Penerjemah: Nobu
Proffreader: Nobu
Chapter 4
Turning Point.
♢♢♢
Sehari sebelum pergi ke taman hiburan
Hari kedua karya wisata di Tokyo.
Sejak diculik oleh Kureha-san di depan hotel, aku tertidur pulas di jok yang empuk.
Meskipun ucapan dan perilakunya sering bertolak belakang, gaya mengemudi Kureha-san justru sopan dan tenang. Aku benar-benar tertidur nyenyak.
"Himari-chan, kita sudah sampai~☆"
Saat itulah aku terbangun.
Tak kusangka, aku bahkan tidak menyadari mobilnya sudah berhenti. Jika kakakku yang mengemudi, selalu ada akselerasi dan pengereman mendadak yang berulang, sehingga tubuhku tersentak dan aku terbangun.
Aku menyeka sudut bibirku. Ini pasti cairan manis yang keluar dari seorang gadis cantik. Gadis cantik tidak mungkin meneteskan air liur saat tidur.
...Sepertinya waktu belum berlalu terlalu banyak.
Aku mengintip pemandangan di luar jendela. Suasana jalanan yang tenang. Bukan seperti permukiman padat... tapi setidaknya lebih kalem dibanding area perkotaan dengan gedung-gedung tinggi. Kata yang tepat untuk menggambarkannya adalah... ah, shitamachi. Pemandangan yang memadukan suasana kuno Tokyo dari satu generasi lalu dengan bangunan-bangunan modern.
Wah. Ternyata Tokyo itu, ada juga ya tempat yang enggak jauh beda sama kampung halamanku.
"......Ini, di mana?"
Ketika aku bertanya, Kureha-san tersenyum manis.
"Tempat takdir Himari-chan~☆"
"Jangan yang begitu, deh. Di mana?"
"Shimokitazawa."
"Ah, ini dia..."
Aku merasa pernah melihatnya dan ternyata ini pemandangan yang kulihat saat kakakku tergila-gila dengan "Bocchi the Rock!" Dulu, waktu animenya tayang, kakakku heboh karena ada life-sized panel tokoh utamanya di toko buku dekat rumah. Katanya, kakakku tidak sempat melihatnya.
(Itu tidak penting, tapi apa ya alasannya datang ke sini...)
Dia pernah bilang ingin mempertemukanku dengan seseorang.
...Haaah?
Ini adalah Shimokitazawa, kota tempat berkumpulnya para pemuda kreatif. Jadi, aku bisa menebaknya. Ini pasti pertemuan dengan produser atau sutradara yang terpesona oleh kecantikanku.
Ngomong-ngomong, Kureha-san pernah mencoba memasukkanku ke agensi, kan? Aku sudah bisa menebaknya. Aku memang pintar sekali.
Tapi sayang sekali. Sekarang ini, siapa pun yang kutemui akan sia-sia. Aku tidak punya alasan untuk masuk ke dunia hiburan. Apalagi setelah putus dengan Yuu. Aku akan menghabiskan sisa hidupku mengurung diri di rumah, menghabiskan warisan kakek, dan hidup berfoya-foya!
Tepat ketika khayalanku sampai pada adegan di mana aku dihukum oleh kakakku, Kureha-san membuka kunci pintu.
"Nah, Himari-chan, ayo turun~☆"
"...Baiklah."
Berharap setidaknya bisa makan enak, aku membuka pintu dan berdiri di trotoar.
Perasaan seperti berada di atas awan ketika berdiri di tempat yang baru untuk pertama kalinya. Tak tahu arah ke kanan maupun ke kiri, diliputi kegelisahan seolah tengah berdiri di dalam hutan yang lebat.
Kureha-san, penunjuk jalanku, berjalan dengan bunyi tumitnya yang berketuk. Aku bergegas mengejarnya, menatap punggungnya.
(....Punggungnya, tegak sekali)
Bukan hanya punggungnya.
Cara melangkahkan kaki, cara mengayunkan pinggul, cara menggerakkan lengan.
Setiap gerakannya sangat halus dan terpoles. Cara berjalannya saja terasa memiliki aura tersendiri.
Meskipun sering terlupakan karena tingkah lakunya sehari-hari yang begitu, aku jadi sadar bahwa dia memang seseorang dengan pencapaian tinggi sebagai model. Dia bukan hanya orang yang digoda karena dadanya bergoyang.
"Siapa orang yang ingin kamu pertemukan denganku?"
"Uh-fufufu. Rahasia~"
Yah, aku sudah menduga dia akan bilang begitu.
Setelah berjalan sebentar, kami tiba di sebuah kedai kopi retro. Bukan retro sungguhan seperti yang ada di kampung halamanku, tapi benar-benar bergaya retro yang disempurnakan. Rasanya seperti tempat yang muncul di film Totoro...
Setelah masuk, kami menuju meja paling ujung. Sudah ada pelanggan di sana. Seorang gadis duduk tegak di sofa keras berkapasitas dua orang, dengan kedua tangan terentang lebar.
Penampilannya bergaya rock and roll serba hitam. Rambutnya diwarnai dengan inner color dan diikat dua di sisi kepala dengan gaya mencolok, seolah ingin menunjukkan kesan kuat. Meskipun sama-sama bergaya twin tail, kesannya benar-benar berbanding terbalik dengan Mei-chan.
(Ada gadis punk! Ada gadis punk!)
Kemunculan seorang gadis dengan aura khas anak kota membuatku berdebar. Nah, ini dia. Persis seperti yang kubayangkan. Aku jadi sedikit bersemangat melihat gadis cantik yang jarang kutemui di desa.
Kureha-san menyapa gadis itu.
"Ya-hoo~ Yume-chan, sudah lama tidak bertemu~♪"
"...!"
Gadis yang dipanggil Yume itu langsung berdiri dari tempat duduknya. Dia buru-buru mendekatiku dengan langkah kecil, lalu membungkuk dengan sangat rapi.
"Kureha-san! Selamat pagi!"
"Selamat pagi~ Suaramu besar sekali hari ini~"
Matanya benar-benar berbinar-binar.
Awalnya terkesan menyeramkan, tapi ternyata isi hatinya tidak begitu, ya? Apakah ini yang namanya strategi gap ala anak kota... Tidak buruk.
Kemudian, gadis itu melihat ke arahku.
Seketika, dia mengerutkan kening dan menatapku dengan tatapan yang sangat tidak suka.
"Kamu, Inuzuka Himari, ya..."
"Eh? Ada apa ini?"
Sepertinya dia marah?
Ada apa ya. Apa aku melakukan sesuatu? Kalau ini kakakku, aku pasti ingat semua kesalahanku, tapi aku tidak ingat pernah membuat gadis punk yang baru pertama kali kutemui ini menunjukkan taringnya, lho?
(Ah, tapi perasaan ini familiar...)
Secara garis besar, ini kecemburuan wanita.
Ketika aku berpacaran dengan pria tampan, kecemburuan dari gadis-gadis yang menyukainya sangat besar. Terutama saat aku dengan cowok playboy dari kuil itu, benar-benar parah. Perasaannya mirip seperti saat itu.
Tapi setahun belakangan ini aku tidak pernah berpacaran dengan cowok yang tidak kukenal, kan? Kalau sebelum itu... berarti dia mendendam sekali. Lagipula, aku juga tidak kenal cowok di Tokyo.
"Um... siapa ya?"
Wajah gadis punk misterius itu langsung memerah padam.
Mungkin dia kesal karena aku terlihat tidak mengerti sama sekali, dia menunjukku dengan telunjuknya seolah benar-benar kesal.
"Kalau saja bukan karena kamu, akulah yang akan jadi kesayangan Kureha-san!"
"Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu..."
Anak ini tipe orang yang bertindak impulsif, ya. Tipe yang tidak bisa menjelaskan sesuatu secara berurutan kepada orang lain.
Aku kebingungan dan bertanya pada Kureha-san,
"Kureha-san. Ada apa ini?"
"Dia ini Kirishima Yume-chan. Salah satu calon model yang kudanai~♪"
Oh, begitu.
Kukira dia dari band cewek atau semacamnya, ternyata dia anak model. Penampilannya ini mungkin bagian dari pembentukan karakter?
"Tapi, kenapa dia sepertinya tidak menyukaiku?"
"Itu karena~ saat negosiasi liburan musim panas lalu, nama Himari-chan ada di daftar model yang bisa ditukar!"
...Ah, begitu.
Jadi, ini tentang keributan saat liburan musim panas itu, ketika Kureha-san mencoba merekrutku. Waktu itu, aku membantah bahwa tidak akan ada lagi model untuk aksesori Yuu, dan dia justru mengatakan hal gila, yaitu akan memberikan salah satu model juniornya. Kukira itu hanya bercanda, ternyata ada gadis sungguhan yang dimaksud. Orang ini benar-benar keterlaluan, ya. Apa etika bisnisnya masih bisa diterima di zaman sekarang?
Hmm? Tapi kalau begitu...
"Dia bukan favoritmu?"
"Yume-chan, ya, lumayan lah~"
Lumayan, ya.
Rupanya Yume-chan ini tipe yang suka melebih-lebihkan, ya.
Yume-chan langsung memerah padam mendengar percakapan kami. Ya, ya, itu memang memalukan, aku mengerti. Tapi itu bukan salahku, dan yang baru saja menyampaikan "hukuman" itu adalah Kureha-san yang kauhormati. Jadi, jangan menatapku seperti itu, ya.
(Tapi, kalau dia masuk daftar "boleh ditukar denganku"...)
Aku menatap Yume-chan lekat-lekat.
"Heh~..."
"A-ada apa sih. Kamu, tatapanmu itu..."
"Heeeeeeh~~~~?"
"Argh, menyebalkan! Kamu meremehkanku karena merasa lebih unggul, ya!"
Tidak, tidak, bukan begitu, kok?
Aku pada dasarnya penganut paham kasih sayang universal, kok? Aku dididik bahwa semua gadis cantik itu setara, mereka semua adalah harta dunia, ya. Jadi, kalau aku, aku tidak akan melakukan hal sekejam itu, dan kalau mau jujur, aku juga menyukaimu, kok?
Maka dari itu, aku mengelus kepala Yume-chan.
"Oh begitu, ya~ Yume-chan kesal karena kalah dariku, ya~"
"Jangan senyum-senyum sambil mengelus kepalaku!"
Gadis yang dengan mudahnya memuaskan harga diriku~ Aku suka~♡
Entah kenapa, gadis ini lebih mendekati ponkotsu (ceroboh/tidak berguna) daripada kesan pertamanya. Ini temuan yang bagus. Akhir-akhir ini, tidak ada orang yang bisa memenuhi hasrat jahilku.
Terlebih lagi, meskipun gadis ini tidak suka dan mencoba melarikan diri, dia bukan tipe yang menggunakan kekerasan. Mungkin pada dasarnya dia orang baik. Karena aku tidak akan dihukum dengan Iron Claw seperti Enocchi, berarti aku bisa mengelus kepalanya sepuasnya~♪
Saat aku sedang bermain dengan Yume-chan, dengan perasaan jahat seperti, "Oh? Sepertinya aku juga bisa menyentuh dadanya?", tiba-tiba aku teringat tujuan awal.
(Jadi, apakah gadis ini yang Kureha-san ingin pertemukan denganku?)
Kalau begitu, aku semakin tidak mengerti maksudnya, ya?
Dia memanggilku jauh-jauh ke Tokyo hanya untuk mempertemukanku dengan gadis punk yang marah besar padaku ini? Untuk membuatku mendengarkan keluhannya? Tapi, dia juga bukan tipe yang akan memberikan ceramah aneh seperti, "Kamu harus berusaha keras karena ada orang di bawahmu," kan?
Tepat pada saat itu,
"A-anu~..."
Tiba-tiba, suara menyeramkan terdengar dari belakang, membuatku tersentak kaget. Perasaan dingin seperti leherku dijilat membuatku buru-buru menoleh.
Di sana, ada seorang gadis bungkuk yang sangat tidak menarik perhatian. Dia benar-benar terasa seperti bagian dari pemandangan; meskipun ada di depanku, kehadirannya samar.
(Dia seperti hantu...)
Itu adalah kesan pertamaku.
Rambutnya sepertinya tidak terawat, dan mungkin dia memang tipe yang tidak terlalu peduli penampilan. Pakaiannya pun hanya kaus dan jeans... yang terlihat sudah usang atau compang-camping. Aku sedikit penasaran dengan tas selempang besar yang melingkar di pinggangnya.
Gadis itu... dengan tatapan mata tanpa gairah hidup, tersenyum kecut.
"H-halo. Kureha-san..."
"Ah. Rikka-chan. Kamu dari mana saja~?"
Rupanya dia kenalan Kureha-san.
Gadis itu, saat ditanya, semakin membungkukkan punggungnya dan menggerakkan bahunya.
"A-aku, tadi ke toilet... hehe..."
"Kamu sakit perut lagi, ya? Kalau setiap bertemu orang baru begitu, nanti bisa berdampak buruk pada pekerjaanmu, lho~?"
"M-maaf..."
"Yah, tidak apa-apa~ Pastikan kamu bersikap sopan pada rekan kerjamu, ya~"
Dan, gadis yang dipanggil Rikka itu, melihat ke arahku.
Seketika, matanya membelalak, lalu dia buru-buru bersembunyi di balik punggung Yume-chan.
"Ah...! G-gadis cantik...!"
Dengan rasa takut dan penasaran, dia mengamati keadaanku.
A-ada apa dengan anak ini? Aku sendiri sampai ternganga melihat betapa penakutnya dia. Lalu Yume-chan, yang jadi tempat dia bersembunyi, menepuk dahinya dan menghela napas panjang.
"Rikka itu tidak suka wajah yang cantik. Butuh waktu baginya untuk terbiasa."
"A-aku... seperti yang kamu lihat... si culun penyendiri... jadi kalau melihat sesuatu yang menyilaukan rasanya mau meleleh... hehe... maaf..."
Wah, datang lagi yang aneh.
Dalam artian yang berlawanan dengan Yume-chan, dia juga tipe yang jarang kutemui. Entah kenapa, aku jadi teringat Yuu waktu SMP. Agak nostalgia juga.
"Um... Rikka-chan?"
"Ah... iya..."
Bagus, ada respons.
Setidaknya dia bukan tipe yang menolak komunikasi. Kalau bisa diajak bicara, tidak masalah! Bagi aku yang dijuluki monster kemampuan komunikasi ini, itu mudah saja!
"Rikka-chan juga, model juniornya Kureha-san?"
"Ah... Bukan... Aku model... Itu terlalu berlebihan..."
Dia bergumam malu-malu, menyembunyikan wajahnya di balik punggung Yume-chan.
...Mungkin sedikit lucu. Ada deja vu seperti permainan buaya di game center AEON waktu aku kecil.
Selain itu, entah kenapa… ah, itu dia. Mirip makhluk hitam bulat di Totoro. Ditambah lagi dengan suasana kafe ini, benar-benar pas sekali. Kalau begitu, aku berarti Satsuki, dan Yume-chan itu Mei, ya?
Kureha-san menepuk tangannya.
"Untuk sementara, ayo kita duduk dulu~"
Ucapnya, lalu duduk di meja semula.
Kami berempat akhirnya saling berhadapan... Mungkin memang hanya kami berempat. Karena mejanya untuk empat orang. Gelas yang sudah tersedia pun hanya dua. Tidak ada tanda-tanda orang lain akan datang.
Kureha-san membalik-balik daftar menu sambil berkata,
"Aku pesan iced tea saja~ Himari-chan, mau makan sesuatu? Semua yang di sini enak, lho~"
"Aku kopi susu saja."
"Baik~ Kalau begitu, Yume-chan, tolong pesan, ya~♪"
Yume-chan berdiri dengan semangat sambil berkata, "Iya!". Karena terburu-buru berdiri, pahanya menabrak meja dan dia meringis kesakitan.
Mengabaikannya, Kureha-san berkata,
"Orang yang ingin kutemukan dengan Himari-chan adalah Akinashi Rikka-chan~☆"
"Eh? Jadi, Yumechin?"
Yume-chan mengeluh, "Jangan panggil aku Yumechin!", tapi aku abaikan saja. Karena aku yang memberinya nama Yumechin, mulai sekarang dia adalah Yumechin.
Kureha-san tersenyum seperti dewi, meletakkan jari telunjuk di pipi, dan memiringkan kepalanya sedikit.
"Yume-chan cuma datang seenaknya saja~ Boleh diabaikan, kok~♪"
"Kureha-san?!"
Wah, kejam sekali!
Entah kenapa, hubungan mereka berdua jadi terlihat jelas sekarang. Biarkan saja deh, soalnya wajah Yumechin yang mau nangis itu lucu.
"Rikka-chan itu ada hubungannya denganku? Dia bukan model, kan?"
Ketika aku menatapnya, dia langsung meringkuk ketakutan. Lalu, dia membuang muka dan tertawa kecut, "Ehehe... hehe...".
...Hmm. Sepertinya anak ini harus ditangani dengan hati-hati.
Kureha-san tersenyum-senyum sambil menerima es teh yang dibawa Yumechin. Sekalian, kopi susuku diletakkan dengan keras di meja. Saking kerasnya, kopi susunya memercik dari gelas dan meninggalkan noda di seragamku.
"............"
"............"
Percikan api tak terlihat langsung tercipta di antara aku dan Yumechin.
Untuk sementara, aku tersenyum lebar.
"Ngh, fufu~♪ Kalau terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan begitu, aku jadi sangat ingin menggodamu, lho~?"
"Berisik, anak kampung! Cepat pulang sana ke gunung!"
Bzzzt bzzzt bzzzt...
Saat kami saling bersahut-sahutan, Kureha-san menghela napas, seolah berkata, "Aduh, aduh."
"Astaga~ Yumechin, tenang dulu, ya~ Kalau terus mengganggu, nanti aku benar-benar akan bilang bye-bye lho~?"
"Kureha-san juga, jangan panggil aku Yumechin!"
Dia ini tipe yang mudah terpancing, ya.
Ups. Lebih penting dari itu, kembali ke topik utama.
Meskipun seru juga bermain-main dengan Yumechin, aku pribadi ingin segera menyelesaikan urusan dan pulang. Karena tidak bisa bermain dengan Yuu, aku ingin makan banyak makanan enak... Tunggu dulu? Ada dugaan kalau aku tetap bersama Kureha-san dan dia mentraktirku, aku bisa makan makanan yang lebih enak, kan?
Saat aku sedang memutar otak menyusun rencana licik, Rikka-chan mengangkat tangannya dengan gugup.
"Ah... Anu, Kureha-san... Sudah waktunya..."
"Oh~? Sudah jam segitu, ya~?"
Kureha-san melihat jam tangan mahalnya di pergelangan tangannya.
Lalu, sambil cemberut lucu, dia melototi Yumechin.
"Ahhh. Gara-gara Yumechin, kita tidak bisa bicara dengan benar, deh~"
"Kureha-san?!"
"Bercanda, kok~... Untuk sekarang, ya~"
"...!"
Kureha-san ini suka menakut-nakuti, ya.
Entah kenapa, Yumechin ini seperti terjebak dalam lingkarannya sendiri. Kalau mendengar cerita sebelumnya, sepertinya dia sedang di ujung tanduk. Yah, aku tidak begitu peduli dengan hubungan Kureha-san dan junior-juniornya, jadi terserah saja.
Kureha-san memberikan uang kepada Yumechin dan menyerahkan urusan pembayaran kepadanya, lalu dia dengan santai beranjak dari tempat duduknya.
"Yah, lebih cepat melihatnya di lokasi langsung, kan~♪"
"Lokasi?"
Apakah kami akan pindah lagi?
Ke mana?
Saat memikirkan hal itu, mataku bertemu dengan mata Rikka-chan.
...Caranya tersenyum canggung dan cengengesan itu, tetap saja membuatku teringat pada Yuu di masa lalu.
♢♢♢
Dari sana, kami berpindah tempat sedikit menggunakan mobil Kureha-san.
Kami tiba di tempat yang suasananya berbeda lagi. Tadi banyak anak muda berlalu lalang, tapi di sini sunyi senyap.
Seperti perpaduan antara area perumahan dan gedung perkantoran, mungkin sekitar lima puluh persen masing-masing. Ada apa, ya?
Sambil memikirkan itu, aku berjalan mengikuti Kureha-san dan yang lainnya. Tidak ada percakapan seperti tadi di antara kami bertiga, jadi aku sedikit bingung.
(Rasanya seperti Alice di Negeri Ajaib versi kota...)
Saat sedang merasa begitu... tiba-tiba terdengar suara ramai.
Bersamaan dengan itu, Kureha-san dan yang lainnya menghilang di balik tikungan, dan ketika aku buru-buru menyusul...
"Wah!"
Seketika, aku melihat sebuah gedung perkantoran yang dipenuhi orang-orang berlalu lalang.
Banyak orang dewasa berlarian ke sana kemari, sibuk menyiapkan sesuatu. Suara ramai tadi pasti berasal dari sini.
Di lantai dasar, ada sebuah tempat seperti kafe terbuka di mana banyak orang keluar masuk dengan berbagai kesibukan. Pakaian mereka tampak biasa, tidak seperti pelayan. Apa mereka semua pelanggan? Tapi, mereka terlihat tidak tenang.
(Hmm?)
Ah. Di sana, mereka sedang menyiapkan kamera dan peralatan syuting lainnya.
Jangan-jangan, ini...
"Hei, Yumechin. Ini apa?"
Yumechin menjawab dengan wajah berbangga seolah berkata, "Masa begitu saja tidak tahu?"
"Ini lokasi syuting drama."
Hooo!
Benar saja. Aku tidak menyadarinya karena terlihat seperti kafe biasa. Yumechin, yang merasa senang dengan reaksiku, menjelaskan dengan bangga.
"Ini adalah tempat di mana deretan studio digunakan untuk syuting drama atau iklan."
"Wah, pantas saja tadi sepi, ya."
"Yah, ini kan siang hari kerja. Di sini juga ada interior apartemen biasa, atau tempat yang mirip kantor."
"Oh, begitu~. Ah, kalau begitu... jangan-jangan Rikka-chan ini seorang aktris?"
"Bukan, kok. Dengan mental seperti ini, mana mungkin jadi aktris. Setiap kali kamera diarahkan padanya, dia pasti akan mengunci diri di toilet."
Mentalnya...
Sejak tadi, Rikka-chan bersembunyi di balik punggung kami, gemetaran. Gawat. Keringatnya mengucur deras seperti air terjun, dan dia jauh lebih tegang daripada aku yang baru pertama kali ke lokasi syuting. Ada apa ini? Bukannya kami akan melihat pekerjaan Rikka-chan?
Merasakan tatapan kami, dia semakin membungkukkan punggungnya.
"A-ah... maaf... aku... kalau ada lebih dari lima orang... agak..."
"Kapasitas interaksinya terlalu sempit..."
Memang, kalau begini sih jadi aktris sepertinya susah, ya. Meski rasanya tak masalah kalau ada juga yang berbakat alami seperti itu, tapi memang kelihatannya bakal berat.
Hmm? Lalu, apa ya dia? Staf syuting... sepertinya bukan, ya. Kalau begitu, seharusnya dia ikut bekerja. Jangan-jangan dia kreator seperti Yuu, yang menyiapkan pernak-pernik untuk dekorasi interior kafe?
Saat aku melihat lokasi syuting dengan kekagetan ala udik, di sana Kureha-san sedang menyapa seorang pria paruh baya yang tampak seperti sutradara.
"Maaf, sudah merepotkan dengan permintaan mendadak untuk melihat-lihat ini."
"Ah, tidak apa-apa. Kami sudah banyak dibantu Kureha-san, kok. Lagipula, Anda juga sudah bekerja sama dalam casting. Asal tidak mengganggu syuting, tidak masalah."
"Uh-fufufu. Sepertinya akan jadi drama yang bagus, ya."
"Kali ini, anak-anak muda lagi bersemangat, jadi energi di lokasi sangat tinggi dan bagus."
Mereka bercengkrama dengan sangat akrab.
...Hmm. Kureha-san, dia benar-benar bertingkah seperti orang dewasa yang profesional. Agak mengejutkan, ya. Kesannya sangat berbeda dari biasanya. Akhiran "deh~☆" juga tidak ada. Kukira dia akan lebih otoriter di lokasi. Aku punya bayangan dia akan menyiram teh ke asisten sutradara yang tidak dia sukai sambil bilang, "Sudah kubilang tehku harus 65 derajat!"
Saat itu juga,
Dari arah yang berlawanan dengan kedatangan kami, terdengar suara lantang.
"Selamat pagi. Yonekawa, izin masuk!"
Seorang wanita muda berjas tampaknya sedang menyapa para pekerja di lokasi.
Dari belakangnya, muncul seorang wanita cantik berpenampilan dewasa. Meskipun dari kejauhan, aku langsung mengenalinya. Dialah pemeran utama drama ini. Auranya, atau suasana yang menyelimutinya, benar-benar berbeda. Aku merasakan aura yang tak kalah kuat dibandingkan Kureha-san.
Melihat wanita itu, Yumechin mengerutkan kening.
"...Datang juga dia. Yonekawa Nagisa."
"Yonekawa Nagisa?"
Aku terdiam, merenungkan nama itu.
Aku pernah mendengarnya. Lebih dari itu, nama ini sering kulihat, dan wajahnya yang sangat anggun itu juga...
Benar. Dia aktris Yonekawa Nagisa!
Dia melejit berkat sebuah film sekitar dua tahun lalu dan kini menjadi aktris papan atas yang sangat laris membintangi drama maupun iklan. Bahkan, akhir-akhir ini, setiap minggu dia pasti muncul di salah satu drama. Aku juga sangat menyukainya!
Wah—! Ini aktris besar sungguhan. Ngomong-ngomong, Yuu pernah bilang dia datang ke pameran tunggal Ito Tenma saat liburan musim panas. Jadi, ini lokasi syuting drama Yonekawa Nagisa, ya? Beruntung sekali! Nanti, bisakah aku meminta tanda tangannya?
Wujud aslinya mungkin lebih berwibawa dari yang kubayangkan. Sepertinya dia jauh lebih tinggi dari Kureha-san. Tapi wajahnya kecil sekali, ya. Kontrasnya dengan wajahnya yang anggun itu benar-benar memukau.
Eh?
Yonekawa Nagisa tiba-tiba melihat sekeliling, seolah mencari seseorang. Matanya menatap ke arahku. Pandangan kami bertemu, dan dia langsung berjalan mendekat.
(Eh? Jangan-jangan aku? Kenapa???)
Aku segera bersiap-siap.
...Namun, Yonekawa Nagisa melewatiku begitu saja. Aroma seperti buah persik samar-samar tercium di hidungku, dan rambut panjangnya yang lebat berkibar ditiup angin.
Lalu, dia memeluk erat gadis bungkuk yang bersembunyi di belakang.
"Rikka!"
Rikka-chan itu mengeluarkan erangan seperti kodok, "Guek!", dan dengan wajah merah padam, dia tersenyum menyeramkan.
"Ah... halo... Nagisa-san... hehe..."
"Astaga. Aku kesepian karena hari ini kita tidak bisa datang bersama."
"Ah... tidak... kalau orang sepertiku naik mobil yang sama... wajah Nagisa-san akan kotor..."
"Tidak begitu. Rikka itu sangat manis, kok."
Sambil menyaksikan kemesraan mereka dari dekat... aku merasa sedikit canggung.
Yumechin, yang melihat di sampingku, mencibir remeh.
"Kamu. Bukankah kamu terlalu percaya diri?"
"~~~~~~~~!"
Aku tidak bisa berkata-kata!
Tapi, di saat seperti itu wajar saja, kan? Wajar kalau aku salah sangka dan mengira aktris besar yang baru pertama kali bertemu denganku itu langsung terpikat oleh kecantikanku!
Sambil perlahan menjauh dari atmosfer yuri misterius itu, aku bertanya,
"Yumechin. Ini maksudnya apa?"
"Rikka itu, penata rias pribadi Yonekawa Nagisa, lho."
"Penata rias?"
Maksudnya, itu yang seperti...
Orang yang merias dan menata rambut aktor sebelum syuting drama atau semacamnya?
"Pekerjaan yang sering dilakukan oleh karakter kakak-kakak kuat dengan aura penuh intimidasi di anime itu, ya?"
"Aku tidak tahu imajinasi macam apa yang kamu punya, tapi intinya dia itu profesional di bidang riasan."
"Eh. Tapi Rikka-chan, dia sendiri tidak memakai riasan, kan?"
Aku langsung tahu begitu bertemu dengannya di kafe tadi.
Rikka-chan benar-benar tanpa riasan. Dia juga tidak peduli dengan rambut atau pakaiannya, jadi aku tidak bisa membayangkan dia bekerja di bidang yang berhubungan dengan kecantikan seperti itu.
Orang yang berkecimpung di bidang itu, secara alami akan memperhatikan penampilannya sendiri. Karena bagi seorang profesional kecantikan, itu adalah cara termudah untuk menunjukkan kemampuannya.
Yumechin mengangkat bahu sambil berkata, "Yah, aku mengerti maksudmu."
"Makanya dia spesialis Yonekawa Nagisa."
Ah, jadi begitu.
Bukan eksklusif, tapi spesialis.
Nuansanya, dia adalah penata rias yang khusus berfokus untuk membuat Yonekawa Nagisa terlihat cantik. Aku tidak tahu apakah hal seperti itu benar-benar bisa terwujud, tapi sepertinya itu memang benar. Karena kemesraan yang kulihat di depanku ini sudah membuktikannya.
Saat itu, Rikka-chan, yang sedang dimanja oleh Yonekawa Nagisa, mengerang kesakitan (tapi dengan ekspresi penuh ekstasi).
"Ah... Nagisa-san... Hari ini... itu... ke sana..."
"Oh?"
Arah tangan yang ditunjuknya adalah ke arah kami.
Yonekawa Nagisa melepaskan Rikka-chan, lalu mendekat ke arah sini. Kemudian, dengan senyum lembut, dia mencondongkan tubuh untuk melihat wajahku.
"Oh. Selamat siang."
"S-senang berkenalan dengan Anda..."
Senyumnya begitu elegan, seolah wajah terpesona tadi adalah bohong belaka. Ah, ya. Ini Yonekawa Nagisa yang kukenal.
Ketika dia menyibakkan rambut di dekat telinganya, samar-samar tercium aroma persik. Ini adalah aroma kosmetik yang konon menjadi favorit Yonekawa Nagisa. Dengan aura floral yang memancar, kami bertukar salam dengan tenang.
"Kamu siapa?"
"I-Inuzuka Himari..."
"Begitu, Himari-chan. Aku sudah mendengar ceritanya dari sutradara. Kamu datang untuk melihat syuting hari ini, kan?"
"Y-ya. ...Mungkin."
"Mungkin?"
"Eh, anu. Aku dibawa ke sini sama Kureha-san..."
Senyum Yonekawa Nagisa menegang sesaat.
Ada apa? Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh? Ketika aku merasa bingung... Kureha-san, yang sudah selesai menyapa sutradara, kembali mendekat.
Dan pada saat mata kedua wanita itu bertemu.
Udara bergetar dengan ketegangan.
Yang pertama membuka suara adalah Yonekawa Nagisa.
Dengan senyum paling menawan, dia melontarkan cibiran pada Kureha-san.
"Oh, kamu masih di Tokyo? Soalnya belakangan ini aku tidak melihatmu, jadi kukira kamu sudah pensiun dan kabur kembali ke kampung halaman."
Sedangkan Kureha-san.
Dia juga berkata dengan senyum seindah karya seni,
"Uh-fufufu. Jangan-jangan kamu berpikir kalau pekerjaanku hanya tampil di televisi, ya~? Kamu sadar tidak, kalau ucapan sarkasme itu justru memamerkan ketidaktahuanmu sendiri~?"
Hiiih.
Suasana macam apa ini? Yah, aku tahu sih, tapi tiba-tiba sekali begini membuatku terkejut. Rasanya seperti ada naga dan harimau gelap di belakang mereka berdua.
Aku berbisik pada Yumechin yang di sampingku, yang terlihat "astaga".
"Yumechin, Kureha-san dan Yonekawa Nagisa itu..."
"Kamu bisa lihat sendiri, kan? Mereka tidak akur."
"Kenapa?"
"Dulu, mereka berdua satu agensi. Usia mereka sebaya, dan mereka berdua cantik dengan tipe yang mirip. Meskipun bidang aktivitas mereka berbeda, Kureha-san di modeling dan Nagisa di drama, mereka sering dibanding-bandingkan di internet sejak dulu. Produser TV yang iseng bahkan pernah mengundang mereka ke acara yang sama..."
"Eh, cuma karena itu?"
Yumechin mengerutkan kening, lalu memegang bahuku dan membalikkan badannya membelakangi mereka berdua. Setelah itu, dengan suara yang lebih pelan, dia berbisik.
"...Karena Kureha-san lebih dulu terkenal, Yonekawa Nagisa sering disebut versi yang lebih rendah."
"Hmm, hmm."
"Di saat itu, entah di pesta minum-minum apa, sepertinya ada model baru yang mendekat dengan cara bodoh..."
"Cara bodoh?"
Yumechin mengangguk, lalu menirukan suara yang mirip.
"Seperti bilang ke Kureha-san, 'Tolong beri Yonekawa-san saran agar dia bisa laris, dong!' "
"Wah..."
"Memang ada saja orang yang mengatakan hal tidak sopan seperti itu hanya karena sedang minum. Nah, saat itu jawaban Kureha-san adalah..."
"Hmm, hmm."
Yumechin dengan serius berkata,
" 'Mungkin dengan membesarkan payudara, ya~?' "
...Aku menoleh ke belakang, membandingkan keduanya.
Stooon.
Baiin.
Aku menoleh kembali ke Yumechin.
"Jelas-jelas Kureha-san yang salah, kan?"
"Ya, tapi Kureha-san itu, kan, baru saja terkenal, jadi dia masih sedikit sombong. Dari situlah Yonekawa Nagisa semakin intens menganggapnya sebagai rival..."
"Tentu saja begitu! Aku juga pasti akan merasa ingin membunuhnya!"
"Lalu, dengan film dua tahun lalu, Yonekawa Nagisa sukses besar meskipun agak terlambat, kan? Sedangkan Kureha-san, popularitasnya sudah stabil dan dia semakin banyak melakukan pekerjaan di balik layar untuk memiliki agensinya sendiri... Yah, begitulah, eksposurnya berkurang..."
"Kureha-san memang punya sisi kekanak-kanakan seperti itu, ya..."
"Kamu tahu?"
Ya. Yah, karena sudah banyak yang terjadi, ya...
Sementara aku berbicara dengan Yumechin, perseteruan antara Kureha-san dan Yonekawa Nagisa semakin memanas.
"Susah, ya, datang ke lokasi syuting orang lain dan mati-matian mencari muka. Tapi percuma saja kalau mulai berakting sekarang, kan? Andai saja lemak tak berguna yang mengganggu itu bisa berbicara, menggantikan mulutmu yang hanya bisa bicara omong kosong, ya kan?"
"Ufufufu. Lemak tak berguna ini justru kadang lebih efektif daripada mulut, lho~? Tapi sayang sekali~ Kamu tidak akan pernah mengalaminya, jadi kamu tidak akan mengerti, ya kan~?"
"Ya, tentu saja. Soalnya yang berharga darimu cuma lemak tak berguna itu, jadi mau tak mau kamu pasti sadar, kan? Sebelum itu mengendur dan tidak bisa dipakai lagi, kenapa tidak cepat-cepat buka baju dan lakukan pekerjaan terakhirmu saja?"
"Sayang sekali~. Kulitku ini mahal, tahu~? Beda dengan seseorang yang cuma sekali tenar lalu hilang begitu saja, aku bisa tetap bertahan tanpa harus bergantung pada pekerjaan seperti itu~. Ah, iya~. Orang yang cuma sekali tenar mah, buka baju pun enggak ada yang mau~☆"
Apakah mereka anak SD?
Apa-apaan ini? Benarkah ini perang kata-kata antara model dan aktris populer? Konflik kotor di dunia hiburan bukannya seharusnya lebih rumit dan berupa perang strategi? Sejak tadi mereka berdua hanya membicarakan payudara!
Aku mulai khawatir, "Jangan-jangan kesan terhadap Yonekawa Nagisa akan berubah drastis sampai aku tidak bisa menonton dramanya lagi...", ketika akhirnya sang sutradara buru-buru melerai.
"Kureha-san~ Waktu syutingnya sudah mepet, nih..."
"Ah, maaf. Silakan dilanjutkan."
Pada saat itu, dia berubah drastis menjadi wanita dewasa yang anggun, seolah-olah sisi malaikat dan iblisnya adalah dua sisi mata uang yang sama. Wanita memang menakutkan.
Sang sutradara kemudian menoleh ke arah Yonekawa Nagisa.
"Yonekawa-san, tolong bersiap juga, ya."
"Baik."
Yonekawa Nagisa menjawab, lalu tiba-tiba melihat ke arahku.
"Himari-chan. Kamu juga, kemarilah."
"Eh? Aku?"
Untuk persiapan syuting? Kenapa?
Ketika aku terlihat bingung, dia tersenyum sedikit canggung.
"Itu sudah jadi perjanjiannya."
"Haaah..."
Melihat lokasi syuting drama.
Aku tidak paham maksudnya, tapi… untuk sementara, aku memutuskan mengikuti saja seperti yang dia bilang.
Lalu, Yonekawa Nagisa membawa aku dan Rikka-chan menuju ruang rias.
♢♢♢
Ruang ganti Yonekawa Nagisa.
Aku terintimidasi oleh suasana mesra yang luar biasa itu, sehingga aku meringkuk di sudut ruangan.
"Haaaaah... Nagisa-san... hari ini juga cantiikkk... Sudah pasti jadi pusaka negaraaa..."
"Terima kasih. Rikka juga manis, kok."
Sejak tadi, Rikka-chan dengan wajah meleleh karena terpesona, terus memuji Yonekawa Nagisa seperti dewi sambil meriasnya.
Sebaliknya, Yonekawa Nagisa juga tampak tersenyum senang. Tak seorang pun penggemar di seluruh negeri akan menyangka bahwa wanita secantik dan sedewasa ini bisa menginjak ranjau seperti itu hanya karena topik ukuran dada.
Aku benar-benar terabaikan.
Namun, aku juga tidak sampai tidak peka untuk ikut campur dalam percakapan mereka. Aku hanya mengamati mereka seperti yang diperintahkan.
(Kureha-san, apa yang dia pikirkan, ya...)
Hanya melihat-lihat... Dia bilang aku hanya perlu melihat Rikka-chan saja.
Lagipula, aku juga tidak begitu mengerti tujuan dipanggil ke Tokyo. Yah, tidak apa-apa. Kakakku juga bilang suruh pergi saja, pasti ada sesuatu. Entah itu akan berguna bagiku atau tidak...
(Tapi, entah kenapa aku tidak bisa menolaknya...)
Pokoknya, apa pun itu, tidak masalah.
Dia bilang akan mentraktirku makanan enak setelah ini selesai. Aku akan menghabiskan waktu dengan menantikannya. Tugas study tour juga, kalau melaporkan suasana ini pasti beres, kan? ...Eh? Tapi, bukannya drama itu ada kewajiban menjaga kerahasiaan ya? Tidak apa-apa?
Yah, aku bisa samarkan detailnya saja, kan! Kalau sudah terpojok, tinggal salahkan Kureha-san saja!
...Sambil berpikir begitu, aku kembali mengamati Rikka-chan yang sedang bekerja.
Di dalam tas selempang besar yang tergantung di pinggangnya, sepertinya berisi peralatan riasnya sendiri. Dia mengeluarkan kosmetik dan peralatan dari sana, lalu dalam sekejap menyelesaikan riasan wajah Yonekawa Nagisa.
(Dia cekatan sekali...)
Aku tidak bisa percaya kalau dia adalah orang yang sama dengan Rikka-chan yang tadi gemetaran. Yah, wajahnya yang terbawa perasaan juga sama.
Yang paling membuatku terkesan adalah Yonekawa Nagisa sama sekali tidak berkomentar.
Biasanya, dalam merias wajah, seseorang punya caranya sendiri. Ada kebiasaan, ada pula prinsip tersendiri. Mungkin wajar jika seorang profesional tidak mengeluh tentang pekerjaan sesama profesional... tapi aku merasa aneh melihat aktris populer dengan pengalaman panjang di industri seperti Yonekawa Nagisa, terlihat begitu mempercayai penuh riasan seorang gadis muda berusia sekitar dua puluh tahunan.
Selain itu, aku juga penasaran dengan perkataan Yumechin tentang spesialis Yonekawa Nagisa. Sepintas, riasannya tidak terlalu mencolok, tapi...
Tanpa menyadari apa yang kupikirkan, keduanya semakin bermesraan.
"Aaaaaah... Aku sudah tidak kuat... Terlalu mulia sampai ingin mati... Aku tidak ingin mengotori dunia tempat idolaku hidup dengan diriku yang kotor ini..."
"Kalau kamu mati, aku akan kesulitan, jadi Rikka juga harus hidup dengan tegar, ya."
"Terima kasihhh... Diakui oleh idola... Umurku bertambah..."
"Syukurlah. Kalau begitu, kamu bisa hidup untukku."
Ini gambaran seorang penggemar garis keras yang berinteraksi dengan idolanya, ya.
Rikka-chan bahkan sudah menangis karena terlalu emosional. Kalau dari caranya bicara tadi, bukankah mereka selalu bekerja sama? Apa setiap kali seperti ini?
Kemudian, melalui cermin, mataku bertemu dengan mata Yonekawa Nagisa.
"Himari-chan. Bosan, ya?"
"Ah, tidak. Sama sekali tidak kok... Ah. Tidak."
Menyadari kegugupanku, Yonekawa Nagisa tersenyum.
"Bicara senyamanmu saja. Gaya bicara santai juga boleh."
"Ah, kalau begitu, aku juga begitu pada Kureha-san... Ah."
Sial.
Aku keceplosan menyebut nama Kureha-san dan buru-buru menutup mulutku. Meskipun gugup, keceplosan mengucapkan kata-kata terlarang bisa gawat.
Tapi di luar dugaan, Yonekawa Nagisa hanya tertawa kecil.
"Aku tidak akan marah kok kalau kamu menyebut nama Kureha."
"Eh, benarkah?"
Rikka-chan juga mengangguk pelan dengan canggung.
"Tapi, tadi kalian kan bertengkar...?"
"Itu seperti sapaan saja. Selama kami bisa saling beradu mulut seperti itu, berarti pekerjaan dan kehidupan pribadi kami baik-baik saja."
"He-heee...!"
Menyimpang sekali!
"Kenapa tidak bertanya baik-baik saja, sih..."
"Hahaha. Seandainya dia punya masalah, menurutmu Kureha yang seperti itu akan mengaku dengan jujur?"
"Ah, pasti tidak akan."
"Begitulah."
Awalnya aku terkejut. Tapi memang benar, kalau menghadapi Kureha-san, cara itu mungkin yang terbaik.
Entah kenapa, ini terasa seperti aturan tidak tertulis di antara mereka berdua. Ngomong-ngomong, mereka bilang dulu seangkatan di agensi yang sama, ya. Entah kenapa, mereka saling memahami lebih dari sekadar kata-kata, dan aku jadi sedikit iri.
(Aku tidak bisa memiliki hubungan seperti itu dengan Yuu...)
Aku sudah mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi tiba-tiba teringat lagi.
Yuu sedang apa ya sekarang. Perjalanan ke Tokyo bersama Enocchi... Ah, Kureha-san mungkin bilang dia akan bertemu dengan rekan kreator di Tokyo.
"Kamu tidak membenci Kureha-san?"
"Benci. Dia egois, suka meremehkan orang lain, dan pada dasarnya bukan orang baik, kok."
"Ah, begitu, ya..."
Namun, bertolak belakang dengan ucapannya, Yonekawa Nagisa terlihat sedikit senang.
Rikka-chan juga menyeringai "uhehe...", tampak bahagia. Arti suasana antara mereka berdua dijelaskan oleh perkataan Yonekawa Nagisa selanjutnya.
"Tapi Kureha, aku menganggapnya teman baik."
"Kenapa?"
"Karena dia tidak akan meninggalkan orang yang berusaha keras."
Dari perkataan itu, aku merasakan sisi Kureha-san yang tidak kukenal.
"Dia yang mengenalkanku pada Rikka."
"Eh, benarkah?"
"Iya. Um... kapan ya itu?"
Saat ditanya, Rikka-chan menjawab,
"A-aku... setelah mendapat sertifikasi... di tempat kerja paruh waktu yang kedelapan... hehe..."
"Benar, benar. Saat Rikka berusaha keras mencoba bekerja paruh waktu di salon. Dia sering diusir dari toko, ya."
Apa-apaan itu?
Salon, berarti semacam salon kecantikan, ya. Kalau begitu, mungkin tempatnya cukup mewah. ...Rikka-chan benar-benar berusaha keras, ya.
"Tapi kenapa diusir?"
"A-aku... penata rambut... butuh kemampuan komunikasi... pelanggan... sering kubuat marah..."
"Benarkah?"
"Saat memotong rambut... tidak boleh membuat bosan... jadi..."
Oh, begitu.
Kalau aku, mungkin akan membiarkan pelanggan bicara apa saja dan sesekali menyahut. Tapi bagi Rikka-chan, mungkin itu sulit, ya...
"A-aku... waktu itu... dijemput oleh Kureha-san..."
"Setelah itu, dia diperkenalkan kepadaku—"
Saat itu, pintu ruang tunggu diketuk.
"Yonekawa-san. Apakah kamu sudah siap?"
"Ah, iya!"
Bersamaan dengan itu, Rikka-chan memasukkan kembali peralatan riasnya ke dalam tas selempangnya dan menutupnya dengan suara "klik".
Yonekawa Nagisa bangkit dari duduknya.
Drama kali ini bercerita tentang balas dendam seorang penipu wanita. Kostumnya adalah setelan jas biasa, dengan riasan yang membuat karakter wanita yang agak muram itu terlihat anggun dan kuat.
Yonekawa Nagisa kemudian meraih tangan Rikka-chan dan mengecup punggung tangannya.
"Kalau begitu, hari ini aku akan menampilkan akting terbaik."
"Ah... iya... hehe... Ciuman dari idol... umurku jadi pendek... uhehe..."
Rikka-chan pun mengikuti di belakangnya sambil tersipu-sipu.
Aku juga berniat mengikuti mereka... namun, saat hendak keluar dari ruang rias, Yonekawa Nagisa menoleh ke belakang.
"Ah, begitu, ya..."
"Eh? Ada apa?"
Kemudian dia berpikir sejenak.
Seolah berusaha menarik kembali ingatan lama... Kata-kata yang akhirnya terlontar adalah,
"Himari-chan, ya?"
"Y-ya, Himari, tapi..."
Ada apa ini?
Tiba-tiba aku dihadapkan pada krisis identitas. Jangan-jangan aku bukan Himari? Atau jangan-jangan aku terlihat seperti Yoshiko-chan? Siapa itu Yoshiko...?
Aku benar-benar bingung dengan tingkah lakunya yang tiba-tiba aneh.
Sebaliknya, Yonekawa Nagisa dan Rikka-chan saling pandang... dan bertukar senyum penuh makna.
"Um... Ada apa ini?"
Menanggapi kebingunganku, Yonekawa Nagisa berkata, "Oh, begitu, begitu," seolah mengerti sendiri, lalu tersenyum tipis dengan ekspresi canggung.
"Tidak, ini tentang Kureha. Aku berpikir aneh sekali dia meminta bantuan padaku. Dia orang yang tidak mau berutang budi meskipun dia sering memberi. Tapi, oh, begitu. Kamu Himari-chan, ya..."
"?????????"
Aku jadi semakin tidak mengerti.
Lalu Yonekawa Nagisa tersenyum lembut dan menyentuh pipiku.
"Himari-chan. Kureha itu, sangat menyukaimu, lho."
"Eh...?"
Rasa dingin merayap di punggungku.
Suka? Maksudnya? Kureha-san? Aku? Aku melangkah mundur terlalu jauh, dan tanpa sadar terjatuh ke belakang di antara tumpukan kostum dengan suara "BAFUM!".
Melihat tingkahku, Yonekawa Nagisa tertawa kecil sambil menggoyangkan bahunya.
"Bukan dalam artian begitu."
"Oh, benarkah? Syukurlah!"
Apakah ini drama rumit, seperti aku diincar oleh mantan pacar kakakku?
Terlepas dari kekhawatiranku yang berlebihan, Yonekawa Nagisa dan Rikka-chan tampaknya sudah puas dengan penjelasan mereka sendiri.
"Kamu sepertinya mencurigai Kureha, tapi tidak perlu begitu. Yah, memang benar ucapannya sering tidak jujur, jadi mungkin kamu tidak akan langsung mengerti."
"Ah... Kureha-san... tidak jujur..."
"Kalau kamu bilang begitu padanya, dia pasti akan menyangkalnya dengan berbagai kata-kata kasar."
"Uhehe..."
Ucapnya, lalu kali ini benar-benar membuka pintu ruang rias.
"Perhatikan baik-baik pekerjaan kami."
Dengan ekspresi cerah, Yonekawa Nagisa berkata demikian.
♢♢♢
Proses syuting berjalan lancar.
Studio yang menyerupai kedai kopi ini akan menjadi lokasi penting dalam drama kali ini. Kebijakannya, beberapa titik balik cerita akan selalu terjadi di tempat ini, artinya kedai kopi ini akan muncul berulang kali.
Sambil mendengarkan penjelasan Yumechin, aku mengamati dari sudut yang tidak mengganggu.
"Oh, jadi semua adegan di kedai kopi ini untuk semua episode drama, syutingnya dilakukan duluan, ya?"
"Betul. Apalagi aktris populer seperti Yonekawa Nagisa, jadwalnya padat sekali. Bolak-balik lokasi syuting menyesuaikan alur drama itu tidak efisien."
Para pemeran berulang kali bolak-balik lokasi syuting dan ruang rias, mengganti kostum setiap saat.
Riasannya pun disesuaikan dengan menambahkan sedikit perubahan, bukan hanya untuk mencerminkan perbedaan hari, tetapi juga untuk menggambarkan suasana hati pada saat itu.
Yonekawa Nagisa sepenuhnya menjelma menjadi pembalas dendam, melancarkan perang psikologis dengan lawannya di meja yang biasa digunakan di kedai kopi.
Meskipun percakapan mereka tidak terdengar, ekspresinya terlihat jelas dari tempatku. Dia menunjukkan wajah yang sama sekali berbeda setiap kali diperlukan. Tidak, bukan hanya ekspresi. Dia juga mengekspresikan perasaannya melalui gerakan tubuh yang kecil.
Bahu bergetar karena rasa superioritas melihat lawan bergerak sesuai keinginannya. Kaki menghentak lantai dengan ujung jari karena frustrasi saat sesuatu tidak berjalan lancar. Berulang kali memegang gagang cangkir, terlarut dalam pemikiran tentang strategi. Bahkan dari cara tatapannya bergerak, kegelisahannya terlihat.
Setiap tindakan itu menciptakan atmosfer di lokasi syuting. Dengan aktingnya saja, ketegangan para aktor dan staf lainnya meningkat.
Akting Yonekawa Nagisa dikatakan memiliki aroma persik.
Itu adalah aroma kosmetik favoritnya, dan setelah dia melejit, beberapa produk kolaborasi dirilis. Awalnya, itu hanyalah kosmetik biasa yang dijual di pasaran, tapi sekarang di kalangan anak muda, aroma persik dikenal sebagai identitas Yonekawa Nagisa.
Artinya, akting Yonekawa Nagisa memiliki realisme yang kuat, sampai-sampai aromanya pun bisa terasa.
Aku, yang pertama kali menyaksikan aktingnya secara langsung, juga terbawa dalam suasana tegang itu. Tanpa sadar, aku menelan ludah.
(Luar biasa...)
Inilah pekerjaan seorang profesional.
Yonekawa Nagisa memang terkenal agak terlambat, tetapi kemampuannya dinilai sangat meyakinkan.
Bahkan di masa-masa ketika dia tidak terlalu banyak mendapat sorotan, drama dan film yang dibintanginya sering menjadi pembicaraan. Namun, posisinya saat itu hanyalah sebagai aktris pendukung yang berprestasi.
Meskipun cantik, penilaian saat itu adalah dia tidak terlalu glamor.
Hingga saat itu, aktingnya jarang sekali mendapat sorotan. Bahkan jika pun mendapat sorotan, itu hanyalah sebagai pembanding—yang berarti dikutip untuk menonjolkan pemeran utama.
Ini adalah ironi bagi seorang aktris berbakat.
Pemeran utama, bagaimanapun juga, dituntut memiliki daya tarik yang mutlak.
Seorang wanita cantik yang andal berakting namun kurang bersinar.
Namun, hal itu berubah drastis saat dia menjadi sorotan—yaitu di film dua tahun lalu.
Saat itu, aku juga menontonnya di bioskop.
Itu sekitar setahun setelah aku mengenal Yuu. Karena film itu diadaptasi dari komik yang kusukai, aku menyeret Yuu untuk menontonnya.
Adegan perpisahan dengan pria tercintanya yang meninggal.
Dalam akting itu, untuk pertama kalinya aku merasakan aroma persiknya.
Tentu saja, bukan hanya aku yang merasakannya. Yuu juga mengatakan merasakannya, dan teman-teman sekelasku pun demikian.
Sejak saat itu, di kalangan para kritikus pun mulai digunakan istilah "aroma persik". Dalam setahun, istilah itu sudah sangat dikenal.
Tidak setiap kali dia muncul di layar.
Tapi, di adegan-adegan penting, aroma persik pasti tercium.
Hanya pada saat itu, layar menjadi berkilau, dan seolah-olah Yonekawa Nagisa benar-benar ada di sana, membuatku merasa seperti karakter dalam drama itu, hidup di dunia itu. Aku merasakan sensasi mendalam yang luar biasa.
Banyak orang berspekulasi tentang hakikat dari realisme itu, tapi... pada akhirnya, tidak pernah ada penjelasan langsung dari dirinya sendiri.
Dan syuting pun terus berlanjut.
Tentu saja, aku tidak tahu adegan seperti apa yang sedang mereka rekam. Semua orang berwajah serius, terus bekerja dengan tenang.
Namun, ada satu hal yang sedikit membuatku penasaran.
(Belum ada aroma persik...)
Melalui layar saja, aku bisa mendapatkan realisme setinggi itu.
Aku mengira akting yang sesungguhnya itu pasti sangat memukau.
Tidak, melihatnya di layar persegi televisi atau tablet itu berbeda dengan melihatnya langsung dari kejauhan di tempat yang luas. Di sini, Yonekawa Nagisa berada di tempat yang sangat jauh sehingga percakapannya tidak terdengar, dan akan sulit untuk melihat setiap detail aktingnya dari jarak sejauh itu.
Tapi, rasanya ada sesuatu yang kurang.
Akting Yonekawa Nagisa, menurutku, luar biasa.
Dia—atau lebih tepatnya, heroine yang diperankannya—berhasil menyampaikan dengan jelas apa yang dirasakannya dan apa yang ingin dilakukannya.
Mampu menyampaikan perasaannya kepada lawan main hanya bisa dilakukan dengan kemampuan akting yang tinggi, dan suasana di lokasi syuting memang terasa sangat hidup. Sutradara dan para staf sangat antusias memberikan arahan kepada Yonekawa Nagisa.
Rikka-chan, yang berada di depan kami, juga mendekat di sela-sela syuting dan memberikan kata-kata penyemangat dengan wajah terpana.
"Ah... Nagisa-san... Adegan tadi yang mau nangis... itu terbaik... hehe..."
"Terima kasih. Itu berkat riasan Rikka."
Keduanya tersenyum bersama, persis seperti suasana di ruang rias tadi.
Ya, syuting berjalan sangat lancar.
Tapi, rasanya ada yang kurang.
Apa sebenarnya perasaan aneh ini?
Saat aku diliputi kebingungan dengan sensasi misterius itu, Yumechin yang di sampingku berkata dengan ekspresi penuh tahu.
"Kamu. Merasa ada yang kurang, ya?"
"Eh? Ah, tidak..."
Aku tersentak karena pikiran tidak sopan yang sedang kupikirkan ketahuan.
"Yah, benar sih. Dibandingkan dengan predikat aktris populer, memang agak kurang, ya. Tapi kemampuan sejati Yonekawa Nagisa ada di mulai dari sini."
"Maksudnya?"
Jangan-jangan, maksudnya selama ini dia belum serius? Tapi, dia tidak terlihat asal-asalan atau menentang instruksi sutradara, kok...
"Bukan begitu. Yonekawa Nagisa itu stoik dalam bekerja. Dia selalu mencurahkan seluruh tenaganya untuk mendalami peran, dan melakukan syuting dengan tulus. Dalam hal itu, Kureha-san pun mengakuinya."
"Lalu, apa yang kurang?"
"Cara dia menggunakan bakatnya."
"Cara menggunakan?"
Pandangan Yumechin tertuju pada Rikka-chan.
Kursi cadangan yang disiapkan untuk Yonekawa Nagisa. Di sampingnya, Rikka-chan duduk dengan malu-malu dan bahagia melihat aktingnya.
...Seharusnya begitu.
Tanpa kusadari, sikap Rikka-chan telah berubah.
Dia menggigit kuku jempolnya, menatap lekat-lekat adegan syuting. Dengan raut wajah serius, seolah tidak ingin melewatkan setiap gerak-gerik Yonekawa Nagisa.
Selama ini dia memang hanya melihat Yonekawa Nagisa, tapi sekarang agak berbeda. Dia mirip seseorang... dan aku segera menyadarinya.
Dia mirip ibuku.
Bukan mirip si cantik awet muda yang biasa, tapi mirip wajahnya saat masuk hutan. Ibaratnya, wajah saat berburu. Dengan senapan berburu di bahu, dia terlihat siap untuk bertaruh nyawa.
Yumechin menghela napas.
"Ah, sudah mulai. Kalau begitu, mungkin ini sudah klimaksnya, ya."
"Klimaks drama?"
"Begitulah. Kita tidak tahu, tapi sepertinya mereka sedang merekam adegan yang paling seru secara keseluruhan."
Suasana di lokasi syuting juga sedikit menegang.
Meskipun sudah berjam-jam syuting, suasana justru terasa semakin meningkat. Klimaks keseluruhan... kualitas drama ini bisa sangat berbeda tergantung pada bagaimana adegan ini dibuat.
Akting Yonekawa Nagisa juga terasa semakin tajam.
Namun, aku masih tidak bisa menghilangkan perasaan ada yang kurang yang kurasakan sebelumnya. Tapi sebagai orang awam, aku tidak tahu apa yang kurang itu.
Sekilas, aku melihat sosok Kureha-san.
Dia mengamati adegan syuting dari tempat yang berbeda dengan kami. Pandangan matanya tertuju—bukan pada Yonekawa Nagisa, melainkan pada Rikka-chan.
Setelah menyadari hal itu, ada hal lain yang mulai terlihat.
Staf syuting juga sesekali melihat Rikka-chan. Awalnya kupikir itu kebetulan, tapi frekuensinya sedikit demi sedikit meningkat. Dengan raut wajah tegang. Bahkan sutradara pun terkadang mengalihkan pandangannya bukan pada pemeran, melainkan pada Rikka-chan.
Meskipun aku orang awam, aku merasakan keanehan pemandangan ini.
Pusat ketegangan yang mencekam itu—entah kenapa—bukanlah pemeran utama wanita, melainkan penata riasnya. Bahkan ada ilusi seolah gadis berusia sekitar dua puluh tahunan itu mengendalikan lokasi syuting ini.
Namun, Rikka-chan sendiri tampaknya tidak menyadari hal itu.
Seperti sebelumnya, dia hanya dengan sepenuh hati fokus pada akting Yonekawa Nagisa. Orang-orang di lokasi syuting entah kenapa memperhatikan Rikka-chan yang fokus pada setiap gerak-gerik Yonekawa Nagisa.
Pemandangan ini terasa janggal.
Rasanya seperti ini bukan syuting drama, melainkan syuting dokumenter tentang penata rias. Begitulah yang kurasakan.
Namun, syuting terus berlanjut.
Dari alur gerakannya, dapat disimpulkan bahwa adegan tersebut kemungkinan adalah saat heroine yang diperankan Yonekawa Nagisa berhasil membalaskan dendamnya dan terbebas dari masa lalu kelamnya.
Akhirnya, dia keluar dari kedai kopi.
Menoleh ke belakang, dia tersenyum kemenangan ke arah kamera.
Tidak ada aroma persik.
Aktingnya adalah Yonekawa Nagisa yang cakap tapi kurang bersinar.
Dalam diriku, perasaan ada yang kurang yang kurasakan sejak tadi semakin membesar.
Drama ini, pasti tidak akan menarik perhatian.
Saat itulah aku bahkan berpikir demikian.
Rikka-chan berdiri.
Seketika, lokasi syuting terdiam seiring dengan gerakannya.
Seolah sebuah video streaming dijeda. Seperti ada perintah, semua orang menghentikan gerakan mereka di tempat.
Bahkan aktris utama Yonekawa Nagisa pun menghentikan gerakannya. Para pemain lain juga, dengan tegang, menghentikan langkah mereka di tempat.
Di tengah suasana itu, hanya Rikka-chan yang terus melangkah maju.
Dia berjalan dengan gagah berani ke tengah lokasi syuting tempat kamera sedang berputar.
Tidak ada yang mencelanya.
Bahkan, seolah-olah sedang menyaksikan seorang ratu sedang lewat, mereka semua membisu dan menatap tajam tindakannya.
Dari posisiku, aku bisa melihat profilnya. Matanya terbuka lebar, hanya menatap Yonekawa Nagisa.
—Mata itu bersinar terang benderang.
Aku pernah melihatnya.
Mata pelangi yang digerakkan oleh dorongan kuat dan kegembiraan.
Mata yang sama seperti mata Yuu saat dia sedang mengerjakan aksesori.
Mata yang sangat kusukai.
"...."
Rikka-chan membuka tas pinggangnya sedikit kasar. Dia mengeluarkan perona pipi berbentuk stik dari sana, lalu membuka tutupnya.
Kemudian, dia berdiri di depan Yonekawa Nagisa dan menggambarkan satu garis pada area matanya. Warna yang sedikit lebih cerah. Warna persik yang cerah.
Lalu, dia berbisik pelan di telinga Yonekawa Nagisa.
"Nagisa-san... begitu saja... dengan sudut yang sama..."
Hanya itu.
Setelah mengatakan itu, dia kembali ke tempat duduk cadangannya.
Sebuah tindakan mendadak yang bisa dibilang agak aneh—merapikan riasan secara tiba-tiba.
Bukan pula atas arahan stiba-tiba
Bukan pula atas permintaan Yonekawa Nagisa.
Itu hanyalah sentuhan riasan kecil yang dilakukan oleh seorang penata rias biasa, sampai-sampai menghentikan syuting.
Seharusnya, ini bisa memicu keributan besar. Sutradara yang rencananya diganggu mungkin akan berteriak marah, staf syuting panik, dan manajer akan meminta maaf mati-matian.
Namun, tidak ada seorang pun yang mengatakan apa-apa.
Seolah-olah semua itu sudah sesuai rencana, mereka segera memulai kembali syuting. Para pemeran kembali ke posisi semula. Juru kamera bertukar kata singkat dengan sutradara, lalu kembali ke posisi syuting.
Akan tetapi, syuting yang dilanjutkan itu jelas-jelas memiliki atmosfer yang berbeda.
Ketegangan mencekam yang terasa sebelumnya telah sirna, digantikan oleh semacam semangat membara. Lokasi syuting yang sebelumnya sudah terasa hidup, kini diselimuti oleh rasa euforia yang jauh lebih kuat.
Adegan terakhir yang direkam sama persis.
Para pemain dan kamera, semuanya sama persis seperti tadi.
Heroine yang diperankan Yonekawa Nagisa berhasil membalaskan dendamnya dan terbebas dari masa lalu kelamnya.
Akhirnya, dia keluar dari kedai kopi.
Menoleh ke belakang, dia tersenyum kemenangan ke arah kamera.
—Aroma persik yang manis dan menusuk tercium.
Aku tersentak.
Apa ini? Apakah ini ilusi? Rasanya seolah aroma persik manis yang dipancarkan Yonekawa Nagisa tercium tepat di sampingku.
Tidak, ini pasti ilusi.
Pemandangan yang begitu indah itu membuat indra penglihatan secara otomatis merasakan aroma manis. Rasanya seperti Yonekawa Nagisa berdiri di depanku. Sebuah halusinasi seolah dia tersenyum padaku di hadapanku.
Saat menyadarinya, aku menelan ludah.
Sutradara berteriak, "Oke!"
Syuting hari ini telah usai.
Bersamaan dengan itu, Kureha-san, yang sedang menonton hasil rekaman, memanggilku.
"Himari-chan, kemarilah."
"............"
Setelah mendapat izin dari sutradara, aku hanya ditunjukkan adegan terakhir.
Yonekawa Nagisa menoleh ke belakang saat keluar dari kedai kopi, lalu tersenyum ke arah kamera. Wajahnya memang memancarkan aroma persik, membuatku tertegun.
Identitas di balik visual yang memukau itu—adalah perona pipi berwarna persik muda namun cerah yang terpoles di area matanya.
Itu adalah Rikka-chan.
'Realisme' yang disebut-sebut sebagai senjata Yonekawa Nagisa. Itu tidak hanya diciptakan oleh kemampuan aktingnya. Tapi juga oleh sentuhan riasan kecil yang diberikan Rikka-chan di balik layar.
Bakat yang mampu mengubah Yonekawa Nagisa yang piawai namun biasa-biasa saja menjadi 'Aktris Nasional Yonekawa Nagisa'.
Drama ini, pasti akan meledak.
Senyuman indah di adegan terakhir itu begitu memukau, membuatku yakin akan hal tersebut.
Sutradara juga tampak puas, lalu memberikan tepuk tangan meriah.
Mengikuti jejaknya, para staf pun ikut bersorak.
Bahkan bagi mata awam, visualnya begitu memukau hingga terasa mengesankan.
Saat aku tertegun, Yumechin berkata,
"Beberapa kalangan di dunia perfilman menyebut Rikka dengan julukan 'Gadis 3%'."
"3%?"
"Maksudnya, drama yang riasannya ditangani oleh Rikka untuk Yonekawa Nagisa, rating penontonnya pasti naik 3%."
"Ha? Apa mungkin begitu?"
"Entahlah. Sulit mengatakan apa-apa karena tidak bisa dibandingkan... Tapi memang benar, film dua tahun lalu yang riasannya pertama kali ditangani oleh Rikka adalah pemicu kesuksesan besar Yonekawa Nagisa. Sekarang, penunjukan Yonekawa Nagisa sebagai pemeran selalu disertai syarat bahwa Rikka harus menjadi penata riasnya. Sekaligus juga mendapatkan pemahaman dari sesama pemeran dan tim produksi agar gadis itu diizinkan ikut campur dalam syuting."
"............"
3%.
Angka itu tidak kecil dalam dunia drama. Di era distribusi digital seperti sekarang, rating penonton drama biasanya hanya sedikit di atas 10%. Jika benar-benar bisa menaikkan 3%... itu tak lebih dari sebuah dongeng.
"Tapi, kamu juga merasakannya, kan? Aroma persik yang tercium bahkan melalui layar."
"...Ya."
Aku merasakannya.
Adegan yang pertama kali terasa kurang, menjadi begitu gemerlap hanya dengan sentuhan perona pipi dari Rikka-chan. Ini bukan soal logika. Aku menyaksikan langsung bakat yang mampu menarik perhatian indra.
"Beberapa pemeran sangat membenci Rikka. Tentu saja. Pekerjaan gadis itu adalah mendorong Yonekawa Nagisa menjadi pusat dunia. Sekecil apa pun peran yang didapat, jika Rikka yang menangani riasan, dia akan mengalahkan pemeran utama. Dia adalah gumpalan egoisme yang akan menggunakan apa pun sebagai pijakan untuk membawa Yonekawa Nagisa ke puncak."
Aku akhirnya mengerti makna perkataan Yumechin sebelum syuting.
Penata rias spesialis Yonekawa Nagisa.
Dia tidak tertarik pada ketenaran dirinya sendiri. Bakatnya hanya didedikasikan untuk membawa Yonekawa Nagisa ke puncak.
"Tapi, gairah egois dan mementingkan diri sendiri itulah yang mengangkat karya seni ke ranah ilahi. Karena memahami hal itu, sutradara dan produser yang ingin meng-casting Yonekawa Nagisa tak pernah ada habisnya."
Di ujung pandangan itu.
Ketika Rikka-chan, yang ekspresi seriusnya tadi sudah hilang dan kembali ke wajah tergila-gila-nya, sedang luluh sambil berkata, "Haaah... Nagisa-san... hari ini juga yang terbaik..."
"Rikka, hari ini kamu juga luar biasa!"
"Ah... Nagisa-san..."
Yonekawa Nagisa memeluk Rikka-chan.
Di tengah kegembiraan syuting yang masih membara, dia melingkarkan kedua lengannya di pinggang Rikka-chan dan mengangkat tubuhnya. Kaki Rikka-chan yang mungil terangkat, dan dia pun buru-buru membalas pelukan Yonekawa Nagisa.
Diterpa sorakan dari sekeliling, mereka berdua hanya saling mengukuhkan ikatan satu sama lain.
Melihat mereka berdua, entah mengapa hatiku bergetar.
Pemandangan itu seolah mereka berdua adalah pusat dunia.
Ikatan yang tak bisa didefinisikan dengan nama cinta atau persahabatan, sebuah ikatan unik yang tak tertandingi.
Mereka menunjukkannya dengan begitu tulus, seolah mengguncang ingatanku dengan kuat.
Saat aku kelas dua SMP.
Di Moss Burger setelah festival budaya usai.
Di meja dekat jendela yang diterangi cahaya senja oranye yang lembut.
"Jadi, tunjukkan mata penuh gairah itu hanya padaku? Biarkan aku memonopolinya? Kalau begitu, aku akan menjual aksesori buatanmu sebanyak apa pun. —Mari kita jadi mitra takdir?"
Wujud kami yang kubayangkan saat itu...
—Pasti masa depan seindah ini, ya.
Saat aku terdiam, Kureha-san meletakkan tangannya di bahuku.
"Apakah kamu sudah dengar alasan Rikka-chan ingin menjadi penata rias?"
"...Belum."
Penata rias.
Bahkan tanpa melihat langsung, jelas bahwa itu adalah dunia yang gemerlap. Rikka-chan bilang dia berkali-kali gagal dalam pekerjaan paruh waktu setelah mendapatkan sertifikasi. Alasan gadis yang bahkan tidak pandai bergaul itu terus berusaha keras berkali-kali adalah—
"Dia bilang dia ingin menjadi seseorang yang bisa membantu Yonekawa Nagisa."
Kureha-san menatap dengan tatapan lembut yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"Drama pertama yang Yonekawa Nagisa dapatkan peran kecil. Meskipun tidak mencolok, dia sangat terampil dan penuh gairah, dan Rikka-chan tidak bisa mengalihkan pandangannya dari akting yang menunjukkan dia benar-benar menikmati pekerjaannya."
Ucapnya, lalu menyipitkan mata seolah bernostalgia.
"Awalnya, dia bekerja paruh waktu di salon tempat aku biasa datang. Kalau dilihat, dia memang gadis yang sama sekali tidak tertarik pada riasan. Meskipun begitu, dia punya bakat. Tapi bakat saja tidak cukup. Aku sering melihatnya dimarahi, dan kudengar dia sering diejek orang di sekitarnya. Aku pikir dia adalah gadis yang selalu ketakutan dan akan segera menyerah... Tapi impian untuk menjadi penata rias pribadi Yonekawa Nagisa itu, dia tidak pernah menyerahkannya."
Pasti ada hal lain yang bisa dilakukan demi idola.
Kita bisa mendukung secara finansial, bisa juga mendukung secara diam-diam.
Itulah seharusnya yang terjadi.
Namun, yang dipilihnya adalah—jalan untuk berjuang bersama.
"—Karena hanya ini yang bisa kulakukan untuk membuat orang itu bersinar lebih terang."
Aku menoleh ke belakang.
Berteriak ke arah Kureha-san.
"Kureha-san, tolong jadikan aku model nomor satu di dunia!"
Aku membungkuk dalam-dalam.
Menatap tanah, aku melanjutkan dengan putus asa.
"Aku tahu aku bicara seenaknya. Aku benar-benar minta maaf. Tapi aku ingin menjual banyak aksesori buatan Yuu. Karena itulah yang sebenarnya ingin kulakukan—jadi, tolong berikan aku kekuatan untuk mewujudkannya!!"
Tanpa kusadari, pandanganku mulai kabur.
Perasaan tulus yang membeku dalam hatiku, perlahan-lahan mulai mencair.
Ini benar-benar permintaan yang tidak tahu malu.
Di liburan musim panas, tangan yang pernah kutepis sendiri.
Meminta untuk diberi lagi, sifat egoisku sama sekali tidak berubah.
Aku tidak menyadarinya saat itu, bahwa itulah yang benar-benar kubutuhkan.
Cinta dengan cahaya yang begitu terang, telah membutakan mataku.
Itu hancur—seharusnya tidak ada apa-apa lagi, tapi yang tersisa dalam diriku.
Rapuh.
Terus membara.
Namun selalu ada, dengan pasti.
Api gairah yang mengagumi Yuu saat aku SMP—ada juga di dalam diriku.
Aku takut melihat wajah Kureha-san.
Tatapan meremehkan macam apa yang akan ia berikan padaku.
Aku tahu, mengatakan hal ini sekarang tidak akan dipercaya, tapi—
"Himari-chan. Angkat kepalamu."
Sebuah tangan lembut menyentuh pipiku.
Mengikuti arahannya, aku mengangkat pandangan—
Kureha-san, tersenyum dengan tenang.
"Aku akan memberimu kehidupan terbaik."
...Pada akhirnya, aku merasa dia berhasil memanfaatkanku.
Aku sendiri berpikir betapa sederhana, konyol, dan bodohnya aku ini.
Tapi sekarang aku mengerti.
Di jalan yang gelap gulita ini, aku bisa melihat cahaya yang menuntunku.
Meskipun aku sudah sangat terlambat untuk memulai.
Mulai sekarang, aku akan mengejar Yuu dan yang lainnya yang sudah jauh di depan.
Pasti akan jauh, sulit, dan sangat melelahkan.
Pasti akan ada banyak rintangan yang membuatku hampir menyerah.
Tapi aku, tidak akan pernah salah lagi.
Dengan kecemburuan yang egois ini.
Dengan dahaga yang tak berguna ini.
Aku akan mewujudkan ambisiku.
Previous Chapter | ToC |
Post a Comment