NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Arifureta Shokugyou de Sekai Saikyou: After Story V14 Chapter 5

Penerjemah: Ariel Yurisaki

Proffreader: Ariel Yurisaki

 Chapter 05:

Rahasia Keluarga Yaegashi (Shizuku Arc)


Menjelang siang hari, sehari sebelum ruang bawah tanah rumah keluarga Nagumo mengalami “modifikasi ekstrem,” Hajime berjalan tanpa ekspresi di sebuah kawasan pemukiman di tepi sungai.

Bukan berarti dia sedang dalam suasana hati yang buruk, tetapi mengingat tujuan perjalanannya, langkah kakinya terasa sedikit berat. Bisa dipastikan akan ada situasi yang membuatnya sulit untuk bersikap. Meskipun sudah sering berkunjung, tempat itu masih saja bisa membuatnya terkejut...

“Waktu menyerbu The Great Dungeon rasanya masih lebih ringan daripada ini... Yah, mau gimana lagi, harus diterima.”

Sebuah senyum rumit muncul di wajahnya, tapi dia menepuk pipinya untuk membangkitkan semangat. Dilihat dari segi kebutuhan dan masa depan, ini adalah sesuatu yang tidak boleh dihindari.

Tak lama kemudian, ia tiba di sebuah pagar tinggi yang memanjang sampai ke ujung jalan. Di balik pagar itu ada rumah tujuannya.

Setelah berjalan sedikit di sepanjang pagar, dia sampai di sebuah gerbang kayu berat berdaun dua.

Gerbang itu terbuka, dan di baliknya terlihat sebuah halaman yang luas serta rumah bergaya Jepang yang besar—lebih tepat disebut sebagai kediaman atau mansion.

Rumah itu memancarkan kesan sejarah yang membuat siapa pun secara refleks merapikan kerah baju mereka.

Pada papan nama tertulis “Yaegashi”. Di sampingnya, ada papan besar dari satu lempeng kayu bertuliskan “Dojo Aliran Yaegashi.”

Di sebelah gerbang, ada juga selebaran berlapis laminasi yang menjelaskan tentang kelas kendo umum, yang sedikit membantu menurunkan “batas psikologis” untuk melangkah melewati ambang tempat ini.

Ya, tempat ini adalah rumah keluarga Shizuku, yang juga memiliki dojo di dalamnya.

Hajime sudah memberi tahu terlebih dahulu bahwa dia akan berkunjung. Dia pun sudah diberi izin untuk langsung masuk ke dalam rumah melalui pintu depan.

Namun entah mengapa, justru gerbang yang terbuka lebar itu membuatnya ragu untuk melangkah. Sensor kewaspadaan Hajime terasa seperti sedang berbunyi, sfk: pi-kon pi-kon.

Karena itu, Hajime menekan tombol interkom yang terpasang di tiang gerbang.

“Ya, ada yang bisa saya bantu?”

Suara wanita dewasa yang tenang dan enak didengar keluar dari speaker interkom, seolah sudah menunggu dari awal. Hajime tidak salah mengenalinya—ini adalah suara ibu Shizuku, Yaegashi Kirino.

Keluarga Yaegashi adalah yang paling sering berinteraksi dengannya di antara para teman sekelas, terutama sejak “pertemuan keluarga” tempo hari. Jadi, tidak mungkin dia salah dengar.

“ini Saya, Nagumo Hajime.”

“Oh, tepat waktu ya, Hajime-san. Selamat datang. Tapi bukankah aku sudah bilang kamu bisa langsung masuk saja?”

“Biar bagaimana pun, kesopanan tetap penting, bukan?”

“Fufu, baiklah, kalau begitu kita anggap begitu saja.”

Seperti yang ia duga… Hajime memang sedikit kurang nyaman dengan ibu Shizuku. Tapi dia menarik napas dalam-dalam, dan akhirnya melangkah masuk ke halaman rumah.

Saat itu juga—hyuu—sebuah suara angin memotong udara!

“Seperti yang kuduga…”

Dengan tenang, Hajime mengangkat tangannya di depan dahi. Di antara jarinya, terselip tiga bola kecil.

Ia telah menangkap benda yang dilemparkan ke arahnya. Ketika ia menekannya sedikit dan memecahkannya, keluar bubuk aneh yang langsung menyengat hidung dengan bau tajam dari berbagai rempah—jelas itu adalah semacam gas air mata.

Jika benda itu meledak tepat di dahinya dan bubuknya tersebar, orang biasa pasti akan menangis deras dan terguncang oleh bersin yang tak henti-henti.

“Rasanya ingin berteriak ‘kalian pikir ini zaman apa’, tapi… yah, beginilah keluarga ini.”

Melalui berbagai kekacauan saat kepulangan mereka, Hajime telah mengetahui cukup banyak tentang keluarga Yaegashi. Dan jika ini adalah reaksi mereka setelah mendengar tentang hubungannya dengan Shizuku… maka dia hanya bisa menerima dan menghadapinya secara langsung.

Meskipun begitu, dia tak bisa menahan tawa getir.

Karena keluarga Yaegashi benar-benar melampaui segala logika yang bisa ia bayangkan.

Hajime melangkah lebih jauh melewati taman luas menuju pintu utama rumah.

Bukan taman Jepang indah untuk menyenangkan mata, tapi taman biasa yang cukup terawat, dengan semak liar dan tanah berkerikil.

Sebuah jalur batu menghubungkan dari gerbang depan ke pintu rumah, dengan lentera batu berdiri di beberapa titik acak dan beberapa pohon besar tumbuh di sana-sini. Di sudut kiri halaman, ada sebuah kolam kecil juga.

Tak jauh dari sana, terlihat sebuah rumah satu lantai terpisah—itulah dojo aliran Yaegashi.

Namun, pada hari libur ini, dojo yang biasanya dipenuhi suara semangat para murid yang berlatih justru sunyi mencekam, nyaris tak terdengar satu suara pun. Sesuatu yang aneh sedang berlangsung.

Saat melintasi sebuah pohon besar, Hajime hampir saja mengeluarkan tawa kering—killing intent!!

Ketika ia mengangkat pandangannya, terlihat sosok seorang lelaki tua melompat dari cabang atas pohon dengan mengenakan hakama yang berkibar, mengayunkan pedang kayu dari atas kepala dengan posisi siap menebas!

Aura pedangnya luar biasa tajam, dan di matanya terpancar tekad untuk menumbangkan lawannya dalam satu pukulan!

“Permisi saya masuk, Shuuzou-san.”

Hajime menangkis pukulan sekuat batu karang itu hanya dengan satu tangan, lalu menunduk dan menyapa dengan sopan.

Lelaki tua berwajah penuh keriput dan berambut putih itu tampak berusia sekitar delapan puluhan—dialah Yaegashi Shuuzou, guru besar aliran Yaegashi sekaligus kakek kandung Shizuku. Maka dari itu, Hajime tetap harus menunjukkan sikap hormat.

Lagi pula, ini sudah kunjungannya yang ketiga. Dua kali sebelumnya, dia juga diserang begitu datang, jadi Hajime mulai terbiasa. Hari ini pun, dia sudah menduganya, itulah sebabnya langkahnya terasa berat sejak awal.

“Hmm, senang kau datang, Hajime-kun. Silakan bersantai.”

“Terima kasih banyak.”

Berlawanan dengan kata-katanya yang tenang, Shuuzou terus mendorong pedang kayunya ke arah Hajime dengan ekspresi datar dan kekuatan penuh. Dilihat dari luar, dia benar-benar seperti orang gila.

Hajime dan Shuuzou saling menatap tanpa berkata-kata.

Setelah jeda sesaat, Shuuzou dengan tenang menarik diri seolah tak terjadi apa-apa, lalu berbalik arah.

“Kamu belum makan siang, kan? Sedang dipersiapkan sekarang. Sementara itu, kau bisa menghabiskan waktu bersama Shizuku. Seharusnya dia ada di kamarnya.”

“Bukankah sebaiknya Saya menyampaikan laporan dan berdiskusi terlebih dahulu?”

“Aku sudah bilang, bukan? Santailah sejenak. Kudengar kau sudah berusaha cukup keras.”

“Ah, baiklah. Terima kasih banyak—“

Saat Shuuzou melonggarkan auranya—seolah itu menjadi sinyal—muncul gelombang killing intent baru!

Tepat ketika Hajime merunduk secara refleks, hembusan angin tajam dan liar menyapu di atas kepalanya. Sebuah tendangan atas dilancarkan oleh seseorang!

Tak berhenti di situ. Dari sudut pandang Hajime yang masih merunduk, ujung hakama terlihat berkibar—serangan berlanjut tanpa jeda. Dengan gerakan secepat aliran air, sebuah tendangan bawah menyusul, mengarah dengan presisi.

Hajime menghindar dengan loncatan menyamping, lalu mendarat dengan gaya seperti handstand satu tangan, memutar tubuhnya dan kembali berdiri. Di hadapannya, terlihat sosok penyerangnya yang masih mempertahankan posisi akhir serangan, penuh kesadaran dan keseimbangan.

“Hai, Hajime-kun. Senang kau datang. Santai saja.”

“...Terima kasih, Koichi-san. Maaf telah merepotkan.”

Yaegashi Koichi. Ayah Shizuku dan asisten kepala aliran Yaegashi. Seorang pria paruh baya bertampang keras dengan tiga bekas luka mencolok di pipinya—entah didapat dari mana—yang kini menjadi ciri khasnya.

Sama seperti ayahnya, Shuuzou, ia mengucapkan kalimat yang hampir sama, dengan wajah datar yang serupa, dan kemudian berjalan pergi begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa.

Pada saat itu juga—sebuah bokken (pedang kayu) dilempar dengan kecepatan tinggi dari samping! Hajime dengan cepat menghindar dengan gerakan kepala, dan jelas mendengar suara decakan lidah yang datang dari balik lentera batu di dekatnya.

Dan lagi—zapaa!—suara air muncrat terdengar! Dari dalam kolam, seorang pria murid senior yang tampaknya bersembunyi di dalam air muncul melompat dengan gaya seperti elang menyerang!

Dari mulutnya, ia menyemburkan puluhan jarum ke arah Hajime!

Hajime menghindari semuanya dengan gerakan kaki gesit yang mengalir mulus seperti air. Tapi segera setelah itu, dia menyadari sesuatu dan melakukan salto besar ke belakang.

Sepersekian detik kemudian—sebatang bokken melesat keluar dari tanah tempat dia berdiri sebelumnya, bersama seorang murid muda penuh lumpur! Sambil menggeram pelan, dia berkata, “Tch… gagal mengenai sasaran.”

Mendarat sambil tersenyum kecut, Hajime mengangkat lengannya untuk menangkap benda terbang lain, lalu dengan gerakan cepat menghantam benda lain yang datang dari arah berlawanan.

Yang ditangkapnya adalah sebuah anak panah. Ujungnya memang dari karet, tapi jelas itu tetap anak panah. Ketika menelusuri arah datangnya, terlihat seorang murid dengan busur berdiri di atap rumah utama. Di sisi sebaliknya, di atas gerbang, terlihat murid lain dengan tangan menyilang seolah baru saja melempar sesuatu.

Hajime mengangguk dalam-dalam. Dengan nada yakin setengah bercanda, ia bertanya:

“Ne, Koichi-san… sebenarnya aliran Yaegashi ini aliran ninja, kan?”

“Apa yang kau bicarakan, Hajime-kun? Tak mungkin ada shinobi di zaman sekarang. Sepertinya kau terlalu banyak membaca manga. Calon pasangan Shizuku tidak boleh terlalu menghayal seperti itu, kau tahu?”

“Ha, haah… Tapi…”

“Dan satu lagi, itu bukan ninja. Tapi shinobi. Jangan sampai salah.”

“Barusan Anda malah mengakuinya, kan?”

Saat Hajime melihat sekeliling, murid senior yang tadi muncul dari kolam kini sedang melepas seragam dojo-nya—dan di bawahnya, ia mengenakan pakaian hitam khas ninja…

Di tanah, benda-benda yang tadi ia tangkis dan jatuhkan sangat mirip dengan bo-shuriken yang pernah ia lihat di museum. Dan saat itu juga, seorang murid lainnya berlari cepat dengan tubuh condong ke depan—gaya lari khas ninja—untuk memungut semuanya dengan sigap.

Murid yang berada di atap turun dengan lincah menggunakan tali dengan kait berbentuk seperti cakar beruang.

Hajime pun menoleh lagi ke arah Koichi dan menunjuk semua itu, namun… pria itu entah sejak kapan sudah menghilang. Ia hanya sempat melihat sosok punggungnya menghilang masuk ke rumah utama—dengan kecepatan luar biasa.

Dan sama sekali tak terdengar suara langkah kaki. Bukan hanya Koichi, tapi semua murid lainnya juga begitu.

Hajime menarik napas panjang… Seperti ingin meredam rasa bingung yang mulai menguap dari dalam dirinya.

Dan saat itu juga—

“Hajime! Selamat datang!”

Sebuah suara ceria menyapanya. Dari serambi rumah utama, Shizuku yang mengenakan kimono indah melambaikan tangan kecilnya.

Saat Hajime mengangkat satu tangan dan membalas sapaan itu sambil mendekat, senyum di wajah Shizuku pun semakin merekah.



Sepertinya dia memakai sedikit riasan juga. Rupanya, karena Hajime akan datang, dia berdandan khusus untuk itu.

Seperti biasa, sikap manis Shizuku dalam hal-hal kecil seperti ini membuat rasa gusar di hati Hajime perlahan-lahan sirna.

“Shizuku, bukankah kamu lebih suka pakaian bergaya barat? Kamu sengaja memakai baju ini untukku?”

“Y-ya. Soalnya... Aku belum pernah menunjukkannya padamu sebelumnya…”

“Begitu ya. Terima kasih. Rasanya lelahku langsung hilang. Kamu… benar-benar cantik menawan.”

“...Makasih.”

Shizuku yang tersenyum malu dalam balutan pakaian tradisional Jepang itu memiliki daya rusak yang luar biasa.

Apa yang ada di depan Hajime saat ini bukanlah sosok wanita tangguh, tegas dan keren yang sering dilihat orang-orang, melainkan hanya seorang gadis biasa yang sedang jatuh cinta—wajah Hajime yang tadinya tegang karena ulah Kakek dan Ayah Shizuku pun secara alami akhirnya melunak… Kebahagiaan jelas terpancar dari wajah itu.

Tepat setelah itu...

Dalam sekejap, Hajime menyelipkan tangan ke dalam baju dan memanggil Mini Donner yang memiliki fungsi peredam suara. Tanpa memperlihatkan gerakan mencabutnya, dia menyembunyikan laras senjata di samping tubuh dan menembakkan peluru bertubi-tubi ke sisi kiri!

Bunga api dan suara logam berhamburan di udara! Ketika Shizuku menoleh karena terkejut, dia melihat beberapa bagian tanah yang sedikit menonjol—hampir tak terlihat jika tak diperhatikan dengan saksama—dan dari situ tampak beberapa tabung bambu kecil…

Ternyata, masih ada murid-murid dojo yang bersembunyi di bawah tanah. Kemungkinan besar, ada terowongan di bawah sana, dan mereka sedikit mengangkat penutup yang tersamar seperti tanah, lalu menyerang dengan senjata tiupan dari celah tersebut.

“He-hey, kalian! Kalian melakukan hal seperti itu lagi! Cepat keluar sekarang juga!”

Dengan wajah memerah karena marah, Shizuku berteriak keras. Namun, mereka tidak merespons kata-kata Shizuku. Mereka hanya bergerak sedikit di tanah yang bergelombang, lalu menghilang entah ke mana.

Shizuku gemetar karena kesal. Hajime, sambil menatapnya dengan sedikit rasa simpati, tetap bertanya karena rasa penasarannya tak tertahankan.

“Hei, Shizuku. Keluargamu itu, sebenarnya keturunan ninja, kan? Benar, kan?”

“...Aku rasa tidak begitu.”

Sebelum dipanggil ke dunia lain, hal seperti ini tidak pernah terjadi. Hajime baru mengetahuinya saat pertama kali mengunjungi rumah Shizuku setelah mereka kembali. Tentang struktur rumah yang aneh, atau teknik-teknik aneh aliran Yaegashi yang tidak ia ketahui.

Orang yang paling terkejut sebenarnya adalah Shizuku sendiri.

“Cobalah bertanya kepada keluargamu langsung. Bilang aja, ‘Selama ini Aku diam-diam dilatih jadi kunoichi, ya?’”

“Aku udah menanyakannya. ‘Apa sih sebenarnya aliran Yaegashi itu?’”

“Terus jawabannya?”

“Katanya cuma teknik pedang biasa yang ditambah sedikit keahlian akrobatik, gitu aja.”

“Sampai disembunyikan dari anaknya sendiri, ya...”

Melihat Shizuku menatap jauh sambil bergumam, “Keluargaku ini sebenarnya apa...”, Hajime pun kembali menatapnya dengan rasa simpati yang mendalam.

Meskipun baru saja kembali dari dunia yang sepenuhnya di luar nalar, kini Shizuku justru mendapati bahwa anggota keluarganya—selain dirinya sendiri—kemungkinan menyimpan sisi tersembunyi yang tidak kalah luar biasanya...

Sepertinya takdir memang mempertemukannya dengan berbagai kesulitan dan beban mental. Barangkali karena itulah Shizuku begitu dicintai.

“...Hajime, tolong... jangan sampai Kamu membenciku, ya?”

Dengan sedikit kekhawatiran, Shizuku menutupi mulutnya menggunakan lengan kimono, seolah menyembunyikan kegelisahannya. Hajime pun tanpa sadar terdiam sejenak karena terkejut. Kekhawatiran yang sesungguhnya tidak berdasar.

“Tentu saja tidak mungkin aku membencimu”

“Namun... melihat kejadian tadi, sepertinya kakek atau ayahku kembali mengganggumu, kan? Padahal aku sudah berkali-kali meminta mereka untuk berhenti...”

“Mereka itu ayah dan kakekmu. Bila mereka merasa putri keluarga Yaegashi akan ‘diambil’ oleh pria seperti aku, aku bisa memahami perasaan mereka. Jika aku berada di posisi mereka pun, mungkin aku juga sudah menembak terlebih dahulu”

“Itu tetap tidak boleh dilakukan. Maksudku, jika sudah sampai pada tindakan menyerang, keduanya jelas tidak dibenarkan”

Benar sekali. Namun secara batiniah, Hajime justru lebih dapat memahami perasaan Shuuzou dan Koichi. Maka, meskipun dirinya agak enggan untuk kembali berkunjung, hal itu bukanlah alasan untuk membenci mereka.

“Kalau ini dianggap sebagai ujian demi mempersunting putri tercinta keluarga Yaegashi, maka aku justru merasa semakin tertantang. Aku siap menghadapinya”

“Uuh... Hajime...”

Shizuku kembali menutupi wajahnya, kali ini hingga setengah wajahnya tersembunyi di balik lengan bajunya.

Ia tampaknya tidak ingin Hajime melihat senyuman yang tak mampu ia tahan. Namun, wajahnya yang memerah, telinga yang ikut merona, dan sorot matanya yang lembut—semuanya telah membocorkan isi hatinya secara gamblang.

Terlalu mempesona. Sampai-sampai Hajime merasa terdorong untuk menarik lengannya agar bisa melihat wajah itu lebih jelas lagi. 

“Po–pokoknya, masuklah dulu! Untuk sementara, ayo mengungsi ke kamarku”

“Mengungsi ke kamar sendiri, ya... padahal masih di dalam rumah...”

“Tolong Jangan berkomentar...”

Wajah Shizuku yang dipenuhi rasa malu tetap terlihat begitu menggemaskan, hingga Hajime pun tertawa lepas sambil melangkah menuju pintu masuk.

Setelah itu, mereka berjalan berdampingan di sepanjang koridor, menikmati percakapan ringan yang menyenangkan—

...Atau setidaknya, itulah harapannya. Kenyataannya jauh dari manis.

Rutenya bagaikan melintasi labirin besar.

Tombak muncul dari celah dinding, jebakan lubang di lantai koridor, langit-langit gantung, dinding yang tiba-tiba berputar, memunculkan Koichi dengan wajah tanpa ekspresi, langsung menyerang dengan dua pedang kecil!

Dari balik sudut lorong, terdengar suara datar berkata “Tegasubettaa”*, lalu kusarigama (sabit dan rantai) meluncur dengan kecepatan tinggi, mengubah lintasan menggunakan tiang sebagai poros. (*semacam nama jurus)

Sambil menghindari semua itu dengan santai, Hajime melirik Shizuku dengan tatapan hangat.

“Shizuku... ayo kita akui saja. Rumahmu ini kediaman ninja. Keluargamu itu Shinobi”

“Aku telah tinggal di rumah ini seumur hidupku, tapi sampai usiaku saat ini, Aku tidak pernah tahu ada perangkap seperti ini... Lagipula, Kakek! Kusarigama itu benar-benar berbahaya! Itu tertancap di dinding, kan! Jelas itu asli, kan!? Disimpan di mana selama ini!?”

Dengan ujung kimono yang berkibar, Shizuku berbelok di lorong sambil marah-marah.

Namun, orang yang dicarinya sudah tak ada di sana.

Shizuku jatuh berlutut dalam posisi merangkak.

“Hei, Shizuku. Bagaimana kalau kita tidak jadi ke kamarmu, tapi ke ruang tamu saja? Sepertinya, karena aku terus berhasil mengatasi semua serangan, mereka malah semakin keterlaluan... Kalau terus begini, koleksi boneka kesayanganmu bisa saja jadi korban, lho”

“...Ugh. Seharusnya kamarku itu area aman... Maksudku, kalau sampai ada yang berani macam-macam di dalam kamarku, aku tidak akan pernah memaafkan mereka! Aku benar-benar... benar-benar marah! Kenapa mereka menyerang Hajime!”

Shizuku berteriak keras, mengarahkannya pada anggota keluarga dan murid-murid yang sedang bersembunyi di balik loteng, bawah atap, atau di balik dinding.

Tampaknya kemarahannya cukup sampai, karena perlahan-lahan semua keberadaan mereka mulai menghilang.

“Baiklah, ayo kita pergi, Hajime! Mari Kita habiskan waktu berdua saja!”

“O–oh. Tapi, kau terdengar seperti sudah pasrah, ya?”

Dengan erat menggenggam lengan Hajime, Shizuku melangkah cepat menuju kamarnya.

Hajime sendiri sudah dua kali sebelumnya diundang ke kamar Shizuku, dan kali ini pun suasananya tidak berubah: penuh dengan nuansa keimutan.

Berbagai boneka berjejer memenuhi ruangan yang tidak terlalu luas, kalender bergambar kucing, tirai dan sprei berwarna merah muda pucat, serta bantal berbentuk telinga kelinci...

Semuanya membentuk kamar yang bisa dibilang bahkan terasa ‘terlalu’ girly hingga mengesankan.

Shizuku lalu meletakkan sebuah bantal duduk berbentuk rakun gemuk di depan meja bundar kecil dari kaca untuk Hajime.

Ketika Hajime duduk, terdengar suara “pukyu”. Penampakan sang Raja Iblis dari dunia lain duduk di atas bantal karakter lucu yang mengeluarkan suara, jika dilihat oleh teman sekelasnya atau orang-orang dari dunia lain (terutama sang kaisar), pasti akan membuat mereka tertawa terbahak-bahak.

“Tunggu sebentar, ya. Aku akan menyiapkan teh dan camilan.”

“Eh, tidak perlu repot-repot. Maksudku, Aku sebenarnya tidak mau ditinggal sendirian di rumah ini…”

“Uh... Ta-tak apa! Aku tadi juga sudah memastikan, tidak ada jebakan aneh di kamarku, dan aku sudah memeriksanya dengan teliti—”

Tiba-tiba, suara gatak! Terdengar dari langit-langit, seolah mengejek penjelasan serius Shizuku.

“Selamat datang kembali, Hajime-san. Silakan dinikmati,”

Ucap Kirino, yang muncul sambil membawa teh dan camilan.

Dia melompat turun dengan lincah dari sudut langit-langit yang papan kayunya terbuka.

Di atas nampan yang ia bawa dengan satu tangan, tersaji yokan (jajanan manis khas Jepang) yang tampak lezat dan cangkir teh. Tusuk kue kecil yang diselipkan di yokan tidak bergeser sedikit pun, dan bahkan setetes pun teh panasnya tidak tumpah.

“Ibu!? Kenapa bisa… padahal Aku sudah memeriksa semuanya dengan benar…”

Sementara Shizuku menatap langit-langit dengan wajah terkejut, Kirino-okaasan tetap tersenyum manis seolah tidak ada yang terjadi.

Gerak-geriknya saat menyajikan makanan begitu anggun, teratur, dan tanpa celah, memancarkan aura ketegasan yang khas dari seorang wanita kuat. Meskipun ia memang cantik, kesan yang lebih dominan justru adalah keanggunan yang penuh wibawa.

“U-umm, Ibu… Ibu ini sebenarnya seorang kunoich, kan? Iya, kan?”

Pada kenyataannya, tidak seperti kakek dan ayahnya, Kirino tidak menunjukkan perubahan sikap setelah Shizuku kembali ke dunia ini. Ia juga tidak pernah menyerang Hajime. Namun, dengan kelincahan yang baru saja ia perlihatkan...

Ekspresi Shizuku seakan berkata, “Ibu… jadi Anda juga?”

Kirino, sang ibu, hanya menatap putrinya dengan wajah polos seolah tidak mengerti. Namun kemudian, ia tersenyum masam dan berkata sambil tertawa kecil, “Aduh, Shizuku... dasar anak ini.”

“Mohon maaf, Hajime-san. Anak ini tampaknya terlalu gembira karena kehadiran Anda. Sepertinya dia berusaha keras melontarkan candaan, meskipun... karena sifat alaminya yang terlalu serius, hasilnya mungkin tidak terlalu menghibur. Tapi... meskipun begini, tolong jangan tinggalkan dia, ya.”

“...Jangan khawatir. Justru situasi ini cukup menghibur, dalam arti tertentu.”

“Ugh... kejam sekali, Hajime...”

Dengan mata berkaca-kaca dan pipi mengembung, Shizuku memalingkan wajah. Hajime lalu menggenggam tangannya dengan lembut, mengusapnya seolah menenangkan seorang anak kecil.

Shizuku pun menggeliat sedikit karena geli, namun tak lama kemudian ia menampilkan senyum bahagia.

Melihat putrinya dan Hajime bercengkerama dengan akrab, Kirino tertawa kecil dengan nada ceria dan berkata,

“Ara, Shizuku... Bermesra-mesraan seperti itu di depan ibumu sendiri. Baiklah, Ibu akan mengundurkan diri.”

Sambil tersenyum penuh arti, ia pun keluar dari ruangan.

Tentu saja, dengan lompatan, hyupa!, ia meloncat kembali ke langit-langit.

Shizuku menatap langit-langit yang kini papan kayunya kembali tertutup rapat tanpa mengeluarkan sedikit pun suara, lalu menunjukkan ekspresi kosong nan putus asa.

“Yah, begitulah… Kurasa, perlahan-lahan, mereka juga mulai memberitahumu rahasia keluarga ini.”

“Begitukah…?”

“Ya. Sebenarnya, selama masa hilangnya kami dan juga setelah kepulangan kami yang penuh kekacauan, keluarga Yaegashi telah memegang peranan yang sangat besar. Sejujurnya, dari situ saja aku bisa menyimpulkan bahwa mereka jelas bukan keluarga biasa.”

Dalam pertemuan keluarga, pihak yang paling aktif memperluas pencarian adalah keluarga Yaegashi. Koneksi mereka luar biasa luas, tampaknya menjangkau berbagai kalangan dan industri, sampai-sampai Shuu dan Sumire pun sangat terkejut karenanya.

Bahkan, Keluarga itulah yang memberikan pelatihan bela diri bagi kepolisian setempat. Sosok pria yang tadi meloncat dari kolam bagaikan elang yang mengamuk itu—tak lain adalah kepala kepolisian daerah ini, dan juga murid dari perguruan mereka.

Dalam proses investigasi terhadap para returnees (orang yang kembali dari dunia lain), cukup dengan melakukan sedikit intervensi terhadap kesadaran beberapa petugas dan pejabat terkait. Itu pun bisa terjadi karena kepala polisi yang juga mengetahui kebenaran tentang para returnees memberikan instruksi langsung.

“Sejak kecil aku sering keluar masuk sebagai murid perguruan, jadi bagiku beliau hanyalah seperti paman baik hati dari keluarga besar,” ujar Shizuku.

Hajime dulu berpikir bahwa para murid perguruan itu semua layaknya keluarga. Namun, setelah mengetahui sisi lain dari keluarga Yaegashi, makna itu terasa mulai berubah. Sekali lagi, tatapan Shizuku tampak kosong menatap kejauhan.

Terlepas dari perasaan Shizuku, kenyataannya keluarga Yaegashi, para murid mereka, dan orang-orang berpengaruh seperti kepala kepolisian telah memberikan bantuan besar di berbagai aspek yang sulit dijangkau oleh Hajime sendiri, seperti para staf sekolah, tetangga sekitar, hingga kerabat jauh.

Mereka secara halus melindungi Hajime dari pihak-pihak yang tidak tahu etika, seperti jurnalis yang tak tahu sopan santun, orang-orang yang datang karena rasa ingin tahu berlebih atau bahkan niat tersembunyi yang kurang baik.

Karena itulah, selama masa kekacauan itu, Hajime tetap menjaga komunikasi dan koordinasi dengan keluarga Yaegashi. Kunjungannya hari ini pun bertujuan untuk memberikan laporan bahwa situasi telah mereda, menyampaikan rasa terima kasih, serta mendiskusikan rencana ke depan.

“Awalnya mungkin terjadi karena hal di luar kendali... tapi, yah, tetap saja ini sesuatu yang baik, bukan? Bisa tahu lebih banyak tentang keluargamu sendiri.”

“...Benar juga. Tapi tetap saja, aku ingin tahu kenapa mereka tidak memberitahuku sejak awal. Dan juga, cara mereka memberi informasi sedikit demi sedikit seperti ini... cukup membuat kesal.”

‘Kenapa sih mereka tidak langsung menjelaskan semuanya dari awal sampai akhir? Kenapa harus selalu menunjukkan lewat tindakan dan menutupi dengan kata-kata? Padahal jelas-jelas aku sudah sadar!’—begitulah isi hati Shizuku, terlihat dari tatapan mendongkolnya.

Sembari mencicipi teh dan yokan untuk menghela napas sejenak, Hajime pun berpikir sambil melirik Shizuku.

Apakah masuk akal bahwa seseorang bisa tidak tahu sama sekali tentang sisi tersembunyi keluarganya sendiri atau seluk-beluk rumah leluhurnya hingga ia masuk SMA?

Shizuku bukanlah seseorang yang mudah dibodohi. Justru sebaliknya, ia adalah pribadi yang sangat tajam dalam mengamati.

Jika demikian, maka wajar untuk menganggap bahwa Shuu dan yang lainnya benar-benar bersungguh-sungguh dalam menyembunyikan rahasia tersebut.

Terlebih lagi, bila hingga ia memasuki masa SMA pun rahasia itu tetap tidak diungkapkan, maka boleh jadi mereka memang sejak awal tidak berniat untuk memberitahukannya kepada Shizuku seumur hidupnya.

Lantas, mengapa mereka menyembunyikan kebenaran tentang keluarga sendiri dari putri semata wayang mereka?

(Karena harapan keluarga… dan penindasan yang timbul dari harapan itu sendiri, mungkin.)

Kenangan di gua es dan salju pun terlintas secara alami. Saat menghadapi bayangan dirinya, Shizuku mengungkapkan isi hatinya yang terdalam. Hajime pun mendengar kisah lengkapnya setelah peristiwa itu.

Betapa bahagianya keluarga saat menyadari bakat luar biasa yang dimiliki Shizuku. Betapa besar harapan yang diletakkan di pundaknya oleh orang-orang di sekitarnya.

Dan, sebagai akibatnya, betapa dalam perasaan dan kehendak sejatinya telah ditekan dan dikubur.

Saat Hajime pertama kali mengunjungi rumah ini, ia sempat berbincang dengan Shuuzou dan yang lainnya tanpa kehadiran Shizuku. Dan tentu saja, yang mereka tanyakan adalah tentang apa yang terjadi di dalam gua es itu.

Meski telah mendengar cerita dari Shizuku sendiri, mereka tetap tidak bisa menahan diri untuk menanyakannya langsung kepada satu-satunya orang yang benar-benar berada di tempat kejadian—dan kepada pria yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan penuh dari putri mereka.

Mereka harus memastikan kebenarannya. Mereka ingin tahu, apakah kata-kata Shizuku saat menceritakan hatinya yang baru setelah peristiwa di gua itu adalah ungkapan tulus dari lubuk hatinya sendiri.

Ketika Hajime menegaskan bahwa tidak ada keraguan akan hal itu, mereka berkata:

—“Begitu ya… Jadi, Shizuku sudah baik-baik saja sekarang.”

—“Terima kasih… karena telah menjadikannya seorang gadis yang bebas.”

—“Terima kasih, Hajime-kun. Karena telah menopang hati anak itu.”

Mereka bertiga benar-benar terlihat sangat lega. Begitu leganya, hingga seakan-akan mereka bisa roboh kapan saja. Pria-pria dewasa itu tampak seolah menahan air mata yang hampir tumpah.

Fakta bahwa Shizuku akhirnya mampu menyukai dirinya sendiri, dari lubuk hatinya yang terdalam—pertumbuhan batin itulah yang tampaknya menjadi kebahagiaan terbesar bagi Shuuzou dan yang lainnya.

Saat itu, Hajime memang tidak banyak bertanya. Namun, ia bisa memahami segalanya tanpa harus mendengar penjelasan rinci.

(Mereka pasti menyesal… karena telah menempatkan pedang di tangan Shizuku.)

Adalah hal yang wajar bila mereka merasa senang atas bakat luar biasa yang dimiliki oleh putri tunggal mereka dalam aliran bela diri keluarga. Dan adalah hal yang alamiah pula bila orang tua menaruh harapan kepada anaknya.

Namun, karena itulah mereka tanpa sadar terlalu terbawa semangat. Hingga akhirnya, tanpa mereka sadari, mereka telah menciptakan seorang Shizuku yang tak pernah menunjukkan keluh kesahnya, bahkan kepada keluarganya sendiri—seorang gadis yang terus-menerus menekan dirinya demi memenuhi ekspektasi.

Itulah sebabnya—Hajime yakin—Shuuzou dan keluarganya memilih untuk menyembunyikan semua sisi gelap dari keluarga Yaegashi. Mereka bersikeras merahasiakannya demi memastikan Shizuku tidak kembali menjadi seseorang yang membunuh jati dirinya sendiri demi orang lain.

Dan kini, bahkan setelah semuanya, mereka tetap tidak tergesa-gesa menceritakan seluruh kebenaran kepada Shizuku. Sebaliknya, mereka perlahan-lahan mengungkapkan sedikit demi sedikit, seolah ingin memastikan kesiapan hati putri mereka, sambil memperkenalkannya secara bertahap pada jati diri sejati keluarga Yaegashi.

Meski hanya berupa dugaan, Hajime memiliki keyakinan kuat bahwa itulah keputusan yang benar.

Dengan tatapan lembut, Hajime menatap Shizuku yang sedang makan yokan dengan gerakan agak kasar, mengunyahnya dengan penuh semangat.

“Memang, keluargamu agak merepotkan… tapi, mereka benar-benar menyayangimu, ya?”

“…Aku tidak akan menyangkal itu.”

Mungkin, Shizuku pun sudah sedikit menyadarinya.

Sambil menyeka remah yokan yang menempel di sudut bibir Shizuku dengan jarinya lalu memasukkannya ke mulut,

“Baiklah… untuk sekarang, mari kita kesampingkan dulu kenyataan bahwa salah satu calon istriku kemungkinan adalah seorang kunoichi.”

“Kenapa jadi begitu!? Dan jangan disingkirkan seolah itu masalah sepele!!”

Tatapan Hajime menyapu sekeliling ruangan. Sementara itu, wajah Shizuku yang tadinya terlihat masam kini memerah karena malu. Namun, begitu ia menyadari ekspresi Hajime, wajahnya segera berubah menjadi seperti iblis—mengingatkan pada wajah seorang teman dekat yang terkenal garang.

Tampaknya, ia baru saja menyadari kehadiran sejumlah besar aura yang perlahan-lahan mulai terasa di sekeliling mereka. Karena itu adalah aura orang-orang yang sangat dikenalnya, ia sempat terlambat menyadarinya—mungkin karena ini adalah rumahnya sendiri, tempat di mana biasanya ia merasa paling aman.

“Padahal sudah kuperingatkan mereka berulang kali… dan mereka tetap saja…”

“Tenanglah. Kemungkinan besar, mereka hanya ingin mengujiku sekarang. Mereka pasti sudah tahu bahwa masalahnya telah selesai. Mungkin ini saatnya untuk benar-benar menilai apakah aku pantas menjadi pasangan putri mereka.”

“Itu sama sekali bukan alasannya. Mereka hanya bersikeras, karena tidak ada satu pun dari serangan mereka yang berhasil melukai Hajime.”

Itu… sepertinya masuk akal. Baik Shuuzou maupun Koichi memang memiliki jiwa Pejuang yang kuat.

Namun—terlepas dari semua itu—

“Meski begitu, sekarang Kirino-san juga mulai ikut campur, kan? Jadi kurasa ini memang semacam ujian, ya?”

“Hm...? Tapi... aku merasakan aura Ibu... dari dapur. Dari tadi juga dia tidak melakukan apa-apa, kan?”

“Teh dan yokan ini… rasanya ada yang aneh. Racun tidak mempan padaku, tapi… sepertinya ini obat bius ringan.”

“Ibuuuuuuuuu! Apa yang Ibu lakukan! Kakek dan yang lainnya juga, kalau Kalian masih macam-macam, akan kutebas kalian semuaaa!!”

Teriakan penuh amarah dari Shizuku menggema di kediaman Yaegashi di siang bolong. Dengan sebilah pedang hitam di tangan, ia menerjang keluar ruangan.

Yang tertinggal di dalam hanyalah Hajime, yang setelah menyantap potongan terakhir dari yokan itu dengan tenang, bergumam pelan:

“Yah… dibandingkan dengan ayahnya Kaori yang lebih frontal, yang ini masih lebih mendingan.”

Dari arah taman, terdengar suara Shizuku yang membahana, “Kalian semua, duduk bersila sekarang juga!!” disusul dengan seruan panik dari Shuuzou dan yang lainnya:

“Ugh!? Shizuku, kemampuanmu meningkat, ya!”

“Fufu, baiklah. Tunjukkan padaku kekuatan seorang pendekar yang telah kembali dari dunia lain!”

Lalu, suara benda yang beterbangan, jeritan, dan teriakan kacau dari para murid pun menggema:

“Tuan Putri kita mengamuk! Butuh bala bantuan!”

“Jangan anggap enteng Shizuku-sama yang sekarang! Susun formasi! Siapkan Formasi Empat Penebas Dosa!”

“Shizuku-sama telah menjauh dari si brengsek itu! Pasukan Byakko, inilah saatnya! Habisi dia sekarang juga!”

Di tengah hiruk-pikuk seperti itu, ditemani oleh beberapa aura kehadiran yang mendekat, Hajime dengan santai menikmati teh yang dicampur obat bius ringan sambil bergumam dengan ekspresi yang sulit dijelaskan,

“Entah di Bumi atau dunia lain, nggak jauh beda juga, ya…”

Ngomong-ngomong, Dua hari kemudian, Hajime mendapatkan telpon dari Shizuku yang tengah bepergian jauh bersama keluarganya karena ada acara kumpul keluarga.

“Hajime, di depanku sekarang ada orang-orang yang mengaku dari klan Iga dan Kōga. Mereka benar-benar berdandan seperti ninja, tapi bersikeras itu cuma gaya fashion. Aku harus bagaimana? Aku hampir menangis...”

Shizuku meneleponnya sambil menangis.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close