NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 5 Chapter 2

 Penerjemah: Nobu

Proofreader: Nobu


Chapter 2

"Pesona dan Permainan"


♣♣♣ 

     Begitu meninggalkan ruang sains, aku langsung menuju lapangan.

     Sasaranku adalah klub tenis yang sedang berlatih di sudut lapangan. Dan benar saja, Makishima sedang tekun berlatih bersama klubnya.

     Di sudut lapangan, dia melakukan peregangan awal latihan. Seorang gadis kelas satu yang manis... seharusnya pacar Makishima saat ini. Gadis itu menekan punggung Makishima, membantu meregangkan tubuhnya.

     Makishima melambaikan tangan saat menyadari kehadiranku.

     "Wah, ini Natsu, bukan? Jarang sekali kamu berada di tempat seperti ini sepulang sekolah. Apa kamu sedang mengurus petak bunga..."

     "Ma-ki-shi-ma-!"

     Sebelum dia selesai melontarkan sapaan cerobohnya, aku mencengkeram bahu Makishima. Setelah meminta izin kepada pacarnya dengan mengatakan "kupinjam sebentar," aku menyeretnya menjauh. Entah mengapa, pacarnya justru menyemangati, "Semangat ya!" Sungguh gadis yang sulit dimengerti...

     Makishima tergelak, "hahaha," meskipun tubuhnya diseret.

     "Natsu, kenapa kamu begitu pucat? Udara sudah cukup panas, sebaiknya kamu menenangkan diri."

     Kaos olahraganya tersingkap, memperlihatkan perutnya. Haruskah kutendang dia seperti Enomoto-san...?   

     Aku menyeretnya hingga ke petak bunga Departemen Hortikultura, lalu aku mencengkeram kerah Makishima dan mengguncangnya kuat-kuat.

     "Makishima, sungguh, berhentilah bertingkah!"

     "Hm, aku enggak mengerti apa maksudmu?"

     "Hanya kamu yang akan menyiapkan pesan semacam itu, kan?!"

     "Hahaha. Enggak baik menuduh seseorang bersalah tanpa bukti. Sikap seperti itu kelak akan mengantar pada kesalahan fatal."

     Tidak, itu sama saja dengan pengakuan...

     Lagipula, Enomoto-san sudah bilang dia akan menyerah, jadi kenapa orang ini terus ikut campur? Aku benar-benar tidak mengerti maksudnya.

     Meskipun aku menanyakan alasannya... mungkin dia tidak akan mengatakannya, mengingat orangnya. Menanyakan pada Enomoto-san juga... kurasa itu bukan ide yang baik. Lagipula, aku belum bertemu muka dengan Enomoto-san sejak hari itu. Dia sudah memahami situasinya, jadi tidak pantas jika aku yang mengungkitnya lagi.

     Saat aku merenung sendiri, Makishima menggerakkan bahunya. Sambil menutupi mulutnya dengan kipas, ia tertawa samar-samar, penuh makna.

     "Benar. Hal terpenting dalam tindakan ini adalah tidak meninggalkan bukti." 

     "Hah? Apa yang kamu bicarakan...?"

     "Zaman sekarang, transfer data bisa dilakukan lewat LINE atau apa pun itu. Tapi, nama pengirim akan tercatat. Kamu paham kerugiannya? Enggak ada gunanya kalau kemarahan itu mengarah padaku. Yah, aku juga enggak tahu LINE Himari-chan, jadi bagaimanapun juga aku harus mengandalkan cara yang primitif."

     "Jadi, kamu bicara apa? Pesan tadi?"

     "Ini adalah pembicaraan tentang memancing. Natsu, pernahkah kamu memancing di laut? Kita memancing ikan dengan umpan, lalu mengincar target utama. Dulu, kakakku mengajakku melakukannya, dan itu cukup sulit. Pilihan umpannya sangat penting. Kita harus membuat mangsa yang dituju memakan umpan yang sesungguhnya."

     Dari kata-kata itu, sesuatu terlihat jelas.

     Ya, itu adalah dasar laut. Aku dan Himari adalah ikan. Kami tiba-tiba mampir ke sebuah pantai, dan menemukan banyak umpan mengambang di permukaan laut.

     Aku tak sengaja memakan umpan yang paling menonjol. Aku meninggalkan Himari, dan asyik dengan umpan yang bertebaran banyak itu. Tapi itu adalah sebuah kesalahan. Yang sebenarnya diincar adalah—

     "Kamu lega Rin-chan menyerah pada cinta pertamanya? Mana mungkin. Apa kamu pikir dengan begitu semua masa lalu akan tuntas? Aku yang sudah bergonta-ganti pacar berkali-kali ini jamin itu salah."

     Makishima menyeringai dengan senyum jahat.

     "Seberapa tolerankah seorang pacar yang baik terhadap ketidaksetiaan pacarnya?" 

     "…!?"

     Aku merasakan hawa dingin merayap di punggungku.

     "Kamu, sungguh, pergilah ke neraka!"

     Aku melepaskan Makishima lalu bergegas kembali.

     (Gawat, gawat, gawat!)

     Jika ada sesuatu yang hanya Makishima yang tahu, itu pasti yang itu!

     —Perjanjian taruhan antara aku dan Enomoto-san di pameran!

     Karena Enomoto-san sudah membatalkan janji itu, aku tidak mengatakannya pada Himari.

     "Aku, Natsume Yuu, akan berpacaran dengan Enomoto-san kalau aku enggak berhasil menjual semua aksesori di pameran Tenma-kun dan yang lain."

     Sumpah itu direkam oleh Enomoto-san di ponselnya. Pasti Makishima mendapatkan rekaman suara itu dengan suatu cara. Kalau sampai Himari mendengarnya… mungkin semuanya akan berakhir!  

     Aku melepas sepatu, berlari sekuat tenaga menyusuri koridor (dan ditegur oleh Sasaki-sensei), lalu tiba di lantai dua gedung ruang kelas khusus.

     "..."

     Jantungku berdebar kencang.

     Aku meraih gagang pintu ruang sains dan membukanya perlahan.  Mengintip dari celah, kulihat Himari membelakangi pintu, sedang memeriksa penanam LED.

     Samar-samar terdengar ia bersenandung, sepertinya suasana hatinya sangat baik. Aku merasa lega. Syukurlah. Ternyata aku hanya diolok-olok Makishima.

     Tentu saja. Dia mana punya waktu melakukan hal seperti itu. Kalau begitu justru aku jadi kesal, tapi ini harus menjadi pemicu bagiku untuk lebih berhati-hati...

     Aku menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pintu dan masuk.

     "Maaf, membuatmu menunggu. Aku akan membantu juga."

     "..."

     Hmm? 

     Himari terus bersenandung, memeriksa penanam, seolah tak mendengar suaraku. Aku merasakan firasat aneh yang tidak menyenangkan.

     "H-Himari-san...?"

     Aku memanggilnya lagi.

     Lalu Himari menoleh, membalas dengan senyum cerah.

     "Ah, Yuu! Selamat datang kembali!"

     "Himari, maaf sudah membiarkanmu bekerja sendirian."

     "Enggak apa-apa. Tentu saja. Kita kan partner."

     Kebaikan Himari menghangatkan hatiku.

     Syukurlah. Firasat buruk tadi sepertinya hanya perasaanku saja. Dengan rasa bersalah yang hampir membuatku ingin mati, aku melanjutkan percakapan sebisa mungkin dengan tenang.

     "Baiklah. Aku juga harus memeriksa peralatan..."   

     Aku bergerak santai ke rak baja di bagian belakang. Mengintip ke dalamnya… tidak ada apa pun yang terlihat dari posisiku ini…

     Lagipula, bagaimana dia berniat memperdengarkan rekaman suara itu? Apa dia akan menyematkan perekam suara di sini? Apakah ada orang yang akan memutar perekam suara orang lain sembarangan?

     Saat aku berpikir Makishima tidak mungkin melakukan hal seperti itu, sebuah suara datang dari belakangku.

     "Yu-uuu? Kenapa?"

     "...!?"

     Aku terkejut dan berbalik. Himari yang tersenyum sedang membungkuk ke arahku, memiringkan kepalanya. Seolah-olah dia mencoba mengintip ke dalam rak… tidak, itu pasti hanya perasaanku saja. Aku hanya sedikit berprasangka buruk.

     "Yuu, kamu sedang mencari sesuatu?"

     Dengan cepat aku menyembunyikan bagian dalam rak dengan punggungku, lalu tersenyum ramah.

     "Ah, itu. Aku hanya berpikir sepertinya etanol yang digunakan untuk memutihkan bunga berkurang."

     "Ah, benar juga. Kita memang menghabiskannya banyak selama liburan musim panas. Mau kupesan di Amazon nanti?"   

     "T-terima kasih. ...Ah, sekalian, aku akan memeriksa apakah ada yang lain yang berkurang."

     "Oke. Kalau begitu, aku akan melanjutkan memeriksa penanam di sana, ya?"

     ...Aman.

     Himari membalikkan badan dan kembali ke meja di sana. Dalam kesempatan itu, aku kembali memeriksa bagian dalam rak…

     Tiba-tiba, Himari berbisik pelan di telingaku.

     "Ah, Yuu. Ngomong-ngomong, satu penanam rusak, lho?"

     "Uwaahhh!"

     Aku tanpa sadar menjerit dan berbalik.

     Himari, yang kehadirannya tak terdeteksi, tertawa kecil dengan manis.

     "Puhha. Yuu, kamu seperti perempuan aja♪" 

     "Wajar aja kaget kalau tiba-tiba dibisikin di telinga..."

     Tidak, lebih dari itu, sekarang aku harus berbicara dengan normal.

     "Penanamnya rusak?"

     "Iya. Sepertinya enggak sengaja terjatuh."

     "Oh, begitu. Kira-kira masih bisa dipakai?"

     "Kurasa agak sulit."

     Kalau begitu, mau bagaimana lagi.

     Penanam LED memang lebih mahal dari yang biasa, tapi sudah pasti termasuk barang habis pakai. Jika dipaksakan terus-menerus, kualitas bunga bisa terpengaruh, dan terkadang penting untuk menerima kenyataan.

     "Baiklah, aku periksa saja dulu. Yang mana... eh?"

     Aku menghampiri meja tempat Himari berada dan melihat penanam yang terjatuh itu. 

     Dan aku terdiam.

     Entah mengapa, penanam itu hancur berkeping-keping.

     "...Himari-san?"

     Aku mengira bagian lampu LED-nya rusak, atau semacamnya. Namun, sisa-sisa penanam yang rusak itu bukan seperti akibat kesalahan tak disengaja, membuat napas dingin keluar dari tenggorokanku.

     Aku berbalik, Himari berdiri sambil tersenyum. ...Perasaan tidak enak tadi, kurasa kembali lagi.

     "Yuu, ada apa?"

     "...Ini, kamu yang jatuhkan?"

     "Iya. Terjatuh."

     "...Kalau hanya jatuh, kurasa enggak akan sampai seperti ini."

     "Eh? Yuu, apa kamu enggak percaya perkataanku?" 

     "Ah, enggak. Bukan begitu maksudku..."

     Sial, kenapa aku kalah debat?!

     Aku langsung menyalahkan diri sendiri dan menghadapi kenyataan.

Dalam waktu sekitar 30 menit setelah aku meninggalkan ruang sains, Himari bertingkah aneh. Tidak mungkin aku tidak bisa menebak maknanya.

     (Enggak! Tapi! Aku masih belum tahu!)

     Karena ini Himari.

     Jika dia sudah tahu tentang hal itu, dia pasti akan menangis histeris seperti gadis kecil, seperti yang terjadi tempo hari. Atau mungkin Hibari-san sudah dipanggil. Kenyataan bahwa tidak ada satu pun dari hal itu yang terjadi menunjukkan bahwa ini belum waktunya untuk panik... kan? Atau tidak?

     Pokoknya!

     Aku berbalik. Aku tidak tahu apakah Himari sudah tahu tentang janji itu, tetapi bagaimanapun juga, ini adalah satu-satunya kesempatanku.

     Menyerang lebih dulu itu penting. Tidak, dalam kasus ini, menguasai inisiatif setelah lawan bertindak!

     "Himari, ada yang ingin aku sampaikan kepadamu!"

     "Hmm? Ada apa?"

     Himari bertanya sambil terus tersenyum manis.

     Dari sikapnya itu... aku tak bisa membaca apa pun. Tidak, bukan itu masalahnya. Aku mencengkeram kedua bahu Himari dan menyatakan dengan jelas.

     "Himari, maaf! Ada yang belum kuceritakan tentang Enomoto-san!"

     "Eh? Benarkah? Apa itu?"

     Sikapnya yang terlalu antusias itu mencurigakan sekali...

     Tapi aku akan mengatakannya. Aku akan mengatakannya!

     "Sebenarnya, itu... sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam pameran, aku harus bertaruh dengan Enomoto-san. Kalau aku enggak bisa menjual habis aksesori di pameran... eh, aku berjanji akan menuruti apa pun perkataan Enomoto-san. Dan aku enggak bisa menjual habis..."

     Dan, um... 

     Kepalaku buntu karena tegang. Suara pun tak bisa keluar. Apa yang harus kukatakan dari sini?

     Janji itu sendiri sudah ditarik oleh Enomoto-san.

     Jadi, bisa dibilang hubunganku dengan Himari terselamatkan, atau lebih tepatnya diselamatkan…

     "Hmm..."

     Saat aku mati-matian memilih kata, Himari tersenyum manis.

     "Jadi kenapa?"

     "...Eh?"

     Aku terkejut dan membalas tatapannya.

     Senyum Himari tak bergeming sedikit pun. Dengan senyum sempurna yang terpancar, ia menatapku lekat-lekat.

     Entah mengapa senyum ini terasa tak asing. Apa ya? Rasanya baru-baru ini aku melihat senyum seperti ini… Ah, Kureha-san. Saat dia tersenyum, selalu ada senyum dingin seperti ini. 

     Gawat, ini tidak baik.

     Kepanikanku meningkat seiring dengan hilangnya kata-kata. Tenggorokanku kering kerontang, serasa tersesat di gurun.

     Saat aku terperosok dalam kebingungan, Himari berkata dengan nada tenang,

     "Enggak perlu berbohong seperti itu..."

     B-bohong...?

     Saat aku terpaku, Himari melanjutkan,

     "Bukan karena aksesori, tapi kamu suka Enocchi, kan? Tentu saja. Berbeda denganku, dia imut, rajin, dan yang terpenting, payudaranya besar, kan? Perjalanan itu, sebenarnya kamu berencana bermesraan berdua, kan?"

     "Mana mungkin begitu?!"

     "Awalnya sudah sedikit mencurigakan, sih. Menjenguk paman yang enggak ada itu apa? Alasan yang sangat terencana, ya?"

     "Itu bukan sepenuhnya salahku!"  

     Itu karena Saku-neesan menambahkan pengaturan aneh!

     Aku mengomel dalam hati kepada kakak kandungku yang tidak ada di sana, lalu mati-matian mencoba menjelaskan. Tak apa, sebuah film pernah bilang kalau kita tulus, mereka akan percaya!

     "Jadi, itu semua salah paham! Awalnya, Makishima yang membuat rencana penculikan ke Tokyo, dan Kureha-san serta Saku-neesan yang bekerja sama. Jadi aku enggak tahu sama sekali, atau lebih tepatnya..."

     "Hah? Yuu, menurutmu itu enggak terlalu mengada-ada? Terlalu enggak masuk akal, kan?"

     "Memang itu kenyataannya, jadi mau bagaimana lagi?!"

     Kenapa dia tidak memercayaiku?!

     Enomoto-san bilang dia ingin bepergian denganku, jadi Makishima menyusun rencana penculikan ke Tokyo, Saku-neesan melaksanakannya dengan mobil, dan setibanya di Tokyo, model populer Kureha-san iseng-iseng membuat kami satu kamar hotel saja, kan!

     Jika aku adalah Himari... ya, kalau dipikir-pikir dengan tenang, aku juga sedikit sulit memercayainya. Mustahil. Sebenarnya kenapa aku berpikir dia akan percaya, ya...?

     Saat aku sendirian merasa tak berdaya, Himari semakin menekanku.

     "Pokoknya, aku sudah mengerti. Yuu, kamu pikir aku akan memaafkan apa pun asalkan kamu beralasan dengan aksesori, kan?"  

     "B-bukan begitu maksudku..."

     "Lalu, kenapa kamu bicara bertele-tele soal taruhan di pameran? Kalau kamu bilang kamu lebih suka Enocchi dan memutuskan untuk berpacaran dengannya, aku juga pasti..."

     "Sudah kubilang aku enggak lebih suka Enomoto-san, dan lagipula kami enggak berpacaran—"

     Tepat saat aku hendak menyelesaikan kalimat itu.

     "Nfufu~ Kalau begitu, ini apa?"

     "Eh..."

     Himari, dengan senyum paling manis di dunia, mengangkat selembar foto.

     —Itu adalah foto kami berdua tidur bersebelahan.

     Di foto itu, aku terlihat seolah-olah berpose untuk sampul majalah wanita, dan belahan dada Enomoto-san terlihat jelas hingga menjadi 'Ya ampun, Enomoto-san!!'. Tulang selangkanya yang indah itu, tak bisa dibandingkan dengan bunga apa pun, bagaikan garis sempurna seorang dewi... Tunggu, kenapa aku menilai tulang selangka teman sekelas perempuan? Apa aku jadi mesum jenis baru? Apa aku sudah merosot menjadi mesum?

     Himari memancarkan senyum yang paling manis, sekaligus paling menakutkan.  

     "Yuu~? Bisa jelaskan foto 'pagi yang bahagia' ini?"

     "Kenapa Himari memilikinya?!"

     Itu dia.

     Malam kami kembali dari Tokyo. Di antara foto-foto perjalanan Tokyo yang dikirim Enomoto-san ke ponselku, itu adalah yang paling mengerikan dan langsung kuhapus saat itu juga.

     (Jadi rencana Makishima... yang ini rupanya!!)

     Karena lolos dari sensor Saku-neesan, aku mengira itu sudah menjadi masa lalu.

     Lagipula, mana mungkin Enomoto-san menunjukkan foto semacam ini kepada Makishima, kan! Hei, kenapa dia benar-benar memberikannya?!

     Himari mendekat sambil tertawa, "Fufufufu..."

     "Aneh, ya? Karena kalau dirunut ceritamu, Yuu dan Enocchi seharusnya baru punya hubungan seperti itu setelah pameran, kan? Tapi tapi~ aku tahu, lho~ Enocchi pulang pada hari pameran yang Yuu sebutkan itu. Kenapa aku tahu? Mama Enocchi mengirimiku LINE, 'Rion sudah pulang, jadi hari terakhir liburan musim panas, kamu enggak perlu kerja paruh waktu~'."

     Kilauan dari sepasang mata biru laut itu telah menghilang, seolah keruh bagaikan samudra dalam. 

     "Artinya, foto ini diambil sebelum hasil taruhan pameran keluar, kan?"

     "I-itu, um..."

     Gawat. Kesalahpahamanku justru memperkeruh suasana.

     Himari merogoh sesuatu.

     "Semua alasanmu, ditolak!"

     Itu adalah gunting kebun. Dia mengatup-ngatupkannya. Bagian bawah tubuhku menciut seiring firasat putus asa.

     "Yuu. Mari kita ucapkan selamat tinggal pada dirimu yang kemarin, ya?"

     "Jangan mengatakannya dengan puisi segar seperti iklan 'Revolusi Karir!'!"

     "Enggak apa-apa, enggak apa-apa. Meskipun hilang, kamu tetap bisa membuat aksesori kok."

     "Tunggu!? Bohong, kan, kamu hanya bercanda!" 

     Himari menyeringai dengan tatapan penuh selidik.

     "Kita ini mitra takdir, kan? —Kalau rekan yang berkhianat enggak dibereskan, kakiku sendiri yang akan terbakar."

     Bersamaan dengan suara dingin yang mengerikan, gunting itu berulang kali dikatupkan.

     Aku tanpa sadar mundur, membuat kursi dan barang-barang lainnya berjatuhan dengan gaduh. Himari mendekatiku, mengeluarkan tawa gila "Puhyahyahyahya...".

     "H-Himari, aku mengerti kamu salah paham, tapi maukah kamu mendengarkanku dulu?"

     "Baik. Aku akan bertanya langsung pada tubuhmu."

     "Itu namanya penyiksaan..."

     "Eh? Di rumah Yuu memang begitu, ya?"

     "Di sini enggak berlaku teori 'orang lain itu orang lain, kita itu kita sendiri'..."

     Aku mencengkeram kursi dan memasang kuda-kuda di antara kami. 

     Ini adalah satu-satunya pertahananku, benar-benar penyelamat hidupku. Kursi pipa ini, sungguh tidak bisa diandalkan—

     "Tunggu, tunggu, tunggu. Memang Enomoto-san mungkin mengambil foto itu. Tapi enggak ada kesalahan seperti yang Himari pikirkan, dan karena hanya ada satu tempat tidur, mau enggak mau..."

     "Oh, begitu? Mau enggak mau, kalian jadi mengadakan kelas bimbingan gulat malam di tempat tidur, ya?"

     "Kami enggak melakukannya!"

     "Apa Yuu langsung membuat Enocchi KO dengan Cobra Twist-mu yang hebat itu?"

     "Aku baru dengar lagi lelucon mesummu yang seperti om-om cabul itu!"

     Tolong jangan lontarkan itu saat kita sedang bertengkar. Aku jadi tidak tahu harus bereaksi seperti apa, kan...

     "Sungguh. Aku enggak berciuman atau melakukan apa pun."

     "Nfufu~ Kamu pikir aku akan percaya?"

     "Percayalah padaku. Aku percaya Himari akan memercayaiku."  

     "Himari-chan yang polos itu, baru saja meninggal dunia—!"

     "Gyaaah, hentikan, sungguh, hentikan!"

     Himari, dengan tingkah laku yang benar-benar aneh, terus mendekat sambil mengatup-ngatupkan gunting. Tangan satunya lagi bergerak aneh, tak dapat dijelaskan, seolah-olah berkedut.

     Bilah gunting semakin mendekat.

     Sudah tamat. Selamat tinggal—

     Tepat di saat aku menyerah, sehelai angin berembus di antara kami.

     Bukan, bukan karena suasana pertarungan semakin memanas, tetapi pintu ruang sains terbuka dengan keras.

     Aku dan Himari segera menoleh ke arah pintu masuk.

     Sosok yang berdiri di sana adalah seseorang yang, dalam arti tertentu, sudah kuduga.

     Enomoto-san. 

     Apakah dia melesat keluar di tengah latihan klub musik? Ia memasuki ruang sains dengan terompet di tangan kanannya.

     Kemudian, ia berdiri menghadang Himari dan berujar dengan nada tenang namun tajam,

     "Hii-chan. Jangan lebih dari itu."

     "...!?"

     Diperingatkan oleh Enomoto-san, Himari sedikit menjadi tenang.

     Namun, ia teringat ulah lawan bicaranya dan membalas dengan kesal,

     "...Sebagus apa pun Enocchi, perkataan gadis yang berkencan di Tokyo dengan pacar orang lain enggak akan berlaku, kan?"

     "Kami memang berkencan, tapi itu masih dalam batasan teman. Hii-chan juga kurang lebih sama."

     "Ahh! Itu cara Makishima-kun, kan! Logika itu enggak berlaku di sini!"

     "Tapi bukankah Hii-chan yang bilang 'enggak semua laki-laki dan perempuan di dunia ini melakukan hal mesum'? Saat kita pulang bersama di bulan April, ketika kutanya hubunganmu dengan Yuu-kun, kamu bilang begitu, kan?"

     "Uuh...!"

     H-hebat sekali.

     Aku tidak tahu mereka membicarakan apa, tapi amukan Himari yang tadi langsung sirna. Dan Enomoto-san, bukankah wajahnya yang memerah sampai telinga itu terlalu mematikan? Kalau malu, seharusnya dia tidak perlu mengatakan "mesum" atau semacamnya. Dia begitu serius bahkan dalam hal itu...

     Himari berteriak putus asa.

     "Enocchi. Kenapa kamu selalu membela Yuu!? Kali ini aku sama sekali enggak salah!"

     "Aku adalah teman Yuu-kun. Kalau temanku dalam kesulitan karena ulahku, wajar kalau aku melindunginya."

     Kemudian Enomoto-san dengan lembut menggenggam tangan Himari.

     "Dan juga, aku adalah teman Hii-chan."

     "Eh..."

     Terkejut dengan perkataan tak terduga itu, Himari tersentak.

     Enomoto-san menggenggam tangannya, lalu berkata dengan ekspresi serius di depannya,

     "Aku pernah bilang, kan, kalau aku akan menjadi yang nomor satu bagi Hii-chan?"

     "I-itu, memang begitu, sih..."

     Oh, oh?

     Seluruh semangat Himari lenyap tak berbekas. ...Tunggu, bukankah suasananya jadi aneh? Himari, saat ditatap langsung oleh Enomoto-san, pipinya sedikit merona dan dia tampak malu. Dia menutupi mulutnya dengan tangan sambil melihat ke arah lain, jelas-jelas itu ekspresi seorang gadis!

     Yah, Enomoto-san memang benar-benar cantik alami, sih.

     Meskipun Himari bilang, "Aku yang paling imut setelah dia (sombong)," itu hanyalah kekuatan keseluruhan yang mencakup kemampuan komunikasi dan pesona. Aku sendiri kadang berpikir, "Kalau soal standar ketampanan wajah, Enomoto-san lebih unggul, kan?" Dalam hal itu, dia memang pantas jadi adik Kureha-san.

     Entah kenapa aku jadi merasa seperti diabaikan sepenuhnya, tapi sepertinya tidak masalah asalkan suasana kembali damai.

     Himari kini sepenuhnya memasang wajah tsundere, lalu memalingkan muka dengan kesal.  

     "J-jadi, apa yang kamu lakukan di hotel dengan Yuu? Kalau enggak melakukan hal buruk, seharusnya kamu bisa mengatakannya sambil menatap mataku, kan..."

     "Itu..."

     Enomoto-san ragu-ragu.

     Dia melirik ke arahku. Sikapnya yang tadinya penuh percaya diri kini berubah sedikit cemas... atau, apakah dia merasa bersalah padaku?

     Dari sikap itu... aku bisa menebak.

     Enomoto-san tanpa menunggu lagi, mengeluarkan ponselnya.

     "Hii-chan. Lihat video ini."

     "...!?"

     Tidak ada dasar. Mungkin ini bisa disebut intuisi.

     Atau mungkin, kemampuan berdialogku yang berkembang setelah meniru penjualan aksesori Sanae-san di pameran Tokyo, telah membuatku merasakan sedikit saja gejolak emosi Enomoto-san. 

     Yang melintas di benakku adalah kejadian hari itu. Menyadari hal itu, tubuhku bergerak secara refleks.

     Enomoto-san, jangan lakukan itu! Sebanyak apa pun "masa lalu kelam" yang telah kutumpuk, aku sama sekali tidak ingin hal itu terungkap!!

     "E-Enomoto-san! Tunggu sebentar—..."

     Saat aku mengulurkan tangan—suara nyaring melengking memenuhi ruang sains!

     "Hai! Yuu-kun, ayo bermain dengan bulu kucing ini~♡"

     "Enggak, Enomoto-san? Tenang sedikit..."

     "Enggak mau! Cepat!"

     "Ini terlalu memalukan... Eh? Kenapa kamu merekamnya?"

     "Sebagai kenang-kenangan (bangga)"

     "Enggak, enggak, enggak, enggak. Itu jelas enggak boleh." 

     "Enggak akan kulihatkan pada siapa pun."

     "Bukan itu masalahnya..."

     "...Enggak boleh?"

     "...................B-baiklah, sekali aja."

     "Yeay! Kalau begitu, Yuu-kun mulai sekarang jadi kucing nyaa~♪"

     "N-nyaa..."

     "Yuu-kun, enggak boleh malu nyaa."

     "Nyaa!"

     "Ah, ada kucing lucu nyaa~"

     "Nyaa, nyaa!"  

     "Ehehe. Lihatlah, kucing, perutnya digelitik~"

     "Nya ha ha ha ha! Hei, Enomoto-san! T-tunggu nyaa!"

     ...

     Di ruang ini, waktu seolah berhenti.

     Kami hanya terdiam, membisu, saat kejadian hari itu terus-menerus terputar.

     ...Ya, benar. Jika ditanya apa yang kami lakukan di hotel itu, yah, hanya ini jawabannya.

     Saat itu Enomoto-san memang benar-benar lepas kendali, tapi aku juga ikut-ikutan dengan pasrah. Bahkan di bagian akhir, aku sudah terbiasa dan ikut menikmati.

     Ah, kenangan itu kembali. Saat kami berdua menghabiskan waktu dengan semangat seperti itu, kami bahkan spontan mengucapkan "Terima kasih meong!" kepada pelayan room service yang membawakan makan malam, dan langsung tersadar seketika.

     Kemudian, tibalah pagi di mana foto bermasalah yang dipegang Himari diambil—

     Dulu aku ingin mati rasanya, tapi kenapa aku bisa melupakannya sama sekali? Ada pepatah bilang 'sudah berlalu, lupakanlah', tapi sungguh, aku ingin ingatanku bekerja. ...Atau justru, karena dia 'bekerja', makanya aku melupakannya?  

     Setelah seluruh drama 'meong-meong' antara aku dan Enomoto-san berakhir, ruang sains diselimuti kesunyian.

     Enomoto-san (entah mengapa) memasang ekspresi bangga. ...Tadi telinganya merah padam, sungguh aku tak paham batasan rasa malunya.

     Kemudian, dari ujung koridor terdengar suara laki-laki tergelak, "Bufoh!?" ...Suara itu, kemungkinan besar Makishima. Mungkin dia datang untuk memeriksa hasil jebakan foto yang dia pasang sendiri.

     Aku berlutut lemas, merasa seperti kiamat sudah tiba.

     Dan Himari—

     "...Yuu."

     Dia berdiri di depanku dengan suara tenang.

     Saat aku bercucuran keringat, Himari berujar dengan suara lembut,

     "Maaf, ya? Sepertinya aku salah paham. Yuu bukan orang seperti yang kupikirkan. Kamu dan Enocchi enggak bersalah. Hanya itu yang aku pahami. Yuu, sungguh—"

     "...!?" 

     Aku mengangkat wajah.

     Himari telah mengerti. Meskipun ada sedikit masalah... dan hampir saja semuanya hancur berkeping-keping! Berkat itu, kini integritasku telah terbukti. Aku dan Enomoto-san hanya menghabiskan waktu dengan cara yang 'sehat' seperti itu!

     Ya! Ini persis seperti yang kuharapkan!

     "Himari!"

     Himari menyipitkan mata, seolah membalas seruanku.

     Bagaikan prisma yang ditembus sinar matahari yang hangat—

     Dengan senyum bagai peri—

     "Jijik banget!"



     Setelah melontarkan kata-kata itu dengan senyum yang menyilaukan, Himari membawa tasnya dan meninggalkan ruang sains.

     Enomoto-san pun, dengan raut wajah seolah telah menyelesaikan pekerjaannya, bergegas keluar membawa terompetnya. Pasti dia akan kembali ke latihan klub musik.

     Kehadiran Makishima, entah sejak kapan, telah sirna.

     Dan...

     Aku.

♣♣♣  

     Pagi berikutnya.

     Aku melangkah melewati gerbang sekolah dengan perasaan yang cerah.

     Ah, hidup itu sungguh indah. Dan aku juga bisa membuat aksesori. Tak ada lagi yang bisa kuminta. Bahkan, di level ini, apa lagi yang bisa kuharapkan dalam hidup?

     Pagi yang begitu segar. Aku memarkir sepeda di tempat parkir dan menuju gedung sekolah.

     (Siluet di sana itu...)

     Tidak mungkin salah lihat.

     Itu adalah mitra takdirku sekaligus pacar tersayang, Himari.

     Bertemu di pagi hari seperti ini sungguh keberuntungan. Memang kami akan bertemu di kelas, tapi bertemu lebih awal dari itu terasa seperti takdir.

     Keberuntungan ini, akan kunikmati sepenuhnya!

     "Himari! Selamat pagi!"

     Suaraku membuat Himari menoleh.

     Dengan gerakan anggun, ia membalikkan badan, mengangkat rambut di dekat telinganya, lalu berkata dengan senyum menyilaukan.

     "Ah, Nyaapippi-senpai. Selamat pagi~"

     Siapa itu?

     Siapa Nyaapippi?

     (…Ternyata kejadian kemarin bukan mimpi.)

     Semangat pagiku yang sedikit pasrah perlahan meredup. Aku bertanya pada Himari dengan perasaan sedih.

     "Jangan-jangan, kamu sengaja menungguku sejak pagi hanya untuk mengatakan itu...?"

     "Eh? Jangan-jangan kamu pikir aku menunggu Yuu? Yuu itu selain Nyaapippi juga kelewat percaya diri, ya? Menjijikkan."

     "Bukan begitu, tapi kan kamu ke sekolah naik mobil. Kalau aku enggak naik sepeda, kita enggak akan bertemu di sini." 

     "Terkadang, hidup itu butuh memutar jalan~ Karena itulah, Yuu enggak bisa keluar dari ranah incel kurang pergaulan yang sombong setelah punya pacar!"

     "Kamu sendiri enggak keluar dari ranah orang yang tiba-tiba mencari gara-gara dengan orang lewat, kan? Jelas-jelas kamu yang datang mau cari masalah..."

     Apakah dia pelatih Pokémon liar?

     Apa dia tipe orang yang tidak tenang jika tidak menantang siapa pun yang memegang poké ball? Hidup penuh kegembiraan seperti itu memang mungkin menyenangkan, tapi bagiku, gaya yang menunggu lawan di gym lebih damai.

     Saat aku terdiam, Himari tiba-tiba berkata,

     "Tapi, aku juga sudah memikirkannya lagi, lho."

     "Eh?"

     Himari menunduk, jari-jarinya bertautan, dan berkata dengan sedikit nada sedih,

     "Yuu juga kan udah dewasa, dan kalau didekati gadis imut seperti Enocchi, wajar aja kalau agak kebablasan, kan?"

     "Enggak, setelah melihat hal seperti itu aku memang enggak bisa beralasan. Tapi tetap saja, aku..." 

     Himari menggelengkan kepala.

     "Enggak, Yuu, enggak perlu memaksakan diri. ...Aku mengerti kok."

     "M-mengerti apa, maksudmu...?"

     Aku merasakan firasat buruk.

     Aku merasa Himari salah paham... namun, firasat buruk itu sepertinya benar.

     Seolah membenarkannya, Himari tiba-tiba menyentuh matanya.

     "Yuu, ternyata kamu lebih suka Enocchi daripada aku, ya? Makanya kamu langsung main 'nyaa-nyaa' begitu diajak, kan?"

     "Hah?! Apa yang kamu katakan?"

     "Enggak apa-apa kok, jangan sungkan. Aku sudah menata perasaanku."

     "B-bodoh! Jangan seenaknya memutuskan sendiri!"

     Aku tanpa sadar memegang bahu Himari.

     Mata yang berusaha keras menghindariku itu basah oleh air mata, dan suaranya bergetar.

     "Aku enggak bisa mempertahankan perasaan Yuu, kan?"

     "H-Himari! Enggak begitu! Yang kusuka hanya kamu!"

     Melupakan bahwa ini adalah sekolah, aku memanggilnya dengan putus asa.

     Himari sedikit mengangkat pandangannya, lalu berkata kepadaku seolah memohon,

     "Sungguh? Sungguh hanya aku?"

     "Sungguh! Mana mungkin ada yang lain!"

     "Enggak apa-apa? Mungkin kamu enggak bisa lagi sesuka hati dengan dada Enocchi, lho?"

     "Memang aku enggak mau sesuka hati! Dada Enomoto-san itu sama sekali enggak penting bagiku!" 

     "Berani sekali kamu bicara begitu?"

     "Tentu saja. Orang yang bilang daya tarik wanita cuma dada itu salah besar!"

     Himari bergumam "Oh, begitu..." lalu membuang muka dengan malu-malu. Pipi-nya sedikit merona merah. Sudut bibirnya tertarik ke atas, terlihat sedikit gembira.

     Ah, akhirnya perasaanku sampai juga. Sempat khawatir akan jadi apa, tapi ternyata Himari bisa mengerti jika diajak bicara. Perasaan hangat memenuhi dadaku... hmm?

     Entah mengapa bahu Himari gemetar. Ia menutupi mulutnya, seolah mati-matian menahan tawa. ...Rona merah di pipinya tadi, sepertinya bukan karena malu.

     (Ah, ini pola yang familiar, nih...?)

     Bersamaan dengan firasat burukku, tawa meledak Himari menggema.

     "Puhhaa—!?"

     Tangan kanan Himari menunjuk ke belakangku.

     Seolah memberi perintah padaku. Aku mengikuti arah jarinya, menoleh ke belakang.   

     —Suasana dingin ekstrem terpancar kuat, saat Enomoto-san berdiri di sana.

     Aku membeku sempurna.

     "..."

     "..."

     Enomoto-san menatapku dengan tatapan sangat tajam, seolah mengamatiku.

     Kemudian, ia membetulkan letak tas di bahunya. Gerakan itu membuat dada besarnya yang tersembunyi di balik kardigan tipis sedikit bergoyang. ...Tenggorokanku berbunyi "gluk" tanpa bisa kukontrol.

     Enomoto-san mendekatiku.

     Lalu, ia menatapku dari bawah sambil sedikit membusungkan dada, seolah semakin menonjolkannya.

     "Hmmmm?"

     "A-anu, Enomoto-san..." 

     "Hmphf...?"

     "Enomoto-san!? Tekanan tanpa suaramu itu menyeramkan, tahu!"

     Enomoto-san tersenyum manis.

     Itu adalah senyum lucu yang jarang ia tunjukkan belakangan ini. Tepat di saat aku tersentak, melupakan situasi, tangan kanannya memancarkan aura membunuh seperti pisau yang berkilat.

     "Pukulan Koreksi Teman"

     "Ini bukan percakapan yang pantas dilakukan di tengah sekolah, maafkan aku!?"

     Menerima pukulan telak di perut samping, aku tersungkur.

     Hebat Enomoto-san, akurasi tekniknya tidak kalah dengan pertandingan profesional. Ini adalah serangan sempurna yang memanfaatkan psikologi di balik kebiasaanku yang refleks melindungi kepala.

     Enomoto-san mendengus, "Hmph," lalu melangkah pergi menyusuri jalan bata.

     Aku mengerang, "Uwoooooh...", sambil mengulurkan tangan ke Himari yang berada di sampingku. 

     "H-Himari. Itu sungguh kejam..."

     Namun tanganku dipukul tanpa ampun.

     Himari tertawa dengan ekspresi cerah, seolah sangat puas.

     "Jangan sentuh, nanti ketularan kuman nyaa!"

     "..."

     Himari-san terlihat sangat senang.

     Enggak apa-apa, sih. Ini semua adalah karmaku, jadi aku menerimanya dengan lapang dada.

     Dan setelah menyelesaikan urusannya, Himari masuk ke area loker sepatu dengan puas.

     Saat aku terisak, suara laki-laki terdengar lagi dari belakangku.

     "Hahaha. Sungguh hal yang menyenangkan." 

     Aku menoleh, Makishima berdiri sambil mengipas-ngipasi kipasnya. Dengan wajah yang sangat gembira, ia mendekatiku.

     "Sepertinya kamu sudah berhasil bergabung dengan sisi kami setelah pengalaman liburan musim panasmu, ya? Selamat datang, Nyaa Nomor Satu?"

     "Berisik! Lagipula, ini semua gara-gara jebakan anehmu itu, kan!"

     "Hei, hei. Itu namanya tuduhan tak berdasar, kan? Seharusnya Natsu yang salah karena menciptakan celah untuk dimanfaatkan. Lagipula, menyembunyikan sesuatu itu enggak baik. Sekuat apa pun kamu berusaha, pada akhirnya akan terbongkar juga, dan ini adalah kebaikanku untuk menanganinya lebih awal."

     "Orang ini, dia pasti menikmati semua ini...!"

     Makishima mengangkat bahunya.

     "Aku juga sedang dalam kesulitan, tahu. Bagaimanapun, aku enggak menyangka Rin-chan akan ikut campur di sana. Sungguh, gadis manis itu membuatku pusing."

     “Enggak, bukannya tinggal kamu aja yang enggak usah bikin ulah macam-macam?”

     Dan Makishima, seperti biasa, mengabaikan protesku dan melanjutkan,

     "Namun, seorang individu yang benar-benar kuat tidak akan terus meratapi situasinya saat ini. Ia akan mencari cara untuk memanfaatkan keadaan." 

     "Aku tidak ingin mendengar monologmu..."

     "Jadi, Natsu. Pasti kamu menderita karena dianiaya oleh para wanita, bukan? Sebagai seniormu dalam hal playboy, aku bersedia membantumu,"

     Makishima tersenyum dan mengulurkan tangannya.

     "Hahaha. Pergolakan sekecil ini akan kuatasi dengan anggun."

     "..."

     Aku menatap telapak tangan Makishima yang garis kehidupannya panjang sekali.

     Aku menghela napas panjang. Sambil tersenyum tipis, aku menumpangkan tanganku di atas tangan Makishima.

     Lalu, aku menepuknya.

     "Aku enggak akan berteman baik lagi denganmu."

     "..." 

     Urat biru berkedut di pelipis Makishima. Dengan senyum tipis yang dipaksakan, dia mengarahkan ujung kipasnya kepadaku. Matanya di balik itu tidak tertawa.

     "Aku pikir kalau kamu menurut, aku akan bersikap lembut. —Jangan sampai kamu menyesali perkataan itu, ya?"

     Melihat punggungnya menjauh, aku bergumam dengan jengkel.

     "Aku benar-benar enggak mengerti kenapa dia begitu keras kepala..."

♣♣♣

     Pelajaran matematika di pagi hari.

     Meskipun suara itu saja sudah cukup membuatku merasa seperti zodiakku berada di posisi terbawah hari ini, pagi ini ada hal yang lebih suram lagi menimpaku.

     Sasaki-sensei, yang dijuluki gorila ahli matematika, dengan kuat menggoreskan kapur di papan tulis.

     "Baiklah. Soal-soal yang meminta penyelesaian bilangan real akan selalu ada sepanjang kalian belajar matematika. Bagian yang akan kuajarkan pada kalian kali ini juga..."

     Ia menuliskan rumus-rumus sin-cos dengan goresan kapur yang indah.

     Betapa indahnya tulisan tangan itu. Sungguh, tulisannya sangat rapi. Ia menulis seperti kaligrafer cantik yang sering tampil di TV. Jujur saja, itu sama sekali tidak cocok dengannya.

     "Di sini, pertama-tama, kalian harus memahami apa itu bilangan kompleks. Yang terpenting bukanlah memahami 'cara menyelesaikan' persamaannya, tetapi 'strukturnya' barulah itu ada artinya."

     Ia juga pandai menyampaikan poin-poin penting, sehingga secara tak terduga cukup populer di kalangan murid.

     Sasaki-sensei menuliskan kata 'Bilangan Kompleks' dengan tulisan yang anggun. Jika saja Sasaki-sensei adalah guru sastra klasik, dan menulis seperti itu di kelas, aku mungkin tanpa sengaja akan jatuh cinta padanya.

     "Alasan mengapa kalian harus memahami 'struktur' dan bukan 'cara menyelesaikan' adalah karena 'menghafal' pada akhirnya tidak akan melekat di otak. Artinya, mata pelajaran sains dan matematika justru membutuhkan kemampuan menafsirkan seperti mata pelajaran humaniora..."

     Saat aku serius mengikuti pelajaran, entah mengapa selembar kertas catatan yang terlipat meluncur ke mejaku.

     ...Aku tahu siapa pemiliknya, tapi kucoba membukanya. Sebuah pesan tertulis dengan huruf bulat yang khas.

     'Nyaapippi-senpai~ Tonjolan segitiga itu seperti bando telinga kucing, ya~?'

     Melirik ke samping, Himari pura-pura serius mendengarkan pelajaran.

     Meski dikenal ramah, Nyaapippi-senpai bertekad untuk menegur kenakalan di kelas. Terlalu malas membalas dengan catatan, aku mengirim pesan balasan lewat LINE.

     [Kamu dengarkan pelajaran!]

     Seperti biasa, pesan itu langsung terbaca dalam tiga detik. Bukankah dia marah padaku? Sungguh, aku ingin dia menyatukan sikapnya.

     Balasan dari Himari:

     [Pelajaran sudah aku kuasai kok. Yuu sendiri yang harus mendengarkan baik-baik!?]

     [Kalau begitu, bisakah kamu berhenti menggangguku?] 

     [Eh? Aku melakukan sesuatu?]

     [Pura-pura enggak tahu. Jangan bicara sama seperti Makishima...]

     [Cara kamu menyerangku begitu, apa kamu terlalu ingin diperhatikan, ya? (Senyum)]

     Hei, itu bumerang besar menancap di dirimu.

     Tapi aku tidak akan mengatakannya. Jika kukatakan itu, aku sudah tahu semuanya akan jadi lebih rumit.

     [Hei, maafkan aku]

     [Bukan masalah memaafkan atau enggak, kan?]

     [Lalu apa?]

     [Jawablah dalam 100 karakter atau kurang, bagaimana perasaanmu yang diperlihatkan video pacarmu berubah jadi kucing manja di depan wanita lain. (Nilai: 5 poin)]

     [Nilainya, kecil amat] 

     [Sekitar segini yang wajar]

     Hidupku ini terlalu murah. Jangan-jangan malah langsung diskip, dong...

     Uhm... Aku menghitung jumlah karakter dengan jariku sambil mengetik.

     [Melihat sisi itu, aku jadi makin sayang kepadanya. (Lulus, 100 poin)]

     [Sudah jelas 0 poin. Kalau ini ujian masuk Universitas Tokyo, formulir pendaftarannya sudah kumasukkan mesin penghancur]

     [Hei, benarkah?]

     [Eh? Kenapa reaksimu jadi serius begitu? Yuu, kamu benar-benar sudah jadi party animal, ya?]

     [B-bercanda dong, tentu saja]

     Sungguh bercanda. Bercanda saja...

     Ya, tentu saja, sepertinya jawaban positif tidak diterima. Um, kalau dipikir-pikir normalnya pasti 'Aku kecewa melihat pacarku bermanja-manja seperti itu' atau 'Besok aku harus bicara dengannya dengan muka seperti apa'.

     Namun, karena ini Himari, aku ragu jawaban yang jujur akan menjadi benar... Ah, benar juga.

     [Aku kesal karena kamu bermain 'nyaa-nyaa' dengan wanita lain duluan... begitu?]

     [............]

     Eh?

     Balasannya terhenti.

     [Hei? Ini juga cuma bercanda, lho? Jangan-jangan ini beneran?]

     [Ya Yuu, kamu diskualifikasi. Diskualifikasi dari kehidupan]

     [Tunggu!?]

     Himari-san?

     Kenapa kamu memalingkan wajah ke arah sini dan bereaksi malu-malu seolah mengatakan "aduh..."? Bukankah ini biasanya pose 'puhha' yang mengundang tawa? 

     Pada Himari yang telinganya sudah memerah, aku menemukan titik terang untuk menyelesaikannya.

     [Himari-san. Aku ada yang ingin kubicarakan]

     [Apa sih?]

     [Kalau Himari-san menginginkannya, aku bersedia menjadi Nyaapippi keadilan sebanyak yang kamu mau]

     [............]

     [Jadi, bisakah kamu memperbaiki mood-mu?]

     [............]

     Himari menatapku dengan mata yang sangat tajam.

     Kalau dipikir-pikir dengan tenang, aku juga merasa apa yang kukatakan ini aneh, tapi mungkin karena ini Himari, seharusnya ini jawaban yang tepat. Lagipula di kamarku ada piagam Penghargaan Anggota Kehormatan Internasional Ujian Himari, kok. ...Tidak, organisasi itu tidak masuk akal.

     Saat aku berpikir begitu, ada balasan. 

     [Boleh]

     [Seriusan?]

     Berhasil! Akhirnya, kekacauan ini berakhir!

     ...Namun, kegembiraanku hanya sesaat, sebuah pesan baru muncul.

     [Tapi, 'nyaa-nyaa' di sini sekarang?]

     ...!?

     Aku hampir saja terbatuk. Sasaki-sensei, yang sedang menulis di papan tulis, menoleh dengan ekspresi "Apaan?", jadi aku berpura-pura tidak tahu.

     Setelah pelajaran kembali dimulai, aku menunduk melihat ponselku.

     [Enggak enggak enggak enggak, Himari-san]

     [Enggak enggak enggak enggak, Yuu-kun] 

     [Seriusan?]

     [Lakukan]

     [Ah, di LINE ini, kan?]

     [La-ku-kan (tersenyum manis)]

     Gila.

     Himari tersenyum menakutkan, menggerakkan bibirnya tanpa suara, "La-ku-kan, la-ku-kan," seolah memberi aba-aba.

     Kamu jelas sedang membalas karena merasa tepat sasaran tadi. Kecelakaan tadi bukan salahku, salahkan saja sifat choroine-mu itu...

     (Mengoceh pun tidak ada gunanya. Kalau Himari sudah berkehendak, dia tidak akan mendengarkan...)

     Teman-teman sekelasku, dengan caranya masing-masing, mengikuti pelajaran.

     Ada yang serius mendengarkan penjelasan Sasaki-sensei, ada yang sibuk menyalin catatan, dan ada pula yang menelungkup di meja, menghindari pandangan apa pun. Tapi setidaknya, tidak ada satu pun orang di sini yang akan melewatkan pertunjukan 'nyaa-nyaa' ini.

     ...Di sini?

     Melakukan 'nyaa-nyaa'? Serius?

     Untungnya, tempat dudukku berada di paling belakang dekat jendela.

     Artinya, saat ini, tidak ada yang memperhatikan aku. Untuk sementara, aku diam-diam mencoba pose kucing dengan kedua tangan. Lalu aku memutar-mutarkannya sambil menarik perhatian Himari.

     Bagaimana penilaian Himari—!?

     [Nfufu~ Suara Yuu enggak terdengar, nih~?]

     Sudah kuduga.

     Ya, sudah kuduga, tapi... Jujur saja, ini saja sudah membuatku sangat gugup hingga ingin muntah, bukankah aku terlalu menyedihkan?

     Tapi, tidak ada pilihan lain selain melakukannya.

     Bagaimanapun juga, aku harus mengeluarkan suara dan 'nyaa-nyaa' di sini. Aku tahu apa yang perlu kulakukan untuk itu. 

     —Observasi.

     Aku belajar teknik selama perjalanan ke Tokyo, di pameran seni Tenma-kun dan kawan-kawan. Salah satu anggotanya, Sanae-san, unggul dalam kemampuan observasi manusia, ia mengidentifikasi pelanggan yang sangat tertarik pada aksesorinya di tempat dan berhasil meningkatkan penjualan.

     Aku pun mencuri sedikit metode penjualannya. Saat itu hanya berhasil sekali—tapi sekarang, di sini, aku akan menyempurnakan teknik Sanae-san dan menjadikannya milikku.

     (Bunga-bunga kesayanganku, berikan aku kekuatan dan keberanian!)

     Aku mengamati kelas dengan saksama.

     Lalu aku mulai memahami sesuatu. Sasaki-sensei batuk berdeham dengan keras pada waktu-waktu tertentu. Pada saat itulah, aku seharusnya bisa mengeluarkan suara pelan tanpa ketahuan.

     Sasaranku adalah saat Sasaki-sensei selesai menulis di papan tulis. Setelah selesai menulis rumus, ia akan mengetuk papan tulis dua kali dengan ujung kapur, dan pada saat yang sama berdeham.

     Aku tak menyangka bisa benar-benar menyadarinya. Jangan-jangan aku ini sebenarnya orang yang hebat.

     (Sekarang tinggal mengatur waktu dan melaksanakannya. —Aku bisa!)

     Tepat saat itu, Sasaki-sensei sedang menuliskan rumus yang sepertinya soal aplikasi. Dengan tulisan yang anggun, ia menuliskan sudut-sudut ketiga sisi segitiga.

     Aku berkonsentrasi...

     Pikiranku diasah, terasa semakin tajam. Suara-suara di sekelilingku memudar, bahkan ada ilusi seolah aku sendirian di dunia ini.

     Mataku, yang bahkan enggan berkedip, terus mengikuti gerak-gerik Sasaki-sensei. Teman-teman sekelasku yang lain seolah terhapus, menjadi putih bersih.

     Aku bisa melakukannya. Keyakinan itu menyalakan api di dadaku.

     Belum.

     Belum.

     Sedikit lagi...

     ...Tiba!

     Tepat saat Sasaki-sensei selesai menulis rumus, aku mengangkat kedua tangan dalam pose kucing. Dan pada saat ujung kapur mengetuk papan tulis, aku menarik napas untuk batuk berdeham keras.

     (Sekarang juga!!)

     Aku memutar-mutar kedua tangan sambil berbisik, "Nyaa-nyaa."

Hasilnya—berhasil!

     Tersamarkan oleh dehaman keras Sasaki-sensei dan suara kapur yang kuat, suaraku yang nyaris tak terdengar tidak sampai ke telinga orang di sekitarku. "Bagus," aku menyeringai.

     Bersamaan dengan seringaiku, jantungku terasa menciut dan aku membeku.

     Entah mengapa, Sasaki-sensei menatapku tajam.

     Bersamaan dengan dehamannya, saat berbalik berkata "Kalau begitu, soal ini—," ia dengan sempurna menangkapku dalam pandangannya.

     "..."

     "..."

     Hening.

     Keheningan yang berat seperti laut dalam. 

     Sasaki-sensei menghela napas panjang, lalu tanpa suara menunjukku.

     Dengan ibu jarinya, ia menunjuk ke papan tulis, memberikan tekanan seolah berkata, "Selesaikan rumus ini." Tatapan tajamnya memancarkan niat membunuh, seolah berkata, "Kalau tidak bisa, kau tahu akibatnya, kan?" ...Sensei. Bukankah itu tidak boleh diarahkan ke murid?

     Aku melirik ke samping—dan menyadari bahwa Himari, yang menyembunyikan wajahnya di balik buku pelajaran dan gemetar, sama sekali tidak bisa diandalkan.

     Aku menghela napas, bersiap menerima nasib.

     "...Maaf. Aku tidak mendengarkan."

     Sasaki-sensei tersenyum manis. Kelihatan sangat baik hati, tapi urat biru muncul jelas di pelipisnya.

     "Nyantaro. Jam istirahat makan siang, datang ke ruang bimbingan, ya?"

     "...Baik."

     Sementara teman-teman sekelasku bertanya-tanya, "Nyantaro?" "Ada apa?", aku sibuk mengadakan rapat evaluasi di benakku, merenungkan penyebab kekalahanku.

     Di Tokyo, bunga-bunga aksesoriku menyemangatiku. Aku pikir kali ini juga bisa berhasil dengan cara yang sama, tapi ada satu kesalahan fatal. ...Oh iya, di sini tidak ada bunga yang memihakku.

♣♣♣  

     Di ruang bimbingan saat jam makan siang.

     Aku terisak di hadapan Sasaki-sensei. Ini bukan karena dimarahi Sasaki-sensei. Aku hanya meratapi kebodohanku sendiri...

     "Jadi? Apa yang kamu lakukan di pelajaranku?"

     "Uhm... Entah apa itu. Saya juga tidak terlalu mengerti."

     Setelah tenang, aku jadi berpikir, apa yang sebenarnya kulakukan tadi, ya...?

     Jujur saja, aku telah mengukir tindakan bodoh yang hanya bisa kuanggap sebagai kekhilafan dalam hidupku, dan aku merasa putus asa. Melihat keadaanku, Sasaki-sensei tampaknya merasa kasihan, sehingga tidak memarahiku lebih jauh. Baik sekali...

     "Natsume. Kamu memang tidak menonjol, tapi kukira kamu orang yang serius..."

     "Maafkan saya..."

     Setelah dimarahi habis-habisan, aku akhirnya bebas dari ceramah.

     Sasaki-sensei membuka jendela. Angin hangat bertiup masuk,  sedikit meningkatkan suhu ruangan.

     "Ngomong-ngomong, Natsume. Katanya kamu ingin melakukan sesuatu yang berhubungan dengan aksesori di festival budaya, ya?"

     "Ah, iya..."

     Betul juga, aku memang sudah mengajukan permohonan.

     "Tahun ini, saya berencana mengadakan acara penjualan, bukan hanya pameran."

     "Yah, mungkin begitu..."

     "Apa tidak boleh, ya? Sebenarnya, waktu SMP dulu saya berdalih kalau 'keuntungannya disumbangkan ke organisasi sukarelawan'..."

     "Begitu, ya. Memang benar, kalau dilakukan dalam acara sekolah, kegiatan penjualan pribadi oleh murid tidak boleh. Jika ingin melakukannya, mungkin butuh alasan publik yang sama. Apa kamu ingin mencari uang?"

     Mencari uang...

     Kata-kata yang lugas, tapi justru membantu agar tidak ada salah paham.

     "Tidak. Saya lebih ingin mendapatkan pengalaman untuk masa depan daripada keuntungan finansial..." 

     "Kalau begitu, aku tidak akan menentangnya. Ini juga berlaku untuk stan klub lain. Tujuan acara sekolah adalah mendorong perkembangan pribadi, dan aku tidak berniat melarang acara penjualanmu, tapi..."

     Sasaki-sensei mendengarkanku dengan wajah serius.

     Padahal ia bukan pembimbing klub kami, tapi ia memikirkan kami. Saat aku kembali berpikir betapa perhatiannya guru ini, Sasaki-sensei mengangkat bahunya.

     "Yah, bagaimanapun juga, jangan sampai ada masalah, ya."

     "Baik."

     Festival budaya tinggal kurang dari dua bulan lagi.

     Masalah Himari memang penting, tapi aku juga harus serius menekuni aktivitas sebagai "you". Terlebih lagi kali ini, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, aku punya tujuan yang jelas.

     Festival budaya adalah kesempatan sempurna untuk mencoba apa yang telah kupelajari dari pameran Tenma-kun dan yang lain—penataan dan penjualan. Mengingat penjualan aksesoriku biasanya berbasis daring, aku harus memanfaatkan kesempatan ini.

     Aku tidak menyangka akan mendapatkan kesempatan untuk menguji hasil perjalanan Tokyo secepat ini. Dengan dada yang berdebar tanpa sadar, aku memikirkan festival budaya yang akan datang.

     ...Saat itu, aku berharap tanpa sedikit pun keraguan.


 

♢♢♢

PoV

Inuzuka Himari

     Saat jam istirahat makan siang. 

     Aku tidak pergi ke ruang sains, melainkan menyantap bekal di kelas lain. Duduk mengelilingi meja bersama para gadis, kami asyik berbincang ria.

     "Terus, tahu enggak? Toko pasta baru di area perbelanjaan itu enak banget, lho. Katanya sih, koki yang membukanya itu hasil dari pelatihan di luar negeri. Agak mahal memang, tapi selalu ramai pengunjung dan aku sangat merekomendasikannya!"

     Dua dari gadis yang makan siang bersamaku mengangguk-angguk, "Oh, ya?"

     Salah satunya gadis berkacamata. Dia murid kelas dua dari klub musik dan sepertinya menjadi penanggung jawab angkatannya. Kesan pertamaku, dia tipe kakak perempuan yang asyik. Dia suka obrolan cabul, jadi dalam hal itu kami cocok.

     Yang lainnya gadis berambut kepang tiga. Sama-sama murid kelas dua dari klub musik. Dia sangat dekat dengan neneknya dan penggemar berat drama sejarah. Sekilas dia tampak pendiam, tapi dia adalah gadis dengan karakter unik yang menggunakan "saya" sebagai kata ganti dirinya.

     Gadis berkacamata bergumam, "Hmm..."

     "Tapi, aku jarang ada urusan ke area perbelanjaan itu, sih."

     "Itu memang jadi masalah, ya. Sekitar separuh tokonya sudah tutup. Kakakku juga sepertinya pusing memikirkan cara mengatasi depopulasi di sana."

     Kursi tempatku duduk bergerak-gerak.    

     Aku melanjutkan obrolan tanpa memedulikan. Menikmati telur dadar bekal makan siangku, rasa kaldu yang lezat meresap di lidah...

     "Aku juga cuma pergi ke sana pas festival, tapi kalau hari-hari biasa, AEON lebih gampang dijangkau, sih."

     "Benar, ya. Pada akhirnya, lokasinya yang terpencil itu enggak bagus."

     "Timur dan barat terhalang gunung, sih. Tapi memang enggak bisa diapa-apakan, karena awalnya area perbelanjaan itu dibangun di kaki gunung."

     "Inuzuka-san. Karena ada kuil besar di sana, apa mungkin kota berkembang di sekitar kuil itu?"

     "Entahlah. Kalau dibilang begitu sih, memang masuk akal..."

     Kursi yang kududuki bergerak-gerak, seolah memprotes.

     Kedua gadis di hadapanku juga tidak peduli, mereka terus melanjutkan obrolan.

     "Ngomong-ngomong, ada sesuatu yang sedang dibangun di dekat Jalan Raya 10, kan?"

     "Ah. Yang dulunya lahan kosong itu?"   

     "Iya. Bekas gedung pachinko. Mau bangun apa, ya? Inuzuka-san tahu?"

     "Itu, katanya mau dibangun toko Uniqlo."

     Kedua gadis itu membelalakkan mata.

     "Wah, bagus dong!"

     "Tapi kalau cuma Uniqlo, terlalu luas enggak, sih? Sisanya tempat parkir?"

     "Kakakku bilang, selain itu juga akan dibangun toko Starbucks dan restoran mi pedas dengan desain eksterior seragam, jadi katanya akan jadi semacam kompleks perbelanjaan yang stylish."

     "Kayak kota besar!"

     "Kota besar akan hadir di kota kami!"

     Ketiganya berseru "Asyik, ya!" "Iya, dong!" dengan antusias, lalu kursi yang kududuki bergerak-gerak.

     Aku akhirnya memprotes.

     "Hentikan~! Enocchi, jangan bergerak!"

     Enocchi, dengan wajah kesal, berkata sambil memangku aku,

     "...Hii-chan. Kenapa kamu makan di pangkuanku?"

     Aku, seolah sudah menunggu-nunggu, menjawab dengan ekspresi bangga,

     "Itu tentu saja, untuk bermesraan dengan Enocchi, dong! Meja kita sempit kalau berempat, jadi masalahnya selesai kalau aku duduk di pangkuanmu, kan!"


     "............"

     Mogyyaaaa...!

     Enocchi, Enocchi! Jangan mencubit lenganku diam-diam! Nanti kulit yang kubanggakan ini ada bekas luka permanen!

     —Hah. Tunggu dulu???

     "Kalau dinodai oleh Enocchi, mungkin enggak apa-apa juga...♡"

     "...Hii-chan. Menjijikkan."

     Aih!

     Hinaan tulus tanpa rekayasa itu menusuk hati, ya. Enocchi memang harus begini☆

     "Aku enggak bisa makan, lho..."

     "Ah, kalau begitu bilang dong dari tadi~ Biar aku suapin, ya."  

     Aku mengambil tomat ceri dari kotak bekal Enocchi dengan sumpit.

     Lalu, kuarahkan ke mulutnya dengan gerakan "aah~". Enocchi, dengan ekspresi sangat malas, menghalanginya dengan tangan.

     "Hii-chan. Makan sendiri aja... Ah!"

     Saat tangan kami bersentuhan, tomat ceri itu meluncur lepas dari sumpitku.

     Ia menggelinding seperti bola nasi yang berguling, lalu meluncur jatuh tepat ke belahan dada Enocchi. Persis seperti pukulan putter tingkat mahir seorang pegolf profesional.

     "Ah..." Kesunyian canggung menyelimuti.

     Aku merona merah, menutupi mulutku dengan malu-malu.

     "...Enocchi. Itu bukankah terlalu erotis?"

     "Ini gara-gara Hii-chan, kan!?"

     Mogyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah...!?  

     Aku benar-benar menerima cengkraman Iron Claw, dan jeritanku yang tak senonoh pun menggema. Untungnya, tatapan mata para laki-laki berhasil ditutupi dengan anggun oleh kedua teman Enocchi.

     Enocchi, dengan wajah cemberut, mengambil tomat ceri dan meletakkannya di atas tutup kotak bekalnya. Entah mengapa, gerakannya secara alami terlihat erotis...

     "Nanti kucuci dan kumakan."

     "Ah, kalau begitu aku aja yang..."

     Hii!

     Aku bercanda, sungguh bercanda. Sebodoh apa pun aku, aku tidak akan mengatakan hal mesum ingin memakan tomat ceri yang terjepit di belahan dada gadis cantik, puhahaha. ...Jadi, berhentilah menatapku seolah ingin membunuhku, ya?

     "Hii-chan. Cepat maafkan Yuu-kun."

     "Enggak mau! Kali ini, bahkan aku pun enggak akan memaafkannya begitu saja. Setelah melihat wajah 'nyaa-nyaa' yang begitu santai itu, cinta seratus tahun pun bisa luntur!"

     Kedua teman Enocchi saling mengangguk-angguk sambil menyeringai.

     "Wah, Natsume-shi juga hebat, ya."  

     "Dengan wajah tak bersalah seperti itu, ternyata dia berkencan di hotel dengan wanita berpayudara besar ini, ya."

     "Lagipula, dari ceritamu, ini kan semacam kekacauan. Kenapa Inuzuka-san malah makan bersama Rion seperti biasa?"

     "Ah, itu juga yang kupikirkan. Bukankah aneh bermesraan dengan selingkuhan?"

     Enocchi berbisik pelan, "Bukan selingkuhan, tapi teman..." namun teman-temannya sama sekali tidak mendengarkan.

     Aku tersenyum tipis, lalu dengan cekatan berputar di pangkuan Enocchi. Setelah berhadapan dengan Enocchi, aku melingkarkan kedua lenganku di lehernya dan tertawa kecil. Pose wanita jahat yang merayu pria, yang sering kulihat di film.

     "Tentu saja awalnya, ya? Aku juga sangat marah. Tapi aku berpikir lagi. Yang salah itu si brengsek 'nyaa', bukan Enocchi, kan?"

     "Hii-chan. Menyingkirlah."

     "Kita adalah mereka yang dipermainkan oleh pria yang sama, yang memiliki luka yang sama. Bisa dibilang, kita adalah rekan seperjuangan. Di seluruh dunia ini, enggak ada yang bisa saling memahami lebih baik dari kita berdua."

     "Hii-chan. Kamu menghalangi."

     Nfufu~ Sungguh, Enocchi tidak mau peduli, ya. 

     Tapi aku tahu. Sikap Enocchi ini adalah caranya mati-matian menutupi diri untuk melindungi diri. Bisa dibilang, itu seperti baju zirah. Pada saat yang sama, itu adalah bukti bahwa Enocchi adalah gadis murni yang mudah terluka.

     Oleh karena itu, aku akan terus mengulurkan tangan kepada Enocchi. Seperti mengangkat anjing buangan di hari hujan meskipun tangannya digigit.

     Enocchi juga, hatinya tersentuh oleh perkataanku.

     Wajahnya yang tadinya merengut kini mereda, dan ia balas menatapku dengan mata berkaca-kaca.

     (Ah, ini berhasil, nih?)

     Wajahnya persis seperti wajah laki-laki yang ingin menciumku.

     Di pengadilan dalam benakku, malaikat kecil dan iblis kecil dipanggil.

     Pertama, malaikat cantik mengangkat tangan dengan tegas.

     "Kurasa enggak baik kalau sesama perempuan!"

     Sebagai tanggapan, iblis yang tampak licik membalas dengan malas. 

     "Prasangka seperti itu enggak baik, tahu? Mari kita miliki pemikiran yang lebih global!"

     "Ini sekolah! Sekalipun aku yang tercantik di dunia, dan Enocchi yang kedua tercantik di dunia pun..."

     "Ah, iya, iya. Si malaikat kecil ini memang serius, ya."

     Si iblis kecil berdiri, lalu entah mengapa mendekati si malaikat kecil.

     Kemudian, ia meletakkan jari di dagu si malaikat kecil yang menggemaskan seperti biji ek, lalu mengangkatnya sedikit. Si iblis kecil tersenyum tipis, menampilkan senyum gadis cool yang tampan.

     Ia berbisik dengan nada sinis di telinga si malaikat kecil.

     "Kalau begitu, apakah itu pantas atau tidak—bagaimana kalau kita coba aja?"

     "Fu-fueeeh—!?"

     Si malaikat kecil dengan wajah merah padam didorong jatuh oleh si iblis kecil, dan persidangan di benakku pun ditutup.

     Aku membuka mata lebar-lebar. 

     —Bagus, berhasil! Aku menempelkan jari di bibir Enocchi, lalu berbisik dengan suara manis,

     "Enocchi? Sekarang, sesama perempuan lebih baik daripada laki-laki, kan?"

     "Hii-chan..."

     Napas Enocchi pun, entah kenapa, terasa hangat.

     ...Gawat. Aku sedikit terangsang.

     Eh, enggak boleh, enggak boleh. Melakukannya di tempat seperti ini benar-benar membuatku jadi wanita mesum, dong.

     Tapi, sudahlah. Sejujurnya, kalau aku dan Enocchi, itu sangat mungkin, kan? Lagipula, ini pemandangan yang indah, kan? Mungkin bahkan tidak aneh kalau ini jadi lukisan, ya? Justru saking sakralnya, mungkin orang-orang di seluruh dunia akan kembali mencintai perdamaian dan pemanasan global pun akan terhenti.

     Aku mengambil kesempatan itu, lalu menempelkan bibirku ke bibir Enocchi—

     Tentu saja, sesaat sebelum itu, aku mendapat Iron Claw☆

     Aku berteriak, "Mogyaaaaaahhh!" sambil diseret turun dari pangkuan Enocchi. 

     Enocchi berdiri tegar di depanku dengan wajah marah besar.

     "Hii-chan. Cukup!"

     "Hiks~ Enocchi, jahat deh~"

     Cih. Gagal, ya.

     Karena gagal, aku berpura-pura menangis untuk mengelak. Diam-diam aku mencoba menyentuh payudara Enocchi, tapi tanganku langsung ditepis. Sakit sekali...

     Aku membusungkan pipi sambil memegang kotak bekal yang sudah kosong. Aku menjulurkan lidah ke Enocchi.

     "Enggak apa-apa, dong~ Kalau Enocchi menyesal, saat itu aku sudah ada di pelukan wanita lain, kok~"

     "...Hii-chan. Hebat juga ya kamu masih dianggap seperti murid teladan."

     Aku hanya memilih-milih siapa yang kulihatkan sifat asliku. Maksudnya, ada saatnya serius, ada saatnya bercanda. Justru, ini bukti bahwa aku adalah wanita yang bisa diandalkan.

     Aku memasukkan kotak bekal ke dalam tas, lalu meregangkan badan dengan lebar.  

     "Baiklah~ Enocchi juga sudah bilang, jadi aku akan memaafkan Yuu sekarang~ Lagipula dia sudah melakukan 'nyaa-nyaa play' dengan benar."

     "Dari awal harusnya begitu... Eh? 'Nyaa-nyaa'?"

     "Iya. Aku bilang kalau mau dimaafkan, dia harus melakukannya, dan dia melakukannya di pelajaran matematika Sasaki-sensei."

     "Apa itu enggak apa-apa?"

     "Nfufu~ Dia ketahuan Sasaki-sensei dan dipanggil ke ruang bimbingan~"

     "Hii-chan..."

     Puhahaha.

     Yah, bagaimanapun juga, penebusan itu perlu. Untuk mengubah suasana hati.

     "Sebentar lagi harus mulai persiapan festival budaya, jadi sepulang sekolah nanti aku mau ke AEON~"

     "Oh, begitu..." 

     Enocchi menghela napas sambil menyeruput afternoon tea dengan wajah tak tertarik.

     "Jangan terlalu sering mengganggu Yuu-kun, ya."

     "Itu enggak bisa kujamin~"

     Meninggalkan suara "Sudah cukup..." dari Enocchi di belakangku, aku keluar dari kelas. Sambil mengayun-ayunkan tempat bekal, aku menghabiskan minuman Yogurppeku.

     Duh.

     Yuu memang tidak bisa apa-apa tanpaku. Jadi, dengan aku mendekatinya secara lembut, ikatan kami berdua akan tetap terjaga.

     (Aku enggak akan memaafkanmu di festival budaya nanti kalau kamu enggak memikirkanku aja, ya~♪)

     ...Saat itu, aku berpikir santai seperti itu.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close