NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Arifureta Shokugyou de Sekai Saikyou: After Story V14 Chapter 6

 Penerjemah: Ariel Yurisaki

Proffreader: Ariel Yurisaki


Chapter 06:

Kegelisahan Aiko-sensei


Sudah sekitar satu bulan sejak Mereka kembali dari dunia lain.

Saat itu, pertengahan sore di bulan November, ketika suasana musim gugur perlahan mulai menghilang.

“Tidak ada yang berubah, yaaa~~”

Suara lemas itu terdengar di udara. Itu adalah Aiko. Ia duduk di beranda rumah dengan mengenakan jaket olahraga berwarna biru tua yang jelas-jelas sudah usang. Kakinya diselonjorkan dengan malas dan bergoyang-goyang, sementara mulutnya sedikit terbuka.

Di dada jaketnya tertulis nama Hatayama. Tak lain dan tak bukan, itu adalah baju olahraga masa SMP-nya.

Menyedihkan, dalam banyak arti.

Penampilannya sekarang jelas tidak bisa ditunjukkan, baik kepada pria yang ia cintai—tidak, bahkan kepada murid-muridnya pun tidak.

Namun, kalau dipikir-pikir, memang tidak bisa disalahkan juga.

“Satu-satunya yang berubah mungkin cuma sepeda ibu yang sudah dua puluh tahun menemaninya ngebut.”

Rumput liar yang tumbuh jarang-jarang, dinding batu tua, tiang jemuran, dan drum besi berkarat dengan fungsi yang tidak jelas.

Pemandangan yang sudah biasa dilihat, tapi tetap terasa nostalgia—itulah halaman rumah keluarga Hatayama.

Sepeda sang ibu yang bersandar lemas pada dinding batu, dengan rantai terlepas, ban kempis, dan rangka berkarat, tampak begitu menyedihkan dan mengundang rasa haru.

Ya, Aiko sedang pulang ke kampung halamannya sekarang.

Sampai belum lama ini, Aiko seolah berenang mati-matian di tengah waktu yang membunuh dalam banyak arti.

Namun, semua kekacauan itu dipaksa berakhir oleh Hajime, tugas-tugas untuk kembali mengajar dan melanjutkan sekolah pun sudah dituntaskan untuk sementara, dan kini, segala hal sedang dalam proses pembahasan oleh pihak-pihak berwenang di tingkat atas.

Waktu luang yang akhirnya berhasil diraih setelah berbagai peristiwa besar, kini dihabiskan dengan tenang di kampung halaman—di rumah orang tua yang terletak di pedesaan.

Namun demikian, kebebasan yang datang secara tiba-tiba setelah masa penuh gejolak justru membawa rasa hampa yang sulit dihindari; ada semacam kekosongan yang tidak mudah diisi.

“Hajime-kun... sedang apa, ya sekarang...”

Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa sadar. Begitu menyadarinya, Aiko langsung tersentak. Wajahnya memerah, rasa malu menyerang dengan cepat. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu menggulingkan tubuhnya ke lantai dengan gerakan spontan.

Perlu diketahui, sejak kepulangan ini memasuki hari ketiga, Aiko sudah tak terhitung berapa kali mengulang adegan yang sama—terlalu sering hingga tak bisa lagi dihitung dengan jari tangan.

Mengapa demikian?

(Ugh... Aku ini seorang guru. Hajime-kun adalah murid... Meskipun sekarang baru terasa, tetap saja...)

Sungguh, pemikiran itu datang terlalu terlambat. Bukan hanya Hajime, bahkan murid-murid lain pun pasti akan menanggapi dengan sindiran tajam. Terlebih mengingat berapa banyak malam yang penuh gairah telah mereka lalui bersama selama masa-masa menjelang kepulangan, usai pertempuran Legendaris Besar itu.

(Aku bukan terbawa suasana... Tapi...)

Perasaan Aiko terhadap Hajime adalah nyata. Ia bersumpah, ini bukan sekadar efek dari “fenomena jembatan gantung”—bukan perasaan yang timbul hanya karena situasi ekstrem. Ia bisa menyatakannya dengan yakin.

Namun begitu, realita kembali menghantam: pemeriksaan berkepanjangan, pertanyaan dari berbagai pihak, liputan media, serta negosiasi dengan instansi terkait demi memastikan murid-murid bisa kembali bersekolah.

Segala urusan dunia nyata itu, yang harus dihadapi hari demi hari, membuat Aiko secara tidak sadar terus memperlakukan Hajime sebagai seorang murid. Dalam proses itulah, ia kembali disadarkan dengan kuat—bahwa dirinya adalah seorang guru, dan Hajime tetaplah seorang murid.

“Apa yang sudah aku lakukan…”

“Bertindak sejauh itu terhadap murid sendiri... setidaknya—ya, setidaknya bisakah aku bersabar sampai ia lulus?”

Pertanyaan itu menggema dalam benak Aiko, penuh penyesalan dan pergolakan batin. Namun, suara kecil dari dalam dirinya menyela dengan nada datar: “Itu tidak mungkin, kan?”

Sosok kecil menyerupai dirinya sendiri muncul dalam imajinasi—mengenakan pakaian seperti iblis kecil, mencibir dengan geli. Bila dalam hati manusia ada malaikat dan iblis, maka versi malaikat dari mini-Aiko adalah perwujudan akal sehat dan moralitas, yang kini nyaris tak terdengar suaranya.

“Padahal, aku sudah diajak ikut kencan pertama bersama Yue-san dan yang lainnya... tapi aku menolak karena merasa canggung…”

Penyesalan itu makin dalam. Sejak saat itu, pertemuan terakhirnya hanyalah ketika ia diundang makan bersama keluarga Nagumo. Setelah itu, mereka tak pernah bertemu lagi. Meski komunikasi melalui pesan masih berlanjut, tetap saja... hanya sebatas itu.

“...Dia pasti sedang asyik bermesraan sekarang.”

Aiko memeluk lututnya dan mulai mengguling-gulingkan tubuh di lantai, seperti sedang dikuasai gelombang penyesalan. Sebuah helaan napas panjang dan berat meluncur dari bibirnya, memecah keheningan sore.

Ironisnya, Aiko sendirilah yang tanpa sadar menjauh—merasa bersalah, merasa tak pantas, dan memilih untuk tidak bertemu. Namun, begitu kesendirian menghampiri, ia malah membiarkan pikirannya melayang jauh, membayangkan berbagai kemungkinan yang membuat dadanya makin sesak.

Secara jujur, harus diakui: saat ini, Aiko telah menjadi sosok yang—tanpa ragu—akan disebut “sangat merepotkan” oleh siapa pun yang mengenalnya. Sepuluh dari sepuluh orang pasti akan sepakat.

“Aku kesepian...”

Itulah perasaan sejatinya. Tidak ada yang disembunyikan, tidak ada yang bisa disangkal.

“Tapi… hubungan antara guru dan murid itu…”

“Setelah semua ini mereda, kalau sampai ketahuan…”

Itu pun merupakan suara hatinya yang lain—suara Aiko yang serius, lurus, dan penuh tanggung jawab. Bahkan di tengah kesedihan dan kerinduan, ia tetap tak bisa mengabaikan logika dan prinsip hidupnya sebagai seorang pendidik.

(Ugh... Perbedaan usia juga cukup jauh...)

Pikiran Aiko semakin rumit dan berputar ke segala arah. Ia benar-benar sedang terlalu banyak berpikir.

Dan lucunya, ia tampaknya benar-benar lupa akan satu hal penting—bahwa kalau saja ia mengungkapkan soal perbedaan usia ini di hadapan seorang vampir wanita bangsawan tertentu, ia pasti akan langsung pucat pasi disanggah habis-habisan.

“Ayolah, Aiko. Kenapa kamu berguling-guling begitu? Kalau sampai dilihat tetangga, Ibu malu, tahu!”

“Muh...”

Mendengar nada suara ibunya yang terdengar kesal, Aiko berguling sekali lagi. Kini ia tergeletak dalam posisi aneh—seperti seseorang yang gagal melakukan gerakan bridge dalam senam. Dengan kepala terbalik, ia memandang sosok yang baru saja menegurnya.

Perempuan itu berambut pendek dengan wajah bulat yang bersahabat. Ia mengenakan celemek bermotif bunga yang pernah dibuat Aiko di pelajaran keterampilan rumah tangga saat SD—dan masih ia kenakan dengan bangga hingga kini. Dialah Hatayama Akiko, ibu dari Aiko.

Satu tangannya bertumpu di pinggang, sementara tangan lainnya memegang sebuah keranjang kayu yang penuh berisi jeruk mandarin. Semuanya hasil panen sendiri. Memang, keluarga Hatayama adalah petani, dengan kebun buah sebagai usaha utamanya.

“Mau makan?”

“Mau.”

Akiko pun duduk di sebelah putrinya, menawarkan jeruk dengan suara lembut. Aiko mengangguk tanpa ragu, namun tetap berbaring sambil membuka mulut lebar-lebar, seolah meminta disuapi seperti anak burung yang merengek pada induknya.

Seperti yang bisa diduga, Aiko segera ditegur dengan keras, “Tidak sopan!” Maka, dengan enggan dan ekspresi tak puas, ia pun perlahan duduk tegak. Sebuah pemandangan yang bila disaksikan para muridnya, mungkin akan membuat mereka terperangah—bukan karena kelambanannya, melainkan karena betapa manjanya ia terlihat.

Akiko, sang ibu, dengan santai mengupas jeruk dan menyodorkan bagian yang segar dan berair kepada putrinya. Aiko menyambutnya dengan cepat, menggigit lembut potongan buah itu. Rasa manis dan asam yang sudah begitu akrab, namun kini terasa sangat nostalgia, menyebar sampai ke dalam hatinya.

Ekspresinya pun melunak, senyum hangat merekah di wajahnya.

Wajah itu—betul-betul seperti anak kecil. Wajah imut sempurna, begitu mungkin orang akan menyebutnya. Sulit dipercaya bahwa Aiko adalah seorang wanita dewasa berusia dua puluh enam tahun. Bisa jadi karena pengaruh sihir, atau mungkin karena kondisi kulitnya yang belakangan luar biasa baik, semua itu memberi kesan awet muda yang luar biasa.

“Kalau melihatmu seperti ini, rasanya sulit percaya bahwa belum lama ini kau sering muncul di televisi dan internet, jadi sasaran hujatan publik. Padahal waktu itu kau terlihat begitu tegas dan tangguh,” ujar Akiko sambil memandangi putrinya dengan campuran kekaguman dan keprihatinan.

“Yah—soalnya aku nggak mau terlihat buruk di depan Ha—para murid. Itu jelas, kan?” jawab Aiko sambil pura-pura santai dan mengangkat bahu. Namun, sang ibu tidak melewatkan perubahan kecil dalam nada bicaranya. Matanya menyipit sedikit, seolah menemukan celah dalam tembok pertahanan Aiko.

“Sayang…”

“Amm—ngg… apa, Bu?” balas Aiko sambil mengunyah potongan jeruk, seolah ingin menghindari percakapan serius.

“Kapan kau akan mengenalkan Nagumo Hajime-kun pada Ibu?”

“Gofuh!?”

Cipratan jus dan daging buah jeruk langsung menyembur ke udara, menghiasi halaman belakang rumah keluarga Hatayama dengan warna kuning cerah. Tentu saja reaksi cepat muncul dari Akiko, “Ih, jorok sekali!”

“Ke-ke-kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?!”

“Kenapa tidak? Dia itu penyelamatmu, bukan? Sudah sewajarnya kalau Ibu ingin bertemu langsung dengannya dan menyampaikan rasa terima kasih.”

“Ah, itu... benar juga. Ibu tidak salah”

Jawaban Aiko terdengar kikuk, jelas menunjukkan keterkejutan dan sedikit rasa lega yang muncul bersamaan. Di dalam hati, Akiko hanya bisa menghela napas dengan senyum getir. “Dasar, anakku ini benar-benar tak pandai menyembunyikan sesuatu.”

Perlu diketahui, keluarga Hatayama juga merupakan bagian dari yang disebut “rapat keluarga”, dan karena itu, Akiko sudah pernah bertemu dengan Shuu dan Sumire, serta beberapa keluarga lainnya.

Namun, tempat tinggal keluarga Hatayama cukup jauh. Selain itu, mereka juga memiliki usaha pertanian yang tak bisa ditinggalkan begitu saja. Mereka tidak mungkin tinggal selama setahun penuh di ibu kota.

Apartemen tempat Aiko tinggal sebelumnya tetap dipertahankan sewanya, agar bisa berfungsi sebagai pos koordinasi atau tempat pencarian jika diperlukan. Mereka juga secara rutin membersihkannya. Namun, ketika Hajime dan yang lainnya kembali ke dunia asal, seluruh keluarga Hatayama sedang berada di kampung halaman.

“Kalau begitu, kenapa tidak kau undang saja ke rumah? Bukankah ada... apa namanya waktu itu? ‘Gate’? Katanya kalau itu digunakan, jarak bukan lagi masalah, kan?”

“Eh... ya, maksudku, itu, tidak semudah itu juga... Lagipula, dia juga sedang sibuk...”

Aiko menjawab dengan terbata-bata, jelas kesulitan mencari alasan yang meyakinkan. Sementara itu, Akiko melirik putrinya sekilas sambil mengingat kembali kejadian luar biasa yang terjadi ketika Aiko pertama kali pulang ke rumah.

Ya, jika ada momen yang layak disebut “kejutan dunia”, mungkin itulah saatnya.

Betapa tidak—tiba-tiba, di ruang tengah rumah, muncul pusaran cahaya yang bersinar terang, dan dari dalamnya keluar Aiko, yang selama ini dinyatakan hilang.

Itu semua berkat Hajime. Ia telah menghubungkan Gate dari atap sekolah langsung ke rumah keluarga Hatayama, agar Aiko bisa segera bertemu kembali dengan keluarganya.

Tak perlu dikatakan lagi, keluarga Hatayama sempat dilanda kepanikan luar biasa. Mereka hidup berlima—Aiko, kedua orang tuanya, serta kakek dan nenek dari pihak ayah. Dari semua reaksi, Akiko, sang ibu, yang hanya membeku karena keterkejutan, bisa dibilang adalah yang paling tenang.

Sang kakek tersedak camilan saat minum sake, sang nenek langsung pingsan di tempat, dan sang ayah—yang sedang membawa teh panas yang baru saja diseduh—tak sengaja menumpahkannya tepat di area selangkangan dan berguling-guling kesakitan.

Tak heran jika moment pertemuan haru yang seharusnya terjadi (antara Aiko dan keluarganya yang telah lama dirindukan) pun gagal seketika. Dengan wajah merah padam, Aiko hanya bisa berteriak ke arah Gate yang perlahan menghilang, “Kenapa kalian malah mengarahkan tujuan Gate nya di ruang tamu Keluarga!!”

Kembali ke masa kini...

“Kalau begitu,” ucap Akiko dengan nada mantap, “Memang sudah sewajarnya kalau kami yang datang mengunjungi. Nanti ketika kamu kembali ke sana, Ibu akan ikut.”

“Eh... Serius?”

“Kenapa tidak? Semua keributan sudah reda, dan tak ada lagi alasan melarang, bukan?”

“Y-ya sih... Memang begitu, tapi...”

Setelah reuni yang singkat, Aiko segera kembali ke sisi Hajime dan yang lainnya, nyaris tanpa sempat beristirahat. Ia sadar betul, sebagai satu-satunya orang dewasa sekaligus guru dalam insiden hilangnya sekelompok siswa tersebut, tanggung jawab untuk memberikan penjelasan pada berbagai pihak sepenuhnya ada di pundaknya.

Meski keluarga sempat mencoba menahannya, Aiko tetap bersikeras pergi, meyakinkan mereka bahwa itu adalah tugasnya.

Apa yang terjadi setelah itu sudah menjadi cerita umum.

Saat media dan masyarakat mulai “menguliti” sang putri habis-habisan, tidak mungkin orang tua mana pun tidak merasa cemas. Namun Aiko tetap bersikukuh menolak keluarganya datang ke tempatnya berada.

Ia tidak ingin keluarganya ikut menjadi sasaran rasa ingin tahu masyarakat dan menjadi “mainan” publik yang kejam.

Kalau saja Aiko tampak goyah saat itu, mungkin Akiko akan langsung melanggar larangan dan menghampirinya. Namun, suara tegas Aiko saat menelpon, serta sikap tenangnya yang terlihat di berbagai media, menjadi bukti bahwa putrinya telah memilih jalannya dengan kepala tegak dan hati yang mantap.

Terus terang, mereka benar-benar dibuat takjub.

Tak ada yang menyangka kalau putri mereka telah tumbuh sekuat ini—hingga membuat mereka tertegun dalam keterkejutan.

Di depan mata mereka, berdiri sosok seorang dewasa yang utuh. Seorang guru, dengan martabat dan keyakinan yang tak tergoyahkan.

Karena itulah, Akiko dan keluarga memilih untuk percaya pada kata-kata Aiko. Mereka menahan diri untuk tidak bertindak gegabah dan memutuskan untuk menunggu. Menunggu hingga hari sang putri kembali pulang.

Apa pun hasilnya kelak, mereka hanya ingin memastikan bahwa Aiko memiliki tempat untuk kembali—tempat yang aman, tempat di mana ia bisa merasa diterima sepenuhnya.

Namun pada akhirnya, mereka belum pernah bertemu langsung dengan Hajime.

Pria yang telah menyelamatkan nyawa putri mereka, mempertemukannya kembali dengan keluarga, dan entah dengan cara apa, bahkan melindunginya dari gelombang opini publik yang kejam—seseorang yang pantas disebut sebagai penyelamat.

Keinginan untuk bertemu dengannya, meski hanya sekali, tumbuh semakin kuat dari hari ke hari.

Tentu saja, bukan hanya karena rasa terima kasih sebagai sesama manusia.

Melalui celah-celah dalam ucapan dan sikap Aiko, Akiko merasakan ada hal lain yang membuatnya semakin penasaran—sebuah minat yang lebih personal.

“Ayahmu, juga kakek dan nenekmu, mereka semua sangat ingin bertemu dengannya, tahu.”

“Uuh... iya sih… Aku juga sudah tahu...”

“Mereka bilang ingin melihat langsung seperti apa pangeranmu, Aiko.”

“Iya… Eh, bukan! Siapa juga yang punya pangeran! Kalau pun ada, Hajime-kun itu bukan pangeran—lebih cocok disebut Raja Iblis! Ya, benar! Dia itu Raja Iblis-nya semua orang!”

Akiko hanya mengulas senyum kecil. Satu pancingan saja cukup untuk membuat putrinya bereaksi berlebihan seperti itu—benar-benar berbeda dari sosok tegar di televisi.

Dan kemudian, Aiko menambahkan dengan suara lirih, wajahnya memerah:

“Lagipula, Dia itu orang yang tega memanipulasi kesadaran dan ingatan manusia di seluruh permukaan Bumi demi Aku… Sungguh… Benar-benar orang yang… kejam… mungkin lebih tepatnya… licik…”

Tampaknya, Aiko benar-benar yakin bahwa sikapnya masih cukup untuk mengelabui orang lain. Namun, senyum lembut yang terbit di wajahnya—sesuatu yang bahkan belum pernah disaksikan oleh keluarganya sendiri—terpancar begitu alami, nyaris tanpa sadar.

Apalagi dengan posisi duduk memeluk lutut, pipi memerah merekah seperti bunga musim semi, tubuh bergoyang pelan ke kanan dan kiri dalam ayunan halus. Siapa pun, bahkan bukan ibunya, akan langsung tahu isi hatinya yang kini tengah melayang tinggi di angan-angan.

“Ehehe… ‘Aku tak akan membiarkan dunia yang tak bertanggung jawab ini memisahkan kita’, katanya… Uuhhh…”

Apa pun keberatan yang sempat muncul terhadap tindakan Hajime—seperti melakukan brainwashing berskala global—langsung menguap tak berbekas ketika kalimat semacam itu terlintas kembali dalam benaknya.

Mengingat kembali tatapan tajam penuh tekad dan kata-kata yang diucapkan Hajime saat itu, Aiko seolah terbawa melayang. Ia bahkan tidak menyadari bahwa sang ibu di sebelahnya tengah memandangi putrinya dengan sorot mata hangat, meski sedikit tercampur keheranan.

Sebagai catatan, seluruh anggota keluarga Hatayama sebenarnya sudah menyadari hubungan antara Aiko dan Hajime sejak lama. Termasuk alasan mengapa Hajime hingga kini belum juga diperkenalkan secara resmi.

Bagaimana mungkin mereka tak menyadarinya? Sejak pertama kali mendengar cerita Aiko tentang dunia lain, sorot matanya sudah berbinar tak biasa. Nada suaranya, ekspresinya, semuanya menguar kehangatan dan kekaguman yang terlalu mencolok untuk diabaikan. Segala perasaan itu seolah tertulis jelas di wajahnya.

Dan saat kembali ke kampung halaman kali ini, tingkah Aiko hanya memperkuat kecurigaan mereka: ia tersenyum sendiri ketika memandangi liontin berhiaskan cincin, menyeringai manis setiap kali melihat layar ponselnya, lalu berubah menjadi lembek tak karuan saat diam-diam menerima telepon. Bahkan di saat-saat hening, ia tiba-tiba menepuk pipi dan menggeliat malu seperti mengingat sesuatu yang membuatnya ‘gelisah bahagia’.

Padahal segalanya sudah begitu jelas. Namun, Aiko masih saja terpaku pada pandangan masyarakat, reputasi, dan berbagai hal lain, hingga menolak mengenalkan orang itu kepada keluarganya—bahkan tampaknya berusaha agar pihak sana pun tidak melakukannya.

“Benar-benar merepotkan… meskipun ini anakku sendiri.”

“Apa? Ibu bilang sesuatu?”

Sudah sejak lama, keluarga Hatayama diam-diam merasa khawatir akan masa depan Aiko. Pasalnya, secara fisik ia seperti berhenti tumbuh sejak usia sekolah menengah pertama, dan belum pernah sekalipun terdengar kabar tentang hubungan romantis darinya. Maka ketika akhirnya Aiko tampak benar-benar menyukai seseorang, wajar bila mereka ingin mengenalnya lebih jauh.

Namun sikap Aiko yang terlalu bertele-tele, bahkan pada keluarga sendiri, membuat siapa pun bisa kehilangan kesabaran.

“Aku bilang, kalau kamu terus seperti ini, meskipun nanti kamu punya ‘kekasih’, bisa-bisa dia malah pergi meninggalkanmu, tahu?”

“Ha-uwaah!?”

Tepat sasaran. Setelah sebelumnya sudah lebih dulu dilanda keresahan, pernyataan itu menghantam Aiko dengan telak. Ia menepuk dadanya, lalu merebahkan diri ke lantai seolah baru saja terkena serangan mendadak.

“…Yah, sudahlah. Ibu serahkan soal waktunya padamu. Tapi ingat, jangan terlalu lama. Jangan sampai keluarga ini dicap tak tahu sopan santun karena tak pernah mengucapkan terima kasih secara langsung, paham?”

“…Iya…”

“Dan satu lagi. Kalau memang dia orang yang kamu pilih, siapa pun itu, kami akan menyambutnya dengan tangan terbuka, jadi Kamu harus ingat itu”

“…Iya… eeh? Eh!?”

Barulah Aiko menyadari bahwa ibunya kemungkinan sudah lama membaca semua perasaannya. Wajahnya langsung memerah hebat, seperti buah persik matang yang disiram cahaya senja.

Karena sudah lelah mendengar upaya pengelakan yang begitu canggung dari putrinya, Akiko memilih untuk cepat-cepat mengganti topik, tak peduli meskipun Aiko masih dalam keadaan membuka dan menutup mulutnya seperti ikan yang kehabisan air.

“Ngomong-ngomong, tahun ini kita tetap akan mengadakan Festival Panen musim gugur. Sekalian, kenapa tidak ikut melihat? Kamu sudah bertahun-tahun tidak pernah datang, kan? Padahal kamu dulu suka sekali permen kapas buatan Kakek Yamashiro.”

“Eh, ah, iya… Benar juga. Ternyata sudah musim itu lagi…”

Masih dengan pipi kemerahan, Aiko segera menyambut perubahan topik. Tentu saja, ia sama sekali tak punya keberanian untuk membalas pertanyaan sebelumnya.

“Eh, tapi... Kakek Yamashiro masih hidup, ya…?”

“Kamu itu, bisa-bisanya ngomong begitu.”

“Soalnya, waktu aku masih SMA, beliau sudah lebih dari sembilan puluh, kan?”

“Benar, dan tahun ini usianya… kalau nggak salah seratus dua.”

“Se…seratus dua, dan masih buka lapak? Tidak apa-apa kah? Jangan-jangan nanti Beliau wafat pas lagi muter permen kapas.”

“Astaga, kamu benar-benar kurang ajar, ya. Dia masih sehat walafiat, tahu? Katanya sih, masih mau kerja sampai tiga puluh tahun lagi.”

“!? Apa Beliau mau masuk Guinness Record?”

Percakapan ringan dan konyol itu, meskipun tampak sepele, kembali membangkitkan kegelisahan dalam hati Aiko. Tentang hubungannya dengan Hajime. Tentang bagaimana seharusnya ia menjelaskan segalanya kepada keluarganya.

Tapi tetap saja, jawabannya tak kunjung ditemukan.

Maka, demi menenangkan hati dan menjernihkan pikirannya, Aiko pun memutuskan untuk ikut serta dalam festival musim gugur tahun ini.


◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇


Senja musim gugur yang indah perlahan-lahan tertelan oleh tirai malam.

Aiko melangkah menyusuri jalan pedesaan yang telah dikenalnya sejak kecil, kini dalam balutan yukata berwarna merah muda pucat. Sebuah tas kecil tradisional bergoyang ringan di tangannya yang terayun pelan.

Meski udara malam di penghujung musim gugur mulai terasa menggigit, Aiko tetap memilih mengenakan sandal jerami tanpa kaus kaki, demi suasana.

Dalam balutan yukata, ada sentuhan pesona lembut yang terpancar—mungkin karena naluri sebagai orang Jepang.

“Kalau begini, seharusnya Dia akan berpikir kalau Aku sedikit… cantik, bukan?”

Begitu sendirian di jalan itu, bayangan tentang seseorang yang ia cintai pun segera memenuhi hatinya.

Kenangan yang terasa seperti mimpi—pertemuan kembali yang nyaris ajaib di kota tepi danau, luka batin akibat kenyataan yang tak bisa dihindari, dan ciuman yang menyelamatkan nyawanya.

“Uuhh…”

Ia juga pernah diselamatkan dari puncak menara, seolah benar-benar hidup sebagai seorang putri dari kisah dongeng. Ia begitu ingin membantu pria yang terus bertarung tanpa henti, namun kenyataannya, justru karena tindakannya sendiri, ia menjadi beban.

“Haahh…”

Dan setelah semua itu, kata-kata yang ia terima di samping monumen peringatan… Aiko tahu ia takkan pernah bisa melupakannya seumur hidup.

Saat itu—ya, saat itulah, ketika tubuh dan jiwanya diselamatkan—Aiko sudah tak bisa lagi menyembunyikan gejolak cintanya.

“Au…”

Dan ketika ia berhasil bertahan hidup dari pertempuran terakhir, ia pun menyadari satu hal dengan tegas.

Meski logika dan norma mencoba menolaknya, ia tetap ingin berjalan bersama pria itu. Ia benar-benar ingin berdiri sejajar dengan para gadis yang juga mencintainya. Demi itu, ia siap menghadapi segala rintangan. Ia telah menetapkan hati.

Hasil dari tekad itu adalah serangan frontal yang bahkan membuat dirinya sendiri tak percaya. Tapi, berkat itu, ia akhirnya menerima jawaban dari sang pria—bersama dengan senyum pasrah yang terlihat sedikit kebingungan.

Aiko mengangkat tangan ke dadanya, meraba sesuatu yang keras di balik lipatan yukata-nya.

Sebuah cincin yang tergantung di rantai—tanda bahwa dirinya adalah istri sang Raja Iblis.

Dan pikirannya pun melayang kembali ke malam itu—malam yang ia pikir takkan pernah jadi miliknya, karena tubuh mungil dan wajah imutnya yang selalu kekanak-kanakan.

Kenangan yang, bahkan hingga kini, masih membuatnya memerah hanya dengan mengingatnya. (TL Note: Malam penuh Adegan Panas :v) 

Malam itu… segalanya terlalu… luar biasa.

“Awawawa!”

Ia memerah sendirian di tengah jalan malam, melambai-lambai panik seperti orang linglung.

Dari luar, ia sudah tampak seperti orang mencurigakan.

Melihat Dia yang seperti ini, tidak heran jika keluarganya hanya bisa geleng-geleng kepala.

Sosok guru yang pernah disebut sebagai “Dewi” di Isekai, yang mampu menggugah hati Massa, bahkan berani menghadapi Raja dan Paus demi murid-muridnya—ternyata aslinya adalah seorang wanita kikuk yang sangat buruk dalam urusan cinta.

Di saat Aiko yang kikuk itu masih bertindak seperti orang yang mencurigakan, tiba-tiba terdengar suara yang menyapanya.

“Ai? Lagi kamu sedang apa”

“Oheee!?”

Aiko sampai benar-benar melompat kaget. Suara aneh pun keluar dari mulutnya.

Kini wajahnya memerah karena alasan lain. Ia menoleh ke arah tikungan menuju kuil, yang entah sejak kapan sudah begitu dekat. Di sana berdiri seorang pemuda bertubuh tinggi dan kekar.

“Ta-Taichi-kun… Jangan kagetin Aku begitu dong…”

“Yah, yang kaget itu seharusnya aku. Melihat Ai yang sendirian di jalan malam sambil gonta-ganti ekspresi ga jelas kayak gitu…”

Furukawa Taichi.

Teman masa kecil yang sudah bersamanya sejak TK sampai SMA. Bisa dibilang, mereka tumbuh bersama. Rumah dan lahan pertanian keluarga mereka pun bertetangga, jadi mereka sangat akrab sampai ke keluarganya masing-masing.

Memang, saat SMP dan SMA, karena gejolak khas masa puber, Taichi sempat menjaga jarak dan hubungan mereka jadi agak renggang. Tapi sekarang mereka sudah dewasa.

Kalau Aiko pulang kampung, hubungan dekat itu kembali terasa—mereka saling bertukar kabar seperti dulu.

Namun sekarang, melihat wajah Taichi yang menggaruk pipi sambil menatapnya dengan ekspresi campur aduk, Aiko merasa sangat canggung.

Ia pun hanya bisa menanggapi dengan senyum canggung pula.

“Ng-Ngomong-ngomong, Taichi-kun sendiri kenapa ada di sini malam-malam begini?”

“Ah, ya, mungkin kamu sudah dengar dari paman juga, tapi aku bantu-bantu di festival. Terus, Aku dengar kamu mau datang… yah, kamu tahu sendiri, kadang ada orang bodoh yang muncul di acara begini, kan…”

Ternyata, Taichi datang khusus untuk menjemput Aiko karena khawatir.

Kabar hilangnya Aiko dulu juga cukup mengguncang keluarga Furukawa. Mereka sangat khawatir. Bahkan saat keluarga Hatayama sering meninggalkan rumah demi pencarian, keluarga Furukawa membantu mengurus ladang mereka.

Mungkin juga, ini karena Tante Furukawa yang menyuruh Taichi menjemput Aiko.

Merasa hangat oleh perhatian tetangga yang tak pernah berubah, Aiko pun tersenyum tulus sambil berkata,

“Terima kasih ya, udah repot-repot.”

Kata-kata itu terucap begitu saja, tulus dari hati.

Taichi, entah kenapa, malah tampak panik. Ia langsung membuang muka dan menutupi mulutnya dengan satu tangan. Kalau tempat itu cukup terang, pasti telinga merahnya akan kelihatan.

“S-Soalnya, kamu kelihatan cocok banget pakai yukata,” katanya, mencoba mengalihkan perhatian sambil menunjuk jalan menuju kuil. Suaranya agak tinggi, tak biasa.

Aiko menjawab tanpa terlalu ambil pusing, “Oh ya? Terima kasih,” sambil tetap bersikap tenang.

Lagi pula, sekarang sudah bukan saatnya ia mudah baper terhadap pujian seperti itu, apalagi dari teman masa kecil.

Kalau yang mengatakannya adalah orang itu, tentu lain cerita. Toh, tadi saja ia sudah gelisah memikirkan Dia.

Setelah itu, Aiko berjalan bersama sambil mengobrol ringan tanpa terlalu memperhatikan Taichi yang sedikit menundukkan bahunya, mereka tiba di tujuan tanpa memakan banyak waktu. Keramaian orang dan hiruk-pikuk khas festival memenuhi pendengaran dan penglihatan mereka.

“Ahaha, banyak orang yang aku kenal ya,” kata Aiko sambil menyipitkan matanya dengan ekspresi yang tampak penuh perasaan. Taichi pun menatap Aiko dengan cara yang sama, ikut menyipitkan matanya. Ia merasa senang melihat Aiko berada di festival kampung halamannya, dan perasaan itu tampak jelas di wajahnya.

Pemandangan itu pun disaksikan oleh orang-orang yang mereka kenal. Saat mereka bertegur sapa, tentu saja banyak yang merasa senang dan lega melihat Aiko dalam keadaan baik-baik saja, tetapi ada juga yang menggoda mereka—terutama ibu-ibu yang sudah mengenal mereka sejak lama.

Setiap kali Taichi, yang menjadi malu dan panik, berusaha menyangkal, Aiko malah dengan senyum santai langsung membantah, membuat ekspresi Taichi makin kaku dan pandangan simpati dari orang-orang sekitar pun bertambah.

Ketika mereka bertemu teman seangkatan yang datang bersama suami dan anak-anaknya, Aiko pun terkena “serangan pertanyaan kritis” seperti, “Aiko, belum ada orang yang spesial bagimu, ya?” yang membuatnya terdiam dan memerah karena malu.

Tentu saja, melihat Aiko yang tersipu dan kehilangan kata-kata, orang-orang di sekitar mulai bereaksi dengan “Ohh?” penuh tanda tanya. Lalu, saat tatapan mereka beralih ke Taichi dengan ekspresi penuh dugaan, wajah Taichi pun secara refleks menjadi tegang dan bersemangat tanpa perlu alasan.

Sambil melewati semua percakapan dan gangguan kecil itu bersama orang-orang yang mereka kenal, Aiko tampak merasakan keharuan yang dalam, dan ia pun menikmati festival tersebut sepenuhnya.

Ngomong-ngomong, kakek Yamashiro yang terkenal itu kini telah membawa seni membuat permen kapas (wataame) ke tingkat yang benar-benar artistik. Tidak, mungkin lebih tepat disebut keahlian luar biasa.

Saat Aiko mengetahui bahwa berbagai patung terkenal yang dipajang di toko itu semuanya terbuat dari permen kapas, bahkan Aiko yang biasanya tenang pun tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Dan saat semua karya itu diberikan kepadanya tanpa sepatah kata pun, ia benar-benar merasa kebingungan. Meski begitu, ia memahami bahwa itu adalah bentuk ucapan selamat datang dari Kakek Yamashiro, jadi ia menerimanya...

“Aku boleh makan ini, ya?”

“…Yah, kalau nggak dimakan malah sayang, kan.”

Sedikit menjauh dari keramaian festival yang masih meriah, Aiko duduk di sebuah bangku di halaman kuil setelah menaiki tangga, sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Ini waktunya istirahat sebentar.

Tak ada orang lain di sekitarnya. Bukan karena merasa lelah secara mental, tapi ia tetap menghela napas panjang, “Fuuuh~,” begitu saja tanpa sadar.

“Untung tadi bisa nitip ke Ayah. Bisa makan santai di rumah nanti~.”

Ayah Aiko—Hatayama Tetsuo—juga membuka lapak di festival, Dia menjual “permen jeruk” alih-alih “permen apel”, jadi patung-patung permen kapas berbentuk Venus itu sudah ia titipkan pada Ayahnya. Saat itu, Tetsuo sempat memberikan tatapan aneh pada Taichi yang setia mengikuti Aiko seperti seorang pengawal...

Huh? Kenapa ya tadi beliau menatap begitu? Aiko sempat bertanya-tanya sejenak, tapi kemudian memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Lagi pula, bukankah Taichi seharusnya ikut sibuk membantu sebagai anggota pemuda desa dalam mengelola festival? Kenapa dia malah masih terus bersamaku, ya?

“Taichi-kun, kamu tidak ikut bantu-bantu di festival?”

“Eh? Ah, nggak apa-apa kok,” jawab Taichi.

Aiko merasa ada yang aneh. Dari tadi, Taichi terasa lebih pendiam dari biasanya. Seperti sedang sedikit tegang...?

Tapi, ya sudahlah, pikir Aiko sambil membiarkannya berlalu. Soalnya, suasana bising dan udara kampung halaman ini terasa begitu nyaman.

Dia sering datang ke pelataran kuil ini dulu. Tanpa benar-benar peduli dewa apa yang disembah di sini, ia hanya membawa recehan dan berdoa untuk kelulusan atau hal-hal kecil lainnya.

Padahal baru setahun berlalu. Tapi semuanya terasa begitu nostalgia.

Tempat ini memang sudah ada sejak dulu. Bukan berarti dia sangat menyukainya, malah kadang terasa merepotkan. Namun sekarang, tanah kelahirannya ini terasa sangat berharga.

Pasti karena di dunia lain yang jauh itu, ia dipaksa mengerti betapa tidak ada yang benar-benar “biasa” dalam hidup.

Dengan mata yang menyipit, Aiko menatap arena festival seperti sedang memandang harta karun.

Taichi, yang memperhatikannya dengan tatapan kosong seakan terpesona, tersadar beberapa saat kemudian. Ia tiba-tiba menampar pipinya sendiri.

Suara tepukan yang nyaring membuat Aiko terkejut dan menoleh ke arahnya.

Dengan wajah yang jelas-jelas tegang, Taichi akhirnya membuka mulutnya:

“Hei, Ai. Mau nggak... Kamu balik ke sini lagi?”

“Eh? Aku... kan, memang lagi pulang kampung sekarang?”

“Tidak, bukan itu... Maksudku, berhentilah bekerja di sekolah kota itu dan tinggal di sini, di kampung,” kata Taichi.

Aiko membelalakkan matanya, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Namun Taichi melanjutkan dengan serius, seolah berusaha meyakinkannya.

“Aku lihat di TV... Kejadiannya parah sekali. Aku nggak menyalahkan murid-muridmu, tapi selama kamu tetap di sana, kamu mungkin akan terus jadi sasaran serangan.”

“…Lalu kenapa? Itu sudah hal yang wajar. Aku ini guru,” jawab Aiko, tenang.

“Sudah cukup, kan?”

Taichi bukan bermaksud menyuruh Aiko berhenti jadi guru. Ia hanya ingin Aiko mencari sekolah baru di kampung. Lagi pula, “hal yang wajar sebagai guru” yang Aiko katakan itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang wajar. Aiko selama ini sudah memikul terlalu banyak beban.

Taichi berkata begitu dengan sungguh-sungguh. Dan memang, kalau dilihat dari luar, apa yang Aiko tanggung sudah melampaui batas wajar. Guru pun punya kehidupan pribadi mereka.

Kalau dibandingkan dengan guru-guru pada umumnya, mungkin perjuangan Aiko sudah bisa dibilang gila.

Tapi... inilah Aiko.

Bahkan setelah dipanggil ke dunia lain, dan berjuang dalam situasi hidup dan mati, dia tidak pernah berubah. Dia tetaplah “Hatayama-sensei” yang baik hati dan pengertian.

“Aku tidak akan berhenti. Setidaknya, selama pihak sekolah masih mengizinkannya, Aku ingin terus mengajar. Aku ingin melihat anak-anak itu lulus dengan mataku sendiri.”

Aiko berdiri sambil berkata demikian. Tak ada keraguan di matanya; bukan keras kepala, melainkan keteguhan. Di sana terpancar jelas tekadnya yang teguh dan kuat.

‘Aku sudah memutuskan.’ Tanpa perlu kata-kata, sikap Aiko seakan berkata begitu. Ia berbalik, hendak kembali ke keramaian festival.

Namun, Taichi buru-buru berdiri menghadangnya, ekspresi wajahnya menunjukkan kegelisahan dan sedikit rasa frustrasi. Ia pun melanjutkan dengan nada lebih mendesak, mengutarakan hal yang sebenarnya ia sendiri enggan katakan — sesuatu yang bagi Aiko adalah fakta yang sangat menyakitkan.

“…Apa yang kamu pikirkan itu... beneran hanya soal pekerjaan?”

“…Maksudmu Apa?”

“Apa yang sebenarnya kamu pikirkan... bukan soal pekerjaan. Tapi soal... Kekasihmu, kan?”

“A-a-a-apaaan sih!? Aku tidak mengerti Apa yang kau maksud!!”

Aiko yang tadi tenang langsung panik seketika! Sama sekali tidak teguh! Seperti dugaan, topik ini adalah kelemahannya!

Melihat Aiko yang benar-benar gugup, Taichi pun tersenyum kecut, merasa semangatnya sedikit hilang. Tapi, sampai sejauh ini, ia tidak bisa pura-pura tidak tahu.

“Satu-satunya yang nggak sadar itu kamu sendiri. Semua ibu-ibu di kampung juga tahu. Aku juga tahu. Waktu kamu hilang dulu... kamu dapat Kekasih, kan? Dan... Dia itu ternyata muridmu sendiri.”

“!!!??”

Reaksi Aiko luar biasa heboh. Bahkan tanpa berkata-kata, ekspresi wajahnya sudah menceritakan semuanya. Terutama dua hal:

“Kenapa Taichi tahu!?” untuk Taichi, dan “Jadi para ibu-ibu juga tahu!? Kok bisa sih!?” untuk para ibu-ibu.

“Nggak mungkin aku tidak tahu. Dari dulu, Ai itu payah banget kalau soal menyembunyikan sesuatu,” kata Taichi.

“Ta-tapi kenapa kamu bisa sampai tahu soal... murid?”

“Ya, pikir aja. Kamu hilang sekian lama, terus pas balik kamu punya pacar, tapi kamu ragu buat ngenalin ke orang tua. Kalau dipikir wajar aja, pasti muridmu, kan?”

Memang benar...

Aiko memegangi kepalanya, benar-benar pusing.

Taichi menghela napas, tampak sedikit kesal, tapi segera memperbaiki ekspresinya. Lalu, dengan suara lembut seolah menasihati, dia melanjutkan — seakan ingin memberikan jawaban atas kegelisahan Aiko.

“Hubungan antara guru dan murid... kamu sendiri tahu itu nggak benar, kan, Ai?”

“――!?”

Aiko menahan napas.

“Kamu sendiri kelihatan sangat tersiksa. Kamu sudah mengalami banyak hal berat. Dalam situasi seaneh itu, wajar kalau seseorang bisa tergelincir karena perasaan... Tapi aku nggak peduli soal itu.”

“Taichi-kun...?”

Merasakan perubahan nada suara Taichi, Aiko mendongak.

Dia terkejut — jaraknya sangat dekat, dan tatapan serius itu membuatnya refleks mundur satu langkah. Namun, Taichi malah maju satu langkah, memperkecil jarak mereka lagi.

“Ai, sudahi hubungan yang... nggak benar itu.

Lalu, pulanglah ke sini, mulai dari awal lagi.

Mungkin awalnya kamu akan merasa kesepian... tapi setelah ini, aku yang akan selalu ada di sisimu.”

“Taichi-kun, apa yang kamu...”

Tidak, Aiko sudah mengerti.

Melihat panas yang membara di dalam mata Taichi, bahkan Aiko yang biasanya kurang peka pun bisa menyadarinya.

Ia sama sekali tidak pernah membayangkan kalau Taichi bisa memiliki perasaan seperti itu terhadap dirinya.

Setidaknya, saat masa sekolah dulu, Taichi bahkan sudah punya pacar.

Karena itu, Aiko benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

“Sejak Ai menghilang, rasanya hatiku seperti mau hancur. Waktu itu aku menyadarinya... Ai adalah seseorang yang sangat berarti bagiku.”

“U-untuk sekarang, coba kita tenang dulu, ya?”

Aiko merespons sambil mundur perlahan, bukan karena takut, tapi karena hatinya benar-benar kacau.

Wajah Taichi semakin tampak dipenuhi semangat yang membara, membuat Aiko makin bingung.

Dan saat itu, Taichi melontarkan kata-kata menusuk tajam, seperti tombak:

“Hubunganmu sama pacarmu... lagi nggak berjalan dengan baik, kan?”

“Ugh...”

Aiko terdiam, seperti tertusuk.

“Ya jelas aja. Dia itu cuma anak kecil.

Nggak mungkin bisa bikin Ai bahagia.

Kalau aku, aku bisa mewarisi usaha keluarga, aku punya kemampuan, dan umur kita juga seumuran.

Kalau sama aku, kita pasti bisa bahagia.”

Saat mendengar pernyataan yang hampir menyerupai lamaran itu, punggung Aiko tanpa sadar bersandar pada batang pohon yang ada di pelataran kuil.

Entah sejak kapan, dia sudah mundur sampai ke situ.

Kedua tangan Taichi memegang erat bahu Aiko yang ramping.

Yang kini berdiri di hadapannya adalah wajah Taichi yang selama ini ia kenal sebagai teman masa kecil — namun sekarang, untuk pertama kalinya, memperlihatkan wajah seorang pria yang menatapnya dengan perasaan sungguhan.

Kalau ini terjadi sebelum Aiko dipanggil ke dunia lain, mungkin hatinya akan sedikit goyah.

Namun, sekeras apa pun perasaan yang diungkapkan Taichi, hati Aiko yang sekarang tak bergeming sedikit pun, bahkan tak menimbulkan riak kecil sekalipun.

Sebaliknya, yang muncul kuat dalam hatinya bukanlah sosok teman masa kecil yang ada di hadapannya, melainkan――

“Hajime-kun...”

“Ai!”

Sebuah nama yang terucap lirih, nyaris seperti jatuh dari bibirnya.

Meski Taichi berada tepat di depannya, Aiko tidak melihatnya.

Kecemburuan membakar Taichi.

Cengkeraman di bahu Aiko mengeras, seakan hendak menariknya dalam pelukan atau bahkan mungkin memaksakan sebuah ciuman.

Tak pernah terpikir oleh Aiko bahwa Taichi akan bertindak sekuat itu.

Ditambah pikirannya yang sepenuhnya dipenuhi oleh sosok yang ia cintai, reaksinya pun terlambat sesaat.

“Tidak! Hajime-kun――”

Refleks, Aiko hendak mendorong Taichi menjauh dengan kekuatan yang bisa dibilang berbahaya bagi orang biasa――

Namun――

“Iya? Aku di sini, Aiko.”

“Eh?”

“Ah?”

Suara bodoh keluar serempak dari mulut Taichi dan Aiko.

Entah sejak kapan, Hajime sudah berdiri tepat di samping mereka dengan senyum cerah di wajahnya.

Satu tangannya mencengkeram kerah baju Taichi, sementara tangan lainnya menahan tangan Aiko yang hendak mendorong.

“A-apa-apaan kamu!? Siapa kamu!? Lepaskan!”

“Seharusnya aku yang bilang begitu. Kau ini mau apa dengan perempuan orang?”

Sesaat kemudian, sosok Taichi menghilang. Atau lebih tepatnya, itulah yang terasa, karena ia terlempar rendah ke udara seperti batu dalam permainan melempar batu ke permukaan air.

Leher bajunya ditarik dengan sangat kuat hingga lehernya terasa tercekik, dan terdengar teriakan kesakitan, “Guekk!”

Ia memantul di atas tanah sebanyak tiga kali, lalu jatuh dalam posisi merangkak sambil terbatuk hebat.

Sementara Taichi dalam kondisi seperti itu, Aiko memandangi Hajime dengan mata membelalak keheranan.

“H-Hajime-kun?”

“Ya, ini aku.”

“Ke-kenapa kamu ada di sini?”

“Karena Aiko ada di sini?”

“Umm... meski kamu bilang begitu dengan nada seperti bertanya dan terdengar seperti pendaki gunung...”

Melihat Aiko yang kebingungan, Hajime pura-pura memasang ekspresi sedih yang mencolok.

“Akhir-akhir ini kamu terlihat terlalu banyak berpikir. Aku ingin bicara denganmu dengan benar.”

“Ah, itu... itu...”

Sebenarnya, yang menghindar selama ini adalah Aiko. Situasinya terasa canggung, membuatnya tak sadar menundukkan pandangan.

Sebaliknya, Hajime menyeringai dengan senyum nakal.

“Aku juga ingin menyapa keluargamu. Tapi kalau aku bilang mau berkunjung, kamu pasti menolak, kan? Jadi—”

“Jadi?”

“Aku memutuskan untuk ‘Eh? udah datang aja kamu~’.”

“Hajime-kun...”

Mungkin itu gara-gara mereka. Entah salah satu dari Yue dan yang lainnya, atau mungkin semuanya, yang mengusulkan, lalu Hajime ikut-ikutan dengan semangat keterlaluan. Mudah sekali membayangkan Yue dan yang lainnya mengacungkan jempol sambil berkata, “Semoga berhasil.”

Aiko merasa makin malu saat membayangkan hal itu—pasti mereka juga ikut khawatir. Tapi, meski begitu, ia tetap merasa senang karena mereka peduli padanya.

“Jadi, kamu datang ke sini dengan sihir teleportasi, ya?”

“Begitulah. Saat aku menggunakan artefak ‘Divine Compass’, gambaran festivalnya langsung terasa. Jadi kupikir akan menyenangkan kalau kita bisa menikmatinya bersama.”

Kalau diperhatikan lebih saksama, Hajime mengenakan yukata. Mungkin setelah tahu di mana Aiko berada, dia sengaja berganti pakaian untuk menyesuaikan diri. Itu pun membuat hati Aiko terasa hangat.

“Yah, maaf sudah datang tiba-tiba... tapi kurasa akhirnya ini jadi hasil yang baik juga.”

Senyum menghilang dari mata lembut Hajime. Pandangannya kini tertuju pada Taichi, yang baru saja berdiri kembali.

Aiko tersentak. Ia merasa malu dan panik luar biasa karena Hajime sempat melihatnya saat nyaris didekati pria lain.

“U-um, itu tadi bukan seperti yang kamu pikir! Aku dan Taichi-kun tuh... bukan seperti itu! Aku sama sekali nggak punya perasaan ke arah situ! Nggak ada deg-degan! Nol kemungkinan!”

“Ah~... ya, sudah kuduga begitu...”

Taichi kembali jatuh berlutut. Seharusnya ia tak mengalami luka fisik, jadi mungkin itu karena luka batin. Kelihatannya bahkan lebih parah dari saat ia dilempar tadi.

Penolakan total dari wanita yang disukainya… itu adalah pukulan yang begitu telak, sampai-sampai pandangan tajam Hajime yang hendak menatap tajam ke arah Taichi pun tanpa sadar jadi melembut.

Yah, itu urusan lain. Sekarang urusannya berbeda.

Tiba-tiba, Hajime memeluk Aiko dari belakang.

“H-Hajime-kun!?” seru Aiko dengan wajah merah padam, panik, tapi ia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin melepaskan diri.

“Kurang lebih aku tahu kenapa kamu menghindar. Pasti karena kamu mulai terlalu menyadari posisi kita masing-masing, kan? Meskipun itu hal yang sudah sangat telat untuk dipikirkan.”

“Hawuh!?”

Ia benar-benar bisa menebak semuanya. Aiko merasa down—betapa sederhananya dirinya, sampai hal seperti ini pun sudah ketahuan oleh keluarga, teman masa kecil, dan bahkan Kekasihnya...

“Kalau itu yang kamu inginkan, Aku tidak keberatan menahan diri sampai kamu lulus. Kalau kamu ingin mengubah bentuk hubungan kita, kita bisa pikirkan bersama-sama. …Sejujurnya, hal yang paling menyedihkan itu justru kalau kamu tidak mau bicara denganku.”

“Hajime-kun… kamu benar. Maafkan Aku…”

Mata Aiko yang mulai berkaca-kaca menatap ke arah Hajime. Tangannya perlahan menumpuk dengan lembut di atas lengan Hajime yang memeluknya erat.

“Aku mengerti betapa pentingnya ‘menjadi seorang guru’ bagi Aiko. Tapi, setidaknya bersikaplah seperti saat Kau menasehatiku waktu itu.”

“Jangan jalani hidup yang sepi.” — itu adalah kata-kata Aiko sebagai seorang guru yang ia sampaikan di Kota Ur, yang Hajime terus hargai dengan sungguh-sungguh sampai sekarang.

Mengingat itu membuat hati Aiko hangat, dan ekspresinya melunak, tersenyum lembut.

“Jangan lupa akan dasar dari semua ini. Saat aku memutuskan untuk menerima Aiko, aku sudah mengatakannya, kan?”

Aiko mengingat kembali. Satu bulan setelah pertempuran besar di dunia para dewa, saat ia juga berharap bisa dicintai oleh Hajime. Waktu itu, mereka saling mengungkapkan tekad masing-masing.

Bisa dibilang, semacam syarat yang harus dipenuhi Aiko agar dirinya bisa diterima menjadi istri sang “Raja Iblis”.

《Mulai sekarang, apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi.》

Dalam hubungan ini, tak ada konsep berpisah. Bahkan jika Aiko sendiri menolak, Hajime tak akan membiarkannya lepas. Yang ia terima hanyalah mereka yang sudah ia putuskan untuk memberikan seluruh hidupnya bersama-sama.

Menerima wanita lain selain Yue, tanpa komitmen untuk seumur hidup, itu tidak mungkin baginya.

Hajime mempertaruhkan segalanya hanya demi masa depan di mana mereka bisa terus bersama, apapun yang terjadi.

Bahkan jika dunia menyebutnya gila atau menyedihkan karena memutuskan untuk mencintai lebih dari satu wanita, itulah bentuk tanggung jawab paling mendasar yang ia pegang.

《Kamu tidak akan bisa kabur dari Raja Iblis》

Sekali Kau menjadi Istri Raja Iblis, maka Kau tidak akan pernah bisa meninggalkannya, Apapun yang terjadi, Dia akan mengejarmu hingga keujung Dunia. Bahkan Dewa pun akan dibunuh jika berani menentang aturan itu.

(Kata Raja Iblis Pembunuh Dewa yang telah membunuh Dewa Isekai karena istri pertamanya di culik)

“Kamu mengerti, kan?”

“...Iya.”

Dengan tatapan yang lembut namun seakan mencengkeram jantungnya, Aiko menjawab tanpa sadar. Wajahnya memerah, dan ia hanya bisa mengangguk pelan berulang kali.

Melihat itu, Hajime tersenyum dan akhirnya mengalihkan pandangannya dari Aiko.

Terdengar desahan lemah, “Fuh~ee…” keluar dari mulut Aiko, namun untuk saat ini itu diabaikan.

Jawaban barusan sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan sebelumnya: “Siapa dia?”

Dan di saat yang sama, itu adalah pernyataan.

Pernyataan terhadap pria yang sejak tadi terpaku, menatap ke arah mereka, dan tidak bisa bergerak karena atmosfer kuat yang ditimbulkan oleh Hajime dan Aiko—yang tak mengizinkan pihak ketiga ikut campur.

Kembali tersadar oleh tatapan Hajime, Taichi mengerutkan kening dalam-dalam.

“...Kalau kulihat, kamu murid Aiko, ya? Mungkin karena kamu masih pelajar, jadi kamu belum paham, tapi keberadaanmu itu menyakiti Aiko. Dunia ini tidak semudah itu untuk ditaklukkan hanya dengan perasaan—”

“Terima kasih atas nasihatnya. Tapi, kamu terlalu banyak salah langkah untuk bisa mengaku sebagai orang dewasa yang bijak.”

Itu adalah kata-kata yang tajam, seolah menebas. Taichi tak bisa langsung membalas, mungkin karena ia bisa menangkap makna di balik ucapan itu.

Memang, jika seseorang sudah tahu bahwa lawannya punya kekasih dan tetap memaksa mendekat, maka segala argumen moral akan kehilangan bobotnya.

“Yah, untuk kali ini aku maklumi. Tapi lupakan saja Aiko.”

Lalu terdengar gumaman kecil: “Kalau bukan karena kamu teman masa kecil Aiko, sudah kugulingkan jadi seperti keluarga Inugami.”

Mendengar itu, Aiko yang tadinya melongo menatap Hajime pun akhirnya tersadar kembali.

“Itu seharusnya aku yang bilang! Tidak peduli apapun yang kamu katakan, hubungan guru dan murid itu—”

“!? Fuwaah!? Ahhn!”

Taichi kembali tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terdiam total. Karena… wanita yang ia sukai kini tengah dielus di balik yukata oleh seorang pria! Dan suara menggoda semacam itu… belum pernah ia dengar dari Aiko—tidak, ini salah! Bukan begitu maksudnya!

“APA YANG KAMU LAKUKAN!?”

“Apa-apaan ini~!”

Suara Taichi dan Aiko bersatu, penuh protes. Hajime menarik tangannya keluar dari balik yukata, sementara Aiko menutupi bagian dadanya dengan tangan, wajahnya merah hingga ke telinga.

Namun meski dihadapkan pada protes mereka berdua, Hajime tetap santai seperti angin yang melewati pohon, dan memperlihatkan benda yang ia ambil dari dalam yukata.


Sebuah cincin. Cincin pertunangan.

“Aiko itu bukan lagi sekadar pacar. Dia sudah seperti istriku. Tubuh dan hatinya, semuanya sudah jadi milikku.”

“Kau… kau itu…!”

Kalimatnya benar-benar terdengar seperti tokoh antagonis. Dilihat dari luar, ini tampak seperti adegan di mana seorang pemuda baik dan setia kehilangan teman masa kecilnya karena direbut oleh pria brengsek.

Tentu saja, Aiko dan Taichi hanya teman masa kecil—jadi Hajime tidak benar-benar “merebutnya”.

Namun, dari sudut pandang Taichi, begitulah yang ia rasakan. Ia tampak sangat marah, seolah-olah rambutnya berdiri karena kemarahan. Sepertinya ia bisa menyerang kapan saja.

Tampaknya, ia belum berniat menyerah. Ia masih percaya bahwa ia bisa “merebut kembali” Aiko.

Meskipun Hajime sudah tidak lagi memeluk Aiko, kenyataannya Aiko tetap tidak menjauh darinya. Meski begitu, Taichi masih berteriak, “Aiko! Lepas darinya dan datang ke sini!”

Perbedaan usia antara orang dewasa dan remaja, antara siswa dan anggota masyarakat—konsep-konsep umum inilah yang mungkin membuat Taichi salah paham.

Ia mungkin merasa dirinya lebih unggul. Bahwa Aiko pasti akan memilih dirinya.

Karena itulah, Hajime menarik napas pelan. Sebelum Aiko sempat mengatakan apa pun, Hajime langsung memotong dan menghancurkan “harapan” Taichi—dengan tanpa ampun yang layak untuk seseorang yang dijuluki Raja Iblis oleh rekan-rekannya.

“Itu salahmu sendiri.”

“Apa kau bilang!?”

“Kau punya senjata ampuh yang tidak kumiliki—sesuatu yang sudah bersamamu sejak kecil: kau selalu ada di sisi Aiko. Kau pasti punya banyak kesempatan untuk menyampaikan perasaanmu. Salah?”

“A-aku… itu…”

“Tapi kau menyia-nyiakan semuanya. Kau tidak bisa menjadi ‘alasan untuk kembali’ yang membuat hati Aiko tak punya ruang untukku. Atau mungkin, lebih tepatnya, kau tidak berusaha menjadi itu.”

Mulut Taichi bergerak-gerak seperti ikan yang kehabisan udara. Ia ingin membalas, tapi tak bisa. Tak ada kata yang muncul. Hatinya sendiri sudah mengakui semuanya.

“Ini… adalah hasilnya.”

Begitu kejam, namun tak terbantahkan. Mengatakan bahwa Aiko “direbut” hanyalah dalih yang salah arah.

Padahal, ia adalah orang yang paling dekat dengan Aiko, namun tidak pernah bertarung untuk berjalan bersamanya. Maka, ketika menyadarinya, Aiko sudah jauh di luar jangkauannya. Itu saja masalahnya.

Ini bukan soal status atau kedudukan sosial. Masalahnya datang jauh sebelum itu.

Taichi menggertakkan giginya dan menunduk. Mungkin ia masih mencari kata-kata, atau mungkin ia hanya belum bisa menerima dirinya sendiri… dan kenyataan ini.

Aiko menatap Taichi yang tak mengucap sepatah kata pun, atau tak mampu mengucapkannya.

Dan di saat itulah ia sadar—meski Taichi tadi sempat terlempar hebat, selain debu tanah yang menempel, tak ada luka sedikit pun di tubuhnya. Ia juga ingat bahwa saat tadi dirinya mencoba mendorong Taichi, tangan itu dihentikan oleh seseorang.

Kata-kata yang tanpa ampun itu, entah mengapa terasa tetap dipilih dengan cermat. Meskipun Hajime tampaknya berusaha menjadi orang Jepang yang baik dan teladan, nada suara dan tatapannya terasa lebih hangat dari biasanya—meski seseorang dari “keluarganya” telah diganggu.

Jika dinginnya sikap yang biasa ia tujukan pada musuh bisa disebut “dingin tanpa emosi”, maka sikap yang ia tunjukkan pada Taichi adalah “dingin yang penuh emosi”.

Alasannya sudah jelas, tak perlu dipikirkan lebih jauh.

(Karena dia adalah teman masa kecilku...)

Wajah Aiko pun secara alami menjadi serius. Ia menarik napas dalam-dalam, merasa tak bisa diam lebih lama lagi.

Begitu ia melangkah menjauh dari Hajime, yang berdiri di belakangnya, Aiko telah kembali menjadi dirinya yang kuat—sama seperti saat melawan media dulu.

Hajime tidak menahan Aiko ketika ia melangkah menuju Taichi. Ia juga tidak bertanya mengapa Aiko melakukannya.

Fakta itu sendiri terasa sangat membahagiakan bagi Aiko. Kepercayaan Hajime menyala hangat di dalam dadanya.

“Aiko… aku…”

“Taichi-kun, aku tidak bisa membalas perasaanmu. Dan aku juga tidak berniat membalasnya.”

Itu adalah pernyataan yang tegas. Suara dan tatapannya mantap, menghancurkan harapan hanya dengan satu kalimat. Begitu mantapnya hingga Taichi merasa seperti melihat pria yang berdiri di belakang Aiko.

“…Kau tak akan ragu lagi? Aiko, kau orang yang terlalu serius, jadi…”

“Mungkin begitu, memang sudah sifatku. Tapi orang yang kucintai hanyalah dia—dan hanya dia. Itu sudah pasti, jadi mau bagaimana lagi. Mungkin aku wanita jahat, lebih dari yang kau kira, Taichi-kun.”

“Haha… Wanita jahat, ya? Kata itu paling nggak cocok buatmu, Ai.”

Itu adalah senyuman yang lemah. Senyuman seseorang yang harapannya telah hancur dan akhirnya menyerah.

Di akhir, Taichi sempat menatap tajam ke arah Hajime, tapi pria itu sama sekali tak bergeming. Ia hanya membalas dengan tatapan tenang dan diam. Seolah mewujudkan ketenangan mutlak.

Pada titik itu, ketika Taichi menyadari bahwa dirinya yang tampak lebih kekanak-kanakan, semua tenaga pun menghilang dari pundaknya.

“Maaf, ya.”

Itu kata-kata terakhir yang ia ucapkan sebelum pergi sendirian dari pelataran kuil.

Hajime melangkah mendekati Aiko yang tengah menatap kepergian Taichi.

“Kalau hubunganmu dengan teman masa kecilmu jadi rusak, maafkan aku…”

Aiko menyenderkan tubuhnya ke arah Hajime, menggeleng pelan sambil bersandar di bahunya.

“Jangan khawatir. Mungkin butuh waktu, tapi aku yakin kami bisa kembali menjadi tetangga yang baik.”

“Semoga saja… Meski, dari yang kulihat tadi, kurasa dia akan baik-baik saja. Tapi kalau sampai terjadi apa-apa, panggil Aku. Kali ini benar-benar akan kugali dan tanam dia seperti keluarga Inugami.”

“…Kenapa sih kamu ngotot banget soal dikubur terbalik itu?”

Aiko tersenyum kecil mendengar gurauan ringan Hajime, lalu perlahan melepaskan diri darinya. Ia berbalik, menghadap Hajime, lalu membungkuk dengan sopan.

“Maaf sudah membuatmu khawatir. Terima kasih sudah datang menemuiku.”

Mata Hajime menyipit penuh kasih sayang.

“Jangan dipikirkan. Seperti yang pernah kukatakan, aku cukup menyukai bagian dari dirimu yang seperti itu.”

“Eh? B-bagian seperti itu?”

“Iya. Bagaimana kamu selalu serius dan sepenuh hati dalam segala hal. Bagaimana kamu terus memikirkan segalanya, gagal, berputar-putar, tapi tetap tidak menyerah dan berusaha menemukan jawabannya dengan caramu sendiri, lalu melangkah maju.”

Di sanalah letak pesona Aiko yang membuat Hajime merasa silau sekaligus jatuh cinta. Dan itu pula yang membuatnya menyatakan, di depan monumen peringatan itu, bahwa ia ingin terus melihatnya.

“Karena aku ingin terus melihatmu seperti itu. Jadi aku akan senang kalau kamu tetap menjadi dirimu sendiri.”

“...Itu tidak adil.”

Aiko membalikkan badan. Rasanya malu bukan main, seperti ingin berteriak sekencang-kencangnya. Ia pun memijat-mijat pipinya dengan kedua tangan, berusaha mengembalikan ekspresi wajahnya yang tanpa sadar terus tersenyum malu.

Hajime, yang sempat tergoda untuk berkeliling dan melihat ekspresi Aiko dari depan, menahan diri. Masih ada urusan yang harus diselesaikan. Ia pun menguatkan niat untuk menjalankan tujuan utamanya hari ini.

“Baiklah, kalau begitu—“

“Uuh, wajahku panas sekali... Eh? Ada apa?”

“Kita akan pergi ke rumahmu sekarang, Aiko. Aku harus menyapa orang tuamu.”

“…Eh? Ehh!?”

Bagi Aiko, itu terasa seperti ajakan santai semacam “Ayo ke konbini sebentar.” Namun saat ia buru-buru menoleh, di sana berdiri Hajime yang terlihat sangat serius dan penuh semangat.

“Kalau masalahnya sudah selesai, tidak ada alasan untuk tidak memperkenalkan diri, kan?”

“Y-ya, itu memang benar, tapi... tetap saja, maksudku, kenyataan bahwa aku menjalin hubungan dengan muridku tidak bisa diubah...”

Tampaknya rasa canggungnya masih belum hilang. Berapa bulan lagi yang dibutuhkan agar dia benar-benar siap secara mental? Ini tentang orang-orang yang akan menjadi keluarga barunya. Bagi Hajime, menunggu lama bukanlah pilihan.

“Eh—rumahmu ke arah sana, ya? Oh? Ayah dan ibumu sedang buka stan makanan rupanya. Mereka ada di dekat sini. Baiklah, sekalian menyapa, aku juga akan mencicipi masakan keluarga Hatayama.”

“Ah, tunggu, kenapa kamu pakai kompas itu segala! Jangan pergi begitu saja! Kamu mau bilang apa ke ayah dan ibuku?!”

“Tentu saja, ‘Pak, saya sudah mengambil putri Anda’. Itu kan kalimat klasik?”

“Bagian mana yang klasik!? Itu malah terdengar seperti ngajak ribut, tahu!?”

Aiko mencoba menghentikan Hajime yang terus melangkah mantap ke depan dengan memeluk pinggangnya dari belakang, tapi tentu saja, usahanya sama sekali tak ada efeknya.

“Ngomong-ngomong, Aiko. Aku dari dulu penasaran, kenapa ke aku kamu selalu pakai bahasa sopan, tapi ke bajingan itu kamu ngomong santai? Apa itu tidak keterlaluan?”

“Uuh, itu karena... setidaknya sampai Kamu lulus, boleh nggak tetap seperti ini? Aku nggak yakin bisa luwes mengganti gaya bicara antara sekolah dan kehidupan pribadi.”

“Itu memang masuk akal.”

“Iya... eh, jangan alihkan pembicaraan! Banyak orang disini yang mengenal Kami, dan kalau kamu bilang begitu ke ayah dan ibu... besok satu lingkungan pasti sudah tahu semuanya!”

“Tenang saja. Tidak masalah. Aku nggak peduli kok.”

“Justru itu masalah! Aku yang peduli! Eh, kamu gendong aku juga sekarang!?”

Aiko langsung diangkat dalam gendongan ala putri, dan dia pun pasrah, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

Mereka sedang menuruni tangga dari halaman kuil. Benar-benar menarik perhatian.

Rasanya seperti debut di pesta besar, saat sang nona agung turun dari lantai dua dengan iringan musik. Karena terbayang seperti itu, Aiko sama sekali tak sanggup menatap sekeliling.

Tapi kupingnya tak bisa ia tutup. Jadi jelas terdengar suara-suara heboh dari para ibu-ibu tetangga dan kakek-nenek yang menyayangi Aiko—semacam teriakan, “Ya ampuuun!” yang bergema di mana-mana.

Akhirnya, terdengarlah suara ayah yang sudah sangat dikenalnya, diselimuti kebingungan, “A-Aiko?”

Mengintip dari celah jari-jarinya, Aiko melihat ayahnya, Tetsuo, membuka mata lebar-lebar karena terkejut, namun segera mengangguk pelan sambil menampilkan senyum tipis, seolah-olah telah memahami segalanya. Kakeknya yang berdiri di samping pun menunjukkan reaksi yang sama.

Parameter rasa malu Aiko langsung melonjak ke zona merah dalam sekejap.

“A-Aku mohon... Tolong... bawa Aku pulang ke rumah sekarang juga...”

“Kalimatmu makin terdengar seperti putri yang diculik, tahu,” ujar Hajime.

Tentu saja, Aiko tidak bisa pulang. Karena tidak ada pahlawan yang bisa mengalahkan Raja Iblis ini.

Setelah itu, tepat di tengah keramaian festival yang dipenuhi kenalan mereka, berlangsunglah “perkenalan resmi dengan keluarga sang kekasih” yang begitu mencolok, membuat suasana di kuil benar-benar jadi hiruk-pikuk pesta.

Saat Tetsuo, walau dengan wajah agak kaku, mengucapkan terima kasih karena telah membawa Aiko kembali dan mengundang Hajime ke rumah, orang-orang langsung bersorak dengan riuh luar biasa.

Dengan begitu, Aiko pun, dalam arti tertentu, menjadi legenda lokal.

Adapun perkenalan resmi di rumah keluarga Hatayama setelah itu, pembahasan soal hubungan Hajime dengan wanita-wanita lain, serta bagaimana hubungan mereka ke depannya dengan keluarga Nagumo...

Setidaknya tidak sampai sekacau yang terjadi di keluarga Shirasaki atau Yaegashi. Secara mengejutkan, hubungan antar keluarga bisa terjalin cukup cepat.

Kemungkinan besar karena mereka menghargai perasaan kedua belah pihak, juga karena kenyataan bahwa Hajime telah berkali-kali menyelamatkan Aiko, serta kepercayaan terhadap pasangan suami istri Nagumo yang mereka kenal lewat pertemuan “keluarga besar”.

Dan tentu saja, bukan karena Hajime sempat menawarkan sebidang “tanah ajaib” yang tersembunyi berkat skill pertanian Aiko dan artefak Hajime, tempat yang mampu menumbuhkan segala tanaman dalam kualitas terbaik, tanpa diketahui siapa pun.

Meski harus melihat sang kekasih dan keluarganya berjabat tangan sambil memamerkan ekspresi mencurigakan, Aiko tetap ingin percaya bahwa semua ini terjadi semata-mata karena niat baik kedua belah pihak...


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close