NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kazukazu no Kokuhaku o Futte Kita Gakkou no Madon'na ni Sotobori o Ume Raremashita Volume 1 Chapter 1

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan

Jangan lupa buat join ke grup whatsapp Fanservice karena admin sana dah bersedia buat kasih hasil pesanan jasanya dari Hinagizawa Groups buat diunggah ke website Kaori Translation

Ini Linknya: https://chat.whatsapp.com/HLeZcbosBqsJWktlZvriUR


Chapter 1

Awal dari Hubungan Palsu


“――Nii-ni~!”


Dalam perjalanan pulang sekolah—saat tiba di penitipan anak tempat adikku dititipkan, seorang gadis kecil berambut pendek kembar berlari menghampiriku.


Adikku yang sangat lucu dan baru saja berusia empat tahun—Kokoa.


"Kokoa, aku datang menjemputmu."


"Un!"


Saat aku berjongkok dan membuka kedua tangan, Kokoa langsung melompat ke dalam pelukanku. Lalu ia mengusap pipinya ke pipiku.

Seperti biasa, dia memang manja. Tapi, ngomong-ngomong—


"Kau harusnya memanggilku 'Onii-chan', bukan 'Nii-ni', kan?"


"Enggak~! Nii-ni!"


TLN : Nih Author keknya demen ama panggilan Nii-ni dah


Kokoa menggembungkan pipinya dan menggeleng cepat.


Karena panggilan ini bisa membuatnya diejek oleh teman-temannya kelak, aku berusaha memperbaikinya sejak kecil. Tapi tampaknya Kokoa sangat menyukai panggilan ini dan tidak mau mengubahnya.

Mungkin memang lebih mudah diucapkan olehnya.


Toh, saat ia sudah besar nanti, mungkin akan berubah dengan sendirinya. Jadi mungkin sebaiknya kubiarkan saja.


"Shirai-san, selamat sore."


"Ah, shensei!"


Saat aku menggendong Kokoa, seorang wanita muda berusia sekitar awal dua puluhan dengan senyum lembut menyapaku. Namanya adalah Sasagawa Misora-san, pengasuh yang menangani kelas Kokoa. Dia sangat cantik dan ramah, tak kalah dari Kuroyuki-san, tapi di jari manis tangan kirinya terlihat sebuah cincin bersinar.


"Selamat sore, Sasagawa-sensei. Terima kasih karena selalu menjaga Kokoa."


"Tidak, tidak sama sekali. Kokoa-chan anak yang penurut dan baik, jadi saya sangat terbantu."


"Un! Kokoa anak baik!"


Kokoa tampaknya tahu kalau dia sedang dipuji, dan mengangguk dengan ekspresi bangga. Sifat kekanak-kanakannya yang mudah tersanjung seperti ini, menurutku juga sangat menggemaskan.


"Sudah siap pulang?"


"Un!"


Saat kutanyakan, Kokoa dengan semangat mengangkat tangannya.


"Saya rasa Shirai-san akan segera datang, jadi Kokoa-chan tadi menyiapkan barang-barangnya sendiri untuk pulang. Ya, kan?"


Sasagawa-sensei mengelus kepala Kokoa sambil tersenyum lembut.

Kokoa pun terlihat senang dan tersenyum manis sambil berkata 


"Ehehe".


"Kalau begitu, kami pamit dulu."


Sambil menggendong Kokoa dan menyandang tas kecilnya di bahu, aku membungkuk sedikit kepada Sasagawa-sensei.


"Ya, hati-hati di jalan. Sampai jumpa besok, ya, Kokoa-chan."


"Bye-bye~!"


Kokoa yang sangat menyukai Sasagawa-sensei melambaikan tangan dengan ceria, dan aku meninggalkan tempat penitipan anak sambil menatap adikku yang begitu menggemaskan itu. Dalam perjalanan pulang ke rumah—


"Nii-ni."


Kokoa menarik-narik bajuku sambil berkata begitu.


"Ada apa?"


"Aku mau ke festival."


Festival? Ah...


"Kau maksud festival kota yang diadakan hari Sabtu nanti?"


"Un!"


Kokoa mengangguk kuat.


Festival itu memang cukup besar, tetapi karena diadakan di pusat kota Okayama—bukan di desa tempat kami tinggal di pinggiran prefektur—aku tidak memberitahukannya pada Kokoa sebelumnya.


Kalau dia tahu, pasti dia mendengarnya dari tempat penitipan anak hari ini. Kalau dia ingin pergi, tentu aku harus mengajaknya. Akan kasihan kalau kutinggalkan.


"Aku akan tanya Ibu dulu, tapi sepertinya boleh kok."


"Un!"


Sepertinya dia benar-benar ingin pergi, Kokoa mengangguk-angguk dengan penuh semangat. Aku juga jarang bisa mengajaknya bermain jauh-jauh, jadi sesekali tidak masalah. Festival seperti ini pasti akan diizinkan Ibu. 


Begitulah, kami pun memutuskan akan pergi ke festival hari Sabtu nanti. Kemudian, tibalah Sabtu sore yang ditunggu-tunggu—


"Nii-ni! Cepat~!"


Kokoa yang sudah berganti yukata, melompat-lompat dengan penuh semangat. Jelas sekali kalau dia sudah menantikan hari ini. Ngomong-ngomong, sebenarnya festival itu sudah dimulai dari siang. Tapi alasan kami pergi mulai sore adalah... karena kalau datang dari siang, uangnya tidak akan cukup.


"Jangan terburu-buru, festivalnya tidak akan kabur kok."


"Nggak mau, cepat...!"


"Iya iya, ayo kita berangkat."


Aku pun sudah siap, dan sepertinya tidak ada yang tertinggal, jadi kami bisa berangkat. Mungkin karena tahu itu, Kokoa langsung berbalik dan berdiri di depanku.


"Un...!"


Lalu ia membuka kedua tangannya lebar-lebar sebagai isyarat.


"Hmm..."


Aku tahu apa yang dia inginkan, tapi ini kan festival...


"Gendong...!"


Saat aku masih ragu, Kokoa mulai menarik-narik bajuku dengan wajah tidak puas. Ternyata gestur tadi adalah permintaan untuk digendong.

Kokoa memang sangat suka digendong, jadi setiap ada kesempatan, dia pasti memintanya. Tapi... membawanya digendong di tengah keramaian...


Saat aku berpikir seperti itu, mata Kokoa mulai berkaca-kaca. Melihat itu, aku pun langsung berjongkok tanpa ragu.


"Kalau sudah sampai di tempat acaranya, kamu harus jalan sendiri, kan?"


"Un, ehehee...♪"


Begitu melihat mata Kokoa yang hampir menangis, aku langsung menyerah dan menggendongnya. Ia pun tersenyum bahagia.


Sungguh anak yang sederhana... meskipun begitu, karena Kokoa cukup cerdas untuk anak seusianya, mungkin dia sudah belajar bahwa kalau dia berkaca-kaca, aku akan menyerah.


Kalau begitu, ini tidak baik untuk pendidikannya... tapi aku merasa tidak akan bisa menang melawan air mata adik kecilku ini.


Untuk saat ini, aku putuskan untuk menggendongnya selama jalan masih sepi. Kalau nanti sudah ramai, aku akan menurunkannya agar tidak mengganggu orang lain.


—Meski begitu, ada juga kekhawatiran bahwa Kokoa yang masih kecil akan terdesak oleh kerumunan orang. Soal itu, aku akan bersikap fleksibel tergantung situasinya.


"Oi~ matsuri~♪ Oi~ matsuri~♪"


Setelah digendong, Kokoa jadi senang dan mulai menggoyang-goyangkan badannya dengan ceria. Sebenarnya, berat badannya bertambah jadi agak merepotkan, tapi karena dia begitu lucu, aku membiarkannya saja.


"Ada makanan yang ingin kamu makan?"


"Umm~? Permen apel...!"


"Kalau begitu, kita beli permen apel, ya."


"Un!"


Sambil mengobrol seperti itu, kami pun menuju stasiun terdekat.

Dan saat sampai di tempat acara—


"—Tolong berhenti!!"


Tiba-tiba terdengar teriakan yang nyaris seperti jeritan. Karena ini festival, pasti akan ada banyak hal yang terjadi... tapi entah kenapa, suara itu terdengar familier. Arah suara itu berasal dari kerumunan orang. Sudah jelas ada sesuatu yang terjadi di sana.


"Nii-ni...?"


Kokoa juga tampak penasaran dan menatap wajahku dengan cemas.

Dalam situasi di mana aku sedang bersama adikku, aku sebenarnya tidak ingin ikut campur...


"Kalau ternyata kenalan... aku nggak bisa diam saja, ya..."


Kalau itu orang asing, aku bisa saja berharap polisi atau siapa pun mengurusnya, tapi kalau itu orang yang kukenal, aku pasti akan merasa tidak tenang.


Setidaknya, aku harus memastikan dulu. Dengan pikiran itu, aku pun menggendong kembali Kokoa dan masuk ke tengah kerumunan.


"—Udah, ayolah. Ayo kita jalan bareng."


"Aku sudah bilang berkali-kali kalau aku tidak mau!"


Di tengah kerumunan yang membentuk lingkaran, berdiri seorang gadis cantik berambut merah muda mencolok—dan benar saja, itu adalah seseorang yang kukenal.


Tampaknya dia sedang diganggu oleh dua pria yang tampaknya mahasiswa.


"Jangan gitu dong~ Jalan-jalan sendiri di festival kan sepi."


"Aku sedang menunggu seseorang...!"


Gadis yang digoda—Kuroyuki-san, yang memakai yukata dan tampak memancarkan pesona yang berbeda dari biasanya saat berseragam, sedang ditahan tangannya oleh salah satu pria itu, dengan air mata di ujung matanya.


Dia pasti ketakutan karena pria yang bersikap memaksa itu. Aku benar-benar tidak bisa berpura-pura tidak melihat. Andai saja ada yang maju untuk menghentikannya... 


Tapi meski banyak yang menonton, tak satu pun dari mereka tampak berniat ikut campur.


Yah, aku juga bisa paham perasaan mereka. Kalau aku tidak kenal, mungkin aku juga tidak akan ikut campur.


"—Maaf, aku bikin kamu nunggu, ya."


Aku masuk ke dalam lingkaran sambil tersenyum, menciptakan suasana yang ceria. Tiba-tiba, semua mata tertuju padaku.


"Shirai-kun...?"


Begitu aku berdiri di depan Kuroyuki-san, mata indahnya tampak bergetar kuat saat melihatku. Ekspresi wajahnya yang tadinya tegang mulai sedikit melunak.


"Siapa lo?"


"Ngerti nggak sih, kita lagi ngobrol nih?"


Sementara itu, dua pria yang tampak seperti mahasiswa itu menatapku tajam. Tapi karena mereka melepaskan tangan Kuroyuki-san, aku segera menyerahkan Kokoa padanya. Meski tampak bingung, dia refleks menerima Kokoa.


Aku berdiri membelakangi mereka berdua untuk melindungi mereka, lalu berbalik menghadap para pria berpenampilan mencolok itu.


"Maaf ya, dia sudah janji akan keliling festival bersama kami."


Aku menyampaikan itu kepada mereka sambil tetap tersenyum.

Mereka tidak punya cara untuk memverifikasi apakah benar kami sudah membuat janji atau tidak. Selama orang yang sebenarnya ditunggu Kuroyuki-san tidak muncul di sini, aku rasa kami bisa bertahan cukup lama.


"Jadi maksudmu, kamu pacarnya?"


Salah satu dari pria itu menanyakan secara langsung apa yang tadi sengaja kuhindari untuk katakan secara tegas. Mungkin bagi mereka itu adalah hal yang penting....Tidak ada pilihan lain.


"Benar. Kami akan kencan di festival hari ini."


Kalau aku menghindar atau menyangkal di sini, jelas mereka tidak akan mundur. Karena itu, aku memutuskan untuk berpura-pura menjadi pacarnya. Aku akan minta maaf pada Kuroyuki-san nanti.


"Oooh~? Cowok nggak mencolok kayak kamu ini, pacarnya dia~?"


"Ahaha! Jelas-jelas nggak seimbang banget!"


Tampaknya mereka meragukan hubungan kami. Yah, itu wajar. Bahkan dari sudut pandangku sendiri, aku tidak terlihat cocok dengan Kuroyuki-san.


"Dia adalah orang yang sangat luar biasa...! Aku sangat menyukainya, jadi tolong jangan memperlakukannya dengan sikap yang merendahkan...!"


Saat para pria itu menertawakanku, Kuroyuki-san tiba-tiba menggandeng lenganku dengan lengannya sendiri. Karena dia orang yang cerdas, sepertinya dia bisa membaca situasi dan memutuskan untuk ikut berpura-pura menjadi pacarku.


Lalu dengan tatapan tajam, Kuroyuki-san menatap mereka.

Sikap yang biasanya tidak akan dia lakukan, karena dia biasanya lembut.


...Hebat juga. Dia benar-benar terlihat seperti pacar yang marah karena kekasihnya dihina.


Mungkin karena tidak menyangka akan ditatap tajam oleh Kuroyuki-san yang biasanya terlihat lembut, para pria itu mundur selangkah.

Aku tidak melewatkan perubahan sikap mereka dari agresif menjadi bertahan.


"Boleh kami pergi sekarang? Aku tidak ingin membuat keributan hingga perlu berurusan dengan polisi."


Sambil mengatakan itu, aku mengarahkan pandanganku ke sekeliling, seolah berkata "lihatlah sekitar." Tertarik oleh pandanganku, para pria itu ikut melihat sekeliling—dan...


"A-apa!? Sejak kapan kita jadi tontonan begini...!?"


Akhirnya mereka menyadari situasi mereka. Padahal sudah sebanyak ini orang berkumpul, bagaimana mereka tidak menyadarinya? Sepertinya mereka terlalu fokus pada Kuroyuki-san.


"H-hey, ini nggak bagus...!"


"Iya, mending kita cabut aja...!"


Begitu sadar bahwa mereka sedang jadi pusat perhatian, kedua pria itu langsung pergi dengan terburu-buru. Untunglah mereka penakut...


Kalau tidak, situasinya mungkin bisa berkembang menjadi perkelahian.


"Kuroyuki-san, terima kasih sudah menjaga adikku. Boleh kita pindah tempat sebentar?"


Sambil menerima kembali Kokoa, aku kembali mengarahkan pandangan ke sekeliling. Setelah kami mengaku sebagai pasangan di hadapan begitu banyak orang, kalau kami langsung bubar di tempat, bisa-bisa muncul masalah baru.


Akan lebih baik kalau kami pindah tempat terlebih dahulu. Sepertinya Kuroyuki-san mengerti maksudku dan mengangguk. Karena dia sedang menunggu seseorang, nanti bisa menghubungi orang itu setelah kami pindah. Setelah kami berpindah ke tempat yang lebih sepi—


"Terima kasih, sudah menyelamatkanku."


Kuroyuki-san membuka pembicaraan lebih dulu.


"Aku cuma kebetulan lewat, jadi tak perlu dipikirkan. Tapi soal berpura-pura jadi pacar tadi—"


"Onee-chan, kamu pacarnya Nii-ni ya!?"


"“——!?”"


Tepat saat aku hendak meminta maaf atas kebohongan tadi—Kokoa memotong ucapanku dan bertanya kepada Kuroyuki-san. Matanya berkilauan penuh semangat, jelas sekali dia menaruh harapan besar.


Adik kecilku yang polos ini tampaknya tidak menyadari bahwa yang tadi itu hanyalah kebohongan yang terucap karena situasi.


"Kokoa, bukan begitu. Kami bukan sepasang kekasih."

Akan merepotkan kalau terjadi kesalahpahaman. Dengan berpikir begitu, aku segera mengoreksi pernyataan sebelumnya. Namun――

"Benarkah...?"

Dengan mata berkaca-kaca dan ekspresi sangat sedih, Kokoa menatap Kuroyuki-san.

Tatapan penuh kesedihan seperti itu membuat Kuroyuki-san tampak kebingungan, dan pandangannya pun mulai berkelana. Lalu――

"Shi-Shirai-kun cuma menutup-nutupi karena malu. Kami memang sepasang kekasih, kok?"

Sambil mengalihkan pandangannya dari Kokoa, dia mengatakan sesuatu yang luar biasa.

"Hah...!? Apa yang kamu—!"

Tanpa sadar aku melontarkan protes.

"Ternyata benar ya! pacarnya Niini...!"

Namun, suaraku langsung tenggelam oleh suara Kokoa.

Kokoa? Kenapa kamu lebih percaya pada Kuroyuki-san yang baru saja kamu temui, daripada kakakmu sendiri?

"O-Onee— maksudku, Nee-ne! Namamu siapa?"

Dengan penuh rasa ingin tahu, Kokoa mendekati Kuroyuki-san dengan semangat tinggi.

Memang dia anak yang tidak pemalu, tapi sikap seakrab ini baru kedua kalinya aku lihat, sejak pertemuannya dengan Sasagawa-sensei. Mungkin karena Kuroyuki-san memiliki aura yang mirip dengan Sasagawa-sensei, ia merasa akrab dengannya.

"Umm... Perkenalkan, namaku Kuroyuki Misaki. Kamu... Kokoa-chan, ya?"

"Yep! Aku Kokoa!"

"Senang berkenalan denganmu, Kokoa-chan."

"Senang berkenalan juga~!"

Keduanya langsung akrab dan saling memperkenalkan diri dengan ceria.

Hmm... Ini, aku harus bagaimana? Kalau nanti aku bilang bahwa semuanya tadi cuma kebohongan, Kokoa pasti menangis sejadi-jadinya...

"Kuroyuki-san, bukankah kamu tadi bilang sedang menunggu seseorang?"

Merasa situasinya mulai berbahaya, aku memutuskan untuk memisahkan Kokoa dari Kuroyuki-san. Kalau tidak, Kokoa bisa saja benar-benar menganggap semuanya nyata dan mempercayainya sepenuh hati.

――Tidak, jujur saja, aku rasa sudah terlambat.

"Ah, orang yang kutunggu hari ini ternyata tidak bisa datang. Sebenarnya tadi aku sedang berniat pulang."

"Begitu ya?"

"Iya, aku sudah janjian untuk keliling festival bareng kakakku, tapi dia tiba-tiba membatalkannya."

"Do-ta... kyan...?"

TLN : "ドタキャン" (dotakyan) adalah singkatan dari 土壇場(どたんば)でキャンセル yang berarti "membatalkan secara mendadak" atau "membatalkan di saat-saat terakhir".

Tidak mengerti maksud kata-kata itu, Kokoa memiringkan kepala dengan wajah bingung.

"Itu singkatan dari 'pembatalan mendadak', artinya janji yang dibatalkan di saat-saat terakhir."

"Ooh~?"

Dengan senyum sambil mengangkat jari telunjuknya, Kuroyuki-san menjelaskan, dan Kokoa mengangguk penuh kagum.

Ya... sepertinya dia tidak benar-benar paham.

"Jadi seperti kalau Onii-chan bilang mau pergi ke festival sama Kokoa, tapi tiba-tiba bilang batal."

"Enggak boleh...!"

Saat aku menjelaskan dengan perumpamaan, Kokoa mengembungkan pipinya sambil menatapku. Tangannya juga disilangkan rapat membentuk tanda silang.

"Itu hanya perumpamaan. Onii-chan tidak akan pernah mengingkari janji denganmu, kan?"

"Unng...!"

Sepertinya dia bisa menerimanya, kali ini dia mengangguk besar ke arahku. Baguslah.

"………"

"Hmm? Ada apa?"

Saat aku hendak mengelus kepala Kokoa, aku sadar kalau Kuroyuki-san sedang menatap wajahku dengan tajam. Apa ada serangga di wajahku?

"Umm... nada bicaramu lembut sekali, ya... Padahal di sekolah kamu nggak pernah ngomong kayak gitu, kan?"

Sepertinya Kuroyuki-san penasaran dengan cara bicaraku pada Kokoa.

"Kalau bicara dengan anak kecil dan orang dewasa, tentu beda caranya, kan?"

Kalau pakai nada terlalu keras, Kokoa bisa saja tersakiti. Karena itu, aku selalu berusaha bicara dengan lembut. Kalau tidak begitu, dia bisa menangis hanya karena satu teguran kecil.

"Fuun... Kamu sayang sekali sama adikmu, ya?"

"Jelas, dia kan imut banget. Udah pasti dong...! Dia itu bagaikan malaikat!"

Aku mengangkat Kokoa dari belakang dan memamerkannya ke Kuroyuki-san. Kokoa pun tersenyum manis. Ya, adikku ini benar-benar anak yang hebat.

"Bukan orang tua yang kelewat sayang, tapi kakak yang kelewat sayang, ya... Tapi dia memang benar-benar lucu, sih."

Kuroyuki-san mengulurkan tangannya ke kedua pipi Kokoa dan mulai memainkan pipinya yang kenyal. Pipi Kokoa lembut dan elastis seperti mochi, jadi memang bikin ketagihan kalau disentuh. Dan tampaknya dia juga suka diperlakukan seperti itu, karena dia tidak pernah menolak.

"Aku juga ingin punya adik perempuan, deh..."

"Kamu nggak akur sama kakak perempuanmu?"

Karena dia terlihat begitu iri, aku jadi penasaran dan bertanya.

"Nggak, kami akur banget, kok. Di rumah sih dia agak malas, tapi orangnya sangat baik. Kalau di luar rumah, dia itu orang yang sempurna banget."

Pemalas di rumah tapi sempurna di luar... orang seperti itu ternyata memang ada di dunia nyata, ya. Meski aku ingin mengomentarinya, aku tahan karena sedang bersama Kuroyuki-san.

"Jadi, kamu cuma ingin punya adik perempuan, ya?"

"Iya. Aku anak bungsu soalnya. Satu-satunya kakakku ya itu tadi. Selain itu, aku juga suka anak kecil sampai-sampai ingin jadi pengasuh anak di masa depan."

Mungkin karena senang bisa bermain dengan pipi Kokoa, Kuroyuki-san tampak sangat ceria dan mulai banyak bercerita tentang dirinya sendiri. 

Padahal di sekolah, dia termasuk tipe yang jarang bicara tentang dirinya, jadi ini cukup mengejutkan. Mungkin karena di sekolah terlalu banyak orang yang terlalu agresif mendekatinya, dia jadi enggan bicara soal dirinya sendiri.

"—Ah, maaf ya. Padahal kita ke festival, tapi aku malah mengambil waktunya."

Mungkin baru tersadar, Kuroyuki-san buru-buru melepaskan tangannya dari pipi Kokoa. Kokoa pun mengembungkan pipinya sambil menggumam pelan, "Muu...", tampaknya dia masih ingin dimanja.

"Kuroyuki-san benar-benar mau pulang?"

Ini festival, jadi pastinya dia juga ingin menikmatinya. Kalau dia harus pulang hanya karena kakaknya tidak bisa datang, itu agak menyedihkan.

"Yah... sejujurnya sih aku kecewa... Tapi, kalau sampai terjadi hal seperti tadi lagi, kan merepotkan juga."

Kalau Kuroyuki-san berjalan sendirian, dia pasti akan didekati lagi oleh para lelaki. Tak mungkin gadis secantik dia dibiarkan begitu saja.

"Memang benar juga, ya... Kalau begitu, hati-hati di jalan—"

"Yaa…!"

Saat aku hendak berpisah dengannya—Kokoa tiba-tiba menarik lengan baju Kuroyuki-san dengan erat.

"H-Hey, Kokoa…! Jangan begitu, lepaskan tangannya…!"

"Enggak mau…! Nee-ne juga ikut berkeliling di festival!"

Sepertinya Kokoa benar-benar menyukai Kuroyuki-san. Ia menggeleng keras sambil tetap menggenggam erat lengan bajunya, tak mau melepaskan. Ini jadi agak merepotkan.

"Kan dia mau pulang, jadi nggak bisa apa-apa, dong…!"

"Kenapaa…! Nee-ne kan pacarnya Nii-ni, kenapa malah pulang…!"

Pertanyaan Kokoa wajar saja. Kalau kami benar-benar berpacaran, sudah sewajarnya kalau kami berkeliling festival bersama dengan akur.

Tapi kenyataannya, aku dan Kuroyuki-san tidak sedang berpacaran. Sebenarnya aku harus jujur pada Kokoa bahwa kami tidak pacaran, tapi kalau dia tahu itu bohong, pasti dia bakal menangis keras-keras.

Kalau sampai begitu, sudah pasti festival hari ini akan hancur berantakan. Dan Kokoa yang sudah menantikan hari ini, pasti akan sedih berlarut-larut sampai besok dan seterusnya. Sebagai kakak, aku tidak ingin melihat adikku bersedih seperti itu. Kalau sudah begini...

"Maaf ya, Kuroyuki-san. Boleh nggak kamu ikut berkeliling bersama kami?"

Agar tidak menyakiti hati Kokoa, satu-satunya cara adalah dengan meminta Kuroyuki-san ikut bersama kami. Meski aku tahu mungkin dia tidak suka berjalan-jalan bareng aku...

"Boleh aku ikut...?"

Tak disangka, dia tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan. Justru dia menatapku seolah sedikit berharap. Reaksi yang tak terduga, tapi ini jelas kesempatan emas.

"Sebaliknya, aku malah mau minta tolong banget... Lagipula, kan belum ada jaminan lelaki genit tadi sudah pulang dari festival. Kalau kamu sendirian dan kebetulan ketemu lagi, bakal repot juga, kan."

Menurutku, itu alasan spontan yang cukup bagus. Rasanya cukup masuk akal, kan? Saat aku sedang berpikir begitu—

"Benar juga… Iya, baiklah. Aku ikut, ya."

Kuroyuki-san menundukkan kepala sambil tersenyum lebar.
Bukan senyum terpaksa, melainkan senyum yang sangat manis. Apa jangan-jangan… dia tidak keberatan ikut berkeliling denganku?

Aku sempat berpikir begitu—

"Un! Nee-ne ikut!"

Tapi kemudian aku ingat ada Kokoa, gadis kecil secantik malaikat ini. Melihat dia begitu senang, aku pun berpikir, mungkin itu semua karena Kokoa.


"—Woah, lihat deh. Ada cewek cantik banget."
"Beneran. Jangan-jangan idol yang lagi main ke sini?"

Begitu kami mulai berjalan di tengah festival, banyak tatapan panas langsung tertuju ke arah kami. Seperti yang diduga dari gadis tercantik dan paling populer di sekolah. Tapi sepertinya dia tak nyaman dengan tatapan seperti itu. Sebaliknya, Kokoa yang berada dalam gendonganku tampaknya tak peduli. Malah ia tampak senang dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan riang.

Mungkin karena dia tetap digendong meski di tengah festival, tapi alasan terbesarnya pasti karena Kuroyuki-san ikut bersama kami.

"Orang di sebelahnya itu pacarnya ya?"
"Nggak mungkin lah. Kayaknya cuma pengawal atau semacamnya."

Dan sepertinya aku bahkan tidak dianggap sebagai pacar ataupun teman pria. Terlalu timpang, sampai jadi begini. Yah, ini jadi pelajaran juga.

—Kalau bisa, aku lebih suka tidak pernah tahu rasanya.

"Maaf ya...?"

Mungkin karena merasa kasihan, Kuroyuki-san meminta maaf padaku dengan ekspresi bersalah.

"Itu bukan sesuatu yang perlu kamu minta maaf, kan? Nggak ada satu pun hal yang salah kamu lakukan, Kuroyuki-san."

"Tapi, karena aku, Shirai-kun jadi harus ngerasa nggak enak..."

Dia ini, baiknya kelewatan. Padahal jelas-jelas bukan salah dia kalau jadi pusat perhatian.

"Bersikap baik itu bagus, tapi kalau terlalu baik, itu bisa jadi nggak baik juga, tahu?"

"Eh...?"

Karena aku tiba-tiba mengoreksi dia, Kuroyuki-san menatapku dengan bingung.

"Bisa berpikir kalau itu salahmu sendiri itu luar biasa, tapi kalau kamu terus-terusan menyalahkan diri sendiri atas semua hal, itu berarti kamu nggak bisa melihat situasi dengan benar. Dan yang lebih penting, itu juga bisa bikin orang lain kehilangan kesempatan untuk belajar dari kesalahan mereka."

Kalau yang salah itu orang asing atau orang yang nggak penting, ya biarkan saja. Itu urusan mereka sendiri, dan malah lebih bagus kalau mereka jatuh supaya belajar. Tapi—kalau orang dekat yang salah, lebih baik kita bantu mereka introspeksi.

"…Shirai-kun kelihatannya sangat memanjakan Kokoa-chan, tapi kamu juga pernah marahin dia, kan?"

Kuroyuki-san menatapku seolah ingin tahu jawabanku. Mungkin karena aku memang kelihatan terlalu memanjakan Kokoa.

"Mm! Nii-ni suka marah!"

Saat aku hendak menjawab, Kokoa yang dari tadi diam langsung ikut nimbrung. Karena namanya disebut, dia ingin ikut bicara.

"Ya, marah sih marah, tapi cuma sebatas mengingatkan saja. Aku nggak pernah bentak atau semacamnya."

"Nii-ni kadang berisik!"

"Kokoa? Itu nyakitin hati Onii-chan, tahu…"

Kalau dia ngelakuin hal buruk, aku memang akan terus menasihati sampai kebiasaannya berubah. Mungkin karena itu dia merasa aku cerewet. Tapi tetap saja, kalau dibilang ‘berisik’ oleh adik tercinta, rasanya lumayan menyakitkan.

"Tapi, Nii-ni itu suuuper baik sama Kokoa!"

Mungkin karena tahu aku sedih, Kokoa langsung senyum dan ngomong begitu ke Kuroyuki-san. Aku ingin percaya itu kata-kata dari hatinya.

"Fufu, kalian akrab banget, ya."

"Un! Kokoa dan Nii-ni akur banget!"

Begitu Kuroyuki-san tersenyum cerah, Kokoa juga mengangguk senang. Kalau dilihat dari sudut pandang ini, mereka berdua kelihatan seperti kakak-adik.

Walau kami sekelas, aku sebenarnya jarang bicara dengan Kuroyuki-san. Tapi sekarang aku merasa, ternyata bersama dia itu nggak buruk—lebih tepatnya, waktu seperti ini terasa menyenangkan.

"—Ah, Nii-ni! Gulali!"

Saat kami berjalan sambil mengobrol, Kokoa tiba-tiba menunjuk sebuah stan makanan. Tampaknya dia tetap memperhatikan stan-stan festival juga.

"Tadi katanya mau makan permen apel, kan?"

"Mau gulali juga…!"

Kokoa menarik-narik bajuku dengan penuh semangat. Dia benar-benar ingin makan itu.

"Ya ya, aku ngerti. Maaf ya, Kuroyuki-san, boleh sebentar?"

"Tentu saja."

Saat aku memastikan padanya, Kuroyuki-san mengangguk sambil tersenyum.

Kalau lawannya orang seperti Kuroyuki-san, segalanya terasa mudah. Karena dia pintar, cepat memahami maksudku, dan juga baik serta penuh perhatian. Tapi, karena kami bukan benar-benar pasangan kekasih, aku harus hati-hati agar tidak terlalu bergantung pada kebaikannya.

"Aku juga pengin beli, ah."

"Bagus tuh! Mumpung lagi di festival, sayang kalau nggak dinikmati."

"Kalau kamu sendiri, Shirai-kun nggak beli?"

Mungkin karena aku cuma mengeluarkan lima ratus yen—cukup buat satu orang—dia langsung menyadarinya dan bertanya.

"Satu aja cukup."

Sambil menjawab, aku menyerahkan uang lima ratus yen ke Kokoa. Ini juga bagian dari pembelajaran.

"Oji-san, mau gulali satu, ya!"

Dengan senyum lebar, Kokoa menyerahkan uang ke penjual stan. Penjual itu menerimanya dengan senyum lebar dan santai.

"Kamu hebat, Kokoa. Bisa pesan sendiri."

"Un…!"

Karena berhasil pesan sendiri, aku mengelus kepala Kokoa dan memujinya. 

Kokoa menyipitkan mata dengan nyaman dan diam-diam membiarkan dirinya dielus. Dia bahkan terlihat sedikit bangga. Namun――kali ini, bisa dibilang sedikit gagal.

“Tapi ya, Kokoa. Di saat seperti ini, kalau kamu juga memesankan untuk Kuroyuki-san, akan lebih bagus, lho.”

“Ah…!”

Sepertinya dia menyadari maksud dari perkataanku, dan Kokoa pun menunjukkan ekspresi seperti sedang mendengar efek suara ‘gak!’, wajahnya jelas terlihat terpukul. Lalu dia menatap ke arah Kuroyuki-san dengan wajah sedih.

“Maafin aku…”

“U-uh, nggak apa-apa, kok? Atau lebih tepatnya, bukankah itu terlalu kejam, Shirai-kun…?”

Kuroyuki-san terlihat panik dan menatapku dengan sorot mata seolah ingin protes. Tampaknya dia juga memahami maksudku.

“Kokoa pikir uang yang aku kasih tadi cuma buat satu orang, jadi dia hanya memesankan satu untuk dirinya. Tapi sebenarnya, uangnya bisa dikasih bareng saat membayar, jadi kalau memesankan juga untuk Kuroyuki-san, itu akan lebih memudahkan baik buat Kuroyuki-san maupun penjualnya, kan?”

“Un…”

Meski dia sepertinya sudah paham, aku tetap menjelaskan dengan lebih sederhana, dan Kokoa mengangguk kecil. Tak ada rasa tidak puas di sana, dia tampak belajar dari kesalahannya dan menyesali tindakannya. Sifatnya yang jujur seperti inilah kelebihan Kokoa.

“Yuk, di saat seperti ini, kamu tahu harus ngapain, kan?”

“Un…! Oji-san, satu lagi, tolong!”

“Bagus, kamu udah bisa bilang dengan baik.”

Karena dia berhasil memesan tambahan, aku mengelus kepalanya lagi.
Dengan itu saja, suasana hati Kokoa langsung membaik. Karena dia masih kecil, kebanyakan hal bisa membuatnya ceria kembali. Sebaliknya, kalau dia menyimpan dendam, bisa sangat merepotkan.

“Begitu caramu biasanya mengajari dia?”

Saat Kokoa sedang menerima gulali dari penjual, Kuroyuki-san bertanya padaku dengan ekspresi sedikit terkejut.

“Ya, kalau ada kesempatan. Soalnya kita nggak tahu sampai kapan aku bisa terus ngajarin dia.”

“Jangan bilang gitu, kayak bakal meninggal aja…”

“Manusia bisa meninggal kapan saja, lho.”

Aku berkata pelan agar Kokoa tidak mendengarnya. Namun suara itu sepertinya sampai ke telinga Kuroyuki-san dengan jelas.

“Memang, sih…”

Namun, reaksinya berbeda dari yang aku perkirakan. Kupikir dia akan menganggap itu sebagai candaan atau mengabaikannya dengan senyum samar, tapi tampaknya dia punya pikiran tersendiri soal itu. Mungkin saja, dia pernah mengalami pengalaman serupa denganku.

“Nii-ni! Aa~n!”

Saat aku sedang teralihkan oleh Kuroyuki-san, Kokoa menyodorkan gulali ke arahku. Dia memintaku untuk menyantapnya.

“Kokoa aja yang makan duluan.”

“Un, udah makan!”

Sepertinya saat aku sedang tidak memperhatikan, dia sudah sempat menggigitnya. Kalau begitu, aku pun akan makan tanpa sungkan.

“――Enak, ya. Sisanya biar Kokoa aja yang makan, ya.”

“Un…!”

Aku menjauhkan wajahku sebagai tanda aku sudah cukup, dan Kokoa pun mulai makan dengan lahap.

“Kalian benar-benar akur, ya…”

Kuroyuki-san yang juga menerima gulalinya dari penjual, melihat kami dengan ekspresi takjub.

“Karena umur kami cukup jauh.”

Meski dia adik kecilku, aku sering merasa seperti mengasuh seorang anak. Selisih umur kami memang sejauh itu.

“Shirai-kun itu baik banget, ya.”

“Cuma ke adikku aja.”

“Enggak kelihatan begitu, kok.”

Sambil terkekeh kecil, Kuroyuki-san berkata sambil tersenyum hangat. Sayangnya, aku hanya bisa bersikap baik kepada keluargaku saja. Aku tidak punya kapasitas atau kelapangan hati untuk memperhatikan orang lain sejauh itu.

“Kita cari tempat yang nggak mengganggu untuk makan, yuk.”

“Setuju.”

Setelah itu, kami pun berpindah tempat, lalu duduk di kursi kosong dan makan gulali bersama. Oh, dan――

“Nii-ni, aan!”

“Udah nggak mau makan lagi?”

“Aan!”

――karena tidak bisa menghabiskannya sendiri, Kokoa akhirnya menyuapkan sisa gulalinya ke mulutku. Dia memang belum bisa menghabiskan semuanya sendirian.


"――Apel karamel~♪ Apel karamel~♪"

Setelah berkeliling di festival dan mencoba permainan seperti memancing yo-yo serta menangkap bola super, Kokoa kini sedang mengantre di kios untuk membeli apel karamel yang menjadi tujuannya sejak awal. Dia tampak tidak sabar menunggu gilirannya, sampai-sampai tubuhnya bergoyang karena antusiasme.

"Fufu, Kokoa-chan benar-benar imut, ya."

"Seperti malaikat, bukan?"

"Ya, sampai membuatku iri. Aku juga ingin punya adik perempuan seperti Kokoa-chan."

Sepertinya, pesona Kokoa memang luar biasa—bahkan Kuroyuki-san pun tampak terpikat olehnya. Selama ini aku tidak pernah punya teman bicara untuk topik seperti ini, jadi rasanya cukup menyenangkan.

"Nee-nee, apel karamelnya mana?"

Di tengah pembicaraan itu, Kokoa—yang tampaknya tidak sadar sedang dibicarakan—menatap Kuroyuki-san sambil tersenyum lebar.
Kuroyuki-san pun berjongkok agar sejajar dengan tinggi mata Kokoa.

"Aku nggak usah, jadi kamu cukup memesankan satu untuk dirimu saja, ya."

"Un...! Oji-san, apel karamel satu, ya!"

Setelah memastikan jawaban dari Kuroyuki-san, Kokoa dengan senyum cerah menyodorkan uang. 

Namun, pemuda penjaga kiosnya hanya bisa tersenyum kecut. Ya, itu wajar. Soalnya, bagaimana pun juga, orang ini sama sekali tidak terlihat seperti "paman."

"Maaf, ya..."

"Tidak, tidak apa-apa. Dari sudut pandang anak kecil, saya pun kelihatannya memang seperti paman."

Saat aku meminta maaf, si penjaga kios menanggapinya dengan senyum ramah. Syukurlah, dia orang yang baik hati.

"...?"

Sementara itu, Kokoa hanya memiringkan kepala dengan ekspresi bingung, seolah tak mengerti mengapa aku tadi meminta maaf. Nanti akan kujelaskan padanya dengan baik.

"Menjadi kakakmu tidak mudah, ya?"

"Dia tidak bermaksud jahat, jadi mau bagaimana lagi."

Kuroyuki-san berkata sambil tersenyum canggung, dan aku hanya bisa mengangkat bahu. Karena ucapannya tanpa niat buruk, aku tak bisa memarahinya.

Kelak, Kokoa pasti akan belajar mengenali dunia dengan matanya sendiri dan belajar memilih kata-kata yang tepat. Itulah sebabnya, aku harus mengingatkan dia soal hal-hal seperti ini nanti.

"..."

"Ada apa?"

Kuroyuki-san menatapku dalam diam, membuatku penasaran hingga aku bertanya. Lalu dia tersenyum manis.

"Kau benar-benar kakak yang baik, ya."

"Apa itu, tiba-tiba?"

"Buat Kokoa-chan, Shirai-kun pasti kakak yang membanggakan, deh."

Setelah berkata demikian, ia mengarahkan pandangannya ke Kokoa.
Kebetulan Kokoa sedang menatap ke arah kami sambil menggigit apel karamelnya, lalu menatap balik Kuroyuki-san dengan ekspresi penasaran. Dan setelah memproses ucapan Kuroyuki-san di dalam pikirannya, wajahnya pun dihiasi senyum manis.

"Un…!"

"Tuh, kan?"

Setelah melihat Kokoa mengangguk, Kuroyuki-san melemparkan senyum hangat padaku. Ekspresinya yang mirip dengan wajah bangga itu terlihat cukup menggemaskan.

"Aku agak ragu dia benar-benar paham. Kurasa dia asal mengangguk saja tanpa tahu maksudnya."

"Kepercayaanmu pada adikmu ke mana…?"

"Memang anaknya pintar, tapi tetap saja masih kecil…"

Aku memang merasa dia anak yang cerdas.

Bukan karena aku kakak yang terlalu menyayangi adik (ani-baka) atau terlalu terobsesi pada saudara perempuan (siscon), tapi karena aku memang benar-benar merasa begitu setelah melihatnya selama ini.

Namun, tetap saja ada batasnya. Anak yang baru saja menginjak usia empat tahun tentu tidak akan memiliki pengetahuan sebanyak aku atau Kuroyuki-san.

"Kokoa, kamu paham yang tadi dikatakan Kuroyuki-san?"

"Un! Nii-ni keren banget!"

"Guuh!"

Tak disangka, aku justru terkena ‘serangan balik’ (?), dan refleks menutup mulut dengan tanganku. Melihat itu, Kuroyuki-san tak bisa menahan tawa kecilnya.

"Ada apa...?"

"Shirai-kun lucu juga, ya."

"Padahal aku biasa aja, kan?"

Bahkan, aku merasa termasuk tipe orang yang membosankan. Aku tak pandai bersikap ramah, dan juga kurang pandai bersosialisasi.

"Mungkin tidak bisa dibilang 'biasa'. Tapi, di sekolah kamu terlihat kaku, jadi aku kaget melihat sisi kamu yang ceria begini."

"...Kamu mengejekku, ya?"

"Nggak, aku serius, kok."

Aku bertanya-tanya, apakah 'ceria' itu benar-benar bisa dianggap pujian untuk seorang pria?

Tapi ya... dari ekspresi wajah Kuroyuki-san, aku tahu kalau dia tidak mengatakannya dengan maksud mengejek. Seperti biasa, senyumnya tampak hangat.

"Ngomong-ngomong, kita selama ini jarang ngobrol santai seperti ini, kan?"

"Yah, tidak seperti Kuroyuki-san, aku bukan orang yang pandai bersosialisasi."

"Aku pernah dengar desas-desusnya. Katanya kamu sering menolak ajakan main tanpa memberi alasan. Tapi sekarang, kurasa aku paham alasannya."

Kuroyuki-san melirik Kokoa sekilas. Walau aku sudah SMA, kalau aku berjalan-jalan di festival di luar kota bersama adik perempuan kecil tanpa orang tua, bisa dimengerti kalau orang jadi curiga. 

Kokoa tampaknya sedang fokus pada apel karamelnya, dan sudah tidak memperhatikan kami lagi. Cara dia makan dengan sungguh-sungguh pun terlihat sangat menggemaskan.

"Sekadar meluruskan, aku tidak dipaksa untuk menjaga Kokoa, ya. Aku melakukannya karena aku ingin."

"Begitu, ya."

Setelah mendengar perkataanku, dia menjawab pendek. Entah apa yang sedang dia pikirkan.

"Ngomong-ngomong... mau tukar kontak, nggak?"

"Hah?"

Aku langsung bersuara kaget saat dia tiba-tiba mengeluarkan ponselnya.

"Ayo saling tambah teman lewat aplikasi chat. Bukankah akan lebih praktis begitu?"

Dia kembali melirik Kokoa, lalu menyampaikan maksudnya hanya dengan tatapan. Karena Kokoa tampaknya sudah akrab dengan Kuroyuki-san, mungkin di lain waktu dia akan ingin menghubunginya. Bisa jadi dia akan meminta hal yang sulit, seperti mengundang Kuroyuki-san ke rumah.

Kalau begitu, memang lebih baik kalau kami sudah saling tukar kontak.
Lagipula, ini bukan hal yang bisa dibicarakan di sekolah. Namun――

"Katanya, kamu tidak pernah tukar kontak dengan laki-laki?"

Setidaknya, itulah rumor yang kudengar di sekolah.

"Memang, sebelumnya aku tidak pernah. Tapi kalau dengan Shirai-kun, kurasa tidak masalah. Kamu pasti akan menjaga jarak dan tidak akan membagikan kontakku ke orang lain, kan?"

"Yah... aku bisa jamin soal itu."

"Ya, aku percaya. Makanya, ayo tukar kontak, ya?"

Mendengar itu dengan senyum seperti itu, mana mungkin aku bisa menolak?

Akhirnya, aku pun menukar kontak dengannya. Tak kusangka, kontak perempuan pertama yang kudapat... justru dari Kuroyuki-san.
Dunia ini memang penuh kejutan.

――Setelah itu, kami bertiga menikmati festival bersama, dan di akhir acara aku mengantar Kuroyuki-san sampai dekat rumahnya.

Lalu, sambil menenangkan Kokoa yang merengek karena tidak ingin berpisah dengannya, aku pun akhirnya berhasil membawanya pulang ke rumah.


『Aku minta maaf terlebih dahulu. Maaf, ya.』

Itulah pesan yang dikirim oleh Kuroyuki-san saat aku sudah pulang dari festival dan berhasil menidurkan Kokoa. Terus terang, aku tidak terlalu mengerti maksudnya. Bukan berarti aku sama sekali tidak punya bayangan soal apa yang dia minta maafkan.

Kalau itu tentang membuat Kokoa salah paham, maka aku bisa memaklumi kalau dia ingin meminta maaf. Namun—kenapa dia bilang "minta maaf terlebih dahulu"? Kalau soal Kokoa, itu sudah terjadi, jadi rasanya bukan itu maksudnya.

『Terkait apa?』

Aku memutuskan untuk bertanya dulu.

『Hari Senin, kamu pasti akan mengerti. Maaf, ya.』

Tapi dia tidak memberitahuku secara langsung. Lagipula, kenapa dia memakai bahasa formal?

Meski dia memang punya sisi yang lembut dan sopan, dia tidak pernah menggunakan bahasa formal kepada orang yang seumuran. Mungkin dia merasa sangat bersalah padaku. Aku mulai merasa tidak enak... Dan perasaan itu ternyata tidak salah.

Hari Senin pun tiba――dan sekolah menjadi sedikit heboh. Tidak, bukan sedikit. Sangat heboh. Karena――

“Oi, Shirai! Gimana ceritanya kamu pacaran sama Kuroyuki-san!?”

“Kamu nggak bercanda, kan!? Serius nih!?”

Para siswa laki-laki mengerumuniku sambil memprotes—dan siswa perempuan mencoba membujuk Kuroyuki-san.

“Misaki-chan, kenapa malah sama Shirai-kun...!?”

“Tolong pikirkan lagi! Belum terlambat, kok...!”

Tentu saja, ada juga siswa laki-laki yang berusaha mendekati Kuroyuki-san. Semua ini terjadi segera setelah aku tiba di sekolah. Bahkan siswa dari kelas lain dan tingkat lain pun ikut-ikutan.

“Kalian ngomongin apa, sih?”

Aku mencoba berpura-pura tidak tahu. Sebenarnya aku punya sedikit bayangan, tapi aku ingin tahu sejauh apa mereka tahu.

“Jangan pura-pura! Banyak orang lihat kalian jalan berdua dengan akrab di festival hari Sabtu lalu!”

“Aku dengar kalian bahkan mengumumkan kalau sedang pacaran!”

“Aku dengar kalian udah punya anak, loh!”

Yah, baiklah.

Setidaknya sekarang aku tahu kalau ada yang pikirannya sudah tidak bisa diajak logika. Mana mungkin kami sudah punya anak.

“Raito-kun...!”

Saat aku sedang dikepung oleh para siswa laki-laki, Kuroyuki-san tiba-tiba menerobos masuk ke tengah-tengah mereka. Entah bagaimana dia bisa lolos dari kerumunan siswi yang mengerumuninya. Dan dari cara dia memanggilku, aku langsung tahu bagaimana dia memandang situasi ini.

“Ada apa, Misaki?”

Sejujurnya, aku ingin dia tidak ikut campur, tapi kalau berita ini sudah tersebar sejauh ini, tidak ada gunanya lagi kami menyangkalnya. 

Lagi pula, berbeda denganku yang tidak punya teman, dia punya banyak teman. Pasti sejak festival—bahkan setelahnya—dia sudah menerima banyak pesan dari teman-teman perempuannya.

Kalau dipikir-pikir, aneh juga sebenarnya saat dia ingin bertukar kontak denganku, seorang laki-laki, meski ada urusan dengan Kokoa.
Kemungkinan besar, saat itu dia sudah mulai mendapat pesan-pesan dari teman-temannya. Dan dia bukan tipe orang yang akan mengabaikannya—pasti dia sudah membalas semuanya.

Bisa jadi, dia menjawabnya dengan, “Ya, kami memang pacaran.” Kalau memang begitu, maka isi pesannya yang minta maaf di awal pun masuk akal. Aku berharap dia mau berdiskusi lebih dulu, tapi mungkin dia merasa sudah tidak ada jalan lain. Dia memang baik hati, tapi juga cukup cerdik.

“Eh!? Dia barusan manggil Misaki!?”

“Jadi mereka beneran pacaran, dong...!”

Para siswa laki-laki yang menyadari hubungan kami langsung menunjukkan ekspresi putus asa.

Saat seseorang masih lajang, meski sering ditolak, setidaknya masih ada harapan. Tapi kalau ternyata dia sudah punya pacar, maka harapan itu benar-benar hilang. Reaksi mereka pun bisa dimaklumi. Masalahnya adalah para siswi. Meski ada beberapa yang terlihat senang dan mendukung, sebagian besar menatapku dengan pandangan sinis. Misaki, teman sekaligus panutan mereka, malah bersama laki-laki seperti aku yang tidak disukai siapa pun—tentu saja mereka sulit menerima itu.

Yah, aku bisa mengerti. Kalau aku yang jadi mereka pun, aku akan merasa tidak tenang. Bahkan aku sendiri, kalau melihat orang seperti aku pacaran dengan Kuroyuki-san, pasti mengira dia sedang ditipu.

“Maaf ya semuanya, kami sudah menyembunyikannya selama ini. Tapi mungkin sebagian dari kalian sudah tahu, kami memang sedang pacaran.”

Mungkin karena aku memanggilnya dengan nama depannya, Misaki menganggap itu sebagai tanda persetujuan. Ia pun menggenggam lenganku erat-erat.


Dan kemudian, dia menyandarkan kepalanya di bahuku sambil menampilkan senyum terbaik yang bisa dia berikan.

Akibatnya—baik di dalam maupun di luar kelas—suasana berubah menjadi lautan jeritan dan keributan.

"Misaki-chan, kamu sedang ditipu…!"

"Jangan-jangan, kamu sedang dikendalikan karena sebuah kelemahan…!?"

Berbeda dengan para siswa laki-laki yang tampak kehilangan semangat dan seolah pikirannya melayang ke dunia lain, para siswi masih terus mendesak. Mereka memang tidak bisa menerima situasi ini, tapi dari ekspresi mereka, aku bisa melihat bahwa mereka benar-benar mengkhawatirkan Misaki.

Di tengah semua kekacauan ini, aku jadi berpikir bahwa Misaki memang dikelilingi oleh teman-teman yang baik. Dan itu semua tentu berkat kepribadian Misaki sendiri.

"Semua orang salah paham tentang Raito-kun. Dia itu orang yang sangat baik dan luar biasa."

Misaki mencoba meyakinkan para siswi dengan senyum lembut dan suara yang tenang. Padahal saat aku baru sampai di sekolah tadi, dia terlihat panik menghadapi mereka—namun entah sejak kapan, dia sudah bisa tetap tenang seperti ini.

"Mana mungkin! Kami juga sudah cukup mengenal Shirai-kun…!"

Namun para siswi belum menyerah.

Sejujurnya, ini sudah terlalu gigih. Tapi ya, semua ini juga karena sikapku selama ini. Kalau tahu akan begini, aku seharusnya memperbaiki hubungan sosialku sejak awal. Namun, menyesal sekarang tidak akan mengubah apa pun.

"Pikirkan lagi, Misaki-chan…!"

"Shirai-kun itu cowok yang paling buruk…!"

Sepertinya, histeria para siswi tidak akan segera mereda. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Saat itulah—

"…Apa kalian benar-benar mengenal dia dengan baik?"

Meskipun suasana kelas sangat gaduh, suara tenang itu menggema jelas di seluruh ruangan.

Tanpa sadar, aku memandang wajah Misaki. Dia masih tersenyum.
Namun entah kenapa, aku merasa tekanan yang begitu kuat hingga bahkan sulit bagiku untuk mengucapkan sepatah kata.

"Misaki-chan…?"

Para siswi juga tampak menyadari ada sesuatu yang berbeda, dan mulai mengamati ekspresi Misaki dengan cemas. Di tengah perhatian itu, Misaki mulai berbicara sambil perlahan mengarahkan pandangannya ke wajah masing-masing orang satu per satu.

"Apa kalian benar-benar tahu seperti apa dia sebenarnya?"

Ia kembali melontarkan pertanyaan yang serupa.

"A-aku tahu, kok…! Kami sudah satu sekolah selama lebih dari setahun—!"

"Kalau begitu, kalian hanya tahu dia di lingkungan sekolah, bukan? Kenapa kalian bisa berkata buruk tentangnya hanya berdasarkan itu?"

Aku mulai mengerti kenapa aku merasa tertekan. Meski dia tersenyum, Misaki sebenarnya sedang marah. Ini pertama kalinya aku melihat sang ‘madonna sekolah’ menunjukkan amarahnya sejak masuk sekolah.

"U-umm, itu…"

Para siswi mulai tergagap, tak mampu berkata-kata di bawah tekanan Misaki. Menyadari mereka tak mampu menjawab, Misaki pun melanjutkan.

"Setidaknya aku mengenal Raito-kun lebih dari kalian. Dan setelah tahu seperti apa dia sebenarnya, aku memilih untuk berpacaran dengannya. Lalu, kenapa kalian masih mengeluh?"

"K-kami hanya tidak ingin kamu menyesal nanti, Misaki-chan…"

"Kalau begitu, biar aku tanya: Kalau aku sedang diganggu oleh laki-laki, apakah ada di antara kalian yang akan datang menolong?"

Pertanyaan yang tiba-tiba dan mengejutkan. Para siswa laki-laki yang dilirik Misaki pun langsung memalingkan pandangan mereka. Seharusnya mereka menjawab ‘aku pasti akan menolong’, walau hanya untuk menjaga harga diri—tapi mungkin karena tekanan Misaki, mereka jadi jujur secara tidak sadar.

"Kalian tak bisa mengangkat tangan, kan? Saat di festival waktu itu, banyak laki-laki yang pura-pura tidak melihat ketika aku diganggu. Tentu saja, tidak semua orang di sini berada di tempat itu, dan bisa dibilang wajar kalau Raito-kun sebagai pacarku maju untuk membantuku. Tapi, tidak semua orang bisa melakukan hal yang ‘wajar’ itu, tahu?"

Misaki bukan tipe yang banyak bicara. Justru karena dia sekarang berbicara panjang lebar, itu menunjukkan betapa seriusnya dia.

"Setidaknya Raito-kun adalah orang yang berusaha melindungiku, bahkan jika itu membahayakan dirinya sendiri. Aku juga tahu bahwa dia adalah orang yang penuh perhatian dan bisa berbicara dengan siapa pun dari sudut pandang mereka. Kalau kalian masih terus berkata buruk tentang dia, sebagai pacarnya aku akan marah."

Ucapan terakhir itu sepertinya menjadi penentu. Orang-orang yang ada di kelas menunduk dengan rasa bersalah, dan mereka yang berdiri di lorong perlahan-lahan mundur dan pergi. Mereka tidak ingin menjadikan Misaki—yang begitu dihormati oleh seluruh sekolah—sebagai musuh.

"Huff… Maaf ya. Yuk, kita duduk?"

Setelah semuanya reda, Misaki menatapku dengan senyum lembut.
Tanpa mengucapkan hal yang tak perlu, aku hanya mengangguk dan duduk di kursiku. Misaki memastikan aku sudah duduk terlebih dahulu, baru kemudian kembali ke tempat duduknya. Teman-teman sekelas kami pun menyusul duduk satu per satu, masih terlihat lesu.

Seolah-olah kelas ini berada di bawah kendali Misaki. Tentu saja, itu bukan karena Misaki menginginkannya—tapi karena setiap ucapannya memiliki dampak yang terlalu besar. Yang bisa kupikirkan sekarang hanyalah satu hal: aku tidak boleh membuat dia marah.

――Ternyata benar, orang yang biasanya tidak pernah marah itu jauh lebih menakutkan saat mereka benar-benar marah…


"—Aduh, aku benar-benar sudah melakukannya...!"

Saat waktu istirahat berikutnya, Misaki membawaku ke atap, dan begitu sampai di sana, ia langsung memegangi kepalanya dan mulai meratap. Sepertinya setelah waktu berlalu, ia mulai sadar kembali dan merefleksikan perbuatannya sendiri.

"Jadi kau bisa berteriak sekeras itu, ya."

"Jangan komentari dengan tenang seperti itu...!"

"Tapi... dalam situasi seperti ini, bersikap tenang adalah satu-satunya pilihan, bukan?"

Biasanya dia gadis yang anggun dan lembut, tapi sekarang dia seperti orang lain, benar-benar kehilangan kendali atas dirinya. Selama aku belum tahu apa yang akan Misaki lakukan, aku harus tetap tenang dan mengamati tindak-tanduknya.

"Bagian mana yang kau sesali?"

Untuk sementara tampaknya dia sudah bisa diajak bicara, jadi aku mencoba menanyakan hal yang membuatku penasaran. Tidak mungkin dia menyesali semua tindakannya, kan? Memang ada banyak masalah, tapi sebagian besar terjadi bukan hari ini, melainkan saat festival.

"Aku kehilangan kendali dan malah menarik perhatian dengan cara yang buruk..."

"Padahal kau sudah cukup mencolok sejak awal, bahkan sebelum itu kau sudah jadi pusat perhatian, bukan?"

Soalnya, sampai-sampai orang-orang memadati lorong untuk melihat.

"Itu memang benar... tapi kalau dilihat dari hasil akhirnya, rasanya aku malah memprovokasi orang-orang. Aku mengucapkan sesuatu yang bisa jadi pemicu pertikaian..."

Memang, jika dilihat dari sudut pandang tertentu, perkataannya itu bisa dianggap seperti mencari gara-gara. Karena saat itu posisi Misaki sangat superior, tidak ada yang bisa membantahnya, tapi kalau saja posisinya setara, mungkin sudah terjadi adu mulut.

Tentu saja, itu hanya dugaan yang tidak mempertimbangkan perilaku dan kepribadian Misaki yang sebenarnya, jadi kemungkinan besar tidak akan sampai seperti itu, tapi... tetap saja, ucapannya bisa menjadi bibit perselisihan.

"Kalau dipikir dari sudut pandang Misaki yang ingin akur dengan semua orang, wajar kalau kau menyesal."

"Bukan itu, sebenarnya..."

Entah kenapa, Misaki menatap wajahku dengan ekspresi bersalah.
Tampaknya dugaanku salah, dan yang mengganjal di hatinya adalah hal lain.

"Ada apa?"

"Itu... karena aku, posisi Raito-kun jadi semakin sulit... maksudku, aku malah memperlebar jarak antara dirimu dan yang lain..."

Begitu ya, jadi itu maksudnya.

Intinya, Misaki merasa bahwa karena ia membelaku, rasa permusuhan orang-orang terhadapku jadi semakin besar.

Memang, dari sudut pandang mereka yang berselisih dengan Misaki, keberadaan diriku ini pasti terasa tidak menyenangkan. Kalau pacar Misaki, sang madonna sekolah, adalah Shirai Raito... maka, bahkan tanpa perlu dijelaskan, sebagian besar teman sekelas mungkin akan mengernyitkan dahi dan merasa heran.

—Tapi, dalam hal ini, Misaki sama sekali tidak bersalah.

"Seperti biasa, kau ini terlalu baik..."

Ucapan itu keluar dari mulutku nyaris tanpa kusadari. Mendengarnya, mata Misaki membelalak lebar.

"Eh...?"

"Eh, maksudku..."

Karena ucapanku itu spontan, aku sempat terdiam sejenak. Aku memang benar-benar menganggap dia terlalu baik, tapi sebenarnya tidak berniat mengatakannya langsung padanya. Tapi karena sudah terlanjur diucapkan, aku harus bertanggung jawab atas kata-kataku.

"Kau terlalu banyak berpikir."

"Itu bukan berlebihan... wajar saja kalau mereka semakin menjauhiku karena aku melakukan hal seperti itu..."

Mendengar perkataanku, Misaki langsung membantah. 
Sepertinya penjelasanku terlalu singkat.

"Bukan itu maksudku. Aku setuju, apa yang Misaki lakukan memang memperlebar jarak antara aku dan mereka."

"Iya... maaf..."

Mungkin karena hanya mendengar bagian terakhir dari ucapanku, Misaki langsung menunduk lesu. Padahal bukan itu maksudku...

"Maksudku saat bilang kau terlalu banyak berpikir tadi adalah, aneh kalau kau menyalahkan dirimu sendiri."

"Eh...?"

"Tadi kau bilang jarak antara aku dan mereka semakin lebar, kan? Kenapa tidak bilang kau yang membuat jarak itu?"

"Itu karena..."

Saat kutanyakan itu, Misaki memalingkan muka dengan wajah canggung.

Sepertinya itu ucapan yang keluar tanpa terlalu dipikirkan. Tapi justru karena tanpa sadar, kata-kata itu mencerminkan isi hatinya yang sebenarnya.

"Kau sadar, kan? Kalau antara aku dan mereka memang sudah ada jarak sejak awal. Kalau tidak, kau tidak akan bilang ‘semakin lebar’, tapi ‘membuat jarak’."

"T-tidak, bukan begitu...! Maksudku, karena rumor bahwa kita berpacaran menyebar, maka jarak itu muncul... jadi—"

"Tak perlu berbohong. Sudah fakta kalau aku memang tidak bisa akur dengan mereka, dan jarak itu sudah ada sejak dulu."

"Raito-kun..."

Dengan ekspresi sedih, Misaki menatap ke arahku. Mungkin dia merasa telah menyakitiku karena ucapannya sendiri.

"Jangan pasang wajah seperti itu. Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya, kok."

"Tapi, ini semua karena aku..."

"Bukan. Sejak awal, akulah yang menciptakan penyebabnya. Kembali ke topik sebelumnya—meskipun pendalaman jurang itu terjadi karena tindakanmu, tetap saja, akulah yang membentuk jurang itu sejak awal. Kalau tidak ada jurang itu, tentu tidak akan ada yang bisa diperparah."

Sebagai contoh, andaikan aku ini seperti Misaki—seseorang yang disukai semua orang. Mungkin beberapa siswa akan merasa iri, tapi mayoritas pasti akan menyambut hubungan kami sebagai pasangan yang serasi.

Semakin banyak orang dekat denganku, akan semakin besar kemungkinan itu terjadi. Kenyataannya, kalau soal para murid laki-laki masih mending, tapi sebagian besar murid perempuan mempersoalkan kepribadianku dan menentang hubungan ini karena menilai aku tidak pantas untuk Misaki.

Kalau aku adalah tipe orang yang dicintai banyak orang, pasti tidak akan timbul kehebohan seperti ini. Atau bahkan kalau aku tidak disukai sekalipun, asalkan tidak dibenci, para murid perempuan mungkin bisa menerima karena melihat kepribadian Misaki.

Dengan kata lain, sekalipun sekarang seluruh siswa sekolah membenciku, itu semua karena kepribadianku sendiri. Tidak sepantasnya Misaki yang merasa bersalah atas hal itu.

"Jadi, kamu tidak perlu memikirkannya lagi, Misaki."

"Mengapa kamu bisa..."

"Hm?"

Tadinya aku bermaksud menghiburnya, tapi ekspresi Misaki malah terlihat semakin sedih. Bahkan, dia tampak seperti hendak menangis.

"Mengapa kamu menunjukkan wajah seperti itu...?"

"Karena kamu juga... terlalu baik. Kamu selalu menyalahkan dirimu sendiri... demi melindungiku..."

Aku sempat bertanya-tanya apa yang hendak ia katakan, dan ternyata begitu jawabannya.

"Itu tidak benar. Kamu menyalahkan diri sendiri padahal kamu tidak melakukan kesalahan, kan? Sedangkan aku, aku menyalahkan diriku sendiri karena akulah penyebab utamanya. Kalau ini cuma soal iri hati atau orang-orang yang bertindak di luar kendali, aku tidak akan menyalahkan diriku sendiri karena itu."

Begitu juga dengan kehebohan kali ini. Sekalipun aku ditegur oleh pihak sekolah, aku sama sekali tidak merasa telah berbuat salah.
Tentu saja, aku juga tidak berpikir bahwa ini salah Misaki.

Kalau pun ada pihak yang seharusnya dimarahi, itu adalah mereka yang membuat keributan. Aku tahu cara menilai hal semacam itu dengan benar. Namun, berbeda dengan Misaki yang justru menyalahkan diri sendiri atas kejadian ini. Apa yang kami lakukan jelas tidak sama.

"Tapi..."

"Dan satu hal lagi—"

Saat Misaki hendak mengatakan sesuatu, aku memotong ucapannya dengan suara yang sedikit ditekan.

"Kamu mengatakan hal itu demi melindungiku, bukan? Kalau aku tidak merasa bersyukur atas itu, dan justru marah padamu hanya karena hubunganku dengan orang lain memburuk... Apa kamu menganggap aku manusia seburuk itu?"

Karena Misaki terus bersikeras, aku sengaja bersikap seolah-olah marah. Hal itu membuat Misaki semakin terguncang.

"B-bukan itu maksudku... aku hanya... merasa bersalah karena membuat jurang itu makin dalam..."

"Itulah yang kamu katakan. Tapi, maksud dari ucapanmu itu memang seperti itu. Jadi, tolong jangan pikirkan soal itu lagi. Karena aku benar-benar berterima kasih padamu, dan merasa senang atas apa yang kamu lakukan."

Kali ini, aku sengaja tersenyum seperti saat ingin menenangkan seseorang yang sangat kusayangi.

"——"

Entah kenapa Misaki tampak terkejut dan terdiam sesaat, tapi aku yakin perasaanku sudah tersampaikan. Kalau aku berterima kasih, aku tidak ingin orang yang sudah melakukan sesuatu untukku justru menyesalinya. Sebaliknya, aku ingin dia bisa bangga dengan tindakannya.

"Baiklah..."

"Kalau begitu, kita sudahi pembicaraan ini, ya? Sebentar lagi pelajaran dimulai."

"Ah... iya..."

Setelah memastikan Misaki mengangguk, aku membalikkan badan.
Kalau tidak buru-buru, bel masuk akan segera berbunyi. Namun—

"Tunggu..."

Lengan bajuku ditarik dari belakang.

Saat menoleh, aku melihat Misaki mencubit ujung bajuku dengan jari-jarinya.

"Tapi, waktunya..."

"Itu... biasanya kamu beli roti saat istirahat siang, kan...? Aku bawakan bekal untukmu juga, jadi... ayo makan siang bareng, ya? Di sana, aku ingin bicara lebih lanjut..."

Ternyata Misaki bukan ingin bicara sekarang, tapi ingin membuat janji untuk istirahat siang nanti.

Yah, mengingat kami sudah secara terbuka mengakui bahwa kami berpacaran, makan siang bersama memang hal yang tepat untuk dilakukan.

"Kamu terlalu siap, ya...?"

"Itu sebagai permintaan maaf dan ucapan terima kasih..."

Sepertinya aku akan berkesempatan mencicipi masakan buatan tangan Misaki—madonna seluruh siswa laki-laki di sekolah.

——Yah, kalau semua orang tahu soal ini, mungkin aku akan makin dibenci...


Waktu istirahat siang――

"Yup, semua sudah siap."

Begitu kami pindah ke area berumput yang sepi di dalam lingkungan sekolah, Misaki membentangkan alas piknik. Dia melepas sepatunya dan duduk di atasnya, lalu menatapku sambil tersenyum.

"Ada apa? Ayo sini."

"Err... seperti biasa, kamu terlalu siap, ya..."

"Kan nggak mungkin kita makan bareng di kelas? Aku rasa kamu bakal merasa nggak nyaman karena akan terus-terusan diperhatikan."

"Ya, sih..."

Kalau kami makan di kelas, pasti semua orang akan menatap kami. Sekarang kami adalah pasangan paling terkenal di sekolah. Bisa dibilang, kami sedang jadi bahan pembicaraan.

Itulah sebabnya Misaki memutuskan untuk berpindah tempat. Atap sekolah dan taman dalam cukup ramai, jadi sama saja seperti di kelas—ada banyak murid lain. Karena itu, dia sengaja memilih tempat sepi seperti ini. Aku mengerti alasannya, tapi tetap saja...

"Memang kamu terlalu siap..."

Aku kembali mengulang kesan yang sama.

"Jadi terlalu bersiap-siap itu buruk, gitu!? Lebih baik terlalu siap daripada nggak siap sama sekali, kan...!"

Sepertinya dia menyadari senyum masamku, dan malah jadi kesal.

—Atau lebih tepatnya, dia cemberut dan menatapku dengan mata sayu, seperti sedang merajuk. Itu ekspresi yang langka.

"Aku bukannya mengeluh, kok."

"Tapi di telingaku, kedengarannya seperti keluhan, tahu..."

"Yang kumaksud, semua ini berjalan terlalu mulus, sampai agak menakutkan."

Yang paling mengganjal adalah, semuanya terasa terlalu menguntungkan untukku. Tentu saja, bukan berarti aku menyukai Misaki. Tapi berduaan dengan gadis madonna sekolah, ditambah lagi makan masakannya—itu situasi yang pasti diidamkan banyak cowok.

"Yah, mengingat situasinya sekarang... nih, bekalnya."

Mungkin Misaki paham maksudku, ia mengempiskan pipinya lalu menyerahkan kotak bekal besar dan sederhana.

Kotak bekalnya sendiri besar dan simpel. Di tangannya yang lain, dia memegang kotak bekal kecil bermotif bunga yang lucu, menunjukkan bahwa dia bukan tipe yang makan banyak. Dia benar-benar menyiapkan ini dengan memperhitungkan porsi makanku.

"Benar-benar nggak apa-apa...?"

"Ini sebagai permintaan maaf dan ucapan terima kasih, jadi jangan sungkan. Lagipula, kalau kamu nggak makan, justru aku yang bingung."

Misaki tertawa kecil sambil mengangkat bahu, seolah berkata 'mau gimana lagi'. Memang, kalau aku nggak makan, bekalnya akan sia-sia.
Sudah repot-repot dia buatkan, membuangnya jelas bukan pilihan.

"Kalau begitu... aku terima. Makasih, ya."

"Sama-sama, silakan dinikmati."

Begitu aku mengucapkan terima kasih, dia membalas dengan senyum ceria. Sikapnya yang ramah itu jelas membuat banyak cowok jatuh hati. Tapi――

"…………"

Entah kenapa, dia menatapku lekat-lekat saat aku hendak membuka kotak bekal. 

Dengan tatapan setajam itu, bahkan aku jadi sedikit gelisah. Bukan bercanda—dia terlihat sangat serius. Mungkin dia hanya menunggu reaksiku karena ingin tahu pendapatku soal masakannya?

――Tidak, sepertinya bukan itu.

Bukan sikap gugup atau antusias karena menunggu tanggapan. Lebih seperti... dia mengamatiku dengan seksama, seolah sedang menunggu momen yang pas untuk "menyerang".

Ya, rasanya seperti dia sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu――semacam itu.

"Kamu masih ada yang ingin dibicarakan, ya?"

"Eh!?"

Tanganku yang hendak membuka kotak bekal terhenti, dan aku menatap balik ke arah Misaki. Begitu aku melakukan itu, dia jelas terlihat gelisah dan mulai melirik ke sana kemari dengan gugup.

"Na-nanya apa sih~?"

"Jangan berpura-pura nggak tahu. Sudah sejauh ini kejadiannya, aku nggak akan terkejut meski kamu bilang apa pun sekarang."

Kupikir lebih baik mendengarkan dulu, sebelum makan. Sial, padahal aku lapar banget...

"E-ehm... kamu nggak akan marah...?"

"Aku nggak bisa janji sebelum dengar dulu."

"Ugh, itu sih... tipikal Raito-kun banget, ya... nggak bakal ngasih maaf tanpa tahu dulu apa masalahnya..."

Tentu saja, aku tidak bisa menilai apa-apa sebelum mendengarnya langsung. Aku tidak merasa Misaki akan melakukan sesuatu yang membuatku marah, tapi itu bukan berarti aku sudah sepenuhnya mengenalnya.

Justru, mungkin lebih banyak hal yang belum kuketahui tentang dirinya. Karena itulah, aku tidak bisa begitu saja percaya sepenuhnya.

“Suuh... huu...”

Seolah menyadari bahwa ia tak bisa lagi mengelak, Misaki menarik napas dalam-dalam. Lalu, dengan ekspresi yang menunjukkan bahwa ia sudah membulatkan tekad, ia menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada orang di sekitar, kemudian perlahan mendekatkan mulutnya ke telingaku.

“Umm... kita akan berpura-pura menjadi sepasang kekasih mulai sekarang... itu tidak masalah, kan...?”

“...Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya?”

Pertanyaan yang lebih aneh dari perkiraanku itu membuatku secara refleks menanggapinya dengan datar.

“Uuh, jangan lihat aku dengan tatapan seperti itu...”

Tampaknya Misaki menyadari sendiri betapa bodohnya pertanyaan itu, sehingga ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Namun aku memutuskan untuk menambahkan sedikit serangan lanjutan.

“Dengar, setelah kamu mengatur semua ini sejauh ini, sekarang kamu bertanya untuk konfirmasi? Sudah terlambat untuk itu, kan?”

“Ya, kamu benar... maaf...!”

Meski aku belum mengucapkan semuanya, sepertinya maksudku sudah sampai padanya.

Sekarang pun, meskipun aku bilang tidak mau, semua orang di sekolah sudah mengenal kami sebagai pasangan kekasih. Tidak ada jalan untuk mundur lagi. 

Dia pun tahu itu, jadi dia pasti sudah menyiapkan bekal ini terlebih dahulu demi mengambil hatiku. Atau mungkin, dia berharap jika aku sudah memakannya, aku akan merasa bersalah kalau memprotes. Bagaimanapun juga, karena aku belum memakan bekalnya, semua itu tidak berlaku. Meskipun begitu...

“Yah, aku tidak marah kok, jadi kamu tidak perlu minta maaf.”

Aku tidak berniat membuatnya terpojok. Hanya saja, aku ingin sedikit kejelasan.

“Tapi... yang aku lakukan itu, menurutku tetap saja tindakan yang buruk...”

“Kamu maksudnya memanfaatkan aku? Aku tahu kamu sedang kesulitan karena sering menerima pengakuan cinta, dan kamu hanya meminta bantuan untuk berpura-pura menjadi pacar di hadapan Kokoa. Walaupun kamu bilang di awal pun, hasilnya tetap akan sama.”

Memang, aku ingin menghindari menjadi musuh seluruh sekolah, tapi aku juga sudah terbiasa dibenci. Kalau aku bisa membantunya, berpura-pura jadi pacarnya pun bukan masalah. Lagipula, aku juga tidak sedang menyukai siapa pun saat ini.

“Lagipula, semua ini bermula karena aku juga, hingga Kokoa-chan sampai salah paham...”

“...Kalau diingat-ingat, memang begitu, ya.”

Benar juga. Masalah dengan Kokoa yang mengira kami pacaran pun, dimulai karena dia. Aku sampai lupa karena situasi di sekolah yang terlalu ramai.

“Tapi ya, itu sudah lewat. Tidak ada gunanya aku protes sekarang.”

Kalau memprotes bisa memperbaiki semuanya, tentu aku akan melakukannya. Tapi kalau tidak bisa, untuk apa?

Lagipula, bukan berarti dia melakukan semua ini dengan niat buruk.
Dan sebenarnya, akulah yang pertama kali berpura-pura sebagai pacarnya. Jadi tidak adil rasanya kalau aku menyalahkan dia sendirian.

“Raito-kun...”

“Dan bekal ini bukan hanya sebagai ucapan terima kasih, tapi juga sebagai permintaan maaf, kan? Kalau begitu, anggap saja urusan kita selesai.”

Aku tidak suka berlarut-larut dalam masalah, jadi aku berniat menyelesaikannya dengan makan bekal ini. Namun―tampaknya dia tidak ingin semuanya berakhir begitu saja.

“Umm... kalau Raito-kun tidak keberatan... bisakah aku terus membuatkan bekal untukmu mulai sekarang...?”

“Eh?”

“Soalnya, kalau kita akan terus berpura-pura sebagai sepasang kekasih, kan artinya hubungan ini akan berjalan cukup lama... jadi aku ingin rasa terima kasihku juga bersifat jangka panjang...”

Dengan kedua telunjuk saling menyentuh di depan dadanya, Misaki berbicara sambil terlihat gugup. Seperti biasa, dia ini serius sekali... atau bagaimana ya...

“Tidak, aku rasa kamu tidak perlu sejauh itu...”

Kalau setiap hari, tentu akan memakan banyak biaya dan tenaga, dan aku merasa tidak enak.

“Nggak apa-apa kok, aku ingin melakukan ini. Soalnya, hubungan ini nggak memberi keuntungan apa-apa buatmu... dan aku pun cuma bisa membalasmu lewat hal seperti ini...”

Apa yang sebenarnya dia katakan...? Padahal, meskipun begitu banyak orang yang mengaguminya, kenapa dia seolah tidak menyadari nilai dirinya atau penilaian orang-orang terhadapnya?

“Menjadi pacar palsu sang ‘Madonna sekolah’―buat cowok biasa, itu udah seperti hadiah yang terlalu mewah, tahu?”

Kalau aku membuka lowongan pengganti, pasti banyak sekali yang mendaftar. Bahkan tanpa mencobanya pun, aku tahu hasilnya akan seperti itu.

Tapi―Misaki menunjukkan ekspresi yang sangat sedih. Sepertinya, apa yang kupikirkan tidak sama dengan apa yang dia rasakan.

“Bukan itu masalahnya... Soalnya... aku yakin, kalau kita terus berpura-pura seperti ini... aku akan sangat melukai kamu nanti...”

Mungkin, ada alasan kenapa dia tidak pernah benar-benar berpacaran dengan siapa pun. Melihat wajahnya yang hampir menangis membuatku tak bisa berpikir lain.

“Memangnya kenapa sampai bisa melukai aku?”

“............”

Aku mencoba bertanya, namun Misaki hanya mengatupkan bibir rapat dan memalingkan pandangan.

“Sulit untuk diceritakan?”

“Bukan begitu... hanya saja, rasanya tidak perlu diucapkan dengan kata-kata...”

Mungkin memang bukan sesuatu yang seharusnya dia sampaikan padaku.

Sejujurnya, karena kami tidak benar-benar berpacaran, apa pun yang dia lakukan adalah urusannya sendiri. Namun―jika ada kemungkinan aku akan terseret dalam masalah, aku ingin tahu sejak awal. 

Setidaknya, aku tidak ingin menyeret Kokoa ke dalamnya juga.

“Kalau memang bisa diceritakan, aku ingin kamu menceritakannya. Kalau kita ingin mempertahankan hubungan yang baik, sebaiknya kita tidak saling menyembunyikan hal-hal penting, bukan?”

"…Kamu tidak akan jijik, kan?"

Misaki menatapku dari bawah, mencoba membaca ekspresiku. Karena ia langsung menunjukkan niat untuk bicara, tampaknya isi pembicaraannya tidak terlalu sulit untuk diungkapkan. Namun, bagian yang ia khawatirkan ternyata cukup mengejutkan.

"Jijik" maksudnya... apakah ia memiliki kebiasaan aneh dalam hal cinta?

"Aku tidak bisa bilang apa-apa sebelum mendengarnya."

"Ya kan~. Aku tahu kamu akan bilang begitu~,"

Misaki tersenyum kecut, mungkin karena kami baru saja membahas hal serupa. Yah, begitulah sifatku.

"…Aku ya… Aku takut untuk mencintai seseorang…"

Sambil duduk dengan posisi memeluk lutut, Misaki mulai berbicara pelan-pelan.

"Yang kamu maksud ‘cinta’ di sini, dalam artian romantis?"

Dia sendiri cukup akrab dengan siapa pun. Terutama, kudengar dia sangat dekat dengan seorang gadis dari kelas sebelah bernama Suzumine Hyouka.

Kabarnya, mereka teman masa kecil. Kalau begitu, dia pasti menyukai Suzumine sebagai teman. Jadi kupikir, bukan berarti dia tidak bisa mencintai orang lain.

...Yah, jujur saja, aku pribadi agak kurang nyaman dengan Suzumine. Dia sangat dingin, terutama terhadap cowok.

"Hmm…"

Misaki mengangguk kecil, seolah mengiyakan dugaanku.

"Apa kamu punya trauma?"

Karena kata 'takut' membuatku penasaran, aku langsung menanyakannya. Ia mengangguk lagi.

"Kalau orang yang kusukai menghilang… hatiku pasti akan hancur…"

"Maksudmu bagaimana…?"

Apa dia sedang membicarakan tentang putus cinta? Kalau begitu, kesannya agak berlebihan. Kalau bukan itu, maka… mungkinkah dia bicara secara harfiah? Meskipun terpisah secara fisik, sekarang ini tetap bisa berkomunikasi dengan mudah. Bahkan bisa video call kalau mau. Memang sedih sih, tapi tidak sampai hatinya hancur, kan?
Kalau begitu, satu-satunya kemungkinan yang tersisa adalah… kematian?

"Itu kejadian enam tahun lalu… Kakakku, baru saja menikah… tapi suaminya meninggal dalam kecelakaan…"

"Begitu, ya…"

Ternyata memang melibatkan kematian seseorang. Kalau orang yang kita cintai tiba-tiba meninggal, bisa dimengerti kalau seseorang akan terpukul berat. Apalagi jika itu adalah pasangan baru menikah. Dan enam tahun lalu, kami masih SD.

Misaki yang saat itu masih kecil pasti sangat terkejut melihat kakaknya yang tiba-tiba murung.

"Suaminya itu orang yang sangat baik dan bisa diandalkan… Kakakku benar-benar mencintainya… Makanya, setelah dia meninggal, kakakku sama sekali tidak bisa bangkit—selama tiga tahun, dia bahkan tak bisa keluar rumah…"

Tubuh Misaki, yang masih memeluk lutut, tampak bergetar pelan. Tampaknya itu adalah kenangan yang sangat menyakitkan.

"Jadi kamu tidak ingin menjadi seperti kakakmu, setelah melihat keadaannya saat itu."

"Hmm… Kakakku memang kuat, jadi dia akhirnya bisa bangkit… Tapi aku tidak yakin aku bisa sekuat itu…"

Kedengarannya memang berlebihan, tapi aku bisa memahami maksudnya. Empat tahun lalu, tepat sebelum Kokoa lahir, ayahku juga meninggal karena kecelakaan. Waktu itu, aku sangat terpukul. Kalau bukan karena Kokoa yang lahir dan menghiburku, mungkin aku masih belum bisa move on sampai sekarang.

"Jadi, kamu khawatir akan menyakitiku di masa depan… Wah, percaya diri sekali ya kamu?"

Dengan kata lain, dia menganggap aku akan jatuh cinta padanya suatu saat nanti. Dikira begitu… jujur saja membuat perasaanku campur aduk. Tapi aku bisa mengerti kenapa dia berpikir begitu. Selama ini, banyak laki-laki yang jatuh cinta padanya. Dan ke depannya, aku dan dia akan berpura-pura sebagai pasangan agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Kami mungkin tidak akan berciuman, tapi mungkin akan pergi berkencan atau bergandengan tangan. Walau awalnya tidak ada rasa, tetap saja itu bisa membuat seseorang jadi menyadari perasaan yang lebih dari sekadar teman.

Makanya dia takut kalau nanti aku beneran jatuh cinta, dia tidak bisa membalas perasaanku dan malah menyakitiku.

"Uhh… makanya, tadi aku konfirmasi dulu…"

Misaki bereaksi seperti hatinya tertusuk panah. Aku tak bisa melihat wajahnya, tapi dari nada suaranya, aku tahu maksudnya tersampaikan.

"Yah, tidak apa-apa. Aku juga tidak bisa menjamin tidak akan jatuh cinta sih."

"Kenapa kamu tidak bilang saja ‘aku nggak akan jatuh cinta’, gitu… Kamu aneh banget…"

"Hati manusia itu tidak semudah itu dikendalikan, tahu."

Pasti ada orang yang ingin terlihat keren dan bilang ‘aku nggak akan jatuh cinta’ demi menutupi rasa malu. Tapi berkata begitu kepada gadis paling populer di sekolah tidak akan meyakinkan siapa pun. Lebih baik tidak sok jago dan tidak berharap muluk-muluk.

"Aku tahu aku keterlaluan karena meminta kamu berpura-pura jadi pacarku… tapi maaf ya… Kalau nanti kamu benar-benar menyukaiku… aku mungkin tidak bisa membalas perasaanmu…"

Misaki menatapku dengan ekspresi sedih. Orang yang terlalu baik seperti ini memang rumit.

"Tenang saja. Aku juga nggak berharap hubungan ini bakal jadi sungguhan. Kalau memang kamu merasa seseorang itu bisa kamu pacari sungguhan, kamu nggak akan minta dia pura-pura jadi pacar kan?"

TLN : Yakin ngabs?

"Tentu saja tidak… Tapi tetap saja, setelah banyak dibantu, rasanya aku keterlaluan banget…"

"Sudah, nggak usah dipikirin. Nggak ada aturan yang bilang ‘kalau ada yang nembak, harus pacaran’ kok."

Lagipula, kalau ada orang yang mengharapkan hubungan pura-pura ini jadi nyata, itu salah dia sendiri. Kalau dia akhirnya ditolak, ya memang dia yang salah karena punya niat tersembunyi sejak awal.

"…Kalau begitu, bisakah kamu berjanji satu hal saja padaku?"

Kupikir tadi pembicaraan sudah selesai… Tapi ternyata Misaki masih belum selesai. 

Dia memang orang yang serius, tapi aku bukan tipe yang suka berlarut-larut begini. Kalau terlalu dipikirkan, justru rasanya tidak nyaman. Selain itu, aku juga lapar banget, rasanya menyiksa.

"Apa itu?"

"Itu… kalau nanti sampai terjadi… tolong jangan menyatakan perasaanmu padaku… Kalau begitu, aku masih bisa… pergi kencan dan semacamnya…"

Dia mengucapkan sesuatu yang benar-benar tak terduga lagi. Dia ini memang terlalu serius… atau terlalu baik hati, mungkin dua-duanya. 

Intinya, selama aku tidak berusaha memperjelas hubungan kami, bahkan jika dia menyadari perasaanku, dia akan berpura-pura tidak tahu. Dengan begitu, kami bisa tetap berkencan layaknya pasangan, dan dia ingin aku puas dengan itu—begitulah maksudnya.

Padahal aku belum jatuh cinta padanya, tapi dia sudah menawarkan jalan tengah seperti ini. Itu membuatku benar-benar merasa dia terlalu serius.

Yah, mungkin karena dia begitu tulus dan benar-benar peduli dengan orang lain, makanya dia disukai banyak orang.

"Baiklah, aku setuju," jawabku sambil mengangguk, karena aku merasa kalau aku tidak mengangguk, Misaki bakal terus memikirkannya.

Begitu aku mengangguk, dia menaruh tangan di dadanya dan menghela napas lega. Sepertinya, masalah ini akhirnya selesai.

Kalau begitu, akhirnya kita bisa makan—begitu pikirku, tapi ternyata ada satu hal lagi yang perlu aku pastikan.

"Ngomong-ngomong, ada satu hal yang ingin aku tanyakan… Soal Suzumine-san, kamu sudah bilang yang sebenarnya padanya, kan?"

Mereka itu sahabat masa kecil yang sangat dekat. Aku pikir, dia pasti sudah cerita dari awal… Tapi—

"T-Tidak mungkin aku bilang…! Soalnya, dia pasti marah banget…!"

Misaki langsung menggelengkan kepala dengan panik.

"Serius…?"

Ayolah, jangan begini… Kalau itu sahabat masa kecilmu, dia pasti tahu soal traumamu juga, kan…? Gimana coba kamu mau mengelabui dia…

"Biasanya, kalau sahabat masa kecil, hal begini justru malah diceritakan, bukan?"

Aku bertanya karena aku nggak puas dengan jawabannya.

"Soalnya… Hyouka-chan itu kalau marah, serem banget… Kalau tahu soal pacaran palsu ini, dia pasti marah banget…"

Yah, aku ngerti sih perasaannya. Suzumine-san juga secantik Kuroyuki-san. Atau mungkin lebih tepat disebut cantik dewasa karena dia kelihatan lebih matang. Dan karena wajahnya cantik sempurna, saat dia bersikap dingin, jadi terasa sangat mengintimidasi. 

Cara bicaranya juga agak tajam, makanya dia nggak populer di kalangan cowok. Tentu saja, yang suka padanya cuma cowok-cowok masokis yang suka dimarahi.

"Ngomong-ngomong, waktu kejadian heboh tadi pagi, aku rasa aku nggak lihat Suzumine-san… Dia nggak masuk?"

"Enggak kok, dia datang…"

"Kalau begitu, kenapa dia nggak muncul, ya…?"

Kesan yang kudapat dari kepribadiannya memang dingin, tapi sebenarnya dia hanya dingin pada cowok. Pada cewek, dia justru kelihatan ramah. Waktu Valentine tahun lalu, dia dapat banyak cokelat dari para cewek.

Ngomong-ngomong… Dia juga sempat membiarkan Misaki yang kesulitan karena pengakuan cinta, jadi… bisa jadi mereka nggak sedekat seperti yang dikabarkan?

"Aku juga nggak tahu, dan itu bikin aku takut… Soalnya, waktu aku ngabarin lewat chat kalau aku akan makan siang bareng Raito-kun… dia cuma balas satu kata: ‘Oke’…"

Hmm, bukannya itu marah?

"Dia mungkin marah karena kamu nggak cerita kalau kamu pacaran, padahal kalian sahabat dekat…"

"Kayaknya iya, ya…? Ugh, gimana dong… Hyouka-chan kalau marah itu beneran menakutkan…"

Misaki memeluk tubuhnya sendiri dan mulai gemetaran. Padahal dia biasanya kelihatan anggun dan dewasa, tapi ternyata dia juga punya sisi ceroboh. Mungkin dia sudah sering dimarahi oleh Suzumine-san sejak dulu.

"Kalau ujung-ujungnya bakal dimarahin juga, bukannya mending kamu jujur aja soal pacaran palsunya?"

"Nggak bisa…! Hyouka-chan itu benci banget sama kebohongan atau hal-hal curang… nanti dia bakal benci aku…!"

Padahal ujung-ujungnya kamu tetap bakal bohong juga sih… Apa Misaki nggak sadar soal itu, ya? Yah, ini urusan mereka, jadi aku akan menghormati keputusan Misaki…

"Kalau gitu, ya tolong tangani baik-baik. Aku juga udah nggak tahan, boleh makan sekarang?"

"Ah…! U-uh, silakan makan."

Begitu aku menunjukkan kotak bekal, Misaki mengangguk sambil tersenyum. Aku membuka kotak bekal perlahan—di dalamnya, ada tamagoyaki lembut yang tampak mengembang sempurna, karaage berwarna keemasan yang juicy, dan juga aneka sayuran berwarna-warni seperti namul bayam, serta hamburger buatan sendiri.

"Karena ini yang pertama, aku coba buat yang aman dan standar… Gimana menurutmu…?"

Saat aku memandangi isi bekalnya, Misaki bertanya sambil melirikku dari bawah. Sebagai pembuatnya, wajar saja dia penasaran.

"Menurutku… tampilannya rapi banget… Semua ini buatan tanganmu?"

"Iya, semuanya aku buat sendiri. Hamburger dan karaage-nya aku persiapkan dari kemarin, lalu aku selesaikan pagi ini."

"Hebat banget…"

Karena aku juga biasa masak, aku tahu. Meski isinya standar, tampilannya jauh lebih rapi dari yang biasa aku buat, dan itu saja sudah cukup menunjukkan betapa terampilnya dia dalam memasak.
Aromanya juga sangat menggoda, dan penampilan yang menggugah selera itu membuat ekspektasiku melambung tinggi.

"Kalau begitu… aku makan dulu, ya."

Aku menyatukan tangan untuk memberi salam makan seperti biasa, lalu mengarahkan sumpitku ke lauk—

"Ah, tunggu…!"

—dan di situ juga, aku ditahan. Masih belum boleh makan, ya…!?

“Apa lagi sekarang...?”

"K-Kamu nggak perlu marah seperti itu..."

"Aku nggak marah, tapi... dalam keadaan lapar begini, terus makanan seenak ini ada di depan mata tapi dilarang makan, itu cukup menyiksa, tahu..."

Aku memang tidak marah. Hanya sedikit kesal karena ditunda-tunda terus.

"Kelihatan enak... ehe..."

Tapi sepertinya Misaki tidak benar-benar mendengarkan ucapanku, karena dia malah mulai tersenyum malu. Kalau begitu, kenapa tadi dilarang makan...?

"Kenapa aku nggak boleh makan...?"

"Ah, um... soalnya, aku pengin nyuapin kamu..."

……Dengan wajah yang memerah dan mata yang sedikit berkaca, Misaki mengatakan sesuatu yang gila. Kalau ada yang salah paham, dia nggak bisa protes, lho...?

"Kayaknya, itu nggak perlu-perlu amat, deh...?"

"Tapi, siapa tahu ada yang ngelihat... Dan menurutku ini nggak semalu itu dibanding bergandengan tangan, tapi tetap kelihatan kayak pasangan beneran, kan...?"

Standar malu memang beda-beda bagi tiap orang, mungkin. Bagiku, disuapin jauh lebih memalukan daripada gandengan tangan.

"Ada hak untuk nolak nggak?"

"Tentu saja ada, tapi... kalau bisa, aku ingin banget melakukannya..."

Sepertinya dia benar-benar ingin melakukannya, mungkin menganggap ini sebagai pukulan terakhir yang meyakinkan. Dengan wajah memelas seperti anak kucing kecil yang minta perhatian, rasanya susah banget buat nolak.

"Kalau cuma aku yang nyuapin, ya... masih bisa aku toleransi..."

"Tapi... biasanya dalam situasi begini, kita nyuapin satu sama lain, kan...?"

Entahlah. Aku belum pernah melakukan ataupun mengalami yang seperti itu, jadi nggak tahu. Aku juga nggak baca manga romantis...

"Untuk sekarang, biar aku aja yang nyuapin. Kalau kelihatan aneh, baru deh lain kali kita suap-suapan."

Tetap saja, aku merasa malu banget kalau sampai disuapin. Jadi, aku buat batasan sampai situ. Kalau nanti gara-gara cuma aku yang nyuapin lalu dicurigai, ya... saat itu aku akan siap menerima risikonya.

"Kalau begitu, aku tunggu kamu selesai makan dulu ya."

"Nggak, aku nyuapin duluan."

"Eh, tapi..."

"Kan aku yang egois, jadi tolong prioritaskan kamu dulu, Misaki."

Meskipun rasanya perih banget harus menahan lapar di depan makanan seenak ini...

Kalau harus malu atau menahan lapar, mending tahan lapar deh.

"Yang egois itu, aku, kok...?"

"Yang kamu bilang tadi itu termasuk dalam 'hak wajar' sebagai pasangan pura-pura. Jadi nggak bisa disebut egois. Kita ini kan... pasangan pura-pura."

Apa yang dia minta barusan masih termasuk dalam peran pasangan palsu. Kalau itu sampai dibilang egois, kasihan banget, dong.

"Kamu tetap aja baik hati ya, Raito-kun..."

"Bukan gitu, kok. Oke, kamu mau mulai dari yang mana dulu?"

"Kalau begitu... aku mau namul bayam, ya."

Sepertinya dia tipe yang makan sayur dulu. Sesuai permintaan, aku mengambil namul bayam dengan sumpit dan membawanya ke mulut Misaki.

"Ahn~"

Misaki membuka mulut kecilnya seperti anak burung, menunggu aku menyuapkan makanan. Pipinya memerah sedikit, sepertinya dia juga merasa malu. Sebaliknya, aku sendiri... mungkin karena biasanya nyuapin Kokoa, aku jadi keingat Kokoa saat ini.

Ya, rasanya seperti induk burung yang menyuapi anaknya makanan.

Ternyata, menyuapi orang lain itu nggak terlalu memalukan. Dan begitu saja, aku pun mulai menyuapi Misaki secara perlahan.



Ngomong-ngomong, setelah menyuapi Misaki, aku juga ikut menikmati bekalnya, dan rasanya jauh melebihi harapanku, jadi aku sangat puas.



Post a Comment

Post a Comment

close