NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 5 Prologue

 Penerjemah: Nobu

Proofreader: Nobu


Prologue

Rasa Sendu Sang Gekka Bijin


♠♠♠

     Halo.

     Aku Makishima Shinji, yang suatu hari nanti akan melampaui yang terkuat.

     Nah, liburan musim panas yang panjang akhirnya akan berakhir besok. Sangat panjang. Benar-benar panjang. Kurasa ini bukan hanya perasaanku saja. Rasanya ada kejadian sebanyak tiga kali liburan musim panas.

     Malam tanggal 30 Agustus. Saat hari akan segera berganti.

     Aku berbaring di tempat tidur kamarku, asyik memainkan ponsel. Pacarku bilang besok ingin diajak jalan-jalan.

     (Besok, ya. Yah, kegiatan klub libur, dan pekerjaan rumah juga sudah selesai...)

     Musim panas ini, aku terlalu sibuk mengurus Rin-chan dan Natsu, jadi perhatianku pada pacarku jadi terbengkalai. Baiklah, setidaknya di hari terakhir ini tidak apa-apa.

     "Uhm. Besok, jam berapa pesawat Rin-chan dan yang lain kembali dari Tokyo, ya..."

     Aku harus menyelesaikan kencan dengan pacarku sebelum itu. Karena aku harus menanyakan hasil perjalanan Tokyo ini kepada Rin-chan.

     (Meskipun Natsu itu orang yang tidak peka, kurasa dia tidak akan bisa tenang setelah seminggu berduaan dengan Rin-chan. Seharusnya ada sedikit kemajuan... Itulah rencana awalnya.)

     Yah, aku tidak benci sisi kekanak-kanakan itu.

     Aku bangkit dari tempat tidur, keluar kamar, dan menuju dapur. Saat aku berjalan di lorong yang berderit, pintu depan terbuka tepat ketika aku sampai di sana.

     Itu adalah Kakakku.

     Seorang pria berkacamata yang terlihat polos, dengan poni tebal yang mengganggu. Bukan dalam balutan jubah biksu seperti biasanya, melainkan kemeja dan jins santai.

     "Shinji. Kamu belum tidur?"

     "Aku baru saja mau tidur. Kakak sendiri, ada apa keluar jam segini?"

     Aku terkejut karena tidak menyangka dia pergi keluar. Biasanya jam segini, Kakak pasti sedang bersama para istrinya di kamar (tentu saja hanya di dunia dua dimensi).

     "Apa kamu pergi membeli rokok? Kalau iya, aku mau ikut..."

     "Enggak, aku sedang mencoba berhenti merokok akhir-akhir ini. Karena Yuki-san enggak suka pria perokok."

     "...Aku menghargai kekuatan mentalmu yang bisa mengubah preferensi demi istrimu itu."

     Kakakku ini, dia menjadikan kehidupannya untuk mengubah hobi atau mengatur gaya hidupnya sesuai dengan karakter anime favoritnya saat itu.

     Sebagai contoh, dulu dia pernah belajar sihir "agar siap dipanggil kapan saja", dan baru-baru ini dia mulai hidup dengan membawa kotak kayu misterius di punggungnya... Dari sudut pandangku, itu gila. Tapi, bentuk cinta setiap orang berbeda-beda, jadi aku tidak berniat menyanggahnya...

     Kakakku membawa sebuah kantong kertas. Isinya terlihat seperti sekumpulan kue. Mungkin dia baru saja bertemu dengan rekan kerja... Tunggu?

     Pada kantong kertas itu, tertera logo Bandara Haneda.

     "Oh, ini? Tadi aku menjemput Rion-chan dari keluarga Enomoto."

     "Rin-chan? Ke mana?"

     "Ke bandara. Katanya dia sudah tiba dengan penerbangan terakhir dari Tokyo, tapi ketinggalan kereta terakhir di sini. Bibi memintaku untuk menjemputnya dengan mobil. Aku sempat berpikir untuk mengajakmu juga, tapi kamu sedang berlatih sendiri di lapangan belakang, jadi aku enggak mau mengganggumu."

     "...Selain Rin-chan, ada siapa lagi?"

     "Hanya Rion-chan sendiri? Kudengar Kureha-chan ikut kembali ke Tokyo."

     Ya, dia menyerahkan kantong kertas berisi oleh-oleh yang katanya diberikan oleh Rin-chan.

     Kakak menguap sambil masuk ke kamarnya. Mungkin dia akan menghabiskan waktu semalaman dengan istrinya. Padahal besok sudah pagi, tapi dia benar-benar mengutamakan keluarganya (tentu saja hanya di dunia dua dimensi).

     "...Tunggu, Rin-chan pulang sendirian?"

     Ini aneh.

     Menurut rencana, mereka berdua akan pulang besok. Tidak masalah kalau dipercepat, tapi aneh rasanya Natsu tidak ada.

     Aku meletakkan kantong kertas di meja dapur, lalu melihat ke arah makam keluarga di belakang dari jendela.

     Di balik makam musim panas yang gelap gulita itu... terlihat toko kue keluarga Rin-chan. Lampu di lantai dua menyala. Sepertinya Rin-chan memang sudah kembali.

     Entah kenapa, ada firasat buruk.

     Tentu saja. Bagi Rin-chan, perjalanan ini adalah salah satu kesempatan langka untuk memonopoli Natsu jauh dari pengawasan Himari-chan. Tidak mungkin dia pulang sehari lebih awal.

     Aku kembali ke kamar, lalu mengirim pesan Line lewat ponselku.

     [Rin-chan. Kamu udah pulang?]

     Pesan itu langsung terbaca. Karena tidak ada balasan, aku mengirim pesan lagi.

     [Bukankah seharusnya besok?]

     [Bukan urusan Shii-kun, kan]

     ...Siapa, ya, yang memintaku menyusun rencana perjalanan?

     Menahan sedikit kekesalan, aku mencubit pipiku untuk tetap tenang. Sakit. Aku masih baik-baik saja.

     (Sudah lama sekali sifat manja itu muncul. ...Pasti ada sesuatu yang terjadi.)

     Aku mengetik pesan 'Aku akan ke sana sekarang' lalu menyambar sandal di dekat pintu depan dan keluar rumah.

     Aku berjalan memutar mengelilingi area makam dan tiba di depan toko kue keluarga Rin-chan. Meskipun begitu, toko itu sudah mematikan lampu dan sunyi senyap.

     Berbalik ke pintu belakang, aku masuk begitu saja karena sudah hafal. Bibi pasti sudah tidur, jadi aku berjalan tanpa menimbulkan suara.

     Aku naik ke lantai dua dan mengetuk pintu kamar Rin-chan. Tidak ada jawaban. Ada cahaya yang mengintip dari celah pintu, jadi dia pasti belum tidur.

     "Rin-chan. Aku masuk, ya."

     Aku menunggu genap sepuluh detik, lalu membuka pintu.

     Di dekat jendela, Rin-chan sedang duduk bersila, mengisap sesuatu seperti cerutu yang mengepulkan asap.


"KORAAAAAAAAAAAAAAA!!"

     Aku berteriak marah dan merebut benda itu!

     Apa yang dia pikirkan, tiba-tiba merokok— tunggu? Melihat benda yang kurampas itu, aku terperangah...

     Itu adalah Cigare dari Yoku Moku.

     Itu lho, kue tipis yang digulung menyerupai cerutu. Oleh-oleh mahal yang sedikit menyenangkan jika diberikan saat Lebaran atau akhir tahun. Yah, aku tidak terlalu suka manis, jadi ini hanya pendapat umum saja.

     "...Shii-kun. Kamu berisik."

     Rin-chan berkata dengan nada jengkel, lalu mengambil Cigare kedua dari kantong oleh-oleh berlogo Bandara Haneda di meja.

     Dia mengetuk-ngetukkan ujungnya dengan jari, lalu memasukkannya ke bibir mungilnya. Kemudian, dengan kedua tangan membungkus ujung yang tidak diisap, dia bergumam, "Syubok," seolah menyalakan korek.

     Dengan santai, dia menyilangkan kakinya lagi, lalu menjepit Cigare itu di antara jarinya seolah-olah mengisap cerutu.

     "Shii-kun... Nak. Ada apa datang selarut ini?"

     "Justru aku yang harusnya bertanya, 'Ada apa?'"

     Kalau memang sengaja mengubah cara bicara, kenapa dari awal tidak pakai karakter aneh begitu? Kenapa aku harus meladeni Rin-chan yang tiba-tiba bergaya noir begini?

     Saat aku terkejut, Rin-chan mendengus mengejek. Dia melakukan gerakan mengembuskan asap ungu ke luar jendela. ...Entah kenapa, apa hanya aku yang merasa sangat kesal?

     "Perempuan enggak bisa selamanya jadi anak-anak. Kamu mengerti, kan?"

     "Aku mengerti itu, tapi sepertinya ada kesalahpahaman fatal dalam memahami perkataanmu."

     Tingkah lakunya memang aneh seperti biasa, tapi kali ini niatnya sama sekali tidak bisa kubaca.

     Melihat pakaian yang dipakainya untuk bepergian ini, dia pasti belum mandi setelah pulang. Sungguh, aku salut pada Kakakku yang sanggup menahan perempuan dengan tensi aneh seperti ini di mobil selama lebih dari satu jam.

     (...Tunggu dulu?)

     Situasi ini... mempertimbangkan berbagai elemen, aku sampai pada satu hipotesis. Untuk memverifikasi kesesuaiannya, aku merentangkan kedua tangan dan tertawa lebay.

     "Ah, begitu rupanya. Akhirnya Natsu menjadikanmu dewasa, ya. Enggak aneh kalau hal seperti itu terjadi setelah pria dan wanita bersama selama seminggu. Syukurlah. Rasanya jerih payahku membantu juga ada hasilnya."

     "..."

     Rin-chan tersentak mendengar leluconku yang sama sekali tidak peka. Lengan kanannya mengibas-ngibas sekeliling, lalu tanpa sengaja melemparkan lampu meja yang dipegangnya.

     Aku buru-buru menangkapnya, lalu menghela napas panjang.

     "...Jadi, ada apa?"

     Ternyata benar ada masalah. Ini pasti pesta hiburan lagi...

     Saat aku berpikir, "Syukurlah ini setelah turnamen berakhir..." sambil memikirkan berat badanku sendiri, Rin-chan menghabiskan Cigare-nya dengan renyah. Dia menyandarkan tubuhnya pada kusen jendela yang gordennya bahkan tidak tertutup, memandangi makam yang gelap gulita.

     "Yuu-kun bilang, dia lebih mementingkan aksesori daripada aku."

     "............"

     Hah?

     Jujur, aku benar-benar kecewa mendengar isi perkataannya.

     "Rin-chan, kenapa baru sekarang bilang begitu? Bukankah itu hal yang sudah kita ketahui dari dulu sekali?"

     Rin-chan cemberut. Begitu dia akhirnya menunjukkan ekspresi seperti manusia, dia langsung melemparkan tas sekolah di atas mejanya!

     Tas itu tepat mengenai wajahku yang tangannya penuh memegang lampu meja.

     "Aku tahu, tapi! Tapi kali ini kan perjalanan hadiah untukku! Dia seharusnya mengutamakan aku di atas segalanya, kan! Tapi dia langsung ikut ajakan Onee-chan dan menelantarkanku begitu saja?! Itu jelas enggak boleh, kan!!"

     Rin-chan berteriak histeris, jadi aku buru-buru menutup pintu kamar. Akan merepotkan kalau Bibi terbangun.

     Bukan, masalahnya bukan karena ada laki-laki di kamar anak gadis selarut ini.

     Itu Bibi. Dia pasti akan mencium bau-bau cinta dan pasti ingin ikut nimbrung dengan semangat. Kalau sudah begitu, tamatlah riwayatku. Dia pasti akan membawa semua kue kering dari toko kue dan memaksaku memakannya sampai kenyang. ...Ngomong-ngomong, berat badanku naik tiga kilo saat pesta hiburan di awal musim semi lalu juga karena itu.

     Aku melemparkan tas itu kembali, lalu duduk menyilangkan kaki di kursi meja Rin-chan.

     "...Begitu. Aku mengerti situasinya. Natsu rupanya masih saja gila aksesori bahkan saat bepergian."

     "Shii-kun, kamu pasti tahu soal gangguan dari Onee-chan, kan?"

     "Yah, memang. Tapi melampiaskan kemarahanmu padaku itu salah sasaran. Tugasku hanyalah menyusun rencana sampai Rin-chan dan yang lain pergi ke Tokyo. Mengatasi masalah setelah sampai sana enggak termasuk dalam perhitunganku. Aduh, aduh, aduh, aduh, aduh, Rin-chan, menyerah, menyerah, aku salah, aku salah, jadi tolong jangan gunakan Iron Claw itu. Ketampananku bisa rusak, seluruh hidupku bisa rusak...!"

     Sambil menerima hukuman bertubi-tubi, aku memukul-mukul lengan Rin-chan.

     Sejenak, aku merasa melihat mendiang kakekku di seberang Sungai Sanzu, tapi entah bagaimana aku bisa kembali hidup. ...Dulu saat SMP, aku sering dibilang, "Enak sekali punya teman masa kecil yang cantik," tapi rasanya aku ingin menanyakan apakah mereka masih bisa berkata begitu setelah tahu sifatnya.

     "Lagipula, kamu mau aku berbuat apa?! Apa kamu mau bilang aku seharusnya ikut ke Tokyo juga?! Kalau Rin-chan pasti akan mengeluh, 'Ini perjalanan berdua saja, jangan mengganggu,' lalu Rin-chan sendiri yang memaksa Kureha-san masuk ke dalam rencana! Bukankah sudah bisa diduga dari awal kalau Kureha-san enggak akan tinggal diam begitu saja?!"

     "..."

     Rin-chan tersentak dan mundur.

     Situasi berbalik. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk menyampaikan pendapat pribadiku.

     "Lebih jauh lagi, bukankah Rin-chan sendiri yang kurang tekad? Kamu pasti berpikir hal-hal manis seperti 'bahagia saja bisa bersamanya,' kan? Aku enggak bilang cara Himari-chan itu benar, tapi kamu seharusnya tahu bahwa kamu enggak akan bisa mengubah keyakinan Natsu kalau enggak memaksa sekuat itu."

     "~~~~~~!"

     Wajah Rin-chan memerah padam, lalu dia kembali berteriak nyaring.

     "A-aku juga udah berusaha!"

     "Oh? Kalau begitu, tunjukkan hasilnya dong. Apa pun yang kamu katakan, yang penting itu apakah tugas musim panas bisa dikumpulkan atau tidak."

     "Uh..."

     Seketika semangatnya mengempis. Namun, seolah tak mau kalah dariku, dia buru-buru mencari-cari ponselnya.

     Dan kemudian, dia menunjukkan sebuah foto.

     "I-ini!"

     "Apa itu?"

     Aku menerima ponselnya dan melihat foto itu.

     Itu adalah foto tidur bersama.

     Tak diragukan lagi, foto soflen.

     Natsu, dengan bagian dada handuk mandinya yang sedikit terbuka, tertidur pulas dalam cahaya matahari pagi yang menyilaukan. Wajah tidurnya seperti binatang kecil yang sama sekali tanpa kewaspadaan.

     Dan, macan betina—Rin-chan—yang mengincar itu, berfoto selfie dengan wajah paling gembira, menempelkan pipinya sambil berpose peace. Dia juga terlena dan lengah karena terlalu senang dengan perjalanan mereka berdua. Tanpa sengaja, handuk mandinya melorot sampai bahu... Jika ini sampai terlihat oleh teman-teman sekelas, bisa jadi ribut besar.

     "Shii-kun pasti terkejut juga, kan? Meskipun ini karena ulah Onee-chan, aku menginap di kamar yang sama dengan Yuu-kun sepanjang waktu, lho. Dan soal 'janji' itu pun—"

     "............"

     Jujur saja, melihat foto teman masa kecilku seperti ini membuatku sangat canggung, tapi Rin-chan memamerkannya dengan ekspresi bangga seolah itu harta karun, jadi aku menggigit bibir dan menahannya.

     Singkatnya,

     "...Lalu?"

     "Eh?"

     Mungkin karena pertanyaanku yang tenang itu terlalu di luar dugaannya. Rin-chan terbeku sepenuhnya.

     ...Dia benar-benar salah paham.

     "Bukan, masalahnya bukan pada foto ini, melainkan apakah benar-benar ada kemajuan atau tidak. Memang sih, kebahagiaan dan impianmu tersampaikan, tapi kalau ini hanya sekadar tidur bersama..."

     Aku menatap lurus ke arahnya, menyampaikan fakta yang menyedihkan.

     "Rin-chan akan jadi wanita menyedihkan yang membanggakan foto tidur bersama hasil curian. Jujur, itu enggak jauh beda dengan wanita yang diam-diam berpacaran dengan streamer terkenal, lalu mengunggah foto yang memancing keributan di SNS hanya untuk pamer pada wanita lain."

     "............"

     Gubrak... Ekspresi Rin-chan membeku dalam keputusasaan. Dia merebut ponselnya dariku, lalu meringkuk di balik selimut handuk di tempat tidur.

     Menyembunyikan kepala tapi tidak pantat... Ck, sungguh pantat yang bulat dan terlihat mudah ditendang, batinku sambil berdehem untuk mengendalikan diri. Menendang pantat lawan jenis tanpa ragu, meskipun itu teman masa kecil, sama saja dengan perempuan menyebalkan yang suka menendang di suatu tempat.

     Aku mengeluarkan kipas dari saku, membukanya, dan berkata dengan suara yang sangat cerah.

     "Yah, biarlah yang sudah berlalu. Mari bangkit dan pikirkan masa depan. Mulai semester kedua, kita akan menyerang tanpa melewatkan kesempatan!"

     "............"

     Senyap... Rin-chan tidak bergerak sedikit pun. Sepertinya, perkataanku tadi benar-benar mempan.

     Gawat... Apa aku terlalu berlebihan mengganggunya?

     "R-Rin-chan? Yah, tadi aku memang bilang begitu, tapi menurutku itu normal, kok. Bukan berarti setiap kali pergi jalan-jalan dengan laki-laki pasti ada kemajuan, kan? Malah aku lega. Rin-chan, enggak seperti perempuan mesum di luar sana, ini bukti kalau kamu punya konsep kesucian yang kuat. Hahaha, ini senjata besar, lho. Lagipula, laki-laki suka perempuan yang sopan dan terhormat, kan..."

     "............"

     Tidak ada reaksi.

     ...Sial. Ini, sepertinya aku benar-benar menginjak ranjau darat. Sangat menyeramkan karena dia tidak marah dan mencoba Iron Claw seperti tadi...

     Tidak. Jangan gentar, Makishima Shinji.

     Aku hanya memberikan nasihat sebagai penasihat cinta atas permintaan Rin-chan. Yang harus kulakukan bukanlah membujuknya.

     Melainkan memikirkan strategi selanjutnya untuk mewujudkan cinta pertama Rin-chan.

     "Pokoknya, Rin-chan, menurutku begitu semester kedua dimulai, enggak ada salahnya mencoba serangan bola melengkung sedikit. Foto itu bisa jadi senjata ampuh. Kalau dikirim ke Himari-chan, dia pasti akan sangat marah dan berakhir dengan pertengkaran besar dengan Natsu. Manfaatkan celah itu..."

     "...Enggak mau."

     Hmm?

     Rin-chan tidak setuju dengan strategi ini, ya. Yah, wajar saja. Aku tahu dia tidak menyukai hal semacam itu. Sayang sekali, tapi rencana ini harus dibatalkan...

     "Aku sudah enggak mau lagi, aku akan menyerah pada Yuu-kun."

     "............"

     Apa telingaku bermasalah?

     Sepertinya aku mendengar sesuatu yang tidak terduga...

     "....Ah, apa aku sedikit kelelahan akibat musim panas, ya? Liburan musim panas ini memang sangat sibuk. Enggak aneh kalau aku kelelahan. Sepertinya besok aku batalkan kencan dan istirahat di rumah saja. Bahkan pergi ke pemandian umum dan bersantai di sauna juga boleh. Di AEON juga ada tempat pijat, pijat refleksi kaki juga bagus. Kalau sudah refresh, ide-ide yang lebih baik pasti akan muncul..."

     Saat aku tertawa sambil mengipasi kipas, Rin-chan bangkit dari tempat tidur. Selimut handuk melorot dari bahunya.

     "Shii-kun. Kamu enggak perlu membantuku lagi."

     "............"

     Sepertinya aku tidak selelah itu sampai salah dengar. Beruntunglah aku jadi tidak perlu repot membatalkan kencan besok.

     Aku menutup kipasku dan mengacungkan ujungnya ke ujung hidung Rin-chan. Mata Rin-chan menatapku balik tanpa gentar.

     "Kenapa? Kenapa sekarang malah menyerah?"

     "Enggak apa-apa. Sepertinya aku enggak dibutuhkan dalam mimpi Yuu-kun. Malah mungkin hanya mengganggu."

     "Hah? Jangan-jangan Rin-chan juga teracuni teori pertemanan kosong milik Himari-chan?"

     "Biarkan saja. Lagipula aku enggak bisa mengalahkan aksesori, sudahlah."

     "Enggak begitu! Selama ini, aku sudah berfokus untuk memperbesar keberadaan Rin-chan di mata Natsu. Menurut pengamatanku, itu berjalan sangat lancar. Buktinya, Natsu mau ikut perjalanan ke Tokyo, kan?"

     Meskipun mulutnya berkata mencintai Himari-chan, dan hatinya sudah terwarnai Himari-chan... dia tetap tidak bisa menolak Rin-chan.

Itu karena naluri—aku telah mengusahakannya agar itu tertanam lebih dalam daripada DNA.

     Jika cinta diibaratkan masakan, Himari-chan adalah hidangan utama.

     Meski ada banyak hidangan full course yang berkilauan, ada satu hidangan yang memancarkan kehadiran paling kuat. Itulah tokoh utama, dan semua hidangan lain menjadi pendamping yang disiapkan agar hidangan utama itu disantap.

     Namun, Rin-chan adalah hidangan penutup.

     Artinya, dia masuk ke perut cadangan.

     Meskipun tidak lapar, seseorang cenderung tetap menyantapnya. Itulah Rin-chan, dia akan selalu menemukan tempatnya. Bahkan jika Natsu sudah punya pacar bernama Himari-chan, Rin-chan tetap bebas masuk dan keluar sesukanya. Sejak awal, tempat mereka berdua memang berbeda.

     Begitulah aku mengaturnya. Sejak insiden Himari-chan yang meledak-ledak di awal musim semi, aku tahu bahwa Himari-chan adalah yang nomor satu bagi Natsu. Dari sana, aku sengaja menaikkan "nilai" Rin-chan melalui jalur yang berbeda, sebagai 'nomor dua yang nyaman dan sangat mencintai Natsu, tidak peduli seberapa sering dia diperlakukan semena-mena'.

     Dan dengan insiden Kureha-san di liburan musim panas ini, hubungan Natsu dan Himari-chan akhirnya menemui penyelesaian.

     Justru saat hubungan mereka berdua stabil, celah akan muncul. Mereka berdua akan lengah. Mereka akan sangat merindukan hidangan penutup yang manis bernama Rin-chan.

     Faktanya, Natsu sangat gembira dengan pacar pertamanya sehingga dia penuh celah.

     Perjalanan ke Tokyo yang disambut dengan semangat itu... jika Rin-chan mau, seharusnya mereka bisa melangkah lebih jauh daripada sekadar foto tidur bersama yang membuat Natsu senang.

     ...Sial. Membiarkan Kureha-san begitu saja adalah kesalahanku, tapi entah kenapa aku merasa telah terjebak dengan sempurna. Namun, aku tidak menyangka Rin-chan akan terluka separah ini. Apa yang bisa membuat Rin-chan, yang memiliki hati baja, sampai sejauh ini...?

     Tidak, tunggu. Tadi Rin-chan mengatakan sesuatu, kan?

     'Yuu-kun bilang, dia lebih mementingkan aksesori daripada aku.'

     ...Sekarang aku paham.

     Jadi—

     "Rin-chan. Kamu ketakutan, ya?"

     "Ugh...!"

     Tepat sasaran. Benar-benar kena telak.

     Begitu rupanya. Fakta bahwa 'dia kalah dari aksesori dalam perjalanan ke Tokyo yang seharusnya dia menjadi tokoh utama'. Artinya, dia seolah-olah dipukul telak dengan patah hati sungguhan secara tidak langsung.

     Ini adalah hasil yang tidak terduga.

     Mengingat semua rencanaku bergantung pada hati baja Rin-chan, jika itu hancur, semuanya akan runtuh. Bagi Rin-chan, perjalanan ke Tokyo adalah saat yang tepat untuk benar-benar menyerang, oleh karena itu, kerusakan balik yang dia terima juga besar.

     "Tak kusangka kamu bisa terjebak dalam pemikiran negatif yang penuh gaya gadis remaja seperti, 'Bagaimana kalau aku enggak bisa jadi nomor satu bagi Yuu-kun...'. Itu bukan seperti Rin-chan!"

     "Berisik. Shii-kun enggak akan mengerti."

     "Tidak, bukankah kamu sudah selangkah lagi untuk mewujudkan cinta pertamamu? Kalau kamu menyerah sekarang, hanya penyesalan yang tersisa dan..."

     Rin-chan mendengus sinis.

     "Ngomong-ngomong, Shii-kun, kamu masih terjebak cinta pertama pada Onee-chan, kan? Makanya kamu enggak bisa serius dengan perempuan lain, kan? Jangan memaksakan keinginanmu padaku hanya karena cinta pertamamu enggak terwujud!"

     "Ugh..."

     Kali ini, pedang yang tepat sasaran itu menusuk jantungku.

     Tidak. Tenanglah, Makishima Shinji.

     Aku adalah orang yang suatu hari nanti akan melampaui yang terkuat. Untuk itu, aku harus selalu tenang.

     Perkataan Rin-chan ini bukanlah dari hatinya. Dia hanya sedikit memberontak karena stres akibat perjalanan ke Tokyo dan Natsu yang tidak sesuai keinginannya. Sama seperti anak kecil yang merengek.

     Hahaha. Rin-chan memang dari dulu seperti adik perempuan yang manja, ya. Dia sendiri mungkin berpikir sudah mandiri, tapi nyatanya sama sekali tidak begitu. Dia benar-benar karakter ratu bungsu sejati.

     Oleh karena itu, aku harus tetap tenang. Aku menghela napas, lalu tersenyum ramah dan berbicara kepada Rin-chan.

     "Rin-chan, tenanglah. Mungkin sekarang kamu merasa begitu karena emosi sesaat, tapi kamu masih punya perasaan pada Natsu, kan? Untuk sementara, jangan dulu pikirkan kesimpulan, coba alihkan perhatian dan ambil jarak dari tujuan mewujudkan cinta pertamamu..."

     "Menyebalkan. Shii-kun yang terus-menerus mengejar pantat Onee-chan itu kampungan."

     ...Klik.

     Kondisi larut malam.

     Perubahan hati Rin-chan yang tak terduga.

     Latihan klub tenis siang hari, dan kondisi mengantuk setelah latihan mandiri...

     Semuanya bersatu, dan sesuatu dalam diriku menyala. Aku bangkit perlahan, membuka, menutup, membuka, menutup, membuka, dan menutup kipasku.

     Tanpa kusadari, tawa "Fufufufufu" keluar dari mulutku.

     "Rin-chan. Jangan sampai kamu menyesali perkataanmu itu, ya?"

     "Enggak akan. Justru Shii-kun, berhentilah bersikap kekanak-kanakan dan mulailah punya hubungan yang sehat."

     ...Kenapa ini bisa terjadi?

     Jujur, aku tidak begitu mengerti. Yang jelas, aku merasa sangat ingin memberi pelajaran pahit pada Rin-chan yang suka mencari perhatian ini.

     "Aku pasti akan membuatmu mengakui bahwa kamu tidak bisa menyerah pada cinta pertamamu kepada Natsu."

     "Cinta atau apa pun itu sudah enggak penting bagiku. Jangan lakukan hal yang melenceng dan enggak perlu."

     Antara aku dan Rin-chan, percikan api bertebaran.

     Aliansi, rusak di sini.

     

0

Post a Comment



close