NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Nanji, Waga Kishi Toshite Volume 3 Chapter 1

Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 1


Kota Merdeka Elbar terletak jauh di selatan dari Kekaisaran Balga, berada di atas lautan. Letaknya dikenal sebagai wilayah yang hangat, namun musim dinginnya tetap menggigit. 

Di dalam kantor setengah bawah tanah yang telah biasa dia kunjungi, Lupus membuka lembaran surat kabar. Di tengah suara berulang dari kipas langit-langit yang berputar, terdengar suara pintu kantor yang terbuka, membuatnya mengangkat wajah. 

Wajah pucat yang muncul dari balik pintu berat itu adalah Tsushima, seperti biasanya. 

Begitu tatapan Tsushima mengarah kepadanya, Lupus mengangkat tangannya dan melambai ringan. 

“Selamat datang. Kamu terlambat, ya.” 

“Kamu masih di sini rupanya.” 

“Memangnya kenapa? Salah?” 

“Ini, tahu nggak, tempat ini...”

“Kantormu, kan? Sudah kudengar seribu kali kalimat itu.” 

Lupus membalas tanpa rasa bersalah sedikit pun, lalu kembali menunduk menatap surat kabar. Sambil membaca cepat isi artikel, dia bangkit dari sofa. 

“Lebih penting dari itu, sudah baca ini?” 

Dia menyodorkan surat kabar itu kepada Tsushima yang masih terlihat jengkel karena Lupus kembali menempati kantornya tanpa izin. Namun isi artikel itu sudah diketahui Tsushima. 

“Ya, semua surat kabar pagi ini menjadikannya berita utama.” 

Dengan malas, Tsushima mengarahkan pandangannya ke koran. Di atas kertas pulp tercetak judul besar yang terlalu mencolok untuk diabaikan, bahkan oleh orang bodoh sekalipun. 

“---Putri Pemberontak Nyatakan Perang kepada Kekaisaran Balga!” 

Meski judul dari setiap surat kabar berbeda, isi artikelnya nyaris sama. 

Intinya adalah, seseorang yang mengaku sebagai Lupus Filia yang seharusnya telah dieksekusi di Kekaisaran Balga, telah meninggalkan pernyataan yang bisa ditafsirkan sebagai deklarasi perang terhadap kekaisaran. Bahkan hingga menyebarkan hampir sepuluh ribu selebaran dari udara, tindakan itu memberi guncangan besar bagi Kekaisaran. 

Namun, yang lebih mengejutkan dari tindakan itu sendiri adalah isinya. 

“Di sini tertulis kalau aku adalah seorang Informan, ya. Wartawan ini mungkin ada di lokasi. Soalnya ada foto selebaran yang juga memuat tulisan di baliknya.” 

Lupus berkata seperti sedang membicarakan orang lain, lalu membalik halaman surat kabar dan menunjuk ke halaman kedua. Di artikel bergambar besar itu tercetak selebaran asli yang disebarkan. 

“Benar. Banyak perusahaan media punya cabang di Kekaisaran. Tidak terlalu aneh.” 

“Kalau begitu, kejadian ini benar-benar sudah menyebar ke seluruh dunia. Masalah besar.” 

Lagi-lagi Lupus berkata seolah hal itu tidak ada hubungannya dengannya, lalu melipat surat kabar dan menyalakan televisi tanpa izin. 

Setelah sejenak muncul gangguan visual, layar menampilkan siaran berita. 

Seperti yang diduga, berita yang ditayangkan pun sama. 

Di balik layar, seorang wanita pembawa acara sedang berdiskusi dengan seorang pakar. 

“Informasi yang terungkap dari deklarasi perang kali ini memang mengejutkan. Tapi bagaimana dengan kebenarannya?” 

“Agak sulit membayangkan bahwa Putri Kekaisaran Lupus Filia adalah seorang Informan, jika dilihat dari sudut pandang yang masuk akal. Kekaisaran Balga adalah negara yang sangat menentang para Informan. Tidak masuk akal jika Kaisar mereka sampai memiliki anak dengan seorang Informan.” 

“Jadi, menurut Anda ini bohong?” 

“Ya. Tapi, hal yang penting dari deklarasi perang ini bukanlah soal kebenarannya.” 

“Maksud Anda?” 

“Karena Lupus Filia sudah dieksekusi, maka benar atau tidaknya informasi itu tidak lagi relevan. Fakta bahwa dia disebut sebagai Informan justru bisa menjadi alasan kuat bagi para Informan yang tersisa di berbagai daerah Kekaisaran untuk bangkit. Tampaknya sudah ada beberapa tempat yang berada dalam kondisi siaga...” 

Lupus mengangguk pelan sambil menyilangkan tangan, memperhatikan penjelasan pakar itu. Sementara itu, Tsushima yang memperhatikannya dari belakang, merasakan bahwa roda peristiwa telah mulai bergerak. 

“Kalau namamu sudah disebut sampai sejauh ini, Elbar juga pasti akan bergerak.” 

“Ya. Aku tahu.” 

Lupus menjawab dengan nada serius. Di layar televisi, terpampang foto dirinya semasa hidup sebagai seorang putri kekaisaran. 

Rambut emas, mata merah, riasan yang membuatnya tampak dewasa, dan ekspresi tanpa emosi. Melihat bayangan dirinya di masa lalu, Lupus menatapnya seolah sedang bernostalgia. 

“Tapi rasanya aneh juga, mendengar namaku disebut-sebut terus begini.” 

“Kamu ini tidak sadar kalau kamu itu orang terkenal. Sekalipun kamu mengganti status dan penampilan, esensimu tidak akan berubah. Benar, kan?” 

“Iya, memang.” 

Berbagi pemahaman yang hanya mereka berdua yang mengerti, Lupus melepaskan ketegangan dari bahunya. 

Hampir bersamaan, telepon di depan Tsushima berdering. Seakan sudah tahu siapa yang menelepon, ia langsung mengangkat gagang telepon. 

“Ini aku. Ya, dia ada di sini.” 

Hanya terjadi percakapan sepihak yang lebih mirip anggukan-anggukan singkat, lalu Tsushima menutup telepon setelah berkata, “Mengerti.” 

Lupus melihat interaksi itu dan memiringkan kepala sedikit. 

“Panggilan dari Tachibana. Dia minta kamu datang setelah selesai pelajaran di akademi.” 

“Wah, baik sekali.” 

“Katanya, ‘Tugas utama seorang pelajar adalah belajar.’ Meskipun dalam hatinya, dia mungkin ingin memanggilmu sekarang juga.” 

“Bisa jadi. Tapi, keramahan di permukaan itu justru bisa menjadi kelemahan. Kalau dia tak sadar itu adalah kelengahan besar, bisa jadi bencana.” 

Dengan nada menyindir, Lupus tersenyum kecil kepada Tsushima. 

“Kalau begitu, ayo berangkat. Kamu ikut, kan?” 

“Ya. Aku sudah siap.” 

Mengambil pakaian musim dingin yang tergantung di kursi, Tsushima melemparkannya ke arah Lupus. 

Menerimanya dan melangkah pergi, Lupus menyelipkan lengannya ke dalam lengan mantel, namun tiba-tiba berhenti melangkah. Tsushima, yang mengikuti di belakang, melewatinya sambil heran. 

Saat dia menyentuh gagang pintu menuju pintu masuk, dia menoleh dan mendesah, seakan telah menyadari sesuatu dari sikap Lupus yang masih berdiri diam. 

“Sebelum kita pergi, kalau hanya sebentar, kita bisa mampir. Bagaimana?” 

Nada Tsushima tidak mengandung sarkasme atau ejekan sedikit pun. Mendengar pertanyaan tulus itu, Lupus tersenyum samar, menggaruk hidungnya dengan sedikit rasa malu. 

“Kalau begitu, bisakah kita mampir sebentar? Seingatku, tempatnya di sepanjang Jalan Dinasti Lama di selatan pusat kota.” 

“Jalan Dinasti Lama, ya?” 

Mendengar tempat yang disebutkan Lupus, Tsushima tampaknya langsung bisa menebak tujuannya. Dia mengambil kunci mobil yang tergantung di dinding, dan dengan suara datar berkata, “Ayo,” lalu melangkah keluar dari kantor.



Jalan Dinasti Lama di Kota Merdeka Elbar tampak lebih ramai dari biasanya untuk ukuran pagi hari. Di antara para pebisnis, para pelajar berseragam juga berjalan cepat di kawasan sibuk itu. 

Dari sebuah food truck bernuansa ceria yang diparkir di salah satu sudut jalan, terdengar suara ceria menyambut para pelanggan. 

“Terima kasih banyak! Lain kali jangan lupa coba crepe-nya juga ya! Menurutku itu cocok banget sama kopi!” 

Seorang pebisnis yang baru menerima kopi dari Patria membalas dengan senyum canggung sebelum beranjak pergi. 

Dari raut wajahnya jelas tergambar ekspresi, “Siapa juga yang bisa makan crepe sepagi ini?” Tapi Patria tetap tak menyerah dalam mempromosikan crepe-nya. 

Karena bagaimanapun, tempat ini adalah toko crepe. 

Kembali ke pekerjaannya di dapur, Patria melirik ke depan ketika merasa ada orang yang datang lagi. 

“Selamat datang! Mau pesan apa? Crepe-nya sangat direkomendasikan, lho.” 

“Makan crepe pagi-pagi gini agak berat ya. Aku pesan kopi saja, boleh?” 

Patria, yang mengenali suara itu, mengubah senyuman profesionalnya menjadi senyum tulus. 

“Lho, ternyata Lu-chan. Ada apa pagi-pagi ke sini?” 

“Itu justru pertanyaanku. Kupikir kamu gak pernah ada tiap pagi, ternyata kerja paruh waktu di sini ya. Pantas selalu telat masuk kelas pertama.”

Tatapan Lupus yang menatap Patria dengan sedikit ketegasan juga menyiratkan rasa hangat. Patria hanya tertawa dengan canggung dan mengalihkan pandangannya. 

“Jujur aja, aku harus cari uang buat bayar biaya sekolah. Keluargaku kan pas-pasan.” 

“Serius? Aku baru tahu.” 

“Sebenarnya, beberapa waktu lalu aku pakai uang sekolah buat beli barang yang aku pengen. Jadi sekarang harus balikin lagi uangnya.” 

“Oh ya? Dan kamu beli apa?” 

“Umm... Motor.” 

“Apa! Kamu beli motor!? Kapan kamu beli? Terus kamu simpan di mana? Di asrama kan gak ada tempat.” 

“Itu makanya aku butuh uang...”

Sambil memasang wajah memelas, Patria tetap cekatan menyiapkan kopi. Setelah mengisi gelas kertas, dia menyodorkannya sambil bersandar ke konter. 

“Nih, cuma iseng nanya aja sih. Tapi coba dengerin ya.” 

“Apa? Jangan aneh-aneh ya.” 

“Iya, iya.” 

Patria mengedarkan pandangan ke sekitar, dan menemukan sosok yang dicarinya di seberang perempatan. Tsushima, dengan jaket khasnya, bersandar di mobil yang diparkir di pinggir jalan, memandang ke arah mereka. 

“Lu-chan, Bisa gak minta tolong ke pacarmu, pinjam tempat parkir?” 

“Pacar?” 

Wajah Lupus langsung memerah, dan dia melirik panik ke seberang jalan. Melihat reaksi itu, Patria semakin yakin bahwa menggoda Lupus memang selalu menyenangkan, lalu menyatukan kedua tangannya memohon. 

“Tolong banget! Sekali seumur hidup!” 

“Kayaknya aku sudah dengar kalimat ‘sekali seumur hidup’ itu berkali-kali, deh.” 

Dengan nada jengkel yang tak disembunyikan, Lupus menghela napas dalam. Dia menerima kopi dan mengintip isinya. Namun, dia tetap diam. 

Tak ada yang aneh dengan isi gelas kertas itu, jumlahnya pun pas, tak kurang sedikit pun. 

Patria yang bingung, menyentuh bahu Lupus. 

“Lu-chan? Ada apa?” 

“Nggak, gak apa-apa. Baiklah, aku akan tanyakan ke Tsushima.” 

“Serius? Wah, makasih banget! Aku gak masalah punya motor, tapi bayar biaya parkir itu lho, mahal banget. Jadi ini bakal sangat ngebantu!” 

Patria sudah tampak senang seolah-olah izin tempat parkir itu sudah dikabulkan. Melihat itu, Lupus hanya bisa tertawa kecut. 

“Tapi belum tentu dia bakal ngizinin, kan?” 

“Tenang aja. Yang minta ini cewek muda manis, pasti dikasih.” 

“Yah, benar juga sih. Tsushima itu lemah kalau didesak, jadi mungkin bisa berhasil.” 

“Tuh, kan.” 

Mereka pun tertawa bersama. Setelah itu, Lupus menarik napas, menenangkan dirinya. Dia lalu menatap Patria yang masih tersenyum tanpa berkata apa-apa. 

Patria menunggu, berharap Lupus akan mulai bicara. Tapi karena tak juga ada tanda-tanda, rasa penasaran muncul di benaknya. 

“Eh, Lu-chan. Biasanya kamu nggak datang ke tempat kayak gini. Kenapa sekarang kamu datang?” 

“Hmm, benar juga.” 

Lupus sempat terdiam sejenak. Setelah melirik ke arah Tsushima, dia melemparkan senyum yang agak sendu pada Patria. 

“Aku cuma pengen ketemu temanku.” 

“Teman?” 

“Iya. Kamu itu teman pertamaku. Makanya aku ingin benar-benar menemuimu dan berbicara denganmu.” 

“Apa maksudmu?” 

Patria menoleh, bingung karena cara bicara Lupus yang penuh makna. Namun Lupus hanya mengangkat gelas kopinya seolah ingin menghindari kelanjutan percakapan. 

“Makasih kopinya. Aku akan datang lagi nanti.” 

“Ah, iya. Kutunggu, ya!” 

Tanpa menambahkan sepatah kata pun, Lupus pun meninggalkan food truck itu. Rambut peraknya melambai ringan saat dia menyeberangi jalan. 

Patria hanya bisa memandangi punggungnya, dengan perasaan yang sulit dijelaskan memenuhi dadanya. 

“Apa ya barusan itu. Ah, sudahlah. Kami kan bisa ketemu lagi di sekolah.” 

Setelah mengalihkan pandangan dari Lupus, pelanggan berikutnya datang, seolah menggantikan kepergiannya. Saat mulai melayani pembeli baru itu, Patria pun sudah melupakan perasaan ganjil yang sempat singgah di hatinya tadi.


* * *


 Di distrik pusat Kota Merdeka Elbar, yang merangkum segala kemajuan kota ini, para pebisnis masih lalu-lalang seperti biasa hari ini. 

Deretan gedung tinggi berdiri berjajar, tak berbeda dari biasanya, mengingatkan pada pohon-pohon raksasa di hutan. Di salah satu gedung yang paling tinggi di antara semuanya, tampak sosok Lupus. 

Sekitar satu tahun yang lalu. Dia pernah melangkah ke lantai kosong itu untuk melakukan negosiasi demi menyelamatkan Tsushima. Kali ini pun, dia melangkah masuk lagi. Sentuhan dingin dari logam menyambutnya. Suara langkahnya bergema kuat hanya dari satu langkah saja, dan dia segera berhenti. 

Saat dia perlahan menengadah, yang terlihat adalah sosok Tachibana yang berdiri tegak, seakan tak berubah sedikit pun sejak terakhir kali seperti boneka buatan. Saat menyadari kedatangan Lupus, dia meletakkan kembali cangkir kopi di atas meja dan mengangkat wajah. 

"Terima kasih atas kedatangannya, Nona Lupus Rivera.” 

“Betul-betul formal untuk orang yang sudah kenal. Toh selain kita, tak ada siapa pun di sini. Tak perlu sungkan, panggil saja aku Lupus Filia.” 

“Hahaha, tetap percaya diri seperti biasa ya. Tapi, memang begitu adanya.” 

Tachibana tertawa hambar, memasang ekspresi palsu sambil mengalihkan pandangan ke meja. Di hadapannya tersusun rapi surat kabar dari berbagai negara. 

“Aku rasa kamu sudah tahu alasan kenapa kamu dipanggil ke sini.” 

“Ya. Kabarnya ada Lupus Filia palsu yang muncul di Kekaisaran Balga. Senang mendengarnya, sepertinya kalian cukup sibuk sekarang.” 

“Itu ditujukan untuk ayahmu? Atau untuk...?” 

“Untuk semua orang yang bermain-main dengan eksistensiku.” 

Tatapan tajam Lupus menusuk Tachibana. Dia tersenyum pahit dan membungkuk di atas meja, menopang dagunya dengan kedua tangan. 

“Antara kita saja, berdasarkan informasi yang kami terima, saat ini sudah mulai terjadi pemberontakan bersenjata oleh para Informan di berbagai wilayah Kekaisaran Balga, terutama di daerah-daerah pinggiran. Ada pula desas-desus bahwa kaum bangsawan daerah dan negara-negara asing yang tidak menyukai kekaisaran diam-diam memberi dukungan.” 

“Semakin keras kamu menekan rakyat, semakin kuat pula ledakan ketika mereka melawan. Sepertinya kali ini tidak akan berakhir hanya sebagai keributan kecil.” 

Nada Lupus tetap terdengar seolah tidak peduli, namun Tachibana mengangkat sebelah alisnya. Setelah menatap wajahnya lama, dia menghela napas pelan. 

“Jelas sekali bahwa orang yang terlibat dalam insiden ini mengenal baik latar belakangmu. Kalau tidak, tak mungkin informasi bahwa kamu adalah keturunan Informan bisa muncul ke permukaan.” 

Tachibana mengungkapkan kekhawatiran sejatinya. 

“Itulah kenapa, aku ingin memastikannya. Apakah kamu terlibat dalam kejadian ini? Kalau pun ternyata iya...” 

Dia tak melanjutkan kalimatnya, namun tatapannya menajam dan penuh tekanan, jelas-jelas mengandung ancaman. 

Lupus mengangkat bahu dengan wajah datar, menanggapi sorotan itu. 

“Konyol. Selama satu tahun ini, aku sudah memenuhi ketiga syarat yang kamu ajukan.” 

Dengan dagu terangkat, dia menepis tuduhan dari Tachibana. Pria itu mendengarkan tanggapannya tanpa ekspresi, tapi masih belum menghapus kecurigaan dari matanya. 

“Itulah sebabnya, sekarang adalah saat yang tepat untuk melanggarnya, bukan?” 

“Itu cuma spekulasi tanpa dasar. Tidak seperti dirimu, Tachibana. Apa kamu sedang panik karena situasinya di luar kendali?” 

“Panik, ya? Hm... Kamu suka memprovokasi.” 

Barulah saat itu, Tachibana menyunggingkan senyum yang tampak manusiawi. Tapi tak lama kemudian, dia kembali menyembunyikannya di balik topengnya. 

Lupus menatapnya dengan rasa muak. 

“Kalau begitu, biar aku balik bertanya. Apa yang akan dilakukan Wali Kota Tachibana atas kekacauan yang terjadi di Kekaisaran Balga?” 

“Maksudmu?” 

Balasan Tachibana terdengar pura-pura tak tahu. Lupus mengernyitkan alis, tak percaya dia bisa sebodoh itu. Dengan kemampuannya dalam mengumpulkan informasi, mustahil dia tidak memahami situasinya. 

Merasa jijik pada kepura-puraan itu, Lupus mendengus. 

“Pemberontakan para informan di Kekaisaran Balga adalah perang demi kebebasan rakyat yang tertindas. Sama seperti perang perebutan kembali Jabal yang pernah dipicu olehmu.” 

Lupus mulai menyentuh isu sensitif yang tengah hangat dibicarakan di Elbar. 

“Kota Merdeka Elbar lahir dari perang besar itu, perang di mana para Informan bertaruh nyawa demi kedaulatan dan kebebasan. Lalu sekarang, Elbar bisa begitu saja mengabaikan mereka yang berjuang demi kebebasan, sama seperti yang dulu pernah kalian lakukan? Banyak yang bilang begitu.” 

“Banyak orang bilang begitu? Siapa mereka?” 

“Seorang wali kota sepertimu pasti tahu. Di Akademi Elbar sendiri, banyak siswa yang menyerukan dukungan. Di kalangan Informan dalam serikat pun, topik ini menyebar luas. Kalau kamu ingin tahu lebih lanjut, cukup baca surat kabar di hadapanmu itu. Semuanya tertulis di sana.” 

Lupus tak berbohong. Surat kabar yang tersusun di depan Tachibana memang memuat semua itu secara rinci. 

Namun Tachibana hanya menunjukkan wajah tenang, seolah hal itu tak berarti. 

“Benar juga. Kalau dilihat dari sisi logika, itu masuk akal. Tapi realitas tak sesederhana itu.” 

Dia bersandar di kursi sambil menghela napas. 

“Sudah ada kesepakatan untuk tidak memicu perang dengan Kekaisaran Balga. Jika Kota Elbar dan Kekaisaran sebesar itu kembali terlibat perang, dunia benar-benar bisa hancur. Alasan di balik berakhirnya perang kemerdekaan pun tak lepas dari hal itu.” 

Perang Kemerdekaan Elbar. Lupus yang saat itu masih kecil, hanya mendengar cerita mengerikan tentang perang itu. 

Seluruh logistik dunia dikonsentrasikan di Laut Tengah, semuanya digunakan hanya untuk satu tujuan yaitu membunuh. Meski hanya sekali perang, diperkirakan dua puluh persen dari populasi dunia musnah, dan sumber daya selama sepuluh tahun habis dalam sekejap. 

Guncangan itu terlalu besar, cukup untuk membuat dunia merasa bahwa kehancuran sudah di depan mata. 

Karena itu, Elbar dan Balga memutuskan untuk tetap berseteru namun tidak kembali mengangkat senjata. 

“Kita tidak bisa membiarkan dunia kembali diambang kehancuran. Bukan hanya keputusan Elbar, tapi juga suara dari seluruh dunia. Ini bukan sesuatu yang bisa dihancurkan hanya demi ego atau rasa keadilan kita sendiri.” 

Lupus menatapnya dengan tatapan jijik. Kalimat Tachibana yang terdengar rasional justru membuatnya muak. 

“Kalau begitu, untuk apa kamu membentuk kota ini?” 

“Untuk kedaulatan dan kebebasan para Informan.” 

“Kedaulatan dan kebebasan itu sedang terancam. Tapi kamu memilih untuk menutup mata?” 

“Benar. Jika itu adalah sumber dari potensi kehancuran dunia, maka tak ada pilihan lain selain mengabaikannya. Setidaknya, kedaulatan dan kebebasan kita sendiri masih terlindungi.” 

“Sungguh memalukan.” 

Lupus menurunkan tangannya dengan keras, seluruh tubuhnya menunjukkan kekecewaan pada Tachibana. Dia lalu menunjuk ke arah Aiman, yang entah sejak kapan sudah berdiri di sudut ruangan. 

“Kalau begitu, untuk apa kalian menyimpan Informan tingkat tiga belas yang digadang sebagai yang terkuat di dunia?” 

“Itu jelas. Karena pihak lawan pun memilikinya, yang terkuat di dunia.” 

“Jadi, selama mereka belum menggerakkan kartunya, dia pun tak akan bergerak?” 

“Begitulah. Mereka adalah kekuatan penyeimbang. Tidak boleh digunakan sembarangan.” 

Lupus mengalihkan pandangannya ke Aiman, seakan ingin mengujinya. Tachibana tetap tak bergeming, namun Aiman menggeleng pelan seolah hendak menasihatinya. 

“Aku mengerti. Aku benar-benar muak pada posisi dan pendapat kalian.” 

“Kalau begitu bagus. Sekarang mari kita kembali ke topik utama.” 

Berbeda dengan Lupus yang menutup pembicaraan secara emosional, Tachibana kembali memainkan senyum palsunya dan menepukkan tangan. 

“Sikap resmi Kota Merdeka Elbar adalah tidak akan terlibat dalam insiden Kekaisaran Balga. Jika kamu benar-benar tak terlibat, maka janjilah untuk tidak ikut campur dalam bentuk apa pun. Tak peduli namamu disebut, atau ada yang memprovokasimu, kamu tidak akan terlibat.” 

Meski sudut bibirnya terangkat, mata Tachibana tidak menunjukkan senyum. Tatapannya mirip seperti mata ular. Lupus membalas tatapan licik itu dengan keberanian.

“Begitu ya. Jadi, pada akhirnya yang membuatmu khawatir adalah itu. Rasa marah dan keherananku sudah lewat, sekarang kamu malah terlihat menyedihkan. Ya sudah, mau bagaimana lagi.” 

Sikapnya terlalu menantang, pikir Tachibana sambil memperlihatkan ekspresi tak senang. Sikap Lupus yang begitu keras dan kokoh membuatnya menyadari sesuatu. Senyum bisnis pun menghilang dari wajahnya. 

“Itulah kenapa, untuk dirimu yang menyedihkan itu, akan kuberitahukan satu hal.” 

Lupus tak peduli sedikit pun. Dia langsung menunjuk ke arah Tachibana tanpa ragu. 

“Dunia akan berubah, tanpa perlu tangan-tangan para penguasa seperti kalian ikut campur. Kalian hanya akan duduk manis di kursi nyaman sambil menggigit jari, menyaksikan semuanya terjadi.” 

“Apa maksudmu dengan itu?” 

“Tepat seperti yang kukatakan.” 

Ucapan Lupus terhenti di tengah kalimat. Sesaat terdengar suara bising yang mengganggu telinga, dan di detik berikutnya, tubuhnya mulai terdistorsi hebat. 

Dari balik siluet yang berkerlip dalam cahaya biru, terlihat sosok boneka logam perlahan muncul. 

“Apa ini...?” 

Tachibana membuka mulutnya, tapi tak sempat mengucapkan satu kata pun. Melihat ekspresi itu, Lupus tersenyum penuh kemenangan, sengaja menantangnya.


Sesaat kemudian, wajah itu menghilang. Yang tersisa hanyalah boneka penyamaran yang menyerupai kerangka manusia. 

Boneka itu bergetar hebat seolah tersentak, lalu ambruk keras ke lantai seolah dayanya terputus. 

“Boneka penyamaran. Dan yang lebih parah, ini model terbaru dari Tsukumo Heavy Industries, ya? Setahuku produk ini bahkan belum dirilis ke publik.” 

Betul-betul usaha yang sangat serius. Tachibana memegang keningnya, menunduk dalam. Aiman, yang mendekat ke sisinya, menatap boneka itu sambil menghela napas dan tersenyum.

“Aku juga sama sekali tidak menyadarinya. Kemampuannya luar biasa. Tsukumo Heavy sepertinya telah meningkatkan teknologi mereka.” 

Aiman berbicara seolah dia sudah tahu semuanya sejak awal. Kali ini bahkan Tachibana, yang biasanya tenang, mengangkat pandangannya dengan kesal. 

Saat menyadari sorotan itu, Aiman hanya mengangkat bahu santai. 

“Jangan pasang wajah seperti itu. Kamu bukan baru sekali ini dikelabui, kan?” 

“Meski yang mengelabui kita hanyalah gadis kecil seperti dia?”

“Ada yang bilang bunga yang malang pun punya duri. Tapi kali ini, bahkan beracun juga.” 

Ketika Aiman melontarkan candaan, Tachibana menghela napas panjang, seakan mencoba menekan emosinya. Dia lalu bersandar dalam di kursinya. 

“Sungguh... Sampai-sampai aku tidak bisa melihat melalui semua ini. Mungkin memang aku mulai berkarat.” 

“Ya. Mungkin kita berdua memang sudah menua dan mulai melemah.” 

Mengingat kembali lebih dari sepuluh tahun terakhir yang telah mereka lalui dengan berlari tanpa henti, keduanya terdiam. 

Tak sempat memikirkan hal-hal sepele seperti apa yang benar dan apa yang salah, itulah waktu, atau mungkin zaman, yang telah mereka lewati. 

Tachibana menyilangkan kedua lengannya, tenggelam dalam pikirannya. 

“Aiman. Keputusanku tidak salah, bukan? Ini demi Kota Merdeka Elbar, atau setidaknya demi para Informan semuanya.” 

“Ya. Kamu tidak salah sedikit pun. Tapi mungkin, jika kamu adalah dirimu yang dulu, jawabanmu akan berbeda.” 

Tak ada suara yang menjawab kata-kata Aiman yang menggaung hampa di ruangan itu.


* * *


Laut Tengah yang membentang di antara negara-negara besar berombak pelan, memantulkan permukaan hitam pekatnya.

Sambil menyipitkan mata karena silau cahaya matahari senja, Tsushima memandang ke arah utara dari ruang kemudi kapal kecil. Jika pengukuran dan peta yang dimilikinya benar, maka kapal ini kini telah berada di batas terluar wilayah laut Kekaisaran Balga. 

Perasaan tegang pun timbul secara alami, dan sorot matanya mengeras ketika menatap garis pantai kekaisaran. 

Tanpa mengetahui ketegangan yang dirasakannya, Lupus keluar dari dalam kapal dengan bersenandung kecil. Entah kenapa wajahnya terlihat segar dan cerah. Begitu tiba di samping Tsushima, dia meregangkan tubuhnya dengan penuh semangat. 

“Aaah, aku sudah bilang semua yang ingin aku katakan! Rasanya lega banget!” 

Dengan suara nyaring hingga hampir melengking, Lupus melemparkan senyuman lebar ke arah Tsushima. Pria itu menanggapinya dengan suara rendah, ekspresinya menggelap, bingung melihat keceriaan gadis itu. 

“Syukurlah kalau begitu. Jadi, hasilnya?” 

“Sayangnya, Elbar tidak akan bergerak. Tapi aku sudah perhitungkan skenario itu juga, jadi tidak masalah. Semuanya tetap sesuai rencana.” 

Entah dari mana dia belajar, Lupus mengedipkan sebelah mata dengan lihai dan mengacungkan jempol. 

“Artinya, tugasku jadi bertambah.” 

“Itulah kenapa kamu jadi kesatria pribadiku. Tentu saja kamu harus bekerja keras.”

“Haah, seperti yang diperintahkan.” 

Tsushima menjawab dengan nada malas, dan Lupus mencibir sambil sedikit manyun. 

Namun, dia tak berkata lebih lanjut dan duduk di bangku terdekat. 

“Meski begitu, aku sadar kok, bebanmu makin bertambah karena aku. Aku juga sudah berusaha selama setengah tahun ini, tapi tetap saja tidak bisa menandingi dirimu.” 

“Itu wajar. Karier kita sebagai Informan berbeda jauh.” 

Tanpa menunjukkan simpati atau empati, Tsushima membalas lugas. Lupus menatapnya seolah menyalahkan, namun karena dia memang tidak mengatakan sesuatu yang salah, dia hanya memiringkan kepala dengan sedikit protes. 

“Akan aneh kalau kamu bisa menyamai kemampuanku hanya dalam waktu enam bulan. Lagipula, pelatihan tetaplah pelatihan. Hasilnya beda dengan pengalaman nyata di lapangan.” 

“Itu memang benar, tapi aku sudah mencoba berbagai cara. Aku bahkan berhasil mengajak Aiman turun tangan. Jadi wajar dong kalau aku sedikit berharap.” 

“Aiman itu di luar standar. Kamu salah pilih mentor.” 

“Hmmph.”

Lupus cemberut, merasa kalah dalam adu argumen. 

Namun, kenyataannya kemampuan Lupus sebagai Informan memang telah meningkat pesat dalam enam bulan terakhir. Entah bagaimana caranya, dia berhasil mengajak Aiman melakukan latihan praktis beberapa kali dalam seminggu. 

Di luar itu, dia juga meluangkan waktu cukup banyak untuk berlatih bersama Tsushima. 

Semuanya dilakukan sebagai persiapan untuk hari ini. 

“Meski begitu, kamu hebat juga bisa membujuk Aiman.” 

“Iya, aku sendiri juga terkejut. Awalnya dia sempat keberatan, tapi akhirnya dia cukup antusias juga.” 

“...Jadi si tua bangka itu memang lemah terhadap gadis muda, ya?” 

“Eh? Apa kamu bilang sesuatu?” 

Bisikan Tsushima yang pelan berhasil tidak terdengar oleh Lupus, seperti yang dia harapkan. Dia pun melanjutkan pembicaraan seolah tak terjadi apa-apa. 

“Meski perbedaan kemampuan terlalu besar, dia itu veteran sejati. Kamu pasti dapat banyak pelajaran, kan?” 

“Tentu saja, itu memang tujuanku. Aku menggali semua informasi yang bisa kudapat. Meski selama latihan aku sama sekali tidak berkutik, dan itu cukup mengguncang kepercayaan diriku.” 

Lupus yang sebelumnya tampak percaya diri sambil menyilangkan tangan, kini menyipitkan mata memandangi kejauhan, seolah mengingat kembali kekalahannya yang menyakitkan saat latihan. 

Tsushima memilih untuk tidak menyinggung hal itu. 

Mengabaikan empati Tsushima, Lupus menatapnya setelah beberapa saat. 

“Ngomong-ngomong, aku jadi penasaran tentang sesuatu.” 

Nada suaranya berubah serius, menghapus nuansa obrolan santai sebelumnya. 

“Apa ada yang salah dengan Aiman?” 

“Apa maksudmu?” 

“Bukan hal besar sih. Tapi kadang-kadang dia terlihat sangat tidak enak badan. Itu yang bikin aku khawatir.” 

“Terlihat tidak sehat, ya...” 

Tsushima mencoba mengingat pertemuannya terakhir dengan Aiman. Dia tak melihat ada sesuatu yang aneh, tak ada tanda-tanda perubahan mencolok. 

Namun, Lupus mengutarakan sesuatu yang tampak membantah pemikiran Tsushima. 

“Memang dia lebih tua dari kita, tapi belum cukup tua untuk disebut kakek. Tapi kadang-kadang, saat aku berada di dekatnya, dia tidak sadar. Ada kalanya dia tampak melamun. Kadang juga, saat menjalankan kode, dia sampai kehabisan napas.” 

“Aiman seperti itu?” 

Tsushima setengah tertawa ketika balik bertanya, namun di mata Lupus tak ada tanda-tanda dia sedang bercanda. Dia pun diam sejenak, menatap wajah gadis itu, lalu menggeleng seakan tak percaya. 

“Itu pasti cuma salah paham. Setidaknya aku belum pernah melihat Aiman dalam kondisi seperti itu.” 

“Ya, benar juga. Dia itu Informan tingkat tiga belas terkuat di dunia. Mana mungkin begitu, kan.” 

“Daripada khawatir soal itu, lebih baik kamu istirahat sebentar. Yang sesungguhnya berat justru baru akan dimulai.” 

Tsushima meletakkan tangannya di atas kepala Lupus yang tengah menunduk dengan wajah murung, dan tersenyum sedikit lebih hangat. Lupus sempat ragu sejenak, lalu menjawab, “Kalau begitu, aku istirahat dulu ya,” dan kembali masuk ke dalam kapal. 

Dari sudut pandang Tsushima, punggung mungil dan tampak rapuh itu pun perlahan menghilang ke dalam ruang kapal. 

Setelah memastikan Lupus masuk, dia pun keluar dari ruang kemudi untuk menaikkan jangkar. 

Aroma laut langsung menyergap lebih tajam, dan suara deburan ombak terdengar lebih keras. 

Menatap matahari yang tenggelam di balik cakrawala, Tsushima kembali bergumam pada dirinya sendiri. 

“Tidak mungkin... Itu tidak mungkin terjadi padanya. Ini Aiman yang kita bicarakan, bukan?”


* * *


Menggantikan matahari yang telah tenggelam, bulan mulai naik ke langit. Setelah beberapa jam dalam kegelapan, cahaya bulan pun menyinari sekeliling, dan kapal yang ditumpangi Tsushima dan Lupus telah memasuki wilayah laut Kekaisaran Balga. 

Kabut yang terangkat dari permukaan laut menutupi pandangan, membuat jarak pandang menjadi buruk. Situasinya menyerupai keadaan yang biasa dimanfaatkan oleh penyusup gelap yang hendak masuk tanpa izin. 

“Sepertinya tidak ada pengejar dari Elbar.” 

Berselimut selimut dan menggenggam cangkir berisi cokelat panas, Lupus memandang keluar dengan wajah cemas. Sementara itu, Tsushima terkekeh pelan sambil mengendalikan kemudi. 

“Kita sudah berada di perairan kekaisaran. Mereka pasti menilai terlalu berisiko untuk mengejar lebih jauh.” 

“Mudah-mudahan begitu.” 

Lupus menggigil hebat, lalu melirik ke arah jam yang tergantung di dinding, dan meneguk habis isi cangkirnya. 

“Kalau sesuai jadwal, sudah saatnya.” 

“Ya. Sudah mulai terlihat.” 

Tsushima perlahan mengurangi kecepatan kapal. Seolah menanggapi gerakan kemudinya, kabut mulai terbelah ditiup angin. 

Cahaya bulan yang menyentuh laut musim dingin mewarnai kabut di sekeliling dalam nuansa perak. Berlawanan dengan keindahan pemandangan yang nyaris seperti ilusi itu, Tsushima menatap tajam ke arah armada baja yang mulai tampak di kejauhan. 

Itulah armada kapal perusak dari Angkatan Laut Kekaisaran Balga, yang bertugas menjaga perairan mereka. Tsushima menghentikan kapalnya tepat di depan barisan tersebut. 

“Seperti dugaan, itu Armada Keenam.” 

Melihat bendera yang dikibarkan oleh kapal-kapal itu, Tsushima membuka suara. 

Kekaisaran Balga pasti memperhitungkan bahwa dalam kekacauan internal, negara-negara asing bisa memanfaatkan celah untuk menyerang. Dan yang paling mereka waspadai adalah Kota Merdeka Elbar, yang hanya dipisahkan oleh Laut Tengah. Maka tak heran mereka menyebarkan garis pertahanan di seluruh perairan ini. 

Armada yang berdiri tepat di depan mereka adalah salah satunya. 

Lupus mengambil teropong dari ruang kemudi dan berdiri. 

“Berapa jumlahnya?” 

“Delapan, tidak, mungkin masih ada di balik kabut.” 

“Berarti mereka tidak menyebar secara merata. Justru bagus untuk kita.” 

Masih menatap melalui teropong, Lupus berkata dengan nada percaya diri. Berdiri di sampingnya, Tsushima memutar leher malas. 

“Pada jarak ini, kita pasti sudah tertangkap radar mereka.” 

“Asalkan mereka tidak langsung menembak, sih...” 

Lupus menurunkan teropongnya sambil bergumam khawatir. Tsushima hanya mengangkat bahu sebagai tanggapan. 

“Mereka tidak akan langsung menembak ke kapal tak dikenal. Pasti akan ada komunikasi dulu.” 

Hampir bersamaan dengan kata-kata Tsushima, radio kapal mulai berderak. Suara militer yang terdengar khas mulai keluar dari radio murahan itu, dan Tsushima mengubah ekspresinya, seperti menunjukkan sesuai dugaannya. 

“Di sini kapal perang berat Zagar dari Armada Keenam Angkatan Laut Kekaisaran Balga. Kami memperingatkan kapal kecil yang mendekat. Nyatakan identitas dan tujuan Anda. Jika tidak merespons, kami akan langsung menenggelamkan. Ulangi...” 

Setelah dua atau tiga kali pengulangan pesan yang sama, Tsushima dengan gerakan lambat mengambil mikrofon radio. 

“Di sini kapal kecil yang sedang berlayar. Kami membawa pesan untuk kalian. Dengarkan baik-baik.” 

Dia menatap Lupus sejenak. Dengan anggukan sebagai tanda kesiapan, Lupus menerima mikrofon dari tangan Tsushima. Dia menarik napas dalam, dan menegakkan tubuh. 

“Namaku adalah Lupus Filia. Kami dalam perjalanan menuju ibu kota untuk menjatuhkan hukuman ilahi kepada Kaisar jahat yang telah menginjak-injak kebebasan dan martabat kami. Bukalah jalan tanpa perlawanan.” 

“Apa katamu!?” 

Terdengar suara panik dari radio, disusul suara gaduh dari pihak lain. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Lupus melanjutkan ucapannya. 

“Jika kalian berani melawan, maka bersiaplah untuk mengikuti jejak kakakku yang bodoh, Los Rubel.” 

Merasa tak perlu bicara lagi, Lupus mengembalikan mikrofon dengan kasar. Tsushima memalingkan pandangannya ke arah Lupus sambil mencermati suara di radio yang mengindikasikan kebingungan. 

Tangan Lupus sedikit gemetar. 

Entah karena rasa takut, ketegangan, atau adrenalin menyambut masa depan. Saat menyadari tatapan Tsushima, Lupus mengangkat wajah dan tersenyum canggung. 

“Menurutmu, mereka akan bertindak seperti apa?” 

“Siapa tahu. Tapi sekarang mereka pasti sedang panik menghubungi markas pusat.” 

“Mudah-mudahan begitu.” 

Lupus menatap armada musuh dengan resah, menelan ludah. 

Kabut yang semakin menipis akhirnya memperlihatkan seluruh formasi armada di depan mereka. 

Di balik sepuluh kapal perusak, tampak beberapa kapal perang besar. Tsushima mengonfirmasi susunan mereka dan menggelengkan kepala, tampak jengkel. 

“Sudah lama aku tidak menghadapi kekuatan sebesar ini. Terakhir kalinya saat Perang Kemerdekaan.” 

Dia bergumam seperti sedang bicara sendiri, lalu menghidupkan kembali mesin kapal. Ketika merasakan getaran mesin, Lupus mengambil alih kemudi darinya. 

Dengan wajah tegang, Lupus memegang kemudi erat-erat. Tsushima mendekat dan berbisik di telinganya. 

“Komandan armada itu pasti ada di kapal perang paling belakang. Arahkan kapal lurus ke sana. Jangan ragu. Aku akan menghalau semua serangan.” 

“Baik.” 

Lupus menjawab dengan nada tegas, mengangguk beberapa kali dengan kaku seperti boneka. Tsushima yang merasa khawatir menatap wajahnya, dan langsung disambut tatapan tajam dari Lupus. 

“Aku baik-baik saja. Kita sudah latihan berkali-kali.” 

“Semoga saja. Kalau kapal ini tenggelam, kamu harus berenang sampai ke wilayah kekaisaran.” 

“Astaga. Kalau kamu tahu aku tegang, tolong jangan memperburuk keadaan. Kamu menyebalkan, Tsushima.” 

Tatapan tajam penuh teguran kali ini jelas-jelas mengandung emosi. Tsushima hanya menyeringai sinis. 

“Bagus, tetap kendurkan bahumu. Aku tidak akan membiarkan kapal ini tenggelam.” 

Kata-katanya lebih kuat dari semua jaminan lainnya. Lupus pun tersenyum, seperti biasa saat berada di kantor. 

“Kalau begitu, kupikir aku akan menyapa semua kapal perang satu per satu. Ke kanan, lalu ke kiri.” 

“Tolong jangan. Walau aku bisa melindungi kapal, kalau kamu sengaja membalikkan arah, aku tak bisa berbuat apa-apa.” 

Saling melontarkan candaan, Tsushima mengangkat wajahnya. Seketika, kehangatan dalam matanya saat melihat Lupus lenyap, digantikan dengan kegelapan penuh niat membunuh. 

Di kejauhan, Armada Keenam mulai mengubah formasi. Mereka mengubah haluan agar sisi kapal menghadap kapal Tsushima dan Lupus, memperluas barisan untuk saling melindungi. 

Mereka memasuki formasi tempur. 

Melihat pergerakan mereka, Tsushima langsung mengancingkan kerah jaketnya. 

“Mari kita mulai.” 

Mata Tsushima bersinar biru saat dia meninggalkan ruang kemudi. Melihat punggungnya menjauh, Lupus menggenggam erat tangannya. 

Ini bukan akhir. Namun, Tsushima sempat menoleh sejenak dan menatap Lupus dengan sedikit rasa enggan berpisah. Menatapnya, Lupus mengangguk kuat sekali. 

“Aku mengandalkanmu, Tsushima.” 

“Ya.” 

Tsushima menjawab singkat, lalu menutup pintu. 

Begitu keluar dari ruang kemudi, udara dingin malam langsung menyergapnya. Angin laut menyapu pipinya, membawa perasaan yang entah kenapa terasa akrab. 

Aroma itu, bau yang dirasakannya dulu saat Perang Kemerdekaan. Bukan sekadar angin laut. Ini adalah aroma medan perang yang mengandung bayangan kematian.

Di atas dek kapal yang bergoyang, Tsushima melangkah menuju haluan, menghadap langsung ke formasi indah Armada Keenam. Melawan kapal kecil tunggal mereka adalah hampir dua puluh kapal perang. Menghadapi perbedaan kekuatan yang begitu mencolok, Tsushima tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih. 

“Ayo, perlihatkan seberapa indah kalian bisa hancur.” 

Hampir bersamaan dengan ucapannya, kilatan cahaya menyala di atas kapal-kapal perang. Dalam kegelapan malam, puluhan meriam diarahkan ke arah mereka dan memuntahkan api. Dalam lintasan tembak itu, kapal mulai bergerak di bawah kendali kemudi Lupus. 

Suara tembakan tertinggal jauh di belakang, dan proyektil-proyektil baja meluncur ke arah mereka dengan kecepatan mengerikan. Namun, tak satu pun dari peluru itu menyentuh kapal mereka. 

Pancaran-pancaran sinar panas menyala dari arah tak terlihat, berlapis-lapis saling bersilangan, menembak jatuh proyektil yang datang. Peluru-peluru yang jauh lebih besar dari bola meriam biasa langsung meledak ketika bersentuhan dengan panas itu, pecah berantakan seperti kembang api, mengubah laut malam menjadi panci mendidih. 

Kemudi Lupus tidak bisa dibilang mulus. Kapal bergerak dengan keras naik-turun oleh gelombang yang ditimbulkan dari tembakan yang menghantam kejauhan. 

Namun, Tsushima tetap berdiri di haluan, tangan di saku, tak bergeming. Meski diterpa percikan air dan terpaan angin, matanya tak pernah berkedip. Cahaya dari api-api neraka yang menyala di laut malam pasti juga terlihat oleh Armada Keenam. 

Melihat kapal kecil yang tak gentar meski dihujani peluru seperti hujan, pihak armada pun mengambil tindakan selanjutnya. Begitu melihat torpedo diluncurkan dari sebagian kapal, Tsushima segera menambahkan pelaksanaan kode lainnya. 

Dia mengeluarkan sebelah tangan dari saku dan mengangkatnya tinggi. Dari telapak tangannya, gumpalan panas mulai membesar, berubah menjadi massa besar yang melebihi tubuhnya sendiri. 

Gumpalan-gumpalan itu lalu pecah tiba-tiba, meluncur rendah di atas permukaan air ke segala arah. Seolah gumpalan panas itu tumbuh sayap dan berubah menjadi elang, pemandu panas yang terbang menyerang torpedo-torpedo, menghasilkan pancaran air yang menjulang tinggi. 

“Kalian benar-benar tak belajar apa pun dari perang itu, ya?” 

Cara mengatasi senjata konvensional semacam ini sudah dikuasai sejak lama. Bagi Tsushima, rasanya seperti dipaksa kembali menapaki jalan yang telah lama dia lewati. 

“Kalau begitu, kuberikan lagi pada kalian neraka yang sama. Rasakan kembali ketakutan dan keputusasaan itu.” 

Mengatupkan rahang kuat-kuat, wajah Tsushima berubah beringas. Dia melaksanakan kode berkekuatan tertinggi hari ini. Matanya yang terbuka lebar bersinar terang, dan kode pemusnah pun dijalankan. 

Kode itu meluncur sunyi, mencabik leher sasaran dengan diam-diam. Beberapa kapal di garis depan armada tiba-tiba miring tanpa tanda-tanda sebelumnya, tanda takdir mereka telah diputuskan. 

Kapal-kapal perang raksasa itu, bagian tengahnya berlubang besar, langsung terbakar. Satu demi satu dibungkus asap dan ledakan, lalu hancur menjadi serpihan di laut. 

Kapal Tsushima dan Lupus melesat melewati celah di antara kapal-kapal yang hancur, menuju kapal-kapal perang besar yang berjaga di belakang. 

“Penutupnya!” 

Tsushima mengangkat tangannya ke kapal perang tempat para komandan kemungkinan berada. Saat hendak menargetkan dan melaksanakan kode, pandangannya menangkap firasat buruk. 

Di ujung penglihatannya, di langit malam bertabur bintang, dia melihat kilau biru partikel informasi. Spontan, Tsushima berbalik dan berteriak ke arah ruang kemudi tempat Lupus berada. 

“Belokkan kapal!” 

Melihat reaksi panik Tsushima, Lupus langsung memutar kemudi tanpa peduli apa pun. Kapal kecil itu melompat di atas gelombang dan membelok tajam ke kanan. Hampir saja mereka terguling. 

Namun keputusan itu benar. Tepat setelahnya, permukaan laut tempat mereka berada menggembung besar. 

Perubahan bentuk laut itu seperti pertanda ledakan, dan dari dalam semburan air muncul sosok raksasa. 

Sebuah kapal perang kolosal, diselubungi cahaya biru dari partikel informasi, menampakkan haluannya. Di sekitarnya, kapal-kapal perang serupa muncul satu demi satu dari laut. 

“Apa ini...” 

Memandangi pemandangan aneh itu, Tsushima mengenali apa yang sedang terjadi. 

Di ujung formasi, dia melihat sinar biru yang sangat kuat, dan mengertilah dia. 

“Enam Pedang Kekaisaran, Hains si Dewa Laut!” 

Di antara Enam Pedang Kekaisaran, ada Informan yang hanya bisa menunjukkan kekuatan penuhnya di lingkungan tertentu. Hains si Patriot adalah contohnya. 

Kodenya dikenal sebagai konstruksi kapal perang. Dia mampu membangkitkan kembali kapal-kapal karam di laut, lalu mengendalikan mereka dari jarak jauh. Dia adalah Informan tingkat sebelas, dijuluki Dewa Laut. 

“Jadi, kita benar-benar dijebak. Tak ada pilihan lain.” 

Tsushima menatap kapal-kapal dari berbagai era yang kini mengelilinginya. Meski terlihat lapuk, mereka telah diperkuat oleh kode Hains hingga jauh melampaui apa yang tampak. Hampir pasti, persenjataan mereka juga telah diperbaiki. 

Seandainya armada sebesar ini ada saat Perang Kemerdekaan Elbar, hasil perangnya mungkin akan berbeda. Begitulah pikir Tsushima sambil menarik napas panjang. 

Kapal-kapal itu mulai bergerak cepat dan membentuk manuver berputar. Dari posisi mereka, pemandangan yang terlihat begitu putus asa. 

Di permukaan laut yang datar, tak ada tempat bersembunyi. Mereka jadi sasaran sempurna. Semua meriam kapal mulai bergerak, berderit mengerikan saat mengarah ke satu titik: kapal kecil mereka. 

“Lupus! Guncangan kuat! Pegangan yang kuat!” 

Tsushima memberi peringatan, lalu sendiri menurunkan tubuhnya di atas dek. 

Peluang kabur telah hilang. Maka, satu-satunya pilihan adalah menangkis semuanya. Dan Tsushima tahu, dia bisa melakukannya. 

Matanya bersinar biru, menatap sekilas ke arah Hains. 

“Baiklah. Kuterima pertarungan ini.” 

Meski belum saling melihat dengan jelas, Tsushima dan Hains saling lempar niat membunuh. Begitu itu diterima, armada melepaskan tembakan serentak. 

Berbagai jenis peluru ditembakkan. Peluru kanister, penembus baja, granat tinggi, bahkan peluru yang tak sepantasnya untuk perahu kecil berisi dua orang, melesat ke arahnya. 

Lebih dari itu, peluru-peluru itu juga dilengkapi kode kontrol gerak fisik. Mereka tak akan membiarkan mangsanya kabur. Serangan penuh niat membinasakan semua musuh di atas laut. 

Tsushima menghadang serangan itu dengan dinding gelombang panas. Dinding bersuhu sangat tinggi mengelilinginya, membuat laut mendidih dan membelokkan cahaya. 

Namun, bahkan dinding itu tak mampu menahan serangannya yang membludak. Ledakan-ledakan mulai mendorong dinding panas itu, perlahan menekannya. 

Riak mulai muncul di permukaan laut. Potongan logam yang tak sempat meleleh jatuh ke kapal mereka. 

“Keparat... Aku tak ingin memakai ini, tapi tak ada pilihan lain.” 

Tsushima menatap badai peluru yang mengepung mereka, mendesah, lalu bersiap melaksanakan kode pemusnah berintensitas lebih tinggi. 

Saat itulah. 

Semua tekanan dari peluru, baik itu ledakan, cahaya, panas, hilang begitu saja, tanpa peringatan. Lewat gemerlap panas, hanya langit malam yang tersisa. 

Apa yang terjadi? Tsushima mendongak, dan menemukan biang keladinya. 

“Aiman?” 

Di atas langit laut, seorang pria dalam setelan jas tiga potong berdiri, terlihat tak cocok dengan medan ini. Dia berdiri seolah ada lantai di udara, sepatunya menginjak kehampaan, menatap Tsushima di bawah. 

“Sungguh, kamu ini menyusahkan sekali.” 

Dia mengangkat bahu dengan tawa pahit. Tsushima menatapnya tajam. 

“Apa yang kamu lakukan di sini! Sudah bosan jadi penjaga Tachibana?” 

“Sejak kapan dia butuh penjaga? Yang butuh penjaga itu kamu.” 

Aiman tertawa ringan, mengangkat satu jari ke arah Tsushima yang mendongak. 

“Tenang dulu. Kita bisa bicara setelah membuatnya diam.” 

Lalu Aiman menatap ke arah Hains yang berdiri di geladak kapal. 

“Maaf, Tuan Hains. Mohon minggir.” 

Dia mengucapkan itu seperti lelucon. Lalu matanya bersinar biru terang, hampir bersuara. 

Sesaat berikutnya, dia menjalankan kodenya. 

Penguasaan ruang. Atau mungkin bisa disebut intervensi spasial. 

Kode yang digunakan Aiman itu membelah laut. Air laut yang seharusnya ada di sana sepanjang beberapa ratus meter lenyap, digantikan oleh kekosongan. 

Gelombang menutup celah dengan liar, dan kapal-kapal yang mengapung langsung dihantam gelombang dan hancur. 

Namun, Hains bukan orang biasa. 

Kapal yang dia tempati tetap di tempat, bersinar dengan cahaya partikel informasi. Entah itu hasil dari kontrol gerak fisik, atau kode lain. 

“Luar biasa. Layak menyandang gelar Dewa Laut. Sesuatu seperti ini tidak membuatnya kesulitan. Tapi...”

Aiman terkagum. Lalu dia menjentikkan jarinya. 

“Bagaimana dengan ini?” 

Dan dengan itu, Aiman membuat air laut yang dia hapus tadi muncul kembali di udara, dalam bentuk kotak besar. Air laut itu siap jatuh dari langit.

Volume air itu begitu besar, dan daya hancurnya tak terukur. 

Padahal, yang dilakukan Aiman hanyalah memotong sebagian lautan dan memindahkannya. Dia tak melakukan apa pun selain itu, namun kehancuran yang mendera permukaan laut begitu sederhana sekaligus tak masuk akal. 

Bukan suara yang mengguncang. Tapi benturan antara lautan yang ditumpahkan ke atas laut lainnya menimbulkan semacam ilusi bahwa dunia tengah bergetar. Berkat perlindungan dari kode penghalang ruang milik Aiman, Tsushima dan yang lain tidak terkena dampaknya. 

Namun, menyaksikan langsung apa yang terjadi di depan mata membuat mereka semua hanya bisa terdiam dengan mulut terbuka. 

Selama beberapa menit, permukaan laut terus bergolak hebat. 

Tak ada satu pun kapal perang terlihat di atas lautan berbusa. 

Tentu saja. 

Namun, ketika dua nyala api berwarna biru menyala dari kegelapan laut yang menggila itu, Aiman mengangkat alis, tampak sedikit terkejut. 

“...Pria yang luar biasa.” 

Aiman mengucapkan itu seolah benar-benar mengaguminya dari lubuk hati. 

Hains, yang seharusnya telah dilenyapkan oleh serangan itu, masih berdiri di atas lautan. 

Seragam militer biru gelap yang membungkus tubuhnya telah berantakan, jauh dari kesan megah seorang anggota Enam Pedang Kekaisaran. Dia tampak goyah, nyaris tumbang, namun tetap mendongak ke arah Aiman dan mengaum dengan lantang. 

Saat itu juga, cahaya kebiruan mulai memancar di sekelilingnya. Permukaan air berguncang, membesar, dan kapal-kapal perang yang sebelumnya telah tenggelam kembali muncul ke permukaan. 

Benar. Hains si Dewa Laut mampu membangkitkan kapal-kapal karam berkali-kali. Selama dia masih bernapas, armada tempurnya bisa terus dihidupkan ulang, itulah kekuatannya. 

Aiman, yang berdiri di udara kosong, menatap bayang-bayang kapal perang yang terus bermunculan dengan lesu, sambil merapikan kerah jasnya. 

“Aku jadi merasa bersalah. Awalnya aku tak berniat membuatmu menderita lebih lama. Maafkan aku, Hains.” 

Seolah menganggap pertarungan sudah selesai, Aiman membalikkan badan. 

Hains, yang melihat punggungnya, melotot. Sebagai Informan tingkat sebelas, dia adalah sosok yang ditakuti semua orang. Tak seorang pun pernah berani membalikkan badan di tengah pertempuran. 

Namun Aiman justru memunggunginya dengan tenang. Itu adalah bentuk penghinaan tertinggi. 

“Uoooooooh!” 

Dengan urat kemarahan menegang di wajahnya, Hains mengarahkan meriam ke arah Aiman. Tapi itu pun sia-sia. 

Aiman menoleh sepintas, lalu menjentikkan jari. 

Sesaat setelah suara itu mengguncang udara, tubuh Hains terpelintir hebat. 

Tak seorang pun di sana memahami apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan Hains sendiri tampak menunjukkan ekspresi bingung di matanya. 

Namun semuanya berlangsung hanya sekejap. 

Seolah sesuatu yang sangat berat jatuh dari langit, tubuhnya hancur terjepit antara udara dan laut, seakan terlipat seperti kertas. Segera setelah itu, ombak besar menggulung, dan tubuh Hains lenyap ditelan lautan. 

Kapal-kapal perang yang sempat mulai bergerak perlahan tenggelam, seolah menandai kematian komandannya. Di bawah sinar bulan, kapal-kapal raksasa itu satu demi satu menghilang, begitu fana dan indah, seperti tokoh dari mimpi yang baru saja menghilang dari cerita. 

“Enam Pedang Kekaisaran diperlakukan seperti anak kecil. Apa sebenarnya dia itu...” 

Suara Lupus, yang tanpa sadar telah bersandar ke rel dek, menyadarkan Tsushima dari keterpakuannya. 

Dia mendongak, melihat Aiman menuruni udara seolah menapaki tangga, dan mengerutkan alisnya dengan ekspresi canggung. 

“Apa maksudmu datang ke sini, Aiman? Kamu paham betul apa artinya mencampuri pertikaian ini, bukan?” 

Melihat ekspresi Tsushima, Aiman mengangkat bahu dan melangkah turun ke dek. 

“Aku sedang mempertimbangkan pensiun. Kupikir, ini saat yang tepat untuk menuntaskan satu pekerjaan terakhir. Hanya itu.” 

Aiman mengatakannya seolah itu tak penting. 

Tak bisa memastikan kebenaran dari ucapannya, Tsushima bertukar pandang dengan Lupus. 

“Aiman. Kamu yakin seharusnya ada di sini? Kurasa Wali Kota Tachibana tak akan senang jika tahu kamu datang ke sini.” 

“Mungkin iya, mungkin juga tidak. Hati orang itu berbeda antara luar dan dalam. Tapi ini hanya keegoisanku. Aku tak bisa membiarkan adikku yang kubesarkan mati begitu saja.” 

Aiman menatap Lupus dengan lembut, lalu mengalihkan pandangannya ke Tsushima. Tsushima membalasnya dengan tatapan tajam. 

“Omong kosong. Ini pasti bagian dari rencana Tachibana. Benar, kan?” 

“Kamu sudah menjadi orang dewasa yang kotor. Dulu kamu sedikit lebih polos.” 

“Jangan mengalihkan pembicaraan. Aku tahu kamu sadar kami berencana membunuh sang kaisar.” 

Ucapan Tsushima begitu gamblang, dan Aiman hanya tersenyum kecil, tanpa sedikit pun terkejut. Namun sikap mencurigakan itu membuat Tsushima memancarkan niat membunuh yang lembap dan pekat. 

“Kalau kamu berniat menghalangi, bahkan kamu pun tak akan kuampuni.” 

Merasakan ketulusan ancaman dalam tatapan Tsushima, Aiman sejenak memasang wajah serius dan mengangguk dalam. 

“Tentu, aku tak berniat begitu. Alasan aku datang ke sini sungguh-sungguh untuk membantu kalian. Tapi bantuan itu juga berkaitan dengan tugasku sendiri.” 

“Aku tak bisa percaya pada ‘tugas’ yang kamu maksud.” 

“Haha. Kamu masih sama curiganya seperti dulu. Tapi tak apa. Segera kamu akan mengerti.” 

Aiman memasukkan kedua tangannya ke saku, lalu menatap ke arah jauh, melampaui haluan kapal. 

“Bagaimanapun juga, jalan ke Balga kini telah terbuka. Baik apa yang kalian cari maupun apa yang kucari ada di depan sana. Jadi, mau maju, atau mundur?" 

Dengan nada penuh teka-teki, Aiman menatap Tsushima dan Lupus seolah sedang menguji mereka. 

Namun bukan Tsushima yang menjawab. 

Dari belakangnya, suara langkah sepatu menggema saat Lupus maju ke dek. 

Dia mengangkat tangannya dan menunjuk lurus ke arah Kekaisaran Balga. 

“Tujuan kami adalah Kekaisaran Balga. Tak ada yang lain. Dan sejak awal, aku tak pernah berniat mundur atau menyerah. Benar begitu, Tsushima?” 

Dengan nada yang hampir memarahi, Lupus mengangkat dagunya dengan angkuh. Tsushima, yang terdiam, bertemu mata dengan Aiman dan mendecak kesal. 

“Tuanmu benar-benar tegas. Mungkin aku harus belajar darinya,” Aiman berkata sambil mengangkat bahunya, setengah berseloroh.


* * *


 Perahu kecil itu melaju menembus ombak, seolah menjahit celah-celah antara gelombang. 

Mengingat baru saja mereka mengalahkan salah satu dari Enam Pedang Kekaisaran, keheningan dan kelancaran perjalanan ini terasa ganjil. Menurut Aiman, karena dia memutuskan ruang itu sendiri selama pertempuran, informasi tak sampai ke daratan melalui radio atau sarana komunikasi lainnya. 

Sambil menggenggam tuas kemudi, Tsushima melirik ke arah Aiman yang duduk santai di belakang dengan kaki tersilang, tampak tak punya kesibukan lain. 

Lupus, yang berkata ingin berkonsentrasi pada proses pendaratan, telah lebih dulu kembali ke dalam kabin. Artinya, kini Tsushima hanya berdua saja di ruang kemudi yang sempit itu bersama pria ini. 

“Tenang saja. Tak ada bayangan musuh di sekitar.” 

Menyadari pandangan Tsushima, Aiman berkata sambil memandangi laut malam. Tapi Tsushima hanya tertawa kecil melalui hidung, seolah ingin mengatakan bahwa itu bukan alasan dia menoleh. 

“Kalau ada musuh terlihat, aku juga tahu. Duduk diam saja di situ.” 

“Itu sudah pasti. Teknik pengintaian di laut, aku yang ajarkan dulu padamu. Akan jadi masalah kalau kamu melupakannya.” 

“Itu cerita yang sudah usang.” 

“Haha. Tapi bagiku, rasanya seperti baru kemarin.” 

Aiman berkata demikian sambil menyipitkan mata. 

Sambil terus menatap laut yang luas dan gelap, menyatu dengan malam, dia tiba-tiba membuka mulut. 

“Setiap kali melihat laut malam, aku selalu teringat. Hari pecahnya Perang Kemerdekaan.” 

“...”

Tsushima terus memegang kemudi tanpa menjawab sepatah kata pun. 

Namun, meski tak berkata apa-apa, rasanya mereka berdua tahu persis apa yang sedang diingat oleh yang lain. Mungkin potongan-potongan memori itu terhubung langsung ke hari itu. 

Saat Tsushima ikut menatap lautan hitam kelam itu, kenangan lama pun perlahan-lahan terasa kembali muncul ke permukaan.



Malam sebelum pecahnya Perang Kemerdekaan. 

Pada malam itu juga, di atas samudra luas yang tak berawan sedikit pun, mereka berkumpul. Para Informan yang kelak dijuluki Tujuh Pahlawan Kemerdekaan, para pahlawan agung yang layak menyandang nama itu, namun gugur sebelum waktunya. Di atas dek kapal patroli besar tempat mereka berkumpul, Tsushima duduk menyendiri di ujung dek, mengisap rokoknya. 

Di bawah kakinya, terbentang kegelapan yang seolah bisa menelan segalanya tanpa dasar. Pemandangan yang begitu menggoda untuk membuatnya berpikir bahwa akan jauh lebih mudah jika dia jatuh begitu saja. Ketika dia menatap bayangan gelap itu, suara langkah kaki perlahan mendekat. 

“Masih juga merokok sendirian tanpa bicara dengan siapa pun?” 

Hanya dari suara itu, Tsushima langsung tahu siapa yang datang. 

Dia pun langsung menunjukkan wajah yang jelas-jelas tidak senang. 

Sambil tetap menggigit rokok di mulutnya, dia menatap ke atas dan melihat Aiman berdiri di sana. 

“Sang Informan tingkat tiga belas di dunia, ya? Ada urusan apa denganku?” 

“Merokok di bawah umur itu melanggar hukum. Kupikir sudah waktunya kamu mulai memikirkan masa depan dan berhenti.” 

Aiman berkata dengan nada seolah sedang menegur, sambil mengangkat telunjuknya. 

Tsushima tahu itu hanya lelucon. Tapi tetap saja, bagi remaja yang sedang penuh gejolak sepertinya, itu hanya terasa menjengkelkan. 

Tsushima menatap tajam penuh permusuhan. 

“Cerewet banget. Kakek-kakek sebaiknya ngobrol aja sama sesama kakek.” 

“Hmm. Padahal aku tidak setua itu, menurutku. Apa aku terlihat sepenuhnya seperti kakek-kakek?” 

“Selain terlihat tua, aku nggak bisa kasih nilai lainnya.” 

Mendengar cercaan tanpa tedeng aling-aling itu, Aiman hanya tersenyum pahit. 

Memang, seperti yang dikatakan Tsushima, penampilan Aiman tidak bisa dibilang muda. Dengan topi bulat bergaya hunting dan mantel trench coat klasik, penampilannya memberi kesan tenang dan berwibawa, tapi juga sangat jauh dari kesan anak muda. 

Aiman melihat ke bawah, ke arah bajunya sendiri, lalu mengangkat bahu ringan. 

“Kalau begitu, setelah perang ini selesai, mungkin aku akan mencoba pakai pakaian yang lebih pantas. Misalnya...”

Sambil menyilangkan tangan dan berpikir sejenak, dia melemparkan tatapan seolah menyimpan maksud tertentu ke arah Tsushima. Yang ditatap hanya mendesah panjang, menunjukkan betapa menjengkelkannya Aiman. 

“Pakai aja baju yang biasanya dipakai orang kaya. Misalnya setelan tiga potong yang lengkap, gitu.” 

“Ho. Kamu punya selera yang cukup bagus. Baiklah, setelah perang, aku akan mengenakannya.” 

Entah Aiman benar-benar puas dengan jawaban itu atau tidak, tak ada yang tahu. Dia memang tipe orang yang tak mudah menunjukkan isi hati atau perasaannya. 

Karena itulah, bukan hanya karena kekuatannya, tapi juga karena keteguhan hatinya, dia menjadi tokoh paling berwibawa di antara para Informan yang berkumpul di sini. Dia telah menjadi pilar mental bagi para pejuang di garis depan. 

Tapi kenapa orang sepertinya mau repot-repot mengurus bocah sepertinya? 

Tsushima merasa heran. 

“Bukankah kamu juga nggak punya waktu buat ngurus bocah sepertiku? Bukannya besok kalian mau menyerbu Dinasti Elbar?” 

“Justru karena itu.” 

Aiman menjawab dengan nada khasnya yang penuh pertimbangan. 

“Aku sudah mengamatimu sejak Pertempuran Perebutan Jabal. Saat kamu kehilangan pegangan, terjerumus dalam keputusasaan, dan mencari tempat untuk mati, aku tak bisa membiarkanmu begitu saja.” 

“Terus kenapa? Biarkan saja aku mati di tempat yang aku pilih.” 

“Aku tak bisa membiarkannya. Bakat itu tidak bisa dibuang begitu saja. Terlebih, mengingat masa depan dunia.” 

Sambil menikmati hembusan angin laut, Aiman mengelus pinggiran topi bulatnya dengan ujung jari. 

Masa depan dunia. Tsushima, yang tak pernah memikirkan hal semacam itu, benar-benar tak mengerti apa maksud ucapan Aiman. 

Namun, tatapan Aiman yang tertuju ke balik cakrawala seakan benar-benar melihat sesuatu. 

Begitulah perasaannya. 

Tsushima, yang menatap profil wajah Aiman dari samping, tiba-tiba merasa konyol dan tertawa kecil sambil mengembuskan asap rokok. 

“Ada banyak orang yang lebih berbakat daripada aku.” 

“Tapi tak banyak pemuda yang selamat dari Jabal dan tetap berani menghadapi pertempuran berikutnya.” 

“Itu bukan soal bakat. Di Jabal, banyak yang mati. Itu yang kumaksud.” 

“Bertahan hidup juga sebuah bakat. Kamu bukan hanya selamat dari Jabal, tapi juga dari banyak medan perang lainnya. Anak nakal biasa takkan bisa begitu.” 

Entah sedang dipuji atau direndahkan, Tsushima menggigit filter rokoknya dengan kesal dan menatap ujung samudra. 

Mereka berdua terdiam beberapa saat. 

Perang kemerdekaan ini adalah perjuangan untuk merebut kembali semua yang hilang dalam perebutan Jabal. 

Bagi sebagian orang, itu adalah kehormatan. Bagi yang lain, bisa menjadi jabatan, ada juga yang mencari kebebasan. Dan ada pula yang, seperti Tsushima, ikut serta hanya demi melampiaskan dendam. 

Apakah kumpulan orang-orang seperti ini bisa bertahan hidup demi hari esok? Apakah akhir dari perang ini benar-benar ada? 

Tsushima melemparkan rokok yang telah pendek ke laut. 

“Aiman. Kamu benar-benar percaya kalau kita bisa menang dalam perang ini?” 

Pertanyaan yang datang tiba-tiba itu berbeda dari yang sebelumnya. Aiman tampaknya langsung menyadarinya. 

Setelah jeda sejenak, dia menjawab dengan suara rendah. 

“Aku percaya. Kalau tidak, tak mungkin aku bertahan dari neraka Jabal sampai hari ini bersama si tolol itu.” 

Ayman dengan sengaja menekankan kata “si tolol” sambil menoleh ke arah tengah dek. 

Di sana, seorang pria berdiri di atas kotak apel dan menyampaikan pidato dengan penuh semangat. Dia masih muda, mengenakan kemeja kusam dan suspender. Wajahnya berganti-ganti, kadang serius, kadang tersenyum dengan guyonan ringan. Dia seperti seorang aktor panggung sejati. 

Melihatnya, Tsushima mendengus sinis. 

“Tachibana, ya. Dia selalu bersemangat. Bahkan setelah Jabal, cuma dia yang bisa tersenyum. Padahal banyak yang mati. Sungguh menyebalkan.” 

Di mata Tsushima, berkobar kegelapan yang keruh, menatap tajam ke arah Tachibana. 

Tentu saja, Tachibana tak menyadari tatapan itu. Dikelilingi para sahabatnya, berdiri di atas panggung dengan sorotan cahaya, dia pasti tak melihat bayang-bayang kegelapan yang bergelora di sudut dek. 

Aiman duduk di samping Tsushima. 

“Ya, Tachibana memang licik. Tapi tanpanya, sebagian besar Informan di sini pasti sudah mati tanpa pernah berkumpul seperti ini. Itu juga fakta.” 

“Aku nggak bilang dia nggak berbakat. Tapi semua orang tertipu oleh topengnya. Itu yang bikin aku muak.” 

Para Informan yang mengelilingi Tachibana tampak benar-benar terbuai oleh kata-katanya. Penampilan seseorang yang fasih berbicara tentang keadilan selalu terlihat menawan. 

Namun, berapa banyak di antara mereka yang datang ke sini dengan kehendak sendiri? Mungkin hanya segelintir yang masih memiliki kemampuan berpikir jernih. 

Seperti mereka yang duduk di sudut dek menatap laut, atau yang memandang pidato Tachibana dari kejauhan dengan ekspresi sinis. 

Aiman mengikuti arah pandangan Tsushima, lalu mengangkat bahu dengan napas panjang. 

“Barangkali, lebih nyaman jika membiarkan diri sendiri tertipu. Menumpang pada cita-cita orang lain tanpa berpikir. Selama ini, sistem masyarakat memang selalu memanfaatkan para Informan seperti itu. Ironisnya, Tachibana justru menggunakan sistem itu untuk memberi kebebasan pada para Informan.” 

“Kalau kamu tahu sejauh itu, kenapa masih mau ikut dia?” 

“Karena meskipun motif dan prosesnya bengkok, tujuannya tetap sama.” 

“Tujuan?” 

Tsushima menoleh pada Aiman yang duduk di sampingnya, dan melihat pria itu tersenyum malu. 

“Ini rahasia di antara kita.” 

Setelah berkata demikian, Aiman menutup mulutnya dengan tangan. 

“Aku hanya ingin melihat dunia yang damai dengan mata kepala sendiri.” 

“Hah?” 

Tsushima tanpa sadar membuka mulutnya lebar-lebar, mengeluarkan suara heran. 

Kata-kata tentang dunia damai, bahkan anak-anak pun mungkin tak akan mengatakannya di zaman ini. 

Di masa sekarang, ketika negara-negara terus bersaing memperluas wilayah dengan peperangan. Di mana kemenangan adalah kebenaran, dan kedamaian hanyalah mimpi di atas mimpi. Sebuah omong kosong yang bahkan anjing pun enggan meliriknya. 

Dan kini, seorang pria dewasa mengucapkannya dengan tenang.

Tsushima tak menemukan kata-kata untuk membalasnya. 

“Sejak lahir, aku hanya berpindah dari satu peperangan ke peperangan lainnya. Dan tanpa kusadari, aku telah sampai di puncak para Informan. Kekuatan yang lebih dari ini tidak akan membawa kebaikan bagi dunia. Maka dari itu, mengincar dunia yang tak memerlukan kekuatan bukanlah hal yang aneh, bukan begitu?” 

“A-Aku tak mengerti. Menurutku itu salah.” 

Karena Aiman mengucapkan impiannya dengan keseriusan yang nyaris berlebihan, Tsushima hanya bisa menjawab dengan terbata-bata. 

Tsushima, yang menginginkan kekuatan di atas segalanya demi melawan dunia yang telah merampas segalanya darinya. Dan Aiman, yang setelah terus melawan takdir, kini memiliki kekuatan sedemikian besar hingga sanggup menantang dunia. 

Begitu jauhnya pemandangan yang dilihat oleh dua orang ini. 

Tsushima mencoba membayangkan dunia yang dilihat oleh Aiman, namun dia belum bisa memahaminya. 

Seperti apa dunia yang dilihat oleh pria yang duduk di sampingnya ini? Masa depan seperti apa yang dia harapkan? Tsushima merasa, entah mengapa, rasa ingin tahunya mulai tumbuh. 

“Kalau begitu, ini hanya misalnya saja. Kalau dunia tak lagi butuh kekuatan lalu bagaimana nasib kita, para Informan?” 

Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Tsushima, jujur mengikuti rasa ingin tahunya. Aiman memandangnya dengan wajah yang tampak sedikit terkejut. Di wajahnya tergambar ekspresi yang tidak jelas apakah itu lega atau bahagia, lalu dia menyilangkan tangan. 

“Benar juga. Tentunya kita akan berperan demi tujuan yang damai, bukan untuk membunuh.” 

“Bukan untuk membunuh?” 

“Ya.” 

Sejak kehadiran para Informan di dunia ini, hampir tidak ada pencapaian besar selain dalam hal pembunuhan. Para Informan, yang namanya terus tercatat dalam sejarah sebagai senjata manusia, bisakah mereka benar-benar berkontribusi untuk dunia tanpa membunuh? 

Sambil mendesah dalam, Tsushima menggigit sebatang rokok baru, seolah menyingkirkan segala pikiran dari kepalanya. 

“Tapi bukankah itu bertentangan? Kalau seperti yang kamu bilang, bukankah kita harus membunuh banyak orang demi mencapai kedamaian? Apa dunia bisa benar-benar damai dengan cara seperti itu?” 

“Hm. Justru karena itulah kita, para Informan, dibutuhkan.” 

“Ha? Maksudmu apa?” 

Tsushima menyalakan korek minyaknya. Setelah menghembuskan asap pertama, Aiman pun menjawab dengan suara lembut. 

“Kami akan menjadi generasi terakhir yang menanggung semua kebencian dunia. Dan kemudian kita akan menghubungkan dunia bersama.” 

Aiman berkata demikian, lalu perlahan mengarahkan telunjuknya ke Tsushima. 

“Kepada kalian, generasi berikutnya.” 

Tsushima, yang menjadi sasaran telunjuk itu, mengernyit dengan ekspresi yang sangat mudah dibaca. 

“Kami? Itu nggak masuk akal. Aku ada di pihak kalian. Di pihak yang akan membakar semuanya habis dengan dendam dan kebencian. Fakta bahwa aku berada di sini, bukankah itu sudah cukup membuktikannya?” 

“Haha. Benarkah begitu? Justru karena kamu tahu seberapa kotornya saling bunuh itu, ada hal yang baru bisa kamu lihat. Kamu masih muda. Pikirkan baik-baik setelah perang ini berakhir.” 

Aiman menyelipkan tawa ringan di sela ucapannya, lalu menatap ke langit. 

Di matanya terpantul warna yang entah mengapa mirip dengan kesedihan yang tabah. Tsushima, yang masih muda, belum tahu bahwa ada dunia yang hanya bisa dilihat melalui mata seperti itu. 

Namun, suatu hari nanti, akan tiba saatnya dia berdiri di samping Aiman. 

Dia tak punya bukti apa pun untuk itu, tapi entah mengapa dia percaya begitu.


* * *


Perahu kecil itu perlahan mendarat di pantai yang berjarak belasan kilometer dari ibu kota kekaisaran, Balga, setelah menyeberangi Laut Tengah di malam hari. Dasar perahu menyeret dangkalnya air, menancap ke dalam pasir dan menetap di sana, menandakan berakhirnya peran sang perahu. Sebab, tidak ada lagi jalan untuk kembali dari titik ini. 

Dari dalam perahu, Tsushima memandang sekitar dan memanggil Lupus. 

“Aman. Kita turun.” 

“Ya.” 

Melompat turun ke pantai yang disapu ombak, mereka berdua akhirnya menginjak tanah Balga. Namun, tak ada sedikit pun rasa haru menyentuh hati mereka. Dengan langkah ringan, Lupus melangkah di pasir pantai, lalu meregangkan tubuhnya lebar-lebar. 

“Sudah cukup. Aku kapok naik kapal. Rasanya nggak nyaman sama sekali.” 

“Padahal kamu sempat bilang ingin naik kapal, bukan?” 

“Itu cuma karena aku ingin mencobanya sebagai pengalaman. Bukan karena aku suka naik kapal.” 

“...Begitu, ya.” 

Sambil melirik Lupus yang berbicara dengan penuh semangat, Tsushima merogoh sakunya. Gerakan yang telah menjadi kebiasaan itu terhenti ketika dia menyadari sakunya kosong. 

“Aku lupa bawa.” 

Rasa tak nyaman semakin menggelayuti Tsushima, membuatnya meringis. Aiman yang berjalan mendekat dari samping tampak terkejut. 

“Apa kamu berhenti merokok?” 

“Tidak. Cuma untuk sementara.” 

“Kalau begitu, sebaiknya kamu sekalian berhenti saja. Mungkin tuanmu juga mengharapkan hal yang sama?” 

Dengan nada seolah membujuk, Aiman melirik ke arah Lupus. Seakan mendapatkan sekutu, Lupus mengangkat dada dan menunjuk ke arah Tsushima. 

“Bagus! Kita putuskan saja. Mulai hari ini, Tsushima berhenti merokok untuk selamanya.” 

“Jangan bercanda.” 

“Aku tidak bercanda. Lagipula, aneh saja seorang Informan masih merokok. Itu malah jadi penghambat waktu mengeksekusi kode. Aku baca di penelitian Tsukumo Heavy Industries kalau rata-rata performa eksekusi kode dari perokok menurun lebih dari enam puluh persen...”

Lupus mulai berbicara dengan lancar, seolah tak ingin melewatkan kesempatan. Mengalihkan pandangan dari Lupus, Tsushima malah melotot ke arah Aiman. 

“Aiman, jangan ajari dia hal-hal yang tidak perlu.” 

“Aku tidak mengajarinya apa-apa, loh?” 

“Kalau begitu, darimana dia dapat data penelitian dari Tsukumo Heavy Industries?” 

“Mungkin dia mencari tahu sendiri. Tapi ya, memang aku yang mengajarkan cara mencari berbagai informasi penelitian.” 

Mendengar jawaban itu, Tsushima mendesah sambil menatap langit. 

“Haha. Yah, kalau memang bisa berhenti, lebih baik berhenti saja. Manfaatkan momen ini untuk berubah.” 

Melihat Tsushima yang tak menyembunyikan kekesalan, Aiman hanya tertawa ringan sambil menyilangkan tangan. 

“Lalu, apa rencanamu sekarang? Boleh kutahu?” 

Mendengar pertanyaan itu, Tsushima dan Lupus menatap ke arah sepanjang pantai. 

Lampu jalan yang redup memanjang mengikuti garis pantai laut hitam legam. Cahaya samar yang menyala di ujung langit malam, di sanalah Ibu Kota Kekaisaran Balga seharusnya berada. 

Lupus menatap ke arah yang diperkirakan sebagai tempat berdirinya Istana Taring Kekaisaran, walau belum terlihat. 

“Rencananya, kami akan mencari mobil di sekitar sini, lalu menuju ke kediaman kekaisaran. Tapi, karena ternyata kita punya bala bantuan tak terduga, mungkin kita bisa sedikit bersantai, bukan?” 

Secara tidak langsung, dia meminta bantuan dari Aiman. Jika Aiman mau, mereka bisa langsung dipindahkan ke tujuan dalam sekejap lewat kemampuan perpindahan ruangnya. Bahkan ke sisi planet sekalipun. 

Namun Aiman menggeleng pelan mendengar perkataan Lupus. 

“Maaf, tapi akan lebih bijak untuk tidak menggunakan kemampuanku sembarangan di dalam wilayah kekaisaran ini.” 

“Kenapa?” 

“Mungkin kamu sudah lupa, tapi negara ini juga punya satu Informan yang sangat merepotkan. Informan tingkat tiga belas lainnya yang menjadi kekuatan terkuat di dunia.” 

“Kalau kamu mengeksekusi kode, keberadaan kita langsung ketahuan. Begitu maksudmu?” 

“Senang mendengar kamu cepat paham.” 

Lupus menarik napas dalam sambil mengernyitkan dahi. 

Amanomikami. Informan paling kuat di Kekaisaran Balga. Dari antara Enam Pedang Kekaisaran, dialah satu-satunya yang berfungsi sebagai senjata strategis. Jarang terlihat di medan publik, namun jika Aiman yang juga menyandang gelar terkuat mencoba bergerak, tak diragukan lagi Amanomikami pun akan segera turun tangan. 

“Tapi, kalau tujuannya membunuh sang kaisar, cepat atau lambat kami tetap harus berhadapan dengannya. Dia kan kesatria kaisar.” 

Lupus menyentuh dagunya, sementara di sampingnya Tsushima mengangguk serius. 

“Benar. Tapi kita tak perlu membunuhnya. Target kita tetap hanya sang kaisar. Kalau pun harus bertarung, sebaiknya saat benar-benar genting. Hanya sekadar mengulur waktu sedikit. Artinya...”

Sambil menjelaskan secara rinci situasi mereka, Tsushima melirik ke arah Aiman. Menyadari nada sarkasme di mata Tsushima, Aiman mengangkat bahu. 

“Kamu ingin mengatakan kalau untuk sementara aku tidak berguna, begitu?” 

“Ya. Saat ini, kamu hanya membawa nama terkuat di dunia tanpa ada kontribusi nyata.” 

Dengan ekspresi puas seolah membalas ucapan sebelumnya, Tsushima menyeringai. Aiman hanya mengangkat tangan seolah menyerah. 

“Haha. Tak masalah bagiku. Aku akan mengikuti rencana kalian. Sudah lama aku tidak naik mobil. Sesekali mengalami kesulitan semacam itu juga tidak buruk, bukan?” 

Ucapannya, yang terdengar seperti kalimat dari orang super kaya, membuat Tsushima dan Lupus saling berpandangan. Sementara si empunya kalimat tampak tak sadar dengan implikasi kata-katanya, hanya memiringkan kepala sedikit kebingungan. 

“...Iri juga sih dengarnya. Andai Tsushima bisa menggunakan kode yang lebih praktis.” 

Mendengar sindiran kejam itu, Tsushima menyipitkan mata dengan kesal. 

“Suatu manfaat baru disadari setelah kehilangannya. Kuharap kamu sadar, sebenarnya aku ini cukup praktis dibanding yang kamu kira.” 

“Oh, begitu. Kalau begitu, ayo cepat nyalakan mobil dan antar kami. Aku tidak punya SIM.” 

Dengan nada santai yang tak sesuai dengan situasi mereka, Lupus seakan mencoba menikmati waktu singkat yang tersisa sebelum segalanya berubah. 

Menatap jam tangannya, dia mulai berjalan menyusuri pantai. 

Saat dia menoleh sambil menggoyangkan ujung rok, cahaya bulan menerangi sosoknya, dan dia tersenyum dengan anggun. 

“Ayo kita pergi. Neraka yang akan kita masuki baru saja dimulai dari sini.” 

Apakah dia benar-benar memahami arti neraka? Saking tenangnya wajah Lupus, Tsushima sampai merasa ragu. 

Dia menghela napas, lalu mengangguk, dan melangkah menuju Lupus. 

Dan pada saat itulah. 

Sosok Lupus yang berdiri di depan Tsushima, mendadak menghilang tanpa jejak. Bahkan lebih cepat dari satu kedipan mata, secepat perpindahan ruang Aiman, kejadian itu berlangsung hanya sekejap. 

“...!”

Tsushima terdiam, napasnya tercekat oleh betapa tiba-tiba peristiwa itu terjadi. 

Dia sempat curiga Aiman mengeksekusi kode, namun raut wajah Aiman menunjukkan keterkejutan yang sama dengan miliknya. 

Lebih dari itu, wajah Aiman mengandung sesuatu yang Tsushima tak punya, semacam firasat dan pemahaman mendalam. 

Cahaya biru dari partikel informasi melayang di ruang kosong tempat Lupus berdiri tadi, mengalir melewati mereka dan menuju ke laut. 

Tsushima pun membalikkan badan, mengikuti ke mana cahaya itu pergi.

 

Laut Tengah yang memisahkan Kekaisaran Balga dan Kota Merdeka Elbar. Di atas permukaan air yang legam bagai pernis hitam, bulan yang tinggi menjulang di langit terpantul dengan jelas. Cahaya partikel informasi bergetar lembut di atas laut yang tenang, seolah-olah menjadi cermin. 

Di sana, berdirilah seorang wanita. 

Mengenakan pakaian tradisional yang indah, dengan hiasan rambut yang berkilauan. Setiap kali geta hitamnya menghentak, topeng menyerupai boneka yang menutupi sebagian besar wajahnya tampak bersinar diterpa cahaya bulan. Di sekeliling tubuhnya yang ramping, kotak-kotak kecil berputar membentuk lengkungan, seperti sekumpulan kupu-kupu yang ia kendalikan dengan anggun. 

“Amanomikami, ya.” 

Aiman melontarkan kata itu seakan semua tenaga terlepas dari tubuhnya. 

“Aiman. Betapa senangnya aku, karena guru sendiri yang datang menemuiku.” 

Di malam pemberontakan. 

Dengan suara yang indah bak dentingan lonceng yang bergulir, Amanomikami menyampaikan kalimat itu, seolah-olah tengah menyambut tamu di tengah peristiwa besar yang akan mengguncang dunia.


Post a Comment

Post a Comment

close