Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Epilog
“Lalu? Bagaimana kondisi Ayah setelahnya?”
Setelah pertempuran di wilayah selatan, aku kembali ke kediaman Duke Reinfeld. Kemungkinan besar, karena kejadian kali ini, Duke dan Kakak akan segera dipanggil ke ibu kota kekaisaran. Aku juga berniat kembali ke ibu kota bersamaan dengan mereka. Namun, karena mengkhawatirkan kondisi Ayah, aku diam-diam kembali lebih dulu seperti ini.
“Ya. Kondisi beliau membaik dengan stabil. Meski begitu, saat beliau bilang kepada Nyonya Mitsuba bahwa dirinya sudah baik-baik saja, beliau tetap dimarahi dan dibilang belum boleh.”
“Itu memang sangat seperti Ayah, dan sangat seperti Ibu. Selama belum ada izin dari tabib istana, Ibu tidak akan membiarkan Ayah kembali bekerja. Tapi kurasa, ini adalah waktu istirahat yang baik untuknya.”
“Aku mendengar bahwa bagi Yang Mulia Kaisar... Asap ungu adalah semacam lambang kesialan. Saat Putra Mahkota wafat pun, asap itu membubung. Mungkin karena itulah beliau merasa Tuan Leo akan tewas kali ini. Aku bersyukur semuanya hanya sampai membuat beliau jatuh sakit.”
“Ya, itu memang pertanda keadaan darurat. Biasanya pertanda bencana atau hal buruk. Tapi, bagi Ayah, kakak tertua kami yang merupakan Putra Mahkota adalah sosok yang istimewa. Dia adalah gambaran ideal yang dimiliki setiap orang. Andai masih hidup, dia pasti menjadi kaisar yang langka dalam sejarah kekaisaran, naik takhta tanpa harus melalui perebutan kekuasaan.
“Tentu saja, Ayah sangat menaruh harapan padanya. Putra sulung yang tumbuh jauh melebihi harapan, putra kesayangan yang selalu dibanggakan. Berkat dirinya, perebutan takhta tidak pernah terjadi. Karena ayah adalah orang yang sangat penyayang pada anak-anaknya, dia pasti menyambut baik fakta bahwa tak ada perebutan kekuasaan.
“Namun, semuanya runtuh setelah kematian kakak tertua.”
Ayah kehilangan anak lelaki ideal yang seharusnya mewarisi takhtanya. Karena itu, perebutan takhta di antara anak-anak pun dimulai. Hari-hari yang dia percayai sebagai masa depan yang bahagia tanpa keraguan, hancur pada hari saat asap ungu itu terlihat.
Dan penderitaan itu bukan hanya itu saja. Naiknya Putra Mahkota ke takhta hanya tinggal menunggu waktu. Proses pelimpahan kekuasaan pun sudah dimulai. Para tangan kanan sang Putra Mahkota telah dipercayakan berbagai tugas sebagai pewaris kekaisaran selanjutnya. Namun, karena keputusasaan atas kematian sang Putra Mahkota, banyak dari mereka yang sangat berbakat meninggalkan ibu kota.
Tentu saja, ayah berusaha menahan mereka. Namun, orang yang kehilangan semangat, tak peduli seberapa berbakatnya, tak akan bisa digunakan. Begitu besar arti keberadaan Putra Mahkota bagi mereka. Karena mereka pergi, ayah dipaksa untuk membangun kembali kekaisaran. Mengambil kembali pengaruh yang perlahan mulai dia lepaskan membutuhkan tenaga yang luar biasa. Padahal dia sendiri pasti sangat terpukul, namun diatetap melakukannya.
Begitulah cara ayah menenggelamkan dirinya dalam urusan pemerintahan. Untuk melupakan kematian sang Putra Mahkota. Tidak ada satu pun yang bisa membuatnya beristirahat.Karena itu, sekarang justru menjadi kesempatan yang baik. Kalau sampai tubuhnya rusak, itu tak bisa dibiarkan.
“Mungkin... Putra Mahkota adalah harapan bagi Yang Mulia Kaisar...”
“Benar. Harapan, matahari, mimpi, cita-cita, aku bisa terus menyebutkan perumpamaan. Itu semua adalah hal yang memberikan berkah kepada manusia, dan kekuatan untuk melangkah maju. Semakin besar hal itu, semakin besar pula ketergantungan yang muncul. Dan saat itu hilang, keputusasaan yang mengikuti sulit terbayangkan.”
“Entah mengapa, aku merasa Anda sedang membicarakan tentang Tuan Leo.”
“Memang. Leo sangat mirip dengan kakak sulung. Kelak, dia pasti akan menjadi seperti orang itu. Meski saat ini belum mencapai tingkat yang sama, jika Leo sampai mati... Mungkin hal serupa akan terjadi lagi. Tapi aku tidak akan membiarkannya.”
Meskipun akulah yang mati. Aku tak mengucapkannya, tapi memang dengan niat seperti itu aku bertindak. Hal seperti yang terjadi setelah kematian Putra Mahkota, tidak boleh terjadi lagi.
Namun, seolah bisa membaca isi hatiku, Fine berkata, “Kalau... Kalau Tuan Al sampai meninggal, aku pasti akan jatuh dalam keputusasaan.”
“...Kamu bisa tahu, ya?”
“Aku adalah penyambung perasaan Anda. Anda kadang-kadang bertindak dengan menempatkan dirinya sendiri sebagai prioritas kedua. Aku ingin Anda lebih menjaga diri Anda sendiri.”
“Akan kuusahakan. Tapi, kalau aku mati... Tak akan banyak yang terpengaruh. Kalau harus memilih antara Leo dan aku, maka jawabannya sudah jelas.”
“Tidak benar. Mungkin benar bahwa kematian Anda tidak akan memengaruhi banyak orang. Namun, orang-orang di sekitar Anda akan sangat terpengaruh. Baik diriku maupun Tuan Leo... Kami tidak akan sanggup bangkit lagi.”
“Karena kamu tahu bahwa aku adalah Silver, kamu jadi menilainya terlalu tinggi.”
“Itu tidak ada hubungannya. Bahkan jika Anda bukan Silver, dampak yang Anda berikan kepada orang-orang di sekitar tidak akan berubah. Jika Tuan Leo adalah matahari, maka Anda adalah bulan. Dibandingkan matahari, mungkin bulan tidak terlalu mencolok. Mungkin ada yang berkata bahwa bulan tidak perlu ada.
“Namun bagi mereka yang melangkah di dalam malam, bulan adalah satu-satunya harapan. Kegelapan malam terasa lebih ringan dengan kehadiran bulan. Dan matahari pun hanya bisa beristirahat karena bulan ada. Bersinar terang di pagi hari karena malam telah dilewati dengan cahaya bulan. Tuan Leo tak akan bisa bersinar tanpa kehadiran Anda.”
Nada bicara Fine begitu tenang. Namun saat mendengarkannya, aku jadi merasa tak nyaman, seperti sedang ditegur oleh orang tua. Membantahnya memang mudah. Aku bisa saja memberikan banyak alasan mengapa keberadaanku tak sepenting itu. Namun, tatapan mata Fine yang jernih dan lurus seolah tidak mengizinkan kebohongan.
Aku mengangkat bahu dan tertawa kecil, tampaknya aku harus mengakui kekalahan.
“Haa... Baiklah. Kalau kamu sampai berkata sejauh itu, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Mulai sekarang, aku akan memikirkan diri sendiri juga. Tidak akan berpikir soal mati, kecuali benar-benar terdesak. Apakah itu cukup?”
“Ya. Karena aku yakin... Anda tidak akan sampai ke titik di mana Anda terdesak. Itu sudah cukup.”
Setelah berkata demikian, Fine menunjukkan senyum cerah yang memenuhi wajahnya.
Sebenarnya aku cukup sering berada dalam situasi terdesak... Tapi saat senyuman seperti itu mengarah padaku, rasanya lidahku kelu. Aku harus menjaga diriku agar tak sampai membuat Fine khawatir.
Dengan pikiran itu, aku menghabiskan teh yang Fine sediakan untukku dan bangkit dari kursiku.
“Yah, sudah saatnya kembali.”
“Ya. Aku akan menunggumu pulang.”
Aku mengangguk mendengarnya, kemudian membuka gerbang teleportasi, dan meninggalkan tempat itu.
* * *
Salah satu ruangan di dalam Istana Harem. Di kamar Selir Kelima, Zuzan, Zandra sedang berada di sana.
“Ini gawat! Gawat sekali! Benar-benar gawat, Ibu!”
“Tenanglah. Ada masalah di selatan, dan Leonard yang menyelesaikannya. Hanya itu.”
“Bagaimana Ibu bisa tetap setenang itu!? Jika Paman dimintai pertanggungjawaban dan Ayah benar-benar mulai menyelidikinya secara mendalam, keterlibatan organisasi juga akan terbongkar! Kalau itu terjadi, aku akan disingkirkan dari perebutan takhta! Hanya karena memiliki darah keluarga Kruger!”
Nada suara Zandra yang menyudutkan, dibalas Zuzan dengan senyum lembut. Dia tidak menegur putrinya yang masih muda dan belum mampu mengendalikan emosinya. Kenyataannya, memang benar bahwa keluarga Kruger telah menjadi beban bagi langkah Zandra.Sungguh tak masuk akal bahwa keluarga yang seharusnya mendukung justru menjadi penghalang. Zuzan sendiri pun merasa jengkel dengan kelalaian keluarganya.
Namun, yang sudah terjadi tak bisa diubah, begitulah cara Zuzan memandangnya. Itulah perbedaan antara Zuzan dan Zandra.
“Zandra. Apa tujuanmu?”
“Itu sudah jelas! Takhta kekaisaran!”
“Benar. Tapi untuk mencapainya, yang kamu butuhkan bukanlah kekuasaan. Melainkan, kutukan pamungkas yang telah punah.”
“Tapi kita nyaris tak menemukan petunjuk! Bahkan setelah menyelidiki berbagai dokumen yang memuatnya, satu-satunya hal yang disebutkan hanyalah bahwa itu terkait dengan sihir bawaan!”
“Itu adalah seni rahasia dari zaman kuno. Tidak akan semudah itu ditemukan. Tapi, bagaimana kalau kamu menyelidiki hal lain yang juga hanya muncul dalam dokumen?”
“Sesuatu dalam dokumen? Maksud Ibu?”
“Xiaomei.”
Saat Zuzan menyebut nama itu, seorang wanita berambut keriting keluar dari barisan para pelayan. Gerak-geriknya tak menimbulkan suara sedikit pun, dan keberadaannya nyaris tak terasa, ciri khas para pembunuh kelas atas.
Namanya Xiaomei. Dia adalah pelayan Zuzan sekaligus seorang pembunuh. Bahkan di antara para pembunuh yang dimiliki Zandra, tak ada yang melebihi kemampuan Xiaomei.
Dialah mata dan telinga Zuzan, mengawasi situasi di dalam Istana Harem maupun ibu kota kekaisaran, di balik layar. Bisa dikatakan, dia adalah kartu truf yang dimiliki Zuzan.
“Apa maksudnya? Kamu yang akan menjelaskan, Xiaomei?”
“Ya, Nona Zandra. Sebenarnya, ada seorang pelayan yang mendengar sesuatu. Dia berkata bahwa beberapa hari sebelum Yang Mulia jatuh sakit, Putri Christa sudah lebih dahulu panik dan berkata bahwa Yang Mulia akan tumbang.”
“Apa kamu bilang...?”
“Karena penasaran, saya menyelidikinya. Salah satu mantan pelayan yang telah meninggalkan istana pun mengatakan hal serupa. Saat Putra Mahkota wafat tiga tahun lalu, Putri Christa juga lebih dulu menunjukkan kepanikan.”
“Jadi Christa... Memiliki sihir bawaan berupa ramalan masa depan?”
“Semua pelayan yang dulu berada di sisi Putri Christa telah meninggalkan istana karena alasan pribadi masing-masing. Mereka semua mengaku terjadi sesuatu pada keluarga mereka, dan memilih pergi sendiri. Namun, menjadi pelayan di istana bukanlah hal yang mudah dicapai. Sangat aneh jika kejadian-kejadian yang memaksa mereka mundur terjadi beruntun. Apalagi semua itu menimpa pelayan yang berada di sekitar Putri Christa. Saya mencium aroma manipulasi di baliknya.”
“Jadi... Mitsuba menjauhkan para pelayan itu demi melindungi rahasia putrinya?”
“Kemungkinan besar demikian. Jika sampai segitunya, berarti itu sungguh nyata.”
Zuzan mengangguk dalam-dalam mendengar penjelasan Xiaomei. Lalu dia menatap Zandra dengan tatapan seorang ibu yang menyayangi anaknya. Namun dengan tatapan itulah Zuzan menyampaikan perkataan yang tajam kepada putrinya.
“Sihir bawaan memang sangat berharga. Tapi, jika itu ramalan masa depan, maka sudah masuk tingkat keajaiban yang hanya muncul dalam dongeng. Tapi hal itu tidak mustahil. Keluarga Ardler telah terus mewariskan darah terbaik dari berbagai keturunan. Mereka memiliki darah paling unggul di seluruh benua. Christa adalah puncak dari pewarisan itu. Bagaimana menurutmu, Zandra?”
“Benar juga... Kalau begitu, mungkin saja. Kalau dia memang pemilik sihir bawaan sekuat itu, hanya darahnya saja pun sudah sangat berharga!”
Zandra mulai berjalan mondar-mandir dengan penuh semangat, bergumam sendiri. Tak ada sedikit pun rasa sayang kepada adiknya dalam sikapnya itu.
“Xiaomei. Aku ingin Christa sebagai subjek percobaan! Culik dia untukku!”
“Tidak bisa dilakukan secepat itu. Putri Christa hampir tidak pernah keluar dari istana.”
“Aku tak punya waktu! Aku harus segera menyempurnakan kutukan pamungkas itu!”
“Jangan tergesa-gesa, Zandra. Buru-buru hanya akan membuatmu gagal. Xiaomei, aku serahkan metodenya padamu. Gunakan cara apa pun, tapi bawa Christa ke sini.”
“Baik, Yang Mulia. Saya akan mulai dengan menyelidiki keadaan di sekitar Putri Christa. Begitu saya mendapatkan informasi, saya akan segera melapor kembali. Tunggulah kabar baiknya.”
Setelah berkata demikian, Xiaomei menghilang dari tempat itu tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Zuzan memandangi gerakan pelayan kepercayaannya itu dengan senyum puas di wajahnya.
“Tunggu saja, Zandra. Akan segera Ibu berikan padamu.”
“Ya, Ibu!”
Kegilaan antara ibu dan anak itu tak mengenal batas, terus berkembang tanpa henti.
Kegelapan yang menyelimuti kekaisaran kembali bertambah satu lapis lagi.
Post a Comment