NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 4 Chapter 3

 Penerjemah: Nobu

Proofreader: Nobu


Chapter 3

“Tanpa... noda?”


♣♣♣

     Hari setelah kami pergi ke pantai.

     Aku terbangun karena guncangan keras—gatan!—yang mengguncang seluruh tubuhku.

     Apa, ini? Tempatnya terasa sempit sekali. Dan ada getaran halus yang terus-menerus. Langit-langitnya rendah.

     Langit-langit…?

     Bukan, ini bukan kamar. Ini… di dalam mobil.

     Ehm… Kemarin aku main SUP surfing bareng Enomoto-san di laut… Tapi itu sudah selesai. Jadi ini mungkin mobil saat perjalanan pulang? Wah, kayaknya aku ketiduran karena terlalu capek.

     Kalau begitu, Hibari-san yang menyetir, ya?—Eh, tunggu dulu.

     Main ke pantai itu ‘kan kemarin. Setelah itu, aku jelas-jelas naik mobilnya Hibari-san, diajak makan yakiniku buat makan malam, terus diantar pulang ke rumah. Aku mandi, lalu tidur. Seingatku, sampai di situ saja.

     Kalau begitu… ini di mana?

     Pikiran itu langsung bikin aku bangkit duduk—brak!

     Aku berada di kursi belakang sebuah mobil kei. Terlihat familiar… lebih tepatnya, ini mobil milik Saku-neesan. Di kaca spion tergantung gantungan kunci bergambar monyet yang dibagikan saat acara di kota beberapa waktu lalu.

     “Adik bodoh. Rupanya kamu sudah bangun.”

     Di kursi pengemudi duduk Saku-neesan. Tatapan dinginnya memantul di kaca spion yang dihiasi monyet kecil yang tersenyum ceria dan bergoyang-goyang.

     “S-Saku-neesan? Kenapa aku…”

     “Kenapa kamu ada di mobilku, maksudmu?”

     “Iya. Seingatku aku tidur di kamar, deh…”

     “Buat mengangkutmu tanpa membangunkan itu butuh usaha, tahu. Kamu ini lebih berat dari yang kukira.”

     Yah, aku kan anak SMA laki-laki. Wajar dong kalau lebih berat dari Saku-neesan. Beratku juga masih rata-rata, kok—eh, bukan itu maksudnya! Bahaya banget, aku nyaris terbawa arus obrolannya yang selalu begini!

     “Yuu-chan~ ♪ Jangan bikin Kakakmu repot terus, dong~”

     “Eh, Kureha-san!? Bukannya aku yang bikin repot, tapi justru aku yang kerepotan di sini… Dan, kenapa kamu ada di sini seolah-olah itu hal yang wajar!?”

     Kalau diperhatikan baik-baik, yang duduk di kursi penumpang depan adalah Kureha-san. Hari ini pun ia mengenakan dress putih, memancarkan aura selebriti yang nyaris menyilaukan mata.

     Kureha-san mengembungkan pipinya dan merajuk. Dengan ekspresi tak senang, ia mengayunkan kedua lengannya ke atas dan ke bawah sambil berkata, “Pun-pun!”, membuat dadanya yang besar ikut memantul-mantul.

     “Aku enggak boleh ikut, gitu maksudmu, Yuu-chan? Duh, kamu tuh kadang dingin banget, ya~”

     “Eh, bukan gitu, maksudku… aku bahkan belum ngerti ini semua tentang apa…”

     Aku menoleh ke luar jendela.

     Yang terlihat hanyalah laut sejauh mata memandang. Entah kenapa, kami sedang melaju di jalan pesisir menjelang fajar, di dalam mobil milik Saku-neesan. Mobil ini melaju kencang banget, dan aku enggak lihat ada lampu lalu lintas sama sekali. Sepertinya kami sedang melaju di jalan tol.

     Di sisi jalan, deretan pohon phoenix tertata rapi dengan jarak yang sama, dan di baliknya berdiri megah hotel Phoenix Seagaia Resort.

     Dari semua itu, bisa disimpulkan bahwa…

     “Eh? Kenapa kita malah melaju ke arah bandara?”

     “Wah, lumayan. Untuk ukuran kamu, otaknya cukup nyambung juga, ya.”

     “Kalau lihat pemandangan kayak gini dan kita lagi di jalan tol, ya cuma bisa ke sana, kan…”

     “Padahal kamu sendiri belum pernah naik pesawat.”

     Saku-neesan mengangkat bahu sambil berkata begitu.

     “Aku lagi nganterin Kureha.”

     “...Oh, jadi itu maksudnya.”

     Sepertinya Kureha-san akan kembali ke Tokyo.

     Dan untuk mengantarnya, Saku-neesan yang menyetir. Meski sering ribut, dua orang ini kelihatannya memang akrab, ya.

     ...Oke, situasinya sudah jelas. Tapi satu hal yang masih enggak bisa kuterima—kenapa aku juga ikut dibawa serta?

     “Kenapa aku juga harus diajak buat nganterin?”

     Begitu aku bertanya, Kureha-san pun menoleh ke belakang.

     “Bukan gitu~ ♪ Yuu-chan juga ikut ke Tokyo, lho~ ☆”

     “…………”

     Aku terdiam beberapa saat, lalu memiringkan kepala.

     “Eh?”

     “Sebagai permintaan maaf soal yang kemarin, aku mau kenalin kamu ke kreator-kreator di Tokyo~ ♪”

     Kami tiba di bandara.

     Saku-neesan menyerahkan koper dorong padaku.

     “Eh?”

     “Kalau begitu, Adik Bodoh. Jangan lupa beli oleh-oleh yang keren, ya.”

     Dengan tangan Kureha-san menggandengku, kami menyelesaikan proses check-in. Di ruang tunggu, Kureha-san membeli cheese manju dari Kuraya.

     Rasanya enak sekali. Adonan steamed bun-nya lembut dan kenyal, berisi krim keju yang kaya rasa.

     “Eh?”

     “Aku suka banget cheese manju dari toko ini~ ☆ Rasanya beda dari yang lain, kayak punya ciri khasnya sendiri. Itu yang bikin menarik~ ♪”

     Kami naik pesawat. Di dalam pesawat—yang pertama kalinya buatku—aku langsung membentur kepala ke loker atas. Lalu, aku disuruh duduk di kursi kelas bisnis yang agak mewah.

     Setelah perjalanan udara selama satu setengah jam, kami tiba di Bandara Haneda. Aku menatap lorong bandara yang luas banget. Orang-orang lalu-lalang ke segala arah—pegawai kantoran, para pelancong, dan banyak lainnya.

     “...Eh?”

     Aku ada di Tokyo.

     Kalau ditarik garis lurus, jaraknya sekitar 800 kilometer. Lewat jalur darat, bisa sampai 1.200 kilometer.

     Semuanya terjadi terlalu cepat, nyaris tanpa waktu untuk bereaksi. Kok bisa? Kenapa aku ada di Tokyo? Aku bener-bener enggak ngerti. Apa-apaan ini?

     Kureha-san mengambil koper dari tempat pengambilan bagasi. Lalu, dengan senyum cerah yang nggak kelihatan seperti seseorang yang baru saja menculikku, dia berkata—

     “Yuu-chan, kalau gitu aku pamit dulu ya~ ♪”

     “Eh!? T-Tunggu sebentar… guekh!”

     Begitu aku mencoba menahannya, bahuku malah dicengkeram erat.

     Tenaganya sebenarnya enggak seberapa, tapi entah kenapa auranya begitu kuat. Tekanan dari sorot matanya membuatku terdiam. Di balik senyuman lebarnya, ada atmosfer yang jelas-jelas tak memberi ruang untuk perlawanan.

     “Yuu-chan, aku lagi kepepet banget nih~ ♪ Kalau misi ini gagal, aku bisa-bisa enggak bisa kerja lagi, lho~ ♡”

     Kureha-san membungkuk sedikit, menonjolkan bagian dadanya, lalu berbisik di telingaku. Suaranya lembut dan agak manja, dengan aroma manis khas wanita dewasa—dan entah kenapa itu membuat bulu kudukku berdiri.

     “Aku sih sebenarnya merasa bersalah karena maksa kamu ikut~ Tapi kalau sampai Hibari-kun tahu, pasti langsung dihentikan, kan~. Jadi, ya udah~ Sekarang kamu tinggal nikmatin aja wisata Tokyo sepuasnya. Kalau kamu bahagia, aku juga bahagia~ Happy-happy~ ♡”

     “H-Happy… happy…?”

     Kureha-san membuat tanda peace dengan kedua tangan, lalu menjepit-jepitkannya seperti kepiting. Entah kenapa, aku ikut-ikutan membuat tanda yang sama. Padahal sama sekali enggak merasa happy.

     “Kalau gitu, nanti aku hubungi lagi, ya~ ♪”

     Dan begitu saja, Kureha-san benar-benar pergi…

     Aku yang ditinggal sendirian hanya bisa terpaku menatap kepergiannya. Ternyata benar ya, saat momen penting datang, tubuh bisa saja enggak mau bergerak.

     Bagaimanapun juga, aku mulai mencoba menyusun ulang situasinya. Pertama-tama, aku sekarang ada di Tokyo. Sampai di situ aja udah enggak masuk akal. Tamat! …enggak, jangan nyerah dulu, aku. Ayo pikir lebih keras lagi.

     Kenapa sih Kureha-san bawa-bawa aku ke Tokyo? Dan Saku-neesan juga sepertinya terlibat. Jangan-jangan ini ada hubungannya lagi sama Himari? Tapi tadi Kureha-san sempat nyebut soal Hibari-san juga, ya…?

     Apa aku kebawa-bawa dalam pertengkaran mereka? Sungguh menyebalkan…

     Yang penting sekarang, aku harus segera keluar dari area pengambilan bagasi ini. Aku menggenggam gagang koper dan berjalan menuju pintu kaca di ujung ruangan.

     Begitu aku keluar dari sana—aku menjatuhkan koperku. Ada suara krach! yang terdengar enggak enak, tapi aku enggak sempat peduli.

     “…………”

     Seorang gadis super cantik berdiri tegak dengan pose penuh percaya diri di hadapanku.

     Dengan kemeja musim panas dan rok yang memberi kesan lebih dewasa dari biasanya, aku sempat berpikir itu orang lain yang mirip. Soalnya ini Tokyo—Bandara Haneda. Mana mungkin dia ada di sini.

     Tapi warna rambut hitam kemerahan yang khas itu, rasanya enggak mungkin dimiliki orang lain. Dan lagi—bagian dadanya yang besar dan tampak jelas meski hanya dengan pakaian tipis itu… juga menyuarakan kehadirannya dengan sangat agresif.

     Aku pun menyebutkan nama gadis itu.

     “Enomoto-san… Kenapa kamu ada di sini…?”

     Tapi dia malah mengabaikan kebingunganku, lalu tersenyum manis seperti biasa dan tertawa kecil, “Ehehe.”

     “Aku nyusul, deh ♪”

     “Nyusul, yaaa…”


Sambil menatap senyuman yang terlalu manis dan sama sekali tanpa rasa bersalah itu, entah kenapa aku merasa seperti telah memahami segalanya.

♣♣♣

     Dari Bandara Haneda, naik taksi kurang lebih satu jam──

     Dan tibalah kami di Tokyo, Shibuya!

     Aku memandangi lautan manusia yang berdesakan di depan stasiun, menyeberangi persimpangan raksasa yang terkenal itu seperti kawanan ikan yang berenang serempak, dan hanya bisa melongo sambil bergumam, “Hoo~…” …Eh, ini lagi ada festival, ya? Masa iya, ini suasana normal kota besar?

     Baru sebentar saja, aku sudah mulai pusing karena keramaian. Saat itu, Enomoto-san memanggil dari kejauhan.

     “Yuu-kun! Sini!”

     “Ah. Udah nemu patung Hachiko-nya?”

     Salah satu ikon Shibuya, patung Hachiko si anjing setia.

     Sering banget kelihatan di berita pagi atau acara TV. Tapi melihat langsung di depan mata tuh rasanya aneh juga, ya. Kayak tokoh anime yang tiba-tiba muncul di dunia nyata.

     Enomoto-san mengubah posisi ponselnya ke mode swafoto, dan aku pun berdiri di sebelahnya.

     “Yuu-kun~. Aku foto, ya.”

     “Oke!”

     Piron! Bunyi elektronik terdengar.

     Kami berdua menengok ke layar, dan tampak aku dan Enomoto-san berpose keren dengan latar patung Hachiko si anjing setia.

     Tanpa basa-basi, Enomoto-san langsung menggambar kumis dan telinga anjing di wajahku dan wajahnya. Aku sih terserah, tapi Enomoto-san versi telinga anjing juga imut banget. Kalau boleh berharap, aku juga pengin lihat versi telinga anjing di pacar imutku. Nanti kalau pulang ke kampung halaman, aku bakal minta Himari buat nyoba juga.

     “──Eh, bukan itu maksudnya!!”

     “Kyah!”

     Enomoto-san hampir saja menjatuhkan ponselnya. Untung langsung bisa ditangkap, lalu ia melirikku tajam sambil manyun.

     “...Yuu-kun. Teriak-teriak di telinga orang itu enggak sopan, tahu.”

     “Aku enggak mau diceramahi soal sopan santun dari orang yang nyulik aku ke Tokyo!”

     Entah kenapa, Enomoto-san malah membusungkan dada dengan bangga. Jujur aja, cuma dengan pose itu pun dia udah cukup imut sampai-sampai kayaknya bisa langsung direkrut agensi idol.

     “Ah, soal rencana bawa Yuu-kun ke sini… itu sebenarnya idenya Shii-kun, lho.”

     “Dasar brengsek tuh orang…!”

     Sambil melontarkan sumpah serapah untuk Makishima yang bahkan nggak ada di sini, sebuah ponsel disodorkan ke arahku.

     (Apa nih? Panggilan video?)

     Begitu kupikir, wajah yang kukenal langsung muncul di layar. Cowok berambut cokelat terang bergaya playboy… si Makishima itu sendiri. Seperti biasa, dia membentangkan kipasnya lalu tertawa ringan.

     [Nyahaha! Musim panas, dan prank kita sukses besar, ya?]

     “Bawel! Jangan suruh Enomoto-san ngelakuin hal segila itu, dong!”

     [Wah, itu tuduhan yang menyakitkan. Ini semua karena Rin-chan bilang dia pengin jalan-jalan berdua sama kamu, jadi aku cuma ngasih pilihan caranya. Yang milih untuk jalan itu, ya Rin-chan sendiri.]

     “Dan kamu tetap aja nyuruh dia jalan tanpa minta izin dulu. Jelas-jelas itu jahat banget…”

     Makishima enggak menyangkalnya. Dia cuma mengangkat bahu seolah berkata ya sudah.

     [Kalau soal Natsu, dia pasti bakal kabur kalau tahu harus naik pesawat bareng dari kampung. Jadi sekalian buat kejutan, kita temuin dia langsung di Tokyo. Pilihan tepat, kan?]

     “Shii-kun, mantap banget.”

     Jangan malah saling kasih jempol dan saling puji begitu dong…!

     Yang jelas, sekarang semuanya sudah terang: ini memang ada niat jahat sejak awal. Kalau begitu, ceritanya beda. Memang aku kebawa arus sampai ke Shibuya, tapi belum terlambat untuk menarik diri.

     “Kalau sampai Himari tahu, ini bakal gawat banget! Pokoknya aku pulang!”

     [Himari-chan ya? Dia udah tahu kok.]

     …APA!?

     Aku sampai melongo mendengarnya, sementara Makishima tersenyum licik. Kamera ponselnya mulai menjauh, dan aku pun bisa melihat di mana dia berada.

     …Interior yang kelihatan seperti dunia dari buku cerita anak ini… jangan-jangan itu toko kue milik keluarga Enomoto? Di area tempat duduk tokonya, dia terlihat sedang minum ginger ale.

     Tiba-tiba, Makishima memanggil seseorang ke arah dapur.

     [Himari-chan. Ini si Natsu, lho]

     Sementara aku masih bingung dan cuma bisa berkata “Maksudnya gimana!?” dalam hati, wajah Himari muncul di depan kamera ponsel. Dengan senyum cerah mengembang di wajahnya, dia melambai ke arahku.

     [Ah, Yuu. Kamu udah sampai Tokyo dengan selamat, ya?]

     “Kamu… tahu aku ada di mana…?”

     Himari memiringkan kepala, tampak heran.

     [Eh? Katanya tadi malam kamu tiba-tiba harus pergi ke Tokyo buat ketemu kerabat, kan? Aku juga baru tahu dari Sakura-san tadi pagi. Kaget banget, deh.]

     “Kerabat…?”

     Keluargaku punya kerabat di Tokyo? Ini baru aku dengar! Saat aku terdiam kehilangan kata, Himari mulai menunjukkan ekspresi curiga.

     […Yuu. Kamu kenapa?]

     “Ah, enggak! …Iya, benar kok! Katanya paman… eh, masuk rumah sakit, gitu. Jadi, ya, aku ke sini buat jenguk, gitu deh? Katanya sih lukanya enggak terlalu parah… haha…”

     Tanpa sadar, aku malah menutupinya, lalu mendecak lidah sendiri karena sadar telah melakukan kesalahan. Tapi, setelah terlanjur bilang begitu, rasanya susah buat meralat. Maksudnya… masa iya aku bisa bilang? “Selama liburan musim panas, aku ninggalin kamu dan sekarang lagi jalan-jalan di Tokyo bareng cewek lain,” gitu?

Himari mengangguk, lalu berkata, "Oh, gitu… pasti repot, ya"

     [Sekalian aja, kamu lihat-lihat toko yang lucu gitu, Yuu. Sebenarnya aku juga pengin ikut, tapi eh… kebetulan ada urusan, jadi deh batal.]

     “Urusan? Ngomong-ngomong, kenapa kamu ada di tokonya keluarga Enomoto?”

     Seolah sudah menunggu ditanya, Himari langsung membusungkan dada dengan penuh percaya diri.

     [Jadi tuh, ternyata Enocchi lupa kalau dia ada latihan intensif sama klub musik tiupnya. Terus, tokonya jadi kekurangan orang. Ya udah, aku dadakan bantuin deh]

     Sambil berkata begitu, dia bergaya centil di depan kamera, “Ufu ♡~”. Himari yang mengenakan apron toko kue dan baret lucu itu terlihat manis banget, sampai-sampai kayak model di rubrik spesial Valentine majalah mode. Aku jadi makin berharap di tanggal 14 Februari tahun depan nanti.

     [Sebenarnya sih, aku juga enggak segitu luangnya. Tapi gimana ya, kalau udah diminta banget-banget tuh susah nolak~. Ya, gimana, aku kan imut~? Cocok banget jadi si ‘putri toko’, kan?]

     Aromanya sih jelas—dia lagi seneng banget dipuji-puji. Kayaknya Enomoto-san dan yang lain emang ngegombalinnya habis-habisan. Tapi ya, pacarku yang gampang disanjung gini pun tetap imut banget. Memang deh, manusia itu yang paling manis justru saat mereka polos.

     [Terus, Yuu. Kamu rencananya pulang kapan?]

     “Ah—enggak, maksudku, urusannya udah selesai sih… jadi aku juga bakal segera—”

     Tiba-tiba, suara Makishima terdengar keras dari balik layar.

     [Ngomong-ngomong, Natsu bakal tinggal di sana selama seminggu, kan?]

     “Hah? Enggak, maksudku aku tuh sebenarnya langsung—ah.”

     Makishima menyeringai dengan ekspresi menyebalkan.

     Wajahnya itu jelas banget bilang, “Kalau kamu enggak nurut, aku bakal langsung kasih tahu kalau kamu lagi sama Rin-chan sekarang juga.”

     Dan Enomoto-san yang di sebelahnya pun ikut-ikutan, menunjukkan tanda V ke arah kamera sambil memamerkan senyuman lebar. Katanya sih dia lagi ikut pelatihan klub musik, bisa jadi ini cuma halusinasi. …Tapi ya mana mungkin juga.

     …Pikirkan baik-baik. Kalau sampai Himari tahu aku lagi di Tokyo dan berduaan sama Enomoto-san? Enggak perlu dipikir panjang sih. Dia aja waktu aku cuma keliatan akrab sedikit sama Enomoto-san udah cemburu setengah mati. Bisa dibayangin lah, hukuman macam apa yang bakal kuterima nanti.

     “……………………Seminggu.”

     Aku pun menyerah.

     Lalu, dengan ekspresi sedikit kecewa… tapi disertai senyum penuh kasih yang jelas-jelas berusaha menenangkan aku, Himari berkata,

     [Soalnya, ini Yuu juga, kan? Kamu pasti pengin lihat-lihat aksesori atau hal-hal keren lainnya di sana? Kakakku juga bilang, pengalaman semacam itu penting, lho. Jadi, aku juga bakal pakai kesempatan ini buat belajar cara melayani pelanggan.]

     “Y-ya… makasih, ya…”

     Sial. Perhatian tulusnya ini malah bikin dadaku terasa sesak…

     Saat aku hampir menangis karena rasa bersalah yang menyerang, Makishima mengambil alih ponsel, dan Himari pun kembali ke dapur. Tepat setelah itu, dia menatapku dengan seringai menyebalkan.

     [Setidaknya, kasih hadiah yang pantas buat Rin-chan karena udah kerja keras bantuin urusan Kureha-san. Kalau begitu, aku juga ada janji kencan nih, jadi... selamat bersenang-senang, ya.]

     Dia langsung menutup sambungan video secara sepihak.

     Aku menghela napas berat dan menoleh ke arah Enomoto-san.

     “…………”

     “…………”

     Enomoto-san menatapku lekat-lekat dengan pandangan penuh harap. Ugh, silau…! Bahkan patung Hachiko di belakangnya pun terasa seperti menatapku dengan mata bulat menggemaskan!

     (…Berbohong pada Himari dan jalan-jalan ke Tokyo? Ini benar-benar dosa besar yang pantas dihukum seppuku…)

     Tapi, Enomoto-san juga adalah sahabat penting bagiku, dan mengabaikan itu jelas bukan pilihan. Dalam kasus Kureha-san pun, Enomoto-san sebenarnya punya banyak pilihan lain selain melibatkanku…

     “Kalau begitu… anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih waktu itu.”

     “Eh!?”

     Seketika wajah Enomoto-san berseri-seri. Rasanya aku bisa melihat bayangan ekor anjing tak kasatmata bergoyang-goyang di belakangnya, berdampingan dengan patung Hachiko!

     “Kalau gitu, yuk, Yuu-kun!”

     Enomoto-san meraih tanganku dan mulai berlari kecil. Langkahku lebih panjang darinya, jadi aku mengikutinya dengan santai.

     Kami menyeberangi scramble crossing bersama, dan saat menoleh ke belakang, Enomoto-san tersenyum sambil berkata “Ehe~.” Wajahnya jelas-jelas berkata semuanya berjalan sesuai rencana, dan itu… benar-benar manis dan curang banget.

     “Yuu-kun pasti bakal bilang gitu, deh.”

     “…Soalnya, aku orangnya gampang ditebak.”

     Saat menengadah, langit terasa sempit.

     Gedung-gedung tinggi dengan layar raksasa yang sulit dibayangkan ukurannya seakan-akan sedang berjinjit, berusaha menjangkau awan.

     Orang-orang bilang udara di Tokyo itu kotor, tapi menurutku, yang terasa lebih kental adalah aroma manusianya. Di mana-mana terlihat kerumunan, sampai-sampai berjalan kaki saja bisa bikin ngos-ngosan.

     Benar-benar kenyataan, ya… Aku sedang berjalan-jalan di kota Tokyo bersama Enomoto-san.

     Dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan, aku terus melangkah menembus lautan manusia.

♣♣♣

     Aku dan Enomoto-san masuk ke sebuah gedung pertokoan yang terletak tak jauh dari scramble crossing.

     Begitu menengok sekeliling lantainya, aku langsung berseru kegirangan.

     “Uwaaah…! Keren banget…!”

     Lantai ini khusus memajang fashion perempuan.

     Sejauh mata memandang—aksesori! Aksesori! Aksesori!

     Mulai dari merek ramah kantong hingga label kelas atas, segala macam pernak-pernik modis dipajang berderet tanpa putus hingga ke ujung lantai. Pemandangannya sungguh menakjubkan.

     Ragamnya pun luar biasa; baru kali ini aku benar-benar sadar betapa banyaknya jenis aksesori wanita. Rasanya seperti masuk ke gua harta karun yang bertabur cahaya. Di kampung halamanku, pemandangan sefantastis ini jelas tak akan kutemui.

     Aku melongok ke toko paling depan.

     Toko ini bernuansa mencolok—sepertinya sasaran utamanya gadis-gadis ceria belasan tahun, macam Himari.

     Hal pertama yang mencolok adalah jumlah barangnya. Deretan kalung yang digantung di sisi lorong berkilau bagaikan air terjun cahaya. Setiap desain berbeda satu sama lain; sulit membayangkan seberapa luas kebutuhan konsumen yang ingin mereka jangkau. Kotak aksesori yang pernah kutata sewaktu SMP terasa seperti permainan anak-anak bila dibandingkan dengan ini. Suatu hari, aku ingin merancang etalase seperti ini juga…

     Kami berpindah ke toko sebelah.

     Toko yang ini punya nuansa yang lebih kalem… atau lebih tepatnya, banyak menjual aksesori dengan kesan mewah. Sepertinya sih, target pasarnya adalah mahasiswa hingga kalangan pekerja.

     Sekilas saja sudah kelihatan modis, tapi kalau diperhatikan lebih seksama, justru makin terlihat stylish—ini curang banget. Mereka enggak pakai elemen-elemen mencolok kayak berlian sebagai pusat perhatian. Hanya cincin kasual untuk penggunaan sehari-hari, tapi desainnya elegan, khas kota besar… pokoknya ini sih, pasti bikin pengen beli.

     Di dalam etalase kaca, berjajar kalung-kalung putih berkilau lembut. Semuanya punya desain yang classy dan cocok untuk suasana formal atau kerja.

     Dan ada satu kesamaan dari semua kalung itu…

     “Platina, keren banget…!”

     “Kalau aksesorimu, yang paling mahal aja masih pakai perak, ya.”

     “Iya, benar. Soalnya harganya beda jauh. Semua aksesori buatanku itu buatan tangan dan cuma satu-satunya, jadi karena bunga awet yang kupakai itu mahal, pakai platina tuh berat banget biayanya…”

     Tergantung kadar dan standar pasarnya juga sih, tapi harga platina bisa berkali-kali lipat dari perak.

     Memang, kalau mau totalitas soal kualitas, pakai platina juga sah-sah aja. Tapi harga aksesori bisa melambung sampai jutaan. Kalau buat pesanan khusus sih masih masuk akal, tapi untuk produk jualan biasa, itu malah enggak masuk kantong klien—ujung-ujungnya jadi sia-sia juga.

     (Wah, yang ini gawat. Aku suka banget…)

     Desainnya simpel dan enggak terlalu mencolok—pasti cocok banget sama gaya Himari. Kayaknya juga bisa dipadukan dengan choker nirinsou miliknya tanpa kelihatan berlebihan.

     Soal harga… wah, gila juga.

     Terus terang, udah bisa ditebak. Dari tampilannya sih memang ditujukan buat dipakai sehari-hari di lingkungan kerja. Tapi serius, para pekerja tuh emang biasa pakai aksesori semahal ini, ya?

     Aku pun buru-buru ambil dompet dan cek isinya.

     …Whoa! Tebalnya nambah! Saku-neesan, mantap! Emang deh, punya kakak itu berkah! Sekalipun kadang menyeramkan… bahkan meski tega bantuin penculikan adiknya sendiri, tetap aja dia rela ngasih dana buat perjalanan ini. Aku beneran bersyukur… eh?

     Ada secarik kertas nyelip. Coba kulihat…

     “Potongan dari gaji kerja paruh waktu semester dua.”

     Dia iblis apa gimana!?

     Diusir ke Tokyo dan diserahkan ke kakak perempuan mengerikan itu tanpa persetujuan, dan sekarang uang jajanku dipotong dari gaji part-time!? Perusahaan eksploitasi pun bakal kalah sadis sama kakakku sendiri!

     Tapi, kalau dipikir-pikir… kalau ini bisa jadi oleh-oleh buat Himari… Enggak, tunggu dulu. Ini kan baru hari pertama dari seminggu ke depan. Apa enggak terlalu buru-buru kalau langsung dipakai sekarang…!?

     Saat aku sendirian bergulat dengan pikiran itu sambil bergumam pelan, aku baru sadar kalau Enomoto-san menghilang. Dia sedang berdiri di sisi lain etalase, memperhatikan sesuatu dengan penuh minat.

     Aku pun mendekat dan ikut mengintip.

     “Ah, yang ini lucu, ya.”

     Itu adalah kalung dengan motif kucing. Seekor kucing yang seolah-olah sedang berusaha sekuat tenaga agar tidak terjatuh—motif yang menggemaskan. Aksesori itu punya sentuhan elegan, tapi tetap menyimpan sisi playful yang manis.

     Enomoto-san tampak sedang menatap dompetnya dengan ekspresi yang persis sepertiku barusan. Harganya… yah, seperti yang diduga. Itu kalung platinum, bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan mudah oleh siswi SMA biasa.

     Saat aku sedang berpikir seperti itu, staf toko tiba-tiba menghampiri.

     “Apakah ada yang menarik perhatian Anda?”

     “Eh!? U-umm, itu, anu…”

     Mendadak disapa oleh mbak-mbak cantik langsung dari Tokyo membuatku panik. Gila, di Tokyo staf toko beneran aktif banget ngajak ngobrol!

     Saat aku mulai menunjukkan gejala akut fobia cewek cantik, Enomoto-san dengan percaya diri menunjuk ke kalung kucing itu.

     “Yang ini, bagaimana?”

     “Oh, itu cukup laris, lho. Kemarin juga sempat terjual satu, dan sekarang tinggal satu-satunya di toko ini.”

     “Uuh…!”

     Tinggal satu…—kata-kata itu membuat ekspresi Enomoto-san tampak meringis menahan godaan.

     Sebagai pecinta hewan peliharaan sejati… atau mungkin karena hewan asli enggak pernah mendekatinya, jadi dia pelampiasannya lewat barang-barang seperti ini. Entah kenapa, aku jadi merasa kasihan.

     Lalu si mbak pramuniaga mendekatiku dan berbisik dengan nada bercanda di telingaku.

     “Menurut saya, kalung itu pasti cocok sekali dipakai pacar manis Anda ini.”

     Mata Enomoto-san langsung berkilat.

     “Ah, eeh, bukan, dia bukan pacar saya. Saya udah punya pacar, jadi dia tuh…”

     “Sekarang sih masih sahabat, tapi nanti juga bakal jadi pacar!”

     Hei, Enomoto-san! Jangan tiba-tiba promosi aneh gitu dong!?

     Aduh, kan jadinya si mbak pramuniaga kelihatan kayak mikir, “Waduh, ini ribet banget ya…” Terus suasananya jadi canggung, dan kami pun buru-buru keluar dari toko itu.

     “Enomoto-san! Yang kayak gitu enggak boleh!”

     “Kenapa?”

     “Soalnya aku enggak ada niat buat putus sama Himari, tahu.”

     “Tenang aja. Nanti juga Hii-chan yang bakal ngasih restu kok.”

     Dia mengepalkan tangan sambil terbakar semangat.

     Hmmm. Omongannya sih berat banget, tapi entah kenapa karena dia ngomongnya seterbuka itu, suasananya malah enggak jadi suram… Hebat juga, ya.

     Sambil turun lewat eskalator dari lantai tadi, aku teringat ekspresi Enomoto-san saat menatap kalung kucing itu. Matanya berbinar-binar, seperti anak kecil yang lagi lihat etalase mainan. Kalau sampai ekspresinya sejelas itu, berarti dia benar-benar suka banget sama kalung itu.

     Tadi di depan patung Hachiko, Makishima sempat bilang…

     “Setidaknya berikan hadiah atas usahanya, karena sudah membantu dalam urusan Kureha-san.”

     Yah… dia benar juga, sih.

     Bukan cuma soal Kureha-san. Sebelumnya pun, waktu aku bertengkar sama Himari, Enomoto-san juga yang menolongku. Aku belum benar-benar membalas kebaikannya itu.

     (Tapi… kalung itu, gimana ya…?)

     Bahkan buat Himari pun aku belum pernah beliin yang seperti itu.

     Terus terang, untuk seseorang yang hanya kupandang sebagai teman, hadiah ini rasanya terlalu berlebihan… Tapi kalau soal “berat atau enggaknya,” kayaknya udah enggak ada gunanya diperdebatkan sekarang. Meski begitu, memberi hadiah seperti itu di usia SMA… yah, ini juga kayaknya udah bukan waktunya buat memikirkan itu.

     Aku sudah memilih Himari sebagai kekasihku.

     Tapi bukan berarti aku boleh mengabaikan Enomoto-san, yang juga berharga bagiku.

     “...Enomoto-san, tunggu sebentar di bawah, ya.”

     “Hah? Oh, oke.”

     Setelah meninggalkan Enomoto-san yang sedang sibuk mencari sesuatu di ponselnya, aku kembali naik ke lantai aksesori.

     Dengan pipi memanas karena tatapan si mbak pramuniaga yang seolah berkata, “Aduh~♡”, aku membeli kalung kucing tadi. Dia sempat menawari kartu ucapan (untuk pasangan), tapi itu jelas kutolak mentah-mentah.

     Setelah selesai dibungkus, aku buru-buru kembali ke tempat Enomoto-san menunggu. Tapi saat sampai di pintu keluar gedung, sosoknya tak terlihat.

     (...Hah? Ke mana perginya?)

     Panik, aku menoleh ke sekeliling. Lalu melihatnya di seberang, di sebuah toko es krim yang tampilannya stylish. Dia kembali dengan wajah senang sambil membawa dua cup es krim di tangan. Es krim vanilanya memanjang seperti belalai gajah dan disiram saus stroberi.

     “Aku pilih yang kira-kira kamu suka, semoga cocok ya?”

     “Wah, makasih!”

     Di musim panas seperti ini, es krim dingin dan lembut terasa begitu nikmat.

     Memang, Tokyo beda level. Cup es krimnya saja kelihatan super gaya dan rasanya juga rich banget. Kami berdua pun larut dalam kenikmatan es sambil berseru, “Enaaaak…♡” menikmati musim panas bersama—eh, maksudnya, kami jadi terlalu fokus sama es krim sampai lupa tujuan awal.

     Setelah menghabiskan es krimnya, Enomoto-san berseru penuh semangat.

     “Yuu-kun, ayo ke tempat berikutnya!”

     “Ah, iya...”

     Aku merasa sudah kehilangan timing-nya... Sambil berpikir begitu, aku menyelipkan kotak berisi kalung yang sudah dibungkus rapi itu ke dalam saku jaket hoodie-ku.


♣♣♣

     Bermodalkan panduan dari Google Maps, kami akhirnya tiba di sebuah kafe.

     Dari luar, tempat ini memancarkan nuansa retro yang cukup kental. Melihat betapa semangatnya Enomoto-san, aku menduga mungkin kami akan mencicipi kudapan manis yang sedang hits di Tokyo.

     “Yuu-kun, yuk masuk.”

     “U-uh, iya... Benar juga, ya...”

     Sambil berpikir kalau aku haus banget, aku pun mengikutinya masuk. Saat pintu masuk terbuka, lonceng kecil di atasnya berbunyi cling-cling. Seorang pramuniaga yang tampak imut langsung menyambut kami.

     “Selamat datang~. Untuk berdua, ya. Silakan ke sini~.”

     Begitu kami dipersilakan masuk dan melangkah ke dalam, barulah aku menyadari kenyataan yang sebenarnya.

     Ada banyak banget kucing!

     Interior kafenya dipenuhi nuansa ala era Showa. Dari langit-langit tergantung banyak tempat tidur kucing, dan di atasnya tampak beberapa ekor kucing yang tengah bersantai. Mereka semua memandangi kami dengan tatapan penuh perhatian.

     Saat itu juga, aku memahami maksud sebenarnya dari Enomoto-san.

     Dengan kata lain, tempat ini rupanya adalah yang disebut kafe kucing. Di kampung halamanku, konsep seperti ini justru termasuk langka. Soalnya, kucing liar berkeliaran di mana-mana, jadi ya... tinggal lihat aja di jalan.

     (Perjalanan kali ini penuh dengan anjing dan kucing, ya...)

     Sambil mengangguk-angguk setuju dalam hati, aku pun duduk di kursi bersama Enomoto-san. Kebetulan saat itu lewat tengah hari di hari kerja, jadi suasana kafe cukup lengang.

     Enomoto-san menatap para kucing yang bergelantungan di atas dengan tatapan berbinar.

     “Yuu-kun! Banyak banget ya, lucu-lucu semua!”

     “Iya, benar juga…”

     “Ah, lihat tuh! Yang itu! Dia ngeliatin aku!”

     “Itu karena mereka biasanya tertarik sama hal-hal yang bergerak, sih...”

     Semangatnya benar-benar luar biasa. Tapi sebagai orang yang punya kucing di rumah, jujur aja aku enggak terlalu terbawa suasana—dan agak ngerasa bersalah soal itu.

     “Enomoto-san, tempat ini yang kamu cari di internet tadi, ya?”

     “Benar banget. Aku udah mutusin dari awal kalau aku harus ke sini.”

     Sambil mengepalkan tangan erat-erat, ia menyuarakan tekadnya dengan penuh semangat.

     “Karena aku yakin... di sini pasti ada kucing-chan yang suka sama aku!!”

     Enomoto-san pun menyala-nyala dengan semangat yang... entah kenapa justru terlihat menyedihkan. …Jangan-jangan, dia masih kepikiran karena kucingku, Daifuku, kelihatan menghindarinya, ya?

     Dengan senyum penuh kebahagiaan, Enomoto-san mengamati para kucing satu per satu.

     “Ah, keren! Banyak jenis yang enggak mungkin kelihatan kalau cuma kucing liar. Lihat deh, ekspresi cueknya si Ragdoll ini tuh lucu banget. Scottish Fold… telinganya yang melipat itu bikin pengin dielus-elus. Munchkin dengan mata bulat itu mirip Yuu-kun banget... Persia, kamu manis banget, Persia…”

     “Enomoto-san, Enomoto-san! Mbak pelayannya udah nunggu dari tadi buat ambil pesanan. Sini dulu dong, Enomoto-san!!”

     Enomoto-san yang sudah seperti melayang ke dunia lain membuat sang pramuniaga jadi kikuk sendiri. Meski dia lagi gemes banget sama kucing-kucing itu dan terlihat imut juga, tapi untuk saat ini, pesan makanan dulu deh.

     Aku membuka buku menu dan memesan minuman serta kue yang direkomendasikan. Saat itulah, aku tanpa sengaja melihat ada bagian berjudul "Camilan".

     “Permisi, maksudnya ‘camilan’ ini… apa, ya?”

     “Itu camilan khusus untuk para kucingnya, ya.”

     …Jadi maksudnya ini semacam sistem donasi buat kucing, gitu.

     Karena Enomoto-san langsung menatapku dengan pandangan penuh harap, aku pun tak tahan oleh tekanannya dan menambahkan camilan itu ke pesanan. Tapi kemudian, pelayan toko malah menawarkan paket yang lebih menarik.

     “Untuk pasangan, kami sangat merekomendasikan Paket Bertransformasi Jadi Kucing ini, lho.”

     Wah, kedengarannya sesuatu yang bakal langsung menarik perhatian Enomoto-san… Dan benar saja, matanya langsung berbinar penuh minat!

     “Kami pilih yang itu, ya!”

     “Baik, akan segera kami siapkan~♪”

     Ugh… bahkan belum sempat nanya itu isinya apa aja…!

     Sementara itu, Enomoto-san sibuk membidik ke arah langit-langit dengan kameranya, memotret para kucing dari segala sudut dengan semangat menggebu.

     “Waaah, aku enggak sabar banget!”

     “Yah… selama Enomoto-san senang sih, enggak masalah…”

     Tak lama kemudian, pesanan kami diantar ke meja. Aku memesan kopi, sementara Enomoto-san memilih teh. Lalu ada juga camilan untuk kucing… dan—kami berdua sontak berseru saat melihat benda yang terletak manis di sudut nampan.

     “Apa ini!?”

     “Wah, lucu banget!”

     Tak salah lagi, itu adalah bando telinga kucing. Jenis yang biasanya dijual di toko serba seribu menjelang Halloween sebagai aksesori lelucon. Saat kami masih tertegun menatapnya, pelayan toko tersenyum sambil menunjuk bando itu.

     “Silakan dipakai di kepala, lalu tunjukkan ke kucing-kucingnya bahwa kalian ‘teman sesama kucing’, ya~”

     Sambil berkata begitu, ia mencontohkan dengan melipat kedua lengannya seperti kaki depan kucing dan berseru, “Nyaa~ nyaa~♪”

     Sekilas, aku membayangkan diriku melakukan hal yang sama… dan langsung kehilangan semangat. Siapa juga yang mau lihat cowok pakai telinga kucing!?

     Ini sih, Enomoto-san pasti juga bakal ilfeel banget sama ide ini…

     “Yuu-kun. Ayo kita coba.”

     “Seriusan? Kok semangat banget sih…”

     “Soalnya kita udah pesan juga. Kalau enggak dipakai, nanti malah ngerepotin orang tokonya.”

     Enomoto-san memang tipe yang ekspresinya susah ditebak, tapi diam-diam dia kayaknya suka hal-hal begini, ya. Dengan sigap, dia mengenakan bando telinga kucing itu, lalu menirukan pose si pelayan tadi—melipat pergelangan tangannya ke depan seperti cakar.

     “Nyaa~ nyaa~”

 


    Gelang Gekka Bijin di pergelangan tangan kiri Enomoto-san berkilau dengan indah.

     "…………"

     Sesaat, otakku seakan berhenti bekerja.

     Karena tidak bisa langsung bereaksi, aku hanya terdiam. Sementara itu, wajah Enomoto-san semakin memerah. Ia pun menunduk, lalu meraih headband kucing di kepalanya.

     “...Kayaknya mending aku lepas aja.”

     “Maaf! Maaf! Bukannya enggak cocok, cuma... karena beda banget sama image kamu biasanya dan... terlalu imut sampai aku jadi enggak bisa ngomong apa-apa! Seriusan, kamu benar-benar cocok banget!”

     Aku buru-buru menahannya, dan Enomoto-san menatapku dari bawah dengan mata memohon, seolah bertanya, “Beneran...?”

     Aku langsung mengangguk sekuat tenaga, kepalaku naik turun cepat-cepat.

     Melihat itu, Enomoto-san tersenyum malu sambil berkata, “Ehe.” Enomoto-san yang sedang terbawa suasana liburan ini juga... lucu banget sampai bikin gemas. …Dan tolong, reaksi mbak pramuniaga yang keliatan kayak bilang “Aduh, manisnya cinta pertama~ ♡” itu bener-bener bikin malu. Bisa enggak jangan kayak gitu?

     “Kalau boleh, apakah kalian ingin saya bantu fotokan?”

     “Y-ya. Tolong, ya...”

     Toh cuma ada bertiga di sini, jadi kalau aku sendiri enggak ikut, rasanya kayak enggak ngerti suasana banget… Akhirnya aku juga pakai bando kuping kucing itu, dan Enomoto-san memotretnya pakai ponselnya—klik terdengar bunyi jepretan.

     Lalu kami mengecek hasil fotonya… Uwaaah, ini beneran memalukan banget! Kami berdua sama-sama pose "nyan-nyan" dengan ekspresi total. Sementara aku udah malu setengah mati, Enomoto-san tampak senang sekali menghias fotonya dengan stiker dan filter lucu-lucu.

     “Yuu-kun, aku kirim ke LINE kamu juga, ya!”

     “M-makasih…”

     Yaa… aku sih enggak masalah, tapi Enomoto-san tuh imut, jadi fotonya masih bisa dimaafkan. …Tapi yang ini, harus banget dijaga jangan sampai Himari lihat.

     Oke, tapi cukup soal itu. Sekarang waktunya hal yang sebenarnya.

     Aku juga diam-diam lumayan menantikan ini. Soalnya, Daifuku di rumah malah enggak pernah mau deket-deket sama aku. Aku pun mengangkat camilan kucing yang disediakan, lalu mencoba menarik perhatian para kucing yang sedang bersantai di tempat tinggi.

     “Hei, lihat nih, ada camilan~”

     “Neko-chaaaan~ Sini, ayo~ ♪”

     Saat itu juga, mata para kucing langsung bersinar tajam… atau setidaknya rasanya begitu. Lalu mereka bangkit, dan satu per satu meluncur turun dari atas dengan lompatan yang lincah!

     Belum sempat aku menjerit “Gyaaah!”, camilan di tanganku langsung disambar. Kucing yang berhasil merebutnya itu dengan cekatan melesat ke lantai, lalu kabur dan bersembunyi di pojokan.

     “…………”

     Mana bulu-bulunya!?

     Bukannya biasanya, sebagai gantinya ngasih camilan, kita boleh elus-elus mereka, ya!? Aku bengong, lalu menoleh ke arah Enomoto-san.

     “Eh, Enomoto-san. Kucing-kucing di sini lumayan agresif juga ya—uwaaaahh!?”

     Sekarang giliranku yang menjerit.

     Enomoto-san dikerubungi sekumpulan kucing! Mereka menjilat-jilat dia dengan semangat luar biasa! Saking banyaknya, wajah Enomoto-san saja enggak kelihatan. Dia sudah bukan Enomoto-san lagi, tapi gumpalan bulu berbentuk Enomoto-san.

     Sementara aku terpaku, para kucing itu akhirnya selesai melahap camilan dan perlahan menjauh. Dengan lincah mereka naik ke catwalk dan kembali ke ranjang-ranjang gantungnya.

     Sementara itu, Enomoto-san yang habis dijilat habis-habisan kini tampak memutih sepenuhnya. Tapi ekspresinya malah terlihat damai—seakan tanpa penyesalan sedikit pun. Lalu sambil menatapku, ia tersenyum tipis dan berkata:

     “Yuu-kun. Aku mau tinggal di sini, ya……”

     “Enggak boleh, dong!?”

     Setelah tiga kali menikmati waktu ngemil paling hakiki bareng para kucing, kami pun akhirnya meninggalkan kafe tersebut.

♣♣♣

     Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah sebuah gedung pencakar langit yang berdiri tepat di atas Stasiun Shibuya. Landmark baru yang terkenal sebagai ikon terbaru Shibuya. Kabarnya, gedung ini juga memiliki jumlah tenant terbanyak di kawasan sekitarnya.

     Dengan mengandalkan peta petunjuk, aku dan Enomoto-san naik lift menuju ke atas. Tujuan kami adalah fasilitas observasi di atap gedung pencakar langit itu.

     Begitu kami tiba di area observasi terbuka yang dikelilingi dinding kaca, pemandangan kota Tokyo langsung terbentang luas di depan mata.

     Melihat ke bawah dari bangunan tertinggi di daerah ini benar-benar spektakuler—seolah-olah kami sedang berjalan di atas langit.

     “Waaah—!”

     “Keren banget!”

     Kami berdua sama-sama berseru sambil menatap ke luar dari balik pembatas kaca. Aku nyaris saja berteriak “Yahhoo!” seperti anak kecil, tapi untunglah akal sehatku masih menang. Soalnya, itu bakal kelihatan norak banget, kayak orang kampung baru pertama kali ke kota…

     Tergantung musimnya, area terbuka ini juga sering jadi lokasi berbagai event seperti pertunjukan musik dan yoga. Terus terang, aku cukup tertarik. Kalau nanti ke Tokyo lagi, aku mau cek jadwal acaranya juga.

     Scramble Crossing yang tadi kami lewati tampak mungil seperti miniatur kota. Tapi karena terlalu membungkuk bisa bahaya, aku pun hanya menikmati pemandangan dari ketinggian secukupnya.

     “Yuu-kun, katanya sekarang lagi ngetren lho selfie di tempat ini.”

     “Ah, begitu ya. Memang kelihatan seru juga.”

     Begitu katanya, lalu Enomoto-san mengarahkan kamera ponselnya.

     Hari ini saja, sudah entah berapa kali kami berfoto bersama. Aku pun mulai terbiasa, dan kini tidak terlalu canggung lagi saat difoto. Bahkan sudah terbiasa ketika dia menempelkan pipinya ke pipiku...

     Dengan langit luas kota besar sebagai latar, sesi foto kenangan pun berlangsung dengan lancar. Kulihat, para pengunjung lain juga sibuk mengambil foto mereka sendiri dengan semangat yang sama.

     “Selanjutnya di sana.”

     “Eh? Masih mau foto lagi?”

     “Kita keliling area observasi ini sambil foto-foto.”

     Begitu ya. Kedengarannya memang menyenangkan.

     Kami melangkah menyusuri jalur pejalan kaki, sambil mengambil foto di berbagai titik. Tak hanya latarnya yang berbeda-beda, aku yang sudah mulai terbiasa dengan selfie pun jadi berani berpose dengan lebih ekspresif.

     Lalu, Enomoto-san mengganti mode kamera ke video, dan tiba-tiba menyuruhku melakukan hal yang tidak masuk akal.

     “Yuu-kun. Sampaikan pesan buat Hii-chan yang lagi di kampung sana, yuk.”

     “Eh? Maksudnya gimana?”

     “Enggak apa-apa, kan? Kalau kamu bilang ‘aku sayang kamu’ dengan latar pemandangan ini, Hii-chan pasti senang banget.”

     Penuh kecurigaan. Jarang-jarang banget Enomoto-san ngomong kayak begini, pasti ada maksud tersembunyi di baliknya...

     …Tapi, ya?

     Apa yang dia bilang memang ada benarnya juga. Dengan latar seromantis ini, bilang ‘aku sayang kamu’ kayaknya bakal jadi sesuatu yang menyenangkan. Dan Himari itu, pasti tipe yang suka hal-hal begini.

     Aku berdeham pelan. Mungkin karena euforia di bawah langit luas Tokyo, aku pun menatap kamera di ponsel Enomoto-san, dan mulai berbicara.

     “Ehm, maaf ya karena ninggalin kamu di kampung. Ini di area observasi gedung tinggi di Shibuya. Pemandangannya keren dan rasanya nyaman banget di sini. Aku berharap suatu hari nanti kita bisa datang bareng. Pas aku balik nanti, aku bakal langsung ketemu kamu. Walau kita lagi berjauhan, Hima—”

     “Rion.”

     “—aku sayang kamu.”

     Piron!—rekaman pun selesai.

     "…………"

     "…………"

     Kami saling menatap dalam diam, tanpa ekspresi.

     Setelah menarik napas panjang, aku akhirnya memecah keheningan itu.

     “Hei! Enomoto-san! Jangan asal ganti nama di momen penting gitu dong!”

     “Yuu-kun, waspadalah setiap saat.”

     Enomoto-san mengacungkan jempol penuh rasa puas, seolah baru saja menyelesaikan misi besar. Tolong hentikan, jangan putar ulang video itu yang isinya ‘meskipun kita berjauhan, aku sayang kamu, Rion’!

     Aku pun menutupi wajahku, tersadar sepenuhnya bahwa aku baru saja membuat kenangan hitam yang benar-benar segar dan memalukan.

     “Enomoto-san… kamu sudah jadi anak nakal…”

     "Aku memang dari awal bukan anak baik, kok."

     Sial, Enomoto-san dalam mode gadis kecil nakal juga tetap saja menggemaskan...

     Kami pun masing-masing merebah di hammock luar ruangan yang disediakan di fasilitas itu. Matahari terasa dekat dan sedikit terik, tapi anginnya cukup menyejukkan.

     Tanpa sengaja, saat aku memasukkan tangan ke saku jaket, jariku menyentuh sesuatu—kotak hadiah yang terbungkus rapi. ...Oh iya, aku belum sempat memberikan ini.

     Aku mengeluarkannya, lalu menyerahkannya ke hammock di sebelah.

     “Enomoto-san, ini...”

     “Eh?”

     Kotak hadiah dari toko aksesori itu. Dibungkus cantik dengan kertas kado, dan saat dibuka, mata Enomoto-san langsung berbinar.

     “Kucingnyaaa!”

     Dia menatapku lekat-lekat seolah berkata “Kenapa? Kenapa kamu kasih ini!?” dengan ekspresi penuh tanda tanya. Ekornya yang tak terlihat pun seolah sedang bergoyang-goyang heboh, dan malah aku yang jadi malu sendiri.

     “Eh, soalnya... kejadian waktu yang sama Kureha-san, aku belum ngucapin terima kasih dengan benar. Dibilang ‘ikut liburan bareng itu ke Tokyo udah cukup’ tuh kayak... enggak kerasa cukup aja. Jadi kupikir, mumpung ada kesempatan... terima kasih karena udah jadi teman penting buatku.”

     Di siang bolong begini aku malah ngomong hal super memalukan, dan sekarang wajahku rasanya panas banget…

     Tiba-tiba saja, Enomoto-san berpindah ke hammock milikku. Jarak kami jadi sangat dekat, membuat jantungku berdebar kencang. Ia mengeluarkan kalung kucing itu dari kotaknya dan menyerahkannya padaku dengan senyum bahagia.

     “Yuu-kun, tolong pakaikan?”

     “Ah, iya.”

     Aku menyelipkan tangan ke belakang leher Enomoto-san. Sambil berpikir eh, kaitannya di mana, ya…, tiba-tiba aku bisa merasakan hembusan napas hangatnya dan sontak tubuhku menegang.

     …Pose seperti ini, bahaya banget.

     Begitu aku menurunkan pandangan, mata kami bertemu—wajah Enomoto-san tampak malu-malu. Aku buru-buru memalingkan wajah. Tapi—kenapa pengaitnya enggak bisa masuk sih? Tanganku gemetaran karena gugup.

     Tenang… tenang dulu. Astaga, dada Enomoto-san hampir menyentuhku, bahaya. Tapi kalau aku terlalu mundur, kalungnya malah nggak bisa dipasang… Oke, akhirnya berhasil!

     “Enomoto-san, sudah selesai kok… Eh?”

     Entah sejak kapan, tangannya melingkari punggungku. Telapaknya menyentuh lembut tulang belikatku, dan perlahan ia mendekatkan wajahnya padaku. Matanya berkilau lembap.

     “Aku… senang banget…”

     “……!?”

     Gawat.

     Kita sedang ada di fasilitas observasi atap gedung. Barusan ngasih hadiah yang agak spesial. Suasananya super romantis. Dan firasat burukku pun jadi kenyataan—Enomoto-san, seolah terbawa suasana, berbisik dengan penuh hasrat:

     “Kenangan musim panas.”

     “Enggak. Enggak boleh. Sama sekali enggak boleh.”

     “Kan ini ciuman persahabatan.”

     “Itu budaya dari mana, sih? Kita ini lagi di Jepang, tahu!”

     “Aku bakal tutup mulut, kok.”

     “Kenapa jadi makin terdengar enggak bener sih!?”

     Enomoto-san akhirnya kehilangan kesabaran dan mendekatkan wajahnya. S-sungguhan mau dilakuin!?

     Aku terpaku menatap wajah cantiknya. Kalau dipikir-pikir lagi, dia memang cantik banget. Di Shibuya pun, meski banyak cewek cantik, enggak ada satu pun yang membuatku berpikir, “aku pengin dia jadi model aksesori buatku,” selain Enomoto-san. Di pergelangan tangan kirinya yang memegangku erat, gelang Gekka Bijin tampak seolah mengawasi kami dari belakang… entah kenapa aku merasa begitu.

     “Yuu-kun…”

     “!?”

     Begitu namaku dipanggil, aku langsung siuman. Dengan panik, aku menyelipkan tangan kiriku ke antara wajah kami. Bibir Enomoto-san pun mugyuu tertahan oleh telapak tanganku. …Lembut banget, barusan.

     Sambil memalingkan wajah yang sudah panas, aku bergumam pelan menolak.

     “Y-ya… itu bukan sesuatu yang dilakukan sahabat…”

     “……Muu~”

     Jangan gitu dong, Enomoto-san. Meski kamu manyun kayak bilang “cheh,” itu tetap aja enggak boleh…

     “Selama perjalanan ini, kita tetap sahabat. Kalau enggak, aku sungguhan bakal pulang ke kampung.”

     “Baiklah. Aku tahan jadi sahabat aja.”

     …Benarkah?

     Kalau selama seminggu ke depan terus begini, rasanya naluri ini bisa benar-benar kacau—begitu pikirku, seolah itu masalah orang lain.

♣♣♣

     Sekitar lewat pukul enam sore, kami pun tiba di Stasiun Suidōbashi.

     “Tokyo Dome…”

     “Besar banget…”

     Stadion kandang Yomiuri Giants yang terkenal itu. Memang pernah lihat di televisi, tapi saat melihat langsung, kesan megahnya benar-benar beda. Serius, rasanya seperti sedang menatap kapal perang luar angkasa yang tiba-tiba muncul di langit dalam film sci-fi. Tentu saja, aku dan Enomoto-san langsung ambil swafoto buat kenang-kenangan.

     Kami berjalan menyusuri area luar Tokyo Dome City yang seperti dikelilingi dinding kastel, sambil menuju tujuan kami yang kabarnya ada di sekitar situ.

     “Hotel yang dipesankan Kureha-san itu dekat sini, ya?”

     “Iya. Katanya di sana.”

     Yang ditunjuk Enomoto-san adalah sebuah hotel raksasa yang menjulang seakan hendak menusuk langit.

     Uwaaah, gawat… Aku sempat mengira kami akan menginap di hotel bisnis biasa seperti yang ada di kampung halamanku, jadi langsung kaget saat melihat wujud aslinya.

     Kami pun melakukan check-in di lobi hotel yang terang dan berkilau. Seorang petugas hotel wanita menyambut dan mengantar kami. Kami masuk ke dalam lift yang bersih dan harum, lalu meluncur naik ke lantai atas.

     Aku dan Enomoto-san saling berbisik pelan-pelan.

     “Ini hotelnya kelihatan mahal, ya. Kira-kira perlu ngasih tip enggak, ya?”

     “Aku juga enggak tahu. Soalnya aku cuma bilang ke Onee-chan buat pesenin tempat yang bagus…”

     Mendengar itu, petugas hotel wanita tadi tersenyum lembut.

     “Biayanya sudah termasuk dalam tarif kamar, jadi tidak perlu khawatir.”

     “Ah, maaf… Terima kasih…”

     Rasanya agak malu juga.

     Sebagai murid SMA dari kampung, berada di tempat semewah ini memang bikin gugup. Tak lama kemudian, lift sampai di lantai tujuan dan kami pun keluar.

     (…Hah!?)

     Pemandangan kota Tokyo yang terbentang luas dari jendela langsung membuatku terpaku di tempat.

     Saat aku melihat sekeliling, terlihat para pria dewasa bersetelan jas mahal dan para karyawan kantor yang tampak menikmati waktunya dengan tenang. Dekorasi yang berkilauan, karpet super lembut, lounge privat yang bersih, dan counter bar minuman yang rapi… Ini jelas bukan hotel kelas rakyat jelata.

     Dalam perjalanan menuju kamar, aku akhirnya tak tahan dan bertanya pada petugas hotel.

     “Eh, kami sebenarnya enggak tahu apa-apa soal ini… Emang beneran boleh nginep di sini!?”

     “Ya. Kami menerima reservasi dan pesan dari Enomoto-sama.”

     Dengan tenang, petugas hotel itu menyampaikan pesannya.

     “‘Untuk Yuu-chan, sahabat terbaik adikku~ Ini adalah layanan super istimewa dariku, kakaknya~ Menyenangkan sahabat adikku adalah kewajiban seorang kakak, tahu~ Soal uang enggak usah dipikirin~ Bikin banyak kenangan seru bareng Rion, ya~☆’ …Begitu katanya.”

     “Ah… begitu, ya…”

     Bagian “sahabat” yang terlalu ditekankan memang agak mencurigakan, tapi gaya bicaranya benar-benar khas Kureha-san. Dan entah kenapa, si Mbak hotel ini menirukannya dengan sangat mirip, sampai aku nyaris terkecoh.

     Akhirnya, kami dibawa masuk ke kamar.

     “Ini adalah suite room Anda. Selamat menikmati masa inap Anda.”

     “Waaah~~!”

     Luasss banget!

     Ruang tamunya saja terasa lebih besar daripada minimarket dekat rumahku. Ada meja dan sofa stylish yang ditata apik. Bahkan ada dapurnya juga—ini lebih mirip rumah mewah daripada hotel biasa.

     Pemandangan kota Tokyo dari jendela pun luar biasa. Rasanya seperti berada di atas awan. Di sudut ruangan, bahkan ada grand piano. Pantas saja hotel ini direkomendasikan oleh seorang model ternama.

     Dengan kosakata anak SMA, rasanya aku enggak bisa menjelaskan lebih dari ini. Yang jelas, kamarnya supermewah dan bikin aku sama Enomoto-san kegirangan setengah mati.

     “Punya sahabat itu luar biasa banget!”

     “Sahabat itu luar biasa banget!”

     Kamar mandinya juga luas!

     Ruangannya dilapisi batu putih yang mengilap, benar-benar seperti istana. Bisa menginap di tempat seperti ini, rasanya aku bersyukur banget sudah datang ke Tokyo.

     Aku dan Enomoto-san melakukan high five tanpa alasan jelas. Memang agak aneh sih, tapi toh enggak ada yang lihat! Jadi ya, bodo amat!

     “Gila! Jadi sahabat itu luar biasa!”

     “Iya, sahabat itu luar biasa banget!”

     Sungguh luar biasa.

     Aku bersyukur bisa jadi sahabatnya Enomoto-san... eh, jangan salah paham. Kalau ngomong gitu kesannya jadi kayak mata duitan. Tapi serius, ini perjalanan yang enggak mungkin bisa dialami oleh murid SMA biasa. Aku bersumpah akan mengingat pengalaman ini seumur hidup!

     “Hm? Pintu yang ini ke mana, ya?”

     “Mungkin kamar tidur?”

     Oh iya, sekarang dipikir-pikir, memang belum kelihatan ruang tidurnya.

     Sebagai suite room, wajar sih kalau kamarnya banyak banget. Serius, ini bahkan terasa kayak rumah yang bisa ditinggali satu keluarga. Kami berdua membuka pintu itu dengan hati riang.

     Dan… terpampang jelas sebuah ranjang double size yang super besar.

     ““INI ENGGAK COCOK BUAT SAHABAT!!””

     Aku dan Enomoto-san menjerit bersamaan.

     Tunggu dulu—kalau dipikir-pikir, ini jelas-jelas berarti kami bakal menginap sekamar, kan!? Karena terlalu terpukau sama kemewahan hotel ini, aku jadi enggak sadar akan hal yang cukup serius!

     Saat aku cuma bisa membeku dengan kepala kosong, Enomoto-san buru-buru mengeluarkan ponselnya dalam kepanikan.

     Kureha-san langsung menjawab panggilan video. Sepertinya dia sedang menikmati pijatan di salon kecantikan mewah. Dalam keadaan tengkurap tanpa busana di atas ranjang, dia melambai ke arah kamera. Pemandangan itu terlalu menyilaukan, jadi aku cepat-cepat mengalihkan pandangan.

     “Onee-chan! Hotel ini kenapa sih!?”

     [Eh~? Soalnya Rion minta hotel yang bagus, kan~?]

     “Bagus sih, tapi ini kan kamarnya double!”

     [Ufufu. Masih bisa kaget soal begituan, Rion ternyata polos juga ya~☆]

     Enomoto-san mengembungkan pipinya sambil gemetar karena marah. Tapi karena Kureha-san sedang berada di tempat yang tak terjangkau oleh cengkeraman Iron Claw-nya, dia tampak sepenuhnya santai.

     “Um, Kureha-san…”

     [Yuu-chan, ada apa sih~?]

     “Masalahnya... cowok-cewek nginep satu kamar tuh...”

     [Tapi kalian kan sahabatan~? Kalau gitu enggak masalah dong~? Kalian enggak mungkin kepikiran buat ngelakuin hal-hal mesum, kan~?]

     “Ugh…”

     Kalau mempertimbangkan hubungan kami sekarang, itu ucapan yang agak sulit untuk disanggah.

     Jelas aja—mana mungkin aku enggak kepikiran sedikit pun. Sudah pasti setidaknya sedikit bakal sadar kalau sekamar sama cewek. Yah... seperti yang kuduga, orang ini masih belum move on dari kegagalan ngajak Himari.

     [Soalnya waktu itu~, aku beneran terharu ngelihat betapa eratnya ikatan kalian pas berhasil ngeyakinin Himari-chan~☆ Jadi anggap ini hadiah dariku, terima aja ya~♡]

     Dan diikuti dengan senyuman yang luar biasa jahat. Seolah-olah dia ingin berkata, “Apa kamu kira aku bakal membiarkan semuanya berlalu begitu saja?” Sambil bertopang dagu di dekat bantal ranjang salon, dia menambahkan kalimat penutup dengan nada mengejek:

     [Waktu liburan musim panas ini selesai~... apa Rion masih bisa tetap sahabatan denganmu, ya~♪]

     “A—eh, tunggu…!?”

     Sambungan pun diputus sepihak.

     Aku mencoba menelepon ulang beberapa kali, tapi tidak diangkat sama sekali. Pada akhirnya, suara otomatis penolakan panggilan pun terdengar.

     “…………”

     “…………”

     Seketika, suasana yang tadi penuh semangat berubah jadi super canggung. Enomoto-san duduk di sofa sambil menunduk lemas.

     “Maaf ya… atas ulah kakakku…”

     “Enggak, kayaknya Saku-neesan juga ikut-ikutan, sih…”

     Kalau dua orang itu udah kerja sama, mana mungkin kita bisa menyadarinya. Bahkan Makishima pun mungkin enggak nyangka ini bakal terjadi.

     Dengan tangan mengepal dan tubuh gemetar, Enomoto-san berujar lirih, nyaris seperti menggeram.

     “Onee-chan… kalau ketemu nanti, bakal aku tambahin lima kilo lewat whole cake sampai dia nyerah…!”

     “Jangan bilang yang kejam-kejam begitu, dong……”

     Saat aku masih bingung harus bagaimana, Enomoto-san tiba-tiba berdiri dengan wajah yang menunjukkan tekad bulat. Ia mengepalkan tangan dan berteriak, seperti sudah pasrah.

     “Yuu-kun! Ayo kita lepas stres!”

     “Lepas stres? Ke mana?”

     Tanpa menjawab, dia langsung memeluk koper dan masuk ke kamar tidur, lalu menutup pintunya. Sepertinya dia sedang berganti pakaian? Aku bisa mendengar suara kain bergesekan dan itu malah bikin jantungku berdebar. Dan kemudian—pintu terbuka dengan keras!

     “Ayo, berangkat!”

     Begitu melihat penampilan Enomoto-san, aku langsung bengong.

     Entah kenapa dia mengenakan T-shirt santai dan celana jins. Di bahunya tergantung handuk besar. Penampilan Enomoto-san yang benar-benar santai seperti ini juga kelihatan imut banget, tapi yang jadi pertanyaan adalah benda yang dia bawa di tangannya.

     Itu lightstick. Tongkat bercahaya yang biasanya dipakai di konser.

     “Enomoto-san… itu apa?”

     “Ah, ini buat kamu, Yuu-kun.”

     Dia menyerahkan sebuah lightstick padaku. Pas banget di tangan—genggamannya enak dan mantap.

     Tapi, benda ini mau dipakai buat apa? Saat aku memiringkan kepala, masih bingung, Enomoto-san berkata dengan wajah penuh antusias.

     “Tempat yang akan kita datangi ini adalah tanah suci bagiku.”

     “……Hah?”

     Jawaban atas kebingunganku itu, tak butuh waktu lama untuk terungkap.

♣♣♣

     Korakuen Hall.

     Itulah nama gedung pertunjukan yang terletak di dalam area Tokyo Dome City. Bertempat di lantai lima Gedung Korakuen Hall, tempat ini memiliki kapasitas hingga dua ribu orang, dengan ring berbentuk persegi tepat di tengah ruangan. Para penggemar gulat profesional dan tinju dari seluruh penjuru negeri berkumpul di sini.

     Singkatnya, ini adalah arena ternama untuk pertarungan olahraga bela diri. Malam ini, sebuah pertandingan gulat profesional tengah digelar.

     Duduk di barisan terdepan, tepat menghadap ring, aku dan Enomoto-san menyaksikan pertandingan dengan perasaan canggung karena kami tampak benar-benar tidak cocok berada di sana. Dua orang anak SMA duduk di deretan paling depan sambil melambai-lambaikan lightstick tentu saja menarik perhatian. Bahkan sejak tadi, staf-staf panitia tampak melirik kami berulang kali.

     “Enomoto-san, kamu suka pro wrestling, ya…”

     “Iya. Aku udah nonton sejak masih SD.”

     Begitu, ya. Sedikit mengejutkan... atau sebenarnya tidak juga? Soalnya teknik Iron Claw yang sering ia pakai ke Himari itu gerakannya terlalu rapi untuk ukuran gaya bertarung karangan sendiri.

     Di atas ring, seorang pegulat bertopeng mencolok seperti yang sering kulihat di komik tengah menyerang lawannya—seorang pegulat berambut panjang yang tampak sangar.

     Ia menekuk lengannya membentuk huruf L dan menghantam lawannya dengan bagian siku—gerakan yang dikenal sebagai elbow strike. Bahkan aku yang awam pun tahu teknik itu.

     Pegulat berambut panjang itu sempat terhuyung ke belakang, namun secepat kilat ia langsung membalikkan keadaan. Dari luar jangkauan pandangan pegulat bertopeng, ia memutar tubuh dan mengaitkan lengannya ke leher lawan, lalu menariknya erat ke arah dirinya. Teknik itu… aku pernah lihat sebelumnya, tapi… eeh, apa ya namanya…

     "Enomoto-san, teknik yang tadi itu namanya apa, ya?"

     "Itu namanya headlock. Salah satu teknik dasar dalam gulat profesional. Begitu terkunci, susah banget buat lepas, tapi juga banyak jurus pembaliknya, jadi... ah!"

     Seperti yang dibilang Enomoto-san, si pegulat bertopeng langsung merangkul badan si rambut panjang dengan satu tangan, lalu tangan lainnya meraih kakinya. Dalam sekejap, tubuh si rambut panjang terangkat dari ring—dan dihantamkan keras-keras ke lututnya!

     Penonton serentak berseru, “Ooooh!”

     Dengan semangat, Enomoto-san mengayun-ayunkan lightstick-nya. Perlu dicatat, tak satu pun penonton lain yang membawa benda itu!

 



     Dengan ekspresi cuek khasnya, Enomoto-san mulai menjelaskan dengan lancar tanpa jeda.

     “Tadi itu One-Hand Backbreaker. Salah satu variasi dari backdrop, dan terkenal sebagai teknik counter untuk headlock. Memang bisa digunakan sebagai teknik tunggal juga, tapi meskipun kelihatannya dinamis, ini teknik yang butuh ketepatan waktu dan keahlian tinggi. Soalnya, karena harus mengangkat tubuh lawan dulu, jadi sulit dipakai kalau lawannya punya bobot berat. Oh ya, katanya yang pertama kali menciptakan teknik ini adalah Bill Robinson. Beberapa pegulat lain juga pernah memakainya dengan nama-nama kayak Pedro Special atau Dragon Backbreaker—”

     “Udah! Udah, cukup dulu! Tunggu sebentar!”

     Aku sampai kewalahan diserbu banjir informasi.

     Jadi selama ini Enomoto-san memang terlihat cool, tapi dalam hati dia sebenarnya lagi super excited, ya?

     Sementara itu, pertarungan di atas ring terus berlanjut. Meskipun beberapa tekniknya terlihat familiar, ternyata cara penggunaannya sedikit berbeda dari yang kukira. Dan tiap kali itu terjadi, Enomoto-san langsung memberi penjelasan dengan akurat. Udah kayak fitur komentar audio di film aja...

     (Whoa...)

     Keren. Bertenaga banget.

     Selama ini aku cuma lihat pro wrestling di berita TV, tapi ternyata suasana aslinya beda jauh—jauh lebih menggugah. Keringat yang terciprat, suara benturan yang kasar dan menghentak seperti “bogok” saat tubuh bertabrakan, semuanya terasa nyata dan bikin merinding.

     Sulit dipercaya kalau semua ini hanya benturan antar tubuh manusia. Bukan cuma teknik dari tubuh-tubuh raksasa dengan lengan sebesar badanku sendiri yang bikin takjub—cara lawannya menerima dan menahan serangan itu juga luar biasa...

     “Kelihatannya sakit banget…”

     “Pro wrestling itu olahraga pertarungan para gentleman, jadi enggak apa-apa. Mereka semua udah terlatih, dan gerakan-gerakan yang kelihatan heboh itu memang bagian dari pertunjukan buat para penonton.”

     “Oooh, begitu ya. Tapi, sakit tetap sakit dong…?”

     “…………”

     Enomoto-san diam sebentar… lalu tersenyum manis seperti bunga yang sedang mekar.

     “Hehe.”

     Hei. Itu barusan jelas-jelas ngeles, kan?

     Oh, jangan-jangan dia enggak mau ngaku karena kalau iya, nanti dia bakal disalahin soal semua serangan brutal yang selama ini dia kasih ke Himari? Padahal aku juga pernah jadi korban waktu itu, jadi percuma bohong.

     Tak lama kemudian, pertandingan pun usai. Sang pegulat bertopeng yang sejak awal mendominasi, akhirnya keluar sebagai pemenang.

     Selama jeda sebelum pertandingan berikutnya, aku pergi ke stand makanan dan beli hotdog sama minuman. Tapi belum lama duduk, pertandingan selanjutnya sudah dimulai. Ternyata, dalam satu malam mereka bisa menggelar beberapa pertandingan, dan ritmenya lumayan cepat juga.

     …Begitu acara malam itu berakhir, kami pun meninggalkan arena. Angin hangat yang mulai turun di malam hari terasa pas menyentuh kulit kami yang masih diliputi panas dan semangat dari pertandingan barusan.

     Karena masih terbawa suasana, aku secara spontan berteriak lantang.

     “Gila, keren banget!”

     “Aku juga senang banget bisa lihat langsung!”

     Kami berdua saling menyodorkan tangan dan ber-“Yeah!” dalam high five yang enggak jelas maksudnya.

     Wah, tadi benar-benar luar biasa. Pertandingan terakhir sebelum yang penutup tadi itu benar-benar membakar semangat. Kata Enomoto-san, itu pertandingan antara dua pegulat yang levelnya beda jauh. Istilahnya sih, si jagoan sedang ‘memberi pelajaran’ ke yang baru. Awalnya memang kelihatan seperti akan jadi pertandingan sepihak… tapi ternyata, waktu si pegulat yang lemah sudah nyaris tumbang karena terus diserang, dia malah membalikkan keadaan dengan satu serangan balik yang telak dan berhasil menang KO! Bahkan aku yang bukan penggemar saja bisa tahu itu luar biasa banget.

     “Giant killing!”

     “Giant killing!”

     Kami kembali ber-high five dengan semangat.

     Mungkin karena efek dari pertandingan yang begitu seru, atau rasa lelah setelah seharian jalan-jalan, suasana hati kami jadi aneh—tapi siapa peduli? Ini Tokyo, jauh dari kampung halaman. Di sini, tidak ada seorang pun yang mengenal kami.

     Enomoto-san menatap wajahku dari bawah, seolah mengintip ekspresiku.

     “Yuu-kun.”

     “Ada apa?”

     Lalu dia meraih lenganku dan memeluknya erat, tubuhnya menempel padaku.

     Aku sempat ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya kuurungkan. Ini adalah bentuk komunikasi yang dulu juga kulakukan dengan Himari. Dan dalam suasana seindah ini, rasanya tak pantas merusaknya.

     Dengan wajah penuh kebahagiaan, Enomoto-san berkata padaku,

     “Besok juga, kita harus bersenang-senang terus, ya.”

     “...Iya.”

     Langit kota terasa sempit.

     Bintang-bintang pun tak terlihat.

     Ini adalah Tokyo—kota yang jauh dari kampung halamanku.

     Apa yang sedang dilakukan Himari sekarang, ya? Sambil memikirkan hal itu, aku memasukkan tangan ke dalam saku... lalu menghela napas, baru teringat kalau ponselku tidak ada.

     Dan kemudian, aku menyatukan kedua tangan seolah sedang berdoa kepada Tuhan.

     ...Tolong, jangan sampai Himari tahu soal aku sekamar dengan Enomoto-san.

♡♡♡

PoV

Enomoto Rion

     Setelah kembali ke hotel, aku pun mandi air hangat.

     Air panas yang memantul di kulit membawa serta peluh dan rasa panas yang menempel di tubuhku. Saat itu juga, aku mengingat kembali kejadian-kejadian hari ini, dan merasa hari ini benar-benar memuaskan.

     Berkat rencana kecil dari Shii-kun, aku bisa jalan-jalan ke Tokyo bersama Yuu-kun seperti yang direncanakan. Aku percaya, karena Yuu-kun itu baik, dia pasti mau mendengarkan permintaanku. Di tempat yang tak bisa dijangkau oleh Hii-chan, aku bisa menikmati momen berdua saja bersama Yuu-kun…

     “Ehehehe…”

     Aku menutupi bibirku dengan kedua tangan saat menyadari senyum bodoh mulai terbentuk di wajahku.

     Hari ini benar-benar menyenangkan. Sepertinya ini pertama kalinya aku menghabiskan waktu berdua selama ini dengan Yuu-kun. Rasanya seperti mimpi, membayangkan enam hari lagi akan seperti ini juga. Andaikan saja libur musim panas ini tak pernah berakhir.

     Hari ini saja, kami sudah membuat begitu banyak kenangan berdua.

     Aku diberi hadiah kalung kucing yang sangat lucu, bermain dengan para kucing, dan juga berfoto bersama dalam banyak kenangan. Sampai sejauh ini, rasanya hari ini layak mendapat nilai seratus sempurna.

     (...Kalau saja tak ada campur tangan berlebihan dari Onee-chan.)

     Begitu teringat panggilan video dengan Onee-chan tadi, aku menghela napas panjang. …Padahal aku sama sekali tidak punya maksud seperti itu. Akan menyebalkan sekali kalau Yuu-kun malah salah paham.

     Aku menatap sekeliling kamar mandi yang luas dan indah. Ada jacuzzi penuh busa yang tampak begitu mewah, membuatku merasa seperti seorang putri.

     Hotel yang dipesankan Onee-chan ini benar-benar luar biasa... Meski kesal, aku jadi sadar betapa hebatnya dia dalam pekerjaannya. Orang yang setengah-setengah dalam bekerja pasti tidak akan berada di posisi yang bisa membooking kamar sebagus ini dengan mudah.

     Sambil berendam di bathtub yang besar, aku memandangi pemandangan di bawah sana.

     Hamparan cakrawala malam yang tak berujung, dengan tak terhitung banyaknya cahaya yang tersebar di atas tanah.

     Seolah ada butiran permata yang ditebarkan... atau seperti sedang melihat lautan bintang dari langit. Mungkin, beginilah rasanya jadi dewa yang memandang segalanya dari angkasa.

     Aku sama sekali tidak tahu kalau malam bisa jadi seterang ini.

     Perasaan ini... mirip seperti waktu itu.

     Saat pertama kali aku memandang bintang-bintang merah cerah dari bunga hibiskus di atas sana.

     (...Kalau Yuu-kun juga melihat ini, apa dia akan merasakan hal yang sama?)

     Semoga saja begitu.

     Sambil memikirkan hal-hal seperti itu, aku keluar dari kamar mandi. Aku mengeringkan tubuh di depan wastafel, lalu mengenakan bathrobe berbulu lembut. Sambil mengusap rambut yang masih basah dengan handuk, aku melongok ke ruang tengah.

     Yuu-kun tampaknya sedang berbaring di sofa sambil menonton televisi. Yang tayang adalah berita malam, dan dia tampak sangat fokus menatapnya.

     Masih terbawa suasana setelah nonton pro wrestling tadi, aku jadi ingin usil sedikit. Diam-diam aku mendekat dari belakang dan menyodorkan tubuh dari balik sandaran sofa.

     “Yuu-kun. Aku udah selesai mandi, lho!”

     …Huh?

     Tak ada reaksi. Saat kuperhatikan, ternyata Yuu-kun sudah tertidur. Kalau didengarkan baik-baik, bisa terdengar napasnya yang tenang.

     (Hmuu. Padahal baru lewat jam sepuluh...)

     Aku tadinya ingin main bareng malam-malam, sampai bawa kartu remi segala, lho.

     Merasa sedikit kecewa karena hal di luar dugaan, aku pun menggembungkan pipi. Lalu, sebagai pelampiasan, kucubit hidung Yuu-kun. Dia pun mulai bernapas lewat mulut. Begitu aku melepaskan hidungnya, mulutnya menutup lagi. Hmm, lucu juga...

     Sofa tempat Yuu-kun tidur ini lebar sekali. Bahkan, rasanya lebih besar dari tempat tidurku di rumah. Aku bersandar di bagian atas sofa, dekat dengan kepalanya, dan menatap wajah tidurnya. Ekspresinya mungkin terkesan sedikit dingin, tapi entah kenapa, dia terlihat begitu bahagia saat tidur.

     (...Apa Yuu-kun lagi mimpiin Hii-chan, ya?)

     Sambil memikirkan hal itu, aku menyibakkan poni Yuu-kun dan mengelus keningnya pelan-pelan. Tapi tiba-tiba dia bergumam dalam tidur, “Ja-jangan! Jangan semburin bijinya!” …Ternyata dia lagi mimpiin bunga, bukan Hii-chan.

     Aku mengganti saluran televisi, dan yang muncul adalah acara varietas malam. Tapi setelah menontonnya sebentar, aku bosan juga karena nontonnya sendirian, jadi aku matikan lagi.

     Yuu-kun masih tertidur lelap. Napasnya pelan dan teratur—benar-benar tidur nyenyak. Aku menepuk-nepuk pipinya pelan. Seperti yang kuduga, tidak ada reaksi berarti.

     “Mouu~ Yuu-kun~ Ayo main, dong~…”

     Aku berpura-pura cemberut, tapi setelah kupikir-pikir lagi, wajar kalau dia capek. Kemarin kami main di laut, dan hari ini kami jalan-jalan ke Tokyo sejak pagi-pagi sekali.

     Saat menatap wajahnya yang benar-benar tidak waspada itu, tiba-tiba muncul dorongan dalam diriku.

     “…Karena ini ciuman antar sahabat, boleh aja, kan?”

     Aku menunduk, menatap wajah tidurnya dari dekat.

     Tanpa pertahanan sedikit pun. Yuu-kun percaya padaku, dan karena itulah dia bilang tidak masalah tidur sekamar denganku.

     Aku mempermainkan kepercayaan itu… hanya untuk nakal-nakalan.

     Saat membayangkannya, tubuhku sedikit merinding.

     …Enggak apa-apa.

     Yuu-kun pasti akan memaafkan aku. Soalnya, kami ini saling spesial. Dua orang cinta pertama yang dipertemukan lagi seperti keajaiban. Yuu-kun sendiri mungkin belum menyadarinya, tapi sebenarnya dia juga suka sama aku… kan?

     Jantungku berdebar kencang, ba-dump-ba-dump.

     Aku meremas bagian dada dari bathrobe-ku erat-erat, lalu menyibakkan rambut dari sekitar telinga. Perlahan aku menundukkan tubuhku, mendekat ke wajah tidur Yuu-kun.

     Lalu, kuletakkan ciuman kecil di dahinya.

     “…………”

     Aku mengembuskan napas yang sempat kutahan, “Puhhaa~…”

     Lalu kusingkirkan kerah bathrobe-ku dan mulai mengipasi wajahku yang terasa panas. Mendadak aku tersadar dengan apa yang barusan kulakukan, dan wajahku langsung memerah karena malu. Aku pun menutup wajahku dengan kedua tangan, “Uuuhh~…”

     (…Tapi tetap saja, itu enggak boleh.)

     Itu melanggar aturan.

     Aku enggak mau jadi seperti Hii-chan. Aku sudah memutuskan akan mendapatkan Yuu-kun dengan cara yang jujur dan terhormat.

     Tadinya kupikir mungkin dia akan bereaksi, tapi Yuu-kun tetap tertidur dengan tenang. Sedikit kecewa, aku menarik selimut dari kamar tidur dan meletakkan ke pundaknya.

     Kumatiin televisi, lalu lampu kamar. Di luar jendela kota masih terang benderang, membuat ruangan bergaya ini tampak seperti mengambang dalam cahaya yang ajaib.

     Aku ikut membungkus tubuhku dengan selimut besar yang tadi kupakai buat Yuu-kun, lalu memejamkan mata di sampingnya.

     “Selamat tidur, Yuu-kun.”

     Besok pasti akan menyenangkan juga.

     Hari-hari seperti ini pasti akan terus berlanjut.

     Sekarang, meski dia masih suka sama Hii-chan… enggak apa-apa.

     Saat ini, aku enggak apa-apa kok cuma jadi sahabat.

     Makanya, selama liburan ini saja… boleh ya, Yuu-kun jadi milikku seorang?


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close