Penerjemah: Nobu
Proofreader: Nobu
Chapter 7
“Bahagia Karena Hadirmu”
♣♣♣
Tokyo, pagi di hari keempat.
Aku terbangun di atas ranjang double king size.
Tidurku nyenyak. Pagi ini pun aku terbangun dengan segar tanpa dihantui mimpi aneh. Setelah menikmati makan malam buatan Enomoto-san (yang rasanya luar biasa enak), rasa lelah langsung menyerang dan aku pun tidur lebih awal.
Temma-kun dan yang lainnya memang orang-orang yang baik, tapi tetap saja rasanya menegangkan saat harus berbicara dengan orang yang baru pertama kali ditemui. Dalam hal itu, aku benar-benar bersyukur Enomoto-san memasakkan makan malam. Rasanya lega banget—seolah ritme harianku bisa kembali seperti biasa.
(Begini terus, apa aku benar-benar bisa bertahan sebagai seorang kreator…?)
Aku jadi makin menghargai kehadiran Himari. Kalau dipikir-pikir, setiap kali harus berurusan dengan orang yang baru kukenal, Himari selalu ada di sampingku. Ternyata harus mengendalikan jalannya pembicaraan sendiri itu melelahkan, ya...
Hari ini jadwalnya bebas. Aku harus mengistirahatkan tubuhku.
Yah, meskipun dibilang bebas, sebenarnya hari ini adalah hari buat jalan bareng Enomoto-san.
Untuk sekarang, aku bakal lanjut tidur sebentar lagi. Sepertinya Enomoto-san juga masih tidur. Soalnya enggak ada suara TV dari ruang tengah.
Tapi rasanya benar-benar menenangkan... Seperti sedang diselimuti kehangatan yang mengingatkan akan sesuatu yang nostalgia. Kehangatan yang menyentuh inti terdalam dari keberadaan manusia, mungkin begitu rasanya. Enggak heran sih, ini kan tempat tidur mewah. Sekarang kupikir-pikir, sejak datang ke Tokyo aku terus tidur di sofa. Mungkin sebenarnya aku belum benar-benar bisa tidur nyenyak.
...Atau setidaknya, aku berusaha meyakinkan diri sendiri begitu, tapi rasanya tetap agak sulit diterima.
Merasa ada kehangatan di punggungku, aku perlahan membalikkan badan. Dan seperti yang sudah kuduga, pemandangan yang kuperkirakan pun ada di sana.
"...Haa... haa..."
"……"
Dari belakang, Enomoto-san memelukku erat, seperti memeluk guling. Dalam posisi seperti itu, terdengar samar-samar suara napas tidurnya. Jadi ini, ya... sumber rasa tenang tadi.
(...Eh, jangan-jangan aku mulai terbiasa sama hal beginian!?)
Sambil dalam hati terus menegur diri sendiri, Enomoto-san mulai menggeliat dan makin menempelkan tubuhnya! Gyaaah! Berhenti, jangan datang, wahai hawa nafsu! Pergi sana, menjauhlah!
Tadi malam, kita kan tidur agak berjauhan, ya? Tapi dia tetap saja berhasil menangkapku tanpa ampun—bisa dibilang, gaya tidurnya benar-benar luar biasa buruk.
Sekarang, masalahnya adalah... harus bagaimana menghadapi situasi ini?
Bukan, bukan, bukannya aku menikmati kehangatan Enomoto-san sambil merasa dapat durian runtuh, ya. Soalnya kalau sudah ditangkap Enomoto-san begini, mana mungkin tipe herbivora kayak aku bisa lepas. Tapi kalau aku bangunin dia paksa, nanti dia bakal malu lagi seperti waktu itu. Ini situasi yang jelas-jelas butuh siasat cerdas!
...Saat aku sedang memutar otak, tiba-tiba terdengar alunan lagu Barat yang belum pernah kudengar sebelumnya. Itu dari ponsel Enomoto-san.
Sepertinya itu telepon atau panggilan LINE. Gawat. Kalau Enomoto-san sampai terbangun gara-gara musik ini, situasinya bakal canggung banget. Yo, ho—dengan sedikit usaha, aku menjulurkan tangan dengan hati-hati dan berhasil mengambil ponselnya.
…Dari Himari?
Begitu tanpa sengaja kutap layarnya, panggilan LINE langsung tersambung dan aku pun panik. Enomoto-san, kalau enggak pasang kunci layar, bisa bahaya, lho...
Sambil menguap lebar, aku mulai berbicara.
“Himari? Ada apa pagi-pagi begini?”
[…………]
Eh?
“Hoi, Himari? Enggak kedengaran, ya?”
Lalu, dengan suara ceria yang entah kenapa terasa penuh tekanan, Himari menjawab.
[Hehehe~. Kenapa, ya~? Kok suara Yuu yang baru bangun malah kedengaran dari ponsel Enocchi, hmm~?]
"…………"
…Guhhaaah!?
Aku benar-benar kecolongan. Harusnya aku dan Enomoto-san berpura-pura menginap di kamar terpisah. Tapi karena baru bangun, otakku belum jalan dan aku lengah!
“U-uhm, anu, jadi begini…”
Pikir… pikir cepat!
Sedang siapin sarapan bareng…? Enggak, dia pasti tahu aku baru bangun. Alasan yang masuk akal kenapa aku bisa pegang ponsel Enomoto-san pas bangun tidur… Ah!
“J-jadi… alarm…”
[Alarm?]
“B-benar. Soalnya hari ini aku ada urusan yang harus bikin aku bangun lebih pagi. Terus, kan, aku lagi disita ponselnya sama Saku-neesan, jadi ya… aku minjem ponsel Enomoto-san buat dijadiin alarm…”
Ini ngeles banget. Terlalu maksa.
Kenapa tadi enggak bilang aja kalau Enomoto-san lagi sibuk masak sarapan, jadi dia enggak bisa angkat telepon? Gawat… aku merasa benar-benar menggali lubang kubur sendiri. Katanya sih, bikin makam sendiri sebelum meninggal itu pertanda baik, tapi yang ini jelas-jelas tiket sekali jalan menuju kematian.
Saat aku mulai banjir keringat karena panik, Himari menjawab dengan suara yang terdengar cerah luar biasa.
[Heeh, gitu ya~. …Ah, jangan-jangan kamu nyambung banget sama kreator yang dikenalin sama Kureha-san, terus hari ini kalian mau jalan bareng juga!? Yuu, kamu berkembang pesat, ya!]
“Ahaha, iya, bener banget. Kami tuh langsung nyambung banget… semacam simpati gitu…”
Eh? Ini semacam jebakan, ya? Atau… dia beneran percaya sama aku? Saat jantungku berdegup kencang tak karuan, Himari tersenyum manis sambil bilang, “Tehe☆.”
“Tapi, Yuu—enggak baik lho, menjawab ponsel milik seorang gadis tanpa izin ♪”
“……………………Aku juga setuju sepenuhnya.”
Selamat!
Wasit garis menyatakan, selamat! Natsume berhasil mencetak dua base hit penentu dan membalikkan keadaan!! …Tapi kenapa situasinya harus dramatis banget sih—inning ke-9, dua out, base penuh, dan ketinggalan satu poin?
“Tapi ngomong-ngomong, Himari, kalau kamu ada perlu, nanti aku sampaikan ke Enomoto-san, ya…”
[Ah, soalnya dari awal aku memang berniat nyampeinnya langsung lewat kamu, bukan ke Enocchi~]
“Ke aku?”
[Karena kemarin aku udah kirim aksesorisnya, jadi kemungkinan besok pagi udah nyampe, ya~]
Oh, begitu. Syukurlah, itu sangat membantu.
“Makasih ya, Himari.”
[Enggak kok, ini bukan apa-apa. Kamu juga semangat, ya, Yuu.]
Himari berkata, “Ah, waktunya kerja!” lalu menutup panggilan.
Rasa lega langsung menyerbu begitu hebat, sampai-sampai aku menjatuhkan ponsel dan lemas tak berdaya. …Syukurlah. Aku berhasil melewati ini. Meski kenyataan bahwa ini adalah krisis terbesar selama liburan Tokyo terasa agak menyedihkan, yang penting aku masih hidup. Hidup itu memang luar biasa.
Nah, sekarang…
“Enomoto-san. Sebenarnya kamu sudah bangun, kan…?”
“……Huh!?”
Enomoto-san langsung tersentak kaget.
Aku tahu kok. Waktu Himari mulai curiga tadi, Enomoto-san juga kelihatan jelas kagetnya.
“Enomoto-san?”
“...Rion tuh lagi tidur, kok.”
“Wah… ngigau yang lancar banget, ya…”
Dia menekan wajahnya dalam-dalam ke punggungku.
“T-tapi, Enomoto-san!? Kamu udah bangun, jadi lepaskan dong!”
“Enggak bisa. Soalnya aku masih tidur.”
Aku melirik sekilas ke wajah Enomoto-san yang ngotot bilang masih tidur. …Sampai telinganya pun memerah.
Hahaa, ketahuan! Jangan-jangan Enomoto-san malu banget sampai-sampai enggak bisa mundur lagi, ya!?
“Enomoto-san, sekarang masih sempat! Ayo kita berdua pura-pura enggak lihat apa-apa dan sambut pagi ini dengan penuh kesegaran!”
“Enggak mau.”
“Tapi, maksudku… kita masih harus siapin sarapan dan segala macamnya juga, kan…”
“Enggaaak mauuu!”
“Eeeeh……”
Enomoto-san menendang-menendang kedua kakinya dengan heboh. Karena getarannya, kami berdua ikut terpental-pental di atas kasur. Seperti yang kuduga dari ranjang mewah, pegasnya luar biasa banget!
“Enomoto-san! Jangan ngambek gitu, dong!?”
“Berisik! Hari ini, Yuu-kun milikku!”
“Kan aku udah janji, tapi kita juga mau jalan-jalan…”
“Hari ini kita seharian di kamar!”
“Eh? Terus jalan-jalan keliling Tokyo gimana…?”
Enomoto-san mulai mengusap-usap perutku dari belakang, seolah sengaja menunjukkan kalau dia sedang ngambek.
“Pffft—!”
Aku memang lemah kalau digelitik. Begitu aku enggak bisa nahan tawa, mata Enomoto-san langsung berbinar nakal. Semangat, dia terus menggelitikku makin heboh!
“Tunggu—wahaha!? Eh, Enomoto-san... Fuhaha~!”
“Lihat tuh~. Aku bakal gelitikin kamu lebih lagi~”
“Berhenti… beneran, berhenti!! Serangan apaan sih ini!?”
“Soalnya waktu Daifuku-kun di rumah Yuu diginiin, reaksinya lucu banget karena dia enggak suka.”
“Jangan samain aku sama kucing!?”
Tapi efeknya benar-benar luar biasa… atau lebih tepatnya, kita ini udah kayak pasangan mesra yang norak!
“Baik, baik! Hari ini kita di kamar aja!”
Aku menepuk-nepuk pinggang Enomoto-san sebagai tanda menyerah. Setelah hukuman gelitikan berakhir, dia kembali masuk mode merajuk sambil manyun.
“Kalau kita keluar, kamu pasti cuma bakal mikirin soal aksesori, kan.”
“Eh… Jadi itu alasan kenapa aku ‘ditahan’ hari ini…?”
Yang menyebalkan, aku enggak bisa membantah.
…Yah, kalau memang itu keinginan Enomoto-san, sih, aku enggak masalah. Tapi tetap aja, sejak kemarin dia sesekali muncul dengan sikap manja ala adik kecil yang super lengket, dan jujur aja aku agak kewalahan. Karena biasanya dia bersikap tegas dan tenang, perbedaan sikap ini bukan cuma terlihat imut, tapi juga bikin bingung.
(Apa jangan-jangan, seharian ini bakal terus begini…?)
Makanan bisa dipesan dari hotel, sih, tapi masa iya kita beneran enggak keluar kamar sama sekali?
Itu agak bahaya, maksudku, bukan berarti aku bisa tetap tenang dalam situasi kayak gini juga. Meski Enomoto-san bilang dia percaya penuh sama aku, tetap aja ada batasnya…
── Purururu, tiba-tiba telepon kamar berbunyi.
Entah kenapa, yang langsung muncul di kepalaku adalah wajah Kureha-san. Rasanya begitu aku tekan tombol panggilan, dia bakal nyeletuk, "Yuu, gas aja~☆" atau semacamnya yang penuh bahan buat dikomentari!
Dan yang bikin makin gawat, Enomoto-san sama sekali enggak menunjukkan niat untuk melepas pelukannya, padahal ada telepon masuk!?
Ahh… Tuhan, kenapa Kau terus menguji hamba-Mu ini dengan cobaan semacam ini? Serius deh, akhir-akhir ini arah masalahnya terlalu miring ke satu sisi…
Tingkat intensitas interaksi ini sudah terlalu ekstrem. Apa enggak ada cara buat mengusir “sesuatu” yang rasanya seperti merasuki Enomoto-san ini… ah, itu dia!
Pandanganku tertuju pada bunga merah dalam pot yang diletakkan di atas meja samping tempat tidur.
Geranium yang kubeli dua hari lalu di Ginza.
Makna bunganya: “persahabatan sejati.”
Itu bunga yang dipilih Enomoto-san sendiri sambil berkata, “Sebagai pengingat diri.” Artinya, bunga ini punya efek penangkal terhadap skinship berlebihan dari Enomoto-san! (Sudah disetujui oleh yang bersangkutan!)
Dengan sekuat tenaga, aku menjulurkan tangan untuk meraih geranium itu… tapi tangan Enomoto-san yang muncul dari samping malah mendorongnya menjauh dengan halus tapi pasti!
Saat aku hanya bisa mengeluh, “Kok jahat banget, sih…” tiba-tiba tubuh Enomoto-san perlahan naik dan duduk di atas perutku. Masih mengenakan bathrobe, dia menyibakkan rambutnya dengan gerakan menggoda… Uwaaah. Energinya udah muter satu putaran penuh, dan sekarang matanya kelihatan benar-benar kosong.
♣♣♣
Dan tibalah hari kelima.
Aku terbangun karena panggilan dari resepsionis. Sepertinya aksesori yang kuminta Himari kirimkan sudah sampai. Setelah memberi tahu bahwa aku akan segera ke bawah untuk mengambilnya, aku buru-buru bersiap.
Aku mencuci muka di wastafel kamar mandi, lalu menatap wajahku di cermin.
(Kok kelihatan lelah banget…?)
Bukan cuma lelah—aku kelihatan kurus kering.
Kemarin, seharian penuh, aku benar-benar bersama Enomoto-san dalam kondisi yang… ya, seperti itu. Tapi aku berhasil bertahan. Ternyata daya tahan mentalku lumayan juga. Mungkin ini berkat dua tahun lebih terbiasa menghadapi keusilan Himari yang enggak ada habisnya…
Setelah merapikan penampilan, aku kembali ke kamar tidur. Kupakai jeans yang disampirkan di sandaran kursi santai, lalu menyapa sosok yang sedang meringkuk di atas tempat tidur.
“Enomoto-san. Kamu… baik-baik aja?”
Ya.
Kemarin, Enomoto-san seharian penuh terus bersikap seperti itu. Lebih tepatnya, dia memperlakukanku seperti kucing dan bermain denganku sambil terus berkata “nyaa nyaa.”
Dan karena memang tidak berniat keluar kamar, sepertinya Enomoto-san sudah dengan sangat terencana memesan makan malam lewat layanan kamar. Dengan begitu, bisa dibilang, kesimpulan menyedihkan yang terjadi setelahnya sudah jadi keniscayaan.
“...Enggak baik-baik aja.”
Sepertinya memang enggak baik-baik aja.
Enomoto-san membungkus tubuhnya dengan selimut, gemetar hebat karena terjerat oleh black history segar yang baru saja tercipta. Yah, siapa juga yang enggak akan begitu setelah aksi “nyaa-nyaa play” miliknya disaksikan langsung oleh mbak-mbak petugas room service. Aku pun ingin segera menghilang dari dunia ini...
“Itu bukan aku. Yang tadi itu, bukan aku. Aku tuh bukan anak yang mesum kayak gitu...”
“Iya, iya, aku ngerti.”
Sambil menenangkan, aku mengelus kepalanya dengan lembut. Meski kemarin semangatnya lagi tinggi banget, tetap saja, jelas-jelas ada sesuatu yang merasuki dirinya. Bahkan dia udah naro garam di empat sudut kamar buat usir hal-hal aneh, jadi sekarang enggak usah takut lagi.
...Yah, kalau begitu.
Ngomong-ngomong, aku masih punya hal penting yang harus dilakukan. Meninggalkan Enomoto-san dalam kondisi seperti ini sebenarnya agak berat, tapi aku sudah mengambil keputusan. Aku harus tega. Lagian, setelah “permainan memalukan” kemarin, aku udah enggak ada rasa sungkan lagi.
“Enomoto-san, aku mau keluar sebentar ke konbini, ya.”
“Fueh…?”
Enomoto-san bangkit setengah badan dari tempat tidur. Karena semalam kami tidur cukup larut, matanya masih tampak mengantuk saat mengusap-usap kelopak matanya.
“Yuu-kun? Ada apa?”
“Ah, aku cuma mau belanja sebentar.”
“Kalau lapar, tinggal pesan room service aja, kan…”
…Seperti yang kuduga, hari ini pun dia berniat menahanku agar tidak keluar kamar. Apa dia sebegitu enggak inginnya aku pergi ke pameran? Yah, meski begitu, sekarang aku sudah siap untuk apapun yang terjadi.
Aku menarik napas dalam, mencoba meredam rasa gugup.
“Itu… aku mau beli pakaian dalam. Soalnya yang dibawa itu cuma sisa yang Saku-neesan asal masukin ke koper, dan ada yang udah sobek juga…”
“Oh… gitu, ya…”
Enomoto-san dengan malu mengalihkan pandangannya. …Sedikit terasa bersalah sih, tapi aku pun memberanikan diri untuk berdiri dari tempat duduk.
“Kalau begitu, aku keluar sebentar, ya.”
“Ah, tunggu bentar.”
Tiba-tiba dia menahanku, membuat jantungku berdegup kencang.
Enomoto-san buru-buru mengambil ponselnya, lalu menyodorkannya padaku.
“Ini, ya. Aku nemu ini tadi malam.”
Ternyata itu blog yang membahas tempat-tempat wisata di Tokyo. Saat aku melihat isi artikelnya, mataku membelalak.
“Wah… jenis asli bunga hibiskus, ya…”
Tertulis bahwa bunga itu bisa dilihat secara gratis di sebuah taman besar di dalam kota.
Kelihatannya jaraknya juga enggak terlalu jauh dari sini.
“Yuu-kun, hari ini kita lihat itu, yuk? Soalnya, sesekali kita juga harus keluar jalan-jalan, kan.”
“…………Iya, kamu benar.”
Aku sempat terlambat menjawab.
Apa yang Enomoto-san katakan barusan… jujur saja, aku sangat senang mendengarnya. Tapi… maaf. Dalam hati, aku hanya bisa meminta maaf begitu.
“Yuu-kun, hari ini kamu mau bersamaku, kan?”
“……Iya. Memang itu rencananya.”
Begitu ucapku, lalu kali ini aku benar-benar keluar dari kamar.
Paket kecil yang dititipkan di resepsionis ternyata tidak terlalu besar. Kalau dilihat dari ukurannya, mungkin isinya sekitar dua puluh buah aksesori.
Bagaimanapun, ini keberuntungan. Kalau seperti ini, aku masih bisa membawanya sendiri.
Tanpa kembali ke kamar, aku langsung keluar dari hotel.
(…Aku tahu kok. Aku yang salah di sini.)
Aku benar-benar senang dengan perasaan Enomoto-san.
Tapi kenyataannya, Kureha-san tidak mengenalkanku pada para kreator itu karena kebaikan hati. Dia sudah dengan jelas menunjukkan bahwa dia punya niat buruk padaku. Aku tahu betul, ikut ambil bagian dalam pameran ini pun sebenarnya tindakan bodoh.
Meski begitu, aku tetap akan pergi.
Walau aku tahu itu akan membuat Enomoto-san marah… aku tetap harus pergi.
Aku sudah cukup merasakan pahitnya kekalahan saat melawan Kureha-san tempo hari. Jika dengan ini aku bisa naik level, maka biarlah—mau dihajar pakai Iron Claw atau dijatuhkan dengan Backbreaker pun, aku enggak peduli.
♣♣♣
Lewat tengah hari, aku kembali menginjakkan kaki di Shibuya dengan memeluk kardus besar di pelukanku.
Menurut petunjuk arah yang diberi Tenma-kun lewat telepon dari hotel, katanya ada studio sewaan di jalan ini. Tapi saat menyusuri gang sempit yang diapit gedung-gedung bertingkat, aku merasa seperti terus berjalan memutar di tempat yang sama. …Gawat. Jangan-jangan aku nyasar?
Umm, coba ingat-ingat. Katanya, kalau nyasar di Tokyo, hal pertama yang harus dilakukan adalah cari jalan besar. Biasanya di dekat situ ada konbini, dan dari situ kita bisa tanya arah menuju stasiun terdekat. Harusnya bisa terselamatkan begitu.
“…Hmm?”
Tiba-tiba terdengar suara ketukan, tok tok, seperti seseorang mengetuk sesuatu.
Dari mana ya? Saat aku celingukan mencari sumber suara, tak tampak satu pun sosok manusia di sekitar. Namun, suara ketukan itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas—tok tok.
Aku pun mengamati salah satu gedung di depanku. Ternyata ada tangga menurun menuju lantai setengah bawah tanah, dan di balik pintu kaca di bawah sana, kulihat Tenma-kun sedang menatap ke arahku dari dalam.
Begitu aku buru-buru menuruni anak tangga, dia pun keluar dari studio, menyapaku dengan senyum secerah seperti dua hari lalu.
“Hai, Natsume-kun. Terima kasih sudah datang.”
“Maaf, tadi aku enggak lihat.”
“Tempatnya memang agak susah dijelaskan cuma lewat omongan, ya.”
Plang nama gedung perkantorannya kecil, jadi tadi aku sempat kelewatan tanpa sadar. Begitu masuk ke dalam studio, Tenma-kun langsung menyadari kalau aku datang sendirian.
“Eh? Rion-chan enggak ikut?”
“Ah, itu… yah, ada sedikit… masalah.”
Aku menjawab dengan nada menggantung, dan Tenma-kun langsung bisa menangkap maksudnya. Kami sempat ngobrol soal itu sebelumnya, dan dia pasti tahu kalau Enomoto-san memang menentang keikutsertaanku dalam pameran ini.
“Begitu, ya. Kalau begitu, enggak bisa disalahin juga.”
“Terima kasih…”
Aku benar-benar bersyukur dia peka dengan suasana kayak gini. Meski sebenarnya, alasan aku bisa datang ke sini pun karena berhasil kabur saat Enomoto-san masih tenggelam dalam rasa malu akibat insiden nyaa-nyaa play. Mana bisa aku jujur soal itu.
“...Wah. Tempat ini beneran terasa ‘kota’ banget, ya.”
Studio itu tampak sangat bersih dan bergaya. Interiornya didesain dengan dinding beton terekspos, memberi kesan dingin, tapi justru karena itulah tampilannya jadi keren dan modern.
Saat aku masih terkesima oleh nuansa stylish tempat ini, Tenma-kun mengulurkan tangannya.
“Dua hari ke depan, mohon kerjasamanya ya.”
“A-ah, tentu! Terima kasih juga sudah mengundangku.”
Kami berjabat tangan dengan ringan.
Sejujurnya, sampai tiba di sini tadi, aku masih deg-degan karena belum bisa sepenuhnya menepis kemungkinan kalau semua ini cuma jebakan prank. Tapi kekhawatiranku itu ternyata tak beralasan. Tenma-kun menyambutku dengan senyum hangat yang sama seperti dua hari lalu.
Benar-benar keputusan tepat datang ke sini. Saat perasaanku menghangat, dadaku terasa sesak terharu… aku tiba-tiba merasa ada yang aneh. Tangan yang tadi kugunakan untuk berjabat tidak juga dilepaskan. Malah sekarang, kedua tangan Tenma-kun membungkusnya erat sambil digosok-gosok lembut.
“U-um, Tenma-kun?”
“…Haa… haa. Memang benar-benar tangan ideal…”
“Tenma-kun!?”
“Ahaha… Hahaha… Mungkin aku terlahir ke dunia ini hanya demi bertemu tangan ini…”
"Itu cuma perasaanmu aja, jadi tolong balik ke kenyataan, yaaa!?"
Dalam situasi seperti ini… oh, iya. Kan Enomoto-san enggak ada di sini!?
"Tei!"
Duk!
Dari arah belakang, Sanae-san menendang keras ke arah pinggang.
"Guhaa!"
"Tenma-kun!?"
Setelah menjatuhkan Tenma-kun, Sanae-san menyambutku dengan senyum ramah dan tenang.
"Selamat datang, Natsume-kun."
"S-senang bisa bekerja sama denganmu…"
Sambil melirik Tenma-kun yang sudah terkapar, aku bertukar sapa dengan Sanae-san dalam suasana yang hangat. Gerakannya yang ringan dan gesit benar-benar enggak kelihatan dari penampilannya—memang pantas, mengingat dia berasal dari unit dansa.
"Kalau begitu, sambil nunggu petugas datang, kita ngopi dulu aja… eh?"
Sanae-san membetulkan kacamata modisnya dengan kedua tangan, lalu menatap wajahku lekat-lekat. Eh, kenapa? Ada yang aneh di wajahku?
Jantungku mulai berdebar enggak karuan saat Sanae-san menunjukkan ekspresi yang sulit dijelaskan.
"Jangan-jangan… kamu ke sini tanpa bilang ke Rion-chan, ya?"
"Eh…"
Kok bisa ketahuan?
Reaksi kagetku mungkin terlalu jelas. Sanae-san tersenyum kecut, seolah sedang menahan tawa.
"Cuma feeling, kok. Soalnya ekspresi kamu tuh… kelihatan banget nyimpen rasa bersalah."
"B-begitu ya…"
Aku terkejut.
Yang namanya intuisi perempuan itu memang luar biasa. Sempat terpikir dia itu cenayang atau semacamnya. Tapi jujur saja, menurutku bedanya tipis banget.
Saat itu juga, Tenma-kun buru-buru bangkit kembali.
“Maaf… gara-gara aku yang ngajak kamu ke pameran ini…”
“Ah, enggak. Aku yang ngotot pengin ikut dan malah bikin dia marah…”
Begitulah.
Ini memang murni keegoisanku. Bukan salah Tenma-kun ataupun siapa pun.
Sanae-san lalu berjalan ke arah dapur kecil yang tersedia di studio dan mulai menyiapkan minuman dengan alat penyeduh kopi.
“Natsume-kun suka kopi, kan?”
“Terima kasih banyak. …Eh? Tapi, apa aku pernah bilang soal seleraku dalam minuman?”
Sanae-san terkekeh pelan sambil tersenyum penuh arti.
“Itu juga intuisi wanita ♡”
“B-begitu ya…”
Entah kenapa, kurasa beliau juga bukan orang biasa-biasa saja, ya…
Sambil memikirkan hal itu, aku menerima kopi yang disuguhkan.
“Kalau kamu mau, nanti saat pulang aku bisa tunjukkan toko kue enak di depan stasiun, lho.”
“Ah… Terima kasih banyak.”
Sambil terus merasa diayomi oleh Sanae-san, aku mendengarkan penjelasan soal jadwal hari ini. Katanya, nanti sebentar lagi para pekerja yang akan membantu instalasi pameran akan datang. Sampai saat itu, kami hanya menunggu.
“Ngomong-ngomong, waktu itu Tenma-kun dan yang lain dikasih tahu apa soal aku dari Kureha-san?”
“Hmm? Katanya sih, dia bakal bawa seorang anak laki-laki dari kampung halamannya yang bercita-cita jadi kreator, dan nyuruh kami buat ketemu. Katanya, kamu pasti bisa jadi pemicu yang baik buat kami.”
"…Hanya itu saja?"
"Ya, hanya itu kok. Makanya waktu itu, pas Rion-chan kelihatan waspada, aku jadi agak bingung juga…"
…Dari nada bicaranya, sepertinya memang bukan bohong.
Kalau begitu, bisa jadi maksud Kureha-san mempertemukanku dengan mereka berdua adalah demi pengalaman mereka? Rasanya jadi agak antiklimaks, ya.
Padahal Kureha-san pernah bilang begini:
Kalau aku ini bagai katak dalam tempurung. Begitu aku tahu seperti apa para kreator di luar sana, aku pasti kehilangan kepercayaan diri. Dan saat aku menyerah pada mimpiku, secara otomatis aku akan berhenti berpasangan dengan Himari. Itu logikanya.
(Apa mungkin, sebenarnya dia cuma ingin menunjukkan betapa jauhnya perbedaan kemampuan kami?)
Maksudnya, karya mereka berdua akan jauh lebih hebat, dan aku bakal kehilangan kepercayaan diri karena menyadari perbedaan itu?
…Yah, memang sih, bisa jadi dari awal kami terlalu terbawa prasangka, merasa kalau "Kureha-san pasti sedang merencanakan sesuatu."
Yah, Kureha-san memang orang yang sangat percaya diri. Dan dia juga tipe yang suka merasa lebih unggul dari orang lain. Jadi mungkin saja, dia cuma ingin memamerkan para kreator didikannya dan menikmati rasa puas itu. Bukan sesuatu yang mustahil, sih.
Untuk saat ini, aku harus memfokuskan diri pada pameran ini.
“Ngomong-ngomong, keren juga ya, sampai nyewa tenaga profesional buat bantu penataan galeri…”
“Ahaha, enggak sekeren itu, kok. Ini juga dananya dari Kureha-san. Umumnya sih kami yang urus sendiri, tapi Kureha-san bilang, ‘Kalau kalian pakai nama agensiku, setidaknya tampakkan sedikit gengsi.’”
“Kureha-san punya dana kegiatan sebanyak itu?”
“Iya. Orangnya memang menyeramkan, tapi dia sangat peduli pada para kreator.”
…Tunggu, apa aku salah dengar barusan?
Sepertinya aku baru saja mendengar sesuatu yang sangat berbeda dari bayangan Kureha-san yang aku kenal.
“Kureha-san… peduli?”
“Eh? Iya, dia baik, kok. Natsume-kun juga tahu sendiri, kan?”
Melihat ekspresi cerah dan jujur dari Tenma-kun, tak mungkin dia sedang berbohong.
“...Tenma-kun. Menurutmu, bagian mana dari Momiji-san yang membuatmu bilang dia baik?”
“Kalau disuruh nunjuk bagian tertentu sih susah, ya… tapi jelas semuanya. Dia perhatian banget sama junior-juniornya, dan selalu memperlakukan kami dengan hormat, sebagai rekan profesional. Memang sih, dia keras dalam pekerjaan, tapi itu demi kebaikan kami juga. Jujur aja, aku bisa jadi seperti sekarang ini semua karena Kureha-san.”
“Eh, b–begitu ya…”
“Eh? Kamu tertarik denger kisahku sama Kureha-san? …Yah, itu terjadi sekitar dua tahun lalu, sih.”
“Eh, enggak, aku enggak begitu…”
Tenma-kun berkata sambil pipinya memerah malu, matanya menerawang jauh seolah melihat masa lalu.
Tiba-tiba, ia memulai cerita flashback tentang masa lalunya—dan karena menyangkut Kureha-san, aku pun merasa agak lesu. Tapi karena aku sudah terlanjur nanya, jadi aku menegakkan badan dan menyimak.
“Itu saat grup kami, "Tokyo☆Shinwa", lagi kena serangan kritik hebat. Padahal kami udah mulai dapat penggemar, dan tinggal selangkah lagi menuju debut besar. Tapi ya, dunia ini kejam. Salah satu kerabat member kami datang marah-marah, bilang, ‘Aku enggak bisa biarkan anakku terlibat dengan grup seperti ini!’ Dan itu langsung mematikan semuanya… Aku mulai kehilangan kepercayaan pada orang lain, jadi liar. Saking putus asanya, aku bahkan sempat terpikir buat nyoba narkoba. Manajer dan teman-teman pun akhirnya menjauh. Di tengah titik terendah itulah, Kureha-san datang dan menarikku keluar. Dia bilang, ‘Sekalipun kamu bukan idol lagi, nilaimu enggak berubah. Bersinarlah di tempat yang benar-benar bisa melihat siapa dirimu.’ Dia enggak cuma menguatkan hatiku, tapi bahkan membuka jalan sampai aku menemukan panggilan hidupku sebagai kreator aksesori ini…”
“…………”
Huh, begitu ya… fuuhhhh~~ menarik juga ternyata…
Bukan, maksudku, aku benar-benar bisa merasakan betapa mengharukannya kisah itu. Dan aku juga paham sekarang bahwa Tenma-kun memang sangat menghormati Kureha-san.
Tapi, gimana ya bilangnya…
Sama sekali enggak nyampe di hati. Sosok Kureha-san yang diceritain Tenma-kun itu terlalu jauh dari gambaran Kureha-san yang aku kenal, sampai-sampai aku mulai curiga, jangan-jangan ada dua Kureha-san dengan isi kepala yang berbeda. Lagipula, kalimat “Bersinarlah di tempat yang bisa melihat nilai dirimu” itu apa, sih? Jangan-jangan Kureha-san ngomong manis begitu cuma buat menyingkirkan junior model yang udah enggak punya kerjaan lagi dan nitipin ke aku…?
(Terus terang aja, kenapa ke aku malah galaknya kebangetan, sih…!)
Saat aku lagi larut dalam kesedihan pribadi yang enggak bisa dibagikan ke siapa pun, Tenma-kun menoleh dan menatapku heran.
“Ada apa?”
“Ah, enggak. Aku ngerti kok sekarang. Kamu dan Sanae-san benar-benar menghormati Kureha-san, ya.”
…Yang artinya, mungkin Sanae-san juga punya kisah serupa. Tapi kalau aku tanya lebih jauh, bisa-bisa malah jadi gali lubang sendiri. Jadi lebih baik berhenti di sini saja.
♣♣♣
Tepat pada waktunya, para pekerja dari perusahaan penyelenggara acara datang untuk mulai memasang dekorasi. Katanya, perusahaan ini memang langganan dari agensi tempat Tenma-kun dan Sanae-san bernaung.
Sambil mengangkut berbagai properti interior yang sudah dipesan oleh Tenma-kun dan timnya, mereka langsung mulai menyusun dan menatanya satu per satu. Beberapa bagian sempat diubah setelah dilihat langsung penempatannya di lokasi.
“Untuk posisi meja yang ini, bagaimana ya? Katanya akan ada satu meja tambahan?”
“Tolong atur supaya dari pintu masuk, ketiga meja terlihat seimbang ya.”
“Kalau posisi speaker-nya, perlu dipindah?”
“Kalau di sini, nanti malah tepat di atas meja. Bisa dipindah ke pojok ruangan sebelah sana?”
“Ah, sepertinya bisa.”
Tampaknya, dengan keikutsertaanku dalam pameran ini, denah awal harus sedikit disesuaikan. Awalnya aku sempat khawatir bakal merepotkan mereka, tapi ternyata Tenma-kun dan timnya sudah sangat terbiasa menangani perubahan semacam ini. Kelihatannya, jumlah peserta di tiap pameran memang sering naik turun.
Aku pun menyaksikan proses pemasangan dekorasi dari dekat. Ini jadi pengalaman yang sangat berharga. Kalau suatu hari nanti aku benar-benar membuka tokoku sendiri, pasti banyak hal dari sini yang bisa kupelajari.
Setelah semua pekerjaan selesai, para staf dari perusahaan penyelenggara itu menyapa kami dengan senyum ramah sebelum pamit pulang.
"Kalau begitu, semuanya sudah selesai."
"Terima kasih banyak."
Setelah para petugas itu pergi, suasana studio berubah total.
Dinding beton yang sebelumnya memberikan kesan dingin kini berubah menjadi interior yang terasa hangat dan mengundang.
Pencahayaan diatur menggunakan lampu berwarna jingga kekuningan yang lembut. Di sepanjang dinding dipajang lukisan-lukisan pemandangan, sementara meja pajangan aksesori dibuat dari kayu bertekstur alami yang memberikan kesan lembut. Di sudut ruangan diletakkan tanaman hias, dan berbagai dekorasi lainnya pun tampak menunjukkan selera yang tinggi. Dari speaker besar di sudut ruangan, mengalun musik dengan nuansa yang tenang dan elegan.
Setelah itu, Tenma-kun menjelaskan padaku mengenai program acara untuk hari-H.
Pameran ini hanya akan berlangsung selama dua hari. Dibuka mulai pukul sepuluh pagi hingga delapan malam—cukup panjang. Meski ada jam istirahat siang selama satu jam, sisanya tergantung kebijakan masing-masing untuk mengambil waktu rehat.
Saat mendengarnya, aku pun melontarkan pertanyaan yang muncul secara alami di benakku.
"Jadi cuma dua hari sewanya? Enggak dipanjangin aja?"
"Itu tergantung kasusnya. Kalau pamerannya berskala besar, kadang bisa sampai seminggu atau lebih. Tapi kali ini, awalnya cuma aku dan Sanae-san yang mau tampil. Untuk skala sebesar ini, lebih untung kalau dipadatkan dalam waktu singkat daripada disebar dalam banyak hari."
"Begitu, ya. Jadi, bukan fokus menarik pengunjung baru, tapi lebih mengutamakan menjual ke pelanggan yang sudah tahu soal pameran ini."
"Tepat sekali. Dengan tingkat popularitas aku dan Sanae-san, yang jadi andalan justru para pelanggan setia. Jadi tidak bijak kalau kita buang-buang biaya untuk mempertahankan tempat lebih lama dari yang perlu."
Penjelasannya memang sangat membuka wawasan.
Yang langsung terlintas di benakku adalah festival budaya saat aku SMP dulu. Waktu itu, para mahasiswi dari kampus sekitar datang berbondong-bondong setelah melihat unggahan Twitter-nya Kureha-san. Itu juga karena slogan promonya cukup menarik: “Hanya bisa dibeli di festival budaya ini!” Strategi marketing yang mengedepankan kelangkaan barang untuk merangsang keinginan membeli.
"Lalu, saat hari H nanti, akan ada petugas penerima tamu di meja depan dan juga satu anak di dapur belakang yang bertugas sebagai pelayan. Mereka semua tenaga paruh waktu, jadi harap kamu juga menyesuaikan diri ya."
"Hebat juga, ya. Sampai rekrut orang untuk itu?"
"Meski dibilang paruh waktu, sebenarnya mereka dari agensi kami juga, kok. Anak-anak baru biasanya belum banyak dapat job, kan? Sementara penghasilan dari kerja paruh waktu di luar juga terbatas. Makanya, Kureha-san yang nawarin kesempatan ini supaya mereka tetap bisa dapat pemasukan, walau sedikit."
"Kureha-san yang melakukan itu!?"
"……Hmm. Dari tadi, sepertinya ada gap besar antara bayangan kamu soal Kureha-san dan kenyataannya, ya."
Yah, soalnya, tahu enggak?
Orang itu pernah dengan entengnya bilang akan ‘menukar’ Himari dengan junior dari agensinya, dan nyaris benar-benar menyerahkan gadis itu ke aku, lho? Apa benar mereka orang yang sama? ……Ya sudahlah, enggak bakal aku omongin ke Tenma-kun dan Sanae-san.
Selain itu, ada juga beberapa aturan detail lain seperti “wajib pesan satu minuman” dan “giliran 20 menit di pagi hari”.
“Satu minuman? Di pameran pribadi?”
Ternyata maksudnya adalah pengunjung akan diberikan minuman dari mesin kopi seperti yang tadi kulihat. Awalnya kupikir, aturan ini terdengar seperti konser musik. Tapi kemudian Tenma-kun menjelaskan dengan wajah sedikit masam.
“Yah, anggap saja itu sebagai pengganti tiket masuk. Sebenarnya sih, kami ingin membiarkan orang datang secara gratis. Tapi kenyataannya, penjualan aksesori belum cukup untuk menutup semua biaya. Kalau kami menjual tiket masuk secara langsung, nanti muncul masalah lain, jadi kami kemas dalam bentuk biaya minuman.”
Begitu rupanya. Menyewa studio di pusat Shibuya saja pasti sudah sangat mahal, belum lagi biaya instalasi seperti tadi. Aku bahkan tak terpikir bahwa ada cara seperti ini untuk menutup anggaran. …Mungkin ini cuma bisa dilakukan oleh orang-orang seperti Tenma-kun yang berasal dari dunia hiburan.
“Lalu, bagaimana dengan ‘giliran 20 menit di pagi hari’?”
“Oh, soal itu akan kujelaskan besok saja. Lebih gampang dimengerti kalau kamu sudah lihat pas acaranya berlangsung.”
Saat itu juga, Sanae-san yang dari tadi hanya mengamati kami dengan tenang akhirnya buka suara.
“Tenma-kun, bahasan seriusnya cukup sampai di situ, yuk sekarang kita masuk ke sesi seru-serunya.”
“Kamu benar juga.”
Waktu bersenang-senang?
Pameran aksesori sudah selesai disiapkan, dan program acara hari-H juga sudah dibahas bersama. Dalam situasi seperti ini, kalau ada yang menyebut “waktu bersenang-senang”, pasti maksudnya adalah…
…Begitu ya. Aku langsung menyadarinya.
Aku pun meletakkan kotak kardus berisi aksesori yang kubawa ke atas meja. Lalu, dengan wajah penuh percaya diri, aku menjawab dengan mantap:
“Pasti sesi pamer aksesori, kan!”
“Benar sekali!!”
Dari speaker, terdengar efek suara meriah “papakapaaaan!”. Rupanya suara itu diputar lewat ponsel Sanae-san yang terhubung ke speaker.
Tenma-kun dan Sanae-san terlihat bersemangat sambil mulai mengeluarkan aksesori mereka sendiri.
“Kureha-san memang mendukung banyak anak muda yang mengejar dunia modeling, fashion design, dan berbagai profesi lainnya, tapi untuk aksesori, dia hanya membiayai lima orang. Tapi karena akhir-akhir ini enggak ada pergantian, rasanya agak kurang tantangan. Makanya, kami benar-benar menantikan aksesori buatanmu, Natsume-kun.”
“Benar juga. Kureha-san sampai bilang, ‘Anak ini menjanjikan, lho.’ Jadi kami yakin aksesori buatanmu pasti luar biasa.”
Tinggi banget ekspektasinyaaa……
Saat aku mulai merasa canggung sendiri, mereka berdua sudah lebih dulu membuka kotak aksesori masing-masing. Yang pertama ditunjukkan adalah aksesori milik Tenma-kun.
“Ini… eh?”
Tengkorak?
Berderet-deret di dalam kotaknya adalah cincin perak dengan desain tengkorak yang kokoh dan garang. Tapi bukan sekadar tengkorak—desainnya sangat beragam. Ada yang bergaya elegan dan keren, ada yang imut untuk perempuan, bahkan ada yang bentuknya lucu seperti karakter kartun untuk anak-anak. Ada yang original, ada juga yang terinspirasi dari karya berlisensi. Macam-macam.
Tapi… yang ini beda.
Gaya desainnya sangat realistis dan hardcore. Bahkan barisan gigi tengkoraknya diukir satu per satu dengan detail luar biasa. Aku sempat terperanjat, karena aksesori ini begitu bertolak belakang dengan citra Tenma-kun yang berwajah tampan dan bersinar seperti pangeran.
Mungkin karena dia sudah terbiasa melihat reaksi seperti itu, Tenma-kun pun tertawa kecil dan berkata sambil tersenyum masam:
“Ahaha. Aku sering banget dibilang enggak cocok, sih.”
“T-tidak, bukan begitu! Aku cuma kaget sedikit saja……”
Ngomong-ngomong, kartu nama milik Tenma-kun juga berdesain tengkorak, ya. Sambil mengobrol soal itu, aku pun mulai mengambil dan memperhatikan satu per satu aksesori yang ada di dalam kotaknya.
Semuanya berukuran besar, dan nuansa heavy metal-nya kental banget. Rasanya cocok buat orang seperti Makishima. Buatku sendiri, sepertinya ini dunia yang enggak nyambung sama sekali…—tapi, tunggu dulu.
Saat aku mencoba memasukkan salah satu cincin ke jariku, aku baru sadar kalau sama sekali nggak muat.
“...Tema desain Tenma-kun itu ‘gap moe antara tangan perempuan yang ramping dan cincin tengkorak yang garang’, ya?”
“!?”
Tenma-kun langsung meraih dan menggenggam kedua tanganku erat-erat.
“Kamu ngerti juga!?”
“Y-ya. Kan Tenma-kun penyuka tangan indah. Terus, semua aksesorinya memang tebal, tapi bagian dalamnya dibuat kosong jadi ringan. Ditambah lagi, ukuran ring-nya kecil-kecil.”
“Hebat! Biasanya orang-orang langsung fokus ke desain mencoloknya dan enggak memperhatikan soal berat atau ukuran cincin.”
Kalau aksesori bunga buatanku memanfaatkan konsep “gadis cantik × bunga nan anggun” yang memperkuat daya tarik searah, maka milik Tenma-kun justru mengambil pendekatan sebaliknya: “gadis cantik × tengkorak yang sangar”—memadukan dua citra kontras secara disengaja.
“Kamu pakai teknik lost wax ya, Tenma-kun?”
“Eh, kamu tahu juga?”
“Iya. Aku juga pernah beberapa kali coba bikin pakai teknik itu.”
Ini adalah aksesori original yang dibuat menggunakan lilin khusus—disebut wax—dalam proses pembuatannya.
Secara umum, ada dua metode utama dalam membuat cincin original.
Yang pertama adalah forging atau teknik tempa, yaitu memanaskan logam, lalu menempa dan menyambungkannya—benar-benar teknik yang terasa “klasik”.
Keuntungan dari teknik tempa adalah kekuatan yang terjamin. Karena logam ditempa, kotoran atau zat tak murni akan terbuang, sehingga kepadatan logam meningkat. Hasil akhirnya adalah aksesori yang kokoh dan punya kesan mewah.
Tapi, kekurangannya juga tidak sedikit. Pertama, biaya awal untuk alat dan perlengkapannya cukup tinggi. Selain itu, desain yang bisa dibuat cenderung terbatas pada bentuk-bentuk garis lurus, dan hasil akhirnya bisa sangat bergantung pada keahlian si pengrajin.
Metode lainnya adalah teknik "lost wax", yaitu menggunakan lilin khusus dalam bentuk tabung untuk membuat aksesori.
Yang dimaksud dengan tube wax adalah lilin berbentuk silinder yang sudah memiliki lubang cincin di tengahnya sejak awal. Lilin ini kemudian dipotong sesuai lebar cincin yang diinginkan, dan dibentuk dengan cara dikikir menggunakan alat seperti kikir besi hingga menghasilkan bentuk aksesori yang diinginkan—itulah yang disebut teknik lost wax.
Setelah bentuk lilin selesai dibuat, model tersebut dikirim ke pengrajin pengecoran logam. Di sana, mereka akan menuangkan logam cair ke dalam cetakan yang menggantikan lilin tadi. Karena lilin akan meleleh dan hilang sepenuhnya selama proses pengecoran, maka teknik ini disebut lost wax, atau secara harfiah: “lilin yang hilang”.
Belakangan ini, layanan pengecoran semacam ini juga makin mudah diakses oleh perorangan. Tak sedikit pula yang menggunakan metode ini untuk membuat cincin pernikahan mereka sendiri.
Keunggulan dari teknik lost wax adalah, karena lilin lebih lunak dibanding logam, maka siapa pun bisa dengan relatif mudah menciptakan desain original. Bahkan desain yang rumit pun bisa direalisasikan, cukup dengan mengukir lilin saja.
Namun, ada juga kekurangannya. Karena prosesnya hanya dengan menuangkan logam cair ke dalam cetakan, kekuatannya kerap kalah jika dibandingkan dengan teknik tempa. Kotoran atau gelembung udara yang tertinggal di dalam logam bisa mengakibatkan hasil akhirnya menjadi rapuh—aksesori dengan desain tipis bisa dengan mudah bengkok atau bahkan patah.
Saat itulah Sanae-san mengintip ke dalam ruangan, lalu berseru kagum, “Wah, kali ini kamu buat banyak sekali, ya.”
“Cincin tengkoraknya Tenma-kun keren banget, ya. Aku juga kadang pakai pas lagi off, lho.”
“Iya, aku juga pengin beli besok.”
Tenma-kun tersenyum malu-malu.
“Tapi ya, aku masih sering dimarahi sama guruku. Katanya hasilku masih jauh dari sempurna.”
“Guru? Maksudmu bukan Kureha-san?”
“Bukan. Aku dikenalkan oleh Kureha-san ke seorang kreator kenalannya, dan sejak itu aku banyak belajar darinya. Aku juga sudah mengundangnya ke pameran ini, jadi kalau beruntung, mungkin nanti bisa kuperkenalkan ke kamu juga. Tapi orangnya moody, jadi enggak bisa janji dia bakal datang.”
“Heh, kenalan Kureha-san ya. Pasti hebat, dong.”
“Hmm… enggak tahu juga, sih. Jujur aja, aku sendiri kurang bisa menilai seberapa hebat dia sebagai kreator.”
“Eh? Serius?”
Dia menyebut orang itu sebagai guru, tapi enggak tahu seberapa hebat kemampuannya? Aku sempat heran, tapi Tenma-kun hanya tertawa.
“Gimana ya… dia tuh punya pandangan estetika yang melampaui batasan genre. Dan dia selalu bisa membimbingku ke arah yang benar.”
“Begitu ya...”
Aku memang belum sepenuhnya paham, tapi kalau sampai Tenma-kun bisa ngomong seperti itu, orang itu pasti luar biasa. Kalau nanti sempat ketemu, aku harus pastikan buat menyapa dengan sopan.
“Daripada terus ngomongin itu, mendingan sekarang lihat aksesoriku juga, dong!”
“Wah! M-maaf…!”
Aku terkejut dan menoleh balik saat bahuku tiba-tiba diguncang oleh Sanae-san. Dia langsung membuka kotak aksesori seperti sudah menunggu-nunggu momen ini.
“Aku fokus di aksesori dari kerajinan kulit dengan batu alam sebagai elemen utamanya.”
Di dalamnya, tersusun aksesori dari kulit yang memiliki nuansa khas. Setiap item dihiasi batu alam berwarna tegas seperti biru, merah, dan hitam.
Aksesori kerajinan kulit—sesuai namanya, adalah jenis aksesori yang dibuat dari berbagai jenis kulit. Biasanya dari kulit sapi, tapi juga bisa dari babi, rusa, bahkan kulit buaya.
Daya tarik utamanya tentu ada pada kesan klasik dan elegan yang dimiliki. Kulit asli dikenal tahan lama, dan seiring waktu akan menampilkan warna yang semakin dalam dan kaya. Keistimewaan itulah yang membuatnya sangat dicintai, tidak hanya untuk dompet dan barang fashion lain, tapi juga untuk aksesori seperti ini.
Dan batu alam yang menghiasi aksesori tersebut—melihat dari apa yang dia katakan beberapa hari lalu, kemungkinan batu-batu inilah yang jadi “bintang utama” dalam desainnya. Karena menggunakan bahan alami, dalam hal itu desainnya terasa sejalan dengan aksesori bunga buatanku.
Aku mengambil salah satunya. Aksesori dari kulit berbentuk bulu burung, disatukan dengan batu alam berwarna merah dan dirangkai menjadi kalung.
“Desain Sanae-san ini terasa kental dengan nuansa perhiasan khas suku Indian, ya.”
“Oh? Kamu bisa melihat itu juga, ya?”
“Motif bulu burung ini terasa sangat alami. Aku rasa itulah yang memberi kesan kuat pada desainnya.”
Perhiasan khas suku Indian—Indian jewelry—merupakan kerajinan tradisional dari masyarakat asli benua Amerika. Aksesori yang dulunya dikenakan dalam upacara keagamaan ini kini populer di kalangan anak muda sebagai bagian dari gaya fesyen. Motif-motif alami yang tak lekang oleh waktu membuat daya tariknya tetap kuat, tak peduli zaman terus berubah.
Di pusat-pusat perbelanjaan besar pun, kita sering melihat butik aksesori impor yang menawarkan gaya serupa. Bahwa aksesori yang dulunya memiliki makna spiritual begitu kuat kini bisa diterima secara global—itulah salah satu keistimewaan dunia aksesori.
Setelah kalung bulu tadi, kini aku mencoba melihat leather bangle—gelang kulit tanpa pengait. Salah satunya langsung mencuri perhatianku.
Bangle ini cukup tebal dan tampil berani, ditambah lagi dengan batu berwarna biru kehijauan yang besar dan mencolok. Ada keindahan yang terasa “liar”, seolah berkata, “Enggak usah repot mikirin detail—lihat aja aku!”
Biru terang yang mencolok itu dibumbui kilau hitam seperti kabut tipis yang menyebar di permukaannya. Aku memang bukan pakar batu alam, tapi kalau harus menebak…
“Batu ini… turquoise, ya?”
Turquoise—batu alam berwarna biru yang sangat populer, warnanya bervariasi dari biru pucat hingga biru kehijauan yang dalam seperti ini. Dulu, batu ini dibawa para pedagang Turki ke Eropa, dan karena itulah disebut juga batu Turki. Konon, batu ini dipercaya sebagai jimat keberuntungan dalam perjalanan.
“Seperti yang diharapkan dari Natsume-kun. Kamu ngerti juga, ya!”
Sanae-san langsung meraih tanganku dan mengguncangnya dengan semangat. Aku jadi agak gugup melihat ekspresi polos dan ceria dari seorang kakak perempuan yang selama ini terlihat dewasa.
“T-tidak, itu bukan hal yang luar biasa kok…”
“Ah, jangan merendah! Batu alam itu sebenarnya cukup populer, tapi nama-namanya jarang ada yang benar-benar ingat, lho.”
“Yah, soalnya batu berlian dan semacamnya lebih dikenal, ya.”
“Betul sekali. Tapi Natsume-kun, kenapa kamu tahu soal batu ini?”
“Beberapa waktu lalu, aku sempat kepikiran untuk menggabungkannya dengan aksesori bunga buatanku. Aku ingin mencoba perpaduan seni alami dari bunga dan batu alam… tapi hasilnya kurang seimbang, jadi akhirnya aku batalin.”
Waktu itu bisa dibilang eksperimen gagal. Tapi ternyata pengalaman itu bisa jadi bahan obrolan seperti sekarang. Sama seperti pembahasan teknik lost wax tadi bersama Tenma-kun… aku jadi makin sadar bahwa nggak ada salahnya mencoba hal-hal baru.
“…………”
Melihat aksesori buatan mereka berdua, aku benar-benar merasa terkesan.
Selama ini, proses pembuatan aksesori bagiku adalah dunia yang terasa cukup sepi. Memang, aku punya partner seperti Himari, juga orang-orang yang mengerti seperti Enomoto-san dan Hibari-san. Aku sadar itu sudah lebih dari cukup dan mungkin bisa dibilang mewah. Tapi tetap saja… aku enggak pernah punya teman yang benar-benar menekuni hobi yang sama.
Selama ini, aku merasa itu bukan masalah besar.
Tapi begitu aku bertemu mereka seperti ini, aku jadi sadar. Apa pun yang sedang direncanakan oleh Kureha-san… rasanya tak lagi penting. Karena aku sungguh senang bisa berteman dengan para kreator seusia seperti ini.
Aku kembali melihat aksesori buatan mereka berdua.
Semuanya benar-benar indah.
Di setiap detail desainnya, terasa betul adanya ketelitian dan keberanian untuk mencoba hal baru. Setiap karya menyimpan cinta dan dedikasi dari si pembuatnya.
(Tapi, mungkinkah sebenarnya...)
Aku berusaha keras mengenyahkan rasa ganjil itu dari dalam diriku.
Tak mungkin, pikirku. Mereka ini para kreator yang disebut-sebut sebagai anak emasnya Kureha-san. Akhir-akhir ini aku memang kurang fokus pada dunia aksesori, jadi pasti hanya perasaanku saja yang tumpul.
Lalu Tenma-kun, dengan ekspresi penuh semangat, mulai menyuarakan antusiasmenya.
“Kalau begitu, giliran kami untuk melihat punyamu, Natsume-kun.”
“Betul. Tidak adil kalau hanya kami berdua yang sudah memperlihatkan karya.”
“Tidak adil, katanya…”
Sambil melontarkan candaan ringan, aku mendorong kotak kardus berisi aksesori milikku ke hadapan mereka berdua. Dengan jantung berdebar, aku membuka segelnya dan mengeluarkan satu aksesori, lalu meletakkannya di atas meja. Yang kuambil adalah sepasang anting berbentuk bunga kosmos, sudah dikemas rapi dalam kotak aksesori, siap untuk dijual.
Tenma-kun dan Sanae-san pun mencondongkan tubuh untuk melihat lebih dekat…
“…………”
“…………”
Tak ada reaksi sama sekali. Keduanya membisu, membeku dalam posisi sedang mengintip ke dalam kotak.
…Hah? Aku sempat mengira mereka akan langsung meledek atau memberikan komentar, tapi ternyata reaksinya di luar dugaanku. Aku jadi kikuk dibuatnya.
A-apa mungkin ada yang aneh? Jangan-jangan… ada semacam aturan tak tertulis di kalangan kreator Tokyo? Ah! Atau mungkin kotak aksesori yang kupakai terlihat norak? Atau mungkin part aksesori yang kugunakan terasa murahan…? Tapi kan, di kampungku pilihan bahan sangat terbatas, dan kalau beli online pun hasilnya suka enggak sesuai ekspektasi.
Gawat… jangan-jangan──
“Haaah. Natsume-kun, ternyata kamu memang enggak layak ya.”
“Penilaian estetika Kureha-san juga sudah mulai menurun, ya. Rupanya usia memang tak bisa dilawan.”
Kalau komentar mereka sampai seperti itu… bisa-bisa aku didepak dari partisipasi pameran besok!?
Saat aku mulai panik dan bergumam “awawa…”, Tenma-kun tiba-tiba meraih kedua bahuku dan berseru dengan ekspresi serius.
“Natsume-kun!? Ini… ini kamu yang buat sendiri!?”
“Eh? Apa? Jangan-jangan memang kelihatan norak—”
“Haa!? Norak? Kamu enggak serius ngomong gitu, kan!?”
“E-eh? Maksudnya gimana? Aku bener-bener enggak ngerti situasinya…”
Tiba-tiba, Sanae-san pun mengeluarkan sepasang sarung tangan dari dalam tasnya. Dengan sangat hati-hati, dia mengambil anting milikku, berusaha agar tidak meninggalkan sidik jari, lalu memeriksanya dengan saksama.
Lalu ia mengembuskan napas takjub.
“...Aksesori sepresisi ini bahkan jarang bisa dibuat oleh anggota kami sendiri. Sempat terlintas di benakku, jangan-jangan kamu beli karya seorang kreator ternama lalu mengaku-aku sebagai buatanmu sendiri.”
“Eh? Tapi… bohong kayak gitu tuh, enggak ada gunanya sama sekali, kan…”
Lagipula, soal kemampuan buat aksesori, Kureha-san sendiri yang paling tahu. Meski aku berusaha sok jago demi menyelamatkan situasi, kalau kemampuanku enggak sepadan, itu cuma mempermalukan diri sendiri.
“T-tapi… kalau kalian suka, aku senang sih……”
“‘Suka’!? Ini bukan sekadar suka atau enggak, tahu! Bisa-bisa aku pukul kamu, lho!”
Kenapa malah marah!?
Saat aku kebingungan, Tenma-kun menatapku dengan wajah serius lalu bertanya,
“Natsume-kun, kamu udah jadi kreator berapa lama?”
Pertanyaan itu membuatku agak memiringkan kepala. Sekarang kalau dipikir-pikir, sudah berapa lama, ya? Aku memang enggak pernah ngitung secara pasti, tapi… waktu aku ketemu Enomoto-san lagi itu sekitar tujuh tahun setelah kami terakhir bertemu, jadi harusnya belum selama itu.
“Hmm… kayaknya mulai sejak kelas enam SD, jadi… sekitar enam tahun?”
“……!?”
Wajah Tenma-kun dan Sanae-san langsung menegang.
“Kelas enam SD? Waktu itu, aku bahkan belum kepikiran buat masuk dunia hiburan, lho…”
“Kalau aku… hmm, entahlah. Soalnya waktu kecil, aku ikut banyak les karena keinginan orang tua…”
Keduanya tampak memutar otak sambil mengerang pelan.
Padahal ini pembicaraan soal aksesori buatanku, tapi rasanya aku justru jadi orang luar yang cuma mendengarkan. Tapi karena reaksi mereka terasa tulus, perasaan aneh yang sempat muncul tadi mulai kembali perlahan.
…Jangan-jangan, dari segi kualitas, aksesori buatanku justru lebih unggul?
“Ngomong-ngomong, kalian udah jadi kreator berapa lama?”
“Kalau aku dua tahun, berarti Sanae-san sekitar satu setengah tahun, ya. Soalnya kamu mulai setengah tahun setelah aku, kan?”
Mendengar pertanyaan dari Tenma-kun, Sanae-san mengangguk pelan.
“Kalau sekadar hobi, aku memang sudah belajar soal batu-batuan. Tapi untuk benar-benar mulai membuat aksesori secara serius, ya… kira-kira selama itu juga, sih.”
Artinya, kalau dilihat dari lamanya berkarya sebagai kreator, aku justru lebih senior dari mereka. Arah pembicaraan yang tiba-tiba berubah ini membuatku sedikit bingung dan merasa antiklimaks.
Tapi… rasanya ada yang aneh. Soalnya, dari cara bicara Kureha-san, kesannya seperti dia akan memperkenalkanku pada kreator dengan kemampuan teknik yang jauh lebih hebat dariku…
Tentu saja aku tidak menganggap Tenma-kun dan Sanae-san sebagai kreator yang lebih rendah dariku. Hanya karena mereka memuji aksesori buatanku habis-habisan, bukan berarti ada hubungan atasan-bawahan di antara kami.
(Tapi, Kureha-san yang selama ini selalu punya maksud tersembunyi… masa iya kali ini juga enggak merencanakan apa-apa?)
Pikiran itu terus mengusikku. Apalagi waktu kejadian soal Himari kemarin, aku benar-benar dibuat tak berkutik dan dipermalukan habis-habisan olehnya.
Apa karena perjalanan ke Tokyo ini terlalu mendadak, jadi dia enggak sempat menyiapkan sesuatu? Apa kemarin dia sengaja melontarkan tantangan itu karena kepepet? …Tapi itu juga bukan gaya Kureha-san.
Setelah itu, aku menghabiskan waktu berkeliling mengunjungi toko-toko perhiasan yang direkomendasikan Tenma-kun dan Sanae-san.
Lalu, demi persiapan pameran, aku juga dibantu memilih pakaian-pakaian yang sedang tren. Salon langganan Tenma-kun benar-benar terlihat seperti tempat elite langganan para selebritas, sempat bikin nyaliku ciut juga. Tapi begitu masuk, suasananya ternyata sangat nyaman.
Karena aku cuma membawa aksesori, aku juga ikut mencari barang-barang kecil untuk menghias meja pajangan. Setelah menghabiskan waktu dengan berbagai kegiatan, hari pun mulai gelap. Kami makan malam bersama, lalu berpisah.
Dan terakhir, aku membeli kue yang lezat di toko kue favorit rekomendasi Sanae-san.
“Semangat ya, Natsume-kun.”
“Sampaikan salamku untuk Rion-chan, ya.”
Dengan dukungan hangat dari mereka berdua, aku pun memulai perjalanan pulang.
...Sejujurnya, aku berharap bisa saja menginap di rumah salah satu dari mereka. Soalnya, Enomoto-san pasti lagi marah banget sekarang…
♡♡♡
PoV
Enomoto Rion
Pagi itu, Yuu-kun pergi ke minimarket.
Sementara itu, aku sudah selesai berganti pakaian dan menyiapkan sarapan dari room service yang datang tak lama setelahnya. Sambil menatap program berita pagi di televisi, aku duduk menunggu Yuu-kun kembali.
…Saat sup sarapan mulai dingin, aku mulai merasa ada yang aneh.
Yuu-kun belum juga kembali. Apa dia tersesat, ya? Enggak mungkin, minimarket ada persis di seberang jalan. Mustahil dia sampai tersesat. Mungkinkah dia sedang asyik membaca majalah di sana? Tapi, Yuu-kun bukan tipe yang seperti itu...
(...Enggak mungkin, kan?)
Meski aku mencoba menepisnya, perasaan cemas itu terus tumbuh. Saat program berita di TV berganti, aku akhirnya memberanikan diri menelpon ke bagian resepsionis.
[Natsume-sama telah menerima sebuah paket, lalu keluar meninggalkan hotel.]
Tanpa berkata apa-apa, aku menutup sambungan telepon.
—Yuu-kun, bukankah hari ini kamu bilang ingin bersamaku?
—…Iya. Sepertinya begitu.
Aku mengingat kembali percakapan kami tadi.
Saat itu, tatapan mata Yuu-kun sama sekali tidak tertuju padaku.
(...Yuu-kun membohongiku.)
Fakta itu menekan dadaku dengan berat, seperti batu besar yang jatuh dari langit. Kenapa? Enggak, aku tahu kenapa. Karena aku menunjukkan ketidaksukaanku saat dia bilang ingin ikut pameran. Jadi dia bohong padaku... dan pergi sendirian.
Aku mengambil ponsel dan menekan nomor orang yang paling tidak kusukai. Begitu tersambung, aku langsung bertanya dengan nada mendesak.
“Onee-chan, pameran Tenma-kun dan yang lain itu di mana!?”
[…………]
Onee-chan menarik napas kecil, terdengar agak terkejut.
Lalu, dengan nada senang seolah menikmati keadaanku, dia menjawab.
[Rion ditinggal, ya~? Yuu-chan jahat banget, deh~☆]
Nada suaranya terdengar riang, seolah semuanya berjalan persis seperti yang dia inginkan.
Lewat tengah hari. Seperti yang kuduga, Yuu-kun belum juga kembali... dan akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke gedung pertokoan yang diinformasikan padaku.
Aku mengintip pelan-pelan ke dalam studio yang berada di lantai semi-basement dari luar.
...Yuu-kun ada di sana. Aku sempat berharap semua ini hanya salah paham, tapi ternyata benar—dia membohongiku dan datang untuk membantu persiapan pameran.
Yang jadi masalah sekarang adalah, aku harus bagaimana setelah tahu kenyataan itu?
Aku berjongkok di tempat, merasa lemas. Di saat-saat seperti ini, apa yang seharusnya kulakukan? Aku tahu betapa pentingnya aksesori bagi Yuu-kun.
Tapi masa iya, bahkan di saat seperti ini pun aksesori tetap yang paling penting? Bukankah karena aku yang sudah berusaha keras, makanya kamu bisa jadian sama Hii-chan? Padahal belum dua minggu, dan kamu sudah lupa?
Yuu-kun dan yang lainnya sedang duduk melingkari aksesori, membicarakan sesuatu dengan ekspresi serius. Saat Yuu-kun bicara, Tenma-kun mengangguk penuh rasa kagum.
Kemudian saat Sanae-chan bertanya, Yuu-kun menunjuk ke arah aksesori dan menjelaskan sesuatu lagi.
Mereka bertiga tampak serius berdiskusi, namun sesekali saling tertawa senang. Melihat mereka menikmati waktu bersama dengan begitu sepenuh hati... entah kenapa, bayangan kesendirian di sekitarku terasa semakin pekat.
…Aku menghela napas panjang.
(Enggak boleh begini. Rion itu anak yang bisa diandalkan. Enggak boleh marah cuma gara-gara hal begini…)
“Yosh!” Aku mengepalkan tangan erat-erat.
Aku masih bisa bertahan. Yuu-kun pasti akan mengerti kalau diajak bicara baik-baik. Lagipula, meski kadang suka seenaknya, dia selalu sayang sama aku. Hari ini dia cuma senang karena dapat pengalaman baru, kan? Begitu persiapan pamerannya selesai, dia pasti langsung pulang ke tempatku, kan? Dia enggak mungkin cuekin aku dan sampai lupa, kan?
Kalau dia pulang dengan benar, Yuu-kun pasti minta maaf dengan sungguh-sungguh. Dan kalau permintaan maafnya tulus, aku pasti mau memaafkannya.
"Aku akan pulang dan menunggu Yuu-kun kembali!"
Yuu-kun pasti capek, aku harus jadi orang yang menenangkannya. Aku akan masak makanan enak, siapkan air hangat untuk mandi, lalu memujinya sambil bilang, “Selamat ya, kamu hebat banget.” …Kayak pasangan baru nikah, ya. Hehe.
(Oke, semangat!)
Dengan semangat membara, aku pun melangkah pulang.
…Dan Yuu-kun sama sekali tidak pulang.
Pemandangan Tokyo yang terlihat dari kamar suite perlahan mulai diselimuti warna oranye, lalu berubah menjadi malam yang hangat. Aku hanya bisa termangu, duduk di atas ranjang dan menatapnya tanpa berkata apa-apa.
Ponsel… sudah lewat pukul delapan malam. Ini udah malam, lho. Hah? Yuu-kun berangkat pagi tadi, kan? Dan dia bohong bilang cuma mau ke minimarket, kan? Apa dia sama sekali enggak kepikiran kalau aku bakal khawatir? Apa dia enggak merasa harus buru-buru pulang?
Tanpa sadar, aku sudah membanting-banting bantal dengan sekuat tenaga.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaahhh!!”
Kenapa sih!? Kenapa dia belum juga pulang!?
Memangnya butuh waktu selama itu, ya, buat nyiapin pameran? Ukurannya juga enggak besar-besar amat, masa iya perlu waktu seharian?
Lalu, ketika bantalku sudah gepeng total, sebuah ide mendadak menyambar kepalaku seperti wahyu dari langit.
(Tunggu. Jangan-jangan, Yuu-kun kenapa-napa…?)
Aku langsung melonjak bangun dari tempat tidur. Dalam situasi begini, aku harus hubungi siapa dulu ya? Polisi? Pemadam kebakaran? Atau mungkin Tenma-kun atau Sanae-chan? Tapi… mungkin lebih baik aku hubungi Onee-chan dulu—
Saat itulah, kudengar suara klik pintu kamar yang terbuka.
"……!?"
Aku buru-buru menyambut kedatangan Yuu-kun.
"Yuu-kun!"
"Ah, Enomoto-san…"
Syukurlah. Yuu-kun selamat.
Dengan ekspresi yang super canggung, dia menyunggingkan senyum kaku di wajahnya.
"U-uhm, Enomoto-san. Maaf soal hari ini. Sebenernya—"
Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, aku langsung memeluknya erat-erat. Dari lubuk hati terdalam, aku menghembuskan napas lega.
"Yuu-kun… syukurlah…"
"…………"
Yuu-kun meletakkan tangannya di pundakku, tampak agak kehilangan kata-kata.
“Maaf banget, ya. Soalnya hari ini aku benar-benar pengin lihat langsung gimana persiapan pameran Tenma-kun dan yang lain…”
“Ya. Aku ngerti, jadi enggak apa-apa.”
Entah kenapa, rasa kesalku tadi tiba-tiba hilang begitu saja. Yuu-kun pulang—hanya itu saja sudah cukup buatku.
Soalnya, aku sudah menunggu Yuu-kun selama tujuh tahun, lho. Jadi sekarang, cuma disuruh nunggu beberapa jam doang mah, enggak masalah. Dia tetap kembali ke sisiku. Yuu-kun itu, memang sosok idealku.
“Lagian, aku juga langsung tahu kok kamu pergi ke pameran.”
“Serius? …Yah, iya sih. Gimana pun juga pasti ketahuan, ya.”
Yuu-kun mengalihkan pandangan, kelihatan canggung dan serba salah. Saat aku sadar, aku buru-buru menjauhkan tubuhku darinya.
“…Dasar mesum, Yuu-kun.”
“Eh, itu enggak bisa disalahin juga, kan…”
Yuu-kun memalingkan wajah, pipinya merah padam.
(Aku pengin begini sedikit lebih lama lagi... bohong, deh)
Entah kenapa aku sempat berpikir begitu, lalu menggumam pelan, “Ck, sayang banget.”
Yah, sudahlah. Yang penting sekarang, aku lapar. Yuu-kun juga sudah pulang dengan selamat, jadi waktunya makan malam.
Aku menyalakan kompor dan memanaskan panci di atasnya. Dari kulkas, aku mengeluarkan salad dan roti.
“Yuu-kun, makan yuk. Atau mau mandi dulu? Airnya sudah aku panaskan, lho.”
Ah, barusan kayaknya aku terdengar kayak pengantin baru, ya?
Entah kenapa dadaku berdebar. Gimana kalau barusan aku terusin dengan, “Makan? Mandi? Atau...”? Enggak, enggak. Itu enggak boleh. Soalnya kalau begitu, aku bukan sahabat lagi dong. Yuu-kun pasti bakal marah.
Begitu kubuka tutup pancinya, aroma kari yang menggugah selera langsung menyeruak. Hari ini rasanya aku berhasil masak dengan enak. Kira-kira Yuu-kun bakal senang, enggak, ya? Apa dia akan mengelus kepalaku lagi kayak waktu itu...? Ehehehe...
“Ah, maaf. Aku udah makan malam di luar tadi.”
──Sendok sayur yang hendak kupakai untuk mengaduk kari, jatuh dari tanganku dan berbunyi nyaring, klang.
Saat aku masih terdiam membeku, Yuu-kun berbicara dengan wajah cerah.
“Tadi aku diajak jalan sama Tenma-kun dan yang lain. Kami keliling toko perhiasan, dan ya ampun, Tokyo emang luar biasa, ya. Tempat yang kita datangi bareng juga keren, tapi toko-toko yang mereka ajak aku ke sana tuh punya koleksi yang gila-gilaan. Terus, mereka juga bawa aku ke tempat langganan mereka. Di sana banyak banget bagian-bagian aksesori yang kayaknya bakal cocok banget sama bunga-bunga... Serius deh, andai toko kayak gitu buka di kampung kita, ya…”
“…………”
Bicaranya cepat sekali.
Yuu-kun memang suka begitu kalau sedang ngomongin hal yang dia suka. Aku cuma menjawab, “Oh ya...” sambil mencuci sendok sayur yang tadi jatuh ke dalam wastafel.
“Terus kan kamu pernah bilang, ya. Soalnya kita bakal ngadepin orang-orang Tokyo, jadi harus lebih jaga penampilan. Nah, aku mikir, iya juga, ya... Waktu aku cerita ke mereka, Tenma-kun ngajakin ke toko-toko yang lagi ngetren. Ada satu tempat langganan mereka yang harganya juga masih masuk akal. Aku akhirnya beli semuanya di sana. Rencananya besok aku pakai yang ini.”
Yuu-kun membawa kantong plastik dari sebuah toko pakaian. Kantongnya tebal—kayaknya dia beli satu set lengkap.
Duk-duk-duk-duk-duk... Duri-duri kecil menusukku tanpa henti. Entah kenapa, aku sempat membayangkan versi kecil dari “Hii-chan si iblis kecil” sedang nusuk-nusuk aku pakai tombak kecil. Padahal, rasanya enggak lucu sama sekali.
Lalu Yuu-kun menunjukkan kotak kertas dari toko kue.
“Terus, ini buat kamu. Semacam oleh-oleh, atau minta maaf, gitu. Tadi Sanae-san nyaranin toko ini—katanya enak banget. Donatnya terkenal, dan bisa dapat yang masih sisa sampai malam gini tuh kayak keajaiban. Tapi mungkin sebenernya tadi dia udah neleponin buat pesen dulu. Anak kuliahan tuh emang baik banget, ya...”
"…………"
Kari yang tidak diaduk mulai menggelegak gobogobo di atas kompor. Saat aku menatapnya tanpa berkedip, Yuu-kun buru-buru mencoba mematikan api.
"Eh, E-Enomoto-san!? Kari-nya mulai gosong, baunya—"
"……Berisik."
Suaraku terlalu pelan sampai-sampai Yuu-kun harus mendekatkan wajahnya ke arahku. Aku baru sadar ada yang berbeda dari dirinya—rupanya dia juga habis potong rambut. Dari arah Yuu-kun tercium wangi hair styling yang enak banget. …Enggak usah ditebak, pasti tadi juga dia diajak sama Tenma-kun dan yang lainnya.
(Padahal dia tahu aku sendirian, cuma bisa nungguin...)
Di dalam kepalaku, versi mini si Iblis Kecil Hii-chan sedang mengelilingi sebuah bom besar. “Gimana nih?” “Kita ledakkan aja?”—begitulah kira-kira sambil menusuk-nusuk bom itu dengan tombak mereka. Lalu si bos iblis Hii-chan menyipitkan mata tajam-tajam dengan kilauan di matanya, lalu menghujam bom itu sekuat tenaga.
── Plak, rasanya ada sesuatu yang putus di dalam diri ini.
"Diammmmmmmmmmmmmmmm!!!"
Aku mencengkeram kepala Yuu-kun dan memelintirnya sekuat tenaga ke atas.
"Adadadadadadadadaaa!? Enomoto-san, sakit, sakit, sakit!?"
"Diam! Diam! Dam! Jangan ceritain hal-hal menyenangkan bareng Tenma-kun di depan akuuuuuuuuuuu!!!"
Yuu-kun menjerit sekencang-kencangnya, sampai rasanya harus minta maaf ke tetangga, dan lalu batan!—tersungkur ke lantai dapur. Tangan yang lengket gara-gara pomade kutelap pakai jaket parka Yuu-kun.
Setelah itu, aku berdiri tegak bak patung raksasa dengan penuh wibawa.
"……Yuu-kun. Kenapa kamu pulang telat hari ini?"
"Eh? Soalnya tadi bareng Tenma-kun, jadi……"
“Kamu kan pergi buat bantu persiapan pameran, ya? Tapi kenapa setelah selesai malah jalan-jalan juga? Aku nungguin kamu di hotel terus, lho?”
Yuu-kun akhirnya menyadari kesalahannya dan bergumam, “Ah…”
“Tapi… aku enggak ngerti soal tren di Tokyo kalau sendirian…”
“Kamu bisa pergi bareng aku, kan? Kenapa semua kenangan pentingmu malah sama orang lain?”
“Kan Tenma-kun yang ngajak duluan, rasanya enggak enak kalau nolak…”
“Yuu-kun, waktu kamu bilang mau ketemu mereka, kamu juga janji bakal tetap jaga waktu kita berdua, kan? Kamu sendiri yang bilang aku lebih penting dari mereka, kan!?”
“Lagipula, hari ini aku memang udah janjian buat ketemu Tenma-kun dan yang lain…”
“Terus besok kamu juga tetap pergi ke pameran, ya? Kapan kamu mikirin aku, hah? Jam berapa, menit ke berapa, detik ke berapa? Setelah bumi berputar berapa kali?”
“Jangan ngomong kayak anak SD, deh!”
“Kamu sendiri yang kayak anak SD! Kamu seneng main bareng temen baru sampai lupa aku, kan!?”
“Kalau gitu, Enomoto-san juga tinggal cuekin aku dan pergi main sesuka hati, kan!?”
“Aku enggak punya teman di Tokyo!”
“Kan kamu punya Kureha-san!? Sekali-kali, coba deh habiskan waktu bareng kakakmu, cuma kalian berdua!”
“Apa!? Berapa kali aku harus bilang kalau aku enggak suka sama Onee-chan──”
Yuu-kun berdiri.
Lalu, sambil menggigit bibirnya erat-erat, ia membentakku dengan penuh emosi.
“Bohong! Kamu sebenernya sayang sama Kureha-san, ‘kan!? Tapi karena hubungan kalian enggak akur, kamu jadinya nyari pelampiasan ke aku, kan!? Salah, ya!?”
“……!?”
Aku terdiam.
Melihat reaksiku seperti mengiyakan, Yuu-kun menatapku dengan ekspresi yang sedikit sedih.
“Aku selalu penasaran, tahu enggak. Kenapa sih Enomoto-san bisa suka sama orang kayak aku. Waktu pertama kali aku benerin aksesori Gekkabijin, masa cuma karena itu kamu jadi suka? Pas kita kelas satu juga, aku enggak merasa pernah ngelakuin hal yang bisa bikin kamu naksir aku. Terus kamu bilang, ‘Itu cinta pertama waktu SD,’ tapi... kita udah SMA, mana masuk akal sih alasan kayak gitu.”
Lalu ia memalingkan pandangannya.
Arah tatapannya jatuh pada pot bunga geranium, yang tadi dipindahkan ke meja satunya.
“Waktu di akuarium kemarin, kamu bilang, kan? Kamu suka aku karena aku enggak akan mengkhianatimu. Tapi... kamu bilang itu sambil membandingkan aku sama siapa?”
Jantungku berdegup kencang. Diamku sudah jadi jawaban.
Yuu-kun, seakan menghembuskan semua perasaannya dalam sekali tarikan napas, berteriak dengan lantang.
“Aku bukan pengganti Kureha-san! Jangan harap aku bisa bertindak sesuai keinginanmu! Jangan seenaknya gitu dong!”
Napasnya memburu, terdengar berat dan berantakan.
Kamar suite yang hening mendadak diselimuti keheningan. Cahaya dari taman hiburan di dekat sana berkelip-kelip menghiasi jendela, menciptakan suasana yang kontras. Aroma gosong dari kari yang terbakar memenuhi paru-paruku, pahit dan menyesakkan.
“…………”
Kompornya mati otomatis karena suhu IH-nya terlalu tinggi.
Tanganku gemetar. Air mataku hampir tumpah. Aku menghela napas dalam-dalam, lalu mengepalkan tangan erat-erat.
“...padahal.”
“Eh?”
Begitu Yuu-kun balik bertanya—kali ini giliranku yang meledak.
“Tanpa aku, Yuu-kun itu cuma kreator cupu yang enggak bisa ngapa-ngapain sendirian!!”
“Hah…!?”
Yuu-kun tampak terguncang.
Memanfaatkan celah itu, aku meluapkan semua kekesalan yang kupendam!
“Apa-apaan sih!? Kamu sok merasa paling benar sendiri! Kedengarannya sih masuk akal, tapi kamu cuma lagi membenarkan kenyataan kalau kamu lupa sama aku dan malah asyik bersenang-senang, kan! Sekarang ini, masalah antara aku dan Onee-chan enggak ada hubungannya! Kenapa aku harus diomeli dari atas kayak gitu sama orang lain kayak kamu, Yuu-kun!? Coba cerminin diri sendiri dulu sebelum ngomong begitu!!”
“Ah, eh, maksudku…”
"Lagipula, aku tuh udah lama banget marah, tahu!? Waktu kamu memperbaiki gelangku pertama kali, lalu atas saran Sakura-san kamu bilang mau bikin aksesori bertema ‘cinta pertama’! Kenapa sih kamu malah bertengkar sama Hii-chan seolah-olah semua itu salahku!? Aku ini bukan alat buat kalian berdua saling mesra-mesraan, tahu!? Kamu juga belum pernah minta maaf soal itu, kan!?"
“T–tapi itu… eh, kamu marah soal itu?”
“Jelas dong! Tapi semuanya bersikap kayak, ‘Rion itu anak baik, pasti bakal di maafin, deh~’! Waktu anak cewek di sekolah ngerusakin aksesori kamu juga, aku bantuin kamu baikan sama Hii-chan, kan! Terus kamu cuma bilang ‘Makasih ya, Enomoto-san’… itu doang!? Waktu kamu bilang jadi sadar sama perasaan Hii-chan dan minta bantuan, waktu soal Onee-chan juga, aku dukung kamu, lho! Aku udah bantuin ‘musuh’ terus-terusan, dan waktu aku cuma minta satu hal—buat selama liburan ini aja aku jadi yang paling utama—kamu malah bilang, ‘Aku bukan pengganti Kureha-san’… Enggak masuk akal! Yang keterlaluan itu justru kamu!!”
“Ah, um…”
Yuu-kun yang jelas-jelas kelihatan panik, langsung kehilangan kata-kata. Aku pun memanfaatkan momen itu buat ngasih serangan terakhir. Dengan kedua tangan menyilang di dada, aku berdiri tegak penuh percaya diri dan melontarkan tatapan tajam.
“Kamu itu, kalau enggak dibantuin orang lain, enggak bisa ngapa-ngapain, tapi sok-sokan merasa udah jadi kreator sejati—konyol banget! Coba tanya deh ke diri kamu, Yuu-kun! Kamu pernah jual aksesori pakai usaha kamu sendiri, tanpa bantuan siapa pun!? Kamu omongin soal bagi tugas dan semacamnya, padahal aslinya kamu cuma ngandelin Hii-chan, kan! Terus kalau kamu ikut pameran cuma gara-gara belas kasihan artis terkenal, dan enggak satu pun karya kamu laku, bukannya kamu cuma bakal keliatan nyesek dan menyedihkan!? ‘Pengalaman’ (LOL)!”
“…!?”
Yuu-kun yang udah kehilangan semangat barusan, langsung kebakar lagi begitu aku hina aksesori kesayangannya. Ternyata, kalau soal karya, dia bener-bener enggak bisa diem. Dasar kreator sejati (LOL).
Dengan urat di keningnya muncul jelas, Yuu-kun langsung balik nyerangku.
"Akhirnya kamu ngomong juga, ya, Enomoto-san?"
"Aku memang ngomong, kok? Kalau kamu kesal, coba aja buktikan dengan menjual habis semua stok kiriman dari pacar tercantik di dunia (LOL)."
"Ah, baiklah! Akan kujual semuanya! Dan kalau berhasil, semua utang-utangku ke kamu lunas, ya!"
"Silakan. Toh kamu pasti enggak bakal bisa. Tapi kalau sampai ada yang enggak laku, gimana? Jangan bilang kamu doang yang dapat hadiah, ya?"
"Baiklah. Kalau sampai ada satu aja yang enggak laku, aku bakal menuruti semua yang Enomoto-san mau. Gimana?"
"Hmm~?"
Aku menyeringai mendengar ucapannya.
"Termasuk kalau aku bilang, 'Pacaran sama aku'?"
"……! A-ah. Iya. Apa pun."
"Bukan cuma pura-pura, lho. Kita akan umumkan hubungan ini di sekolah, dan semuanya—kencan, ciuman, bahkan hal-hal yang lebih dari itu—harus kamu jalani sesuai dengan gambaran idealku tentang sepasang kekasih."
“Kamu, tunggu, itu… Aaaah, baiklah! Aku lakuin!”
Aku pun membuka aplikasi perekam suara di ponsel dan menyodorkannya ke arah Yuu-kun.
“Nih. Ikrar janji.”
“Ugh... Aku, Natsume Yuu, berjanji bahwa jika aku gagal menjual habis semua aksesori di pameran Tenma-kun dan yang lainnya, maka aku akan berpacaran dengan Enomoto-san.”
Lalu dia mendekatkan ponsel itu ke mulutku.
“Aku, Enomoto Rion, kalau Yuu-kun berhasil menjual habis aksesori di pameran, akan melupakan semua hal yang sudah terjadi, dan enggak akan menuntut apa pun lagi setelah ini.”
Rekaman pun dihentikan.
Kami saling tatap dengan penuh ketegangan—lalu, “Hmph!” Kami sama-sama memalingkan wajah.
Setelah itu, kami berdua makan kari gosong itu tanpa sepatah kata pun, berebut remot televisi dalam diam, bersaing menentukan giliran mandi tanpa sepatah pun obrolan, dan akhirnya masuk ke tempat tidur dengan sama-sama diam membisu.
Barulah saat itu, Yuu-kun akhirnya membuka suara.
"Eh, Enomoto-san ganggu banget. Ini kan tempat tidurku."
“Hah? Kakakku yang memesannya, jadi jelas ini tempat tidurku, dong!”
“Karena aku ikut, Kureha-san jadi ambil kamar yang bagus, kan? Jadi ya, ini tempat tidurku!”
“Aku yang pertama minta hotel ini dipesankan, jadi jelas ini tempat tidurku! Yuu-kun, sana tidur di luar aja kalau perlu!”
Sambil saling tarik-menarik selimut, Yuu-kun bergumam pelan.
"…Padahal kemarin kamu sempat bilang, ‘nyaa♪’ segala, lho."
"～～～～～～～～～～～～～!?"
Setelah itu, pertempuran sengit dengan bantal pun berlangsung tanpa henti. Aku rasa kami baru ketiduran karena kelelahan... sekitar menjelang pagi.
...Yuu-kun, pokoknya enggak bakal aku maafin!
Post a Comment