Penerjemah: Nobu
Proofreader: Nobu
Chapter 4
“Persahabatan Sejati”
♣♣♣
Aku sedang menanam benih bunga bersama Himari di taman sekolah.
Kami menanam bunga yang akan mekar di antara musim gugur dan musim dingin, sebagai bahan untuk aksesori baru. Himari yang memegang sekop seolah-olah itu bagian dari tubuhnya, menanganinya dengan cekatan, seperti halnya hubungan kami yang sudah terjalin erat.
Sambil membuat training-nya kotor oleh tanah, Himari menoleh dan tersenyum manis padaku.
“Yuu, ayo kita tumbuhin bunga yang cantik, ya ♡”
Senyum itu luar biasa manis—sampai rasanya bikin mati gaya sekaligus malu sendiri. Aku cuma bisa lanjut menanam sambil dalam hati berpikir, Yah, emang enggak ada yang lebih cantik dari Himari sih.
Waktunya terasa begitu damai. Kalau waktu seperti ini bisa berlangsung selamanya, aku yakin aku bakal bahagia. Sambil memikirkan hal itu, aku mulai menyiram tanah yang baru saja ditanami.
Lalu, sesuatu yang aneh terjadi.
Tanah yang baru saja kami tanami menggembung pelan, lalu—pyeong—sebuah tunas muncul. Itu jelas terlalu cepat untuk benih bisa tumbuh. Tapi karena Himari berseru, “Waaah, hebat banget yaa,” dengan penuh kekaguman, aku pun ikut mengangguk sambil berpikir, Ya udahlah, mungkin emang begini prosesnya.
Saat kami berdua memandangi tunas itu, perubahan lainnya pun terjadi.
Tunas itu tumbuh menjalar dengan cepat sekali, lalu mekar menjadi bunga raksasa yang menjulang tinggi sampai-sampai kami harus mendongak untuk melihatnya. Jelas ada yang enggak beres di sini—tapi karena Himari bertepuk tangan sambil berseru, “Waaah, gede banget yaa,” aku pun lagi-lagi mengangguk sambil berpikir, Ya udahlah, mungkin emang begini juga prosesnya.
Lalu, bunga itu menutup kelopaknya, dan puff! menggembung seperti balon. Detik berikutnya, pepepepe!—ia menembakkan peluru berupa biji-bijian ke arah kami. Salah satunya mengenai dahiku dengan tepat, membuatku terhuyung ke belakang sambil berseru, “Ugh, sakit!” Biji-biji berikutnya terus meluncur, membuatku berlarian sambil berteriak, “B-berhenti! Jangan tembakin bijinya, dong!”
Sementara itu, Himari dengan santainya berseru, “Waaah, bunganya cantik yaa~,” tepat sebelum kepalanya ditelan bulat-bulat oleh bunga itu. Ia masih mengayun-ayunkan kakinya sambil terus berkata, “Waaah, bunganya cantik yaa~,” seperti robot yang rusak. Adegannya lumayan horor—kayak Pikachu yang dimakan sama Swalot.
“Himari! Aku akan menyelamatkanmu sekarang juga!”
Aku meraih sekop dan langsung berlari ke arahnya. Tapi, aku tak sempat melakukannya.
Tiba-tiba saja—dunia diliputi oleh kegelapan!
(Apa ini? Aku nggak bisa lihat apa-apa...!?)
Namun di saat berikutnya, sebuah lampu sorot menyala terang. Karena silau, aku menyipitkan mata dan menutupi wajah dengan tangan, lalu menatap ke arah cahaya.
Sebuah ring persegi tampak di bawah sorotan. Di sana, berdiri Hibari-san dengan kaus polo seperti wasit. Dengan gigi putih bersinar, ia menyatakan dengan penuh percaya diri, “Aku bersumpah akan memihak Yuu-kun dalam setiap keputusan!”
Lalu di seberangnya—berdiri lawanku. Seorang gadis berseragam sekolah yang jelas-jelas mirip Enomoto-san, meski wajahnya tertutup masker bergambar telinga kucing yang misterius.
“Eh... Enomoto-san...?”
Enomoto-san menggeleng pelan.
“Aku bukan Enomoto-san. Namaku... Mask de Rin-chan.”
Nama yang... norak banget.
Saat aku melongo karena terlalu syok, Enomoto-san—orang yang mengaku bukan dia—dengan sigap mengambil pose Iron Claw.
“Kalau mau menyelamatkan Hii-chan, kalahkan aku dulu.”
“Seriusan? Aku sama sekali enggak merasa bisa menang...”
Di luar ring, Himari dan monster bunga itu duduk berdampingan sambil makan popcorn, sambil menyoraki kami dengan semangat. Eh? Bukannya tadi dia ditelan? Kok sekarang santai nonton, sih...?
Saat aku masih bingung, Enomoto-san tiba-tiba bergerak!
Dia mengulurkan lengannya ke arahku. Serangannya polos banget—tanpa tipu daya, lurus dan langsung.
Jurus andalan Enomoto-san adalah Iron Claw. Selama aku fokus pada tangannya, harusnya gampang untuk menghindar—Aaaaargh sakit sakit sakit!? Tunggu dulu—apa-apaan!? Makishima muncul entah dari mana dan langsung menangkapku dari belakang, sambil tertawa terbahak, “Nahahaha!”
Dan Enomoto-san pun mendekat!
“Yuu-kun, bersiaplah!”
“Eh, apa!?”
Ia meraih wajahku dengan kedua tangan, lalu menatapku lurus-lurus dengan ekspresi siap cium yang super imut.
“Berhentiii—!?”
“Ini ciuman antar sahabat, jadi enggak apa-apa.”
“Itu jelas-jelas enggak boleh, tahu…! Himari! Tolongin aku beneran dong!”
Eh!? Tapi Himari malah lagi salaman erat penuh semangat sama Kureha-san sambil berkata, “Aku akan jadi model nomor satu di dunia!” dengan penuh api semangat. Tunggu, sejak kapan dia berubah haluan!?
Sementara itu, Enomoto-san makin dekat—bibirmu sudah tinggal sejengkal lagi!
“Yuu-kun... ♡”
“Tunggu! Jangan, jangan lakuin itu───!!”
♣♣♣
—Aku terbangun dengan tersentak.
Begitu melihat wajah Enomoto-san yang ada tepat di depanku, aku refleks menepisnya dengan telapak tangan.
“Ungh...”
Enomoto-san mengeluarkan suara pelan, seperti terkejut dan kesakitan.
Jantungku berdegup kencang, dug dug dug, tak terkendali. Ini... di mana, ya? Ring tadi itu apa? Terus monster bunga itu gimana? Dan Himari yang mau dibawa kabur sama Kureha-san... Oh. Ternyata mimpi.
Aku menghela napas panjang dan berat.
(Ngomong-ngomong, tadi aku ke Tokyo bareng Enomoto-san, ya...)
Mimpi barusan aneh banget. Kayaknya aku beneran capek, deh.
Sambil memikirkan itu semua... aku jadi bertanya-tanya, kenapa ya aku bisa sampai sebegitu lelah? Dan... kok agak silau, ya? Yah, wajar sih, ini kan kamar suite di lantai atas. Cahaya mataharinya memang lebih terang dari biasanya.
Tapi yang jadi masalah sekarang—rasa aneh yang menekan tubuhku... dan sensasi lembut penuh kebahagiaan yang menyelimutinya...
Di depanku, seorang gadis cantik luar biasa sedang tertidur pulas dengan napas halus penuh kebahagiaan—sambil memelukku erat-erat seperti bantal peluk. Bagian bahu dari bathrobe-nya tersingkap, membuatku benar-benar nggak tahu harus memandang ke mana. …Ngomong-ngomong, Enomoto-san memang punya kebiasaan suka meluk pas tidur, ya?
Kalau situasinya normal, mungkin aku udah teriak panik dari tadi. Tapi karena efek dari mimpi aneh barusan, emosiku masih belum bisa ngikutin. Kenapa bisa begini, sih? Terakhir yang kuingat, aku lagi nonton TV sambil nunggu giliran mandi setelah Enomoto-san… Ah, kayaknya aku ketiduran, deh.
Lalu Enomoto-san pun ketiduran di sini juga, bukannya di tempat tidur yang supermewah itu. Padahal dia bisa aja tidur di sana. Kalau dipikir-pikir, kemungkinan besar dia sempat ngamatin wajahku waktu tidur… dan itu bikin aku pengin lenyap dari muka bumi karena malu banget.
...Bantal peluk berupa gadis cantik yang merupakan cinta pertamaku.
Sekilas, ini kelihatan seperti kebahagiaan yang luar biasa. Tapi kenyataannya, itu cuma kelihatan doang. Soalnya dari tadi aku udah berusaha keras buat melepaskan diri, tapi tetap enggak bisa gerak sama sekali. Ini bukan bantal peluk lagi, ini mah kuncian paksa!
(Gawat, gawat. Kalau aku enggak segera kabur, nanti di mimpi berikutnya bibirku bisa diserang lagi...)
Saat aku mencoba bergerak pelan-pelan, tiba-tiba Enomoto-san mengerang pelan. Dan di detik berikutnya—cling!—matanya terbuka. Sepasang mata hitam pekat seindah mutiara hitam menatap lurus ke arahku.
Untuk sementara, aku putuskan buat mengikuti gaya Enomoto-san yang khas—memulai dengan sapaan.
“S-selamat pagi, Enomoto-san.”
“…………Selamat pagi.”
Enomoto-san yang masih separuh sadar bergumam pelan, “Nnngh… Onee-chan, lima menit lagi…” dan tampak siap kembali terlelap—sampai tiba-tiba matanya kembali terbuka lebar, cling!
“~~~~~~~~~~~~~~~~~~ッ!?”
Dengan jeritan tanpa kata yang hanya bisa digambarkan sebagai suara panik, ia buru-buru melompat dan kabur ke kamar mandi.
Begitu terbebas dari pelukannya, aku pun terjatuh dari sofa ke atas permadani yang super empuk. Ya ampun, Tokyo benar-benar luar biasa. Pagi-pagi aja udah seramai ini. Berat banget buat pemula dalam urusan cinta...
Pelan-pelan, pikiranku kembali ke mimpi barusan. Sosok bertopeng kucing dengan ekspresi siap cium itu jauh lebih mengguncang dibanding monster bunga yang menelan Himari mentah-mentah...
Dari sudut sofa, aku menarik salah satu bantal yang empuk dan memeluknya erat. Lalu, kupendam wajahku ke dalam bantal itu dan menjerit sekuat tenaga.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh!!”
Dikejar ciuman Enomoto-san sampai ke dalam mimpi!? Aku ini kenapa, sih!! Aku kan udah punya Himari—pacar tercantik di seluruh dunia! Aku sama sekali tidak menantikan hal seperti itu! Enggak! Sama sekali!!
Sambil terengah-engah dan berusaha mengatur napas, aku menatap pagi di kota dari balik jendela. Deretan gedung pencakar langit dan orang-orang bersetelan jas yang berjalan menuju kantor memenuhi pandangan.
Aku... butuh bunga. Sekarang juga.
Karena tidak ada bunga... hatiku jadi segelisah ini. Kalau ada bunga, aku pasti bisa merasa lebih tenang. Aku ingin menaruh rangkaian bunga di atas meja ini…
Saat sedang memikirkan hal itu, tiba-tiba telepon kamar berdering. Setelah menekan tombol panggilan, suara dari resepsionis hotel terdengar.
“Untuk Tuan Natsume, ada panggilan eksternal dari Nona Enomoto.”
“Eh? Untukku?”
Tak lama, terdengar suara ceria khas Kureha-san.
[Halo~☆ Yuu-chan, kalau mau bunga yang cantik, coba ke Ginza aja~♪]
“Lho!? Kok bisa tahu isi pikiranku!? Jangan-jangan kamu masang alat penyadap atau semacamnya!?”
[Ufufu~ Soalnya Yuu-chan itu gampang banget dibaca~. Kalau kayak gitu sih, meskipun kamu udah jadi kreator profesional, kamu bakal gampang ketipu sama orang jahat, lho~?]
“...Jadi, sebenarnya ada perlu apa?”
Aku patut dipuji karena berhasil menahan diri untuk tidak bilang, “orang jahat itu ya yang lagi nelpon sekarang ini.”
[Hadeeh~. Emangnya kalau enggak ada urusan penting, enggak boleh nelpon, ya~?]
“Kalau boleh jujur sih… kamu termasuk tipe yang kayak gitu, kan?”
Soalnya, pada dasarnya Kureha-san itu selalu ngerencanain hal-hal aneh. Ya, meskipun aku tetap berterima kasih soal biaya perjalanan dan hotel… tapi menculik orang tuh tetep aja enggak bisa dimaafkan, lho.
Seperti biasa, Kureha-san memasang gaya manja yang sama sekali enggak sesuai dengan penampilannya yang dewasa, sambil bilang, “Hmph, hmph!” menandakan protes cemberut.
[Padahal aku mau ngasih kabar menarik buat Yuu-chan, lho~. Tapi kalau kamu ngomong gitu… Onee-san jadi males ngasih tahu deh~.]
“Kabar menarik?”
[Heeeh~? Jadi penasaran, ya~?]
“…Yaa, agak penasaran sih.”
Lebih karena rasa ingin tahu yang bercampur waswas, semacam dorongan “penasaran tapi takut” gitu. Sejujurnya, aku tahu betul kalau pilihan paling cerdas adalah menutup telepon dan pura-pura enggak dengar apa-apa.
[Tapi kalau gitu... gimana kalau kita makan malam bareng hari ini~?]
“Eh, kenapa enggak disampaikan aja lewat telepon ini…”
[Eeh, enggak gitu dong~. Jangan tega-tegaan ninggalin aku sendirian, ya~.]
“Padahal kemarin kamu sendiri yang bilang lagi sibuk kerja, lho…”
Apa dia sebenarnya kelinci kesepian, ya?
Sisi Kureha-san yang kayak gini, jujur aja, aku beneran enggak bisa bedain mana yang bercanda dan mana yang serius.
“Aku sih enggak masalah. Tapi Enomoto-san dari kemarin udah kesal banget, lho? Gimana tuh, kamu enggak khawatir?”
[Eeeeh~? Masih manggilnya ‘Enomoto-san’? Masih seformal itu~? Padahal kalian ‘bersenang-senang’ bareng semalam, kan~?]
“Jangan godain aku pakai referensi Dragon Quest, dong. Aku langsung ketiduran waktu itu, kok.”
[Hmmm~. Jadi habis semalam bareng… enggak ada perkembangan sama sekali, ya~? Kasihan banget deh Rion~.]
Berisik banget, sih!?
Aduh, berapa kali sih aku harus bilang kalau hubungan kami enggak seperti itu! Aku tuh—punya pacar! Pacar paling imut sedunia! Namanya Himari!
Kureha-san terkekeh pelan, lalu akhirnya menghentikan candanya dan mulai bicara dengan nada serius.
[Dekat Stasiun Nihonbashi, ada restoran omurice enak, lho~. Soalnya Ginza juga enggak jauh, jadi habis beli bunga, kita ketemuan di sana, ya~♪]
“Ngomong-ngomong, tadi juga sempat kamu bilang gitu, ya. Tapi Ginza itu… kayaknya enggak kebayang ada toko bunga di sana, deh…”
Kalau dengar kata “Ginza”, yang terbayang adalah distrik super mewah dan stylish. Tempat lalu-lalangnya para politikus dan pria dewasa bersetelan jas lengkap dengan merek kelas atas.
Tapi di tempat seperti itu… toko bunga?
Aku memiringkan kepala, masih merasa aneh, dan Kureha-san hanya tertawa lembut.
[Yuu-chan itu gampang banget dibaca ya~. Tapi coba pikir deh, kalau itu kawasan komersial kelas atas, berarti tempat kayak gitu juga butuh banget buat nunjukin citra sosial, kan~?]
“Ah… iya juga, ya. Jadi maksudnya begitu…”
Bunga memang hadiah yang sempurna. Dalam konteks seperti itu, wajar kalau ada banyak toko bunga di sana. Tapi tetap aja… rasanya aku jadi kelihatan kayak anak desa banget. Malu juga.
Setelah mengatur janji, Kureha-san menutup telepon sambil berkata ceria, “Sampai nanti ya~☆” Aku menghela napas pelan.
(…Katanya ada kabar baik untukku?)
Jelas-jelas mencurigakan, pikirku. Dan seolah menunggu momen tepat, tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka.
Aku terlonjak kaget dan langsung menoleh. Dari balik pintu, Enomoto-san mengintip dengan hanya setengah wajahnya yang terlihat. Rambut hitam indahnya sudah rapi tersisir, dan wajahnya pun terlihat segar—sepertinya sekaligus sudah selesai berdandan juga.
“…Yuu-kun.”
“A-a-apa?”
Kupikir mungkin dia mendengar pembicaraanku barusan dengan Kureha-san… tapi ternyata bukan soal itu. Enomoto-san tampak canggung, menggeliat kecil sambil bertanya ragu-ragu.
“Aku… waktu tidur, enggak ngelakuin hal aneh, kan?”
“…………”
Suliiiiiit...
Pertanyaan ini… enggak terlalu berat, tapi juga gila susahnya. Aku harus jawab gimana, ya? Hal aneh, hal aneh… Kalau hampir dicium pas lagi tidur itu termasuk hal aneh…?
Enggak mungkin aku bisa ngomong itu!!
“U-umm… Aku juga baru bangun, jadi… kayaknya enggak terlalu ingat, sih…”
“…………”
Eh, Enomoto-san?
Kenapa ekspresinya kayak kecewa gitu? Bisa enggak tolong berhenti ngeliat aku pakai tatapan kayak gitu? Soalnya… pertahananku bisa runtuh, tahu...
♣♣♣
Menjelang siang, kami tiba di Ginza.
Sambil menatap Kabukiza—gedung pertunjukan klasik yang jadi simbol seni tradisional Jepang—aku dan Enomoto-san langsung berpose untuk berfoto selfie sebagai kenang-kenangan.
Lalu, dengan ekspresi antusias, Enomoto-san mengajukan permintaan kecil.
“Yuu-kun, ayo pose yang kayak gaya kabuki itu~”
“Gaya kabuki?”
Ah, maksudnya pose khas aktor kabuki itu, ya—yang satu kaki dilangkahkan ke depan sambil menatap tajam. Kalau enggak salah, itu disebut “mie wo kiru”.
Karena ini sudah hari kedua liburan, rasa malu yang kemarin masih seperti kelopak bunga yang rapuh... sekarang sudah nyaris hilang. Jadi, di depan gedung Kabukiza yang megah, aku pun ikut berpose ala kabuki dengan ekspresi serius dan mengambil selfie.
Enomoto-san tampak sangat senang dan langsung mulai menggambar garis merah di wajahku pada foto itu.
“Fufu~ Yuu-kun kelihatan lucu banget pas mata kamu nyilang…”
“Padahal kamu yang ngajak, tapi malah nyuruh aku sendiri yang pose begitu... malu banget, tahu enggak…”
Kami sempat mengecek jadwal pertunjukan di Kabukiza, tapi ternyata tiket hari ini sudah habis terjual. Gara-gara nonton gulat kemarin, aku jadi lumayan tertarik sama panggung pertunjukan… jadi agak kecewa juga sih.
Aku kembali menatap sekeliling kawasan Ginza.
Di satu sisi jalan, berdiri bangunan tradisional yang penuh nilai sejarah—sementara di sisi seberangnya, menjulang gedung modern berdinding kaca yang berkilauan.
Di persimpangan besar Chuo-dori, tampak sebuah pusat perbelanjaan dengan fasad bergaya Eropa yang klasik dan elegan. Lebih jauh lagi, terlihat deretan toko fast fashion seperti Uniqlo, berdampingan dengan toko-toko tradisional yang menjual washi (kertas khas Jepang) dan dupa. Kota ini benar-benar aneh—tempat di mana yang lama dan yang baru hidup berdampingan begitu alami.
“Enomoto-san, mau lihat-lihat ke mana dulu, nih?”
“Ah, aku ada tempat yang pengin dikunjungi.”
Sepertinya dia sudah riset duluan dan tahu persis tujuannya. Memang, Enomoto-san selalu bisa diandalkan. Ia melangkah dengan percaya diri mengikuti petunjuk dari Google Maps, dan aku pun berjalan sejajar di sampingnya.
♣♣♣
Ginza Mitsukoshi.
Sebuah pusat perbelanjaan raksasa yang berdiri megah di persimpangan Chuo-dori. Kami masuk dari pintu utama yang dijaga patung singa terkenal di depan Mitsukoshi. Seperti yang bisa diduga dari simbol kawasan komersial mewah, segalanya tampak mengilap sejauh mata memandang. Kami menaiki eskalator dan menuju salah satu tenant tertentu.
Frédéric Cassel.
Sebuah toko kue kenamaan asal Paris, yang punya reputasi internasional. Dan salah satu cabangnya yang sangat terbatas, ternyata ada di dalam Ginza Mitsukoshi ini.
Di dalam etalase kaca, deretan cokelat dan kue tersusun rapi, bersinar seolah-olah hendak menyilaukan mata.
Mulai dari produk andalan mereka—mille-feuille berlapis adonan pastry renyah—hingga cake cokelat dan cookie choux yang tampak menggoda. Untuk kue panggang, ada pilihan klasik seperti financier dan brownie.
Semua kue yang memantulkan cahaya lampu hingga tampak seperti permata itu… sungguh, cantiknya luar biasa. Auranya benar-benar memancarkan keyakinan: “ini pasti enak banget.” Bahkan bagi orang yang bukan pecinta makanan manis sekalipun, tempat ini bisa bikin semangat langsung naik. Ini bukan sekadar makanan—ini karya seni.
“Gila… kelihatannya enak banget…”
“Kata Onee-chan, salah satu ciri khas Ginza itu ya ini—banyak toko-toko terkenal dari luar negeri buka cabang di sini.”
“Benar juga. Satu lantai ini aja auranya udah beda banget, ya.”
“Katanya, banyak juga toko kue asal Jepang yang membuka gerai utamanya di sini, lho. Banyak pâtissier terkenal yang pernah belajar langsung di luar negeri buka toko di Ginza.”
Kalau melihat ke sekeliling, toko-toko lain juga memamerkan deretan kue dan manisan yang tak kalah menggiurkan dan instagrammable.
Produk dari merek-merek terkenal, baik lokal maupun internasional, memang enggak mudah didapat. Tapi kalau semua berkumpul di satu tempat begini, pasti jadi surga buat para penggemarnya.
“Tapi, Enomoto-san itu hebat, ya.”
“Kenapa?”
“Soalnya, kamu tetap niat buat belajar soal kue-kue gini, bahkan pas lagi liburan. Aku aja udah total mode turis, lho…”
“…………”
Saat aku bilang itu dengan tulus, Enomoto-san malah menatapku heran.
“Belajar soal kue?”
Ah… jadi intinya kamu cuma pengin makan, ya? Pura-pura niat belajar itu cuma alasan aja, huh…
Aku langsung merasa malu sendiri setelah mengucapkan kalimat barusan. Tolong kembalikan harga diriku yang barusan melonjak tinggi itu…
“Yuu-kun, kamu mau yang mana?”
“Kalau gitu, aku pilih mille-feuille, deh.”
Enomoto-san pun memilih yang sama.
Di dalam Ginza Mitsukoshi, ada satu lantai dengan teras khusus untuk beristirahat. Sinar matahari menembus lewat jendela besar, menyinari para pengunjung yang tengah bersantai menikmati waktu luang. Kami pun sudah siap sepenuhnya—barusan mampir di toko jus buah dan membeli minuman untuk dibawa.
Kami duduk di kursi dekat jendela yang sedang kosong, dan akhirnya tiba waktunya untuk mencicipi.
Di hadapan kami terhidang mille-feuille berbentuk persegi panjang. Warna keemasan dari lapisan adonan pastry yang dipanggang hingga karamel, berpadu dengan krim vanila yang kental dan lembut—benar-benar tampak menggiurkan. Tentu saja, sebelum mencicipi, kami sempatkan berfoto selfie bersama. Kami berdua menyodorkan mille-feuille ke arah kamera, dan hasilnya… malah mirip foto promosi toko kue! Aku sampai enggak bisa menahan tawa.
“Selamat makan~… ah!”
Baru saja mau mulai, aku sadar akan satu hal penting.
“Enomoto-san… kita enggak ambil garpu…”
“Ah…”
Karena tokonya memang khusus take-out, produknya pada dasarnya diperuntukkan sebagai oleh-oleh yang dibawa pulang. Memang sudah dilengkapi dengan ice pack, tapi… garpunya enggak ada. Ugh, harusnya tadi minta sekalian, ya.
“Terus… gimana, nih?”
“…………”
Enomoto-san menatap kue itu, lalu menatapku, lalu kembali menatap kue itu. Dari ekspresi bingung di wajahnya, aku langsung paham apa yang ada di pikirannya. Soalnya… aku juga merasakan hal yang sama.
Aroma manis yang menyerang hidung ini benar-benar menggoda… Mana tahan nunggu sampai balik ke hotel?
“Ya udah. Kita makan pakai tangan aja, ya.”
“Eeeeh!?”
Tenang, tenang.
Setiap kue ini sudah dikasih alas kertas sendiri, kok. Tinggal diangkat dengan hati-hati… dan—yes, bisa! Untung alas kertasnya cukup kokoh. Selamat, misi penyelamatan kudapan mewah berhasil.
Lihatlah—betapa halusnya krim ini, dan betapa cantiknya lapisan-lapisan adonan pastry yang renyah itu berkilauan. Paduan indah bak duet klasik itu seolah menyanyikan lagu lembut ke arahku, “Ayo makan~ Lululu~♪”
Aku sudah tak bisa menahan diri lagi. Dengan mantap, aku membuka mulut lebar-lebar.
“Kalau begitu—aaah... hm?”
Enomoto-san menatapku lekat-lekat.
Wajahnya terlihat sangat tidak puas. Aku belum pernah melihat ekspresi Enomoto-san yang cemberut seperti anak kecil begini. Dia jelas-jelas ingin menunjukkan rasa kesalnya—tapi, justru karena itu, ekspresi imutnya malah bikin aku pengin lihat terus. Jadi efeknya malah kebalik, lho, Enomoto-san!
“Enomoto-san, kamu enggak makan?”
“…………”
Sambil memainkan jemarinya dengan gelisah, dia menatap bergantian antara mille-feuille dan wajahku. Oh… paham. Ternyata dia malu makan pakai tangan di tempat umum, ya. Harusnya aku lebih peka soal ini… maaf ya, tadi asal ajak makan aja.
...Padahal kemarin kamu bisa tanpa malu bilang “nyan nyan” di depan orang banyak. Batas rasa malumu tuh sebenarnya di mana, sih?
“Kalau gitu… kita bawa balik ke hotel dan makan bareng aja, gimana?”
“Itu juga enggak mau. Aku enggak tahan nunggu.”
“Terus… aku harus gimana?”
Duh, sahabat karibku generasi kedua ini manja banget, sih. …Tapi entah kenapa, perasaan dipermainkan kayak gini rasanya agak nostalgia juga, sampai-sampai aku ketawa sendiri.
Lalu, entah apa yang terlintas di benaknya, Enomoto-san tiba-tiba membuka mulut ke arahku.
“Aaa~n.”
“…………”
Serius, nih…?
Kenapa kalau aku yang nyuapin jadi boleh? Tolong, standar kelulusan untuk hal-hal kayak gini dijadikan manual resmi terus dibagiin ke semua orang, dong.
“Yuu-kun. Cepet~”
“Eh… akunya malah yang malu, tahu…”
“Enggak apa-apa. Ini masih termasuk dalam batas pertemanan.”
“Andai aja standar batas itu juga dibagikan ke semua orang di sini, ya…”
Enomoto-san menepuk-nepuk pahanya sambil berkata, “Udah, cepetan.”
Dengan perasaan seolah sedang menyuapi anak burung, aku pun menyodorkan mille-feuille ke mulutnya. Enomoto-san langsung menggigitnya. Bunyi renyah saat ia mengunyah terdengar ringan, tapi entah kenapa justru terasa memuaskan di hati.
Lalu, dengan tangan menyentuh pipinya, Enomoto-san menggumam dengan wajah penuh kebahagiaan.
“Enaaak banget… ♡”
Eh, segitunya? Kelihatannya enak banget, sampai bikin aku makin enggak sabar.
Saat aku mulai gelisah sendiri, Enomoto-san mengambil mille-feuille yang satunya lagi—masih menempel di alas kertas—dan mengangkatnya. Dia mengarahkannya ke arahku sambil berkata, “Aaa~n.” Kenapa kalau nyuapin aku malah dianggap wajar, sih…?
“Yuu-kun, ini enak banget.”
“Ehh… aku bisa makan sendiri, kok…”
“Enggak. Ini harus langsung dimakan. Bareng. Cepat.”
“Uuhh…”
Mille-feuille keemasan itu… seolah memanggil-manggilku untuk segera menyantapnya.
Akhirnya, aku pun memantapkan hati dan menggigitnya bersamaan. Kres, kres… kres… kres… kres-kres… …kres…
Tanpa sadar, rasanya seperti ada air mata yang hendak menetes.
“Enaaaaaak banget……”
“Kan! Hebat banget, ya!”
Apa ini…? Rasanya luar biasa.
Ini beda banget dari mille-feuille yang pernah aku makan sebelumnya. Manisnya vanila yang kental dan kaya rasa langsung menyerbu lidahku, seperti bilang, “Diet apaan tuh?” Dan ketika aku masih terhanyut dalam kelembutannya, rasa karamel dari lapisan gula yang dipanggang menancap tajam seolah memberi pukulan terakhir. Aku pun enggak yakin lagi apa yang sebenarnya aku omongin—yang jelas, duet rasa ini benar-benar luar biasa. Keduanya sama-sama pekat, tapi punya karakter berbeda yang silih berganti menyerang lidah.
Sumpah enak banget. Aku rela bayar tiket pesawat cuma demi makan ini lagi…
“Fufufu. Puas, deh…”
Meski rasanya begitu pekat dan kaya, entah kenapa bisa habis dalam sekejap. Waktu yang terasa seperti mimpi itu pun berlalu begitu cepat.
Saat aku masih larut dalam kenikmatan tadi, Enomoto-san juga sudah menghabiskan miliknya. Sambil menjilat krim di ujung bibirnya, dia menoleh ke arahku dan bertanya,
“Yuu-kun. Kamu pikir ini udah selesai?”
“...Hah?”
Aku langsung bereaksi. Karena ekspresi Enomoto-san… terlihat sedikit menantang.
Ah, benar juga. Aku sempat lengah. Sebagai pecinta makanan manis, ucapan tadi sungguh memalukan dan tak bisa dimaafkan.
Kalau memang di Ginza ini terkumpul berbagai manisnya dunia, maka belum waktunya untuk berhenti puas. Tantangan ini… kuterima.
“Justru rasanya, sekarang baru mulai pemanasan.”
Salah satu dari sedikit keahlianku adalah: bisa menghabiskan satu loyang kue sendirian. Waktu Natal tahun lalu, aku bahkan menghabiskan sehari penuh cuma dengan kue diskonan dari minimarket dekat rumah. Meski, waktu aku cerita ke Himari, dia marah besar dan bilang, “Jangan pernah ngelakuin itu lagi.”
Mendengar jawabanku, mata Enomoto-san berkilat seolah berkata, "itu baru Yuu-kun yang aku kenal."
“Yuu-kun, ayo lanjut ke tempat berikutnya.”
“Siap!”
Setelah dibuat terkesima oleh cita rasa manis kelas dunia, entah kenapa ada tombol aneh yang aktif dalam diri kami—dan sejak itu, kami pun mulai menaklukkan toko demi toko, mengikuti naluri semata.
♣♣♣
Kami benar-benar sampai lupa tujuan utama datang ke Ginza, sampai akhirnya tersadar dan kembali ke akal sehat.
Macaron di kafe tadi luar biasa banget. Selama ini aku selalu menganggap macaron itu cuma cocok dijadikan oleh-oleh, tapi yang tadi tuh… bener-bener pengin kubeli buat diriku sendiri. Satu per satu punya motif yang cantik dan elegan, rasanya suatu saat aku ingin menatanya di atas piring dan mengabadikannya dalam foto.
Cokelat kari dari toko tadi juga luar biasa. Padahal rasanya benar-benar kari yang lezat, tapi ada aroma cokelat yang begitu pas—beneran kayak temukan cita rasa baru. Enak banget.
Cokelat Belgia, baumkuchen, fruit parfait—semuanya luar biasa. Kami merasa sudah menghabiskan jatah manis untuk setahun ke depan, dan dengan perut kenyang serta hati puas, kami pun bersiap naik subway untuk pulang ke hotel.
Tepat sebelum naik kereta, aku baru teringat, “Oh iya, tadi kan mau cari toko bunga,” dan langsung balik arah. …Hampir saja. Kalau ini cuma soal janji ke Kureha-san, pasti tadi aku udah langsung balik ke hotel tanpa pikir panjang.
Toko-toko bunga ternyata ada di mana-mana, asal matanya jeli memperhatikan.
Dan semuanya… bergaya banget. Beberapa ada di lantai dasar gedung-gedung komersial besar, dengan pintu masuk lebar yang mengundang. Ruangannya full kaca, layaknya showroom, dipenuhi aneka rangkaian bunga warna-warni yang tertata rapi. Sambil menatap bunga-bunga itu bersama Enomoto-san, aku merasakan ketenangan luar biasa.
Ahh… bunga itu memang luar biasa. Cukup dengan melihatnya, hati bisa langsung adem. Rasanya seperti air mancur penyembuh MP di game—benar-benar menyegarkan jiwa.
Aku pun memandangi bunga-bunga di balik kaca dan berkata lembut,
“Meski sedang menjalani hidup yang berbeda dari biasanya, keindahan kalian tetap tak bisa kulupakan…”
“...Yuu-kun, barusan kamu ngucapin kalimat cowok ganteng, lho.”
Wajah Enomoto-san yang menatapku dengan tatapan datar terpantul di kaca. Aduh, malu banget.
Gara-gara kekurangan asupan bunga selama beberapa hari terakhir, pikiranku jadi lengah. Tapi bunga-bunga ini memang indah. Seperti yang kuduga, di daerah dengan harga tanah tinggi, kualitas bunganya pun diperhatikan dengan serius.
Enomoto-san tampak antusias saat mengangkat ponselnya.
“Yuu-kun, ucapin lagi kalimat cowok ganteng tadi.”
“Kamu mau rekam, ya? Ogah banget, pokoknya.”
“Enggak bakal aku kasih liat siapa-siapa, kok. Buat dinikmati sendiri aja.”
“Dinikmatinya gimana, coba!?”
Tolonglah, jangan lakukan ini padaku. Kalau sampai rekaman itu tersisa, aku enggak akan sanggup jalan di bawah matahari lagi seumur hidup.
“Yuk, sekarang kita cari partner perjalanan kita.”
Kami pun segera masuk ke dalam toko. Di dalamnya, ruangan luas yang tertata elegan dipenuhi dengan beragam rangkaian bunga.
Wow... Aroma bunga segar yang menyengat memenuhi udara. Meskipun sedang di Tokyo, entah kenapa rasanya seperti pulang kampung. Tanpa sadar, langkahku pun terasa lebih ringan. Enomoto-san juga tampak riang saat berkeliling melihat-lihat isi toko.
Satu hal yang langsung terasa saat menelusuri toko ini adalah betapa beragamnya jenis bunga yang tersedia.
Bunga musiman seperti matahari, dahlia, dan marigold tentu saja ada, tapi selain itu, bunga yang seharusnya sudah lewat masa mekarnya seperti mawar, tulip, hingga lisianthus pun terpajang seperti hal biasa. Jenis-jenis bunga yang populer sebagai hadiah juga lengkap tersedia. Aku sampai terpana membayangkan berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk menjaga semua ini.
Di dekat kasir, terdapat papan yang menunjukkan “Perkiraan Waktu Tunggu untuk Rangkaian Saat Ini”. Artinya, toko ini menyediakan layanan merangkai bunga secara langsung sesuai permintaan pelanggan. Rangkaian bunga yang terpajang di dalam toko ini kemungkinan besar hanya contoh saja.
Di kampung halamanku, umumnya orang membeli rangkaian yang sudah jadi. Jadi layanan seperti ini pasti memerlukan biaya dan tenaga ekstra. Tapi mungkin memang itu yang dibutuhkan untuk bisa memenangkan hati pelanggan di sini. Bahkan saat ini pun, di balik meja kerja di belakang kasir, staf toko sedang merangkai bunga pesanan.
Bertahan di kota seperti ini, yang menuntut perhatian terhadap detail luar biasa, jelas bukan perkara mudah. Sikap profesional seperti ini benar-benar layak dihargai.
Tak lama kemudian, Enomoto-san kembali dari bagian dalam toko. Wajahnya terlihat amat ceria—ternyata dia menemukan bunga itu.
“Yuu-kun! Ada bunga sepatu!”
“Eh, serius?”
Di rak tempat pot-pot tanaman disusun, bunga-bunga mencolok tampak sedang mekar dengan indah. Ada dua warna—merah muda dan oranye—bahkan ada pot yang memadukan keduanya.
Enomoto-san menghela napas pelan saat melihatnya.
“Jadi bunga sepatu itu dijual dalam bentuk pot ya…”
“Bunga sepatu bisa bertahan hidup saat musim dingin. Kalau dipangkas dan dirawat setelah musim gugur, tahun depan dia bisa berbunga cantik lagi. Di Okinawa, batang stek bunga sepatu bahkan dijual sebagai oleh-oleh.”
Enomoto-san memperhatikan pot-pot itu dengan penuh rasa ingin tahu sambil bergumam, “Hee~…”
“Tapi… seingatku, waktu aku lihat pas SD, bunganya lebih besar deh…”
Mendengar pertanyaan itu, aku pun dengan semangat menjelaskan, merasa ini saat yang tepat untuk unjuk wawasan.
“Bunga sepatu yang beredar di pasaran itu kebanyakan jenis hasil budidaya. Umumnya dikembangbiakkan di Hawaii dan tempat-tempat tropis lainnya. Sebagian besar memang bunganya lebih kecil daripada jenis aslinya. Jadi itu mungkin salah satu alasannya.”
Bunga sepatu yang termasuk dalam genus Hibiscus ini, jika dihitung bersama dengan varietas-varietas kecilnya, konon jumlahnya bisa mencapai sepuluh ribu jenis.
Secara umum, jenisnya dibagi menjadi tiga kelompok besar: "Hawaiian," "Coral," dan "Old Type." Yang ada di sini adalah jenis Old Type, masing-masing bernama "Lemon Yellow dan Painted Lady.
Enomoto-san mencatat semuanya di ponsel dengan ekspresi serius. Dia memang orang yang serius.
“Kalau begitu, bunga sepatu yang kita lihat waktu di kebun botani itu…”
“Sepertinya itu jenis asli. Sekarang pameran itu sudah enggak ada lagi, jadi kita enggak bisa memastikan sih…”
Selain itu, waktu itu kita masih kecil. Dari sudut pandang anak SD, bisa jadi jenis hasil budidaya pun terasa sama mencoloknya dengan spesies asli.
Tapi saat aku hendak mengatakannya, rasanya kalimat itu terlalu hambar, jadi aku menelannya kembali.
“Enomoto-san. Kita pilih bunga yang mau kita taruh di hotel, yuk?”
Ternyata, Enomoto-san sudah punya jawabannya. Dia menarik tanganku dan membawaku ke deretan pot tanaman yang lain. Lalu ia menunjuk pada bunga merah menyala.
“Kalau aku, mau yang ini.”
Kupikir dia bakal memilih bunga sepatu, jadi aku agak terkejut.
“Geranium, ya…”
Tanaman ini termasuk dalam genus Pelargonium, sejenis tanaman tahunan yang cukup populer. Dahulu sempat diklasifikasikan dalam genus Geranium, sehingga hingga kini masih akrab disebut sebagai “geranium”.
Aromanya yang khas membuat tanaman ini jarang terserang hama, sehingga cocok untuk pemula. Sebagai tanaman herbal, geranium sudah lama dibudidayakan di Eropa dan dimanfaatkan sebagai bahan dasar minyak aroma maupun pengusir serangga. Di Jepang pun, sering terlihat ditanam di taman-taman pinggir jalan.
Dari ujung tangkai bunganya yang panjang tumbuh kumpulan bunga kecil berbentuk bintang. Penampilannya yang fantastis mirip kembang api tangan yang dinyalakan pada malam musim panas. Waktu SD dulu, aku sempat berpikir bentuknya mirip ketika Harry Potter menembakkan sihir dengan tongkatnya.
“Kenapa kamu pilih bunga ini?”
Enomoto-san menyilangkan kedua tangannya dan menjawab dengan bangga. Yang membuatku jadi sulit fokus karena… ya, karena dadanya.
“Soalnya, aku suka makna dari bunga geranium.”
“Makna bunga?”
Enomoto-san tidak melanjutkan. Sepertinya dia ingin aku menebaknya sendiri.
(Makna bunga geranium, ya… Oh.)
Dan aku pun menyadarinya.
Makna bunga geranium adalah: “rasa hormat”, “kepercayaan”──dan “persahabatan sejati.”
Tampilan bunganya yang mekar saling bersisian dari tangkai yang sama, seolah benar-benar melambangkan dua sahabat yang saling menyandarkan punggung. Dengan kata lain, bunga ini—sama seperti anemon dua kuntum—juga menjadi simbol persahabatan.
“Enomoto-san…”
Mendengar makna itu, terasa ada sesuatu yang hangat memenuhi dadaku.
Kadang-kadang, aku sempat berpikir bahwa keinginanku untuk terus menjadi sahabat baik dengan Enomoto-san mungkin hanyalah keegoisanku sendiri. Soalnya, Enomoto-san pernah bilang dia menyukaiku. Mungkin saja, selama ini dia hanya mengikuti keinginan sepihakku…
Tapi sekarang, dia sendiri yang menunjukkan niat untuk tetap menjalin persahabatan. Dan itu membuatku sangat senang.
Rasanya seperti saat di festival budaya waktu SMP, ketika aku begitu tersentuh oleh bentuk persahabatan dari Himari. Perasaan itu kembali muncul dan membuatku secara refleks mengusap ujung mataku. Sedikit memalukan juga, sih.
Ternyata memang aku bersyukur bisa bertemu lagi dengan Enomoto-san… Saat aku larut dalam emosi, Enomoto-san dengan percaya diri berpose dan berkata:
“Bunga ini bakal kupajang di kamar, biar bisa jadi pengingat selama liburan!”
“…Ternyata maksudmu buat penangkal godaan, ya.”
Dengan kata lain… ini semacam sistem penangkal, ya. Kalau nanti dia mulai bicara soal ciuman persahabatan lagi, aku tinggal angkat bunga ini dan roh jahat pun kabur. Ini jelas harus dimiliki.
Aku pun memesan pot bunga geranium itu pada staf toko. Katanya mereka bisa mengantar langsung ke hotel, jadi aku minta dikirim besok pagi. Mengingat aku masih ada janji sama Kureha-san setelah ini, tawaran itu benar-benar sangat membantu.
Begitu kami keluar dari toko bunga, aku tiba-tiba jadi melamun.
(Apa yang sebenarnya Enomoto-san pikirkan soal hubungan kami sekarang…)
Di permukaan, kami masih “sahabat.”
Tapi Enomoto-san tidak pernah berusaha menyembunyikan perasaannya padaku.
Aku sering merasa bingung dengan ketimpangan itu, dan kadang juga merasa tertolong karenanya… Tapi di saat yang sama, semuanya jadi terasa terlalu menguntungkan buatku—dan entah kenapa, itu bikin aku merasa agak tidak nyaman.
“Yuu-kun? Kenapa?”
Saat aku sedang tenggelam dalam pikiran itu, Enomoto-san mencondongkan tubuh dan menatap wajahku. Aku buru-buru menoleh ke arah lain dan mencoba mengelak sambil berkata:
“Ah, enggak. Mungkin aku agak mabuk wangi bunga soalnya udah lama enggak cium aroma segar kayak tadi…”
"Aroma bunga, ya? Tumben banget, Yuu-kun bisa bilang begitu."
Enomoto-san tertawa ceria, lalu mengulurkan tangannya padaku. Gelang bulan malam di pergelangan tangannya berkilau seolah mengejek alasan konyolku. Iya, benda itu pasti punya kemauan sendiri. Enggak salah lagi.
"Yuk, kita ke tempat janjian sama Onee-chan."
"Ah, iya. Benar juga."
Aku menggenggam tangan Enomoto-san dan mulai melangkah menuju Nihonbashi. Di saat yang sama, mataku menangkap kilauan asing di lehernya—dan meski aku sendiri yang membelikannya, aku sempat merasa gugup. ...Kira-kira, Enomoto-san menerima kalung kucing itu dengan maksud seperti apa, ya?
♣♣♣
Akhirnya, kami tiba satu jam lebih awal dari janji temu dengan Kureha-san.
Sambil berjalan-jalan di sekitar Nihonbashi, kami menemukan sebuah pameran akuarium. Sepertinya agak berbeda dari akuarium yang biasa ada di kampung halaman.
Mata Enomoto-san langsung berbinar-binar penuh semangat.
"Yuu-kun, lihat deh. Ada ikan mas!"
"Wah, kayaknya menarik, ya."
Ternyata Enomoto-san juga suka makhluk air.
Kami membeli tiket dan langsung masuk ke dalam. Begitu mengikuti jalur di dalam ruangan yang agak gelap, kami pun langsung terpukau.
"Woaaah, keren banget ya…"
"Indah sekali…"
Di tengah kegelapan, berbagai akuarium disorot dengan pencahayaan yang dramatis. Rupanya, tema dari pameran ini adalah menghadirkan nuansa khas zaman Edo melalui akuarium.
Ikan-ikan mas berwarna merah menyala berenang tenang di dalam akuarium raksasa yang disinari cahaya ungu. Gerakan mereka yang anggun, dengan sirip ekor yang lebar bergoyang lembut, tampak seolah menggambarkan sosok para yujo—wanita penghibur zaman Edo yang memesona dalam balutan kecantikan mistis.
Enomoto-san mengangkat tangan, mengarahkannya ke akuarium. Cahaya samar dari lampu sorot memantulkan siluet wajahnya, dan entah kenapa, dari sudut pandangku, ia terlihat seperti orang lain yang belum pernah kukenal.
“Yuu-kun. Ini Ryukin, ya?”
“Ryukin?”
“Jenis ikan mas. Yang sirip punggungnya tinggi dan sirip ekornya panjang.”
“Kamu tahu banyak juga, ya, Enomoto-san…”
Kukira dia cuma ahli dalam hal-hal berbulu dan imut-imut. Tapi selama perjalanan ini, begitu banyak sisi Enomoto-san yang belum kukenal mulai terlihat satu per satu.
Karena pengunjung diperbolehkan mengambil foto pameran, kami pun langsung melakukan sesi selfie seperti biasa.
“Pastikan flash-nya dimatikan… Yuu-kun, kamu yang fotoin, ya?”
“Eh, aku? Ya udah, boleh sih…”
Aku menerima ponselnya dan mengatur sudut agar aku, Enomoto-san, dan latar akuarium bisa masuk dalam satu bingkai.
“Mau kuambil, ya—”
Piron! Suara shutter berbunyi saat aku menekan tombol kamera.
Saat kucek hasil fotonya, aku mendapati Enomoto-san sedang berpose aneh. Ia membuat lingkaran dengan ibu jari dan jari telunjuk di kedua tangan, lalu mengintip dari balik lingkaran itu dengan kedua matanya.
…Sepanjang perjalanan ini, kami sudah berkali-kali selfie bersama, tapi ini pertama kalinya dia berpose seperti itu.
“Enomoto-san, pose itu maksudnya apa?”
Enomoto-san tersenyum malu-malu sambil berkata pelan, “Ehe.”
“Demekin…”
Lucunya…
Kalimat itu hampir meluncur dari mulutku, tapi buru-buru kutahan. Eh, apa harusnya tetap kukatakan? Tapi dia kelihatan malu begitu… jadi mungkin lebih baik tidak, ya…
Saat aku masih bergelut dengan pergulatan batin yang bahkan aku sendiri tak pahami, Enomoto-san menarik-narik lengan jaketku pelan.
“Yuu-kun, yuk lanjut.”
“Ah, iya.”
Di koridor yang remang-remang, terlihat jendela bundar seperti yang biasa muncul di film jidaigeki. Di balik kisi-kisi shoji, aku bisa mengintip akuarium berwarna biru. Di dalamnya, ikan-ikan mas yang imut berenang dengan tenang.
“Beneran, ini bener-bener dunia ikan mas, ya.”
“Iya. Rasanya segar banget, beda dari akuarium biasanya.”
Enomoto-san tampak sangat senang.
Di area berikutnya, ada akuarium raksasa berbentuk seperti gulungan lukisan gantung. Akuarium berbentuk persegi panjang itu tertanam di dinding, dan dengan pencahayaan yang apik, suasananya dibuat seolah ikan-ikan mas yang digambar dengan tinta sedang berenang bebas di dalam gulungan tersebut.
“Hebat… aku suka banget yang ini.”
“Warnanya memang simpel, tapi konsepnya niat banget, ya.”
Komentar Enomoto-san barusan benar-benar tepat sasaran. Dibandingkan dengan akuarium merah tadi, perbedaan kontras antara gerakan dan ketenangan ini meninggalkan kesan yang mendalam.
Kami pun kembali berpose dengan gaya mata belo ala demekin untuk selfie berdua. Entah kenapa, kami jadi ketagihan melakukannya.
“Masih berapa lama lagi ya?”
“Mungkin baru setengah jalan?”
Sambil berkata begitu, kami kembali melangkah ke koridor.
Dan pada saat itu juga, kami terbelalak.
—Langit-langit akuarium yang memancarkan cahaya gemerlapan menyinari kami dari atas.
Pemandangan yang benar-benar luar biasa.
Akuarium yang dibagi dalam bentuk kotak-kotak simetris itu disorot dengan cahaya pelangi dari tiap sisinya, seakan mengawasi kami dari atas. Kami terpukau tanpa bisa berkata-kata oleh keindahan ikan-ikan mas yang berenang anggun di dalamnya.
Konon, pada zaman Edo dulu, para saudagar kaya membangun akuarium di langit-langit rumah mereka untuk menikmati pemandangan ikan dari bawah. Katanya, pameran ini merekonstruksi konsep itu—dan hasilnya sungguh begitu megah hingga terasa seperti pemandangan dari dunia lain.
"…………"
Rasanya seperti diserang habis-habisan oleh kekuatan seni.
Ini… luar biasa. Dibandingkan dengan ini, aksesoris bunga buatanku rasanya benar-benar remeh.
Beberapa saat kemudian, Enomoto-san berseru penuh semangat.
“Yuu-kun, luar biasa banget ya!”
“Y-ya…”
Kelihatannya Enomoto-san juga sangat menyukainya. Dan itu wajar. Bahkan aku sendiri tak bisa mengalihkan pandangan dari keindahan ini.
Dalam keadaan seperti terbawa suasana, Enomoto-san berkata:
“Rasanya mirip seperti waktu itu, ya!”
“Waktu itu?”
Barulah saat itu aku menatap wajah Enomoto-san dari samping. Ia tampak bahagia… dengan ekspresi seolah sedang menatap kenangan yang jauh di masa lalu.
“Bunga kembang sepatu yang kita lihat di kebun raya waktu pertama kali bertemu!”
“...Y-ya. Benar juga.”
Memang, kesannya terasa mirip.
Pemandangan ini seperti sedang menatap bintang-bintang di angkasa. Bagi kami yang saat itu masih kecil, bunga kembang sepatu itu terasa begitu besar dan jauh tak tergapai.
──Namun, di balik kata-katanya, aku merasa ada sedikit keganjilan.
Tadi, di toko bunga, aku dan Enomoto-san melihat langsung bunga kembang sepatu. Waktu itu dia memang tampak senang, tapi reaksinya tidak sebesar ini. Aku sempat mengira ia akan memilih kembang sepatu sebagai bunga yang akan dipajang di kamar. Tapi, yang ia pilih justru bunga geranium.
Kalau dibilang itu hanya soal suasana hati, mungkin memang begitu.
Tapi entah kenapa, perasaan itu tetap terasa seperti duri kecil yang tertinggal.
Di area berikutnya, aku melihat deretan akuarium berbentuk silinder yang menyerupai pilar. Saat memandangi wajah Enomoto-san yang sedang menatap akuarium itu, aku pun memanggilnya.
“Ngg… Enomoto-san.”
Enomoto-san perlahan menoleh ke arahku.
Siluet dirinya yang tampak samar dalam cahaya remang-remang entah kenapa terlihat begitu rapuh. Padahal dia adalah Enomoto-san yang selalu kukenal, tapi rasanya berbeda dari biasanya. …Atau mungkin, selama ini akulah yang tidak benar-benar berusaha melihatnya dengan sungguh-sungguh.
“Kenapa sih, Enomoto-san suka sama aku?”
“…………”
Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa kering.
Sambil merasakan detak jantung yang semakin keras, aku menunggu jawaban Enomoto-san. Ia menatapku lekat-lekat untuk beberapa saat. Ekspresinya… sulit ditebak.
Namun tiba-tiba, ia memiringkan kepala dengan raut bingung.
“Yuu-kun. Tumben banget sih nanya begitu?”
“Ah, enggak… a-aku cuma kepikiran aja, gitu…”
Enomoto-san balik bertanya tanpa ragu, dan justru akulah yang merasa malu sendiri.
Ya ampun, kalau dipikir-pikir… itu barusan gila banget. Aku udah punya pacar, tapi malah nanya ke cewek lain, “Kenapa kamu suka aku?” Sok ganteng banget, kan? Kalau ada Penghargaan Nobel untuk Kelakuan Paling Cringe, aku pasti menang tahun ini. …Kalaupun lagi grogi, harusnya bisa mikir lebih waras dari itu.
“M-maaf. Aku ngomong aneh banget barusan. Aku duluan aja ya, ke arah pintu keluar…”
Aku buru-buru cari alasan dan mencoba jalan lebih dulu mengikuti jalur keluar. Padahal baru hari kedua, tapi atmosfer liburan ini kayaknya udah bikin aku terlalu lepas kendali. Kalau hidupku cuma dikasih satu kesempatan buat memutar waktu, aku pengin banget pakai di momen ini…
Tapi Enomoto-san menahan lengan bajuku dengan erat.
“...Aku masih ingat, soal taman botani waktu itu.”
Aku berhenti melangkah dan menoleh ke belakang.
Wajah Enomoto-san tampak sangat serius. Ekspresi tulus dan cantiknya itu membuatku terpaku sejenak… dan tanpa sadar menghentikan langkahku.
“Sejak kecil, Ibu selalu sibuk kerja, jadi aku jarang diajak main. Onee-chan juga jauh lebih tua, jadi enggak banyak waktu buatku. Makanya, aku senang banget waktu kami akhirnya liburan bareng ke taman botani itu. Aku benar-benar menantikannya. Tapi… Onee-chan malah jalan sendirian terus, enggak peduli sama aku… dan tanpa sadar, aku pun tersesat sendirian.”
Begitu dia berkata begitu, seulas senyum getir muncul di wajahnya—seperti mengejek dirinya sendiri.
“Aku sempat nangis, mikir kalau aku ini anak yang enggak akan pernah diperhatikan siapa pun. Tapi waktu itu, Yuu-kun yang nemuin aku… lalu kita bareng-bareng cari Onee-chan. Punggungmu kelihatan besar banget waktu itu.”
Lalu kami pun melihat bunga hibiscus itu bersama.
Pemandangan yang begitu memukau sampai kami dibuat terdiam...
──Aku, jatuh cinta pada keindahan bunga.
──Sementara Enomoto-san…
“Aku langsung ngerasa... ‘Orang ini enggak akan ninggalin aku.’ Entah kenapa, aku yakin aja. Aku pikir, kalau aku terus bareng Yuu-kun, pasti aku bisa lihat banyak hal indah, kayak hibiscus waktu itu.”
Sambil mengatakan itu, dia menggenggam gelang di pergelangan tangannya.
Senyumannya terlihat rapuh, seperti bunga bulan yang hanya mekar semalam dan segera layu.
“Yuu-kun, aku suka kamu. Sekarang mungkin pikiranmu masih dipenuhi soal Hii-chan, tapi... suatu hari nanti, aku ingin kamu sadar perasaanku juga. …Sampai saat itu datang, aku akan tetap jadi sahabatmu dan menunggu.”
“…Iya.”
Aku mengangguk pelan menanggapi kata-katanya.
…Enomoto-san.
Yang benar-benar penting buatmu itu, bunga hibiscus?
Atau masa lalu kita?
Kalau kamu bilang “suka” padaku…
Apa artinya benar-benar sama dengan “suka” yang aku ucapkan pada Himari?
Tapi, semua pertanyaan itu kusimpan rapat-rapat dalam hati.
Perasaan suka pada seseorang… tidak selalu datang dalam bentuk yang sama. Kalau aku bilang hal kayak gini ke Makishima, dia pasti bakal nyeletuk, “Wah, Natsu sudah resmi jadi budak cinta sampai-sampai ngomentarin perasaan orang lain juga.”
Makanya… duri yang menusuk dadaku ini, mungkin cuma perasaanku aja.
Post a Comment