Penerjemah: Nobu
Proofreader: Nobu
Prologue 2
Untuk Bunga-Bunga yang Tertinggal di Musim Semi
♠♠♠
Bunga yang tak layu tak punya arti, dan cinta pertama yang tak kunjung usai tak lain adalah neraka.
Mengejar hal ideal memang terdengar indah.
Namun, ideal hanyalah sebuah ilusi. Dan ilusi, tak bisa disentuh. Jika sesuatu bisa disentuh, maka sejak awal ia bukanlah sebuah ideal.
Itulah yang kupikirkan—aku, Makishima Shinji, saat menatap dirinya.
Peristiwa itu terjadi di malam sepulang kami bermain di laut.
Setelah dibayari makan yakiniku oleh si “Manusia Super Sempurna”, lalu mengantar pulang Natsu dan Himari-chan, ruang tamu di rumahku sudah dikuasai oleh geng orang dewasa yang mabuk berat.
"Lagipula! Semua jadi ribet itu karena kalian berdua saling ngotot pakai gengsi yang enggak penting! Udahlah, jadi orang itu belajar jujur sedikit!"
Dengan wajah kesal, Sakura-san—kakak perempuan Natsu—meletakkan gelas birnya ke meja dengan bunyi gedebuk. Sepertinya benar kalau dia memang tidak kuat minum. Wajahnya kini semerah kepiting rebus.
Sementara itu, arah telunjuk Sakura-san yang menuding dengan tegas—berhenti tepat pada Kureha-san dan Hibari-san, yang sedang mengangkat gelas dengan wajah cemberut seolah tidak peduli.
"Sakura-kun, kamu mabuk ya? Dari tadi aku enggak ngerti maksudmu. Jangan-jangan, kamu sedang mengagung-agungkan masa lalu?"
"Iya, iya~. Sakura-chan sih memang dari dulu cerewet, tapi akhir-akhir ini makin mirip nenek-nenek, ya enggak~☆"
…Padahal dulu dia sempat jadi sosok andalan sebagai pemimpin kelompok. Sekarang, dia malah dianggap sebagai “beban generasi tua.” Natsu pernah bilang, “Saku-neesan belum menikah karena harus bantu-bantu di minimarket keluarga,” tapi… apa bukan karena kepribadiannya saja yang bikin orang malas?
Melihat Sakura-san yang mulai bersiap mengamuk, aku buru-buru menghentikannya.
"Apa kalian berdua mau aku hajar biar tobat, hah!?"
"Yang perlu tobat itu kamu, tahu diri sedikit! Ini rumah orang, loh!"
Kenapa sih perempuan ini bisa sampai melempar gelas bir di rumah orang padahal udah dewasa!? Serius, aku mulai meragukan moralnya.
Sial… semua ini gara-gara kakak bego itu! Dia yang bilang rumah ini boleh dipakai buat kumpul, tapi malah kabur karena malas ngurusin orang mabuk. Beli rokok aja sampai berjam-jam belum balik juga! Akhirnya, akulah yang disuruh Ibu buat nemenin para tamu.
"Hei, kalian berdua juga! Jangan malah nyulut Sakura-san terus! Bantuin kek, nyegah dia!"
Tapi si “Manusia Super Sempurna” dan Kureha-san malah duduk santai sambil menikmati minuman.
"Tenang saja. Sudah hampir waktunya."
"Hari ini habis jaga malam terus langsung ke pantai, jadi ya~… capeknya udah sampai ubun-ubun, deh~☆"
Dua orang itu saling pandang sambil berkata, “Iya, kan?” “Iya, dong~,” dan—hey, kalian ini lagi di depanku, tahu diri dikit dong! Mau Aku tendang keluar, hah?
"Hm?"
Tiba-tiba, Sakura-san mendadak berhenti bergerak.
Saat aku masih bingung, dia pelan-pelan jatuh tertelungkup ke atas sofa. Tubuhnya menggulung seperti kucing, dan… sesaat kemudian terdengar suara napas lembutnya yang teratur.
"...Jadi maksudnya, dia ke rumah ini cuma buat tidur? Kalau emang capek banget, kenapa enggak langsung pulang aja, sih."
"Kureha-kun besok balik ke Tokyo. Jadi, dia pengin manfaatin waktu bareng temannya, walau cuma sebentar."
Si Manusia Super Sempurna bangkit dari duduknya sambil bergumam, “Yosh, waktunya,” lalu dengan tenang mengangkat tubuh Sakura-san ke gendongannya. Dengan gerakan yang tampak sudah biasa, ia berjalan keluar dari ruang tamu.
"Shinji-kun, aku pinjam futon dari ruang tengah, ya."
"Silakan. Itu memang buat tamu, jadi pakai saja sesukamu. Ibu sudah tidur, jadi enggak perlu izin dulu."
Dan Si Manusia Super Sempurna pun meninggalkan ruangan.
…Sakura-san, ya. Dulu waktu masih sering main ke rumah, aku sempat berpikir, “Wah, kakak ini dewasa dan anggun banget.” Tapi sekarang… rasanya dia sudah kehilangan pesonanya. Cantik saja ternyata enggak cukup kalau cuma dipakai buat pajangan.
Ruang tamu pun jadi sunyi.
Jarum detik dari jam dinding tua—yang sudah ada sejak aku lahir—terus berdetak pelan, tik… tik… tik…. Kureha-san menyesap anggur sambil tersenyum manis, lalu menenggak habis isi botol yang tersisa.
"Shinji-kuuun~. Minumannya udah habis, nih~."
"Di rumah ini palingan cuma ada shōchū punya Ayah, itu pun stok lama."
"Gitu, ya~? Kalau gitu, aku ke konbini aja, deh~ beli yang enak~♪"
"Eh, jangan—!"
Enggak mungkin dong aku biarin perempuan mabuk pergi sendiri malam-malam, jadi aku buru-buru mengejarnya.
Daerah sini memang sepi dan jarang ada lampu jalan, jadi begitu malam tiba, suasananya jadi gelap gulita. Angin malam yang lembap pun berembus pelan. Dengan sedikit kesal, aku melirik ke arah Kureha-san yang kini berjalan di sebelahku.
…Dulu, aku selalu menatap sosoknya dari bawah.
Tapi sekarang, akulah yang melihatnya dari atas. Sekilas, lekuk dadanya yang terbuka tanpa perlindungan langsung tertangkap mataku, membuatku buru-buru memalingkan pandangan.
"Aaaah~☆ Shinji-kun, kamu tadi ngelirik dadaku, ya~?"
"Enggak. Jangan terlalu percaya diri, deh."
"Ufufu~ ternyata kamu polos juga, ya~?"
"Aku belum pernah pacaran sama cewek yang dadanya segede itu. Jadi ya… karena langka, mataku reflek ke situ aja."
Kureha-san tertawa kecil sambil menutup mulutnya. …Sudah kuduga, seharusnya tadi kubiarkan saja dia pergi sendiri ke konbini. Berduaan sama perempuan ini tuh rasanya super enggak nyaman.
"Kureha-san. Besok… kamu beneran mau bantuin Rin-chan?"
Besok adalah awal dari "perjalanan hadiah" milik Rin-chan yang sempat dibicarakan.
Sesuai rencana, Kureha-san akan kembali ke Tokyo pagi-pagi sekali. Dan saat itu, dia akan membawa Natsu yang sedang lengah untuk ikut bersamanya—begitulah rencana awalnya.
"Kenapa, sih, nanyanya gitu~?"
"Enggak, cuma… agak aneh aja. Soalnya kamu tiba-tiba kelihatan mau kerja sama, dan itu bukan hal yang biasa."
"Jahat~! Itu seolah-olah kamu bilang aku ini orang dingin dan enggak punya hati~!"
"Aku enggak butuh drama lebay kayak gitu. Enggak kayak Natsu yang suka nyeletuk tiap kali kamu ngomong aneh, aku bukan tipe yang repot-repot menanggapi semuanya."
Kureha-san manyun, tampak kesal dan bosan.
Lalu tiba-tiba, dia tersenyum nakal. Ia mendekat, berjinjit, dan seperti ingin membisikkan rahasia, ia berbisik di dekat telingaku.
"Aku tuh mau ngenalin Yuu-chan ke salah satu kreator yang aku danai~☆"
"……!?"
Ucapannya benar-benar di luar dugaan. Aku pun spontan bertanya balik.
"…Angin apa yang bawa kamu tiba-tiba jadi baik gini?"
"Jelas aja aku enggak berniat bantuin Yuu-chan~. Soalnya, aku tuh enggak suka dia, tahu~☆"
"…………"
Apa maksudnya…?
Tidak, aku tahu. Kalau melihat masa lalu antara Kureha-san dan Hibari-san, jelas saja mereka enggak akan pernah bisa menerima orang polos seperti Natsu. Kemungkinan besar, alasan dia bilang ini ke aku adalah semacam peringatan: “Jangan ikut campur lebih jauh.”
"Ini juga bagian dari usahaku buat mendapatkan Himari-chan~. Aku pikir, menarik-ulur mimpi Yuu-chan bisa jadi cara yang seru~☆"
"Yah… setelah kalian sampai Tokyo, terserah kamu mau ngapain. Toh tugasku cuma sampai menyusun rencana buat bawa Natsu ke sana. Sisanya, urusanmu."
Begitu ucapku, tapi satu hal tetap harus kukatakan.
"Tapi… bukankah itu kasihan buat Rin-chan?"
"Emangnya kenapa~?"
"Dia sudah menantikan liburan bareng Natsu. Kalau kamu ganggu dari samping gitu, semua jadi berantakan, kan?"
"Eh~? Justru menurutku, Rion yang paling kasihan dalam situasi sekarang, deh~."
"…………"
Saat aku tak mampu membantah ucapannya, Kureha-san tiba-tiba mengangkat kaki, mencoba menginjak sandalku. Tapi aku dengan sigap menghindar, membuatnya nyaris kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh. Ia langsung mengembungkan pipinya dengan ekspresi kesal. Tapi, tunggu dulu—itu bukan salahku, kan?
Setelah mengangkat bahu seakan tak peduli, Kureha-san kembali melangkah menuju konbini. Di tengah jalan kecil yang minim penerangan itu, cahaya dari etalase toko tampak bersinar terang.
"Dari mana coba, bisa dibilang kalau hubungan dua orang itu sekarang masih bisa disebut sahabat?"
"Mana kutahu. Jujur aja, aku juga enggak ngerti maksud mereka berdua waktu menyebut diri mereka sahabat."
"Iya, kan~? Menurutku, Rion dan Yuu-chan sekarang cuma pakai kata ‘sahabat’ sebagai alasan biar bisa terus bareng~."
"Tapi bukankah enggak apa-apa? Kalau enggak begitu, dalam situasi serumit ini, mereka berdua pasti sudah sulit mempertahankan hubungan apa pun."
Kureha-san berhenti melangkah.
Ia menengadah ke langit. Di sana, Segitiga Musim Panas terlihat menggantung—menghubungkan tiga gugus bintang di malam itu.
"Itu… cuma akan menyakitkan."
Ucap Kureha-san, dengan nada yang terdengar agak sendu.
"Cinta pertama yang tak akan terwujud… harus diakhiri dengan benar."
"…………"
Mata itu seolah sedang memandangi gugusan bintang di langit malam—meskipun nyatanya, bukan itu yang ia lihat.
Apa yang sebenarnya dipikirkan olehnya? Aku pun tak tahu. Tapi satu hal yang pasti, aku bisa memahami apa yang ia rasakan lewat kata-katanya.
Cinta pertama yang tak kunjung berakhir… tak lain adalah neraka.
Dan karena kami sudah tahu rasanya, melihat Rin-chan yang masih percaya bisa mendapatkan segalanya membuat kami merasa—gemas, sekaligus sayang padanya.
Saat Kureha-san menoleh kembali padaku, wajahnya sudah kembali ke ekspresi manja yang dibuat-buat seperti biasa. Ia menepukkan tangan dengan bunyi tep! lalu bersandar padaku sambil merengek manis.
"Ngomong-ngomong~ Aku lupa bawa dompet, nih~☆"
"Hah!? Jangan bilang kamu berniat minta traktir ke anak SMA!?"
"Shinji-kuuun~. Soalnya malam ini aku lagi pengin mabuk, nih~."
"Berisik! Pulang sana, ambil dompetmu!"
"Ufufu~. Kalau kamu yang traktir~ malam ini, Onee-san manis ini mungkin bersedia nemenin kamu tidur, lho~?"
"Enggak usah! Dasar pemabuk enggak tahu diri!!"
…Pada akhirnya, keranjang belanja pun penuh terisi minuman dan camilan sampai dompetku kosong melompong. Dan yang jelas—aku sama sekali bukan terpengaruh oleh omong kosong soal “tidur bareng” tadi.
Ke mana perginya cinta pertama yang telah berakhir… aku tidak tahu.
Tapi yang pasti, itu bukan sesuatu yang bisa ditutupi hanya dengan omong kosong bernama “sahabat.”
Perasaan buruk yang disembunyikan—kalau dibungkus dengan gula-gula manis—mungkin bisa tampak seperti sesuatu yang ideal.
Tapi keindahan itu hanya berlaku saat kita melihatnya dari balik etalase, seperti kue cantik di toko roti. Saat dibawa pulang, dipotong dengan garpu, dan dimasukkan ke mulut… saat itulah, semua kepalsuan akan terbongkar.
Pada akhirnya, hakikat sebuah kue itu bukan terletak pada tampilannya, melainkan pada rasanya.
Previous Chapter | Next Chapter
Post a Comment