NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 3 Chapter 4

Penerjemah: Nobu

Proofreader: Nobu


 Chapter 4

Turning Point. "Layu"


♣♣♣

     Meski butuh waktu tiga tahun untuk membangun sebuah cinta, semuanya bisa sirna dalam sekejap.

     Andai hidupku ini adalah sebuah novel—atau sebuah film.

     Jumlah halaman yang terus berkurang, durasi yang kian menipis—semuanya akan menjadi pertanda bahwa akhir dari cinta ini sudah semakin dekat. Akan ada peningkatan tensi menjelang klimaks, dan krisis terbesar pun biasanya sudah lebih dulu diisyaratkan lewat petunjuk-petunjuk kecil.

     Namun, ini adalah kenyataan.

     Akhir bisa datang tanpa peringatan, dan takdir itu tak bisa dihindari.

     Hari itu—tinggal tiga hari lagi sebelum janjiku dengan Kureha-san.

     Konbini tempatku bekerja tetap buka seperti biasa selama libur Obon, dan keluargaku pun tergolong cuek. Kami bahkan tidak pernah menghabiskan waktu liburan bersama sebagai keluarga.

     Namun, saat Obon, rumah terasa tidak nyaman untuk ditinggali. Kedua kakakku yang telah menikah sering datang mendadak, dan jika aku kebetulan ada di rumah, aku pasti akan kena omelan.

     Sebagai tambahan, sekolah pun ditutup total selama Obon.

     Karena tak bisa lagi kabur ke ruang laboratorium sains, aku pun berkemas dan mengungsi ke rumah keluarga Inuzuka. Di sana aku bisa bebas melakukan apa pun, dan yang paling penting—aku tak perlu khawatir tiara yang sudah selesai dibuat akan diincar oleh kucing bernama Daifuku.

     Satu-satunya masalah adalah, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, Himari sedang pergi bersama orang tuanya, jadi untuk beberapa hari ke depan, aku hanya tinggal bersama Hibari-san dan kakeknya.

     Yah, mereka memperlakukanku dengan sangat baik. Sangat baik, bahkan. Tapi... alangkah baiknya kalau mereka tidak selalu berebut soal siapa yang akan memberiku makan di setiap waktu makan…

     Bagaimanapun juga, aksesori itu sudah selesai. Sekarang yang bisa kulakukan hanyalah menunggu Kureha-san kembali ke rumah.

     Tiara bunga matahari.

     Tiara yang kubuat dengan sepenuh hati, berpusat pada ornamen yang terinspirasi dari daun bunga matahari, dan dihiasi bunga matahari awetan besar di sisi kiri.

     Tanpa ragu, ini adalah karya terbaikku. Aku yakin bisa menang dengan ini. Kureha-san pasti akan puas. Bahkan Hibari-san yang melihatnya langsung, memberikan persetujuannya.

     Malam itu, Hibari-san pulang.

     Ia menerobos masuk ke kamar tamu tempat aku menginap dan menunjukkan sushi ikan makarel yang dibawanya.

     “Hei, Yuu-kun! Maaf sudah membuatmu menunggu!”

     “Ah, selamat datang kembali.”

     “Wah, benar-benar hari yang melelahkan. Siapa sangka akan ada reuni SMP saat libur Obon? Aku malah membuang-buang waktu padahal kamu sedang di sini.”

     “Bukankah justru karena sedang libur Obon, makanya mereka mengadakannya…?”

     Sebagai murid SMA, aku kurang paham nuansa kalimat itu, tapi meski mengeluh, Hibari-san tampaknya cukup menikmati acaranya. Kurasa, bertemu teman lama memang punya kesan tersendiri.

     Dengan riang, Hibari-san mengeluarkan sebotol wiski dan menyusunnya di atas meja bersama sushi makarel yang ia bawa.

     “Baiklah, ayo lanjut ke ronde kedua!”

     “Wiski cocok dimakan bersama sushi?”

     “Ada lebih sedikit hidangan yang tidak cocok dipadukan dengan wiski. Aku enggak sabar menunggumu dewasa supaya kita bisa menjelajahi semua bar keren di sekitar sini!”

     “Aku rasa aku enggak kuat minum alkohol… kupikir aku menurun dari Ayah…”

     Sambil berkata begitu, aku menuang teh dari botol ke dalam gelas.

     Kami mengobrol ringan untuk beberapa saat. Mungkin karena baru mengikuti reuni, Hibari-san jadi banyak bercerita soal masa sekolahnya. Yang mengejutkan, katanya ia tidak populer saat SMP, dan pernah menyatakan cinta pada kakak kelas, tapi malah ditolak dan jadi bahan olok-olok teman sekelasnya.

     “Eh? Kukira sejak dulu kamu selalu populer, Hibari-san…”

     “Dulu aku anak yang keras kepala. Wajar saja, mengingat aku dibesarkan oleh kakekku itu. Tapi, ya… teman sekelasku memang tidak menyukaiku waktu itu.”

     “Tunggu, jadi kamu benar-benar datang ke reuni SMP itu?”

     “Hubungan kami sekarang sudah baik. Setelah mulai bekerja, aku sempat bertemu lagi dengan beberapa teman sekelas lewat pekerjaan. Aneh, ya. Orang bisa jadi sahabat karib atau musuh bebuyutan tergantung kapan mereka bertemu. Sebaliknya juga bisa terjadi.”

     Aneh rasanya, orang sebaik dan sebijak dia masih bersitegang dengan Kureha-san. Masalah cinta memang tak pernah sederhana…

     Saat kami tengah mengobrol seperti itu, tiba-tiba Hibari-san berkata,

     “Oh, ya. Aku ingin melihat tiara itu lagi. Memang bukan camilan yang cocok untuk minum, tapi melihatnya saja sudah cukup memanjakan mata.”

     “Um… bukankah kamu sudah melihatnya beberapa hari yang lalu…?”

     “Hahaha. Hal yang bagus itu layak dilihat berkali-kali. Lagipula, kamu terlalu sibuk dengan Himari belakangan ini, jadi kamu sendiri pun belum sempat mengeceknya lagi, bukan?”

     “Ugh…”

     Tatapan Hibari-san tertuju pada tumpukan majalah wisata lokal yang ada di pojok ruangan. Majalah-majalah itu dipenuhi dengan informasi tentang acara liburan musim panas dan festival. Di daerah pedesaan, majalah seperti itu masih lebih informatif dibandingkan internet.

     Halaman-halamannya penuh dengan lingkaran penanda, jelas mencerminkan rasa antusiasku.

     “Y-ya ini, uh… cuma rencana yang kubuat bersama Himari waktu kami pergi memetik bunga matahari beberapa hari lalu…”

     “Hahaha. Enggak perlu ditutupi. Aku sudah mendengar semuanya dari Himari!”

     “Aduh… privasiku hilang sudah…”

     Semuanya terbongkar. Benar-benar tersingkap tanpa sisa.

     Aku memang tidak berharap bisa merahasiakannya selamanya, tapi bukankah ini terlalu cepat? Himari, sikap seperti apa yang kau tunjukkan sampai ini bisa terjadi?

     Saat aku tertunduk lesu dalam kekecewaan, Hibari-san tertawa dan menepuk bahuku.

     “Yah, sekarang kamu resmi jadi calon adik iparku. Sebagai kakakmu di masa depan, kamu boleh lebih sering mengandalkanku, lho.”

     “Kamu terlalu ramah… rasanya malah melelahkan…”

     Pantas saja belakangan ini dia tampak begitu ceria.

     Saat aku sedang tenggelam dalam keputusasaan, Hibari-san mengguncang kedua bahuku dengan semangat.

     “Baiklah, baiklah! Mari bersulang untuk tiara bunga matahari yang suatu hari nanti akan kamu berikan pada Himari! Suatu hari nanti! Tiara bunga matahari yang akan dikenakan Himari di hari istimewanya!”

     “Itu terlalu berlebihan! Serius, hentikan omongan seperti itu!?”

     Itu terlalu dini—bukan, aku paham maksudmu, tapi tolong jangan ucapkan hal seperti itu dengan lantang. Apa kau pikir pantas mengatakan hal semacam itu pada anak SMA?

     Aku mengeluarkan kotak tempat menyimpan tiara, lalu membukanya.

     Aku mengintip ke dalam… dan menahan napas.

     Bunga mataharinya telah berubah warna dan mengering.

     Hibari-san pun melihatnya.

     Sikap mabuknya langsung menghilang, dan dengan ekspresi serius, ia bertanya,

     “Yuu-kun. Ini apa?”

     “Y-Yang ini, uh…”

     Kenapa?

     Kenapa bisa begini?

     Pikiranku mendadak kosong. Namun, aku berusaha keras untuk berpikir jernih.

     Apa ini ulah seseorang? Tidak, bunganya tidak robek atau rusak. Ini bukan perbuatan tangan manusia… ini terjadi secara alami.

     Bunganya layu. Dengan kata lain, bunga itu telah kehilangan kelembapan dari dalam dan mulai mengering. Bunga awetan pada dasarnya berada dalam kondisi yang "dibekukan" secara biologis. Tapi pada akhirnya, bunga itu tetap akan layu.

     Namun ini terlalu cepat. Bahkan belum satu minggu sejak tiara itu selesai dibuat.

     Bagian dalam bunga tersebut seharusnya dipenuhi larutan pelembap. Cairan itu bukan sesuatu yang mudah menguap begitu saja.

     Tapi nyatanya kelembapannya hilang… yang berarti proses pengeringan awal sebelum larutan pelembap diserap tidak dilakukan dengan sempurna.

     Hubungan antara kelembapan alami bunga dan larutan pengawet itu seperti permainan kursi musik.

     Pertama-tama, kita harus mengosongkan “kursi” dengan menghilangkan kelembapan alami dari bunga agar larutan bisa mengisinya. Kalau kelembapannya belum sepenuhnya hilang, larutannya tak bisa meresap dengan sempurna. Dan sisa kelembapan yang masih tertinggal… akan cepat menguap tanpa ada yang menggantikannya.

     Aku salah menentukan waktu saat mengangkat bunga dari larutan pengering.

     Kenapa? Saat proses pengeringan, apa yang sebenarnya kulakukan… Ahh!?

     “Yuu-kun. Ada apa?”

     “…………”

     Aku tidak bisa menjawab.

     Benar. Aku mengangkat bunga itu dari larutan pengering—di saat aku membuat janji itu dengan Himari.

     “…Ugh, sudahlah. Yuk, selesaikan bunga mataharinya aja!”

     Waktu itu, aku tidak sanggup menghadapi keheningan canggung bersama Himari, jadi aku buru-buru melanjutkan pengerjaan bunga matahari sebagai pelarian. Tapi proses pengeringannya… masih belum selesai. Kelembapan dalam bunga belum sepenuhnya menguap.

     Dengan wajah cemas, Hibari-san bertanya,

     “Yuu-kun. Ini masih bisa diperbaiki?”

     “Tidak. Sudah terlambat. Bunganya sudah tidak punya kekuatan lagi untuk menyerap larutan pelembap. Penampilannya mungkin bisa kupoles, tapi kualitasnya pasti akan menurun…”

     “Kalau cadangannya?”

     “Dari tiga yang lain, dua sudah kugunakan untuk percobaan… Yang terakhir ada di rumah, tapi karena aku memprosesnya di waktu yang sama… sepertinya itu juga tidak akan berhasil.”

     Aku benar-benar salah langkah.

     Seharusnya aku menyusun jadwal perendaman bunga cadangan secara terpisah. Tapi aku terlalu fokus menyelesaikan aksesori ini sampai lupa mengantisipasi hal-hal seperti ini. Padahal aku sendiri yang bilang ke Enomoto-san kalau bunga matahari itu rumit…

     Kalau aku mulai membuat bunga awetan yang baru sekarang, apa aku bisa selesai tepat waktu? Jujur saja, kemungkinannya tipis. Mungkin bisa kupaksakan agar terlihat layak dipakai untuk hari itu saja, tapi…

     “Yuu-kun! Aku akan antar kamu ke rumah buat ngecek cadangannya. Kalau itu juga gagal, kita cari ke semua toko bunga di kota ini…”

     “Enggak bisa, Hibari-san! Kamu baru aja minum alkohol!”

     "Ah!? A-aduuh, gawat…!"

     Sementara Hibari-san sibuk menelepon taksi, aku mengepalkan tangan, menahan rasa frustrasi.

     Dalam hati kecilku, aku sudah tahu.

     Bahwa sepertinya… aku tidak akan sempat untuk pertandingan ini.


0

Post a Comment



close