Penerjemah: Nobu
Proffreader: Nobu
Prologue
Gadis Kecil
♣♣♣
"Hahahahahaha! Kupikir kamu adik yang bodoh, tapi kalau sampai sebodoh ini, aku jadi bisa tertawa! Kamu ini sudah seperti monumen alam! Mungkin aku harus mengajukan permohonan agar kamu terdaftar sebagai objek dilindungi!"
Natal.
Dua puluh lima Desember.
Setelah perpisahan dengan Himari.
Tepat ketika tanggal berganti, Saku-neesan yang bekerja paruh waktu di minimarket pulang.
Dia mengerutkan kening melihat kondisi ruang keluarga yang berantakan—piring-piring terbalik dan camilan berserakan. Setelah mendengar alasannya, dia pun tertawa terbahak-bahak.
Saku-neesan, tanpa merasa bersalah sedikit pun, menyeka air matanya dengan jari dan berkata,
"Ah, rasa lelah kerja langsung hilang. Adik bodoh, ternyata sesekali kamu berguna juga."
"Berisik. Aku sudah setengah mati sedih begini, bisakah kamu berhenti bicara seperti itu?"
"Kamu selalu menggunakan keberuntunganmu, sesekali merasakan sakit itu baik juga."
"Bukan berarti aku selalu beruntung..."
...Tidak, benar juga.
Memang, sampai saat ini aku terlalu beruntung.
Jika aku menganggapnya sebagai hal yang lumrah, wajar saja jika ada balasan seperti ini.
Saku-neesan meletakkan ayam goreng yang dibawanya dari minimarket di meja, lalu mengambil sebotol anggur dari kulkas. Kacang Polippy dan keju juga tak ketinggalan.
...Sepertinya dia berencana minum-minum sambil menjadikanku hiburan atas kisah patah hatiku. Benar-benar kakakku. Tidak ada sedikit pun belas kasih. Rasanya aku ingin menangis.
"Oh, aku menemukan kue!"
"Itu..."
"Hmm? Tidak boleh dimakan?"
"...Tidak, kamu boleh memakannya. Kue itu dibuat di rumah keluarga Enomoto-san, jadi rasanya sudah pasti terjamin."
Saku-neesan berkata, "Kue berbentuk tangan ini inovatif sekali, ya. Jangan-jangan ini 'Attack on Titan'..." sambil tanpa ragu memotongnya di atas piring.
Kue original yang kubuat untuk Himari.
...Tapi, ini bukanlah yang Himari inginkan.
"Saku-neesan, kukira kamu akan marah."
"Kenapa?"
"Yah, Saku-neesan kan selalu membela Himari."
Saku-neesan selalu bilang, "Hargai Himari."
Maka dari itu, aneh rasanya dia bersikap biasa saja...
"Kalau demi kebaikan Himari-chan, berpisah memang pilihan yang tepat, kan?"
"Eh..."
Saku-neesan menuangkan anggur merah ke cangkir teh, lalu meneguknya dengan cepat.
Saku-neesan,begitu terbiasa minum sendirian, bahkan aku yang di bawah umur ini saja berpikir, tidak ada seninya sama sekali, dia lalu mengarahkan sisa ayam goreng dari minimarket ke arahku.
"Kamu itu, dari sananya memang tidak cocok untuk urusan percintaan."
"T-tidak cocok itu apa maksudnya?"
"Ya, sesuai artinya. Sama seperti kamu yang selalu tidak bisa tepat waktu, atau tidak bisa membersihkan kamarmu. Kadang memang ada orang yang secara sifat tidak cocok untuk percintaan. Tipe yang pandai dalam pekerjaan atau hobi, tapi entah kenapa dalam hal cinta selalu membuat pasangannya tidak bahagia."
"Kutukan macam apa itu? Memangnya ada orang seperti itu?"
"Bukankah ada contoh bagus di dekatmu?"
"Eh?"
Orang yang tidak cocok untuk percintaan? Di dekatku?
Saat aku sedang berpikir, Saku-neesan mendengus geli.
"Kureha dan Hibari-kun."
"............"
Wah...
Entah mengapa, begitu mendengarnya, tiba-tiba aku merasa sedih. Akankah sepuluh tahun lagi aku akan menjadi seperti mereka? Tidak, aku menghormati mereka dan merasa terhormat, sih. Tapi aku ingin menjadi dewasa yang tidak sampai menganggap orang lain sebagai adik ipar...
"Hibari-kun itu, dia cakap dalam pekerjaan dan juga pengertian, tapi kenapa ya kalau urusan cinta jadi keras kepala begitu. Dulu aku kaget sekali saat mereka berdua putus menjelang kelulusan kuliah. Kamu mungkin tidak bisa membayangkannya, tapi mereka dulu sangat serasi, lho."
"............"
Aku tidak tahu banyak tentang mereka berdua.
Hibari-san memutuskan untuk bekerja demi kota ini.
Kureha-san tidak menyerah pada mimpinya untuk sukses sebagai model.
Jika dibilang karena tidak cocok, ya sudah begitu. Tapi seharusnya mereka bisa saja memilih untuk tetap bersama. Jika salah satu mengalah... Namun, aku jadi tahu bahwa itu tidak mudah.
Saat aku tenggelam dalam pikiranku sendiri, Saku-neesan berkata,
"Sudahlah."
Mendengar kata-kata itu, aku mengangkat wajah.
Saku-neesan, tanpa perubahan ekspresi, melanjutkan dengan nada bicaranya yang biasa.
"Kamu, biarkan saja seperti ini. Aku tidak marah kok. Malah akan lebih merepotkan kalau kamu menyesal dan berusaha menahan Himari-chan."
"Merepotkan apa maksudnya..."
"Memang begitu, kan? Kalau kamu minta maaf pada Himari-chan sekarang dan membatalkan perpisahan kalian, toh nanti kalian akan bertengkar lagi karena hal yang sama. Kamu itu memang begitu orangnya. Pada akhirnya, kamu punya temperamen yang tidak bisa hidup hanya dengan cinta."
"............"
Kata-kata itu menusuk hatiku dalam-dalam.
Hanyalah sebuah kebenaran.
Aku tidak bisa hidup hanya dengan cinta.
Seolah menjadikannya sebuah pelajaran, Saku-neesan melanjutkan,
"Teruslah maju. Jadikan kegagalan sebagai bekal, dan sempurnakan dirimu."
Mata Saku-neesan tampak menatap jauh ke suatu tempat.
Bukan menatapku.
Entah ke mana... mungkin dia sedang memikirkan Himari, atau mungkin dia sedang mengenang kenangan masa lalu yang jauh.
"Himari-chan juga, biarkan dia maju dengan caranya sendiri. Bahkan jika jalan kalian tidak akan pernah bersilangan lagi, pengalaman ini akan menjadi bekal baginya. Semoga itu bisa menjadi sedikit balas budi."
Kata-kata itu memancarkan kebijaksanaan dari pengalaman hidup yang lebih panjang dariku.
Jika sekali berbeda, mungkin tidak akan pernah bersilangan lagi. Saat aku mengatakan pada Himari, "Aku tidak mengizinkanmu kembali ke 'you'," aku sama sekali tidak memikirkan kemungkinan itu.
Apakah aku telah melakukan kesalahan?
Atau, apakah memang lebih baik seperti ini, seperti kata Saku-neesan?
Aku tidak akan membelenggu bakat Himari padaku. Ini adalah hal yang Kureha-san katakan padaku saat liburan musim panas. Dipikir-pikir lagi, Kureha-san telah menjalani hidup yang jauh lebih bergejolak dariku, dan pengetahuannya yang luas tak diragukan lagi.
Apa yang Kureha-san katakan itu kini terbukti benar.
Jika dibandingkan dengan itu, pilihan ini tidak salah.
Demi kebaikan kami berdua... demi Himari, inilah yang benar untuk dilakukan.
Jadi, aku harus menatap ke depan.
Entah mengapa aku mengerti apa yang ingin Saku-neesan katakan... mungkinkah dia mencoba menyemangatiku? Memikirkan itu, aku merasa sedikit berterima kasih.
"Saku-neesan. Terima kasih..."
Saku-neesan meneguk anggurnya dan menghela napas seperti seorang pria tua.
"Ah, dengan begini, selama liburan musim dingin, shift di minimarket bisa diisi olehmu. Kalau tidak main dengan Himari-chan, toh kamu tidak ada urusan lain, kan? Aku juga bisa sedikit bersantai, deh."
"Saku-neesan..."
Hancur sudah semua.
Orang ini memang begini, ya. Kenapa pula aku jadi terbawa suasana melankolis dan hampir saja berterima kasih, sih?
"Eh? Ada perlu apa?"
"Tidak, aku ini pembuat aksesori..."
"Kamu tidak bisa fokus membuat aksesori kalau mentalmu lagi terganggu, kan? Kamu itu tipe orang yang tidak bisa melakukan pekerjaan dengan baik kalau tidak melibatkan perasaan."
"Benar juga...!"
Meskipun sudah busuk, dia tetaplah kakak kandungku, dan dia mengenalku dengan sangat baik.
Saku-neesan mengobrak-abrik kardus berisi produk kedaluwarsa, lalu dengan sigap membuka bungkus keju stik ikan. ...Orang ini, meskipun cantik, selera camilannya benar-benar seperti bapak-bapak. Dia mengibaskan sebatang keju stik ikan ke atas dan ke bawah, lalu mendengus.
"Lagipula, selama sekitar setengah tahun ini, karena kamu bilang akan berusaha keras membuat aksesori, aku yang menggantikanmu, kan? Jadi selama liburan musim dingin ini, berbaktilah kepada kakakmu."
"Baik..."
Untuk hal itu, aku benar-benar tidak bisa berhenti bersyukur, Kakakku yang baik hati.
Setelah selesai membersihkan ruang keluarga, aku berniat kembali ke kamarku. Hari ini terlalu banyak kejadian—mulai dari membantu di rumah keluarga Enomoto-san siang hari, hingga keributan dengan Himari di malam hari.
...Jujur, aku tidak yakin bisa tidur. Besok pagi ada jadwal shift kerja paruh waktu, jadi setidaknya aku harus tidur.
Saat aku hendak keluar dari ruang keluarga, Saku-neesan tiba-tiba teringat sesuatu dan berkata, "Ah!"
"Mulai besok akan ada karyawan paruh waktu jangka pendek. Kamu yang jadi pembimbingnya, ya."
"Eh... Aku tidak cocok untuk hal seperti itu."
"Jangan sok pilih-pilih begitu. Dia masih pelajar, jadi kamu yang umurnya lebih dekat dengannya akan lebih baik."
"Justru itu membuatku makin tegang..."
Padahal kalau orangnya lebih tua, aku tidak perlu terlalu sungkan.
Saat aku masih enggan, Saku-neesan tersenyum licik sambil mengayun-ayunkan chītarā (keju stik ikan) yang ada di mulutnya.
"Gadis manis, lho?"
"Eh? Kamu pikir aku akan semangat cuma karena informasi itu?"
"Begitulah. Berkat Himari-chan dan Rion-chan, matamu jadi anehnya makin 'berkelas', ya. Sungguh hal yang mewah."
"Sudahlah, jangan begitu..."
Saat aku menunjukkan ekspresi jengkel, Saku-neesan mengangkat bahu.
"Tapi, pengalaman membimbing karyawan baru itu penting. Kalau nanti tidak ada Himari-chan, siapa yang akan mengurus karyawan paruh waktu saat kamu punya toko sendiri?"
"Ah..."
Benar juga.
Jika aku terus mengejar mimpiku, aku harus melakukannya sendiri. Pekerjaan yang selama ini ditangani Himari, tentu saja, sekarang akan menjadi tanggung jawabku.
Sendiri?
Selama ini, aku membuat aksesori demi bisa bersama Himari.
Kini, tujuan itu lenyap. Lantas, mengapa aku harus terus membuat aksesori?
Karena aku suka bunga?
Tidak. Aku memang suka bunga, tapi itu tidak berarti sama dengan bercita-cita menjadi pencipta aksesori. Jika hanya suka bunga, ada juga pilihan untuk menjadi penjual bunga segar.
Mengapa aku ingin membuat aksesori?
Aku berpikir ulang.
Awalnya, itu karena pengaruh Enomoto-san.
Aku jatuh cinta pada Enomoto-san kecil, dan aku mulai berharap bisa memberikan bungaku padanya.
Kemudian, aku bertemu Himari, dan mulai membuat aksesori untuknya.
Aku terus membuat aksesori karena aku tidak ingin kehilangan Himari, pasangan yang memahami semangatku.
Benarkah hanya itu?
Apakah aku membuat aksesori hanya karena tidak ingin kehilangan pasangan yang memahami semangatku?
Jika begitu, seharusnya tidak harus Himari.
Enomoto-san pun memahami semangatku.
Selama beberapa bulan ini, dia juga berusaha keras sebagai rekan di "you."
...Apakah ada alasan bagiku mengapa harus Himari?
(Untuk apa aku akan terus membuat aksesori mulai sekarang...?)
Saat aku sedang tenggelam dalam pikiran, Saku-neesan berkata,
"Anak magang jangka pendek yang akan datang mulai besok, ya."
"Eh?"
Aku menoleh, dan Saku-neesan menjentikkan jarinya pelan ke cangkir teh.
"Dia akan jadi orang yang cukup menarik bagimu."
"Menarik?"
Aku bertanya balik karena tidak mengerti maksudnya, namun Saku-neesan hanya mengangkat bahunya.
"Sudah, tidur saja hari ini."
"Ah, iya..."
Ada sesuatu yang terasa mengganjal, tetapi aku menurutinya saja.
Aku menaiki tangga dan masuk ke kamarku.
Aku menatap tajam gumpalan bulu putih yang bertengger angkuh di atas tempat tidur. Kucing putihku, Daifuku, menguap lebar dengan wajah menyebalkan.
"Daifuku. Minggir sana."
"............"
Dia berguling, lalu dengan sengaja meregangkan tubuhnya hingga memperluas area. ...Kucing ini, pasti mengerti bahasa manusia.
Saat aku merentangkan kedua tangan untuk menyingkirkan Daifuku, dia menggeram "Sshaa!" dan mengancam dengan cakarnya.
"............"
Aku memaksakan diri masuk ke tempat tidur. Kalau begini, harus pakai cara paksa. Memanfaatkan ukuran tubuh manusia, aku akan memperluas wilayahku, fu ha ha ha... Aduh, sakit! Jangan mencakar, dong!
"...Haa."
Aku menghela napas, menatap langit-langit.
Sambil mengelus punggung Daifuku yang sudah tenang, aku merenung.
...Mulai sekarang, untuk apa aku akan membuat aksesori?
Aku ingin menjadi pencipta aksesori yang diakui semua orang.
Perasaan itu masih tetap ada di dalam hatiku, tak berubah.
Untuk itu, aku telah mencoba berbagai hal dan berulang kali mengalami jatuh bangun. Mustahil rasanya aku tidak memiliki tekad itu lagi sekarang. Tapi, apa sebenarnya alasan untuk mengejar mimpi itu?
Meskipun Himari sudah tiada, apa ya alasan bagiku untuk terus membuat aksesori?
♣♣♣
Ketika aku tersadar, jendela sudah terang benderang.
Sudah pagi rupanya. Sepertinya aku tertidur setelah memikirkan banyak hal. Jujur, tubuhku sama sekali belum pulih dari kelelahan.
Aku keluar kamar dan mencuci muka. Karena hari ini akan seharian bekerja paruh waktu, hoodie biasa sepertinya sudah cukup. Ruang keluarga kosong. Seperti biasa, aku memanggang roti tawar sisa penjualan, mengolesinya dengan margarin, lalu memakannya.
Ketika aku menyalakan televisi, berita pagi yang biasa sedang tayang. Meskipun tidak seantusias kemarin, ada liputan tentang toko kue Barat terkenal di Tokyo.
...Pagi setelah putus dengan pacar pertamaku pun, adalah pagi yang damai seperti biasa.
Entah kenapa, cinta itu sungguh luar biasa. Seharusnya menjadi peristiwa besar dalam hidup, tapi setelah berakhir, benar-benar tidak ada yang tersisa. Seperti monster hantu dalam game. Yang tidak menjatuhkan kotak harta karun setelah dikalahkan. Duh, kenapa pula perumpamaannya seperti itu?
Ah, entahlah. Akankah perasaan melankolis ini juga akan menjadi 'biasa' bagiku seiring berjalannya waktu...? Ketika aku memikirkan hal bodoh seperti, "Eh? Jangan-jangan aku punya bakat menulis lirik lagu, ya?" dengan kepala yang kurang tidur, bel rumah tiba-tiba berbunyi.
"...Paket pengiriman, ya?"
Apakah Saku-neesan memesan sesuatu secara online? Ah, atau mungkin hadiah akhir tahun untuk Ayah... Tapi biasanya dikirim ke minimarket, sih. Yah, apa pun itu. Yang penting harus dibuka.
"Ya. Siapa... eh?"
Aku membuka pintu depan—dan terdiam.
Seorang gadis berkepang dua yang entah mengapa terlihat familiar berdiri di sana.
Dia adalah Shiroyama Mei-san.
Seorang gadis SMP, yang saat festival budaya musim gugur mengagumi Himari dan ( bisa di bilang?) jadi muridnya. Sekilas, aku mengira dia anak orang kaya karena mengenakan pakaian santai yang modis. Dia mengenakan topi baseball sambil membawa ransel besar. Pakaian itu sangat cocok dengan tubuhnya yang mungil.
Mengapa Shiroyama-san ada di rumahku?
Ada urusan apa, ya? Ah, jangan-jangan dia sebenarnya mau ketemu Himari, tapi salah datang ke tempatku... Tapi kalau begitu, aneh juga dia bisa tahu alamatku...
Saat aku berpikir sendiri, Shiroyama-san berkata dengan senyum ceria yang lebar.
"Yuu-senpai! Aku datang untuk magang sambil tinggal di sini!!"
...Begitu rupanya.
Natal, setelah aku putus dengan Himari.
Pagi-pagi sekali Shiroyama-san datang.
Ditambah lagi, dia datang untuk magang sambil tinggal di sini.
Jumlah informasi yang membludak ini—aku akhirnya benar-benar mengerti.
Pasti aku masih bermimpi, nih!
Post a Comment