NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 9 Epilogue

 Penerjemah: Nobu

Proffreader: Nobu


Epilogue

 Paradigma


♣♣♣

     Hari terakhir study tour. 

     Setelah menitipkan bagasi di Bandara Haneda, kami menghabiskan waktu luang sebelum jam keberangkatan. Di salah satu konter pembayaran toko suvenir yang berjejer rapi, aku menyelesaikan transaksiku.

     Tak lama, Enomoto-san mendekat.

     "Yuu-kun, sudah beli oleh-olehnya?"

     "Ah, iya. Ini yang terakhir."

     Dia dengan ringan mengambil salah satu barang bawaan yang memenuhi kedua tanganku.

     "Ini merepotkan."

     "Ah, tu... tunggu..."

     Sembari berkata begitu, dia malah menggenggam erat tanganku yang kosong. Terdengar decakan kesal dari teman-teman sekelas di sekitar kami.

     Enomoto-san hanya tersenyum malu, "Ehe~."

     "Dengan begini, kita bisa bergandengan tangan, 'kan?"

     "Begitulah."

     ...Aneh.

     Meskipun ini hanyalah tindakan yang biasa, tatapan dari sekeliling terasa berkali-kali lipat lebih menyakitkan. Apakah ini hanya perasaanku saja? Tidak, ini pasti bukan sekadar ilusi. Aku bahkan mendengar decakan lidah lagi. Jika di sekolah biasa aku sering mendengar decakan seperti ini, pasti aku akan menyadarinya.

     Aku ingin lari. Ingin segera kabur dari tempat yang membuat perutku terasa seperti akan berlubang ini.

     "Enomoto-san, makan siang nanti bagaimana?"

     "............"

     Aduh.

     Tanganku yang tergandeng dicubit dengan lihai. Saat aku menoleh, Enomoto-san tengah menggembungkan pipinya, menunjukkan rasa tidak senangnya. Lucu sekali.

     "...Rion, makan siang nanti bagaimana?"

     Wajahnya langsung berseri-seri.

     Dan lagi-lagi, decakan tajam terdengar dari sekitar. Bisik-bisik, "Sudah jadian, ya?" "Kamu juga berpikir begitu?" "Bukankah tempo hari dia putus dengan Himari-san?" "Astaga, padahal kupikir mereka pasti kembali lagi." "Sama saja dengan Makishima," "Harus masuk daftar playboy,"—Aku tak bisa berkata apa-apa. Kalau begitu, biar aku bantu saja penyusunannya. Tanyakan saja apa pun yang tidak kamu tahu, dasar berengsek!

     Enomoto-san, yang sama sekali mengabaikan suara-suara di sekelilingnya, berkata sambil tersenyum lebar, 

     "Aku mungkin tidak perlu makan siang."

     "Aneh sekali. Padahal sepertinya ada banyak toko terkenal di sini."

     "Kalau makan terlalu banyak, nanti pusing di pesawat..."

     "Ah, begitu."

     Kalau begitu, mau bagaimana lagi, aku mengerti.

     Tapi ini masalah. Kalau aku tetap di sini, pasti bakal kena decakan lidah lagi. Malah rasanya tubuhku bisa sampai bolong ditembus suara decakan itu.

     "Yuu-kun, ayo ke dek observasi!"

     Ada cara itu juga. Keputusan yang bagus.

     Aku menuruti Enomoto-san yang menarik tanganku, lalu kami menaiki eskalator.

     Dek observasi juga dipenuhi banyak siswa.

     Dari sini, aku bisa melihat jelas betapa luasnya bandara ini. Landasan pacunya membentang terus dari ujung pandangan yang satu ke ujung lainnya. Jauh lebih luas dibanding bandara di kampung halamanku. Ya, wajar saja. Dari sini, pesawat bisa terbang ke seluruh penjuru Jepang… bahkan hingga ke luar negeri.

     Saat aku memandang pesawat dari balik pagar tinggi itu… tiba-tiba kurasakan tatapan dari sampingku.

     Ketika menoleh, rupanya—ada Himari.

     "...!?"

     Terkejut, tubuhku spontan menegang.

     Entah kenapa, rasanya sangat canggung… Ah, begitu. Wajar saja. Aku sudah berpisah dengan Himari demi aksesori, tapi sekarang malah bersama Enomoto-san seperti ini. Pelakunya jelas adalah rasa bersalahku.

     Himari itu terus menatap kami.

     Dari ekspresinya, aku tak bisa membaca perasaannya.

     Kemudian Himari berkata dengan wajah datar. 

     "Selamat, ya."

     "Eh? Untuk apa?"

     "Tentu saja, bukankah kamu sudah memutuskan untuk berpacaran dengan Enocchi?"

     Astaga, dia bisa tahu hanya dengan sekali lihat...!?

     Dugaan soal tatapan membunuh dari teman-teman sekelas memang bukan sekadar perasaanku. Rupanya, aura pacaran kami memang terpancar kuat.

     "Ya, begitulah..."

     "Baguslah kalau begitu."

     Dalam ucapannya, tak ada sedikit pun kesan tersembunyi.

     Ada apa? Aku benar-benar diberkati, ya?

     "Enocchi juga, selamat ya."

     "U-um..."

     Bahkan Enomoto-san pun, seperti biasa, merasa aneh dengan sikap Himari.

     Yah, memang begitu. Gadis yang sangat suka histeria ini mungkin saja akan membuat keributan di sini.

     Saat kami berdua berjaga-jaga, Himari sedikit tersenyum.

     Lalu perlahan, dia membungkukkan kepalanya di tempat itu.

     "Selama ini, aku benar-benar minta maaf."

     Tindakan itu benar-benar membuat kami terkejut.

     Ini bukan semacam lelucon... dan sepertinya juga bukan persiapan untuk kejutan konyol.

     Himari melanjutkan, sementara kepalanya masih tertunduk.

     "Aku sudah banyak berbohong. Aku juga bertindak egois. Jadi, maafkan aku."

     "............"

     Dia tulus.

     Menyadari hal itu, aku pun ikut menundukkan kepala.

     "Aku juga minta maaf. Padahal Himari sudah banyak membantuku... aku pun sama egoisnya."

     Himari mengangkat wajahnya, lalu entah kenapa mengangguk dengan berlebihan.

     "Aku maafkan."

     "Terima kasih."

     Kemudian Himari berkata, dengan ekspresi yang terasa begitu lega.

     "Aku sudah memutuskan untuk tinggal dan berada dalam asuhan Kureha-san."

     "Eh?"

     Saat aku terkejut, dia membusungkan dada dengan bangga.

     Aku menoleh ke arah Enomoto-san, namun dia menggelengkan kepala kuat-kuat. Sepertinya dia juga tidak tahu apa-apa.

     Himari dengan mata penuh tekad, menyatakan dengan jelas.

     "Aku akan menjadi model nomor satu di dunia!"

     Sambil berkata begitu, dia mengulurkan tangannya ke arahku.

     "Jadi, kalau sudah begitu, ayo kita jual aksesori bersama lagi!"

     Angin yang bertiup kencang melintasi landasan pacu berputar di dek observasi.

     Mengayunkan rambut Himari yang berwarna lembut, dan memancarkan kilau dari mata biru lautnya yang penuh tekad.

     "Aku akan menempuh jalanku sendiri."

     "Ya."

     Ketika aku menggenggam tangannya, dia tersenyum senang.

     "Kalau kamu sampai berhenti karena cinta, aku akan menyusulmu kapan pun!"

     Itulah deklarasi perang dari Himari, dan sumpah janjinya untuk masa depan.

     Malam Natal itu.

     Mungkin aku telah melakukan kesalahan.

     Mungkin saja, menuntaskan jalan cinta bersama Himari adalah jalan menuju kebahagiaan... Tak ada hari aku tak memikirkannya.

     Setidaknya, Himari yang ada di hadapanku saat ini terlihat begitu cantik—seperti keindahan yang kukagumi pada hari festival budaya SMP itu.

     Tiba-tiba, aku teringat sesuatu yang pernah dikatakan Saku-neesan.

     Meskipun jalan kami mungkin tak akan pernah bersilangan lagi—agar kami bisa berbangga bahwa tiga tahun yang kami lalui sama sekali bukan kesalahan.

     Kami akan terus bersikap egois, seenaknya sendiri... namun, sesuai dengan apa yang kami yakini.

     Ayo kita taklukkan musim semi yang berulang ini, lagi dan lagi.




Previous Chapter | ToC | 

1 comment

1 comment

  • Agus Dedi Prasetya
    Agus Dedi Prasetya
    23/8/25 14:36
    Jejak vol 9 epilog , thanks admin buat uploadnya
    Reply
close