Penerjemah: Nobu
Proofreader: Nobu
Grand Prologue
Makna Bunga Filia
♡♡♡
PoV
Enomoto Rion
Aku benar-benar percaya sampai hari ini bahwa cinta pertama ini takkan pernah layu.
Pameran pribadi Tenma-kun dan Sanae-chan.
Aksesori buatan Yuu-kun, sejujurnya… hampir tak laku terjual, sampai rasanya ingin tertawa.
Sejak pagi, para penggemar garis keras Tenma-kun berdatangan berbondong-bondong. Lalu siang harinya, memang ada beberapa orang yang tertarik pada aksesori Yuu-kun, tapi tetap saja tak ada yang benar-benar berniat membelinya.
Padahal aksesori Yuu-kun itu sungguh indah.
Kalau Tenma-kun dan yang lain sudah terlatih oleh Onee-chan memuji setinggi langit, aku bisa memahaminya. Bahkan aku pun takkan percaya kalau bukan Yuu-kun yang membuat aksesori seindah ini—takkan pernah terpikir ada teman seangkatan kami yang mampu membuatnya.
Meski begitu, betapa pun menawannya… di studio mungil ini, karya itu terasa asing.
Pertama-tama, rasanya tipe pengunjungnya benar-benar berbeda.
Tenma-kun memang bukan selebritas besar. Dia bukan orang yang akan diundang tampil di acara primetime. Apalagi kini, penggemarnya kebanyakan adalah mereka yang masih setia mengikuti mantan idol yang grupnya sudah bubar.
Para pengunjung di tempat ini… mereka semua tampak terlalu modis, terlalu berkelas.
Para penggemar yang mihak itu gampang berpaling. Tapi, kalau dipikir-pikir dari sudut lain, artinya antena ketertarikan mereka memang lebih peka. Karena mereka punya vitalitas untuk terus tertarik pada banyak hal, mereka pun lebih mudah menerima sesuatu yang berbeda.
Namun, pengunjung di tempat ini—dalam arti yang kurang baik—sikapnya sangat kaku.
Yang mereka terima hanyalah Tenma-kun dan cincin tengkoraknya. Hanya hal-hal yang masih berada di ranah atribut itu. Sejak pameran ini dimulai, saat aku memperhatikan cara mereka bertingkah, itulah kesan yang kudapat. Aksesori bunga hidup yang lembut dan menawan rasanya terlalu polos untuk orang-orang di sini.
Belum lagi angka yang tertera pada label harga tampak begitu trendi…
Aksesori Yuu-kun memang mahal. Kalau melihat biaya bahan dan tingkat kerumitan pembuatannya, harganya pantas—atau bahkan, menurutku, masih cukup bersahabat. Tapi itu karena aku tahu bagaimana proses pembuatannya.
Perbedaan selera pengunjung ditambah harga yang tinggi. Untuk orang-orang yang belum pernah sekalipun mengenal aksesori bunga, rasanya wajar jika mereka menganggapnya semacam penipuan.
Karena itu, aku pun tidak melakukan apa-apa.
Memang ada taruhan antara aku dan Yuu-kun. Tapi lebih dari itu, aku merasa sekuat apa pun berusaha, hasilnya tetap takkan berubah.
Bagaimana ya… Rasanya sama seperti mencoba menjual kue kelas dunia di sudut pusat permainan di pinggir jalan. Tentu saja takkan laku. Berusaha mendapatkan keuntungan dari orang-orang yang sama sekali tidak tahu nilainya—itulah salah satu langkah terburuk dalam berdagang.
Yuu-kun bilang dia ingin menimba pengalaman sebagai seorang kreator, tapi pengalaman yang tidak berarti itu sama saja dengan tak punya pengalaman sama sekali… Tidak, malah bisa jadi sesuatu yang justru merugikan dirinya. Kalau memang ada satu hal yang bisa ia petik dari pameran ini, mungkin hanya kesadaran itu saja.
Padahal aku sudah berpikir begitu──
“Jangan cuma duduk melongo dengan tatapan kosong di tengah-tengah pameran. Kalau kamu berhenti berjuang sebelum selesai, mana mungkin kamu dapat pengalaman, dasar bodoh.”
Tiba-tiba saja, seorang pria berwajah tak terawat dengan jenggot berantakan datang menghampiri. Bajunya lusuh, sikapnya juga sangat sombong. Memang kelihatan sengaja tampil fashionable, tapi entah kenapa aku tidak suka. Sejak awal, rasanya selera kami tak akan pernah sejalan.
Katanya dia guru Tenma-kun… tapi, apa ya… Sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat. Awalnya kupikir dia selebritas lagi, tapi rasanya bukan seperti itu.
Sudah lama sekali, saat kakakku masih SMA.
Aku merasa orang ini pernah datang main ke toko kue keluargaku…
“!?”
Aku menggeleng kuat-kuat.
Sekarang, siapa dia sebenarnya tidak penting sama sekali. Yang penting, dia tiba-tiba muncul dan berusaha menyerang Yuu-kun dengan kata-kata aneh. Dia musuhku. Barusan saja dia menyebut aksesori Yuu-kun sampah. Kalau aku dan Yuu-kun tidak sedang bertengkar, pasti sudah kulumpuhkan dia dengan jurus kombo pamungkas!
…Pria itu akhirnya pergi sambil memasang ekspresi bangga, seakan baru saja memberi wejangan penting yang tak kumengerti sama sekali. Benar-benar tak masuk akal. Kau sama sekali tak kenal Yuu-kun, tapi senang sekali berbicara seakan paling tahu, lalu merasa hebat hanya dengan melontarkan teori umum pada anak-anak?
Yuu-kun itu… sudah baik-baik saja seperti ini.
Tak perlu sok bergaya atau pura-pura keren. Kamu hanya perlu terus membuat aksesori indah seperti biasanya. Kalau itu Yuu-kun, aku—berbeda dengan Hii-chan—akan selalu ada di sini untuk mendukungmu.
“Ya, kan, Yuu-kun?”
Aku memanggilnya, diliputi rasa cemas.
Tak ada jawaban. Apa dia benar-benar terpukul? Aksesori saja sudah tidak laku, ditambah lagi diserang habis-habisan oleh orang tadi… Kalau dia marah pun rasanya wajar—eh?
Yuu-kun… tidak marah.
Sebaliknya, matanya bersinar terang.
Seperti cahaya kecil yang berkedip-kedip di tengah kegelapan pekat. Seperti saat batu saling beradu, memercikkan api yang tajam dan panas.
Dan nyala kecil itu pun berkorbar di matanya. Wajahnya seolah berkata bahwa ia sudah lama menunggu momen ini.
“Maaf, Enomoto-san! Untuk sementara, tolong bantu layani para pengunjung, ya!”
“Eh, tapi…”
“Enggak perlu menyapa pengunjung lebih dulu. Kalau ada yang mau membeli, cukup bantu urusan uang kembalian saja. Kumohon! Tolong, ya!”
“…”
Yuu-kun menundukkan kepala dalam-dalam.
Melihat sikapnya itu, entah kenapa aku merasa, Apa sekarang dia sudah tak peduli lagi kami sedang bertengkar?
“Kalau cuma itu… ya, baiklah.”
Aku akhirnya menyerah dan mengangguk setuju.
Begitu saja, Yuu-kun langsung masuk ke mode konsentrasinya. Sama seperti saat ia membuat aksesori—sampai-sampai apa pun yang terjadi di sekitar takkan bisa mengganggunya.
“Matanya… Gunakan matamu…”
Ia bergumam pelan, sambil menatap sekeliling dengan sorot tajam.
Saat di tengah-tengah, ia mulai menatap aksesori bunga itu dan berkata, “Aku benar-benar khawatir waktu kamu hampir layu…” lalu menangis, aku hanya bisa menahan napas—Astaga…—tapi suasananya segera berubah.
Hingga menjelang penutupan pameran, Yuu-kun menghampiri seorang gadis berambut bob pendek.
Aku tak tahu kenapa dia memilih gadis itu.
Di mataku, dia hanya salah satu penggemar garis keras Tenma-kun. Saat temannya sibuk memuja-muja Tenma-kun, dia hanya melirik-lirik ke arah Yuu-kun… hanya itu.
(Eh…?)
Aku baru sadar. Jangan-jangan anak ini bukan penggemar Tenma-kun? Dia hanya menemani temannya, dan justru karena itu, ia tampak begitu penasaran menatap sekeliling?
Jantungku berdegup kencang.
Pandangan Yuu-kun sudah menatap lurus pada satu hasil yang pasti.
Dan akhirnya, aksesori itu pun terjual.
Untuk pertama kalinya, Yuu-kun berhasil, dengan kekuatannya sendiri, menyampaikan sepenggal jiwanya kepada seseorang.
Gadis berambut bob itu keluar dari pameran sambil memeluk kantong kertas berisi aksesori dengan wajah berseri-seri. Temannya yang bergaya punk terbelalak kaget.
“Mahal banget, ya!?”
Tapi gadis itu hanya tertawa dan menjawab, “Tapi lucu banget, jadi enggak apa-apa.”
Yuu-kun menatap mereka berdua pergi tanpa berkata apa pun.
Begitu pintu tertutup, Tenma-kun langsung menggantung papan bertuliskan “Pameran hari ini telah selesai” di depan studio. Padahal jam tutupnya masih belum benar-benar tiba… Saat aku masih heran, Tenma-kun berlari ke arah kami dengan kedua tangan terentang lebar.
“Natsume-kun, kamu berhasil!!”
Yuu-kun berdiri, mengepalkan tangan, lalu mendongak dan berteriak sekuat tenaga ke arah langit-langit.
“Uwaaaaaaaaaaaahhh!!”
Mereka berdua saling merangkul erat, tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk punggung satu sama lain. Wajah Yuu-kun entah sedang tertawa atau menangis—mungkin keduanya sekaligus. Semua perasaan itu bercampur jadi satu.
“Aku… sebenarnya belum pernah menjual aksesori sendirian…! Selama ini aku takut, jangan-jangan semuanya cuma laku karena Himari yang bantu promosi…! Tapi, serius, tadi benar-benar terjual, kan…!? Ini… enggak bakal dikembalikan, kan…!?”
“Tenang, tenang saja! Dia kelihatan sangat menyukainya, kan!”
“Iya, ya…!! Dia pasti senang sekali bisa dimiliki orang sebaik itu…! Astaga, aku masih benar-benar enggak percaya…!”
(TLN : kalimat "Dia pasti senang sekali bisa dimiliki orang sebaik itu" Merujuk pada aksesori nya)
Sambil saling menepuk punggung, mereka berdua tertawa sambil berseru, “Sakit, sakit!” Rasanya begitu alami—seperti dua sahabat lama yang sudah bertahun-tahun berbagi suka duka bersama.
Sanae-chan pun ikut bertepuk tangan dengan wajah gembira. Anak-anak yang bekerja paruh waktu di sana menirunya dengan ekspresi kosong, seolah tak sepenuhnya paham apa yang terjadi.
Dari sekian banyak aksesori yang dipajang, hanya satu yang terjual.
Apakah itu benar-benar sesuatu yang membuat mereka sampai sebahagia ini?
Aku… tak bisa memahami perasaan itu.
Meski kue yang kubuat laku terjual, aku rasa aku takkan pernah merasa sebahagia itu. Aku juga tak mengerti kenapa mereka bisa bersungguh-sungguh sampai sejauh ini. Mungkin aku bisa memahaminya dengan kepala, tapi hatiku tetap tertinggal jauh di belakang.
Kalau saja Hii-chan ada di sini… apa yang akan ia lakukan?
Kalau Hii-chan yang berdiri di sampingnya… apa dia akan tertawa bersama mereka?
Kenapa di sini bukan Hii-chan, melainkan aku?
──Saat itu, cinta pertamaku menimbulkan suara kecil yang mencuit perih di dada.
♡♡♡
Keesokan harinya setelah Yuu-kun berhasil menjual aksesori seorang diri.
Hari ketujuh perjalanan kami di Tokyo. Waktu bebas terakhir.
Besok siang, kami akan pulang ke kampung halaman dengan pesawat.
Saat selesai sarapan bersama, Yuu-kun bersiap-siap, lalu menatapku dengan wajah penuh rasa bersalah.
“Enomoto-san… kamu yakin tidak apa-apa?”
“Ya. Enggak apa-apa kok.”
Aku menjawab sambil tersenyum lembut.
“Yuu-kun, hari ini kamu harus menjual semua aksesori itu, kan?”
“Y-ya, sih… memang begitu, tapi…”
Jawabannya terdengar ragu-ragu.
Padahal waktu itu, dia memutuskan ikut pameran dengan begitu yakin dan keras kepala. Tapi sekarang, melihat dia sedikit merasa bersalah, rasanya aku jadi lega. Kalau dia keluar dengan wajah riang seakan tak peduli sama sekali, aku sendiri pasti tak tahu harus merasa bagaimana.
“Kita masih bisa main bareng sepulang ke kampung, kan? Tapi pameran Tenma-kun ini… mungkin kamu takkan bisa ikut lagi nanti.”
“Enomoto-san sendiri enggak apa-apa?”
“Ya. Enggak apa-apa kok. Aksesori buatanmu lagi bagus-bagusnya, kan? Aku malah merasa enggak enak kalau sampai mengganggumu.”
“Bukan ganggu sih, tapi…”
Meskipun dia bilang begitu, dari ekspresinya sudah jelas dia benar-benar ingin pergi. Aksesori pun masih ditinggalkan di studio, jadi kalau dia mau mengambilnya, ya pasti sekalian ikut pameran juga.
“Kamu sendiri enggak mau ikut?”
“Aku sudah ada rencana.”
Aku menyodorkan ponsel, memperlihatkan foto sebuah kafe pancake terkenal. Tumpukan pancake meringue yang masih hangat dan lembut, ditambah krim kental yang melimpah tanpa ragu.
Saat Yuu-kun menelan ludah, aku tersenyum licik.
“Aku juga akan makan bagian Yuu-kun.”
“U-umm… kalau dibungkus untuk dibawa pulang…?”
“Kalau sudah dingin, rasanya jadi tak enak. Anggap saja ini latihan mental.”
“Gunu…nu…”
Meski begitu, dia tetap tak bilang ingin ikut makan pancake.
Tatapan Yuu-kun sudah sepenuhnya tertuju pada satu hal: bagaimana menjual semua aksesori di pameran hari ini.
Begitu persiapan selesai, aku melambaikan tangan sambil berkata,
“Semoga hari ini semua aksesori terjual, ya!”
“Ya. Aku akan berusaha.”
Biasanya dia akan menjawab, ‘Kalau bisa, sih…’ tapi kali ini dia menjawab dengan wajah segar penuh semangat lalu melangkah keluar hotel.
Aku menatap punggungnya yang menjauh, lalu menarik napas kecil.
(…Aku juga harus pergi.)
Aku mengambil buku catatan di samping telepon kamar dan menulis beberapa hal penting. Setelah memastikan semua barangku sudah rapi, aku pun meninggalkan hotel.
Sebenarnya, soal pergi makan pancake tadi hanya bohong. Aku sama sekali tak peduli soal itu.
Lagipula, kalau hanya ingin makan sendirian, kue di toko keluargaku jauh lebih enak. Memang aku jadi berbohong pada Yuu-kun… tapi, ya sudahlah. Anggap saja impas.
(…Ah. Benar juga.)
Saat di loket tiket kereta bawah tanah, tiba-tiba aku terpikir sesuatu.
Aku mengecek peta di ponsel, lalu memutuskan untuk singgah sebentar.
Sesampainya di stasiun tujuan, aku turun dan melangkah naik ke permukaan.
Di tengah hiruk-pikuk kota besar, terbentang taman hutan yang luar biasa luas. Rasanya seperti sepotong alam purba yang tertinggal di zaman modern. …Padahal, kalau aku sedikit menoleh, gedung pencakar langit Tokyo berdiri tak jauh di sana, jadi tentu saja itu hanya perasaanku.
Aku menyusuri jalur setapak di taman hutan itu. Jalanannya rapi dan terawat, mengingatkanku lagi bahwa semua ini tetap bagian dari dunia modern.
“Hmm… kalau lihat petanya, seharusnya di sekitar sini… Ah.”
Ketemu. Rumah kaca tempat pameran yang kucari.
Inilah tempat yang waktu itu pernah kuceritakan pada Yuu-kun—tempat yang memamerkan bunga hibiskus varietas asli.
Bangunannya tampak seperti gubuk kayu sederhana, katanya di dalam sana bunga-bunga musiman dipamerkan bergantian. Karena masih pagi, belum ada pengunjung lain.
Aku pun segera melangkah masuk dan menatap hibiskus varietas asli itu…
“…Eh?”
Tidak ada.
Hibiskus yang selama ini kubayangkan tak tampak di mana pun. Sebagai gantinya, yang dipamerkan hanyalah semak berbunga yang bahkan namanya pun belum pernah kudengar. Memang bunganya cantik… tapi tetap saja, itu bukan yang kucari.
Kenapa?
Aku menunduk, buru-buru mencari blog itu di ponsel. Tapi tak kunjung kutemukan. Aku terus menggulir layar ke bawah, semakin jauh ke arsip lama, tetap tidak ketemu. Sampai akhirnya, saat air mataku hampir tumpah karena frustrasi, aku menemukan halaman itu.
Dan saat itu juga aku menyadari satu hal.
Tanggal tulisan di blog itu… sudah lima tahun yang lalu.
Selama beberapa hari terakhir ini, aku tak lagi bisa berpikir jernih sampai-sampai hal sederhana itu pun tak kusadari.
Aku hanya… ingin menarik perhatian Yuu-kun. Ingin menemukan alasan agar dia mau tetap di sisiku. Karena kalau tidak kulakukan, rasanya dia akan segera pergi ke tempat yang tak bisa kukejar.
Dan sekarang, aku tahu… firasat itu memang benar.
“…Begitu, ya…”
Di ruang pameran yang sepi, aku berbisik pelan.
Aroma bunga yang pekat memenuhi seluruh ruangan. Mungkin karena bangunannya mirip rumah kaca, hawa panas di tempat ini begitu menyesakkan. Kepalaku terasa ringan, tubuhku seakan meleleh, membuatku merasakan sensasi gamang seolah aku bukan diriku sendiri.
…Rasanya mirip dengan hari itu.
Saat masih SD, aku pernah pergi ke kebun raya. Onee-chan entah bagaimana menghilang entah ke mana, meninggalkanku sendirian. Rasa takut itu menyesakkan—seperti tak ada seorang pun di dunia yang membutuhkanku.
…Mirip, tapi juga berbeda.
Sekarang aku di Tokyo. Aku sudah SMA. Onee-chan sudah lama pergi dari rumah. Pameran hibiskus pun sudah selesai. …Dan Yuu-kun takkan datang menjemputku.
“Sudah… terlambat, ya…”
Perlahan, aku menggenggam erat pergelangan tangan kiriku—di sana ada gelang Gekka Bijin.
Gelang yang dibuat Yuu-kun, diperbaiki oleh Yuu-kun, dan pada akhirnya mempertemukanku dengan Yuu-kun. Harta berhargaku.
Aku meraih pengaitnya, lalu menarik hingga terputus.
Semuanya… sudah terlambat.
Sejak pertama kali aku datang ke Tokyo ini—
Saat aku menolong Hii-chan dulu, bersama Onee-chan—
Saat aku mencoba menghentikan pertengkaran Yuu-kun dan Hii-chan—
Saat aku bertemu lagi dengan Yuu-kun di SMA—
Dan saat aku menerima gelang Gekka Bijin ini dari Onee-chan—
Sebenarnya, Yuu-kun sudah tak lagi berada di taman kenangan kami.
Dia telah meninggalkanku jauh di belakang—dan sejak lama mulai berlari menuju masa depannya sendiri.
♣♣♣
PoV
Natsume Yuu
Sore hari, pukul enam petang.
Pameran hari ini selesai lebih cepat daripada kemarin. Atau lebih tepatnya, sejak aksesori Tenma-kun habis terjual, pameran itu rasanya sudah kehilangan maknanya.
Dia sempat mengajakku makan malam terakhir, tapi aku menolak dengan alasan harus segera menemui Enomoto-san. Nomor kontaknya sudah aku simpan, nanti setelah pulang ke kampung halaman, akan langsung kutambahkan di LINE.
Tapi entah kenapa… ada perasaan gelisah yang aneh.
Padahal kemarin dia sempat sangat marah, tapi hari ini sikapnya jadi luar biasa lembut. Bahkan soal taruhan kami pun, dia seperti sudah tak peduli lagi. Tadinya kupikir, kalau dia sedang senang, ya biar saja. Tapi sekarang, mendadak jantungku berdegup kencang tak karuan.
Sambil menggendong kardus kecil berisi sisa stok aksesori, aku kembali ke hotel. Begitu membuka kunci pintu, cahaya terang dari suite room yang mewah langsung menyambutku.
Malam ini akan jadi malam terakhir kami di sini. Rasanya semua berlalu begitu cepat—sedikit membuatku enggan berpisah. Sebenarnya aku belum puas menikmati kamar ini. Malam ini, aku ingin mencoba memainkan piano yang ada di sudut ruangan…
“Ah. Yuu-chan, selamat datang~☆”
…Hampir saja kardus di tanganku jatuh saking terkejutnya.
Di meja, sudah tersaji hidangan mewah—roast beef dan meunière yang tampak elegan.
Aku menatap Kureha-san yang tampak santai menikmati makan malamnya, lalu bertanya dengan nada tak percaya:
“Umm… kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu seharusnya bekerja?”
“Jahatnya~! Ini kan hotel yang aku pesan sendiri. Masa aku enggak boleh ada di sini~?”
Seperti biasa, saat dia pura-pura marah sambil berseru “pun pun!”, payudaranya yang besar ikut berguncang hebat.
Bukan itu masalahnya… Maksudku, dia selalu muncul tiba-tiba, bikin jantungku nyaris copot… Ah, sudahlah.
Karena aku sedang agak lelah, aku memilih tak menanggapi. Sambil menyesap wine-nya, Kureha-san menatapku dengan tatapan yang seolah bisa membaca isi kepalaku.
“Ufufu~. Dari raut wajahmu, sepertinya hari ini aksesori sama sekali tak laku, ya~☆”
“…Benar juga.”
Aku mengaku saja tanpa banyak membantah. Toh percuma menyembunyikan apa pun darinya. Lagi pula, kalau dia mau, dia bisa langsung menanyakannya pada Tenma-kun dan yang lain.
Hari ini, aku memang tak berhasil menjual satu pun.
Aku sudah berusaha fokus pada aksesori, mencoba membaca tatapan pengunjung yang menunjukkan minat kuat. Tapi semuanya meleset. Meski kucoba mengingat-ingat kembali perasaan kemarin, hasilnya tetap saja tak memuaskan.
Yah… memang tak semudah itu bisa langsung ludes terjual hanya bermodal insting sesaat.
Tapi setidaknya, aku sudah menemukan salah satu cara untuk menjual aksesori. Bagi seorang pemula sepertiku, itu sudah pencapaian besar. Tinggal berkali-kali mencoba lagi dan terus menyempurnakan tekniknya.
Ah, benar. Aku harus minta maaf pada Enomoto-san.
Padahal dia sudah repot-repot melepas kepergianku dengan semangat, tapi bukannya menjual semuanya, satu pun tak berhasil terjual.
Ditambah lagi, ada soal taruhan itu.
Gimana aku harus menjelaskannya pada Himari nanti? Meski kuceritakan sejujurnya… dia pasti… ah, tetap saja dia tak akan memahaminyaaa!
Saat aku merutuki diriku sendiri, aku baru menyadari sesuatu—Enomoto-san tak ada di kamar.
Di meja makan pun hanya ada porsi untuk Kureha-san seorang. Apa dia keluar sebentar ke minimarket… atau mungkin sedang mandi?
“Kureha-san. Enomoto-san ke mana?”
“Kalau Rion~ sudah pulang ke kampung halamannya, loh~☆”
…Hah?
Jawabannya begitu tiba-tiba, terlalu jauh dari dugaan sampai rasanya aku tak bisa langsung mencernanya.
Kupikir itu hanya lelucon buruk.
Tapi entah kenapa, hawa dingin merambat di sepanjang punggungku. Panik, aku berlari membuka pintu kamar tidur.
Koper Enomoto-san yang sejak pagi masih ada di sana, sudah lenyap.
Kulempar pandangan ke dalam lemari. Semua pakaiannya yang dulu tergantung rapi, tak bersisa sedikit pun.
Hanya baju-bajuku sendiri yang sudah dicuci laundry, tergantung di sana dengan rapi.
Sungguh… ini serius?
Tapi… kenapa? Enomoto-san bilang sendiri, hari ini dia mau pergi makan pancake, kan?
“Kureha-san… maksudnya Enomoto-san sudah pulang…?”
“Tadi waktu aku mampir melihat-lihat, dia meninggalkan ini~”
Kureha-san menyerahkan sebuah buku catatan padaku.
Di situ, dengan tulisan tangan Enomoto-san, tertera detail lengkap jadwal penerbangan besok, rute kereta dari stasiun terdekat, dan petunjuk perpindahan jalur yang sangat rinci. Enomoto-san… ini benar-benar sudah memperlakukanku seperti anak kecil yang mau bepergian sendiri untuk pertama kalinya, ya?
Tidak, ini bukan waktunya mikir hal konyol seperti itu. Yang lebih penting sekarang adalah pesan yang dia tinggalkan untukku.
“Supaya tidak mengganggu Yuu-kun, aku pulang duluan ke kampung halaman. —Rion”
…Apa?
Tidak, maksudnya mengganggu itu apa? Dia juga bilang begitu tadi pagi, tapi aku sungguh tak mengerti.
“Apa maksud semua ini…?”
“Entahlah~. Dari dulu aku juga enggak pernah benar-benar paham apa yang dia pikirkan~.”
Aku nyaris menganggap itu bohong.
Entah kenapa, aku merasa Kureha-san sebenarnya sudah bisa menebak semuanya. Tapi dia tak mau memberitahuku. Begitulah perasaanku.
“Lagipula, memangnya kenapa, sih~? Yuu-chan kan sudah jelas lebih peduli sama aksesori. Urusan Rion, biar saja~☆”
“Bukan… bukan itu masalahnya…”
“Eh~? Apa ada yang salah dengan itu~?”
“Memang aksesori itu penting… tapi Enomoto-san juga sahabat yang sangat berarti bagiku…”
Kureha-san mengambil sepotong daging roast beef dengan garpu, lalu memutarnya perlahan sebelum menusukkannya dengan lembut. Entah kenapa, gerakan itu membuat jantungku berdegup aneh. Ada tekanan tak kasatmata di balik sikap santainya.
Apa aku barusan mengatakan sesuatu yang aneh?
Saat aku dicekam kegelisahan yang tak kumengerti, Kureha-san menatapku sambil tersenyum tipis dan berkata:
“Kamu sadar enggak, kalau sebenarnya kamu hanya sedang mengulangi apa yang dulu kamu lakukan pada Himari-chan~?”
“…!?”
Daging roast beef itu mulai ditusuk-tusuk dengan garpu, berkali-kali, hingga penuh lubang. Potongan dagingnya terbelah menjadi serpihan tak berbentuk, seperti pemandangan yang anehnya membuatku bergidik.
Sambil terus tersenyum manis, Kureha-san melirikku dengan tatapan menyudutkan.
“Yuu-chan sendiri sudah paham, kan~? Kata sahabat itu sebenarnya punya makna yang lebih dari yang kelihatannya. Kamu pura-pura enggak tahu, lalu terus saja memperlakukan Rion seperti cadangan—kayak simpanan kecilmu~.”
“B-bukan… aku sama sekali enggak berniat begitu…!”
Saat aku buru-buru hendak membantah, ujung garpu Kureha-san tiba-tiba terarah tepat ke ujung hidungku.
Seketika punggungku terasa dingin, membuatku tanpa sadar terdiam. Dengan senyum lembut yang sama sekali tak pudar, Kureha-san melanjutkan kata-katanya, seakan ingin terus menekan dan menyudutkanku.
“Benar, kan~? Kamu enggak berniat macam-macam, kan~? Yuu-chan mana mungkin setega itu, iya kan~?”
Sambil berkata begitu, ia terkikik pelan.
“Tapi, tahu enggak~? Orang yang yakin dirinya paling benar… justru bisa jadi penjahat paling merepotkan di dunia ini, lho~.”
“……”
Ia meletakkan garpunya di atas piring.
Kureha-san bangkit berdiri, lalu berjalan menuju kulkas di dapur. Ia membuka pintunya, mengambil sebuah kotak kertas kecil. Dari logo elegan di permukaannya, siapa pun bisa langsung tahu isinya—pasti kue atau semacamnya. Itu donat populer yang kemarin kubeli dan langsung kusimpan di kulkas begitu saja.
“Soal pameran itu, aku sudah dengar~. Katanya, Yuu-chan akhirnya berhasil menjual aksesorinya dengan usahamu sendiri, ya~? Dari situ, kamu berhasil meraih salah satu peluang buat naik ke panggung berikutnya~. Selamat ya~☆”
Ia membuka kotak itu, memperlihatkan donat lembut berhiaskan krim putih yang tampak berkilau. Dengan tenang, ia meletakkannya di piring kecil, menyiapkan garpu, lalu mendorongnya ke arahku.
Seolah-olah berkata, “Ini hadiah karena kamu sudah berhasil melewati ujian dariku, lho~☆”
“Sebagai gantinya… Rion jadi sadar, lho~?”
Jantungku berdegup kencang, duk!—seakan ditikam sesuatu.
Kureha-san mulai menyiapkan minuman dengan coffee server. Aroma harum biji kopi yang baru digiling memenuhi ruangan, disusul suara tetesan yang menenangkan saat cairan hitam pekat mengisi cangkir.
Ia membawa dua cangkir sekaligus, lalu meletakkan salah satunya di depanku di atas meja.
“Dari sini… babak kedua dimulai, ya~?”
Bahunya menyentuh pundakku.
Rasanya seperti panas yang tidak enak itu menular padaku. Tatapan Kureha-san bersinar aneh bagai seorang penyihir, seolah-olah sedang membidikkan sesuatu tepat ke arahku.
“Semoga Yuu-chan bisa mempertahankan apa yang paling penting bagimu sampai akhir, ya~?”
“……”
Di atas meja, ada bunga geranium merah terang.
Bunga itu punya makna… persahabatan sejati—atau aku bahagia karena ada kamu.
Barulah aku menyadarinya.
Bagi Kureha-san, entah aku berhasil ataupun gagal di pameran, itu sama sekali bukan persoalan. Yang benar-benar penting hanyalah… gesekan yang akan tercipta dari perputaran roda nasib setelahnya.
…Aku merasa baru sedikit bisa menangkap apa sebenarnya maksud ucapan orang ini ketika ia berkata akan menghancurkan mimpiku.
♡♡♡
PoV
Enomoto Rion
Aku gagal. Semua penerbangan… sudah penuh.
Bandara yang dipenuhi orang-orang di akhir libur musim panas itu benar-benar kacau. Baru sekitar pukul tujuh malam aku berhasil mendapatkan tiket pulang ke kampung halaman.
Sejak sebelum siang, aku hanya duduk menunggu di bandara yang sesak oleh lautan manusia. Waktu memilih oleh-oleh untuk Ibu hanya memakan waktu tak sampai sejam, dan dek observasi di atap pun cepat membuatku bosan. Karena berjam-jam duduk di ruang tunggu, pinggangku rasanya sakit sekali…
Waktu naik pesawat akhirnya tiba sekitar pukul delapan malam lewat.
Pesawat yang sempit itu pun lepas landas, membawa diriku jauh dari hiruk pikuk kota besar.
Saat perubahan tekanan membuat telingaku berdenging nyeri, aku menoleh memandangi jendela. Pemandangan malam kota yang terhampar di balik jendela mungil itu… bagaikan hamparan bintang yang ditebarkan begitu saja, cantik sekali.
Aku ingin mengingat pemandangan ini selamanya.
Ini akan jadi kenangan baru. Sebuah tekad baru dalam diriku.
──Aku akhirnya tahu apa arti sebenarnya kata sahabat.
Sekilas, kata itu terdengar seperti simbol ikatan yang sangat erat… padahal hakikatnya sama sekali berbeda. Kalau bunga Anemone yang melambangkan persahabatan itu punya satu lagi makna tersembunyi, aku yakin makna itu pasti… ini.
'Akan terus menjadi yang kedua bagimu'
Tak peduli seberapa lama waktu yang dihabiskan bersama.
Tak peduli sekuat apa pun ikatan yang terjalin.
Pada akhirnya, hanya sebatas teman.
Sebesar apa pun mimpinya yang paling berharga, atau gadis yang paling ia cintai, semua itu pasti membuatku lenyap begitu saja… Tidak, mungkin justru menyingkir dengan tenang dari sisinya dianggap sebagai sebuah kebajikan bagi sosok seperti ini.
Bunga anemone putih itu pun mekar di sudut hutan, di tempat yang tak pernah dilihat siapa pun.
Apa Hii-chan sudah menyadari itu sejak awal?
Itukah sebabnya dia begitu keras kepala merebut Yuu-kun dariku?
Sementara aku… tanpa sadar hanya bisa menatap semuanya dari balik kaca etalase?
“…Sungguh, aku ini bodoh sekali.”
Aku menempelkan kening pada jendela, lalu bergumam pelan seorang diri.
Perempuan di sebelahku—sepertinya baru pulang liburan—sempat tampak sedikit kikuk… namun akhirnya pura-pura tak peduli dan mengenakan penutup mata.
(Aku ini bodoh. Mana mungkin segalanya berjalan sesuai keinginanku…)
Tapi, aku tak bisa menjadi seperti Hii-chan.
Aku tak sanggup berkata bahwa aku ingin dia lebih memerhatikan diriku ketimbang mimpinya.
Dan kalau aku pun tak mampu mencurahkan semangat pada mimpi Yuu-kun, maka aku akan menyerah untuk tetap berada di sisinya.
Aku akan mengucapkan selamat tinggal pada semua kenangan masa kecilku.
Dengan tangan kiriku yang kini terasa ringan setelah melepas aksesoris Gekka Bijin, aku akan melambaikan tangan, mengucapkan selamat tinggal.
Hei, Yuu-kun.
Perjalanan terakhir kita di Tokyo ini… menyenangkan, ya?
Kita sudah menciptakan banyak kenangan yang hanya milik berdua, bukan?
Ini pertama kalinya aku pergi berlibur bersama seorang laki-laki.
Pertama kalinya juga aku berfoto bersama, dan pertama kali menonton pertandingan gulat.
Pertama kalinya tidur di ranjang yang sama, dan pertama kali bertengkar dengan seorang laki-laki.
Kalau aku sudah menggenggam begitu banyak kenangan dengan kedua tanganku, aku yakin ke depannya aku bisa berjalan sendiri.
Karena kalau lebih dari ini, terlalu berat… dan aku hanya akan tersandung.
Mungkin kami tak akan pernah bisa menghabiskan waktu bersama seperti dulu lagi.
Dan aku pun bukan sosok yang tak tergantikan bagi Yuu-kun.
“──Tapi, kita ini tetap sahabat, kan?”
Kata Penutup
Kami tadi sedang membicarakan soal bagaimana, seakrab apa pun sepasang kekasih, kalau pergi liburan sekitar seminggu, pasti pulangnya dalam keadaan habis bertengkar.
Terima kasih banyak sudah membaca volume ini juga. Saya, Nanana, yang menulisnya.
Begitu Himari akhirnya berhasil memulai hubungan, eh, Rion sudah seperti pasangan suami istri yang sedang bertengkar, ya??? Ke depannya akan jadi seperti apa, sih??? ...Begitulah yang terlintas di benak Nanana—yang sekarang terjebak dalam serial yang ternyata jauh lebih panjang daripada yang pernah saya bayangkan saat volume pertama, sampai-sampai kepala saya rasanya mau copot karena terlalu banyak memikirkannya.
Dalam "Danjoru?" ini, sejak awal sudah ada satu sosok yang terasa berbeda sendiri.
Saya rasa kalian juga sudah menyadarinya—Rion adalah satu-satunya yang terlalu sempurna. Namun, sepertinya di dunia ini tak ada manusia yang benar-benar sempurna, dan kalau pun ada, mungkin dia sebenarnya bukan manusia, melainkan sesuatu yang hanya menyerupai wujud manusia.
Kisah tentang dirinya yang untuk pertama kalinya mulai bernapas ini, akan terjalin seperti apa dengan Yuu dan yang lainnya?
Babak kedua, Festival Budaya di musim gugur.
Setelah pengembaraan yang panjang, ke manakah akhirnya cinta pertama Rion akan berlabuh? Ketika ia menyentuh hati Himari yang terluka akibat kencan menginap yang penuh pengkhianatan, kisah terlarang para gadis pun dimulai!
Flag 5. “Sudah, rasanya lebih baik sesama perempuan saja, kan?” — Akankah editor bisa menghentikan kegilaan Nanana!? Nantikan kelanjutannya!!
Berikut ini sedikit informasi promosi.
"Danjoru?" versi voice comic sepertinya sedang tayang di channel YouTube Dengeki Bunko. Manga karya Kamelie-sensei kini dilengkapi dengan suara! Jangan lupa untuk cek dan tonton, ya!
Berikut, ucapan terima kasih.
Kepada Parum-sensei selaku ilustrator, dan K-sama selaku editor yang bertanggung jawab, serta semua pihak yang terlibat dalam produksi dan penjualan buku ini. Terima kasih banyak karena telah bekerja sama dengan saya di volume kali ini. Saya mohon dukungan Anda semua di volume berikutnya juga.
Sampai jumpa di kesempatan berikutnya.
Februari 2022
Nanana
Post a Comment