NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jinsei Gyakuten ~ Uwakisare, Enzai wo Kiserareta Orega, Gakuenichi no Bishoujo ni Natsukareru ~ [WN] Chapter 181 - 190

 Chapter 181 – Hari Penentuan Takdir


—Keesokan Harinya (POV Ketua Klub Tachibana)—

Akhirnya, hari ini adalah hari penentu takdir.

Matsuda-san sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Saat ini, sebagian besar anggota klub sepak bola pasti sedang diliputi ketakutan. Dan semua kebencian mereka telah diarahkan pada Ikenobu Eri.

Ledakan itu akan terjadi malam ini. Para anggota klub sepak bola akan mendatangi Ikenobu Eri secara serempak untuk membungkamnya.

“Sekarang tinggal bagaimana aku bisa kabur dengan mulus. Asalkan aku saja yang bisa lolos, itu sudah cukup.”

Aku ini seperti penyihir. Semua rencana ada di tanganku—aku yang mengendalikan segalanya.

“Ini cerita yang hanya bisa kutulis sendiri. Aono Eiji yang lemah lembut tidak akan pernah bisa melakukannya. Tidak ada seorang pun selain aku yang mampu. Ini adalah bukti nyata dari keberadaan bakatku.”

Dengan penuh keyakinan, aku terus mengulangi kata-kata itu dalam hati.

Aku membuka loker sepatu.

“Eh…?”

Di sana terletak sebuah surat yang disegel rapi dengan lilin.

Tidak ada nama penerima tertulis. Tapi firasat buruk langsung menjalar ke tubuhku.

Aku buru-buru menuju ruang klub sastra yang seharusnya kosong.

Segera kubuka paksa segel surat itu.

**

Untuk Tachibana-san,

Mohon maaf atas surat yang datang secara tiba-tiba.

Karena aku tidak bisa menunjukkan rasa hormat padamu, aku akan langsung ke pokok pembicaraan.

Tolong hentikan semua hal sia-sia ini.

Dan akuilah semuanya.

**

“Apa-apaan surat tak sopan ini!! Siapa yang berkhianat!? Tidak mungkin ada bukti. Rencanaku sempurna!”

Aku berteriak, melampiaskan amarahku pada buku-buku di meja ruang klub.

Satu per satu buku beterbangan, halamannya terlipat dan rusak tanpa ampun.

**

Kau adalah orang yang sangat cerdas. Tapi kau tidak sadar bahwa kau telah mabuk oleh kecerdasanmu sendiri.

Kecerdasanmu seharusnya digunakan untuk membahagiakan orang lain.

Tolong, bayarlah semua dosa-dosamu.

**

“Aku ini sempurna! Aku tidak pernah berbuat salah! Tidak ada yang perlu kutebus!!”

Dengan emosi meluap, aku lanjut membaca isi surat tersebut.

**

Jangan salah paham.

Ini bukanlah negosiasi setara atau permohonan.

Ini adalah peringatan dan ultimatum terakhir.

Jika kau mengabaikannya, maka kehancuran akan menantimu.

**

“Ini seperti surat kutukan saja. Tak mungkin aku dihentikan hanya dengan ini. Baiklah, kalau memang sesumbar begitu, tangkap saja aku kalau bisa! Sebelum itu, akan kucabut kedokmu dan seperti Ikenobu Eri dan Amada Miyuki, kau pun akan kuhancurkan secara sosial!”

Dengan penuh tekad, aku merobek surat itu menjadi serpihan.

Tidak mungkin ada bukti yang tertinggal. Itu sebabnya aku tidak akan dikenai hukuman.

Semua siswa di sekolah ini adalah musuh. Ini pertama kalinya aku dipermalukan sampai sejauh ini. Harus kubalas! Harus kubuat mereka membayar semuanya!

Saat aku masih terbakar oleh rasa dendam, terdengar ketukan dari arah pintu ruang klub.

“Siapa pula di saat seperti ini?”

Dengan curiga, aku mendekati dan membuka pintu.

Di depanku berdiri seseorang yang sangat kukenal—dan yang seharusnya tidak berada di sini.

“Eiji-kun? Kenapa kamu bisa di sini…?”

Aono Eiji. Mantan adik kelasku yang tidak ingin kulihat lagi wajahnya.

Dia orang luar, yang bergerak bebas di luar cerita yang kususun sendiri. Yang menolak narasi yang kubangun.

Dan musuh bebuyutanku.

“Ketua, aku ingin bicara denganmu.”

Aono yang kukenal dulu bukanlah sosok penuh percaya diri seperti ini.

Dulu dia selalu terlihat lembut dan lemah.

Tapi orang yang berdiri di hadapanku sekarang… berbeda. Seolah menjadi orang lain.

Sesaat, aku merasa takut. Dalam hati, aku mulai menduga—mungkinkah dialah pengirim surat itu?

“Baiklah, masuklah.”

Dan begitulah, aku menyambut hari penentu takdirku.


Chapter 182 – Eiji vs Ketua Klub

Ketua klub tampak sedikit gentar saat mempersilahkanku masuk ke ruang klub.

Aku menyentuh saku sedikit, menarik napas dalam-dalam, lalu masuk ke dalam ruangan. Entah kenapa, rasanya seperti bernostalgia. Padahal belum lama berlalu, jadi seharusnya tidak mungkin timbul perasaan seperti itu.

Kami duduk berhadapan.

“Jadi, kamu mau bicara soal apa?”

Ia mendesakku untuk cepat bicara. Wajar saja, hubungan kami sudah retak sepenuhnya.

“Apa kamu sudah mendengar pesan dari Matsuda-san?”

“Pesan?”

Sepertinya pesan itu belum sampai. Kalau begitu, ini jadi lebih menguntungkan.

“Ya. Aku bilang ke dia, kalau kalian masih berusaha menyakiti orang-orang yang penting bagiku, aku tidak akan tinggal diam.”

Kusampaikan kemarahanku dengan nada yang jelas, tapi dia malah menarik napas dan membalas dengan tenang.

“Apa-apaan sih tuduhan ini? Jangan seenaknya bilang kami melakukan sesuatu.”

Sepertinya dia berniat tetap berpura-pura. Tapi ini sudah kuduga sebelumnya.

“Ini adalah peringatan. Dan itu bukan satu-satunya alasan aku datang ke sini.”

Alasanku datang bukan untuk mendengar alasan mereka. Jangan coba-coba kabur lagi dengan cara memalukan.

“......”

“Ketua, aku akan bicara terus terang. Tolong kembalikan naskahku.”

Begitu aku mengucapkan itu, dia menunjukkan ekspresi bingung.

Sepertinya dia belum sadar dengan kartu truf yang kumiliki.

“Apa maksudmu bicara seperti itu sekarang? Aku sudah bilang saat penyelidikan sekolah. Naskahmu itu entah sejak kapan sudah dicuri dari ruang klub ini. Itu ulah anak-anak klub sepak bola, para pelaku bullying. Kami tidak terlibat. Jadi kamu tidak berhak menuntut kami mengembalikannya.”

“Begitu ya. Jadi, benar-benar tidak ada satu pun yang tersisa?”

“Benar. Sudah tidak ada satu pun. Sudah puas?”

Dia masih mempertahankan sikap percaya diri. Tapi, ucapannya mengandung kontradiksi.

“Tidak, aku tidak puas sama sekali. Ketua Tachibana, cerita yang kamu buat penuh dengan kejanggalan. Aku tidak bisa menerima begitu saja.”

Aku memilih kata-kata yang bisa mengguncang harga dirinya. Setelah dikatakan seperti itu, dia pasti akan terpancing.

“Apa maksudmu!? Aku hanya bicara apa adanya! Kenapa kamu hari ini menuduhku terus, Eiji-kun!?”

Melihatnya jelas-jelas marah seperti ini membuatku sedih sebagai mantan anak didiknya.

Bagaimana bisa dia sampai sebegitu terpojoknya sampai-sampai melewatkan kontradiksi yang begitu sederhana? Itu sendiri sudah jadi bukti tak langsung bahwa dia sedang berbohong.

“Kalau begitu, aku mau tanya. Bagaimana naskahku disimpan dulu? Bukankah dulu disimpan bersama naskah anggota lain dalam satu map besar? Di lemari buku yang terkunci, kan?”

Map berisi naskah tahunan tersimpan rapi di rak berkunci. Dan sampai sekarang pun masih tertata sesuai urutan.

“I-itu... memangnya kenapa?”

“Itu aneh, kan? Kalau benar pencuri menyusup masuk, dia harus mencari kunci dulu, lalu dari sekian banyak naskah yang dijilid jadi satu, dia hanya mengambil naskahku saja. Tidak masuk akal kalau itu dilakukan oleh orang luar dalam waktu singkat. Kalau tidak ada orang dalam yang membantu, itu tidak mungkin.”

Faktanya, saat Ichijou-san mengembalikan sebagian naskahku yang hilang, itu hanya bisa terjadi karena Hayashi-san memberitahu di mana kunci disimpan dan bagaimana sistem penyimpanan naskah.

Artinya, kalau pelakunya orang luar, dia pasti dibantu orang dalam.

“Dan satu lagi. Ketua bilang tidak ada satu pun naskahku yang tersisa, kan? Kalau begitu, pelaku berhasil mengambil semua naskahku dari sekian banyak yang ada, dan hanya milikku saja? Kalau orang luar yang melakukannya, itu terlalu rapi. Biasanya, akan ada satu-dua yang tertinggal. Itu wajar.”

Wajah ketua klub seketika pucat pasi. Kalau dia tadi bilang masih ada satu-dua naskah tersisa, narasi ini tidak bisa kugunakan. Tapi dia sendiri yang menggali lubang untuk dirinya.

“Bukan, bukan aku. Mungkin ada orang lain yang membantunya. Jadi, aku juga tertipu.”

Ia mulai membela diri dengan bicara terburu-buru.

“Begitu ya. Tapi aku tetap tidak bisa mempercayaimu. Ketua, sekali lagi aku minta—tolong kembalikan naskahku.”

Ucapan ini memang menyiratkan bahwa aku menganggap dia pelakunya. Aku sengaja mengatakannya untuk terus menekannya.

“Cukup! Sudah kubilang tidak ada! Aku tahu, kamu akan debut sebagai penulis profesional, kan? Bukankah itu cukup? Kamu ini sombong sekali! Berhenti bercanda!”

Aku melihat buku saku yang tergeletak di bawah kakinya, halaman-halamannya terlipat.

Sepertinya ini batasnya.

“Kalau kamu memang tahu semua itu, maka kamu pasti paham juga. Jika kamu benar-benar sudah membuang naskahku… maka kamu tidak pantas lagi disebut penulis. Tindakanmu itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap semua kerja kerasmu sendiri selama ini.”

“Diam! Aku tidak mau dengar apa pun lagi! Keluar dari sini! Cepat pergi dari hadapanku!”

Negosiasi benar-benar gagal. Tapi karena itu pula, aku harus menyampaikan yang paling penting.

“Baik. Tapi izinkan aku mengatakan satu hal terakhir—aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun menyakiti orang-orang yang penting bagiku lagi.”


Chapter 183 – Cara Orang Dewasa

Setelah benar-benar memutuskan hubungan dengan Ketua Klub, aku berjalan menuju ruang kelas kosong tempat pelajaran akan dimulai.

Pelajaran pertama hari ini adalah Sejarah Dunia, dengan pengajar Takayanagi-sensei.

Berkat Ichijou-san, masalah yang melibatkan Hayashi-san sudah disampaikan kepada pihak sekolah.

Karena itulah, aku memilih waktu ini untuk menghadap Tachibana-buchou.

“Sempat terpikir sih, bagaimana kalau negosiasinya berhasil…”

Meski aku tahu kemungkinannya kecil.

Meminta pengembalian naskah itu hanyalah sebuah metafora.

Itu simbol dari pengakuan atas kesalahan mereka, dan permintaan agar mereka berhenti melawan dan menyerahkan diri.

Meminta mereka mengembalikan naskah, artinya memaksa mereka mengakui kebohongan mereka sendiri.

Aku hanya tidak ingin terus dikecewakan oleh orang-orang yang dulu kusebut teman selama dua tahun.

Aku tak ingin mereka berubah menjadi monster yang melukai junior mereka demi melindungi diri sendiri.

Tapi… harapan itu tidak terpenuhi.

Teman-teman lamaku sudah berubah menjadi monster.

Mereka sudah tak mampu lagi merasakan penderitaan orang lain.

Atau mungkin, sebenarnya mereka selalu seperti itu dan selama ini hanya menyembunyikannya.

Kebenarannya, aku tidak tahu. Tapi ada satu hal yang sangat jelas—

Jika mereka terus dibiarkan, akan semakin banyak korban berikutnya.

Hari ketika libur musim panas berakhir, saat aku tenggelam dalam keputusasaan tanpa bisa bicara pada siapa pun…

Sebenarnya ada kata-kata yang seharusnya aku ucapkan.

Ada orang-orang yang seharusnya aku mintai tolong.

Karena itulah, aku tidak akan mengulang kesalahan itu.

“Oh, Aono. Selamat pagi.”

Takayanagi-sensei menyapaku seperti biasa, dengan sedikit nada lelah.

Tatapannya tampak penuh rasa percaya dan kasih sayang padaku.

“Selamat pagi, Takayanagi-sensei.”

“Ya, ayo kita jalani seperti biasa.”

“U-um, maaf!”

“Hm? Ada apa?”

Aku menatap mata beliau dan mengucapkan kata-kata yang seharusnya sudah kukatakan sejak dulu.

Untuk menjawab kepercayaan yang ia berikan padaku.

“Maaf mengganggu sebelum pelajaran dimulai. Tapi, aku ingin berkonsultasi.”

Melihat ekspresiku, beliau mengangguk seolah sudah mengerti segalanya.

“Katakan saja. Mungkin hal itu lebih penting dari pelajaran.”

Mendengar persetujuannya yang tegas, aku merasa sedikit lega dan mulai bicara.

“Takayanagi-sensei, tolong bantu aku. Aku mendapat perlakuan buruk dari anggota klub sastra.

Dan sekarang, mereka berencana menjadikan adik kelasku sebagai target selanjutnya.”

Aku tahu, beliau pasti sudah tahu semuanya.

Tapi sebagai korban, aku belum pernah benar-benar mengatakan langsung.

Bahkan saat pertama kali berkonsultasi dengan beliau, aku hanya menyampaikan fakta-faktanya—

Aku belum benar-benar meminta tolong.

Karena itu…

Sekarang aku ingin benar-benar meminta pertolongan dari orang dewasa.

“Tentu saja, Aono. Melindungi siswa adalah tugas seorang guru. Terima kasih sudah mempercayai dan mau memberitahu. Aku sangat senang mendengarnya. Pasti berat untukmu, ya. Mulai sekarang, ini adalah tugasku.”

Sama seperti waktu itu, beliau menatapku dengan tulus.

Waktu itu, aku hanya mampu meminta tolong karena didorong oleh beliau.

Tapi sekarang berbeda. Aku meminta pertolongan karena aku percaya pada orang dewasa.

Aku lalu menyampaikan semuanya kepada beliau—

Bahwa klub sastra memang terlibat langsung dalam perundunganku,

dan aku yakin kesaksian para anggotanya penuh kebohongan.

“Aku mengerti, Aono. Sekolah juga telah sepakat untuk menangani masalah ini secepat mungkin. Kita juga bisa mengguncang mental anggota klub dengan langkah ini.

Aono, sebisa mungkin, tetaplah di sisi Hayashi. Seperti yang dilakukan Ichijou, Imai, dan Endo padamu waktu itu. Saat seseorang merasa sendirian, hanya dengan tahu bahwa ada orang yang bersamanya, itu sudah sangat menguatkan. Pihak sekolah juga akan memberikan pendampingan penuh untuk Hayashi. Guru-guru wali kelas 1 juga sudah mulai bergerak secara internal.”

Beliau menyampaikan dengan penuh ketegasan.

**

—Dari POV Takayanagi—

Sedikit lagi.

Dengan kesaksian Aono, klub sastra akan semakin terpojok.

Mungkin akan ada anggota yang keluar dari kubu mereka.

Fakta bahwa naskah Aono disembunyikan atau dihancurkan dengan niat jahat—itu bisa dikategorikan sebagai pencurian atau perusakan barang.

Dan Aono berniat mengajukan laporan terpisah dari kasus klub sepak bola.

Dengan begitu, sekolah juga punya dasar kuat untuk menjatuhkan sanksi.

Selain itu, ada kasus ancaman terhadap Hayashi.

Meskipun dilakukan lewat akun palsu, jika bisa diidentifikasi, itu termasuk tindak pidana.

Tapi aku yakin Tachibana akan tetap ngotot dan terus mengelak sampai akhir.

“Bagian terakhir yang kita butuhkan adalah—bukti yang tak terbantahkan, yang akan meruntuhkan semua argumentasinya.”

Sambil menyusun kesimpulan dalam benakku, aku mulai merancang langkah berikutnya.

Membayangkan beberapa kartu as yang masih kusimpan,

dan memikirkan cara untuk benar-benar mematahkan semua logika Tachibana.


Chapter 184 – Keruntuhan Sebuah Cerita

—POV Ketua Tachibana—

Waktu istirahat siang. Hari ini, Ikenobu Eri tidak masuk sekolah.

Itu justru menguntungkan. Aku sudah memerintahkan Mitsuda-kun melalui Matsuda-san.

Sekarang pasti para anggota sukarelawan dari klub sepak bola sedang menuju ke tempat Eri.

Aku telah sepakat untuk bertemu dengan Matsuda-san di ruang klub.

“Ketua!!”

Ia datang dengan wajah pucat dan aura cemas, seolah menggantungkan harapannya padaku.

“Bagaimana? Ada kabar dari Mitsuda-kun dan yang lain?”

Aku sengaja tidak menggunakan ponselku sendiri. Untuk berjaga-jaga agar bisa menghindari tuduhan jika perlu.

“Ya, baru saja aku menerima pesan. Katanya semuanya berjalan lancar. Tapi... bagaimana ini?”

Benar, rasa bersalah sedang menghantuinya. Bagus, artinya dia akan lebih mudah dikendalikan dan dimanfaatkan sebagai pion.

“Apa mereka mengirimkan foto atau bukti lain? Sudah kamu pastikan?”

“Belum... Tapi, mereka bilang akan segera mengirimkannya...”

Begitu aku menerima bukti itu, aku harus segera bergerak untuk menyingkirkan kedua orang ini.

Sebelum masalah Ikenobu Eri jadi skandal besar...

Namun—pesan itu tak kunjung datang.

Apa yang terjadi?

Mungkinkah terjadi masalah? Mungkin mereka tertangkap polisi karena dilihat orang?

Apa yang harus kulakukan...?

Jika aku memutus hubungan dengan dua orang itu sekarang, memang akan lebih aman.

Tapi... jika ternyata mereka ditahan polisi, aku justru bisa dicurigai.

Dengan situasi seperti ini, aku tidak bisa bergerak.

Apa yang harus kulakukan...? Apa jalan keluarnya...?

Sementara aku dan Matsuda-san berdiri membeku dalam kebingungan, tiba-tiba—terdengar suara ketukan di pintu ruang klub.

**

—POV Aono Eiji—

Di kantin sekolah, aku bertemu dengan Ichijou-san, Hayashi-san, Satoshi, dan Endo.

Sepertinya Ichijou-san dan Hayashi-san datang lebih dulu dan sudah mengambil kursi.

“Kalau begitu, ayo saling kenalan. Aku sudah jelaskan garis besarnya pada mereka berdua.

Satoshi dan Endo bilang mereka siap membantu.”

“Aku Imai Satoshi. Kalau ada apa-apa, hubungi saja. Sekalian, tukeran kontak, ya.”

“Aku Endo Kazuki. Kamu pasti khawatir, tapi jangan takut. Di sekitarmu bukan cuma ada musuh—kami juga temanmu.”

Kami pun saling bertukar kontak, lalu membuat grup LINE bersama.

Jika ada masalah, tinggal kirim pesan di grup, dan siapa pun yang melihat lebih dulu akan segera datang membantu.

Untuk sementara, kami juga menyusun jadwal agar Hayashi-san tidak sendirian saat berangkat dan pulang sekolah selama dua minggu ke depan.

“Terima kasih banyak... aku jadi merepotkan kalian...”

Hayashi-san menunduk dengan sangat menyesal.

Aku dan Ichijou-san langsung membantah serempak, lalu Satoshi ikut menimpali:

“Hayashi-san, kalau sedang dalam kesulitan, tidak apa-apa meminta bantuan. Kalau tidak, rantai hubungan ini bisa putus, lho.”

Hayashi-san menatap bingung dan bertanya dengan suara kecil,

“Rantai...?”

“Ya, rantai. Menurutku, orang-orang yang ada di sini sekarang, semuanya pernah diselamatkan Eiji dalam bentuk tertentu. Aku sendiri punya utang budi waktu SD. Karena itu, waktu Eiji datang padaku dan meminta bantuan untuk masalah ini, aku senang. Membantu dan dibantu itu akan menciptakan rantai kepercayaan yang semakin besar. Jadi kalau nanti suatu saat kami yang kesusahan... giliran kamu yang bantu kami, ya.”

Yang lain mengangguk lembut. Hayashi-san menunduk dalam haru, dan sambil menggigil, ia berulang kali mengucapkan,“Terima kasih... terima kasih banyak...”


Chapter 185 – Di Luar Perkiraan

—POV Ketua Tachibana—

Pintu terbuka perlahan. Laki-laki yang seharusnya tidak ada di sana melangkah masuk ke dalam ruangan tanpa ragu.

“Kenapa... Mitsuda-kun ada di sini...?”

Tanpa sadar, teriakan meluncur dari mulutku.

Mendengar itu, laki-laki itu tersenyum puas.

“Kenapa aku ada di sini? Itu karena aku ingin mengakali kalian.”

Dengan tubuh besarnya yang bergetar karena tawa, laki-laki yang dulu sering diejek sebagai pesuruh Kondo-kun itu kini menampilkan senyum jahat. Dan saat arti dari kata-katanya mulai meresap ke dalam pikiranku, aku merasa darahku mengalir surut.

“Mengakali...?”

“Iya, benar. Aku nggak pernah ikut rencana kalian dari awal. Aku memang pura-pura dengerin, tapi nggak pernah ada niat buat ngejalanin. Aku tahu kalian mau nyalahin semuanya ke aku. Mana mungkin aku mau ikut rencana cewek sepicik dirimu. Jangan nganggap aku sebodoh itu!”

Tawanya yang kasar menggema di seluruh ruang klub.

“T-tapi, kamu bilang tadi semuanya berjalan lancar...”

Matsuda-san bertanya balik dengan suara gemetar, belum bisa memahami situasi.

“Iya, memang lancar. Aku udah kasih tahu anak-anak suruhannya Kondo kalau Ikenobu Eri bakal ngadu ke guru. Mereka pasti sekarang lagi nyerbu rumahnya tuh. Tapi mereka nggak tahu, aku udah lebih dulu ngasih tahu polisi. Haha, bego banget. Paling sekarang mereka udah ditangkep polisi yang udah siap nungguin.”

Wajahnya mencerminkan amarah, dendam, dan rasa rendah diri yang telah lama dipendam.

“Kenapa kamu tega menjebak temanmu sendiri...”

“Teman? Mereka yang selama tiga tahun ngerendahin aku, suruh-suruh aku kayak budak?! Mereka bukan teman. Dulu aku masih bisa tahan karena kupikir bisa dapet rekomendasi olahraga berkat Kondo. Tapi semua hancur gara-gara dia. Jadi wajar dong kalau aku balas dendam.”

Ia menerima tuduhan kami sambil tetap tertawa seperti orang rusak, seolah tak merasa bersalah sama sekali.

“...”

“Dan kamu juga bodoh, Tachibana. Kenapa coba kamu malah curhat ke aku? Aku yang dari dulu dendam sama Kondo. Kalian juga pacarnya Kondo ‘kan? Artinya, kalian juga target balasku. Makasih ya, udah ngasih info berharga dengan sukarela.”

Tubuhku mulai gemetar tak terkendali. Rasanya seperti dijatuhi hukuman mati.

“Kamu mau ngapain ke kami...?”

“Tenang aja. Aku nggak tertarik sama kalian. Mana mungkin aku sentuh cewek yang ada hubungannya sama Kondo. Aku cuma suka ngeliat orang-orang yang suka ngeremehin aku jatuh dan hancur. Itu aja.”

Ia kembali tertawa, gila. Dan aku mulai sadar betapa aku telah terjebak dalam situasi tanpa jalan keluar.

Tapi... aku masih aman. Belum ada bukti kuat yang menyatakan aku terlibat. Masih bisa mengelak. Aku belum kalah. Aku tidak boleh kalah!

“Eh, kenapa diam aja, Tachibana? Katanya kamu jago ngomong. Udah nyerah, ya? Kamu yang katanya sering menang lomba nulis, masa nggak nyadar skenarionya udah hancur? Mungkin kamu emang nggak punya bakat.”

Itu kalimat paling menusuk, datang tepat di saat terburuk.

Penghinaan. Penghinaan. Penghinaan!

“Diam! Tutup mulutmu!”

Aku berteriak tanpa sadar, suaraku menggelegar.

“Kalau marah, artinya kamu ngaku salah, dong?”

Ucapan provokatif itu membuatku semakin murka.

“Aku bilang diam!!!”

Suaraku menggema sampai ke lorong. Bahkan aku sendiri terkejut bisa teriak sekeras itu.

“Tsk. Ternyata pertahanannya lebih keras dari dugaan. Udah kupancing segitunya tapi masih nggak mengaku. Ya udahlah. Sisanya tinggal gimana kamu bisa lolos nanti.”

Setelah berkata begitu, ia berjalan keluar menuju lorong. Sial, aku lupa—dia masih dalam masa skorsing. Kalau dia sampai tertangkap berada di sekolah...

“Tachibana, kamu itu cuma orang bodoh yang salah paham merasa bisa mengendalikan orang lain. Padahal kamu nggak sebanding sama monster yang nyusun skenario ini. Kamu cuma orang bego yang ngubur dirinya sendiri.”

Bahkan sampai detik terakhir, ia masih berusaha menghancurkan harga diriku.

Aku hanya bisa berdiri di sana, menggigil karena marah, sambil menatap punggungnya yang menjauh...

Dan tak lama kemudian, para guru menerobos masuk ke ruang klub—dan kami pun dikepung.


Chapter 186 – Sang Penggerak di Balik Layar

—POV Ichijou Ai—

"Terima kasih, Kuroi. Memang bisa diandalkan."

Kabar dari Kuroi segera masuk. Serangan yang dilakukan oleh sisa-sisa anggota klub sepak bola terhadap Ikenobu Eri saat ia keluar rumah telah berhasil digagalkan. Meskipun mereka berasal dari klub olahraga, mereka jelas bukan tandingan Kuroi yang memiliki pelatihan khusus—apalagi jika bersama pasukan polisi pilihan.

Aku menutup telepon.

Lalu menuju tempat yang telah dijanjikan.

Di sebuah ruang kelas kosong, pria yang bekerja sama dengan kami sedang menunggu.

"Maaf telah membuat Anda menunggu. Saya adalah majikan Kuroi—Ichijou Ai."

Aku telah menjalin komunikasi dengannya lewat Kuroi. Karena itu, ini pertama kalinya kami benar-benar bertatap muka.

Ia tampak terkejut sesaat, lalu tersenyum.

"Tak kusangka ternyata kamu adalah Ichijou Ai. Idola sekolah yang ternyata dalang dari semua ini—pasti banyak yang tak percaya."

Ia telah membantu kami. Karena itu, aku memutuskan untuk menemuinya langsung. Dia mengambil risiko untuk kami, jadi aku juga harus melakukan hal yang sama. Meski dia adalah salah satu pelaku perundungan terhadap Eiji-senpai—yang tidak bisa kuampuni—tapi tanpa dia, rencana kali ini tak akan bisa terlaksana.

"Itu juga berlaku untuk Anda, bukan? Mitsuda-san."

"Haha, betul juga."

"Baru saja, Kuroi mengabari saya. Memang benar Ikenobu-san diserang oleh anak-anak klub sepak bola, tapi polisi sudah menanganinya. Ia selamat, tanpa luka sedikit pun."

Ia tersenyum tipis dan tampak sedikit lega.

"Kenapa kamu memilih untuk berurusan denganku?"

"Atas saran seseorang," jawabku sambil sedikit tersenyum pahit.

"Hmph. Tapi bagaimana kamu bisa tahu? Bahwa aku menyimpan dendam terhadap... ya, terhadap Kondo?"

"Seperti yang sudah saya katakan, itu bukan karena saya hebat. Tapi dalam penyelidikan terhadap klub sepak bola, kami segera menemukan ada seseorang yang sedang menggoyang Kondo. Ada yang memotret pertemuan rahasianya dengan Amada-san, menyebarkannya secara terbuka ke anggota klub, dan bahkan melaporkannya ke guru. Dari semua itu, Anda langsung dicurigai, bukan?"

Ia hanya tersenyum getir ketika aku menanyainya seperti itu.

"Orang yang dendam pada Kondo pasti yang melakukan semua itu. Dan saat aku memikirkannya, hanya ada dua tersangka. Pertama, Aono Eiji yang hampir dihancurkan secara sosial karena perundungan. Kedua, Endo Kazuki, yang sudah kukenal sejak SMP. Tapi Aono belum cukup kuat untuk bergerak, jadi tersangka paling kuat ya Endo."

Kami juga sudah memperkirakan bahwa kemungkinan besar Endo-san adalah pelaku utama di balik aksi-aksi balas dendam terhadap Kondo.

"Benar. Jika dipikir secara logis, Endo-san memang tersangka paling mungkin. Tapi anehnya, Kondo tidak pernah mencurigainya. Bahkan, sebagian anggota klub malah mencurigai Anda, karena dari loker Anda ditemukan banyak foto bukti pertemuan rahasia antara Kondo dan Amada-san. Anda sengaja membuat diri Anda dicurigai agar perhatian mereka teralihkan dari Endo-san. Bukankah begitu?"

"......"

Mitsuda-san hanya tertawa pelan tanpa menjawab. Dari berbagai informasi yang kami kumpulkan, tak ada tanda-tanda bahwa ia mencoba membersihkan namanya. Seolah-olah, ia justru sengaja membuat dirinya dicurigai.

"Dan saya juga menduga, yang membocorkan hubungan antara Kondo dan Amada-san ke Ikenobu Eri adalah Anda. Benar?"

Soal ini masih spekulasi. Aku tak punya bukti. Tapi kecil kemungkinan Endo-san melibatkan Ikenobu-san. Sebab selama ini, semua aksi Endo hanya tertuju pada orang-orang yang secara langsung menyakiti Eiji-senpai—seperti Kondo, Amada-san, dan para anggota klub sepak bola.

Tapi, dengan Ikenobu yang kehilangan kendali dan bertindak gegabah, para pelaku di balik layar akhirnya bisa diungkap. Bisa jadi, ada yang sengaja membuat Ikenobu kehilangan kendali.

"Heh... siapa tahu?"

Ia tetap memilih untuk tak menjawab dengan pasti. Tidak ada gunanya bertanya lebih jauh.

"Begitu ya..."

"Tapi satu hal yang ingin kusampaikan—Kondo sama sekali tidak menyangka bahwa aku dan Endo bisa menjatuhkannya. Bodoh banget, kan? Kalau dipikir-pikir, harusnya dia sadar. Dia cuma pecundang yang cuma mikirin dirinya sendiri."

Mitsuda-san tertawa puas.

Ia jelas terlibat dalam kasus perundungan terhadap Eiji-senpai. Jadi aku tidak mungkin bisa memaafkannya. Aku juga tak bisa menghentikan hukuman dari pihak sekolah.

"Tapi, kamu akan menepati janjimu, kan?"

Ia berkata dengan ekspresi tenang.

"Tentu. Kami akan menjamin keselamatan Anda."

Satu-satunya syarat dari Mitsuda-san untuk membantu kami hanyalah jaminan keselamatan dirinya.

"Mau dihukum skorsing atau bahkan dikeluarkan dari sekolah, tak masalah. Aku puas bisa menyaksikan kehancuran mereka dari barisan depan."

Kini, satu-satunya masalah yang tersisa adalah: Ketua Tachibana dan kelompoknya.


Chapter 187 – Ketua Tachibana Menari di Atas Sepatu Besi

—POV Takayanagi—

Berdasarkan laporan dari Mitsuda, kami langsung menggerebek ruang klub sastra.

Sebagian besar informasi sudah kami dengar. Kini waktunya untuk menyelesaikan semuanya. Semua perdebatan yang sia-sia berakhir di sini, Tachibana.

“Bukan, bukan aku! Aku tidak bersalah! Aku hanya tertipu oleh Matsuda-san dan Mitsuda-kun! Aku tidak tahu apa-apa! Aku hanya terlibat tanpa sengaja!”

Tachibana menangis dan berteriak histeris, menunjukkan perlawanan sengit.

Matsuda yang berada di sampingnya hanya bisa berdiri terpaku, tampak linglung sambil berkata, “Ketua, apa maksudmu…?”

Adegan ini mengingatkanku pada Snow White versi Grimm. Ibu tiri yang menyiksa Snow White pada akhirnya terbongkar semua kejahatannya, lalu dihukum menari dengan sepatu besi yang dipanaskan hingga mati.

Tingkah menyedihkan Tachibana tak ubahnya seperti ibu tiri dalam dongeng itu.

Melihat semua ini, aku tahu—Matsuda akan segera goyah.

Tachibana bahkan tidak sadar bahwa semua usaha terakhirnya justru mempercepat kejatuhannya sendiri.

“Untuk sekarang, mari kita tenangkan situasi. Tachibana, ke ruang bimbingan siswa. Matsuda, ke UKS.”

Aku yang akan menangani Tachibana.

**

—Di Ruang Bimbingan Siswa—

“Langsung saja ke intinya. Serangan terhadap Ikenobu Eri yang gagal. Dan perundungan terhadap Aono Eiji. Yang memimpin semua itu adalah kamu, Tachibana, bukan?”

Tachibana masih tampak terguncang, tapi lebih tenang dibanding beberapa saat lalu.

“Salah. Itu semua karena Matsuda-san yang lepas kendali. Sekolah terlalu menekan dia, makanya dia jadi seperti itu. Dia memang sudah mulai bertingkah aneh sejak klub sastra dicurigai sebagai pelaku perundungan.”

Jadi itu alasan yang kamu pilih, ya?

“Kalau begitu, bagaimana dengan naskah Aono Eiji yang hilang secara spesifik dan disengaja?”

“Sudah saya bilang, saya tidak terlibat. Tapi… sekarang kalau dipikir-pikir, ada dua orang yang mencurigakan di klub.”

“Oh?”

“Pertama, Hayashi-san dari kelas satu. Dia tiba-tiba berhenti datang ke klub tepat sebelum kasus perundungan terhadap Eiji terungkap. Mencurigakan, kan?”

“……”

Aku sampai terdiam sejenak. Betapa egoisnya logika ini. Tapi dia mengira aku tak bisa membantah, dan mulai mengutarakan argumennya dengan percaya diri.

“Yang kedua adalah Matsuda-san. Seperti yang saya katakan, sejak penyelidikan sekolah dimulai, kondisi mentalnya menurun. Bisa saja dia adalah pengkhianat dari dalam klub. Lagipula, kalau tak ada orang dalam, mustahil hanya naskah Eiji yang bisa dicuri.”

Dia benar-benar sudah merancang segala kemungkinan bantahan dari Aono.

Penuh perhitungan, hitam dan licik. Dan meskipun ini hanya dalih spontan, tetap saja cukup sulit dibantah jika kita belum siap.

Tapi kami sudah menyelesaikan sebagian besar penyelidikan. Jadi semua ini hanyalah alasan kekanak-kanakan yang sia-sia.

“Kalau begitu, bagaimana dengan kesaksian Mitsuda?”

“Dia dendam pada Kondo-kun. Jadi mungkin dia ingin menjatuhkan saya dan Matsuda-san yang dekat dengan Kondo. Toh, dia sendiri bilang tak menganggap teman-temannya di klub sepak bola sebagai teman. Apa bisa percaya pada orang yang mengkhianati temannya sendiri?”

Wah, sungguh pertunjukan yang luar biasa.

“Baiklah. Aku paham maksudmu, Tachibana.”

“Iya kan? Kalau kalian masih curiga padaku, tunjukkan bukti nyata. Kalau tidak, aku sama seperti Aono Eiji—korban fitnah. Dan kalau kecurigaan ini terus berlanjut, aku pun akan mengambil langkah hukum untuk membela diri.”

Sekarang dia mengira sudah membalik keadaan dan bahkan mulai mengancam pihak sekolah.

Tapi justru ini yang kami tunggu-tunggu.

Saat seseorang yang sebelumnya terpojok mulai menyerang balik, itulah momen ketika pertahanan mereka paling lemah. Sebuah "kantong kosong" dalam berpikir tercipta. Jika kita menyerang dari arah yang tak terduga, semuanya akan runtuh sekaligus.

“Kalau begitu, bagaimana kau menjelaskan isi percakapan pesan ini? Ini baru saja kami terima dari kepolisian. Tampaknya, data dari ponsel Kondo berhasil dipulihkan. Ini adalah sebagian isi pesanmu dan Kondo di media sosial.”

Begitu mendengar itu, wajahnya langsung pucat pasi.

Dengan suara kecil dia bergumam “bohong…” lalu tubuhnya bergetar hebat, seperti sedang menari tarian terakhirnya.

Posisi telah kembali terbalik sepenuhnya.


Chapter 188 – Kehancuran Ketua Tachibana

—POV Ketua Tachibana—

Kenapa!?

Kenapa pesan itu masih ada? Aku tidak mengerti!

Padahal aku sudah bertindak dengan sempurna. Aku yakin sudah menghapus pesan itu. Tapi entah kenapa, pesan yang kukirim hari itu tetap tersimpan.

Waktu itu, saat Kondo mengeluh bahwa perasaan Miyuki Amada belum sepenuhnya hilang, aku menyarankannya untuk lebih menekan Aono Eiji. Bahkan aku menyisipkan tautan ke situs yang berisi metode konkret untuk melakukannya...

“Pesan itu memang kamu yang kirim, bukan?” Takayanagi mengucapkannya dengan dingin.

“Saya tidak ingat. Apa kalian punya bukti kalau saya yang mengirimnya? Di ponsel saya tidak ada pesan seperti itu. Mungkin ada orang lain yang memalsukan atau menyamar jadi saya. Saya tidak tahu apa-apa soal ini, sungguh!”

Begitu aku membela diri, Takayanagi menghela napas berat.

“SNS itu punya sistem yang unik. Kalau pesan dihapus, tidak bisa dipulihkan lagi. Jadi, kalau Kondo sempat menyinkronkan timeline setelah kamu menghapusnya, bukti ini pasti tidak akan tersisa.”

Dia menjelaskan semuanya dengan datar, seolah tak peduli dengan alasanku. Keringat dingin mulai mengalir di punggung. Tidak ada satu pun pembelaan yang berhasil.

“Saya bilang, saya tidak melakukannya!”

Aku kehilangan kesabaran dan membentak, tapi Takayanagi tetap melanjutkan.

“Tapi, Kondo saat itu sedang tertekan, dan melampiaskan amarahnya dengan menghancurkan ponselnya. Akibatnya, dia tak bisa login kembali ke SNS dan tak sempat menyinkronkan timeline. Jadi, bukti bahwa kamu adalah dalang di balik semua ini justru tetap tersisa. Sudahlah, hentikan alasan kekanak-kanakanmu. Jangan anggap enteng orang dewasa. Masalah ini sudah terlalu besar, Tachibana. Omong kosongmu takkan diterima.”

“Itu bukan omong kosong!! Sebagai guru, bukankah seharusnya kamu percaya padaku!?”

Kenapa dia tidak mau mengerti? Orang ini…

“Begitu ya. Polisi juga akan menyelidiki SNS dalam kasus ini. Karena buktinya begitu jelas, mereka pasti bisa menentukan apakah perkataanmu benar atau tidak.”

Kalau begitu... aku harus hapus akun itu...

“Sebagai tambahan, meskipun kamu menghapus akun, itu tidak akan berguna.”

Aku hanya bisa menatapnya tajam tanpa bisa membalas sepatah kata pun.

“Tachibana. Pihak sekolah menganggap ini masalah serius. Untuk sementara waktu, kamu akan menjalani skorsing di rumah. Mengerti?”

“Diam! Diam! Aku tidak akan mengakui semua ini!”

“Sudahlah. Sudah saatnya kamu jadi dewasa, Tachibana. Kamu tidak bisa lari lagi.”

Ketika Takayanagi menasihatiku dengan tenang, aku justru semakin marah hingga kehilangan akal.

“Cukup! Kalau begitu, aku akan buktikan bahwa aku tidak bersalah. Dan kalau itu terjadi, kamu takkan bisa lagi menjadi guru. Sudah siap menerima akibatnya!?”

Aku mencoba mengancam dengan kata-kata sekeras mungkin, tapi Takayanagi tak tergoyahkan.

“Kalau memang guru, semestinya bisa menerima itu. Kami juga masih menanyai anggota klub sastra lainnya. Kalau ada hal baru, kami akan hubungi kamu lagi.”

Tidak bisa. Aku harus melakukan sesuatu. Kalau pembelaan tidak berhasil, maka aku harus membuat orang lain dijadikan tersangka.

Karena Matsuda-san sedang dalam pemeriksaan, target tercepat adalah Hayashi-san. Aku harus menciptakan sebuah “fakta” yang memberatkannya.

Seperti pemangsa yang mengejar hewan kecil, aku berlari.

**

POV Imai

“Ini Takayanagi. Wawancara dengan Tachibana baru saja selesai. Dia masih terus menyangkal semuanya. Bagaimana dengan Matsuda? Begitu ya, dia hampir mengakui semuanya. Mengerti. Karena Tachibana sudah terpojok, dia mungkin akan mencoba mendekati Hayashi atau anggota klub sastra lainnya secara paksa. Sebelum ada masalah, mari kita tingkatkan patroli.”

Dalam prediksiku, Tachibana pasti akan bertindak nekat.

Tapi itu hanyalah taruhan putus asa dari orang yang sudah terdesak. Tidak mungkin berhasil. Bahkan, aku perkirakan kami akan mendapatkan bukti lebih cepat daripada menunggu hasil penyelidikan polisi.

Lagipula, Hayashi sudah dilindungi oleh Aono dan yang lainnya, dan para guru pun waspada penuh. Jadi jika Tachibana mencoba mendekat secara paksa, dia akan langsung terperangkap seperti tikus masuk perangkap.

Untuk berjaga-jaga, aku pun mengikuti jejaknya.


Chapter 189 – Ketua Klub Sastra dan Hayashi-san

—POV Ketua Tachibana—

Ini tidak bisa aku terima.

Aku adalah orang yang terpilih. Tidak seperti Kondo-kun yang ceroboh, aku masih bisa mengatasinya. Tidak—aku harus mengatasinya.

Pesan yang bocor tadi pun, sebenarnya belum tentu jadi bukti yang menentukan. Level seperti itu bisa aku anggap sebagai candaan. Aku bisa bilang, aku tak pernah benar-benar menyangka Kondo-kun atau anggota klub sepak bola melakukan perundungan.

“Itu dia!!”

Aku menemukan buruanku. Sudah waktunya pulang sekolah. Kukira, karena isu perundungan, dia akan pulang bersama teman-temannya...

Ternyata, kebetulan dia sendirian. Ini kesempatan. Langkah terakhir untuk membalikkan keadaan adalah dengan memanfaatkan Hayashi-san.

“Hayashi-san!!”

Aku sengaja bersikap ramah dan memanggil dengan suara keras, sampai beberapa siswa lain refleks menoleh.

Dia tersentak kaget dan bahunya gemetar.

“Tachibana-buchou?”

Sekarang perhatian para siswa tertuju padanya. Ini kesempatan emas.

“Tolong, bantu aku. Klub sastra akan dijadikan kambing hitam oleh pihak sekolah!!”

Wajahnya tampak hampir menangis. Tapi aku yakin, ini kesempatan.

Dia gemetar seperti hewan kecil. Dia pasti akan setuju denganku dengan mudah.

“Tolong. Kesaksianmu sebagai orang yang sudah keluar dari klub akan jadi bukti yang objektif. Para guru menuduhku sebagai dalang dari perundungan terhadap Eiji-kun. Bahkan soal hilangnya barang-barang pribadi Eiji, mereka mencurigai kami yang melakukannya.”

Waktu itu, saat aku memberi instruksi kepada para anggota klub, dia hanya bisa terdiam dengan wajah pucat pasi. Meskipun dia tak terlibat langsung, rasa bersalah pasti masih ada. Dan aku akan memanfaatkannya.

Aku melanjutkan dengan suara rendah, hanya bisa didengar olehnya.

“Kau tahu, kan? Diam dan tak menghentikan juga sama dengan bersalah. Bisa jadi, kau juga akan dikenai sanksi dari sekolah. Maka dari itu, lebih baik dukung kami. Kami tidak akan membuatmu menderita.”

Aku menepuk bahunya dan berkata dengan ringan, “Sudah saatnya kamu bersikap dewasa.” Matanya mulai berkaca-kaca.

Merasa telah menang, aku pun dengan sengaja meninggikan suara dan mulai memainkan peran sebagai korban demi menarik simpati penonton.

“Tolonglah, memang menentang guru itu menakutkan. Tapi para guru hanya ingin cepat menyelesaikan masalah ini demi menjaga evaluasi mereka. Karena itu, mereka mencoba menjadikan kami sebagai kambing hitam. Tolong, bantu kami.”

Aku berpura-pura menjadi pihak yang lemah dan korban. Ini pasti akan menarik simpati.

Ingat, dalam dunia ini, kebenaran itu bukan soal apa yang sebenarnya terjadi, tapi apakah kita bisa membuat orang lain percaya bahwa itu kebenaran.

Ayo, Hayashi-san. Berikan kesaksianmu bahwa kami tidak bersalah. Sosokmu yang lemah dan manis bagaikan binatang kecil akan membuat semua orang berpihak padaku. Ayo, katakanlah. Deklarasi kemenangan kami.

“...Hm.”

“Apa? Suaramu terlalu kecil, aku tidak dengar.”

Saat aku memaksanya, dia tiba-tiba berteriak dengan suara lantang. Air matanya mulai jatuh deras.

“Aku tidak bisa mengatakan hal seperti itu. Karena... karena aku melihat sendiri Ketua Klub Sastra Tachibana menyuruh anggota klub membuang barang dan naskah milik Aono Eiji-senpai sebagai bentuk pelecehan!!”

Atmosfer penuh simpati itu lenyap seketika.

Tatapan dingin mulai mengarah padaku.

“Apa yang kamu katakan?”

Aku menatapnya dengan makna, bukankah kau juga bersalah? Tapi dia menggelengkan kepala kuat-kuat.

“Aku tidak bisa terus berbohong. Aku tak tahan. Aku tak mau jadi kotor seperti dirimu. Aku tidak ingin terus mengkhianati Aono-senpai yang ku hormati.”

Setelah darahku menghilang dari wajah, kini darah itu naik ke kepalaku.

Aku mengayunkan tanganku, menamparnya.


Chapter 190 – Kehancuran

—POV Ketua Tachibana—

Karena emosi yang meledak, aku tanpa sadar mengayunkan tangan untuk menampar Hayashi-san. Saat menyadari perbuatanku, aku sempat berpikir “celaka”, tapi sudah terlambat untuk menghentikannya.

Aku bisa melihat suasana sekitar berubah jadi kacau.

Semua perhatian tertuju padaku.

“Kekerasan itu tidak bisa dibenarkan, Tachibana-san.”

Sebuah suara laki-laki terdengar. Tanganku ditarik dengan kuat. Rasa sakit dan takut datang bersamaan. Ternyata tamparan itu berhasil dicegah, dan aku kehilangan keseimbangan lalu terhuyung.

Meskipun sempat mencoba bertahan, tubuhku akhirnya jatuh berlutut.

“Imai Satoshi?”

Aku tak begitu mengenalnya. Tapi karena dia teman Eiji-kun dan pernah bertemu beberapa kali, aku tahu namanya.

“...Ini sudah berakhir. Kamu... barusan sudah mengakui semuanya, kan? Sekalipun kamu beralasan bahwa Hayashi-san berbohong, bukti-bukti situasional sudah terlalu banyak. Berhentilah melawan. Itu menyedihkan.”

Dia jelas sedang memprovokasiku. Dipermalukan oleh orang yang hampir tak kukenal membuat amarahku meledak.

“Kau pasti sekongkol dengan Hayashi-san! Siapa yang menyuruhmu? Eiji-kun? Para guru? Atau Mitsuda-kun!? Siapa yang berusaha menjebakku!?”

Aku berteriak histeris untuk mengubah keadaan, tapi orang-orang hanya menatapku dengan pandangan aneh. Tak satu pun yang membelaku. Justru aku melihat kerumunan mulai mencibir dan tertawa pelan.

Ini aneh. Strategiku seharusnya sempurna. Tapi tak ada satu pun yang tampak mempercayaiku.

“Ini adalah reaksi yang normal, Ketua Tachibana. Kamu iri pada bakat Eiji dan mencoba menghancurkannya. Bukankah itu inti dari kasus tuduhan palsu terhadap Aono Eiji?”

“Jangan mengarang-ngarang!!”

Aku berusaha membantah dengan suara lantang. Tapi...

“Hehe...”

“Apa yang gadis itu bilang tadi, terdengar jujur, ya?”

“Kalau sampai marah dan hendak memukul, pasti memang benar, kan?”

Suara orang-orang di sekitar terasa begitu menusuk. Semuanya memandangku seolah aku penjahat sebenarnya.

“Inilah penghinaan yang dirasakan Eiji karena ulahmu. Ia dituduh tanpa bukti dan mengalami keputusasaan yang jauh lebih dalam. Sekarang, kamu bisa sedikit merasakannya. Betapa kejamnya perbuatanmu itu.”

Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dengan lemas, aku merosot ke tanah sambil memegangi kepala.

“Bukan aku... bukan aku...”

Aku mengulang-ulang pembelaan kosong itu. Tapi tak seorang pun ingin memaafkanku. Beberapa bahkan merekam kejadian ini dengan ponsel mereka.

“Teruskan saja begitu. Guru-guru akan segera datang. Banyak siswa yang akan memberi kesaksian soal apa yang dikatakan Hayashi-san. Kamu sudah kalah, Tachibana. Kalah oleh orang-orang yang kamu anggap cuma alat. Kamu menggunakan mereka, lalu membuang mereka tanpa ampun. Kamu kebalikan dari Eiji. Eiji menolongku dan Hayashi-san. Banyak yang pernah ditolong Eiji. Mereka percaya padanya dan tak terpengaruh rumor keji.”

“……”

Aku menatap Imai dengan tajam. Aku tahu, kata-katanya berikutnya akan menghancurkan seluruh harga diriku. Tapi dia tetap melanjutkan tanpa ragu.

“Kamu terus membuat orang lain menderita, dan akhirnya dirimu sendiri yang hancur. Eiji membuat teman-temannya bahagia. Kamu dan dia itu berlawanan total. Bukan hanya dalam menulis. Dalam segala hal, kamu kalah dari Aono Eiji. Dan saat kamu terpuruk seperti ini, tak ada satu pun yang mau menolongmu.”

Kata-katanya mencabik-cabik harga diriku hingga hancur tak bersisa.

Kalau aku tidak bisa keluar dari situasi ini, aku tak akan bisa bertahan di sekolah ini. Aku akan kehilangan segalanya. Tapi aku benar-benar tak bisa berkata apa pun.

Yang bisa kulakukan hanyalah menangis dan terpuruk.

Tak lama kemudian, Takayanagi datang. Air mataku sudah membuat penglihatanku kabur.

“Ayo, ceritakan semuanya, Tachibana.”

Seperti menaiki tangga ke tiang gantung, aku pun perlahan berjalan menuju kehancuranku.

Aku tak bisa membela diri lagi. Dengan menanggung rasa malu karena kalah dari seorang junior dalam segala aspek, aku hanya bisa mengutuk takdir yang kini membawaku pada kehancuran sosial.

Neraka ini... baru saja dimulai.


Previous Chapter | Next Chapter

3 comments

3 comments

  • Feldway
    Feldway
    1/7/25 13:37
    Cihuy,, hari penghakiman telah datang wahai BuChoo siaaaalan 😹
    Reply
  • Jio
    Jio
    30/6/25 18:37
    Mati lu cewek sikopet...
    Reply
  • Godok
    Godok
    30/6/25 17:37
    Mampus lu cewek bngsat😂
    Reply
close