…! Dia berani-beraninya memodifikasi kalimat yang paling ditakuti semua ayah di negeri ini—‘Om, izinkan saya menikahi putri Anda’—jadi kayak gitu!?”
Tangan yang memegang setir mencengkeram erat sampai terdengar bunyi berderit. Suara gemeretak gigi pun ikut terdengar. Disonansi kemarahan memenuhi seluruh mobil.
Wajar saja. Di pertemuan itu, setelah mengungkap hubungan mereka dengan Kaori di depan semua orang, Hajime dengan santainya berkata:
“Om, putri Anda sudah saya ambil. Mohon bimbingan dan kerja samanya ke depannya.”
Dan yang paling menyakitkan—itu semua fakta.
Dari mulut yang tadi terus mengucap terima kasih itu, kalau sampai secara alami dia bergumam dengan senyum di wajah, “Oke, kayaknya si brengsek ini harus dibunuh”, mungkin tidak akan ada yang bisa menyalahkannya.
“Dan yang lebih parah, dia bahkan nggak ada niat buat putus sama salah satu dari mereka! Katanya, ‘Aku nikahi semuanya, kok’ memangnya aku ini lelucon untuk ditertawakan, hah!?”
“Tenanglah, Sayang. Tidak apa-apa kan, kalau semua pihak yang terlibat sudah saling setuju? Bukankah kamu juga belum pernah lihat Kaori sebahagia itu sebelumnya? Dia juga tampaknya akur dengan Yue-chan dan yang lainnya. Bukan begitu?”
“Iya… Yue memang agak menyebalkan, sih… tapi aku nggak benci dia, kok. Aku bahkan menghormatinya. Kalau aku bisa terus bersama mereka untuk mendukung Hajime-kun… hehehe.”
Melihat putrinya di kursi belakang tersipu malu dengan pipi yang memerah, Tomoichi hanya bisa berpikir:
Pasti si brengsek itu sudah pakai sihir aneh-aneh! Iya, pasti begitu! Ini nggak bisa dibiarkan!
Dan kenyataannya, pada pertemuan “keluarga besar” itu, dia benar-benar sempat berteriak marah dan hampir memukul Hajime.
Semua demi melindungi putri tercintanya dari pria brengsek itu. Namun, yang justru menghentikan Tomoichi yang mengamuk dan ingin memukul Hajime… adalah putrinya sendiri.
Sementara itu, Hajime tetap tenang, bahkan tidak bergerak sedikit pun.
Sikap santainya itu—(meskipun sebenarnya dia sadar telah mengatakan hal yang sangat buruk dan sudah siap menerima pukulan)—malah makin membuat Tomoichi kesal!
Pada akhirnya, Kaori berteriak, “Ayah, tolong tenang duluuuu!!” sambil menghajarnya dengan backdrop, sampai membuat Tomoichi pingsan.
Setelah itu, pertemuan keluarga pun bubar begitu saja…
Di waktu berikutnya, ketika Tomoichi mengetahui bahwa Kaori sebenarnya sudah menaiki tangga kedewasaan, amarahnya pun benar-benar tidak bisa dibendung lagi.
Padahal kali ini, Hajime dan para gadis lainnya berencana mengadakan kencan pertama mereka di kota—sebuah acara penting. Kaori juga berniat ikut, tapi begitu Tomoichi tahu hal itu, dia mendadak menjadwalkan kunjungan pulang kampung ini.
Tentu saja, setelah mendengar kabar bahwa Kaori telah kembali, kakek-nenek serta kakak dan iparnya langsung bergegas datang menemui mereka. Namun saat itu, dunia masih dipenuhi keributan dan kekacauan.
Karena itu, mereka tidak sempat menghabiskan waktu bersama dengan baik. Maka, kunjungan kali ini sangat dinantikan oleh kakek-nenek mereka.
Mendengar itu, Kaori pun tidak bisa bilang, “Aku nggak ikut karena mau kencan,” meski dalam hati merasa kesal.
“Ayah, kali ini aku bisa memakluminya, tapi tolong lain kali pikirkan juga jadwalku, ya?”
“Tentu saja, aku akan memikirkannya.”
Tapi dari nada suaranya yang dalam dan bergemuruh, jelas sekali bahwa yang dia maksud adalah: “Lain kali pun akan kuhalangi sebisanya!”
Sudah cukup murka karena komentar dan kelakuan ayahnya sebelumnya, suasana hati Kaori kini makin memburuk drastis.
“Padahal Hajime-kun nggak marah, lho. Dia cuma bilang, ‘Tidak apa-apa, kali ini kau habiskan waktu bersama keluargamu saja’. Dia bilang dia mengerti perasaan Ayah juga.”
“Be-begitu ya. Mengumpulkan poin seperti itu, anak yang baik sekali, ya!”
Ayah Tomoichi tidak bisa menahan diri dan mengernyitkan dahinya penuh urat biru karena dibandingkan dengan musuh bebuyutannya.
Dia berusaha keras memperbaiki suasana agar putrinya tidak semakin murung, tapi kata-kata aslinya tetap saja keluar.
“Ayo, ayo, kalian berdua. Sudahi sampai di situ, ya? Kita hampir sampai.”
Kaoruko, yang sejak tadi tersenyum memandangi perang dingin antara ayah dan anak itu, berusaha menenangkan mereka.
Di arah pandang mereka, sebuah rumah besar bertipe dua keluarga yang sudah sangat mereka kenal mulai tampak. Itu adalah rumah keluarga Tomoichi.
Sambil terus mengawasi sikap putrinya, Tomoichi menepi dan memarkirkan mobilnya—Terdengar suara gesekan yang mengerikan, kriiiiiiikkkk~~tapi karena pikirannya penuh dengan kekhawatiran tentang putrinya, bagi Tomoichi itu hanyalah hal sepele. (sepertinya Tomoichi nyrempet pagar pembatas, atau bunyi gesekan mesin & rem :v)
Istrinya tampak menahan sakit kepala, tapi ia memilih untuk mengabaikannya untuk saat ini.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Kaori dengan cepat turun dari mobil.
Tomoichi juga buru-buru keluar dan mulai mengeluarkan barang-barang dari bagasi.
“Kaori. Biar ayah yang bawa barang-barangnya, ya—“
“Hanya sampai ke pintu depan saja, ngapain berlebihan. Kalau Hajime-kun sih, tanpa diminta pun langsung membawakan.”
Kaori dengan kasar mengambil barang-barangnya sendiri dan segera membalikkan badan.
Tomoichi pun jatuh berlutut di depan pintu rumah orang tuanya.
“Sial... dasar kau... Nagumo Hajimeee...” gumamnya sambil merangkak dan menepuk-nepuk tanah.
Saat itu—
“...Kupikir akhirnya kalian datang, tapi... Paman, apa yang Anda lakukan di situ? Bisa berhenti, tidak? Ini bisa jadi tontonan tetangga, tahu,”
Ketika Kaori hendak menekan bel pintu, terdengar suara dari seorang penghuni rumah yang tampaknya baru saja berkeliling dari taman belakang. Suaranya terdengar jelas memandang Tomoichi dengan rasa malu dan jijik.
Seorang wanita cantik bertubuh aduhai dengan rambut cokelat lurus seperti model berdiri di sana.
Dia adalah Shirasaki Sakurako.
Di tangannya tergenggam selang yang masih meneteskan air — sepertinya dia baru saja menyiram tumbuhan di taman.
“Sakura-oneechan!”
“Selamat datang, Kaori. Syukurlah, sepertinya kamu sudah agak tenang sekarang,”
Meski penampilan dan sikapnya tampak dingin dan kurang ramah, tatapan yang ia tujukan kepada Kaori, yang langsung melompat memeluknya, penuh kehangatan — wajar saja, mereka memang sepupu dekat.
“Maaf ya, sudah membuatmu khawatir?”
“Tidak apa-apa, asalkan kamu baik-baik saja. Kali ini kamu bisa tinggal lebih lama kan? Ceritakan banyak hal nanti, ya?”
“Iya!”
“Bibi juga, selamat datang. Silahkan masuk, mari Kita bersantai di dalam.”
“Fufu, terima kasih, Sakura-chan. Kami akan senang dengan tawarannya.”
Para wanita pun masuk ke dalam rumah sambil bercengkerama akrab.
Yang tertinggal di luar hanyalah Tomoichi, masih dalam posisi merangkak.
Pemandangan itu sungguh mengundang rasa kasihan...
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
Matahari telah terbenam, dan tirai malam mulai menyelimuti jalan di tepi laut. Kaori dan Sakura berjalan berdampingan seperti sepasang saudari kandung.
“Konsernya seru banget, ya. Aku jarang ke tempat seperti itu, jadi deg-degan banget tadi.”
“Ya... Aku juga senang. Soalnya semua band-nya dari daerah sini, jadi kupikir bakal biasa aja.”
Setelah disambut hangat di rumah Sakura, Kaori menghabiskan waktu dengan santai, saling bertukar kabar dan mengobrol santai.
Menjelang sore, mereka memutuskan pergi melihat konser mini di pantai yang diisi oleh band-band lokal—sebagai bentuk penyegaran suasana.
Itu adalah bentuk perhatian kecil dari Sakura, yang berpikir bahwa Kaori pasti jarang bisa keluar rumah selama insiden sebelumnya.
Melihat Kaori tersenyum lebar membuat Sakura merasa lega karena niatnya berhasil.
Namun, di balik senyumnya, wajah Sakura sedikit kaku.
Penyebabnya hanya satu.
Sakura melirik ke belakang melewati bahunya.
“Uuh, Kaoriii... Malaikat kecil ayah... Bisakah kamu mulai menatap ayah lagi? Ayah kesepian sampai rasanya mau mati...”
Ya, itu Tomoichi.
Dia bersikeras ikut karena merasa khawatir akan apa yang mungkin terjadi jika dua gadis muda pergi ke konser sendirian.
Namun, setiap kali Kaori bercerita dengan antusias tentang Hajime dan Yue kepada Sakura, Tomoichi selalu menyela dengan komentar-komentar sinis...
Dan selebihnya, tak perlu dijelaskan lagi.
Jujur saja, pemandangan seorang pria paruh baya yang berjalan sambil terisak-isak mengikuti dari belakang, dan gadis remaja yang tetap tersenyum cerah sambil berpura-pura tidak mendengarnya — benar-benar menyeramkan di mata sang sepupu, Sakura.
Sejujurnya, Sakura bisa memahami perasaan Kaori. Sebagai sesama anak perempuan, ia pernah merasakan hal yang sama. Tapi di sisi lain, ia juga tidak bisa sepenuhnya mengabaikan kekhawatirannya terhadap hubungan cinta spesial si adik kecil tercintanya, dan ia pun bisa memahami perasaan Tomoichi.
Ia terjepit di tengah. Perang dingin antara ayah dan anak ini mulai benar-benar menggerogoti lambung Sakura.
“Terserahlah, masa bodo,” gumamnya dalam hati. Sakura sudah cukup lelah dan berharap ada sesuatu — apapun — yang bisa segera mengakhiri perang ayah-anak yang sudah mulai merepotkan ini...
Dan seakan doanya didengar oleh langit—
“Eh? Kamu yang tadi juga di konser, kan? Wah, kebetulan banget! Mau ngobrol sebentar nggak?”
Sekitar lima orang pria muda dengan aura sembrono dan tampang yang jelas-jelas suka main cewek tiba-tiba mendekat sambil menyeringai.
Sakura langsung menepuk dahinya dalam hati. “Bukan... bukan yang seperti ini maksudku...”
“Maaf ya. Kami ada urusan setelah ini,” jawab Sakura dingin tapi sopan.
“Eh, kalian mau jalan-jalan, kan? Ya udah bareng aja, lebih rame lebih seru kan?”
Walaupun sudah ditolak dengan halus, kelompok pria itu tetap mendekat dan mulai mengepung mereka sambil tertawa-tawa menyebalkan.
Benar-benar terasa— Ah, ini tipe orang yang nggak bisa diajak ngomong baik-baik.
Baik Sakura maupun Kaori adalah gadis-gadis cantik yang kecantikannya di atas rata-rata, bukan yang biasa kamu lihat di jalan setiap hari. Wajar jika pria-pria itu tidak berniat menyerah begitu saja.
Tentu saja, tidak mungkin sang ayah membiarkan putri tercinta dan keponakan manisnya digoda begitu saja tanpa bertindak.
“Hai, bisakah kalian menyingkir sedikit? Kami baru saja menikmati konser. Lebih baik kita semua hindari masalah, bukan begitu?”
Dengan nada ramah dan sebisa mungkin tenang, Tomoichi mencoba berbicara kepada mereka.
“Hah? Siapa lu, Pak Tua?”
“Aku ini ayahnya. Kami mau pulang ke rumah sekarang,” jawabnya tetap dengan senyum.
Para pria itu terdiam sejenak—lalu langsung tertawa keras, mengejek Tomoichi sambil mengeluarkan komentar-komentar merendahkan.
Namun, Tomoichi tidak menunjukkan tanda-tanda marah atau gentar. Ia tetap tenang dan terus mencoba membujuk dengan damai.
Sikapnya yang tidak tergoyahkan walau dihina tampaknya malah membuat mereka kesal. Tawa mereka perlahan menghilang, tergantikan dengan amarah.
“Pak tua ini bener-bener ngeselin, ya. Udahlah, kami ajak main bentar terus kami balikin deh. Ngacir sana lo!”
Salah satu dari mereka maju dan mencoba menjangkau Kaori. Namun, tangannya langsung ditahan—dengan erat—oleh Tomoichi.
“Bisa jangan sentuh anakku?”
Mata Tomoichi yang panjang dan tajam menyipit lebih dalam saat ia melontarkan kata-katanya dengan dingin.
Dia bukan petarung, bukan orang yang dikenal karena kekuatan fisik. Dia hanya seorang arsitek bersertifikat kelas satu. Tapi tatapan pria dewasa, yang telah melalui banyak pengalaman hidup—dan terlebih lagi, sedang melindungi anaknya—mengandung tekanan yang luar biasa.
“Sialan, nyebelin banget sih lo!”
Karena itulah, si pria sempat terintimidasi tanpa sadar. Dan justru karena merasa dirinya telah kalah dalam tekanan, ia pun meledak. Ia menepis tangan Tomoichi dan secara impulsif melayangkan pukulan.
“Ugh...”
Terdengar suara tertahan dari Tomoichi, dari ujung bibirnya mengalir setetes darah merah.
Namun, bahkan setelah itu, Tomoichi tetap berdiri tegak dan tak menunjukkan ketakutan. Hal itu makin menyulut amarah si pria, yang wajahnya kini memerah karena emosi, lalu kembali mengangkat tinjunya—
“Paman!” seru Sakura, buru-buru mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi polisi.
Melihat hal itu, pria-pria lainnya pun maju dengan ekspresi tegang dan penuh ancaman.
Namun kemudian—
“Apa yang kalian lakukan? Hm?”
Seketika, hawa dingin merayap ke seluruh tubuh mereka. Semua orang yang ada di tempat itu langsung merinding.
Mereka baru menyadari: entah sejak kapan, Kaori sudah berdiri di sisi Tomoichi. Dan ia—dengan satu tangan—menahan tinju pria dewasa yang tadi dilayangkan dengan penuh tenaga.
Bulu kuduk mereka merinding. Gadis SMA yang hanya tersenyum tenang, dengan ringan menahan pukulan serius dari pria dewasa—pemandangan itu begitu tidak wajar, begitu mengerikan, hingga semua orang terdiam membeku.
Di tengah keheningan mencekam itu, Kaori mengulang ucapannya dengan suara datar yang tak sehangat senyum di wajahnya.
“Aku tanya sekali lagi... Apa yang kalian lakukan pada Ayahku?”
“A-apa, lo siapa sih!? Hah!? Gue Cuma ngajarin bokap lo yang kelewatan itu sedikit pelajaran, ngerti gak!?”
Tertekan oleh aura mengintimidasi dari Kaori, si pria malah makin marah, membentak-bentak sambil berusaha melepaskan tangannya.
“Benar juga. Memang, ayahku ini orangnya suka bercanda dan nyebelin. Terlalu protektif, masih sering nganggap aku anak kecil, gampang ngambek, dan selalu ngomongin hal-hal jelek soal Hajime-kun.”
“Sialan, a-apa-apaan sih kekuatan lo ini!?”
Sambil seluruh orang di sekitar terpaku dalam kebingungan, Kaori berbicara pelan satu kalimat demi satu kalimat, seakan melamun. Dia sama sekali tak menggubris si pria yang dengan seluruh tenaganya berusaha menarik tangannya dari genggaman Kaori.
Pemandangan itu tampak seperti seseorang yang diborgol rantai baja ke dinding—mustahil untuk dilepaskan.
Teman-teman pria itu mulai panik. Dari luar, itu tampak seperti aksi pantomim. Namun ekspresi ketakutan pria yang sedang ditahan oleh Kaori menunjukkan bahwa ini bukanlah lelucon. Situasi yang tidak masuk akal itu membuat otak mereka tidak mampu mengejarnya.
“Tapi tahu nggak? Ayahku itu baik banget, lho. Sesibuk apa pun, dia selalu berusaha luangin waktu buat ngobrol. Dia nggak kuat berantem, tapi selalu berusaha melindungiku. Kalau aku berusaha, dia selalu kasih banyak pujian. Dan kalau aku salah, dia juga nggak ragu buat memarahiku.”
Pandangan Kaori tak lagi tertuju pada si pria. Bahkan bisa dibilang, dia tidak ada dalam radar perhatiannya. Yang ada di mata Kaori sekarang, hanyalah satu orang—ayahnya, yang berdiri di sampingnya.
“……Ayah, maaf ya. Seharusnya aku menghentikannya sebelum sempat memukulmu. Tapi aku sempat teringat banyak hal, jadi agak telat. Terima kasih karena sudah melindungiku.”
“Kaori……”
Dengan alis membentuk angka delapan, Kaori menunduk dan meminta maaf dengan tulus. Tomoichi hanya bisa memanggil namanya.
Itu saja yang bisa ia lakukan. Karena—di matanya—putrinya kini tampak begitu dewasa. Seolah sudah lama melepaskan tangan ayahnya dan terbang keluar dari sarangnya sendiri.
Meski situasinya genting, rasa sepi yang memenuhi dadanya membuat Tomoichi tak bisa berkata-kata.
Kaori, yang baru saja menunjukkan wajah lembutnya kepada sang ayah, kini berbalik menatap dingin bak es ke arah para pria yang masih terpaku.
“Ayahku adalah ayah terbaik di dunia. Orang seperti kalian nggak pantas mengejeknya!”
“Lu bener-bener nyebelin—Ughh!?”
Seorang pria mencoba menghantam Kaori dengan tangan satunya. Namun, justru Kaori melepaskan genggamannya seperti yang diinginkan si pria—disertai hadiah tendangan yang meluncur lurus ke langit.
Dengan gerakan indah seperti parabola, pria itu terbang dan jatuh menghantam tanah. Teman-temannya hanya bisa mengikuti dengan mata, seperti kucing melihat mainan bulu yang dikibas-kibaskan.
Doshha! Suara tubuh jatuh. Pria itu hanya bisa kejang-kejang sedikit, tanpa tanda-tanda akan bangkit.
Malam yang gelap pun seketika menjadi hening.
“Kalau kalian pergi sekarang, aku anggap nggak pernah terjadi apa-apa.”
Suara Kaori menggema dengan tegas dan dingin. Para pria saling pandang. Setelah dipertontonkan kekuatan yang jelas di luar nalar, mestinya mereka langsung kabur ketakutan... tapi—
“Di dunia yang berbeda pun, orang-orang seperti kalian selalu punya pola yang sama, ya?”
Kaori menghela napas pada para pria yang memilih mempertahankan harga diri kecil mereka, sambil terus mengumpat dengan kata-kata yang bahkan sulit dimengerti. Napas itu—lebih dari tatapan dingin, lebih dari kata-kata marah—menusuk lebih dalam ke hati mereka.
“Lu sombong am—“
Dengan wajah penuh amarah dan urat hampir pecah, seorang pria hendak menerjang Kaori... tepat sebelum suara jakin!—seperti logam terkunci—menghentikan langkah dan ucapannya sekaligus.
Tatapan para pria perlahan-lahan mengarah ke tangan Kaori.
‘Dari mana dia mengeluarkan itu?’ ‘Kenapa dia membawa barang seperti itu?’
Benak mereka bertanya-tanya, menatap tongkat besi Portable yang kini ada di genggaman Kaori.
Apa itu buatan khusus? Rasanya terlalu berat, panjangnya lebih dari satu meter. Dan jelas—itu bukan barang yang pantas dibawa seorang siswi SMA.
“Ka-Kaori? Dari mana kamu dapet… itu…”
Lihat, sepupu Sakura saja sudah mundur setengah langkah.
Mana ada yang mengira bahwa cincin di jari kelingking Kaori menyimpan senjata-senjata mengerikan—termasuk dua pedang besar yang bisa menebas baja sekalipun.
Tongkat besi itu? Cuma perlengkapan “ringan” yang disiapkan Hajime untuknya selama di Jepang, kalau-kalau terjadi hal seperti ini.
Hasilnya?
Sudah bisa ditebak.
“Mana bisa kami takut Cuma gara-gara gertak s—*BUGERAAAHH!?”
Tongkat ganda dari bahan Azantium, dilengkapi efek petir statis, berkilat di sepanjang jalan pesisir yang gelap. Para pemuda itu akhirnya menerima pelajaran masyarakat yang luar biasa keras dan menyakitkan—dengan trauma yang tidak akan hilang seumur hidup.
“Paman, bagus ya. Kaori marah demi paman, lho.”
“...I-iyah. Dan... kelihatannya aku juga bisa lihat ‘sesuatu di belakangnya’ dengan lebih jelas sekarang. Entah kenapa, auranya makin mengerikan dari sebelumnya...”
Mereka memandang kosong ke arah langit malam, tempat para pria melayang dalam kurva parabola yang anggun. Sakura dan Tomoichi hanya bisa menatap ngeri.
Sebagai penutup, Kaori—dengan senyum sangat manis—kembali setelah mengutak-atik ingatan para pria malang itu dengan sihir jiwa.
Apa yang dia lakukan, mereka tidak tahu. Tapi satu hal pasti: cukup sadis untuk membuat bulu kuduk berdiri.
Tomoichi dan Sakura sama-sama menggigil. Isi Hati mereka pun sama.
Kesimpulannya: Jangan pernah bikin Kaori benar-benar marah.
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
Kaori dan Tomoichi berjalan pulang perlahan, menyusuri jalan sepanjang pantai sambil mengambil jalan memutar sedikit lebih jauh.
Sakura sudah pulang duluan. Ia membaca situasi—melihat Kaori tampak gelisah ingin bicara berdua dengan ayahnya.
“Ayah, sudah nggak sakit lagi kan?”
“Ah, iya, aku baik-baik saja, Kaori. …Sihir itu sungguh luar biasa, ya. Meski sudah berkali-kali kulihat, aku tetap saja terkesan.”
Mendengar itu, wajah Kaori melunak. Ia mulai mengalihkan pandangan, seakan sedang mencari kata-kata yang tepat.
Tomoichi tahu persis apa arti gerakan itu. Ia ingin bicara. Meski dadanya ingin menghela napas berat, ia menahannya.
“Kaori, kalau ada yang ingin dibicarakan, bicaralah. Aku ini ayah terbaik di dunia, lho. Apa pun yang ingin kamu katakan, akan kudengarkan.”
Kaori mengedip sebentar, lalu tersenyum pelan dan berkata, “Kalau begitu…”
“...Tadi aku menyadarinya. Hajime-kun ternyata mirip sama Ayah, ya.”
“……Tunggu dulu, Kaori. Ayah juga punya batas toleransi, tahu? Mirip sama pria harem itu? Ayah… boleh nggak, pergi bertapa dulu? Mungkin setahun merenung bisa bikin Ayah pulih dari ini semua…”
Ekspresi Tomoichi berubah drastis—dari kaget total ke wajah penuh luka batin. Kaori tak bisa menahan tawa, lalu menggeleng cepat.
“Ahaha, bukan Hajime-kun yang sekarang. Maksudku Hajime-kun yang dulu.”
“Yang dulu?”
Sambil melirik Tomoichi yang tampak bingung, Kaori menyipitkan mata seolah mengingat sesuatu dengan nostalgia.
“Ya, yang dulu. Orang yang sama sekali nggak bisa berkelahi, tapi begitu merasa itu perlu, dia melangkah maju tanpa ragu—orang yang lemah tapi juga kuat seperti itu.”(kuat secara mental)
Mungkin karena itulah, aku jadi tertarik padanya, pikir Kaori. Karena jika bersama orang yang mirip seperti Ayah, Aku pasti bisa bahagia—itu jelas terlihat hanya dengan melihat ibu.
Melihat putrinya berkata begitu sambil tersenyum lembut, ekspresi Tomoichi berubah sangat rumit.
Dia senang, tapi juga merasa tak senang—semacam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan.
“...Sulit dipercaya. Sama sekali tidak mirip dengan sosoknya yang sekarang…”
“Memang. Aku juga sempat bimbang waktu pertama kali bertemu lagi dengannya. Dia berubah sejauh itu. Karena dia harus berubah, saking beratnya penderitaan yang dia alami.”
“Itu... sepertinya memang begitu, dari cerita yang kudengar.”
“Ya. Tapi, meskipun begitu, bagian terdalam dari dirinya tidak berubah. Karena itulah, banyak orang begitu mencintai Hajime-kun.”
Orang yang tidak tulus tidak mungkin bisa dikelilingi oleh begitu banyak orang yang peduli dengannya, kan?
Putri dari Ayah tidak sebodoh itu sampai bisa tertipu oleh pria seperti itu, kan?
Saat Kaori berkata begitu, Tomoichi pun tak bisa membantah.
Dengan gumaman aneh, ia menendang batu kecil tanpa alasan.
“...Ayah tahu, kok. Kalau dia adalah orang yang dipilih Kaori. Tapi tetap saja, sebagai seorang ayah, sulit untuk menerimanya. Seorang Ayah ingin menyerahkan putrinya kepada seseorang yang akan menempatkannya sebagai yang paling berharga, kan?”
Satu helaan napas dalam terdengar. Ayah itu menggaruk kepalanya dengan canggung. Melihat itu, Kaori langsung memeluk lengannya dengan ekspresi bahagia.
“Terima kasih, Ayah. Tapi aku yakin, kok. Memang, mungkin aku bukan yang paling utama baginya, tapi aku yakin aku bisa jadi orang yang paling bahagia di dunia.”
Sambil berkata begitu, Kaori menunjukkan cincin yang tergantung di lehernya. Cincin biasa, berbeda dari cincin “Treasure Trove” miliknya, tapi cincin itu menyimpan janji kekal dari orang yang ia cintai.
Seperti yang bisa diduga, ekspresi Tomoichi tampak sangat keruh—seperti ingin berkata, “Aku baru saja melihat sesuatu yang nggak enak.”
“Ayah. Hajime-kun itu orang yang akan menjaga semua hal penting milik orang yang dia sayangi. Jadi, meskipun Ayah tidak menyukainya, Dia tidak akan menyerah.”
“...Orang yang bisa bangkit dari jurang kematian hanya karena rasa sayangnya pada keluarga, dan bahkan menjatuhkan dewa demi kekasihnya, kamu bilang dia nggak akan menyerah?”
“Fufu, ya. Benar, dia nggak akan pernah menyerah.”
Itu benar-benar lawan yang berat. Dia tidak bisa membayangkan Masa depan di mana pria itu bisa menyerah. Entah sudah keberapa kalinya, helaan napas yang sangat panjang lolos dari mulut Tomoichi.
“Aku tahu ini semua di luar nalar. Maaf ya sudah membuatmu khawatir. Tapi—”
Kaori menatap Tomoichi dengan tatapan lurus dan berkata,
“Aku ingin Ayah juga bisa menyayangi Hajime-kun, meskipun butuh waktu. Aku ingin orang yang paling berharga bagiku juga menjadi orang yang berharga bagi Ayah.”
Andai saja suara ombak bisa menenggelamkan kata-kata putrinya itu, pikirnya. Andai saja dia bisa terus berpura-pura tidak mendengarnya, betapa mudahnya semua ini.
Tomoichi terus memandang laut dalam gelap dengan ekspresi paling pahit yang bisa ia tunjukkan, tanpa menatap balik putrinya.
Di matanya, tampak jelas sebuah pergolakan batin. Berbagai perasaan berputar-putar di dalam hatinya.
Keheningan panjang pun menyelimuti mereka. Hanya suara langkah kaki dan debur ombak yang samar-samar terdengar di telinga mereka berdua.
Akhirnya, helaan napas paling besar hari ini keluar darinya. Jika dilihat, bahu Tomoichi tampak turun, Dia akhirnya menyerah.
“...Tak mungkin ada seorang ayah yang menginginkan kebahagiaan putrinya tapi memilih untuk tak menjawab permintaannya, kan?”
Dengan suara nyaris lenyap, namun kini terasa lebih ringan dari sebelumnya, Tomoichi mengulurkan satu tangan kepada Kaori.
“Kaori. Bisakah kamu... menghubungi dia, Hajime-kun?”
“Ayah... iya, tunggu sebentar.”
Kaori mengeluarkan ponselnya dan melakukan panggilan. Begitu Hajime mengangkat, ia langsung menjelaskan situasinya.
Hajime menyetujuinya tanpa terlihat tertekan sedikit pun. Sikap santai Hajime itu malah membuat ekspresi Tomoichi kembali menjadi muram.
Melihat ekspresi ayahnya, Kaori tersenyum kecut dan menyerahkan ponselnya.
“...Ini aku.”
『Sudah lama ya, terakhir sejak pertemuan keluarga. Senang bisa berbicara lagi dengan Anda.』
“Hmph! Aku sebenarnya tidak ingin berbicara lagi dengan mu selamanya!”
『...? Bukankah Anda yang menghubungi karena ada yang ingin dibicarakan?』
“Kuh. Seperti biasa, kamu memang pintar berbicara. Apa kamu menipu putriku juga dengan mulut manismu itu?”
『Tentu tidak. Kalau boleh jujur, justru aku yang merasa ditangkap olehnya.』
“Apa maksudmu itu? Sejenis ‘Aku sebenarnya tidak terlalu tertarik, tapi Kaori yang maksa jadi ya Kami jadian’? Begitu maksudmu!? Kamu ini sebenarnya――”
“Ayah?”
“Maaf.”
Begitu mendengar suara Hajime, secara refleks perasaan permusuhan langsung muncul. Tolong dimaklumi.
Itulah yang disampaikan sang ayah lewat tatapannya, dan Kaori membalasnya dengan tatapan datar penuh sindiran.
“Aku bisa merasakan aura dewa kemarahan... karena ayahku, aku tahu hal-hal seperti itu,” katanya sambil berkeringat dingin, kemudian berdeham untuk mengatur kembali suasana.
“Uhuk. Jadi... begini, alasanku menelepon sebenarnya... yah, Aku juga punya banyak hal yang kupikirkan. Seorang ayah yang punya anak perempuan itu, wajar jika tidak bisa tenang terhadap laki-laki yang berada di sisi putrinya.”
『Saya mengerti. Saya sendiri juga sudah memutuskan untuk menjadi ayah dari seorang anak perempuan. Kalau nanti anak saya membawa pria seperti saya, saya pasti akan menghancurkan semua tulangnya, mengemasnya ke dalam beton, lalu membuangnya ke tengah Samudra Pasifik.』
“E-Eh? A-aku juga... iya, Aku juga mungkin akan... melakukan hal yang sama.”
『Tidak, maaf. Itu masih terlalu lunak, bukan? Pasti, Anda ingin segera menjatuhkan sebuah meteor, kan? Apa pun yang ikut terbakar, Anda ingin mewarnainya dengan darah, bukan begitu?』
“……………………Ka-Kamu... paham sekali ya!”
Kali ini, keringat dingin di pelipis Tomoichi muncul karena alasan yang berbeda.
Permusuhannya tidak lagi sekadar “berlebihan”—ini sudah berada di level ekstrem. Hanya dengan membayangkan pacar putrinya di masa depan, pria ini bisa menimbulkan krisis nasional. Jepang bisa dalam bahaya hanya karena hal itu.
Sesaat ia hampir luluh, namun itu terasa seperti kekalahan sebagai seorang ayah. Karena itu, Tomoichi tanpa sadar malah bersikap kompetitif.
“Uhuk. Tampaknya kamu cukup memahami perasaanku, jadi kita kesampingkan dulu soal itu. Di atas segalanya, ada satu hal yang ingin aku pastikan darimu.”
『Baik.』
“Kau tidak berniat mengubah keputusanmu untuk hidup bersama semua gadis itu... bukan begitu?”
『Benar. Aku tahu ini tidak lazim, dan aku sadar ada orang-orang seperti Anda yang merasa sangat tidak nyaman dengan hal itu. Tapi meskipun begitu, aku tidak akan menarik kembali keputusan itu. Apapun yang terjadi ke depannya, aku tidak akan mundur. Aku akan menghabiskan seumur hidupku untuk mendapatkan pengakuan Anda.』
“...Kau sungguh bicara dengan penuh percaya diri, ya.”
『Aku akan melakukan segalanya agar suatu hari nanti, Anda bisa melihat ini sebagai bentuk ketulusan dan tekad dari Saya.』
Genggaman Tomoichi di ponselnya semakin erat. Ini benar-benar tidak masuk akal.
Tapi, sungguh... serius. Perasaannya sampai terasa menyebalkan.
“Aku benar-benar ingin menghajarmu sekarang juga.”
『Kalau harus dipukul, aku siap.』
“Aku bisa dimarahi anakku nanti... Ah, sungguh, kenapa sih anakku harus bertemu dengan orang sepertimu...”
Tomoichi berhenti melangkah. Rumah sudah terlihat. Namun, ia tidak berniat masuk dulu. Karena masih ada yang perlu ia katakan sebelum itu.
“Tidak ada ayah yang tidak menginginkan kebahagiaan anaknya.”
『Ya.』
“Anakku bilang dia bahagia. Dengan ekspresi yang begitu manis, yang belum pernah kulihat sebelumnya.”
Ia menatap putrinya. Memang, senyuman yang ia tunjukkan itu sungguh manis sampai membuatnya merasa kesal sendiri.
“Sekarang, aku ingin bertanya pada bajingan keras kepala yang ngotot dengan masa depan konyol itu. Bisakah kau bersumpah akan membuat putriku, Kaori, terus menunjukkan ekspresi seperti ini selamanya? Bisakah kau bersumpah bahwa dia akan terus menjadi gadis yang bisa berkata dengan bangga bahwa dia bahagia?”
Di seberang telepon, Tomoichi merasakan perubahan atmosfer secara mendadak. Seolah-olah, kata-kata yang akan disampaikan ini akan diucapkan dengan seluruh jiwa dan tekad yang dimiliki orang itu…
『Sumpah itu sudah lama kuucapkan. Dan aku tidak akan pernah mengingkarinya.』
“……”
Masih berdiri di tempat, Tomoichi menengadah ke langit. Ia menahan dorongan kuat untuk berteriak, “SIALAAAAAN!!!”
Lalu, seakan memeras kata-kata dengan tekanan seperti dijepit ragum, ia akhirnya mengucapkan kalimat yang akan mewujudkan keinginan putrinya.
“...Datanglah ke rumah kami lain kali. Kita bisa makan bersama.”
『Terima kasih. Aku akan datang.』
Seketika, sebuah guncangan terasa di lengannya. Ketika menoleh, Kaori sudah memeluknya erat dengan senyum yang cerah.
Dengan suara pelan, ia berkata, “Ayah, terima kasih. Aku sayang Ayah!”
Kata-kata terbaik itu saja sudah cukup untuk sedikit meredakan semua rasa sesak dan kata-kata yang nyaris membuatnya muntah darah tadi.
Pada saat yang sama, Tomoichi tidak bisa tidak merasakan kekalahan, karena semua ini terjadi berkat keberadaan Hajime.
“J-jangan salah paham! Bukan berarti aku mengakui dirimu atau apa pun! Kalau kau membuat Kaori sedih—walau hanya sedikit—ingat ini baik-baik! Persis seperti yang Kau katakan! Samudra Pasifik dan Meteor!”
『Hahaha, itu benar-benar menakutkan. Akan kuingat dengan sungguh-sungguh.』
Ucapan yang terdengar seperti tsundere itu membuat baik Hajime maupun Kaori tak bisa menahan tawa.
Dan dengan itu, pembicaraan mereka pun nyaris berakhir dalam suasana yang baik—sampai…
『...Hajime♪ Aku pakai lingerie yang seksi, lho. Gimana?』
『Hajime-saaan! Lihat ini! Pakaian dalam yang kamu pilih ini punya lubang di tempat yang... wah!』
『Goshujin-sama, malam ini waktunya pertempuran malam bersama semua orang! Mari kita tenggelam sepenuhnya dalam cinta dan hasrat!』
『Hei! Apa-apaan timing kalian ini! Berapa kali harus kuingatkan—KETUK PINTU DULU!』
Suara di ujung telepon berubah jadi kekacauan antara gairah dan kegaduhan.
Warna dari wajah Tomoichi pun langsung menghilang seketika. Ekspresinya benar-benar kosong. Sementara itu, Kaori sempat menunjukkan “senyum terbaiknya”, namun langsung memegangi kepalanya sambil mengeluh, “Aduh, ini gawat…”
“…Hei, Mesum Bangsat!”
『...!?…Itu salah paham, Tomoichi-san! Tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskan—』
“Kau pikir aku akan memberimu kesempatan!? Hahaha, lucu sekali! Ah, kau memang pria yang benar-benar Bejat. Hahaha…”
Terdengar tawa menyeramkan dari Tomoichi. Dan sebelum Kaori sempat mengatakan apa pun—dia meledak.
“Aku tarik semua ucapanku, dasar brengsek! Tak akan kuberikan putriku pada orang Bejat sepertimu! Mulai sekarang, kamu dilarang mendekat! Orang sepertimu sebaiknya dihantam Hujan Meteor di Samudra Pasifiiiiiiiikkkk!!!」
『Tunggu, jangan—』
Begitu dia berteriak, Tomoichi melampiaskan semua stres yang selama ini dia tahan dengan membanting ponsel ke tanah. “Brak!”—bunyi ponsel yang kini tamat riwayatnya.
Dari samping terdengar teriakan sedih: “Itu Smartphonekuuuu!?”
Namun suara itu tak mencapai telinga Tomoichi, yang kini telah berubah menjadi pejuang bergelar “ayah yang melindungi putrinya”.
Bahkan, seolah-olah ponsel itu adalah musuh bebuyutan, atau mungkin agar dia tak perlu lagi mendengar suara menyebalkan dari seberang telepon, dia menginjak-injaknya berkali-kali.
“A-Ayah! Apa yang Ayah lakukan!?”
“Aku sedang memutus semua hubungan dengan brengsek itu, Kaori! Mulai sekarang, jangan pernah lagi bertemu Bajingan Sialan itu! Ini janji dengan Ayah!”
Tentu saja, tidak mungkin Kaori akan menuruti janji seperti itu. Maksudnya, dia bahkan sempat merasa sedikit iri karena Hajime-lah yang memilihkan pakaian dalam seksi untuk mereka…
Mungkin perasaan putrinya itu tersampaikan, karena Tomoichi mulai gemetar hebat. Lalu,
“Ayah… tidak akan pernah mengakuinyaaaaaaa!!!!!!”
Dengan teriakan sepenuh hati yang menggema di kawasan perumahan malam itu, dia pun lari ke arah berlawanan dari rumah.
Dia berniat untuk kabur dari rumah—sampai putrinya mengerti perasaannya.
Menyadari maksud sang ayah, Kaori pun menjatuhkan bahunya dengan lemas.
“Biasanya, yang kabur dari rumah karena tidak dimengerti itu… anak ceweknya, kan?”
Dengan ekspresi yang merupakan campuran sempurna antara rasa bahagia karena disayangi dan rasa lelah karena tingkah ayahnya, Kaori pun mengejar.
Dimulailah kejar-kejaran malam hari antara seorang ayah yang tak mau mengakui pria yang dicintai putrinya, dan sang putri yang ingin pria itu diakui.
Apakah Hajime akhirnya diterima oleh Tomoichi atau tidak…
Untuk sekarang, mari kita katakan saja bahwa dia telah berusaha sekuat tenaga—setara dengan membunuh dewa.
Post a Comment