NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 5 Chapter 1

 Penerjemah: Nobu

Proofreader: Nobu


Chapter 1

"Masa-masa terbaikku telah berlalu"


♣♣♣

     Badai liburan musim panas, hari terakhir.

     Jarum jam sudah menunjuk pukul empat sore.

     Aku—Natsume Yuu—naik pesawat dari Bandara Haneda yang sangat ramai, dan akhirnya kembali ke kampung halaman. Berkat catatan yang ditinggalkan Enomoto-san, aku berhasil tidak tersesat.

     Bercampur dengan rombongan yang juga baru pulang dari perjalanan, aku keluar dari stasiun lokal.

     Meskipun liburan musim panas sudah berakhir, cahaya matahari tidak menunjukkan tanda-tanda meredup. Sambil berjemur dalam cahaya mentari senja yang bersinar terang, aku menikmati udara kota pedesaan yang sudah lama kurindukan. Ah, nikmatnya. Ternyata udara kampung halaman bisa senikmat ini.

     Aku sudah kembali. Kembali hidup-hidup!

     ...Ya, aku masih hidup sekarang.

     Aku berjongkok di sana, menghela napas panjang sekali.

     Semangat yang meledak-ledak tiba-tiba terjun bebas. Di hadapan pasang surut emosi yang ekstrem ini, bahkan pendaki gunung ulung sekalipun pasti akan lari terbirit-birit. Fufufu, hanya pikiran-pikiran konyol yang makin lancar.

     Bagaimanapun juga, aku naik taksi di bundaran. Pertama-tama, aku akan pulang ke rumah. Omong-omong, aku harus mengambil kembali ponselku yang disita Saku-neesan selama liburan musim panas.

     (Setelah mendapatkan ponselku, aku harus segera meminta maaf kepada Enomoto-san…!)

     Hal yang diucapkan Kureha-san di Tokyo.

     Ia bilang aku memanfaatkan kebaikan Enomoto dan memperlakukannya seperti 'cadangan'.

     Jika Enomoto-san salah paham seperti itu, aku tidak mau. Bukan maksudku berteman dengan Enomoto-san seperti itu....

     (...Tidak, apakah ini benar-benar salah paham?)

     Aku teringat kembali beberapa bulan terakhir.

     Enomoto-san... bilang dia menyukaiku. Tidak, dia terus mengatakannya. Aku menolaknya. Berulang kali kutolak. Tapi, Enomoto-san tidak menyerah.

     Karena Enomoto-san berkata, "Untuk saat ini, tidak apa-apa seperti itu," aku mempertahankan jarak seperti itu.

     Lama-kelamaan itu menjadi kebiasaan.

     Perasaan seseorang bisa berkarat. Ketika sudah menjadi kebiasaan, menjadi sesuatu yang lumrah. Mungkinkah perlakuanku terhadapnya dalam diriku berubah?

     Apakah aku memanfaatkan kebaikan dan kemurahan hati Enomoto-san, membebankan bagian yang sulit padanya, hanya karena aku tidak ingin menderita akibat keputusanku sendiri?

     Apakah kebiasaan yang terlalu nyaman ini telah mengaburkan pandanganku?

     Apakah aku benar-benar tidak pernah berpikir bahwa Enomoto... merasakan penderitaan dalam situasi seperti sekarang?

     Sambil menatap pemandangan dari dalam taksi, aku juga memandangi wajahku yang terpantul di kaca jendela. Kemarin aku begitu bersemangat dengan aksesori, tapi sekarang sudah ada lingkaran hitam di bawah mataku. Tempat tidur mewah di suite room pun tidak bisa menenangkan kegelisahanku... Ah, maaf, bohong. Semalam, Kureha-san menguasai tempat tidur, dan aku tidur di sofa....

     (…Bukan berarti aku tidak menyukai Enomoto-san.)

     Justru, aku memiliki perasaan suka padanya sebagai seorang gadis.

     Maksudku, mana mungkin tidak menyukainya? Adakah orang yang tidak tergoyahkan setelah didekati gadis secantik itu? Mungkin hanya orang yang... bagaimana ya... yang memiliki kriteria kekasih yang sangat jelas dan kaku. ...Aku tidak tahu apakah ada orang seperti robot itu.

     Hanya saja, aku lebih menyukai Hiori.

     Jika saja aku memiliki kepribadian seperti Makishima, mungkin aku tidak akan menderita seperti ini. Aku tidak ingin menjadi pemeran utama harem, tapi terkadang aku iri pada orang yang bisa mengambil keputusan dengan tegas seperti itu.

     Sebelum sebuah jawaban ditemukan, rumahku sudah terlihat.

     Padahal baru sekitar seminggu berlalu, tetapi papan nama minimarket itu terasa begitu akrab.

     Ehm. Jam segini, Saku-neesan pasti sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja di rumah. Aku harus memberikan oleh-oleh untuk keluarga, jadi sekalian saja aku ambil kembali ponselku dengan cerdik.

     "Aku pulang!"

     Aku tidak terlalu berharap ada jawaban, tetapi tak disangka ada suara yang menyambut.

     "Selamat datang kembali, adikku yang bodoh."

     Saku-neesan sedang makan di ruang keluarga sebelum berangkat kerja paruh waktu. Roti panggang dan teh jelai rebus seperti biasa. Dan juga keripik Polly P. Omong-omong, semuanya dijual di minimarket kami.

     Berita sore dari televisi menayangkan gambar bandara di hari terakhir liburan musim panas. ...Jangan-jangan, aku ikut tertangkap kamera.

     "Saku-neesan, ini oleh-oleh."

     "Taruh aja di situ, nanti biar aku bawakan untuk Ayah dan yang lain."

     Lagi-lagi, tak disangka, ada jawaban.

     Biasanya, kalau kubalas, ia hanya akan menjawab "Hm" atau "Oh", tapi hari ini suasana hatinya luar biasa baik. Untungnya, ini bagus untukku.

     Pokoknya, selagi suasana hatinya baik, aku harus mengambil kembali ponselku. Sejak insiden dengan Kureha-san saat Obon, aku jadi sedikit takut pada Saku-neesan....

     "Eh, Saku-neesan. Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan...."

     "Ya. Ini, kan?"

     Saku-neesan meletakkan ponselku di meja.

     "Liburan musim panas udah berakhir, jadi aku kembalikan."

     "Eh, serius...?"

     Aku terkejut karena ia mengembalikannya begitu saja.

     Kupikir ia akan mencari-cari alasan lagi. Seperti menyuruhku membawa oleh-oleh yang lebih mewah atau semacamnya.

     "Adikku yang bodoh? Kamu enggak mau?"

     "Ah, maaf. Terima kasih...."

     Aku meraih ponselku.

     Saku-neesan tersenyum dengan lembut. Seperti seorang bunda suci... tidak, apakah ini seorang dewi? Aku tidak yakin, tapi ia terlihat sangat penuh kasih sayang. Ini pertama kalinya aku melihat Saku-neesan seperti ini.

     Omong-omong, entah kenapa ia terlihat lebih cantik dari biasanya. Dahi yang selalu berkerut adalah default-nya, jadi ini cukup menyegarkan. Seandainya ia selalu memasang wajah seperti ini....

     (…Mungkinkah ia senang aku kembali dengan selamat?)

     Mungkin ia cukup khawatir. Saku-neesan juga terlibat dalam penculikan oleh Kureha-san itu. Sebenarnya, mungkin ia merasa bersalah.

     Meskipun biasanya ia memperlakukanku dengan kasar, ia tetaplah keluarga. Sangat tak terduga dan mengejutkan, tapi aku tidak merasa buruk. ...Oleh-oleh untuk Saku-neesan, aku tidak sengaja lupa membelinya di Tokyo dan membelinya di bandara lokal, padahal seharusnya aku membelinya di Bandara Haneda.

     (Bagaimanapun, sekarang aku bisa menghubungi Enomoto-san. Aku harus cepat...!)

     Dan tepat pada saat itu—ponsel itu diambil begitu saja. Ketika aku menatapnya, Saku-neesan berkata sambil tetap tersenyum.

     "Sebelum itu, ada satu hal yang ingin kuperiksa."

     "A-ada apa sih? Aku harus cepat menghubungi..."

     "Menghubungi? Siapa?"

     "Eh, Enomoto-san...."

     Saat aku hendak mengatakan itu—tiba-tiba, merinding kedinginan menjalar di punggungku.

     Senyum Saku-neesan seolah membeku tiba-tiba. Saat aku belum siap menghadapi serangan tak terduga ini, Saku-neesan mendelik tajam.

     Ketika aku hendak melarikan diri, tangannya yang terulur cepat menangkap pergelangan kakiku. Aku ditarik jatuh dengan kekuatan kebencian yang luar biasa. Saat aku tersandung, ia langsung mendudukkan pantatnya di punggungku.

     "Ngaaaaaah...?!"

     "Hei, adik bodoh! Kamu selingkuh ya, mumpung Himari-chan enggak bisa mengawasimu, hah?! Akan kubunuh kamu!"

     "Selingkuh?! Tunggu, aku enggak ngerti apa yang kamu katakan...."

     "Jangan pura-pura bodoh!"

     "Sakiiit!? Apa-apaan ini, ada apa sih?!"

     Saku-neesan membuka kunci ponselku. Kenapa ia tahu kata sandiku?!

     Pokoknya, aplikasi yang dibuka Saku-neesan... apa ini? Obrolan Line? Di sana ada banyak data foto. Melihatnya, aku menjerit.

     Foto-foto aku dan Enomoto-san, yang sedang berdekatan dengan wajah mesra di Tokyo, berjejer rapi.

     "Tidaaak!?"

     Aku panik dan mencoba meraih ponselku.

     Namun, Saku-neesan dengan sigap mengambilnya. ...Sial, karena posisi ini lenganku tidak bisa menjangkau. Tunggu, Saku-neesan, berat badanmu tidak bertambah, kan...?

     "K-kenapa data foto itu ada di ponselku...?"

     "Aku enggak tahu. Rion-chan entah kenapa mengirimkan data foto gila-gilaan. Karena terlalu banyak, aku jadi bosan di tengah jalan dan mematikan ponselnya."

     Ngomong-ngomong, Enomoto-san memang bilang akan mengirimkan foto-foto yang diambil selama perjalanan ke ponselku. Jangan-jangan, semua foto mesra kami saat mengunjungi tempat-tempat terkenal itu...?

     "Enggak, enggak, enggak, enggak! Lagipula, Saku-neesan, kenapa kamu melihat ponselku tanpa izin?!"

     "Hah? Kamu itu, bukankah sudah diberi catatan yang bilang, 'Jika mengalami masalah di Tokyo, hubungi aku lewat ponselmu sendiri'?"

     ...Hah?

     Saat aku tertegun, Saku-neesan mengerutkan kening.

     "A-apa itu? Aku enggak tahu."

     "Aku menaruhnya di saku koper. Tempat yang paling mudah diambil. Bersama dengan kartu pelajar dan lain-lain."

     "............"

     "............"

     Keheningan yang aneh menyelimuti.

     Aku merentangkan lenganku dengan panik, menarik koperku yang tergeletak di sana. Kubuka kuncinya, lalu isinya kubereskan. Kemudian, kubuka saku besar di bagian depan dan memasukkan tangan ke dalamnya.

     ...Ada.

     Benar saja, ada memo tulisan tangan Saku-neesan di sana. Termasuk kartu identitas agar aku bisa memesan tiket pesawat atau hotel. Selain itu, ada juga 'Daftar Barang yang Harus Dibeli di Tokyo'. Omong-omong, makaroni yang kumakan di Ginza juga ada di daftar itu. ...Sial, aku benar-benar tidak membeli satu pun dari itu.

     Saat aku terdiam membeku sendirian, Saku-neesan menghela napas sambil memegang dahinya.

     "...Adik bodoh. Kamu diculik mendadak ke Tokyo, tapi enggak memeriksa barang bawaanmu sendiri, ya."

     "Maafkan aku karena kemampuan manajemen krisisku lemah...!"

     Ngomong-ngomong, Saku-neesan yang menyiapkan semua pakaian ganti ini, ya.

     Di Tokyo, Enomoto-san dan Kureha-san yang mengurus semuanya, jadi aku benar-benar hanya melihat pakaian ganti. Aku ini pasti orang pertama yang akan mati jika terdampar di pulau tak berpenghuni bersama sekelompok orang....

     "Ini semua karena kamu membiasakan diri Himari-chan melakukan segalanya untukmu...."

     "U-berisik. Seharusnya kamu enggak membantu penculikan itu, kan...."

     Saat aku melontarkan kata-kata tanpa henti itu, Saku-neesan menarik kedua kakiku ke belakang. Aduh, sakit sekali. Hentikan posisi membungkuk seperti udang ini, sungguh menyakitkan....

     "Kamu. Kelihatannya kamu mencoba menyembunyikan sesuatu, ya?"

     "Uh..."

     Itu benar.

     Kemampuanku yang terlalu lemah untuk bertahan hidup itu tidak penting. Masalahnya adalah foto-foto itu. Saku-neesan tersenyum menakutkan, ufufufu.

     "Adik bodoh. Berbagai kemesuman ini... apa maksudnya?"

     "Eh, Enomoto-san bilang untuk kenang-kenangan..."

     "Ini bukan level foto kenang-kenangan antara sahabat karib, kan?"

     "U-um. Begitu ya. Soalnya, aku juga sering melakukan ini dengan Himari..."

     "Kamu. Apa kamu juga akan berfoto kenang-kenangan dengan adiknya Makishima sambil menempelkan pipi?"

     "Ugh...!"

     Misalnya saja, saat karya wisata.

     Berpose di depan Kinkaku-ji di Kyoto, aku dan Makishima tersenyum bak pria tampan sambil menempelkan pipi dan berkata, "Cheese!" Itu benar-benar mustahil. Hanya membayangkannya saja sudah membuatku merinding....

     "Kamu. Jangan-jangan, kamu enggak mengkhianati Himari-chan, kan?"

     "E-enggak! Yang itu, aku benar-benar enggak melakukannya!"

     "Benarkah?"

     "Benar! Lagipula, untuk perjalanan kali ini, aku sudah mendapat izin dari Himari! Saku-neesan, percayalah padaku...."

     Saku-neesan mengeluarkan satu ponsel lagi.

     Eh? Kali ini, Line di ponsel Saku-neesan? Ada pesan dari Kureha-san yang ditampilkan. Aku membaca teks itu dan membeku seketika.

     "Karena kelihatannya seru~ Yuu-chan dan Rion, kubiarkan mereka menginap di kamar hotel yang sama~☆ Ini patut ditunggu ya, apakah mereka bisa tetap jadi sahabat~♪"

     Heeei!! 

     Kureha-san, kenapa kamu membocorkannya pada Saku-neesan?! Kamu pasti tahu ini akan jadi begini... Aduuuh sakit sekali?! Kubilang jangan membungkuk seperti udang lagi!!

     "Adik bodoh. Apa kamu juga mendapat izin Himari-chan untuk menginap sekamar?"

     "I-itu, ehm..."

     Yang itu aku tidak mendapatkannya.

     Saat hampir ketahuan lewat telepon, aku langsung mengeles.

     "Tapi itu salah paham! Meskipun kami menginap sekamar, enggak ada hal aneh yang terjadi!"

     "Mau terjadi atau enggak, tetap saja! Cowok yang punya pacar menginap sekamar dengan cewek lain, itu sudah jelas keluar jalur 'kan?!"

     "Dalam situasi seperti itu, apa yang bisa dilakukan seorang murid SMA biasa?!"

     "Kamu bisa aja berbagi ruang tamu atau semacamnya, kan?!"

     "Ah, benar juga, aku sama sekali enggak kepikiran! Maafkan aku!"

     Tidak, tapi tetap saja apakah aku yang sepenuhnya salah?

     Begitu akhirnya aku terbebas dari posisi membungkuk seperti udang itu, aku mencoba membantah.

     "Lagipula, Saku-neesan juga ikut membantu penculikan, kan! Enggak bisakah kamu memprediksi kalau Kureha-san akan melakukan hal semacam ini?!"

     "Tentu saja aku memprediksinya, makanya aku memasukkan uang saku dan kartu identitasmu. Jangan salahkan aku dan jadikan rendahnya kemampuan manajemen krisismu sebagai pembenaran, padahal kamu sendiri yang terlalu mudah terbawa arus."

     "N-naluri... Enggak, tapi sejak awal Saku-neesan ikut membantu penculikan, bukankah kamu enggak dalam posisi untuk bicara soal mengkhianati Himari atau apalah itu?!"

     "............"

     Saku-neesan duduk dengan menghempaskan diri di sofa, lalu menyilangkan tangan seolah berkata, 'sudahlah'.

     Kemudian, ia berkata dengan suara pelan... namun terasa ada kemarahan yang jelas di dalamnya.

     "Membuat batasan itu hal yang penting."

     "B-batasan...?"

     "Kalau kamu berhasil menyelesaikan perjalanan itu sebagai sahabat sejati, maka masalahnya sudah selesai. Setidaknya, untuk melunasi 'utang' pada Rion-chan sejak April, kamu harus memenuhi permintaannya. Karena mengerti hal itu, Hibari-kun juga enggak menghentikan kepergianmu ke Tokyo, kan? Seharusnya kamu sudah mengerti saat dia enggak menghentikan rencana Kureha."

     "............"

     Utang.

     Beberapa bulan terakhir, aku terus-menerus dibantu oleh Enomoto-san. Terutama dalam insiden Kureha-san di liburan musim panas, jika Enomoto-san tidak membujuk Makishima, aku tidak akan bisa mempertahankan Himari.

     Aku tidak pernah berpikir bahwa semua itu akan membuat Enomoto-san berharap.

     "Adik bodoh. Aku enggak memihak Himari-chan, kok."

"Benarkah?"

"Kalau kamu memilih Rion-chan, itu juga enggak apa-apa. Hanya saja, aku enggak bisa memaafkan sikap setengah-setengah yang enggak jelas seperti itu."

     "E-enggak setengah-setengah. Aku sudah memutuskan untuk berpacaran dengan Himari..."

     Saku-neesan melihat foto yang ditampilkan di ponselku.

     "Situasi di mana orang yang kamu sukai mau berfoto seperti ini... wajar saja kalau Rion-chan berpikir dia masih punya kesempatan, kan?"

     "I-itu... ehm..."

     Aku ingin membantah, tapi aku urungkan.

     Aku tidak bisa menyangkalnya. Hal itu baru saja kemarin ditekankan oleh Kureha-san. Meskipun aku tidak bermaksud begitu... bahkan jika secara lisan aku berkata "kami sahabat", api cinta di hatiku tetap berkobar.

     Hal itu sendiri, aku juga pernah mengalaminya terhadap Himari.

     Kenapa aku berpikir, "Enomoto-san tidak mungkin begitu"? Berkali-kali, aku menyadari betapa naifnya diriku.

     Aku menggigit bibir.

     "...Aku juga merasa mengerti, tapi aku enggak bisa melakukannya dengan baik. Jangan-jangan, karena aku berpacaran dengan Himari, kamu menyuruhku untuk mengabaikan Enomoto-san sepenuhnya?"

     "............"

     Saku-neesan langsung menjawab dengan ekspresi dingin.

     "Ya, begitu."

     "Eh..."

     Jawaban tak terduga itu membuatku terdiam.

     "Setidaknya, selama kamu bukan orang bodoh yang dengan segar bugar bisa bilang, 'Aku suka keduanya!' tanpa ragu, kamu harus memilih salah satu. Kalau begitu, yang enggak terpilih pasti akan merasa sedih. Kamu salah besar jika berpikir bisa terus bergaul dengan cengengesan seperti biasa."

     Saku-neesan dengan kesal mengambil keripik Polly P di meja.

     "Menurutku, semua gadis cantik berhak bahagia. Kalau kamu bisa memastikan hatimu enggak akan goyah dari Himari-chan, menurutku kamu harus segera membebaskan Rion-chan."

     "Membebaskan...?"

     "Benar, kan? Saat ini, bahkan di detik ini, Rion-chan mungkin bisa bertemu dengan jodoh yang lebih baik. Apa kamu sadar kalau sikapmu yang memberi harapan palsu itu menghancurkan kemungkinan tersebut?"

     "............"

     Aku tidak bisa membalas apa pun.

     Saku-neesan, selalu saja benar. Hal itu juga berlaku dalam urusan cinta.

     "Membuang-buang masa muda seorang gadis cantik itu adalah kerugian besar bagi dunia. Untuk itu, pria setengah-setengah sepertimu adalah yang paling merugikan. Kamu mengerti maksudku, kan?"

     "…Aku mengerti."

     Memang benar, tidak mungkin tidak ada pria yang menyukai gadis secantik Enomoto-san. Himari pun dulu sering berpacaran dengan pria seperti itu. Di antara mereka, pasti banyak yang lebih baik dariku.

Jika memikirkan Enomoto-san... apa yang dikatakan Saku-neesan memang benar.

     "Jangan hanya fokus pada pekerjaan, tapi juga tegaslah dalam urusan cinta. Kalau kamu sedikit saja menyesali pertarungan dengan Kureha tempo hari itu, ya."

     "............"

     Ledakan ketidaktegasan itulah yang menyebabkan kekacauan beberapa waktu lalu.

     Begitu ia tahu aku mengerti, Saku-neesan berkata, "Pembicaraan selesai," lalu bangkit dari sofa. Ia meletakkan piring-piring kotor di wastafel, lalu hendak keluar dari ruang keluarga.

     "Oh, ya."

     Dengan cepat ia berbalik, dan kembali berjalan ke arahku. Apakah masih ada yang ingin ia katakan? Saat aku berpikir begitu, ia memegang daftar 'Barang yang Harus Dibeli di Tokyo' miliknya, lalu menyelipkannya ke dalam hoodie yang kukenakan.

     "Dan ini, beli aja lewat online atau apa pun, lengkapi semua. Mengerti?"

     "Saku-neesan?!"

     Seberapa banyak sih ia ingin makan makaroni?! Yah, memang enak sih!

     Saat aku terdiam kaget, Saku-neesan akhirnya pergi bekerja paruh waktu. Sambil menatap ke arahnya, aku menghela napas.

     (...Tapi, itu teori pribadinya yang sangat mendalam.)

     Meskipun begitu, jangan membangunkan singa yang sedang tidur.

Lebih dari orang lain, aku harus bisa mengatur diriku sendiri dengan baik terlebih dahulu.

♣♣♣

     Fajar menyingsing, pagi di awal semester baru.

     Kejadian semalam... aku tidak ingin mengingatnya terlalu banyak. Pokoknya, waktu berlalu begitu saja saat aku mencoba membereskan tumpukan pesan yang belum terbaca di ponselku.

     Enomoto-san benar-benar mengirim semua foto perjalanan. Ada foto kami berpose damai di depan patung Hachiko yang setia, ada juga foto kenang-kenangan di kafe kucing.

     Ada beberapa foto lain yang bisa membuat jiwaku melayang hanya dengan melihatnya, jadi semua itu sudah kuhapus. ...Syukurlah Saku-neesan tidak melihatnya.

     Bagaimanapun, Saku-neesan telah membuatku tenang, dan saat mengingat kembali perjalananku ke Tokyo, aku membuat dua janji:

     Mengaku kepada Himari tentang menginap sekamar dengan Enomoto-san.

     Membalas kebaikan Enomoto-san yang selama ini telah membantuku, dan—...

     Aku membasuh wajahku dengan air di wastafel rumah, lalu menghela napas. Bayanganku di cermin menunjukkan wajah seorang pria yang siap berperang, wajah seseorang yang akan menghadapi medan pertempuran.

     Aku akan melakukannya.

     Aku telah mendapatkan sebuah pengalaman dari pameran tunggal di Tokyo.

     'Jika kamu tidak menyampaikan perasaanmu dengan jujur, orang lain tidak akan mengerti.'

     Yang harus kukatakan pada Himari.

     Yang harus kusampaikan pada Enomoto-san.

     Aku akan melakukannya dengan segenap hatiku, dengan caraku sendiri. Musim panas sudah berakhir. Mulai sekarang, aku akan kembali menjalani hari-hari yang penuh dengan semangat untuk aksesori.

     Pertama-tama, mari kita simulasikan setibanya aku di sekolah.

     Mengingat Himari, ia pasti sudah menungguku di tempat sepatu, ingin bertemu denganku secepat mungkin. Atau mungkin di tempat parkir sepeda. Pokoknya, begitu aku masuk ke area sekolah, pertempuran sudah dimulai. Jangan lengah sedetik pun.

     Setelah selesai bersiap-siap untuk sekolah, aku membuka pintu depan rumah.

     Himari ada di sana.

     Pacarku, yang mengenakan seragam yang disetrika rapi, berdiri di sana tanpa terdeteksi.

     "Yuuu~☆ Aku, yang paling imut di dunia, datang menjemputmu☆"

     Mata biru laut yang besar dan bulat.

     Rambut terang yang berkilauan memesona di bawah sinar matahari pagi.

     Tubuh ramping proporsional, memancarkan perpaduan antara keceriaan dan daya tarik feminin.

     Himari, si cantik seperti peri, berpose peace yang sangat menggemaskan, seolah diiringi efek suara imut seperti "kyarun~".

     Memang benar, ia pacarku sekaligus wanita memikat yang sampai direkrut agensi hiburan. Aku merasa auranya lebih kuat dari sebelumnya, mungkin karena ia bekerja paruh waktu sebagai gadis stand di toko kue Enomoto. Kesadaran bahwa ia bisa dilihat siapa pun, kapan pun, dan di mana pun telah mendorongnya ke level yang lebih tinggi!

     …Astaga, ini bukan saatnya untuk tenang dan berkomentar.

     Waktunya benar-benar menghancurkan rencana permintaan maafku. Tunggu, Himari? Apa kamu memberitahuku akan datang pagi ini? Gawat. Rasa senang bertemu lagi setelah seminggu kalah dengan kebetulan yang tidak tepat dari kejutan ini.

     Tanpa mempedulikan itu, Himari dengan lugu mendesakku.

     "Ayolah, Yuu. Kita ke sekolah?"

     "............"

     Saat aku membeku, Himari memiringkan kepalanya.

     "Eh? Yuu, jangan-jangan kamu enggak senang...?"

     "...!?"

     Aku tersentak sadar.

     Dari tatapan polosnya yang memancarkan sinar itu, niat jahatku untuk "tetap diam saja..." mulai tumbuh subur.

     ...Mungkin saja kalau aku mengaku soal perjalanan menginap itu, kami bisa putus. Bahkan, kemungkinan itu jauh lebih tinggi kalau Himari tahu.

     Tapi, aku enggak bisa berpura-pura enggak tahu apa-apa dan menjalani hidup seperti biasa.

     (Uwooh, bertindak dengan spontan itu sangat penting! Itu juga yang kudapatkan dari pameran tunggal!)

     Setelah memutuskan, aku langsung bersujud di tempat.

     "Ada hal yang harus aku sampaikan kepadamu, Himari-san!!"

     "Eh, apa-apaan ini? Tiba-tiba bersujud, menakutkan sekali...."

     "Ini soal perjalanan ke Tokyo... atau lebih tepatnya, soal hotel tempatku menginap saat itu!"

     "U-um. Ada apa?"

     Aku mencoba menjelaskan sesingkat mungkin kepada Himari yang sudah terperangah.

     "S-sebenarnya, karena ulah iseng Kureha-san, kami hanya disediakan satu kamar hotel... jadi aku menginap sekamar dengan Enomoto-san. Aku berbohong saat di telepon, sungguh, maafkan aku!!"

     "Eh...."

     Himari terduduk membeku.

     Aku menunggu vonis sambil mengusap dahiku ke lantai. Jantungku berdebar kencang, dan keringat menetes dari hidungku.

     (B-bagaimana reaksinya...?)

     Pertama, pasti serangan fisik.

     Keluarga Inuzuka pada dasarnya memiliki sifat militeristik. Baik Kakek maupun Hibari-san. Filosofi pendidikan mereka adalah memberikan hukuman yang setimpal jika melakukan kesalahan.

     Artinya, sudah pasti Himari akan melancarkan hukuman karena marah. Semalam aku sudah mensimulasikan beberapa skenario, dan aku siap menerimanya dengan lapang dada—...

     (…Eh?)

     Namun, hukuman itu tak kunjung datang. Jangan-jangan Himari pergi tanpa suara? Saat aku diam-diam mengangkat pandanganku, Himari memang ada di sana.

     Dari mata biru lautnya, air mata besar berjatuhan.

     "................!?!?"

     Reaksi yang sangat berbeda dari yang kuduga membuatku benar-benar panik. Tidak, tunggu, apa-apaan ini? Menangis... Eh!?

     Aku pikir akan ada pola seperti "Anjing yang sedang birahi ini, biar kukasih tahu siapa pemiliknyaaaaa!! (marah besar)" atau "Kalau begitu, aku panggil Onii-chan ya? (senyum gelap)"!

     Dan Himari sendiri, terlihat terkejut dengan air matanya, lalu menghapusnya.

     "Eh? Kenapa aku menangis...?"

     "Anu, Himari-san? Tunggu, tolong tenang dulu...."

     "Oh, begitu ya. ...Jadi begitu."

     "T-tunggu!? Jangan begitu dong! Himari, dengarkan penjelasanku...."

     Himari terkekeh, "Puhehe."

     Padahal sama seperti liburan musim panas, tapi entah kenapa kali ini terasa lebih menyakitkan....

     “Ya, wajar sih. Kamu pergi berdua dengan cewek cantik kayak gitu… Sebenarnya, kamu cuma pura-pura pacaran sama aku, kan? Aslinya kamu itu pacaran sama Enocchi, ya?”

     "Bukan begitu! Jangan terburu-buru menyimpulkan!"

     Sepertinya ia beranggapan aku berselingkuh dengan Enomoto-san.

     Dia akhir-akhir ini terlalu sering menonton drama romantis pasti. Apa ada orang yang suka melakukan hal serumit itu di dunia nyata? Aku sampai lupa posisiku yang harus meminta maaf dan malah membantah....

     "Lagipula, memang begitu dari dulu! Himari, kenapa kamu suka membandingkan dirimu dengan Enomoto-san dan menganggap dirimu kalah? Aku sudah bilang aku suka padamu, kan...."

     "Soalnya, Enocchi lebih imut, payudaranya lebih besar, pandai memasak, dan punya daya tarik takdir~..."

     Himari mulai menangis sesenggukan, dan aku benar-benar tidak bisa mengendalikannya lagi.

     Padahal biasanya dia memancarkan aura 'tidak mungkin terjadi hal seperti itu', tapi saat genting dia benar-benar rapuh mentalnya. Bagian itu juga lucu... tunggu, ini bukan waktunya untuk bermesraan!

     "T-tunggu sebentar. Himari, beri aku waktu lima menit?"

     Aku mengatakan itu kepada Himari yang entah kenapa sedang mencapai puncaknya sendiri, lalu bergegas keluar rumah.

     Aku menyeberangi jalan dua jalur di depan (sebuah mobil yang lewat membunyikan klakson), lalu buru-buru membeli barang yang kumaksud di minimarket.

     "Himari. Minumlah ini!"

     "Eh..."

     Susu kotak Yogurppe.

     Sejak Himari sering datang ke rumah, Saku-neesan mulai memesannya. Aku memasukkan sedotan ke dalamnya, lalu menyuruhnya minum.

     Dengan sekali seruput hingga isinya tandas, Hiori langsung berpose damai dengan imut sambil berkata, "Shakin'!"

     "Himari-chan kembali!"

     "Kecepatan perubahan suasana hatimu, sungguh luar biasa...."

     Memang keluarga Inuzuka, bahkan cara menyalakan tombol semangat pun dikuasai dengan sempurna. Ini bukan lagi soal bakteri asam laktat yang hebat....

     Himari berkata sambil melipat kotak karton kosong.

     "Lalu?"

     "Eh?"

     Dengan tatapan menyelidik, ia langsung bertanya.

     "Kalian melakukannya?"

     "Tentu saja enggak mungkin, kan!?"

     Aku juga disalahpahami Saku-neesan, jadi wajar saja jika jadi begini!

     "Sungguh enggak terjadi apa-apa! Demi Tuhan... Enggak, demi Hibari-san aku bersumpah! Kami hanya sekamar, enggak ada yang perlu kamu khawatirkan, Himari!!"

     "............"

     Mata Himari menatapku, seolah ingin membaca pikiranku.

     T-tidak apa-apa. Sungguh tidak terjadi apa-apa, dan Himari pasti mengerti—

     Himari tersenyum lebar.

     (Syukurlah! Ia mengerti... mmm?)

     Namun, kelegaan yang kurasakan hanya sesaat—entah kenapa ekspresi Himari tiba-tiba menjadi murung.

     (Eh, tetap enggak bisa ya!?)

     Aku buru-buru menyatukan kedua tangan, membungkuk dalam-dalam. Kumohon Himari-sama, mengertilah perasaanku!

     "............"

     Himari sesekali melirik ke arahku. Aku tak mau kalah, tetap menundukkan kepala, berharap perasaanku tersampaikan.

     Dan akhirnya—Himari berkata dengan senyum sembringah.

     "Baiklah. Aku maafkan♪"

     "Terima kasiih!!"

     Himari, baik sekali!

     Betapa baiknya pacarku ini! Aku merasa berdosa telah mengkhianati Himari yang sebaik ini. Sungguh, maafkan aku.

     Saat aku merasa lega, Himari terus memainkan poni rambutnya sambil melanjutkan.

     "Ish. Kalau begitu, seharusnya kamu bilang saja waktu telepon kemarin—"

     "Waktu itu aku baru bangun tidur, jadi reflek saja...."

     Himari tersenyum.

     Ia tampak seperti bunda suci. Bahkan, seolah ada cahaya di belakangnya. Dengan kedua tangan memegangi pipiku, ia memberiku kata-kata penuh belas kasihan.

     "Kalau ulah Kureha-san, mau bagaimana lagi, dan Yuu pasti kesusahan juga, kan? Tak apa, aku enggak akan membencimu hanya karena ini."

     "H-Himari...!"

     Aku memeluk pinggangnya dengan erat, seolah memohon.

     "Maafkan aku. Sungguh, maafkan aku...."

     "Nfufu~. Yuu, kamu enggak perlu takut begitu, lho."

     Sambil mengusap kepalaku dengan lembut, ia melontarkan kalimat pamungkas.

     "Karena, aku ini belahan jiwa-mu, Yuu☆"

     Melihat betapa besar kelapangan hatinya, aku merasa malu pada diriku sendiri.

     Benar. Himari pasti akan mengerti diriku. Lalu, untuk apa aku tidak mempercayai Himari?

     Himari meraih pergelangan tanganku.

     "Ayo, kita ke sekolah bersama?"

     "Baiklah. Ayo."

     Aku berdiri.

     Bersama Himari, aku melangkah menuju cahaya matahari hangat yang masuk dari pintu depan.

     "Yuu. Kamu menyukaiku?"

     "T-tentu saja aku menyukaimu..."

     "Yang paling besar di dunia?"

     "Sudah pasti. ...Aku sangat menyukaimu."

     Seperti biasa, dia selalu berhasil membuatku mengucapkan hal-hal memalukan sampai mukaku panas sendiri.

     Himari berjinjit, lalu berbisik pelan di telingaku.

     "Kalau begitu, meskipun belum berusia 30, pilih aku aja, ya?"


     "Eh...."

     Aku terkejut dan menoleh, berhadapan dengan ekspresi iseng Himari.

     Belum berusia 30, tapi memilih Himari? Memikirkan makna kata-kata itu, wajahku memanas.

     "I-itu, begini, secara masa depan kurasa itu bukan hal yang mustahil, tapi untuk sekarang ini ehm...."

     Himari menatapku lekat-lekat.

     "Enggak boleh?"

     "Enggak, bukan enggak boleh, maksudku, ehm...."

     Aku buru-buru memegang bahu Himari.

     "Himari. Tentu saja aku berniat bertanggung jawab atas hubungan kita, tapi...."

     "............"

     Mmm?

     Saat aku berbicara dengan wajah serius, aku menyadari bahu Himari bergetar. Seketika itu juga, aku mengerti. ...Ah, ini pasti seperti biasa.

     Himari tertawa terbahak-bahak.

     "Puhha~~~~~!!"

     "............"

     Dengan wajah yang sangat gembira, dia menyentuh hidungku.

     "Nfufu~. Yuu, kamu terlalu terburu-buru ya? Aku tahu kamu sangat menyukaiku, tapi jangan menikah muda ya♪"

     "Kamu yang mengatakannya duluan!"

     Saat aku sedang menerima pukulan mematikan dari tawa Himari yang sudah lama tidak kudengar, Himari dengan riang melontarkan kalimat pamungkas.

     "Dengan ini, semuanya impas ya♪"

     "Terima kasih...."

     Aku memang tidak bisa mengalahkan Himari.

     Awal semester kedua yang dengan caranya sendiri terasa seperti kami berdua ini, membuatku sedikit bernostalgia.

     Semoga mulai sekarang pun, aku bisa terus menghabiskan hari-hari yang menyenangkan bersama Himari. Pasti akan banyak masalah, tapi pada akhirnya semuanya akan baik-baik saja.

     ...Saat itu, aku benar-benar berpikir begitu.

♣♣♣

     Sambil mendorong sepeda dengan gemerincing, aku berjalan menuju sekolah bersama Himari.

     "Ngomong-ngomong, Yuu? Aku ingin tahu apa yang terjadi di Tokyo?"

     "Ah, aku harus melaporkannya."

     Apa yang terjadi di Tokyo.

     Tentu saja yang utama adalah pameran tunggal Tenma-kun dan Sanae-san. Kedua kreator aksesori di Tokyo itu bertemu denganku berkat perkenalan dari Kouyou-san. Keduanya berafiliasi dengan agensi hiburan, dan merupakan mantan anggota grup idol.

     "Di pameran tunggal itu, aku mendapatkan pengalaman yang bagus. Aku bisa melihat cara menyewa studio di pusat kota, serta know-how penataan dan penjualan. Itu semua adalah hal yang mustahil dilakukan di sini, jadi sangat bermanfaat."

     Memang perjalanan ke Tokyo dimulai dengan penculikan, tapi pada akhirnya hanya hal-hal yang bermanfaat bagiku. Pernyataan Kureha-san yang mengatakan akan 'menghancurkan yang terbaik dariku' memang mengkhawatirkan, tapi menurutku aku mendapatkan semacam pemicu untuk naik ke level yang lebih tinggi sebagai seorang kreator.

     "Tapi bukan hanya teknik, kurasa pedoman penting untuk aksesori adalah hasil panen terbesarku."

     "Pedoman untuk aksesori?"

     "Bagaimana ya mengatakannya. Kekuatan dialog, mungkin? Dialog dengan pelanggan, dialog dengan aksesori... Kurasa ada pendekatan yang selama ini tidak kumiliki di sana."

     Tenma-kun dan Sanae-san.

     Perbedaan krusial antara mereka berdua dan diriku sepertinya ada di sana. Mengenal pelanggan, mengenal aksesori sendiri. Bukan hanya mengejar teknik, tapi ada hal lain yang bisa dilakukan.

     "Ada pepatah 'tempa besi selagi panas', dan aku ingin segera menerapkan apa yang sudah kupelajari. Tapi, kegiatan penjualan kami, 'you', pada dasarnya berpusat pada pemesanan online."

     Aku mengepalkan tangan.

     Aku ingin menguasai itu. Untuk itu, apa yang bisa kulakukan sekarang? ...Saat aku berpikir begitu, Himari di sampingku wajahnya memerah.

     "Yuu, semangatmu membara sekali. Aku suka...♡"

     "Ah, terima kasih...."

     Sialan—

     Karena sedikit tenang setelah insiden dengan Enomoto-san, aku jadi sedikit sulit mengikuti gaya Himari. Apakah ini dampak dari petualangan musim panas itu...?

     Saat aku berkeringat dingin sendirian, Himari tersenyum lebar.

     "Di sini bazar atau semacamnya enggak terlalu banyak, jadi mungkin perlu dipikirkan. Aku akan coba tanyakan saran dari Onii-chan juga, ya."

     "Serius? Sangat membantu sekali."

     Himari memasang wajah sombong sambil berkata, "Kan kita belahan jiwa~." Meskipun musim panas telah berakhir, kelucuan kekasihku tidak pernah pudar.

     "Yuu. Siapa kreator yang Kureha-san perkenalkan itu?"

     "Ah, Tenma-kun dan Sanae-san, ya... Um. Aku belum menghubungi mereka, tapi tadi sudah kutambahkan di Line, jadi sebentar lagi..."

     Tepat pada saat itu, ponselku berdering.

     Aku bertanya-tanya ada apa, dan ternyata ada pesan dari Tenma-kun.

     [Syukurlah kamu sudah sampai di rumah dengan selamat. Kali ini, mungkin aku yang akan berkunjung ke sana. Nanti kalau sudah mendekati liburan musim dingin, tolong beritahu hari-hari luangmu]

     Pesan yang sederhana namun alami dan nyaman itu mencerminkan kepribadian Tenma-kun. Padahal belum ada satu jam sejak aku menambahkan kontaknya, kan? Sungguh tidak kusangka ia akan mengirim pesan secepat ini. ...Tidak, itu satu hal, tapi masalahnya ada di tempat lain.

     Himari juga terperangah.

     "...Eh, dia artis, kan? Bukannya dia langsung membuat janji bertemu lagi?"

     "...Ya. Sekarang dia aktif di panggung sebagai aktor, sepertinya begitu."

     Tenma-kun adalah monster komunikasi yang melebihi Himari, dia juga akrab dengan aktris yang tampil di drama-drama golden time. Orang seperti itu, ingin bertemu denganku lagi...

     Himari tiba-tiba memelukku!

     "Yuu, kamu memang hebat! Orang yang mengerti pasti akan mengerti!"

     "Hei, Himari!? Jangan tiba-tiba menempelkan pipimu padaku!?"

Jangan lakukan itu di luar, memalukan!

     Lagipula, lebih penting dari itu, balasan, balasan! Saat kami berdua kalang kabut seperti itu, sekolah sudah terlihat. Meskipun sudah datang saat liburan musim panas, entah kenapa tidak terasa nostalgia.

     Aku meletakkan sepeda di tempat parkir, lalu mengganti sepatu dengan sandal di tempat sepatu.

     Entah kenapa, hanya karena hubunganku dengan Himari berubah, pergi ke kelas jadi sangat mendebarkan... Saat aku memikirkan hal itu, sebuah suara riang terdengar dari belakang.

     "Nahaha. Ini, ini. Bagaimana kabar kalian berdua?"

     "Ah, Makishima...."

     Aku terhuyung saat tiba-tiba bahuku dirangkul dari belakang.

     Pria nakal berambut cokelat itu, Makishima, tertawa sambil menyodok kepalaku dengan kipas.

     "Halo, Natsu. Perjalananmu menyenangkan?"

     "...Sangat merepotkan karena seseorang membuat rencana aneh."

     Makishima tertawa seolah ejekan itu tak mempan baginya.

     "Ngomong-ngomong, ada yang ingin kubicarakan denganmu, Natsu?"

     "Enggak, aku enggak punya apa-apa."

     "Jangan bicara sekasar itu. Aku juga merasa bersalah soal perjalanan ke Tokyo. Sebenarnya aku enggak pengin membantu tindakan kejam seperti itu."

     "Kamu banyak omong, padahal tadi bersemangat sekali...."

     Makishima menyeringai, lalu berbisik di telingaku.

     "Ini soal Rin-chan. Kamu enggak pengin Himari-chan mendengarnya, kan?"

     "…Eh?"

     Aku langsung terperanjat.

     Soal Enomoto-san... Benar. Aku juga punya hal yang harus kusampaikan pada Enomoto-san. Dengan satu kalimat itu, suasana melayang-layang bersama Himari yang tadi kurasakan langsung lenyap.

     Aku tersenyum kaku pada Himari yang terlihat bingung.

     "H-Himari. Aku mau bicara sebentar dengan Makishima, bisa kamu duluan ke kelas?"

     "Um. Boleh aja... "

     Himari menatap Makishima dengan jijik, lalu menaiki tangga. ...Mungkin dia berpikir, "Makishima-kun pasti akan melakukan hal yang enggak perlu lagi."

     Setelah Himari menghilang, Makishima menyodok punggungku dengan ujung kipasnya. Rasanya seperti ada moncong pistol yang menempel di punggungku....

     "Nah, mari kita adakan rapat evaluasi liburan musim panas bersama?"

♣♣♣

     Lalu, di sudut koridor.

     Di tempat yang agak tersembunyi itu, aku terpojok oleh Makishima. Sambil mendorongku ke dinding, Makishima yang mulutnya tertutup kipas, tertawa remeh.

     "Nahaha. Setelah liburan, kamu datang ke sekolah sambil bermesraan dengan istri sah, sungguh nyaman sekali posisimu?"

     "A-apa sih. Itu enggak ada hubungannya denganmu...."

     "Justru tidak. Aku tidak akan membiarkan itu begitu saja. Dalam rencanaku, tidak ada sela yang akan membuat penonton bosan seperti itu."

     "Aku jadi bingung kalau kamu bicara soal rencanamu...."

     Apa dia merencanakan sesuatu lagi?

     Saat aku waspada, Makishima berkata sambil menepuk-nepuk tangannya dengan kipas.

     "Ngomong-ngomong, sepertinya ada hal menarik yang terjadi dalam perjalanan ke Tokyo, ya?"

     "Sudahlah, kalau ada yang ingin kamu bicarakan, katakan saja terus terang."

     Makishima menghela napas.

     "Sungguh, pria yang enggak bisa memahami perasaan akan dibenci, lho?"

     "Berisik. Aku enggak masalah, karena aku enggak pengin populer."

     "Baiklah. Pokoknya, aku ingin mendengar pendapatmu mengenai 'janji' dengan Rin-chan...."

     "...!?"

     Janji—kata itu membuatku terkesiap.

     Itu terjadi di Tokyo, sehari sebelum pameran tunggal Tenma-kun dan yang lainnya. Janji yang kubuat dengan Enomoto-san, karena aku terus mengabaikan keinginannya, dan Enomoto-san yang tidak ingin aku pergi ke pameran tunggal.

     "Aku, Natsume Yuu, kalau enggak bisa menjual semua aksesori di pameran tunggal Tenma-kun dan yang lainnya, akan berpacaran dengan Enomoto-san."

     "Aku, Enomoto Rion, kalau Yuu-kun berhasil menjual semua aksesori di pameran tunggal, akan melupakan semua yang telah terjadi dan enggak akan pernah meminta apa pun lagi."

     Rasa dingin yang menusuk tulang merayap naik dari dasar tubuhku.

     Benar. Aku memang membuat janji itu.

     Parahnya, aku mempertaruhkan hubunganku dengan Himari. Meskipun saat itu aku sedang terbawa emosi, itu jelas hal yang tidak boleh dilakukan. Aku berjanji karena terbawa suasana, tapi memang benar aku yang mengatakannya duluan.

     (Aku terlalu memikirkan masalah menginap sekamar, sampai lupa menjelaskan hal itu pada Himari...!)

     Gawat. Buruk sekali.

     Tunggu, kenapa Makishima tahu soal itu? Dari Enomoto-san? Atau Kureha-san? Tidak, bagaimanapun juga, aku harus menghadapi ini dengan damai. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Makishima.

     "Enggak, Makishima. Itu, ehm, salah paham, atau..."

     "Oh? Salah paham, ya. Interpretasi yang sangat menguntungkan diri sendiri, bukan?"

     "Ah, ehm. Tadi itu hanya kiasan... Memang benar aku berjanji akan berpacaran dengan Enomoto-san kalau enggak bisa menjual semua aksesori di pameran tunggal, dan memang kenyataannya enggak terjual habis, tapi aku ingin membicarakannya lagi dengan baik-baik... eh?"

     Eh?

     Makishima terdiam melongo. Seolah-olah ia baru pertama kali mendengar hal itu. Tidak terlihat seperti akting, dan lagi pula, tidak ada alasan bagi Makishima untuk berbohong... Ahh! 

     "Kamu, kamu sengaja mancing ya?!"

     "Nahahaha! Bodoh, sedikit kugoyahkan saja kamu langsung muntahkan semuanya, ya!"

     Makishima tersenyum paling menjengkelkan, lalu mendekatiku.

     Ia mendekatiku sampai pipi kami hampir bersentuhan... Tidak, Makishima-san? Aku jadi tidak nyaman kalau pria sedekat ini denganku.

     "Wah, ini jadi sangat menarik, ya! Rin-chan itu, sungguh bodoh sekali melewatkan kesempatan emas seperti ini! Baiklah, kali ini aku akan melaksanakannya sebagai wakil!"

     "Waaah! Hentikan, bodoh, kamu mau apa?!"

     Makishima menyeringai.

     Seketika ia berbalik dan berlari sambil tertawa terbahak-bahak. Tindakan ini... sepertinya ia berniat melapor pada Himari!?

     "Kalau begitu, silakan ratapi nasib cinta musim panasmu!"

     "Hei, Makishima! Tunggu—eh?"

     Tepat saat aku hendak mengejarnya.

     Di belakang Makishima yang berbalik dan menunjukkan ekspresi kemenangan... dari balik sudut koridor di arah ia berlari, sebuah lengan kurus menjulur keluar.

     Tangan itu, mencengkeram kepala Makishima dengan kuat.

     "Gyaaaaaaaah?!"

     Cengkeraman Iron Claw yang sempurna meledak.

     Makishima ambruk di koridor seolah jiwanya tercabut. Saat aku bersiap-siap, bertanya-tanya ada apa, seorang murid perempuan berambut hitam muncul dari balik sudut koridor.

     Itu Enomoto-san.

     Rambut hitamnya yang khas dengan sedikit kemerahan masih terlihat indah hari ini. Mungkin karena sebelumnya aku terlalu sering melihatnya dengan pakaian kasual, seragam musim panas sekolahnya justru terasa menyegarkan. Dan seperti biasa, kekuatan destruktif dadanya yang tidak bisa disembunyikan hanya dengan kardigan tipis... tunggu?

     Gelang Gekka Bijin yang seharusnya ada di tangan kanannya sudah tidak ada.

     Aneh sekali. Enomoto-san selalu memakainya... Saat aku memikirkan hal itu, ia menginjak pantat Makishima. 

     Enomoto-san menatap Makishima dengan tatapan dingin. Ketika ia menyilangkan kedua tangannya, dada besarnya semakin menonjol dan itu sungguh merusak mata.

     "Shii-kun. Apa yang kamu lakukan?"

     "R-Rin-chan, apa kamu benar-benar bodoh? Kenapa kamu menghajarku dalam situasi seperti ini...?"

     Ia menginjak-injak pantatnya.

     Jejak sandal menempel di celana panjang Makishima yang baru dicuci....

     "Sudah kubilang jangan melakukan hal yang enggak perlu, kan? Bibi bilang ada yang aneh denganmu, jadi aku buru-buru datang dan ternyata memang benar."

     "Sialan, tapi bukan berarti kamu bisa langsung menyerang fisik begitu saja, kan...?"

     Eh....

     Aku menyaksikan mereka berdua dengan terperangah saat komunikasi ekstrem itu terjadi di depanku.

     Lalu Enomoto-san menatapku.

     Aku terkesiap.

     Ia pasti mendengar apa yang Makishima katakan tadi, kan? Berarti, ia juga pasti tahu aku tidak berhasil menjual semua aksesori.

     ...Tidak, sudah terlambat untuk memikirkannya sekarang. Bagaimanapun juga, aku memang berniat jujur pada Enomoto-san.

     Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menyatakan dengan jelas.

     "Enomoto-san. Pameran tunggal hari kedua, aku enggak berhasil menjual semua aksesorinya."

     "............"

     Enomoto-san menatapku lekat-lekat.

     Ekspresi datar dan dingin seperti biasanya... tidak adanya reaksi apa pun, seolah mendorongku untuk melanjutkan perkataanku.

     "Soal janji itu—"

     "Enggak apa-apa." 

     "Aku tahu Enomoto-san enggak akan setuju, tapi aku... eh?"

     Aku menatap Enomoto-san, bertanya-tanya apakah aku salah dengar.

     Enomoto-san melanjutkan dengan nada yang sangat acuh tak acuh.

     "Janji itu enggak berlaku lagi. Aku akan menyerah padamu, Yuu-kun."

     "............"

     Maksudnya... tidak perlu berpikir keras untuk memahami maksudnya. Enomoto-san berkata ia akan menyerah pada cinta pertamanya kepadaku.

     Saat aku terdiam membisu, Enomoto-san tersenyum tipis dan berjalan mendekat. Senyumannya begitu indah hingga aku terpukau, sampai lupa situasi yang sedang terjadi.

     Dan saat aku masih terpukau, kepalaku dicengkeram dengan kuat.

     "Eih!"

     "Gyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!?"

     Setelah menerima Iron Claw raksasa, aku ambruk di koridor, menimpa Makishima.


     …Uwooh. Sakit sekali. Beban yang seolah memuntir inti tubuhku. Ini, lebih dendam dari yang kurasakan di Tokyo!

     Enomoto-san bertepuk tangan, lalu berkata dengan dingin.

     "Sudah selesai."

     "B-baik. Terima kasih...."

     Saat aku akhirnya berhasil mengucapkan terima kasih, Enomoto-san meraih Makishima dan menyeretnya pergi.

     Seperti biasa, ia pergi dengan kesan yang dingin dan imut. Sambil menatap punggungnya... aku merasakan ganjalan di hati yang tidak bisa kujelaskan.

 

♡♡♡

PoV

 Enomoto Rion

     Setelah berpisah dengan Yuu-kun, aku membawa Shii-kun menuju kelas.

     Dalam perjalanan, aku menghela napas lega sambil memegangi dada. Tanpa sadar, telapak tanganku berkeringat dingin.

     (…Baiklah. Seharusnya aku bisa bersikap biasa saja.)

     Shii-kun yang mengikutiku dari belakang, membuka kipasnya dan tertawa menyebalkan, "Nahahaha."

     "Rin-chan. Sepertinya kamu berusaha keras, ya?"

     "Aku enggak berusaha keras, dan Shii-kun berisik."

     "Jangan begitu dong. Sebenarnya kamu masih menyesali hasil pertarungan dengan Natsu, kan? Padahal itu kesempatan emas untuk Rin-chan, lho?"

     "............"

     Aku menoleh dan mencubit telinga Shii-kun dengan sekuat tenaga.

     "Adadadada...! Rin-chan, jangan pakai kekerasan hanya karena kena telak!"

     "Bukan kena telak! Shii-kun, kamu sebaiknya berhenti bersikap seolah kamu selalu benar."

     Shii-kun mendengus "Hah." Sambil mengipas-ngipas rambutku dengan kipas, ia berkata dengan nada menjengkelkan.

     "Meskipun begitu, kamu terlihat senang melihat wajah Natsu, kan? Semoga saja dia enggak menyadari suaramu sedikit meninggi, ya? Yah, Natsu itu bodoh pada saat-saat penting, jadi kurasa enggak apa-apa, tapi itu tetap saja menyebalkan, kan?!"

     "............"

     Eih!

     Saat aku mengerahkan tenaga pada cuping telinganya, Shii-kun menjerit, "Gyaaaaaah!?" Aku membuka pintu kelas Shii-kun yang kebetulan sudah sampai, lalu melemparkannya ke dalam.

     Aku menepuk-nepuk kedua tanganku, lalu menatap tajam Shii-kun yang terduduk.

     "Shii-kun. Jangan melakukan hal yang enggak perlu lagi. Kalau enggak..."

     "A-apa? Apa kamu pikir aku akan berhenti hanya dengan Iron Claw sekarang...?"

     Aku terkekeh, lalu mengeluarkan tas berbentuk kotak hitam dari tasku. 

     Seketika itu juga, Shii-kun melebarkan matanya, "Apa maksudmu?!" Ia buru-buru menggeledah tasnya, dan menyadari bahwa barang yang seharusnya ada di sana tidak ada.

     "Tadi pagi, ibumu menitipkan kotak bekalmu karena kamu lupa membawanya. Aku akan mengambilnya, ya?"

     "Hei, Rin-chan! Itu curang, tahu!"

     "Enggak apa-apa, ya? Katanya lauk hari ini burger tulang rawan kesukaan Shii-kun. Lagipula, Shii-kun baru beli sepatu tenis baru jadi lagi bokek, kan? Kalau enggak ada ini, kamu akan lapar dan enggak bisa bertahan sampai kegiatan ekstrakurikuler, kan? Itu akan melanggar prinsip Shii-kun yang serius dalam kegiatan ekstrakurikuler, kan?"

     "G-gghh...!"

     Shii-kun dengan kesal mengulurkan tangannya ke arah kotak bekal.

     Namun, tangannya berhenti di tengah jalan.

     Shii-kun menghela napas pendek lalu berdiri.

     "Sudah kuduga sejak dulu, apa kamu benar-benar bodoh? Kenapa kamu harus membatalkan janji yang tadi? Padahal itu kesempatan emas—"

     "Bukan begitu."

     Aku memotong perkataannya, dan ia mendecih dengan jelas.

     "...Sungguh cara berpikir yang tak bisa kumengerti. Kenapa hanya karena kalah dalam hasrat pada aksesori, kamu harus menyerahkan posisi pacar? Bagaimanapun juga, itu hal yang berbeda, kan?"

     "Shii-kun hanya berpikir begitu karena kamu pintar."

     Ia mengarahkan ujung kipasnya ke dadaku, lalu tersenyum menyeringai.

     "Apa yang Rin-chan katakan, pada akhirnya, hanyalah pertahanan diri yang dangkal. Sebenarnya, kamu kesal kalah dari Himari-chan, jadi kamu mengganti target dengan dalih hasrat pada aksesori atau apalah itu. ...Kalau begitu, akan kubongkar kepalsuan itu."

     "...Kamu mau apa?"

     Shii-kun mendengus sinis.

     "Posisi pacar yang Rin-chan sangat inginkan. Aku akan menyediakannya. Mari kita lihat apakah hewan karnivora itu bisa menahan diri saat daging digantung di depannya. Untuk itu... pertama-tama aku harus memisahkan Himari-chan dan Natsu, ya?"

     "Sudah kubilang jangan melakukan hal yang enggak perlu."

     "Kamu bisa menghentikanku. Tapi, kalau kamu benar-benar bisa, ya?" 

     Sambil berkata begitu, dia berjalan menuju kursinya.

     Setelah melihatnya, aku pun menuju kelasku. Shii-kun memang menyusahkan, sejak dulu ia selalu keras kepala. Melakukan hal seperti itu juga tidak ada gunanya. Aku sudah memutuskan untuk mundur karena aku benar-benar mengakui hasrat Yuu-kun pada aksesori.

     (...Aku enggak akan kalah dari Shi-kun. Aku harus memastikan enggak menghalangi Yuu-kun.)

     Dengan tekad di dada, aku mengayunkan lenganku dengan semangat.

 

♣♣♣

PoV 

Natsume Yuu

     Setelah berpisah dengan Makishima dan yang lainnya, aku pun tiba di kelasku.

     (Kepalaku kacau karena masalah Enomoto-san...)

     Enomoto-san menyerah pada cinta pertamanya kepadaku.

     Hal itu sendiri bagus. Itu memang salah satu hasil yang kuinginkan sejak awal. Tapi aku benar-benar terkejut, dan lagi pula, "utang pada Enomoto-san yang menumpuk" seperti yang Saku-neesan katakan sama sekali tidak dibahas. Sejujurnya, apa boleh jika aku hanya mengatakan, "Baiklah," begitu saja? Tapi, kalau Enomoto-san sudah membereskan perasaannya, tidak ada gunanya juga aku mengatakan ini dan itu lagi....

     (Astaga, perutku sakit sekali...!)

     Terasa sangat perih. Apa ini? Aku memang pernah menolak pernyataan cinta Enomoto-san beberapa kali, tapi kali ini rasanya tidak sebanding. Aku merasa sangat bersalah sampai ingin mati....

     Begitu aku duduk di bangkuku, Himari yang duduk di sebelahku langsung bertanya.

     "Makishima-kun tadi ada apa?"

     "Ah—"

     Tidak ada satu pun hal yang bisa kuceritakan pada Himari dari kejadian tadi. 

     "Eh, begini. Itu, dia bilang kita mesra sekali meski liburan musim panas sudah berakhir...."

     Aku tidak berbohong. Namun, ketika kata-kata yang sangat spesifik itu diambil, Himari langsung percaya begitu saja.

     Himari berteriak "Kyaaah!" dengan gembira sambil memukuli lenganku.

     "Eeeh! Begitu, begitu! Ternyata dia mengerti juga ya! Dia memang brengsek sejati, tapi soal itu dia peka! Meskipun disembunyikan, dia tetap tahu! Yah, kita memang punya aura, kan? ♡♡♡"

     "Himari-san? Hei, Himari-san?"

     Eh, apa dia akan melakukan itu di sekolah juga? Aku sih inginnya dia menahan diri. Bisakah aura cinta yang kamu sebarkan itu dihentikan?

     Teman-teman sekelas di sekitarku mulai mengamatiku, "Ada apa ini? Ada apa?" Para gadis yang peka berbisik-bisik, "Apa mereka akhirnya melakukannya?" "Pasti sudah melakukannya." "Kami sahabat (sambil menyombongkan diri)"... Tolong jangan lebih dari itu! Aku akan mati karena luka masa lalu yang terus menusuk.

     Sudahlah, biarkan saja. Aku memasukkan buku-buku pelajaranku ke dalam tas.

     ...Lagipula, aku sudah berbicara dengan Enomoto-san, jadi untuk saat ini tidak ada masalah. Masalahnya adalah....

     "Jadi, Inuzuka-san? Apa yang menjadi faktor penentu?"

     "Yah~♡ Kurasa itu karena kelucuanku dan cintaku yang berkorban dalam mengatasi kesulitan~♡ Oh, lucky item-ku adalah ladang bunga matahari~♡"

     "Oh, begitu. Ini berarti kamu telah mengakhiri hubungan persahabatan yang telah terjalin lama, bisakah kamu memberikan komentar tentang hal itu?"

     "Mmm~♡ Agak sedih sih, tapi ya mau bagaimana lagi~♡ Sejak awal sudah ditakdirkan begini, atau bagaimana ya? Memang sedikit memutar, tapi karena itu jadi tumbuh ikatan yang kuat, kan~♡"

     Himari dikelilingi oleh gadis-gadis sekelasnya, seolah sedang mengadakan konferensi pers.

     Teman-teman sekelasnya juga membuat kegaduhan seperti festival, bersorak-sorai memuji Himari yang menjadi pusat perhatian.

     "............"

     Apa-apaan ini? Kenapa kalian tidak melakukan ini sama sekali saat Himari berpacaran dengan kakak kelas sebelumnya? Ada apa dengan solidaritas kalian itu? Apakah ini penyiksaan untukku?

     Ketika berbagai emosi bercampur aduk membuatku ingin mati, para cowok di kelasku mendekat. Mereka merangkul bahuku, lalu menatapku dengan senyum yang sedikit ingin menangis.

     "Selamat."

     "Natsume-kun. Aku percaya kamu adalah pria yang gigih saat bertekad."

     Astaga, apa-apaan ini.

     Tolong jangan tiba-tiba menjabat tanganku sambil memuji perjuangan keras-ku. Aku tidak merasa telah bertanding dengan baik, kok.

     Entah kenapa kami berdua terus difoto, tapi aku sudah terlalu lelah sampai rasanya tidak peduli lagi.

♣♣♣ 

     Beberapa hari telah berlalu sejak aku dan Himari berhasil melakukan debut semester kedua yang gemilang (?).

     Hari itu pun, aku mengikuti pelajaran dengan lesu. Kenapa begitu? Itu karena Himari menjadi lebih merepotkan.

     Misalnya, saat pelajaran sastra klasik hari itu....

     "Yuu. Ini, kamu boleh lihat buku pelajaranku~♡"

     "............"

     Sebelum aku sempat menjawab, Himari membanting mejanya ke arahku. Suaranya seperti pukulan dalam game pertarungan, tapi enggak apa-apa? Mejaku enggak retak, kan?

     Guru sastra klasik yang sudah tua, menaikkan kacamatanya.

     "Natsume-kun, kamu tidak membawa buku pelajaran~?"

     "Ah, tidak, saya membawa—"

     Tepat sebelum aku mengatakan "nya". 

     Dari samping, Himari menyorotkan tatapan sedih yang luar biasa ke arahku. Aku terkesetrum olehnya dan, mengabaikan keinginanku sendiri, aku menjawab.

     "Ya. Saya, tidak, membawa, buku pelajaran...."

     Aku jadi bicara terbata-bata.

     Anak laki-laki di bangku depan terbahak, membuat wajahku memerah padam. Tapi, Himari di sampingku memukuli lututku dengan gembira, jadi tak apalah....

     Guru sastra klasik yang sudah tua itu tak peduli dengan cara bicaraku yang aneh, ia mencatat di buku catatannya.

     "Kalau begitu, aku kurangi satu poin karena lupa membawa barang, ya~."

     "Guhaaa...!?"

     Penilaian sastra klasik di sekolah kami menggunakan sistem pengurangan poin. Ngomong-ngomong, jika pengurangan poin sudah mencapai 10, aku harus membersihkan tempat sepatu setelah pulang sekolah. Ini pasti akan kubuat Himari ikut membantu....

     Himari tak peduli, ia tersenyum sangat gembira.

     "Nfufu~. Yuu, kamu terlalu mencintaiku, ya?" 

     "Begitulah...."

     Ah, betapa lemahnya diriku. Jika begini terus, aku bisa-bisa membersihkan seluruh sekolah sampai bersinar hanya untuk menuruti keinginan bermesraan Himari....

     Pelajaran berjalan lancar, dan guru tua itu memandang sekeliling kelas.

     "Baiklah... kalau begitu, Natsume-kun, coba terjemahkan ini ke dalam bahasa Jepang modern, ya~?"

     "Ah, baik."

     Ehm. Bagian yang dimaksud adalah awal dari Kaguya-hime.

     'Aya shigari te, yori te miru ni, tsutsu no naka hikaritari. Sore o mireba, sanzun bakari naru hito, ito utsukushiu te itari'

     (Dengan aneh, ia mendekat dan melihat, di dalam bambu ada cahaya. Ketika ia melihatnya, ada seorang manusia berukuran sekitar tiga sun, sangat cantik.)

     Ini pasti kalimat yang sangat terkenal. Lagi pula, ini sudah pernah kami pelajari saat tahun pertama. Kali ini sepertinya kami akan mempelajari bagian tengah Kaguya-hime, jadi ini mungkin semacam pengulangan.

     Ehm. Aya shigari te berarti "merasa aneh" atau "merasa heran" dalam bahasa Jepang modern. Ito utsukushiu te berarti "sangat indah", tetapi dalam adegan ini Kaguya-hime masih bayi, jadi seharusnya berarti "sangat manis". ...Sungguh mengerikan adalah Hibari Juku. Padahal sudah tiga bulan yang lalu, tapi masih sangat terekam jelas di kepalaku.

     Aku berdiri dan menjawab bagian yang dimaksud. 

     "Eh, begini. 'Merasa aneh, ia mendekat dan melihat, di dalam bambu ada cahaya. Ketika ia melihatnya, ada seorang manusia berukuran sekitar tiga sun, duduk dengan sangat manis'... begitu."

     Guru tua itu mengangguk-angguk.

     "Bagus sekali~. Tambahan satu poin, jadi pengurangan poin yang tadi dibatalkan~."

     "Wah, terima kasih!"

     Beruntung!

     Tidak, ia menunjukku untuk soal mudah seperti itu, mungkin ia bermaksud memberikan bantuan. Memang pantas ia dijuluki guru Buddha. Baik sekali....

     Aku duduk di bangku.

     "Mmm?"

     Tiba-tiba mataku tertuju pada buku catatan Himari, ada satu kalimat aneh yang ditambahkan.

     "Aku dan Putri Kaguya, mana yang paling cantik?"

     Ketika aku menatap Himari, dia meletakkan tangannya di pipinya dan tersipu, seolah berkata, "Kyaa! Kamu mendengarnya!" Dia sangat lucu sampai membuatku mati, tapi aku tidak bisa menangani suasana hatinya saat ini.

     "............"

     Saat aku benar-benar tertinggal, Himari tiba-tiba berseru "Hah!" seolah menyadari sesuatu. Pada saat yang sama, mata biru lautnya berkaca-kaca.

     ...Ah, aku tahu. Ini pasti yang itu, "Jangan-jangan Yuu udah bosan sama aku?" Akhir-akhir ini, hanya aku yang jadi tenang, jadi aku tidak bisa benar-benar mengikuti suasana hati Himari....

     (E-enggak, bukan begitu... Ah, sial!)

     Aku menghela napas panjang.

     Tidak perlu bertanya seperti itu. Pacarku jelas lebih lucu daripada putri yang belum pernah kulihat wajahnya.

     Aku memutuskan, lalu mengambil pensil mekanik dan menulis balasan dengan cepat.

     "Himari yang paling cantik"

     Wajah Himari langsung berseri-seri, dan ada balasan dari balasanku. 

     "Benarkah?"

     "Sungguh yang paling cantik di dunia"

     "Katakan lagi~♡"

     Lagi?

     "Himari lebih manis" "Sungguh manis sekali" "Himari yang diam-diam ingin bermesraan saat pelajaran itu manis sekali sampai pengin mati" "Omong-omong, Himari yang cerdas dan manis karena sambil melihat ini diam-diam menyalin tulisan di papan tulis itu pintar dan manis" "Himari yang nanti akan menunjukkan catatannya itu sangat agung dan manis seperti santa" Lalu membuka halaman. "Manis, bisa mengatakannya dengan hati sebersih buku catatan putih ini" "Manis manis manis" "Kalau Himari enggak manis, aku enggak mengerti apa lagi yang manis" "Himari yang sebentar lagi pasti malu sampai telinganya merah, manis ya?" "Sebenarnya, Himari yang membawakan bekal makan siang untukku saat istirahat siang itu manis" "Akhir-akhir ini, telur dadarnya jadi enak sekali, Himari pacar idaman" "Kulitnya yang sedikit menghitam saat liburan musim panas juga sehat dan manis menurutku" "Ah, aku ingin kamu kepang rambutmu seperti saat festival musim panas lagi. Enggak boleh?" "Kuncir kuda pendek itu lebih bagus saat kita berdua aja" "Manis manis manis manis manis manis"

     Tanganku menjatuhkan pensil mekanik.

     Sial, ini batasnya. Lebih dari ini aku bisa kena tendinitis. Sebagai kreator aksesori, itu benar-benar terlarang.

     Tepat saat aku hendak menyerah, Himari menatapku dengan tatapan malu-malu dan menulis dengan pensil mekanik.

     "Satu lagi dong~♡"


     Sial!

     Lebih dari ini... tanganku sudah di batasnya, apa yang harus kulakukan? ...Ah, benar. Kalau pena tidak bisa, sampaikan saja langsung!

     "Himari yang paling manis, sudah jelas—mmm?"

     Senyap... Aku menyadari keheningan yang aneh.

     Saat aku bertanya-tanya ada apa dan melihat sekeliling, teman-teman sekelasku menatap kami berdua. Di beberapa tempat, para gadis terkikik. ...Ngomong-ngomong, kami sedang dalam pelajaran sastra klasik, ya.

     Guru tua itu berkata dengan senyum penuh belas kasihan.

     "Inuzuka-san, coba jawab soal ini, ya~?"

     "............"

     Ketika aku menatap Himari, dia dengan kebingungan membolak-balik buku teksnya. Hahaha? Jangan-jangan dia juga terlalu asyik dengan pesan cintaku sampai enggak mendengarkan?

     Himari menyembunyikan mulutnya dengan buku teks sambil mengaku dengan wajah memerah padam. 

     "Saya tidak mendengarkan...."

     Guru tua itu dengan tenang mencatat di buku catatannya.

     "Kalian berdua, aku kurangi sepuluh poin, ya~."

     Maafkan aku. Aku benar-benar terlalu berlebihan....

     Rupanya, keajaiban Himari pun kehilangan kekuatannya di hadapan penyakit cinta.

♣♣♣ 

     Setelah pulang sekolah.

     Kami berdua membersihkan tempat sepatu sebagai hukuman, lalu menuju ke ruang Sains.

     "Hei, Yuu. Bagaimana dengan rencana kariermu?"

     "Ah, itu ya...."

     Aku mengeluarkan lembaran bertuliskan 'Survei Harapan Karier Periode 1' dari tas.

     Itu dibagikan oleh guru wali kelas kami saat pelajaran HR (Home Room) hari ini. Sekolah ini mulai memberikan bimbingan karier sejak semester kedua tahun kedua. Sekolah kami tidak terlalu fokus pada melanjutkan studi, jadi kurasa sistemnya sama saja dengan sekolah lain.

     Bimbingan karier yang dimulai sejak paruh kedua tahun kedua ini akan memengaruhi pembagian kelas di tahun ketiga. (Kurasa ini juga lebih baik.) Akan ada perbedaan dalam kurikulum sekolah umum yang sebelumnya campur aduk, menjadi dua pola: kelompok yang mencari kerja dan kelompok yang melanjutkan studi.

     "Himari udah ngumpulin?"

     "Ya. Aku udah ngumpulin."

     "Cepat banget. Apa enggak perlu dipikirkan lagi?" 

     "Eh~ Soalnya, percuma aja kalau mikir keras dari awal, kan? Ini cuma untuk mengecek keseimbangan antara kemampuan akademis dan harapan jalur karier sementara, kok?"

     "Yah, memang sih, pasti ada asumsi bakal berubah...."

     Meskipun begitu, Himari tetap tenang sampai bisa menyerahkan formulir itu dengan santai. Sulit dipercaya dia adalah orang yang sama dengan yang menangis heboh setelah liburan musim panas karena mencurigai hubunganku dan Enomoto-san....

     "Ngomong-ngomong, apa yang kamu tulis sebagai harapan jalur kariermu sekarang?"

     Kemudian Himari berpose malu-malu, "Kyaa!"

     "Istri Yuu~♡"

     "Hei, kamu bercanda, kan? Kamu enggak menulis itu beneran, kan?"

     "Eh, kalau ditolak begitu, aku jadi sakit hati, lho...."

     "Enggak, mana mungkin begitu, kan...."

     Himari terkekeh, "Puhha." 

     ...Ah, syukurlah. Sepertinya itu memang candaan.

     "Untuk sementara, mungkin melanjutkan studi dulu."

     "Eh, benarkah?"

     "Yuu, kenapa terkejut?"

     "Enggak, karena kukira Himari akan langsung bekerja juga...."

     Himari tercengang.

     "Aku dari awal ingin melanjutkan studi, kok?"

     "Serius?!"

     "Eh? Aku belum pernah bilang, ya?"

     "U-um. Belum pernah bilang... kurasa...." 

     Aku berencana bekerja, dan kupikir Himari juga begitu. Tidak, itu hanyalah asumsiku saja.

     "O-oh, begitu. Yah, kalau Himari pasti bisa dapat tempat bagus lewat jalur rekomendasi."

     Di sekolah kami, istilah 'melanjutkan studi' biasanya mengacu pada rekomendasi dari sekolah.

     Artinya, mereka akan diterima di universitas yang bekerja sama di sekitar kota ini, atau di dalam provinsi, lalu mengambil kualifikasi dan lulus. Sebagian besar akan diterima di universitas kesehatan terdekat, jadi sejujurnya, rasanya tidak terlalu seperti melanjutkan studi. Karena tidak keluar dari daerah asal.

     Himari tidak mengejar bidang keperawatan, jadi kupikir dia mungkin akan masuk ke tempat yang bisa dijangkau dengan kereta... tapi dia berkata,

     "Yah, awalnya memang begitu sih. Tapi akhir-akhir ini, aku berpikir untuk mencoba menargetkan universitas bagus di luar provinsi, lho."

     "Eh!? Kenapa!"

     Himari tersenyum bangga dan membusungkan dada, seolah dia berhasil mengalahkanku karena aku terkejut dan bersuara keras.

     "Puhahaha. Yah, aku juga awalnya berpikir di dalam provinsi, tapi ada sedikit hal yang kupikirkan. Aku jadi ingin belajar dengan rajin."

     "Belajar apa?" 

     "Tentu saja untuk penjualan aksesori, dong! Sudah jelas, kan!"

     Ia menepuk kepalaku.

     Mendengar itu, aku sedikit lega. Tadinya kukira dia punya hal lain yang lebih ingin dilakukan selain penjualan aksesori....

     Pada saat yang sama, ada sedikit rasa cemas yang tersisa.

     "Tapi di luar provinsi... lalu, bagaimana dengan kegiatan aksesori...?"

     "Enggak apa-apa, aku akan tetap melanjutkannya! Memang enggak bisa seperti dulu lagi, tapi bukan berarti enggak bisa beraktivitas sama sekali. Kalau Yuu membuat karya baru, tentu saja aku yang akan jadi modelnya!"

     Dia menyatakan dengan semangat, lalu sedikit sedih berkata.

     "Tapi, mungkin frekuensi kita bertemu akan berkurang, ya? Aku juga sedih, tapi demi masa depan, hal seperti itu dibutuhkan di suatu titik, kan?"

     "............"

     Aku tidak pernah memikirkan hal itu. 

     Aku pikir kami akan bisa terus bersama seperti biasa setelah lulus. Bahkan di pameran tunggal di Tokyo, saat Tenma-kun berkata ingin "terus bekerja sama selamanya," aku langsung berpikir itu tidak mungkin karena aku bersama Himari.

     (Tapi, begitu ya. Himari melihat masa depan yang jauh lebih luas dariku...)

     Aku menghela napas.

     "Terima kasih. Kalau Himari, sepertinya kamu akan berhasil, ya."

     "Benar, kan? Satu-satunya kemampuanku cuma serba bisa, sih."

     Sambil tertawa, Himari menggenggam tanganku.

     "Jadi, sampai lulus, mari kita lakukan hal-hal yang hanya bisa kita lakukan sekarang?"

     "Hal-hal yang hanya bisa kita lakukan sekarang?"

     Ketika aku bertanya, Himari berkata dengan tatapan manja yang menggemaskan.

     "Misalnya, 'Selama SMA, prioritaskan aku paling utama, ya?' begitu?" 

     "T-tentu..."

     Aku tersenyum kecut mendengar permintaan yang sangat khas Himari itu.

     "Baiklah. Aku enggak akan membuatmu kesepian."

     Kami berdua tertawa, merasa tersipu.

     Rasanya aneh dan sangat menggelitik. Lagipula, janji tentang masa depan, berapa kalipun diucapkan pasti tetap memalukan.

     Kami tiba di ruang Sains sambil berpikir (Himari pasti juga berpikir begitu), "Sial, aku ingin menciummu sekarang."

     (Aku enggak tahu banyak tentang masa depan, tapi yang penting aku akan berusaha keras untuk hal-hal yang ada di depan mata.)

     Dan yang ada di depan mataku—tentu saja adalah kegiatan sebagai "you".

     Pada bulan November, akan ada Festival Budaya.

     Kami juga berencana untuk berpartisipasi sebagai Klub Hortikultura. 

     Sambil melihat kembali foto-foto festival budaya tahun lalu di ponselnya, Himari berkata,

     "Tahun lalu kita berkolaborasi dengan klub kaligrafi, membuat pameran bertema Jepang, ya~."

     "Tahun ini aku ingin mengadakan acara penjualan aksesori. Ini adalah kesempatan untuk mempraktikkan apa yang kudapat dari pameran tunggal Tenma-kun dan yang lainnya, dan kurasa tahun ini kita bisa mengadakan pameran sendiri."

     Himari mengeluarkan selembar kertas dari tasnya, seolah sudah menunggu.

     Itu adalah lembar pemberitahuan tentang festival budaya. Aku mengambilnya saat mampir ke kantor guru tadi. Pokoknya, jika kami menulis nama klub dan anggota peserta di sini, guru-guru akan menyetujuinya.

     "Sepertinya enggak ada persyaratan khusus, jadi kurasa enggak masalah~. Tahun lalu kita enggak melakukan hal yang berhubungan dengan aksesori karena menyembunyikan identitas 'you', kan?"

     "Yah, karena sudah ketahuan gara-gara insiden kemarin...."

     Itu adalah insiden yang direkayasa Makishima pada semester pertama.

     Hasil penjualan aksesori orisinilku di sekolah menyebabkan keluhan dari wali murid. ...Bahkan sampai sekarang, perutku masih perih jika mengingatnya.

     "Festival budaya akan diadakan di awal November, jadi masih ada waktu dua bulan penuh. Kurasa bisa kalau kita segera menyiapkan bibit atau semacamnya mulai sekarang, tapi bagaimana ya?" 

     "Hmm. Kurasa kita harus menyiapkan jumlah yang lumayan... tapi apa bisa selesai dalam dua bulan?"

     "Enggak, harus bisa. Di pameran tunggal di Tokyo, Tenma-kun berhasil menjual lebih dari 500 aksesori dalam dua hari. Aku juga harus bisa melakukannya di level yang lebih tinggi di masa depan. Memang sulit, tapi ini adalah hal yang perlu untuk bekal masa depan."

     "............"

     Eh?

     Aku menoleh karena Himari tidak menjawab, dan entah kenapa dia menatapku dengan mata berbinar seolah sedang demam. Ketika mata kami bertemu, dia meletakkan tangannya di pipi dengan malu-malu, "Puhehe."

     "Yuu. Akhir-akhir ini, semangatmu terhadap aksesori parah sekali...♡"

     "Oh, begitu. Terima kasih...."

     Akhir-akhir ini, standar suka Himari terlalu rendah.... Aku tidak boleh khawatir, tapi sebagai pacar, jadi rumit kalau dia jadi semudah ini.

     "Baiklah. Kalau begitu, mari kita mulai dengan memeriksa peralatan."

     Aku langsung membuka pintu geser rak baja di ruang Sains. 

     Untuk menanam bunga berikutnya di pot LED yang kusimpan di sini—hmm? Ada kertas ukuran A4 tertempel di bagian dalamnya?

     'Natsume Yuu. Sudahkah kamu mengungkapkan rahasiamu pada pacar tercintamu?'

     —BAM, aku menutup pintu!

     "............"

     Suara napas misterius, kohyuu~, kohyuu~, keluar. Jantungku berdebar sangat kencang, dan gigiku bergemeletuk. Ya, rasanya seperti melihat sesuatu yang seharusnya tidak ada di jalanan tengah malam. Tubuhku terasa sangat dingin, dan keringat dingin bercucuran di punggungku.

     Pelaku lelucon mengerikan ini—hanya ada satu.

     (MAKISHIMAAAAAAAAAAA!!)

     Himari memiringkan kepalanya dengan bingung.

     "Yuu, ada apa?"

     "!?" 

     Aku terkejut dan menoleh, dan Himari justru terperanjat.

     "Eh? Wajahmu seram sekali... Mau ke UKS?"

     "Ah, enggak, itu..."

     Tenang, tenang.

     Jangan panik. Aku harus tenang. Ingatlah ketegangan saat melintasi ladang ranjau artis di Tokyo. Kalau begitu, serangan mental lewat tulisan seperti itu... Tidak, mustahil! Kerusakannya terlalu besar!

     Mata Himari menajam.

     Gawat, ketahuan ya? Tidak, dari posisinya Himari seharusnya tidak bisa melihat...

     "Yuu. Minggir."

     "Enggak, enggak, tunggu sebentar. Ah, pinggangku sedikit sakit. Mungkin karena terus duduk di pesawat atau kereta saat pulang dari Tokyo, ya?"

     "Sudahlah, jangan banyak alasan. Cepat minggir." 

     "K-kenapa begitu..."

     Dia terus saja mendesakku....

     Lalu Himari menunduk, dan berkata dengan sedih. Ekspresinya sedikit ingin menangis, seolah menyimpan kemarahan besar di dalam hatinya.

     Dan dengan suara serius dia berkata...

     "Jangan pedulikan hal-hal aneh. Kamu sedang diganggu, kan?"

     "............Eh?"

     Kata-kata tak terduga itu membuatku terdiam.

     Apa maksudnya? Diganggu, diganggu apa... Ah, jadi begitu!?

     Aku akhirnya mengerti maksud Himari.

     Itu dia. Hal yang sering terjadi padaku sejak SMP. Karena aku akrab dengan Himari, aku sering dihadang oleh cowok-cowok yang menyukai Himari. 

     Beberapa hari ini, aku dan Himari bermesraan habis-habisan. Perubahan dalam hubungan kami jelas sekali terlihat... Kalau begitu, para korban Himari yang selama ini liar pasti tidak akan tinggal diam, begitu ya.

     Pemikiran bahwa cinta itu merusak, dalam arti tertentu, masih hidup...

     "Enggak, enggak, enggak! Itu benar-benar salah paham!"

     "Kalau begitu, kenapa kamu enggak mau menunjukkannya?"

     "Ehm, begini, itu...."

     Aku tidak bisa bilang kalau aku sedang dihantui dosa yang kuperbuat di Tokyo....

     Perasaanku sangat berat. Himari begitu memikirkanku, tapi aku ini bajingan tidak murni seperti ini.

     (...Sungguh, tenanglah. Enomoto-san bilang janji itu sudah dibatalkan.)

     Pokoknya, kertas tempel ini harus kubuang.

     "Himari. Sebenarnya, ehm, di dalam rak, ada serangga aneh, lho." 

     Himari terkesiap.

     "Eh, serius? Serangga yang menjijikkan?"

     "Ya, kira-kira begitu."

     "Enggak mau, enggak mau! Yuu aja yang urus!"

"Oke. udah aku urus."

Fufufu. Himari memang tidak suka serangga.

     Sebaliknya, aku sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu berkat bantuanku di minimarket. Aku berhasil menciptakan celah yang bagus.

     Begitu Himari berbalik, aku dengan cepat membuka pintu dan merobek kertas itu. Sungguh sembarangan sekali hanya ditempel dengan selotip. Bagaimana kalau lepas dan terlihat Himari....

     Aku meremasnya, lalu menyimpannya di saku.

     Setelah menghela napas lega, aku berbalik menghadap Himari.

     "Himari. Aku ada urusan sebentar. Maaf, bisakah kamu memeriksa pot tanaman dulu?"

     "Ah, begitu? Baiklah~"

     Akhir-akhir ini, aku mulai tidak lagi merasa bersalah saat berbohong pada Himari.

     Ini tidak baik....

     (Tapi, ini yang terakhir!)

     Aku keluar dari ruang Sains, lalu langsung menuju lapangan.

 

♢♢♢

PoV

Inuzuka Himari 

     Yuu buru-buru keluar dari ruang Sains.

     Dia bilang ada urusan, tapi sepertinya itu bohong. Kalau Yuu sudah seperti itu, berarti itu hal yang tidak bisa dia katakan padaku, jadi aku sengaja tidak bertanya.

     Aku menghela napas, lalu berpose damai dengan mantap.

     "Bagaimanapun juga, aku adalah pahlawan wanita pemenang!"

     Benar.

     Akulah belahan jiwa Yuu, pasangan terkuat yang memiliki kekuatan istri sah di dalamnya.

     Tidak ada lagi yang bisa menghancurkan ikatan ini. Aku memaafkan... tidak, mengampuni perjalanan ke Tokyo dengan Enocchi, dan dengan itu, tingkat 'dicintai Tuhan'-ku naik ke tahap yang lebih tinggi lagi. Aku selangkah lebih dekat menjadi bentuk kehidupan yang sempurna.

     Yah, kalau sampai bercinta sih, bahkan aku yang toleran ini mungkin akan putus juga. Kan itu tidak benar? Bahkan saat masih sahabat, aku tidak pernah melakukan sejauh itu, kok. Bahkan gadis takdir sepertimu, Enocchi, yang itu tidak akan kumaafkan!

     (Tentu saja, aku percaya tidak akan terjadi hal seperti itu!)

     Yuu itu serius, tulus, dan memiliki bakat serta tujuan, dia benar-benar laki-laki idaman. Sedikit pesimis memang kekurangannya, tapi pahlawan memang begitu. Fase di mana dia menderita karena kemampuannya yang berlebihan itu pasti diperlukan. 

     Untuk bisa setara dengan Yuu yang seperti itu, aku juga harus terus mengasah kekuatan istri sah tanpa berpuas diri.

     Tentu saja mendukung impian Yuu itu penting, tapi aku juga harus menjalani kehidupan SMA yang menyenangkan sebagai pacarnya. Cinta itu sama pentingnya dengan impian. Sangat penting. Ini akan keluar di ujian, dan bahkan akan memengaruhi ujian masuk universitas negeri, jadi ini super duper penting, lho! (Bohong kok☆)

     Nfufu~. Akhir-akhir ini aku juga belajar memasak dan belajar. Kalau begitu, aku akan menjadi sempurna tanpa cela, ya~.

     "Pokoknya, hari ini aku mau merawat pot tanaman yang diminta, ah~♪"

     Terus maju menuju masa depan impian kita, maju terus!

     Sambil berpikir begitu, aku mengangkat pot LED di rak baja.

     —Ada foto tidur seranjang yang erotis.

     "............"

     Aku menggosok-gosok mataku.

     Ehm? 

     Aku mengambil foto itu.

     Itu adalah foto Yuu dan Enocchi yang sedang tidur seranjang memakai jubah mandi. Pasti dari perjalanan ke Tokyo.

     Benar-benar baru pertama kali kulihat... Apa ini? Lelucon seseorang? Kolase yang tidak senonoh? Omong-omong, apa itu foto Ima Doki? Enggak, enggak, masalahnya adalah isi foto ini, kan?

     Aku enggak punya bukti, tapi entah kenapa aku sangat merasakan aura khas pasangan setelah melakukan itu. Semacam perasaan lega karena sudah menyerahkan diri.

     Enggak, enggak, enggak, maksudku, normalnya, apa kamu akan membiarkan dadamu terekspos begitu lebar di depan laki-laki yang belum berhubungan intim denganmu? Enggak, kan? Atau apa? Wanita berdada besar, kalau pakai jubah mandi, secara struktur jadi begini, ya? Apakah ini juga penderitaan bagi mereka yang dikaruniai? Nfufu~. Mana mungkin begitu.

     Aku kembali menatap keduanya.

     Yuu tertidur pulas, tapi Enocchi terlihat sangat bahagia, pipinya menempel, benar-benar terlihat mesra.

     Kalau diibaratkan Kaguya-hime yang dibahas di pelajaran sastra klasik, seperti ini: "Dahulu kala, ada sepasang kekasih dalam perjalanan ke Tokyo. Mereka mendalamkan hubungan di ranjang, dan bersemangat dalam segala hal. Nama mereka disebut kreator 'you'"? Hebat sekali, Himari-chan, materi pelajaranmu juga sempurna, kan~♪

     …Hmm~?

     Hmmmmmmmmmmmm??? 

     Aku mengembalikan foto itu ke dalam rak, lalu keluar dari ruang Sains sambil bersenandung.

     Aku langsung menuju area mesin penjual otomatis. Aku memasukkan uang ke mesin nomor tiga dari kanan seperti biasa, lalu menekan tombol Yogurppe yang ada di paling kiri.

     Pokon, susu kotak itu jatuh. Aku memasukkan sedotan, lalu menghabiskannya sampai tetes terakhir. Sensasi bakteri asam laktat yang dingin menyebar ke seluruh tubuh terasa nyaman.

     Nfufu~. Tapi, sepertinya pendinginannya kurang maksimal, ya~.

     Entah kenapa bagian dalam tubuhku terasa panas, dan aku masih takut sengatan matahari. Minum satu lagi deh~♪

     Pokon, chuu.

     Pokon, chuu.

     Pokon pokon, chuuuuu~.

     ...Fuh!

     Aku menghabiskan Yogurppe kelima, lalu melipat-lipat kotak kartonnya. Setelah membuangnya ke keranjang sampah mudah terbakar, aku menggeliat. 

     Baiklah!

     Aku, yang imut seperti malaikat, sangat keren!!

     Kembali berjalan menuju ruang Sains, aku bersenandung sambil melompat-lompat riang☆

     Wah, kepalaku jadi segar.

     Sungguh enggak kusangka aku akan bermimpi di siang bolong. Kan Yuu bilang enggak ada apa-apa dengan Enocchi. Yuu enggak mungkin berbohong padaku, kan?

     Aku tidak tahu diriku sendiri, tapi apa aku cukup lelah ya? Jangan-jangan ini kelelahan musim panas? Yah, liburan musim panas memang penuh gejolak, sih. Ditambah lagi aku juga berusaha keras bekerja paruh waktu di toko kue? Meskipun aku adalah makhluk yang dicintai Tuhan, sebagai manusia aku pasti merasa lelah.

     Nanti pulang, aku akan pergi ke AEON bersama Yuu~. Ah, mungkin bagus juga mengecek bibit bunga di toko peralatan rumah tangga. Demi masa depan kita yang cerah, sekarang aku juga harus menyelesaikan pekerjaan sederhana dengan baik♪

     Dengan hati yang tenang, aku membuka pintu ruang Sains.

     "Aku pulaaang!"

     Yuu belum kembali. 

     Untuk memastikan lamunan tadi, aku kembali membuka rak baja. Saat aku mengangkat pot LED tadi... benar saja, ada foto tidur seranjang yang erotis.

     ...Hmmm~?

     Begitu ya~. Yuu, kamu berbohong kepadaku, ya~?

     Ekspresiku yang tadi tersenyum seperti Bodhisattva—langsung berubah menjadi Rahshasa dengan mata mendelik tajam.

     "................?"

     Aku, yang imut seperti malaikat, tanpa sadar mengeluarkan suara yang sangat kotor☆


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close