NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kazukazu no Kokuhaku o Futte Kita Gakkou no Madon'na ni Sotobori o Ume Raremashita Volume 1 Chapter 3

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan

Jangan lupa buat join ke grup whatsapp Fanservice karena admin sana dah bersedia buat kasih hasil pesanan jasanya dari Hinagizawa Groups buat diunggah ke website Kaori Translation

Ini Linknya: https://chat.whatsapp.com/HLeZcbosBqsJWktlZvriUR


Chapter 3

Kencan di Rumah Bersama Pacar Palsu


"――Nee-ne, ayo main!?"


Pada malam sebelum kencan dengan Misaki, aku memberitahu hal itu kepada Kokoa, dan seketika suasana hatinya melonjak tinggi.


Sejak beberapa waktu terakhir, setiap kali teringat tentang Misaki, dia selalu bertanya, "Nee-ne nggak main ke sini...?" Sepertinya dia memang sangat ingin bertemu. Karena terlalu bersemangat, dia hampir melompat dari tempat tidur, jadi aku menahannya dengan tanganku sambil tersenyum.


"Dia (nee-ne) bakal datang ke rumah, jadi jangan nakal ya?"


Awalnya, kami memang berencana untuk pergi bermain ke luar supaya teman-teman sekolah benar-benar percaya kalau kami pacaran. Tapi setelah kupikir-pikir, kami sudah menghabiskan cukup banyak uang jajan saat festival kemarin, jadi aku ingin menghindari jalan-jalan yang menghabiskan uang.


Sebagai gantinya, di kelas aku sengaja mengajak Misaki ke rumah dengan suara yang bisa didengar semua orang. Akibatnya, kelas langsung jadi heboh, dan kemungkinan besar hampir semua orang percaya. Tentu saja aku sudah berdiskusi dulu dengan Misaki sebelumnya, jadi dia tidak sampai membuat kesalahan.


"Nee-ne udah datang?"


Entah karena tidak mendengarkan penjelasanku dengan benar, Kokoa menatapku penuh harap sambil memiringkan kepalanya.


"Belum, dia datangnya besok."


"Buuhh...!"


Karena tidak suka dengan jawabanku, dia menggembungkan pipinya sebagai bentuk protes. Dia pasti ingin langsung bermain. Tapi untuk yang satu ini memang tidak bisa dipaksa.


"Besok kamu bisa main sama Nee-ne, jadi malam ini tidur cepat, ya?"


Aku menyelimuti tubuh Kokoa dan mengelus kepalanya dengan lembut.

Kokoa biasanya tidurnya nyenyak, jadi kalau sudah tidur malam, tidak akan bangun sampai pagi. Makanya kupikir lebih baik dia cepat tidur saja. Tapi ternyata...


"Yaa...!"


Begitu mendengar soal Misaki, dia langsung benar-benar terbangun dan tidak berniat untuk tidur. Gagal total...Harusnya aku menunggu sampai besok baru memberitahunya tentang Misaki.


"Nggak mau tidur?"


"Nn...!"


Kokoa bangkit duduk dan mengangguk pelan. Kalau sudah begini, dia jadi keras kepala dan tak ada gunanya dibujuk. Mungkin kalau dibiarkan, dia akan mengantuk sendiri. Lagipula, sesekali tidak apa-apa.


"Sini, Kokoa."


"Nn...!"


Begitu aku membuka tangan, Kokoa langsung tersenyum cerah dan memelukku. Aku menggendong Kokoa dan kembali ke ruang tengah. Lalu duduk di sofa dan mendudukkannya di pangkuanku.


"Mau nonton anime?"


Zaman ibu dulu, katanya nonton anime itu harus direkam dulu, tapi sekarang kita bisa nonton dengan mudah lewat situs streaming anime.

Selama ada laptop atau ponsel, aku bisa memutarkannya kapan saja, terutama saat ingin membuat Kokoa duduk tenang. Namun...


"Hmm... nggak mau."


Setelah berpikir sejenak, Kokoa menggeleng pelan. Sepertinya dia sedang tidak ingin menonton anime. Kalau sudah begini, biasanya Kokoa...


"............"


Mulai bermain sendiri dengan tanganku. Dia menempelkan kedua telapak tanganku, menekankannya ke wajahnya—tanpa banyak berpikir, hanya bermain sesuai suasana hati. Jadi aku membiarkannya melakukan sesuka hatinya. Dan saat seperti itu—


"............"


Dia menatap wajahku dari bawah.


"Ada apa?"


"Ehehe."


Saat kutanya, Kokoa tertawa kecil dengan wajah senang. Lalu kembali bermain dengan tanganku. Sepertinya, hari ini itu sudah cukup baginya.


Aku pun menunggu sampai Kokoa mulai mengantuk, lalu menggendongnya kembali ke tempat tidur setelah dia tertidur.



"――Nee-ne~!"


Saat melihat orang yang ditunggu di pintu keluar stasiun, Kokoa langsung melambai-lambaikan tangan dengan semangat. Melihat itu, orang yang ditunggu—Misaki pun menyadari kehadiran kami.


"Halo, Kokoa-chan."


"Halo~!"


Setelah disapa, Kokoa membalasnya dengan senyum lebar. Sejak pagi dia sudah gelisah, pasti sudah tak sabar menunggu.


"Kalian datang menjemputku?"


"Un...!"


Kokoa mengangguk kuat menjawab pertanyaan Misaki. Wajahnya tampak sedikit bangga.


Sebenarnya, aku hanya menjemput Misaki karena dia belum tahu alamat rumahku, tapi melihat Kokoa yang sangat senang, sepertinya keputusan ini memang tepat.


—Namun, sebuah pertanyaan tiba-tiba melintas di pikiranku.

Ngomong-ngomong, Suzumine-san itu sepertinya tahu persis rumahku, ya? Padahal seharusnya tidak banyak orang di sekolah yang tahu…


"Nii-ni."


Saat aku mulai berpikir, Kokoa menarik-narik bajuku.


"Ada apa?"


"Gendong...!"


Aku berjongkok untuk menyamakan pandangan mata dengannya, dan Kokoa langsung membuka kedua tangannya lebar-lebar. Kupikir karena dia akrab dengan Misaki, dia akan minta dipeluk oleh Misaki, tapi ternyata dia ingin aku yang menggendongnya. Terus terang, aku senang.


"――Yoisho."


Dengan hati-hati, aku melingkarkan tanganku di tubuh Kokoa agar tidak terjatuh, lalu mengangkatnya perlahan. Begitu diangkat, Kokoa langsung menempelkan pipinya padaku seolah ingin berkata, "di sinilah tempatku."


"Fufu, kalian akrab sekali ya."


Melihat kami seperti itu, Misaki menatap dengan senyum hangat.

Jujur saja, aku cukup yakin kami adalah kakak-adik paling akur di dunia.


"Aku belum menyapamu ya. Halo."


"――!?"


Saat aku menyapanya, Misaki terlihat jelas terkejut. Ia memandangku seolah tak percaya. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu…


"Misaki?"


"Ah, ehm... halo..."


Misaki terlihat sedikit bingung dan akhirnya membalas sapaanku dengan senyum canggung yang kelihatan dibuat-buat. Ada apa, sih, sebenarnya?


"Ada sesuatu yang mengganjal?"


"T-tidak, kok?"


Yup, pasti ada. Dia gampang banget ditebak.


"Aku nggak akan marah, jadi bilang aja."


Setelah kudesak begitu, Misaki melirik ke arah wajahku sejenak, mungkin memastikan kalau aku benar-benar tidak akan marah.


"...Karena Raito-kun menyapaku duluan, aku kaget banget..."


Dengan kedua telunjuk saling bersentuhan, ia mengalihkan pandangannya sambil berkata pelan.


"Misaki sebenarnya menganggapku ini apa sih…?"


—meskipun aku bilang begitu, aku lumayan paham kenapa dia bisa berpikir seperti itu. Kalau dipikir-pikir, aku memang hampir tidak pernah menyapa orang lain lebih dulu di sekolah. 


Soalnya, biasanya kalau aku menyapa duluan, mereka malah bersikap tidak menyenangkan. Meskipun begitu, seingatku aku masih tetap menyapa Misaki waktu berpisah, kan…?


"Aku harus jadi contoh yang baik buat Kokoa."


Akhirnya aku jelaskan secara singkat agar Misaki paham.


"Ah~ begitu ya."


Misaki tampak paham, dan mengangguk-angguk berkali-kali. Entah kenapa, ada perasaan sedikit kesal di dada.


"Salam itu... penting...!"


Entah sejauh mana dia mengerti pembicaraan tadi, tapi Kokoa ikut angkat suara dengan nada bangga. Itu semua berkat didikan sehari-hari.


"Benar. Kokoa harus selalu menyapa semua orang dengan baik, ya?"


"Un, udah kulakuin...!"


"Hebat, hebat."


Aku mengelus kepala Kokoa yang mengangguk penuh percaya diri.


"Ehehe."


Hanya karena itu saja dia bisa tersenyum bahagia—memang benar-benar malaikat.


"Benar-benar, Kokoa-chan itu imut banget ya."


"Ya, soalnya dia malaikat."


"Fufu, iya iya."


Dia menanggapinya seadanya. Sepertinya dia mulai terbiasa dengan kelakuanku.


"――Tapi jujur aja, aku nggak nyangka bakal ada hari di mana aku datang ke rumah cowok."


Saat kami berjalan menuju rumahku, Misaki tiba-tiba mengatakan sesuatu yang agak aneh.


“Kalau kamu mau, bukannya bisa pergi ke rumah cowok kapan saja?”


Kalau itu Misaki, cukup menunjukkan sedikit tanda ingin pergi, pasti banyak yang langsung mengundangnya. Setidaknya, kalau dia bilang "mau main ke rumah," hampir semua cowok pasti dengan senang hati membawanya.


"Aku rasa, bercanda seperti itu tidak baik,"


Namun, sepertinya dia menganggap ucapanku sebagai lelucon yang menyebalkan, dan menatapku dengan mata menyipit penuh ketidakpuasan.


“Nii-ni, jangan jahil.”


Dan bahkan Kokoa, yang hanya menangkap kata-katanya saja, ikut menegurku.


Sejak dulu aku sudah curiga, tapi sepertinya kalau aku dan Misaki bertengkar, Kokoa pasti akan memihak Misaki.


“Aku nggak jahil, kok.”


Aku mengelus kepala Kokoa untuk mengalihkan perhatiannya—tak mau cari masalah dengannya. Begitu dielus, Kokoa menyipitkan mata seperti kucing yang dimanja, lalu menggesekkan kepalanya ke telapak tanganku. Sifatnya yang sederhana seperti ini cukup membantu.


“Yah, mungkin kamu akan merasa canggung di rumahku, tapi santai saja, ya. Toh ada Kokoa juga, jadi kita nggak akan berdua saja.”


Meski Misaki tidak terlihat tegang, tetap saja aku mencoba menjelaskan. Kalau hanya berdua, mungkin saja terjadi sesuatu yang tak diinginkan, tapi kalau ada Kokoa, jelas itu tidak akan terjadi. Misaki pun seharusnya tahu itu.


“Terima kasih sudah perhatian.”


“Tidak perlu sampai terima kasih juga. Tapi, kamu yakin soal ini?”


“Hm?”


Saat aku ingin memastikan soal hari ini, Misaki menoleh dengan ekspresi bingung, sepertinya dia tidak langsung mengerti maksudku.


“Soal makan siang, Misaki yang akan masak, kan?”


Dia sendiri yang menawarkan itu saat aku mengundangnya ke rumah. Dia juga selalu membuat bekal setiap hari, jadi mungkin dia menganggap ini sebagai kelanjutannya.


“Ah, soal itu ya. Tentu saja, nggak masalah. Aku juga ingin Kokoa-chan mencicipinya, kok.”


Ternyata dia lebih ingin menyajikannya untuk Kokoa, bukan untukku.

Yah, aku bisa paham sih perasaannya.


“Hari ini bukan giliran masakan Nii-ni, ya?”


“Benar. Hari ini Misaki yang masak.”


“…………”


Kokoa menatap Misaki tanpa berkata apa-apa. Saat dia seperti ini, biasanya dia sedang memikirkan sesuatu—


“Un...!”


Sepertinya dia sudah sampai pada kesimpulan, Kokoa mengangguk besar. Mungkin dia sempat khawatir soal makanannya, tapi setelah tahu Misaki yang masak, dia merasa tak masalah.


“Artinya dia menyetujui, ya?”


“Sepertinya begitu.”


“Kalau begitu, aku harus berusaha supaya tidak mengecewakan.”


Misaki tampak semakin bersemangat, jadi sepertinya semuanya berjalan lancar.


"Makan siang♪ Makan siang♪"


Saat ini, Misaki sedang memasak makan siang, dan Kokoa duduk di pangkuanku sambil mengayun-ayunkan tubuhnya dengan riang. Aroma yang sangat sedap tercium dari dapur, jadi dia pasti sangat menantikannya.


“Fufu, sebentar lagi selesai, jadi tunggu sebentar ya~”


Sambil memegang wajan dengan tangan kiri, Misaki menoleh ke arah Kokoa dengan senyum lembut dan ramah.


Tampaknya memang benar dia suka anak-anak, karena dia terlihat sangat menikmati waktunya bersama Kokoa. Melihat mereka berdua, aku jadi merasa seolah sedang melihat ibu dan anak. Kalau dipikir lebih jauh, rasanya seperti kami bertiga ini adalah keluarga bahagia yang hidup bersama.


“Maaf ya, baru datang sudah disuruh masak.”


Misaki mulai memasak begitu sampai di rumah karena Kokoa langsung berkata, “Lapar…” dengan mata berkaca-kaca. Padahal seharusnya dia bisa istirahat sebentar, tapi karena dia baik hati, dia menuruti kemauan Kokoa. Aku benar-benar berterima kasih untuk itu.


“Tidak apa-apa kok, aku juga sudah membuat kalian menunggu karena aku datangnya agak telat.”


Dia tiba di stasiun sekitar jam satu siang. Memang agak telat untuk makan siang, tapi tidak terlalu keterlaluan juga.


“Terima kasih sudah memaklumi.”


“Ahaha, sama-sama.”


Misaki melanjutkan memasaknya sambil tetap tersenyum. Aku sudah tahu dia pandai memasak dari bekal-bekal yang dia buat setiap hari, tapi melihat langsung seperti ini benar-benar menunjukkan keahliannya. Pasti dia sudah terbiasa memasak sejak lama.


“……”


“Kokoa?”


Entah apa yang dipikirkannya, Kokoa tiba-tiba berdiri dari pangkuanku. Lalu, dia berjalan kecil menuju arah Misaki.


“―Eh, jangan ganggu, itu bahaya.”


Sudah bisa kutebak apa yang akan dilakukan Kokoa, jadi aku langsung mengangkatnya dari belakang. Akibatnya, pipi Kokoa langsung mengembung.


“Muuu…!”


“Misaki sedang pakai api dan pisau, jadi berbahaya.”


Aku menjelaskan baik-baik kepada adikku yang terlihat kesal. Kalau dia tiba-tiba memeluk Misaki dan mengejutkannya, bisa jadi malah mengganggu atau mencelakakan. Jadi satu-satunya pilihan adalah tetap menggendongnya.


“Wah, Kokoa-chan, kamu ingin lihat aku memasak?”


Misaki menoleh sambil sedikit memiringkan kepala, melihat Kokoa yang kupeluk. Kepada Misaki, Kokoa mengulurkan kedua tangannya sekuat tenaga.


“Nee-ne~!”


Sepertinya dia sedang minta tolong. Memang menggemaskan, tapi aku tidak bisa membiarkannya sampai terluka, jadi aku tidak akan melepaskannya.


“Raito-kun, nggak apa-apa bawa dia ke dekat sini kok, aku akan hati-hati.”


Tampaknya Misaki ingin aku mendekat sambil tetap menggendong Kokoa agar dia tidak berkeliaran.


“Beneran nggak apa-apa?”


“Ya, kalau Kokoa-chan ingin lihat, lebih baik ditunjukkan saja.”


“Kalau begitu…”


Aku menoleh ke arah Kokoa yang sedang kugendong. Seolah tahu aku akan menoleh, Kokoa menengadahkan kepala dan menatapku dengan mata berbinar-binar penuh harapan.


Yah, kalau Kokoa memang ingin melihat, tentu saja aku juga ingin memperlihatkannya. Jadi aku memutuskan menerima tawaran Misaki.


Lagipula, kalau dia ingin melihat Misaki memasak, dengan tinggi badannya, tetap saja harus digendong.


“Kokoa, jangan bergerak atau ulurkan tanganmu, ya?”


“Unn…!”


Setelah kuperingatkan duluan, Kokoa mengangguk kuat-kuat. Untuk berjaga-jaga, aku memastikan jarak agar Kokoa tidak bisa menjangkau pisau atau tubuh Misaki meskipun dia merentangkan tangannya. Kami pun mendekat untuk melihat proses memasaknya dari dekat.


“Maaf ya, selalu menuruti kemauan Kokoa.”


“Kalau dipikir-pikir, aku juga sering dibantuin Raito-kun, jadi nggak perlu minta maaf. Lagi pula, aku senang kok kalau Kokoa-chan tertarik sama masakan.”


Yah, pada akhirnya, yang luar biasa memang kelucuan Kokoa.


“Nii-ni…!”


“Iya iya, aku tahu.”


Karena Kokoa menarik-narik bajuku dan menyuruhku buru-buru, aku pun mendekat ke arah Misaki sambil tetap menjaga jarak dengan hati-hati.


"Nee-ne, lagi masak apa~?"


Masih dalam gendonganku, Kokoa berusaha keras mengintip isi wajan.


"Omurice, lho~"


Misaki menyiapkan wajan lain yang berbeda dari wajan bekas masak nasi ayam tadi. Sambil memasukkan mentega ke dalam wajan yang sudah dipanaskan, ia menjawab pertanyaan Kokoa.


"Omuraishu!?"


Karena itu adalah salah satu makanan favoritnya, Kokoa langsung bereaksi dengan penuh semangat.


Aku bisa merasakan antusiasmenya yang meningkat beberapa tingkat, jadi aku pun makin berhati-hati terhadap gerak-geriknya. Kokoa kini menatap ke arah mangkuk berisi telur kocok, lalu memperhatikan dengan saksama saat Misaki mengambil mangkuk itu.


"Aku dengar dari Raito-kun kalau Kokoa-chan suka omurice, jadi aku sudah latihan sebelumnya, lho."


Sambil berkata begitu, Misaki menuangkan telur kocok ke dalam wajan berisi mentega yang sudah meleleh. Kemudian, dengan tangan kiri menggoyang-goyangkan wajan ke depan dan belakang, ia mulai mengaduk telur menggunakan sumpit.


"Waa~!"


Bagi Kokoa, itu tampak seperti sebuah pertunjukan. Melihat Misaki yang sedang mengaduk telur, Kokoa mulai bertepuk tangan pelan. Misaki pun tampak senang menerima tepuk tangan dari Kokoa, ia tersenyum ceria sambil terus mengolah telur.


Tak lama, telur mulai mengeras. Lalu, ia mulai membentuknya menjadi setengah lingkaran menggunakan sumpit. Setelah itu, ia memukul kedua pergelangan tangannya untuk menggoyang wajan dan membentuk telur menjadi seperti bola rugby yang indah.


Misaki meletakkan telur itu di atas nasi ayam—lalu memberikan pisau kecil khusus anak-anak kepada Kokoa.


"Coba potong lurus di bagian tengah telurnya, ya."


"Unn…!"


Kepada Misaki yang tersenyum hangat, Kokoa mengangguk dengan semangat. Lalu, mengikuti instruksi, dia mulai memotong telur—dan bagian tengah telur yang lembut pun mulai terbuka.


Dalam sekejap, bagian dalam telur yang lembut dan creamy menutupi seluruh nasi ayam. Ternyata Misaki sedang membuat omurice versi "fuwa-toro" (lembut dan lumer).


"Fuwaa…"


Mata Kokoa berbinar-binar seperti menemukan permata, menatap omurice tersebut. Memang, ini pasti pertama kalinya dia melihat omurice seperti ini. Kalau aku yang masak, biasanya cuma omurice biasa yang nasinya dibungkus telur.


"Selanjutnya tahap akhir, ya~"


Misaki tersenyum pada Kokoa. Kupikir masakannya sudah selesai, tapi ternyata—ia mengambil saus tomat. Kemudian, ia mulai menuangkan saus tomat di atas omurice fuwa-toro itu—dan perlahan, muncul gambar tertentu.


"Neko-chan…!"


Setelah menyadari gambar apa yang sedang dibuat, Kokoa berseru gembira. Seperti yang dia katakan, Misaki menggambar gambar kucing di atas omurice.


Tentu saja bukan kucing asli, tapi gambar karakter kucing. Pasti Misaki sudah latihan menggambar itu untuk membuat Kokoa senang.


"Kamu suka neko-chan, kan?"


"Nn! Kokoa suka neko-chan~"


"Fufu, syukurlah~"


Misaki tersenyum bahagia, lalu menatap ke arahku.


"Punya kita, nanti aja ya?"


"Ah, iya, malah bantu banget kalau begitu."


Yang penting sekarang adalah memberi makan Kokoa dulu, jadi aku bersyukur kalau dia membuat bagian kami nanti saja.


"Nii-ni…!"


"Iya, iya, tunggu sebentar ya."


Karena Kokoa menyuruhku lagi, aku mendudukkannya di kursi kecil khusus anak-anak.


"……"


Kokoa menatapku lekat-lekat, seolah menunggu sendok muncul.


"Mau makan sendiri?"


"A~n"


Saat aku mengulurkan sendok dan menanyakannya, Kokoa membuka mulut lebar-lebar. Ternyata dia ingin disuapi. Biasanya memang aku yang menyuapinya, dan rupanya meskipun ada Misaki, hal itu tidak berubah.


"Kalau begitu, ada yang harus kamu katakan dulu, kan?"


"Unn! Itadakimashu~!"


Kokoa menyatukan kedua tangannya dengan rapi dan mengucapkan salam sebelum makan. Sebagai balasan, Misaki pun berkata dengan lembut.


"Silakan, selamat makan," dan tersenyum begitu hangat, seperti seorang ibu.



"Suu... suu..."


Setelah makan dan perutnya kenyang, Kokoa mulai tertidur di pangkuanku, setelah menunggu kami selesai makan. 


Kalau malam sih dia tidur di tempat tidur seperti biasa, tapi untuk tidur siang, sepertinya dia lebih suka di pangkuanku. Dia benar-benar seperti malaikat.


"Wajah tidurnya... lucu banget..."


Misaki juga terpikat oleh wajah tidur Kokoa. Memang, kelucuan Kokoa benar-benar punya daya hancur yang luar biasa.


"Boleh nggak, aku colek pipinya?"


"Jangan, nanti dia bangun."


"……"


Kelihatannya Misaki sangat tergoda dengan pipi Kokoa yang lembut dan kenyal. Tapi setelah dilarang menyentuhnya, Misaki langsung terlihat sedih dan menundukkan bahu.


"Nanti pas dia bangun, pasti mau dicolek kayak dulu kok."


"Begitu ya… Kalau begitu, aku tunggu dia bangun deh."


Setelah aku menghiburnya, Misaki pun kembali tersenyum dan mulai menatap wajah tidur Kokoa dengan penuh perhatian.


Aku tidak menyangka dia akan terus menatap seperti ini sampai Kokoa bangun...

Tapi wajah tidur Kokoa memang nggak membosankan untuk dilihat, jadi mungkin saja dia akan terus seperti ini.

“Terima kasih soal omuricenya tadi. Enak banget.”

Mumpung ada kesempatan, aku pun menyampaikan rasa terima kasih dan pendapatku tentang makan siang tadi.

“Fufu, syukurlah. Sepertinya Kokoa-chan juga suka.”

“Karena itu pertama kalinya dia makan omurice yang lembut dan lumer seperti itu, pasti dia kaget banget. Bisa jadi sekarang dia nggak mau makan omurice lain selain yang itu.”

Waktu makan tadi, dia terus bilang ‘enak…!’ berkali-kali. Sepertinya dia benar-benar suka.

“Fufu, aku rasa nggak sampai begitu juga sih... Tapi kalau kamu mau, aku bisa kasih tahu tempat makan yang khusus omurice kayak gitu.”

Misaki mungkin mengatakan itu karena tulus ingin membantu. Tapi aku memalingkan pandangan sedikit sebelum menjawab.

“Ah... maaf. Kami jarang makan di luar soalnya...”

Rasanya nggak enak juga mendengarkan rekomendasi tempat makan kalau tahu tidak bisa pergi ke sana. Jadi aku menolaknya. Tapi—

“Begitu ya... maaf ya...”

Dia tidak bertanya alasannya, hanya langsung minta maaf dengan ekspresi menyesal. Padahal sebenarnya dia tidak perlu minta maaf...

“Enggak, aku senang kok kamu mau ngasih tahu. Makasih, ya.”

Aku nggak ingin dia terlalu mikirin hal itu, jadi aku tetap mengucapkan terima kasih.

“...E-eto,”

Entah kenapa, setelah itu Misaki mulai gelisah dan membuka mulutnya lagi.

“Kalau kamu mau, aku bisa ajarin cara bikin omurice tadi...”

Sepertinya dia mencoba memberikan alternatif. Kalau nanti Kokoa minta dibuatkan lagi, tentu aku bersyukur kalau dia mau mengajarkannya. Tapi—

“Rasanya agak berat juga ya... belajar sesuatu yang kamu pelajari susah-susah demi membuat Kokoa senang...”

Aku jadi merasa sedikit sungkan.

“Kamu serius banget, ya...”

Misaki menatapku sambil tersenyum pasrah. Mendengar ucapannya, aku jadi berpikir,

“Gak nyangka juga sih, bakal dibilang kayak gitu dari kamu...”

“Kamu pikir aku ini orang kayak apa, sih?”

“Orang yang serius.”

Sebenarnya aku ingin menambahkan kata “sangat” di depan “serius,” tapi kurasa itu bakal bikin dia ngambek.

“...Serius itu, hal yang bagus, kok.”

Mungkin dia tidak bisa menyangkalnya, Misaki langsung memalingkan pandangan dengan pipi menggembung seperti orang ngambek. Sepertinya dia menyadari sendiri juga kalau dia terlalu serius.

“Bukan berarti aku bilang itu buruk, cuma... kalau kamu sendiri ngomong kayak gitu, bukankah itu artinya kamu sadar kalau terlalu serius?”

“Bersikap usil kayak gitu juga nggak bagus, loh.”

Sepertinya dia bisa membedakan kalau aku ngomong begitu cuma buat menggoda. Terus terang, aku nggak benci ngobrol seperti ini dengan Misaki. Malah, aku merasa senang bisa bercanda dengannya. Meski dari sudut pandang Misaki, mungkin itu menjengkelkan.

“Yah, memang serius itu hal yang baik sih. Tapi kalau terlalu serius, ya bisa jadi masalah juga.”

“Kamu mau bilang aku terlalu serius, ya?”

“Enggak kok, kamu mikirnya kejauhan.”

Sebenarnya aku memang merasa dia terlalu serius, tapi kali ini aku tidak sedang menyindirnya. Itu cuma kalimat yang meluncur begitu saja.

“Kamu memang orang yang baik, tapi kadang suka nyebelin. Jadi aku rasa kamu memang ngomong kayak gitu buat nyindir.”

Misaki menatapku dengan mata sebal, sambil manyun. Entah kenapa, dia terlihat agak lebih ngambek dari biasanya. Padahal kurasa aku tidak secara langsung bilang dia “terlalu serius”...

“Misaki itu sempurna banget, nggak ada celahnya.”

Akhirnya aku mencoba meredakan suasana hatinya. Soalnya kalau Kokoa bangun dan melihat Misaki ngambek, bisa-bisa aku yang jadi musuh Kokoa.

“S-semuanya... pujian yang berlebihan itu juga nggak bagus, tahu...!”

Tapi entah kenapa, aku malah dimarahi. Kalau kulihat, wajahnya juga merah banget.

“Itu bukan pujian berlebihan, lho...”

“Aku juga rasa... ngomong kayak gitu tanpa sadar, itu juga nggak bagus...!”

Walau aku sudah bilang jujur kalau itu yang benar-benar aku pikirkan, dia malah tambah marah. Menurutku, Misaki itu orang yang baik, serius, pintar, dan menyenangkan...Tapi tetap saja, perempuan memang susah dimengerti...

「「…………」」

Setelah kejadian tadi, Misaki akhirnya sedikit tenang, tapi karena kami berdua kehabisan topik pembicaraan, suasana jadi canggung. Aku memang bukan tipe yang banyak bicara, dan Misaki juga kelihatannya agak kaku, mungkin karena sedang berada di rumah laki-laki.

Mungkin lebih baik aku mulai obrolan, tapi... terus terang, aku lebih suka diam-diam menikmati wajah tidur Kokoa daripada memaksakan percakapan.

“E-eto...”

Tapi rupanya pemikiran Misaki berbeda. Dia membuka mulutnya dengan canggung. Saat aku menoleh ke arahnya, entah kenapa dia terlihat gugup dan gelisah.

“Boleh... aku ke kamar kamu, Raito-kun...?”

“……”

Dan dia kembali mengucapkan hal yang cukup mengejutkan, sampai-sampai aku bingung mau jawab apa. Gadis ini, dari penampilannya dan sikapnya di sekolah memang nggak bisa ditebak, tapi ternyata cukup agresif juga, ya...

“Ah, bukannya aku punya maksud lain, kok...!”

“Dalam situasi ini, justru kedengaran seperti kamu punya maksud lain, tahu...”

Pasti bukan karena dia cuma ingin melihat kamarku.

“E-enggak, maksudnya... bukannya aku ingin melakukan hal aneh... atau... hal yang mesum, gitu...”

Sepertinya dia merasa aku salah paham.

Wajah Misaki memerah, dan dia menunduk malu sambil buru-buru memberi penjelasan. Kalau memang susah untuk diucapkan, nggak perlu dipaksakan juga, sih. Memang dia anak yang serius banget.

“Kurasa aku bisa menebaknya. Kamu cuma ingin bisa menjelaskan soal kamar aku kalau nanti ditanya, ‘kan?”

Terutama kalau nanti Suzumine-san menanyainya. Gadis itu sepertinya tipe yang kalau nanya, langsung menusuk tanpa ampun...

“Kok kamu tahu, sih...?”

“Kalau Misaki nggak punya maksud lain, ya cuma itu satu-satunya alasan yang masuk akal...”

“    っ”

Meskipun aku sengaja nggak mengatakannya langsung, sepertinya dia malah membayangkannya sendiri. Misaki langsung merah padam dan terlihat gelisah. 

Dari dulu aku curiga, ternyata memang dia lemah kalau sudah berhubungan dengan hal-hal mesum. Kalau begitu, kenapa coba malah dia sendiri yang membuka topik itu?

“Kalau kamu ke sana sendirian, aku khawatir juga sih, jadi aku bakal ikut nemenin... Tapi kamu sendiri nggak apa-apa?”

Aku bisa mengerti alasannya dan tidak berniat melarang, tapi sebagai cewek yang pergi ke kamar cowok, tetap saja ada risiko. Aku yakin Misaki juga sadar akan hal itu.

“Aku rasa... kalau sama Raito-kun, aku bakal aman...”

“Hoi... kamu mungkin mikir gitu, tapi aku ini tetap cowok, tahu? Salah paham bisa aja terjadi kapan pun.”

Terus terang, terlalu dipercaya juga bikin repot. Aku memang nggak ada niat menyentuh dia atau berbuat yang macam-macam, tapi itu karena memang aku.

Kalau ada orang lain yang kelihatan seperti aku, bisa jadi mereka menyembunyikan niat tertentu dan suka sama Misaki. Kalau itu terjadi, dan Misaki berpikir “waktu sama Raito-kun juga nggak apa-apa, kok,” lalu melakukan hal yang sama... dia bisa terluka.

Makanya, selama aku masih berperan sebagai pacarnya, aku ingin Misaki belajar untuk lebih waspada.

“Raito-kun tuh, bisa dengan tenangnya ngomong kayak gitu... luar biasa banget, ya...”

“Mungkin aku memang tipe yang ngomong terus terang.”

Mungkin karena itulah aku sering dianggap menyebalkan, tapi kalau aku nggak bilang, itu malah nggak baik buat dia.

“Menurutku... sisi kamu yang kayak gitu, bagus kok...”

Sepertinya dia masih terbawa suasana dari tadi. Wajahnya masih sedikit merah, tapi Misaki tersenyum bahagia. Melihat dia seperti itu, aku pun...

“Aneh juga, ya, kamu...”

Aku jujur saja menyampaikan isi hatiku. Tapi karena itu, ekspresi Misaki langsung berubah jadi cemberut.

“Yang kayak gitu tuh, nggak bagus!”

Sepertinya kali ini dia benar-benar kesal.

“Tapi benar kan. Kamu bisa bilang kalau sikapku yang blak-blakan itu bagus, itu sendiri udah aneh, tahu?”

“Raito-kun itu memang kaku dan kadang cara bicaranya kurang baik, tapi aku bilang bagus karena aku tahu ada kebaikan di balik kata-kata kamu itu...!”

Misaki menjelaskan maksudnya dengan hati-hati agar aku tidak salah paham. Nggak capek ya dia ngeladenin begini...?

“Maksudnya... bukannya bukan itu yang kita bicarain barusan?”

Harusnya kita lagi bahas soal aku yang suka bicara tanpa basa-basi, kan...?

“Jangan nyari celah ngomong, deh...! Pokoknya, intinya aku bilang itu bagus karena aku memang menganggapnya begitu...!”

Kali ini dia tidak mau menjelaskan lebih jauh. Wajahnya makin merah, dan dia memaksakan diri untuk tetap pada pendapatnya. Melihatnya seperti ini, aku sadar kalau wajah Misaki yang ditunjukkan di sekolah itu cuma sebagian kecil dari dirinya.

Setelah lebih dekat, kesan yang aku dapat berubah cukup banyak.
Secara pribadi, dibanding sosok “gadis suci nan lembut seperti dewi” yang dia tunjukkan di sekolah, aku lebih suka Misaki yang kekanak-kanakan seperti ini. Rasanya lebih akrab dan lebih manusiawi.

“Maaf, ya, tadi aku cuma bercanda.”

Karena Misaki sempat ngambek, aku pun minta maaf dengan jujur. Kalau aku terus-terusan bikin dia ngambek begini, dipanggil ‘usil’ juga bukan hal yang aneh, sih.

"Raito-kun itu tipe orang yang suka bersikap usil pada orang yang disukainya, ya...?"

Mungkin karena belum puas, Misaki menatapku dengan tatapan menyipit. Kalau aku bilang pernah ditatap seperti itu oleh Misaki, pasti ada cowok-cowok yang iri.

"Itu sama saja dengan bilang 'Kau suka padaku,' lho. Apa kamu sadar akan itu?"

Jelas sekali Misaki tidak memikirkan sampai ke situ, tapi aku jadi ingin menanggapi ucapannya. Tapi kali ini, aku rasa Misaki yang salah.

"...Usil..."

Pada akhirnya, Misaki kembali menggembungkan pipinya. Aku jadi sedikit memahami perasaan Suzumine-san yang suka menggodanya.

"Sifatku memang buruk, kamu sendiri pasti sudah tahu. Aku juga bukan bersikap usil karena suka, jadi jangan terlalu dipikirkan."

"Menurutku, kamu tidak buruk, kok..."

"..."

Sudah digoda seperti ini, tapi dia masih bisa berpikir seperti itu.
Memang dasar orang yang terlalu baik. Bagi Misaki, 'usil' dan 'berwatak buruk' mungkin dua hal yang berbeda.

"Ngomong-ngomong, kamu memang mau ke kamarku, kan? Kita bisa baringkan Kokoa di atas ranjang juga, jadi tidak apa-apa."

Aku senang Kokoa bisa tidur di pangkuanku, tapi akan membebani tubuhnya kalau terlalu lama. Kita juga tidak tahu kapan dia akan bangun, jadi lebih baik dia tidur di ranjang.

...Yah, kemungkinan besar dia bakal ngambek saat bangun dan tahu dirinya tak lagi tidur di pangkuanku.

"—Kamarnya... lucu sekali..."

Kalimat pertama yang keluar dari mulut Misaki saat memasuki kamarku adalah itu. Mungkin karena warna dominan kamar ini adalah pink, serta banyak boneka lucu seperti kucing yang berjejer.

Semua furnitur juga disesuaikan dengan selera Kokoa. Sejak dia lahir, aku mengumpulkan semuanya perlahan dengan uang sakuku.

"Maaf ya, kamarnya nggak terlihat maskulin."

Kupikir Misaki akan kesulitan menjelaskan soal kamarku nanti kalau ditanya. Pasti akan diejek karena punya kamar 'kekanak-kanakan' atau 'seperti cewek.' Meski aku yakin Suzumine-san tidak akan mengejek karena hal seperti itu.

"Tidak... Menurutku ini kamar yang indah... Aku bisa merasakan kebaikan dan kasih sayangmu di dalamnya..."

Misaki menatap kamar itu dengan mata berbinar dan rona merah di pipinya. Wajah lembut dan senyumnya yang tulus... entah apa yang dipikirkannya sekarang.

Karena Misaki adalah orang pertama yang pernah kuajak ke kamarku, aku tidak bisa membandingkan reaksinya dengan siapa pun. Tapi mungkin dia bisa membayangkan alasanku membuat kamar seperti ini karena sudah mengenal Kokoa.

"Misaki itu selalu memandang segala sesuatu dari sisi positif, ya..."

Gadis biasa mungkin akan merasa aneh dengan kamar seperti ini.

"Itu tidak benar. Aku juga punya hal-hal yang tidak cocok denganku."

"Tapi, kenyataannya Misaki tetap melihat semuanya dengan positif, kan?"

"Karena, kalau soal Raito-kun... aku bisa melihat kebaikan hatimu."

Sepertinya Misaki mulai malu sendiri karena ucapannya. Dia memalingkan wajah. Wajahnya tampak lebih merah dari sebelumnya.

"Mungkin kamu salah sangka, lho?"

"Fufu, aku rasa tidak kok."

Entah dari mana dia mendapat kepercayaan diri seperti itu. Kalau berhadapan dengan Suzumine-san saja dia bisa jadi canggung, aneh juga rasanya.

"Pokoknya, duduk saja di mana pun sesukamu."

Aku berkata begitu sambil membaringkan Kokoa di atas ranjang. Dia tidur nyenyak dan kelihatan nyaman sekali. Hanya melihatnya saja bisa membuatku tenang.

"..."

"Kamu boleh duduk di mana saja, lho?"

Tadi aku sudah bilang untuk duduk, tapi Misaki tetap berdiri dan menatapku, jadi aku ulangi lagi. Namun, dia menggeleng pelan.

"Aku akan duduk setelah Raito-kun duduk duluan."

Sepertinya dia menunggu sampai aku duduk. Entah apa lagi yang direncanakannya...Rasanya aneh berdiri terus, jadi aku akhirnya bersandar di ranjang. Dan kemudian—

"Hup..."

Misaki duduk tepat di sebelahku, sedekat bahu kami saling bersentuhan. Atau lebih tepatnya, memang bersentuhan.

"...Nggak terlalu dekat?"

"Tapi ini kan... jarak wajar untuk sepasang kekasih..."

Misaki mengatakan maksudnya sambil memalingkan pandangan dariku. Kalau sepasang kekasih, duduk berdempetan memang hal biasa...tapi...

"Tidak ada yang melihat juga, jadi tidak perlu berpura-pura jadi pasangan, kan?"

Bahkan Kokoa pun sedang tidur. Aku tidak merasa perlu bersikap seperti pasangan di situasi seperti ini.

"Kalau tidak dibiasakan dari awal, nanti saat dibutuhkan malah tidak bisa."

"Tapi tetap saja, sampai segininya...? Apa Misaki nggak keberatan?"

"Kalau aku keberatan, aku nggak akan melakukannya sendiri, kan...?"

Misaki bersandar dan menyandarkan kepalanya ke bahuku. Lalu, ia menyelipkan jemarinya dan menggenggam tanganku seperti pasangan sungguhan. Benar-benar terlihat seperti pasangan kekasih.

Begini rupanya... kalau gadis secantik Misaki terus melakukan hal seperti ini padaku, pasti akan jatuh cinta juga. Aku bisa tetap sadar karena tahu dia tidak benar-benar menyukaiku. Tapi kalau ini dilakukan ke cowok lain, pasti gampang disalahartikan.

"..."

Misaki menggenggam tanganku erat-erat dan memainkan jari-jariku dengan lembut. Saat kulirik wajahnya, dia tidak menatap wajahku, melainkan menatap tangan kami yang saling menggenggam. Apakah itu karena ingin mengalihkan rasa canggung, atau sekadar iseng saja? Entah kenapa, aku merasa seperti sedang dimanja lewat tangannya.

"Kalau orang lain melihatmu seperti ini, sepertinya mereka tak akan punya pilihan selain percaya..."

"Eh?"

"..."

Aku mengatakan itu sambil mempertimbangkan kemungkinan bahwa kami sedang berlatih berpura-pura sebagai pasangan, tapi Misaki malah menatapku dengan ekspresi bingung. Sepertinya dia sama sekali tidak berpikir seperti itu. Jadi benar-benar hanya iseng saja, rupanya.

"Misaki itu... suka dimanja, ya?"

"A-a-aku rasa... tidak baik menanyakan hal seperti itu langsung ke orangnya..."

Misaki menunduk dengan wajah yang memerah sepenuhnya. Sepertinya dia menyadari sendiri apa yang dia lakukan.

"...Tapi... mungkin aku ingin punya kakak seperti Raito-kun..."

Bolehkah aku menganggap itu sebagai jawaban "iya"? Entah kenapa, aku merasa Misaki punya kemiripan dengan Kokoa. Kalau Kokoa sedang ngambek, dia menunjukkan reaksi yang mirip dengan Misaki, dan dia juga suka bermain-main dengan tanganku.

Mungkin kalau Kokoa tumbuh besar nanti, dia akan menjadi seperti Misaki.

...Yah, kurasa tidak akan terjadi.

Aku rasa kalau sudah besar nanti, Kokoa akan jadi gadis yang ceria dan polos seperti Tenshinranman. Paling tidak, dia tidak akan bisa sepeka Misaki terhadap orang-orang di sekitarnya.

"Kalau aku jadi kakakmu, kamu bisa kerepotan, tahu?"

"Nggak juga. Soalnya Kokoa-chan kelihatan sangat bahagia."

Misaki berkata begitu sambil mengarahkan pandangannya ke Kokoa.
Memang, dia terlihat bahagia... tapi itu karena dia sedang tidur, jadi wajahnya kelihatan tenang.

"Yah... aku memang ingin Kokoa bahagia, sih..."

"Karena ada Raito-kun, semuanya akan baik-baik saja."

Dari mana sebenarnya Misaki mendapat rasa percaya diri sebesar itu? Dia benar-benar gadis yang aneh.

"—Nigi-nigi..."

Begitu pembicaraan kami selesai, Misaki kembali bermain dengan tanganku, mungkin karena merasa belum puas. Karena dia juga mulai mengeluarkan suara, sepertinya suasana hatinya sedang bagus.

Sesekali, dia mengusap-usap jemariku dengan jarinya seperti sedang menggodaku, membuatku merasa sedikit geli—tapi karena Misaki tampak begitu senang, aku membiarkannya berbuat sesuka hati.


“—Nn…”

“Ah, apa kamu bangun?”

Saat mendengar suara Kokoa dan menoleh ke belakang, dia terlihat membuka matanya sedikit. Sepertinya waktu tidurnya sudah selesai.

“Nii-ni…”

“Hm?”

“Nen-ne…”

…Atau begitu kupikir, tapi rupanya dia masih mengantuk. Memang susah bangun kalau baru saja tidur siang.

“Kokoa imut banget…”

Melihat itu, Misaki kembali dibuat terpikat, seperti biasa. Anak sekecil malaikat yang mengantuk seperti itu, ya wajar saja kalau bikin gemas.

“Nee-ne…!”

Dan begitu menyadari keberadaan Misaki, Kokoa langsung duduk tegak dengan cepat. Sepertinya rasa kantuknya langsung hilang setelah mendengar suara Misaki. Entah kenapa… sebagai kakak, aku merasa seperti kalah dari Misaki.

“Fufu… selamat pagi, Kokoa-chan.”

Misaki membelai kepala Kokoa dengan senyum lembut. Curang, ya…

Kalau diberikan senyum semanis itu, anak kecil pasti langsung nempel.

“Nee-ne, tadi ngapain sama Nii-ni?”

“—!”

Dengan kepala sedikit miring dan senyum polos, Kokoa bertanya kepada Misaki. Bagi Kokoa, itu pasti pertanyaan murni tanpa maksud apa-apa. Namun Misaki langsung tersedak dan wajahnya memerah. Dia terlalu mudah panik. Nanti malah membuat Kokoa salah paham…

“Nn…?”

Karena reaksi Misaki yang aneh, Kokoa kembali memiringkan kepalanya.

“Kami cuma ngobrol, kok.”

Karena Misaki membeku, aku menjawab pertanyaan Kokoa sebagai gantinya. Dan sebenarnya, aku tidak berbohong. Walaupun Misaki sempat bermain-main dengan tanganku, kami memang mengobrol juga.

“Kokoa juga mau ngobrol~!”

Kokoa merentangkan kedua tangannya ke arah Misaki. Anak ini memang tidak memusingkan hal-hal kecil, jadi reaksi aneh Misaki tadi langsung dia lupakan. Yang terpenting baginya sekarang adalah bisa mengobrol dengan Misaki.

“Mau digendong ya?”

“Kayaknya sih, dia ingin duduk di pangkuan.”

Kokoa biasanya minta digendong saat ingin pindah tempat. Tapi kalau sedang begini dan merentangkan tangan, biasanya artinya dia ingin duduk di pangkuan. Yah, kadang dia juga langsung naik sendiri, tergantung suasana hatinya.

“Kalau begitu, sini.”

Misaki berdiri sejenak, lalu merentangkan tangan ke arah Kokoa yang duduk di atas tempat tidur. Setelah memeluk Kokoa dengan hati-hati agar tidak jatuh, Misaki duduk perlahan dan menurunkannya ke pangkuannya. Begitu bisa duduk di pangkuan Misaki, Kokoa mulai mengangguk-angguk dengan wajah senang.

“Nyaman nggak duduknya?”

“Nn…!”

Kokoa mengangguk puas, lalu menyandarkan kepalanya ke dada Misaki.
Akibatnya, benda besar itu jadi sedikit tertekan dan berubah bentuk, membuatku jadi merasa agak canggung melihatnya. Sebaliknya, Kokoa malah tanpa sadar menekan kepalanya ke arah sana dengan polos.

Dibanding teman sebayanya, ukuran dada Misaki memang cukup besar, jadi mungkin bagi Kokoa itu adalah bantal yang pas. Misaki juga tidak keberatan karena lawannya anak kecil, jadi lebih baik aku tidak mengatakan hal yang tidak perlu.

“Nee-ne~”

“Ada apa~?”

“Cuma manggil doang~!”

Karena tidak punya kakak perempuan, Kokoa pasti sangat senang bisa bermain dengan Misaki. Sampai-sampai dia melakukan hal-hal yang hanya dia lakukan saat sedang sangat senang.

“Dia benar-benar terlalu imut…”

“Jangan dibawa pulang, ya?”

Karena Misaki terlalu terpikat dengan Kokoa, aku pun merasa perlu memberikan peringatan.

“Sejauh itu sih nggak, tapi…”

Misaki menatapku dengan mata seolah ingin mengatakan sesuatu.
Kayaknya dia bakal mengatakan hal yang merepotkan lagi.

“Boleh nggak… aku main ke sini lagi lain kali?”

Akhirnya dia mengatakan juga…

Kalau ingin bertemu Kokoa, satu-satunya cara memang datang ke rumahku…Sepertinya dia benar-benar menyukai Kokoa.

“Boleeh~!”

Padahal Misaki bertanya padaku, tapi Kokoa yang menjawab duluan.
Karena Kokoa sendiri menyukai Misaki seperti kakaknya sendiri, ini memang jawaban yang wajar.

“Boleh tiap hari datang?”

“Nn…!”

“Eh, tiap hari sih nggak bisa…”

Maaf ya, Kokoa yang sudah mengangguk senang, tapi tiap hari itu agak merepotkan. Nanti bisa-bisa ketemu sama Ibu juga.

“Nggak boleh, ya…?”

“Nii-ni…?”

Keduanya menatapku dengan mata berbinar seperti sudah bersekongkol. Ini curang banget...

“Misaki, kamu harus belajar, kan?”

“Aku biasanya cuma belajar pelajaran hari ini dan besok, jadi nggak apa-apa kok.”

“…………”

Cuma belajar buat hari ini dan besok, tapi bisa jadi peringkat dua setelah Suzumine-san...? Setahuku, selisih nilainya juga hampir nggak ada, kan...? Mungkin itu juga salah satu alasan kenapa Suzumine-san kadang bersikap ketus ke Misaki...

Soalnya dia hampir setiap hari ikut les sampai malam.

“Punya bakat emang bikin iri, ya...”

“Bukan gitu juga, sih...”

Misaki menggaruk pipinya dengan jari, terlihat sedikit canggung. Tapi kalau bisa dapat peringkat dua hanya dengan belajar biasa, itu udah jelas jenius. Saat aku berpikir begitu—aku merasakan bajuku ditarik-tarik pelan.

“Nii-ni, nggak boleh...?”

Kokoa menyadari kalau aku masih ragu, lalu mendekat dan menatapku dari bawah. Dia tahu betul caranya memanfaatkan daya tariknya... hebat juga.

“Yah, kalau Misaki memang pengen main, nggak masalah, sih...”

Akhirnya aku menyerah karena kelucuan Kokoa dan nggak bisa bilang tidak. Tapi ternyata ceritanya nggak selesai di situ—.

“Nee-ne, makan bareng, yuk?”

Karena pertanyaan Kokoa itu, Misaki jadi ikut makan malam juga. Yah, katanya sih dia mau masak, tapi karena kami harus belanja bahan makanan bareng ke supermarket, kayaknya kabar ini bakal cepat nyampe ke kuping Ibu...

“—Nii-ni, gendong...!”

Karena mau pergi ke supermarket, Kokoa mengangkat kedua tangan ke arahku, minta digendong. Ternyata kalau urusan begini, tetap aku yang dia minta.

“…………”

Misaki memandangku dengan tatapan iri, tapi maaf ya. Hak istimewa menggendong Kokoa nggak akan aku serahkan ke siapa pun. Supaya nggak diambil alih, aku langsung buru-buru menggendong Kokoa.

“Kokoa-chan suka digendong, ya?”

Misaki menyapa Kokoa yang sedang menempelkan pipinya ke pipiku. Jangan ganggu, jangan coba-coba rebut Kokoa dariku. Hak menggendong Kokoa adalah milikku, dan nggak akan aku kasih ke siapa pun...!

“Hmm...!”

Kokoa mengangguk senang, tanpa menyadari isi hatiku. Tapi dia juga nggak mengulurkan tangan ke arah Misaki.

“Senangnya punya kakak laki-laki yang baik, ya~”

Misaki sepertinya memang nggak berniat merebut Kokoa, karena dia hanya mengelus kepala Kokoa dengan lembut.

“Ehehe...”

Kokoa yang memang suka dielus pun tersenyum manis sambil memiringkan pipinya. Seperti biasa, senyumnya itu bisa mencuri hati siapa pun.

“Kalau begitu, ayo kita berangkat?”

Misaki melepaskan tangan dari Kokoa dan menatapku dengan senyum lembut. Aku jadi merasa bersalah karena sempat curiga padanya.

“Aah, ayo.”

Supaya dia nggak sadar aku gelisah, aku langsung melangkah. Kokoa menatap wajahku seolah bingung, tapi dia nggak bilang apa-apa. Lalu, begitu kami keluar—.

“Aduh, aduh~! Rai-chan, kamu bawa anak yang lucu banget, ya?”

Kami ketemu tante tetangga. Dan dari semua orang... kenapa harus beliau...?

“Iya, ini tem—”

“Ini pacarnya Nii-ni~!”

Padahal aku ingin mengenalkan Misaki sebagai “teman” saja dan lewat begitu saja...

Tapi sebelum aku sempat bicara, Kokoa dengan wajah bahagia menjawab lebih dulu. Karena itu, Misaki langsung jadi malu, menunduk dan menyembunyikan wajahnya di belakangku. Yup, dari mana pun dilihat, reaksinya itu beneran kayak ‘pacar yang malu’.

“Ya ampun ya ampun ya ampun!”

Tante tetangga langsung semangat, menatapku dengan mata berbinar. Kayaknya besok berita soal Misaki bakal menyebar ke seluruh ibu-ibu di lingkungan ini. Yah... nggak ada pilihan lain selain menyerah.

“Umm, tolong jangan bilang ke Ibu saya dulu ya. Nanti saya akan kenalkan sendiri.”

Kalau aku bilang “teman” sekarang pun, si tante ini nggak akan dengar. Orangnya memang seperti itu—kalau sudah percaya sesuatu, susah diubah. Jadi satu-satunya cara adalah—

“Tahu, tahu! Tante nggak akan bilang ke ibumu kok!”

Yup, sama sekali nggak bisa dipercaya.

Ibu memang sibuk kerja dan jarang ketemu tante ini, tapi kalau sampai ketemu... pasti langsung diceritain. Tapi kalau aku menunjukkan rasa tidak percaya, bisa-bisa malah dia jadi tersinggung dan malah ngomong. Jadi—.

“Tolong ya. Kalau gitu, kami permisi dulu.”

—satu-satunya pilihan adalah kabur secepatnya. Tapi—.

“Eeh, jangan buru-buru dong! Gimana caranya kamu bisa dapet cewek secantik ini!? Idol sih nggak boleh pacaran, jadi... model, ya!?”

Tante hiperaktif itu langsung mencengkeram bahuku, nggak ngebolehin kabur. Memang, Misaki cantiknya luar biasa, jadi wajar kelihatan seperti idol atau model. Tapi begitu ketemu tante ini... bisa panjang urusannya...

“Nee-ne, kamu model ya!?”

Dan Kokoa juga mulai salah paham...

“Misaki bukan idol atau model, kok. Benar, kan?”

“Iya, bukan...”

Misaki menjawab pelan, seperti kucing jinak yang baru dipinjam. Kupikir dia tipe yang ramah ke siapa saja, tapi sepertinya dia agak kurang nyaman dengan ibu-ibu, ya?

“Eh~ masa sih!? Padahal cantik banget begini, sayang banget kalau nggak dimanfaatin...!”

“Memang, aku akui Misaki itu cantik dan imut, tapi...”

“—!?”

Aku bisa merasakan Misaki terkejut karena ucapanku barusan. Saat kulirik, wajahnya sudah memerah. Padahal, hal semacam itu pasti sudah sering dia dengar. Jadi nggak perlu malu sekarang juga, kan...?

“Hanya karena cantik, bukan berarti seseorang harus jadi idol atau model, ‘kan? Kalau orangnya sendiri nggak mau, ya nggak perlu dijalani.”

Aku memang masih penasaran dengan reaksi Misaki, tapi untuk saat ini aku harus menghadapi tante itu dulu biar urusannya cepat selesai, jadi aku menjawab sambil tersenyum. Jujur, aku berharap bisa cepat-cepat dibebaskan...

“—Nii-ni, aku lapaaar...”

Saat aku sedang memikirkan cara kabur dari tante itu, Kokoa menarik-narik bajuku sambil cemberut dan mengembungkan pipinya.

“Maaf, Kokoa udah lapar, jadi kami pamit dulu ya.”

“Oh, ya sudah kalau begitu. Sampai ketemu lagi, semuanya~”

Tante itu langsung berubah sikap dan pergi sambil melambaikan tangan dengan senyum. Anak kecil memang selalu jadi prioritas. Itu sudah jadi kesepakatan tak tertulis semua orang.

Mungkin karena itu juga, tante tadi langsung membiarkan kami pergi.
Saat-saat seperti ini, Kokoa memang tahu situasi. Benar-benar ngebantu banget.

“Ayo, kita belanja sebentar aja, jadi sabar dikit ya?”

“Un, gak apa-apa.”

Saat kutanyai begitu, Kokoa membalas dengan senyum ceria. Kalau dia benar-benar lapar, pasti ekspresinya bakal sedih. Jadi kayaknya belum lapar-lapar banget, sih.

“Gadis pintar.”

Karena sudah berhasil lolos berkat Kokoa, aku pun mengelus kepalanya.

“…………”

“Misaki?”

“U-uh, gak ada apa-apa kok...!”

Saat aku sadar Misaki sedang menatap wajahku lekat-lekat dan memanggilnya, dia langsung menggeleng kuat-kuat.

Lalu dia menunduk dan memalingkan wajah, tapi pipinya tetap merah.
Apa dia masih kepikiran soal yang tadi...? Padahal dia pasti sudah sering dibilang cantik...


Setelah selesai makan—

“Kalau begitu, aku pulang dulu ya.”

Setelah merapikan alat makan dan bersantai sejenak, Misaki pun berdiri untuk bersiap pulang. Sebagai tambahan, Kokoa sudah tertidur pulas dalam pelukanku. Anak ini memang tidurnya nyenyak.

“Misaki, rumahmu dekat dari stasiun terdekat?”

“Eh? Jalan kaki sekitar sepuluh menit, sih...?”

Kenapa dia tiba-tiba nanya begitu? Itulah yang tergambar jelas dari ekspresi Misaki.

“Soalnya jalan malam itu bahaya. Aku cuma mikir, mungkin lebih baik aku nganterin.”

Dengan wajah seimut itu, nggak aneh kalau sampai ada penguntit.

“Ah... kamu khawatir... sama aku...?”

Entah kenapa, wajah Misaki memerah samar, dan dia menatapku dengan mata penuh harap.

“Jelas, aku ini kan pacar palsu dari gadis cantik dan populer di sekolah.”

“Be-begitu ya...”

Dan seperti biasa, dia kelihatan malu dengan sangat jelas. Kenapa sih, hal kayak gini aja bisa bikin dia malu...?

“Tapi nggak apa-apa... Jalan ke rumahku lumayan terang, kok.”

“Kalau gitu, aku anterin sampai stasiun aja.”

Sambil tetap menggendong Kokoa, aku ikut berdiri.

“Boleh...?”

“Setidaknya, izinkan aku melakukan itu.”

Kalau pacar sungguhan, wajar saja nganterin sampai stasiun dekat rumah.

“Fufu, gentleman banget~”

“Bukan karena aku sok keren atau gimana sih.”

Misaki tersenyum senang dan mengikuti dari belakang. Kalau dia lagi ngambek, aku harus ngerayu dia. Tapi kalau dia sedang senang, lebih baik dibiarkan saja.

“…………”

Begitu keluar, Misaki terus menatapku dengan gelisah. Ada apa, ya?

“Ada yang ketinggalan?”

“N-Nggak, bukan itu, tapi...”

Misaki masih terlihat gelisah, matanya bolak-balik melihat wajah dan lenganku. Akhir-akhir ini aku jadi lumayan paham—kalau dia kayak gini, berarti dia lagi ingin ngelakuin sesuatu.

“Lakuin aja sesukamu.”

Aku nggak tahu dia mau ngapain, tapi ya udah, kuizinkan dulu aja.
Lalu—

“Hmm...”

Dia dengan lembut mencubit ujung lengan bajuku dengan jari. Karena aku sedang menggendong Kokoa, mungkin dia nggak bisa memeluk lenganku, jadi dia memilih mencubit lengan baju. Selalu menjaga peran pacar dengan serius, Misaki memang anak yang sungguh-sungguh.

““…………””

Di jalanan malam yang sunyi—kami berdua jadi diam dan suasana jadi agak canggung.

“...Kalau jalanku terlalu cepat, kasih tahu aja ya.”

“Gak apa-apa, Raito-kun udah nyesuaiin kok.”

Aku coba mengajak ngobrol seadanya, tapi langsung selesai begitu saja. Yah, salahku juga sih—pertanyaannya nggak bisa dikembangkan. Gara-gara selama ini aku jarang punya teman ngobrol, aku memang masih canggung kalau harus mulai pembicaraan duluan.

Saat aku sedang berpikir begitu, Misaki akhirnya membuka mulut.

“Liburan musim panas nanti...”

“Hm?”

“Mau...ke pantai...?”

Dalam cahaya lampu jalan, wajah Misaki terlihat sedikit memerah, dan dia menatapku sambil mendongak. Mungkin dia ingat kalau Suzumine-san waktu itu bilang ingin ke laut juga.

“Misaki sendiri ingin pergi?”

“Yah... mungkin ingin sih...”

Jawabannya agak ambigu. Jadi aku jadi ragu, dia beneran ingin atau nggak.

“Nggak apa-apa kalau aku lihat Misaki pakai baju renang?”

Aku nggak tahu apa maksudnya mengajak ke laut, jadi aku tanya soal bagian sensitif duluan. Banyak cewek yang nggak mau sembarangan diliat pakai baju renang sama cowok yang nggak mereka suka.

Terutama tipe cewek kayak Misaki yang kelihatan dekat tapi sebenarnya masih jaga jarak.

—Atau, begitulah yang kupikir...

“Tapi... Raito-kun kan pacarku. Jadi... nggak apa-apa, sih...”

Sebagai pacar palsunya, ternyata aku mendapat “izin khusus” buat melihatnya. Anak ini... kadang susah ditebak apakah dia punya batasan ketat atau justru longgar banget.

Yah, mungkin kalau pacarnya tipe yang nuntut macam-macam, batasan itu memang penting...

“Nggak usah maksa juga nggak apa-apa, kok?”

Karena aku bukan tipe cowok yang menuntut imbalan, aku nggak ada niat memaksa Misaki buat ngapa-ngapain.

“Nggak maksa, kok...”

Menanggapi perhatianku, Misaki menggeleng pelan. Padahal wajahnya sekarang makin merah, lho? Tapi, terus digali juga nggak enak...

“Kalau Misaki ingin pergi, ya ayo pergi aja.”

Aku juga belum pernah mengajak Kokoa ke pantai, jadi kupikir ini kesempatan bagus untuk membawanya juga. Tapi masalahnya adalah... kalau Misaki dan Suzumine-san mengenakan baju renang, pasti repot banget buat mengusir para pria iseng. 

Yah, kalau saatnya tiba, aku cuma bisa berusaha semampuku.

“Raito-kun itu, tetap aja orangnya baik, ya...”

“Kenapa gitu?”

“Soalnya... kamu selalu menghargai keinginanku.”

Apa cuma karena itu aku dianggap baik? Menurutku, itu hal yang wajar saja...

“Seorang pacar, menghargai keinginan pasangan itu kan udah seharusnya.”

“Dan menurutmu itu hal yang wajar... itulah bukti kalau Raito-kun memang baik.”

Dengan senyum lembut, Misaki mencolek lenganku dengan jarinya sambil tampak bahagia. Apa benar sesederhana itu, ya?

“Kalau denger dari Misaki, kayaknya semua hal bisa dianggap sebagai ‘baik’ deh.”

“Enggak kok!”

Mungkin dia merasa aku sedang mengejek, soalnya dia langsung membantah sambil agak seperti memarahi. Kalau dibiarkan begini, dia bisa ngambek lagi. Padahal kami sudah hampir sampai di stasiun. 

Berpisah dalam keadaan dia ngambek jelas bukan ide bagus. Jadi, aku putuskan mengganti topik.

“Ngomong-ngomong, kalau ke pantai, mungkin kita perlu mobil, ya...”

Memang ada pantai yang bisa diakses cuma dengan kereta atau bus, tapi aku sendiri nggak tahu pasti. Setidaknya aku selama ini cuma pernah ke pantai naik mobil orang tua atau ikut acara sekolah.

“Ah, kalau itu, tinggal minta tolong ke kakakku. Harusnya sih bisa.”

“…………”

Dengan senyum polos seperti berkata, "Tenang aja, semua aman," Misaki menjawab dengan santai. Tapi... apa beneran bakal aman?

“Kalau gitu... kita jadi kayak pasangan yang disetujui keluarga, dong...”

Nggak mungkin kakaknya nyangka adiknya jalan-jalan ke pantai cuma berdua dengan teman cowok, kan? Atau... dia bakal dikenalin sebagai pacarnya Suzumine-san?

“Ah... aku udah bilang ke kakak kalau Raito-kun itu pacarku, kok...”

Ternyata, kekhawatiranku udah telat dari awal. Pantas saja. Kalau gitu, ya emang nggak ada yang perlu dikhawatirkan lagi...

“Walaupun hubungan ini palsu, apa nggak masalah dikenalkan ke keluarga...?”

“Soalnya, waktu di festival kemarin ada teman kakakku juga, jadi aku sekalian bilang ke kakak juga...”

Jadi, demi mencegah gosip atau salah paham, dia memilih buat mengenalkanku sebagai pacar sungguhan...Ternyata kami udah sampai tahap ‘disetujui keluarga’...Kayaknya aku malah jadi dapet satu masalah tambahan.

“Ah... kita udah sampai stasiun, ya...?”

Karena asyik ngobrol, tahu-tahu kami sudah tiba di stasiun terdekat. Misaki menatapku seolah-olah masih ada yang belum selesai dibicarakan.

“Kereta udah mau datang, jadi terakhir aku mau nanya satu hal. Kakak Misaki, pernah bilang apa soal pacarmu?”

“Dia senang banget karena aku akhirnya punya pacar. Katanya, dia ikut senang dan ngucapin selamat, lho?”

Berarti kakaknya juga tipe yang baik seperti Misaki. Kalau gitu, mungkin nggak bakal jadi masalah besar...

“Yah, kita tetap hati-hati biar nggak ketahuan, ya.”

“Iya. Kalau begitu, selamat malam.”

Karena keretanya sudah dekat, Misaki pun masuk ke dalam stasiun sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Anak itu... kadang terlalu polos sampai bikin pusing...

Entah kenapa, aku nggak bisa berhenti memikirkan itu.


Post a Comment

Post a Comment

close