Penerjemah: RiKan
Proffreader: RiKan
Chapter 4
Ratu yang Lepas Kendali
Sambil memperhatikan Hayashi dan Kasahara berjalan di depanku, aku menghela napas pelan, merasa sedikit tertekan. Kami sedang dalam perjalanan menuju apartemen Kasahara untuk pesta takoyaki.
Kalau dipikir-pikir, ini sebenarnya pertama kalinya aku pergi ke rumah teman untuk menghadiri pesta. Awalnya, aku bahkan sedikit antusias. Tapi berkat perkataan Hayashi di supermarket tadi, perasaan itu langsung lenyap.
Jujur saja, ini mulai terasa merepotkan.
Hayashi itu... selalu saja ikut campur dalam urusan orang lain...
“Kamu suka Akari, kan?”
Apakah perasaanku terhadap Kasahara terlihat begitu jelas?
Ini benar-benar menyebalkan...
Aku tak pernah membayangkan sisi cerewet ala kakak perempuannya Hayashi bakal diarahkan padaku sekarang...
Dia pasti akan melakukan sesuatu yang aneh saat pesta nanti.
Aku memelototi Hayashi yang berjalan di depan, mencoba mengiriminya pesan telepati: Jangan lakukan hal aneh. Jangan lakukan hal aneh.
Entah tatapan psikisku berhasil atau tidak, Hayashi menoleh ke belakang.
Tak kusangka mata kami benar-benar bertemu. Tapi, yah... justru bagus.
Aku menggerakkan bibirku tanpa bersuara:
(Ja-ngan la-ku-kan hal a-neh.)
Hayashi sempat tampak bingung, lalu seperti mendapat ide.
Dengan hati-hati agar tidak dilihat Kasahara, dia mengacungkan jempol padaku.
Ini gawat.
Dia sama sekali tidak mengerti maksudku!
Kalau dia benar-benar paham bahwa aku ingin dia menghentikan rencananya dari supermarket tadi, tak mungkin dia tersenyum seperti itu.
T-Tidak, mungkin aku salah...
Mungkin kali ini Hayashi benar-benar mengerti maksudku.
‘Kan?
Ayolah, kau ngerti, ‘kan?
...Hah?
Hayashi mulai membalas dengan gerakan bibir tanpa suara.
Hah?
Haaaaah!?
(Se-rah-kan pa-da-ku.)
Dia sama sekali tidak mengerti maksudku sejak awal...
Dia pikir aku minta apaan!?
“Kita sudah sampai,” katanya sebelum aku sempat menghentikan aksi gilanya.
Kami sudah tiba di tempat tinggal Kasahara.
Apartemennya berjarak sekitar 30 menit jalan kaki dari tempatku. Kalau naik kereta, mungkin sekitar dua stasiun.
Bangunannya dari beton bertulang dengan sistem keamanan auto-lock.
“Tempat yang bagus,” ujarku, melupakan semua perdebatan dengan Hayashi sesaat.
“Orang tuaku menyuruhku cari tempat yang ada auto-lock-nya. Kami cari bareng waktu itu.”
“Oh ya? Bangunannya udah berapa tua?”
“Eh? Nggak tahu.”
“Hmm, gitu.”
Kau tidak memeriksa umur bangunannya? Pikirku, tapi kalau kurasa mengatakan itu akan merusak suasana yang sudah cukup canggung ini, jadi kupendam saja.
Yah, mungkin kebanyakan gadis memang tak terlalu peduli soal begituan.
“Seharusnya kamu tetap periksa umur bangunannya,” celetuk Hayashi tiba-tiba.
“Hah? Benarkah? Selama masih layak huni, nggak masalah kan?”
“Salah besar. Usia bangunan bisa sangat berpengaruh ke harga sewa. Dan makin tua bangunannya, makin meragukan juga ketahanannya terhadap gempa. Setidaknya kamu harus punya batasan yang jelas tentang apa yang kamu anggap nggak masalah.”
“Megu, wawasanmu sangat luas!”
Mata Kasahara berbinar.
...Sejak SMA dia memang selalu seperti itu—langsung mengiyakan semua yang dikatakan Hayashi. Jujur, kadang terasa seperti sekte. Sedikit menyeramkan.
Tapi aku tak menyangka Hayashi bakal peduli pada hal semacam usia bangunan.
“Yah, orang tuaku sama sekali nggak ngasih aku 1 yen pun untuk uang sewa! Jadi aku harus meneliti semuanya sendiri!”
Oh... jadi alasannya uang, ya.
Yah, itu menjelaskan semuanya.
...Kalau kupikir-pikir, dia sesekali memang berhemat dan cukup terampil dalam urusan rumah tangga.
“Kamu benar-benar seperti ibu rumah tangga.”
“Diam kau, Yamamoto.”
Langsung kena sembur.
Setelah dia membuka kunci auto-lock, dan melewati pintu, kami menuju lift.
“Lantai berapa?”
Aku berdiri di depan tombol dan bertanya pada Kasahara.
“Lantai dua.”
Ngomong-ngomong, soal etika, orang dengan posisi terendah dalam kelompok biasanya berdiri di dekat tombol lift.
Dengan kata lain, tempatku sedang berdiri.
Itu membuatku tampak seperti anggota kasta terendah di antara kami bertiga... dan sayangnya, memang begitu kenyataannya. Menyedihkan, tapi benar.
“Makasih, Yamamoto-kun.”
Kasahara mengucapkan terima kasih saat aku menahan tombol “open”.
“Mm.”
Hayashi juga menunjukkan penghargaannya.
Bagi Hayashi, satu “Mm” adalah bentuk terima kasih tertinggi. Mungkin. Entahlah.
“Ini kamarku,” kata Kasahara, membimbing kami ke kamar paling ujung di lantai dua.
“Ayo masuk.”
“Mm.”
“Terima kasih sudah mengundangku.”
Apartemen Tokyo dengan sistem auto-lock...
Dari tata letaknya... ini 1K. Melihat kondisi ruangan, sepertinya dibangun dalam sepuluh tahun terakhir.
Setelah berjalan sekitar 30 menit dari tempatku, aku menyadari stasiun terdekat berada di jalur kereta yang langsung menuju ke pusat kota.
“Biaya sewanya sekitar 80.000 sampai 90.000 yen?”
“Eh!? Megu, kok bisa tahu!?”
Tebakanku hampir sama.
Sering terdengar cerita soal orang tua yang ingin putrinya tinggal di tempat dengan sistem keamanan auto-lock... tapi tetap saja, tempat tinggalnya cukup mewah.
“Gimana, Yamamoto?”
Tiba-tiba, Hayashi menyikutku dari samping.
“Keluarga Akari kelihatannya cukup kaya, ya?”
Dia menyeringai. Apa ini bagian dari rencana “dukung Yamamoto dan Kasahara” yang dia bicarakan sebelumnya?
...Langkah pertamamu begitu?
Bukan pujian soal kepribadian Kasahara—tapi soal kondisi finansial orang tuanya?
Maksudku, oke, terserah... tapi sebagai sahabat, mestinya kau bisa pilih pujian yang lebih baik dari itu.
Saat aku diam-diam mengomel dalam hati, aku sadar Kasahara sedang menatapku.
“Ada apa?”
“Tadi sudah kubilang, kan? Kamu laki-laki pertama yang kuajak ke apartemen ini.”
“Lantas?”
“Itu menjadikanmu ‘yang pertama’ lagi bagiku, Yamamoto-kun.”
“Kau ngomong yang aneh-aneh lagi...”
Aku mencoba terdengar kesal, tapi dalam hati jantungku berdebar. Aku memang pria gampangan.
Saat aku melirik ke samping, Hayashi memberiku seringai yang mirip dengan milik Kasahara tadi.
...Ini sungguh tak nyaman. Aku ingin pulang...
“Yosh, ayo mulai!”
“Oke!”
Meski aku ingin pergi, tujuan kami ke sini adalah untuk pesta takoyaki. Itulah acara utamanya—semua yang terjadi sejauh ini hanyalah prolog.
...Dan aku sudah merasa kembung bahkan sebelum memakan satu butir takoyaki pun.
“Akari, aku pinjam dapurnya, ya.”
“Ah, Megu, aku juga!”
“Buat apa?”
“Kamu sedang menyiapkan bahan, kan?”
“Kamu mau bantu?”
“Enggak. Aku mau godain kamu.”
“Bukannya itu justru bikin repot?”
“Enggak kok.”
“Yah, kalau begitu... ya sudah, aku izinkan.”
“Hore!”
Jadi, menggoda tidak dihitung sebagai pengganggu saat persiapan, ya?
“Mau kubantu juga?” tanyaku, sebagai anggota rendahan dalam kelompok ini.
...Ya, sekadar menjalankan bagianku.
“Yamamoto-kun.”
“Apa lagi?”
“Bisa nggak jangan ganggu aku dan Megu?”
Senyumnya itu sangat aneh.
“Ya udah, aku siapin alat takoyakinya aja.”
“Oh iya! Boleh banget tuh.”
“Di mana alatnya?”
“Umm... mungkin di lemari.”
“Oke.”
Aku dengan santainya membuka lemari yang ditunjuknya—dan langsung membeku.
Ya jelas saja. Lemarinya penuh dengan pakaian.
Pakaian yang pernah dipakai Kasahara.
Meski aku tak melihat pakaian dalam, aku refleks menutup pintu.
Kenapa aku merasa sangat berdosa?
Aku memang sudah mencoba tidak terlalu memikirkannya, tapi kenyataan kembali menghantam—ini bukan kamarku. Ini kamar Kasahara.
Saat kuperhatikan lebih seksama, bahkan udara di sini terasa berbeda. Ada aroma jeruk yang lembut.
Kalau dipikir-pikir, saat dia berjalan di sampingku tadi, dia juga berbau seperti itu. Parfum, ya? ...Apa dia juga pakai parfum waktu SMA?
Hayashi sih jelas pakai.
Tapi Kasahara... tidak, kurasa dulu dia cuma berbau pelembut kain. Lagi pula, sekolah melarangnya.
Berarti dia mulai memakainya setelah masuk universitas? Salah satu perubahan citra saat kuliah?
Astaga, aku terdengar seperti orang mesum...
“Sudah ketemu alat takoyakinya, Yamamoto-kun?”
“...Belum.”
“Ya iyalah, kamu bahkan tidak membukanya.”
Kasahara tampak kesal.
“Ayo dong, cari yang bener!”
Jadi ini salahku?
Yah... ini memang salahku karena panik sendiri tanpa alasan.
“Yamamoto-kun.”
Nada bicaranya sedikit menurun.
“...Apa?”
“Aku nggak bakal tertipu sama siasat kecilmu, oke?”
“...S-Siasat?”
“Pura-pura nggak bisa nemuin alat takoyaki supaya Megu bantuin kamu cari, kan? Ketahuan.”
“Bukan gitu, sumpah!”
Itu kesalahpahaman yang sangat konyol.
“Aku nggak akan menyerahkan posisiku di samping Megu.”
“Kamu terlalu terobsesi sama Hayashi.”
Dengan ekspresi penuh kemenangan seolah baru saja mengalahkan lawan besar, Kasahara kembali ke dapur.
...Yah, selama dia puas, ya sudahlah. Sambil menghela napas, aku kembali membuka lemari dan mulai mencari alat takoyaki dengan sungguh-sungguh. Hanya butuh beberapa menit untuk menemukannya.
“Kasahara, ketemu.”
“Bagus! Bisa sekalian kamu siapkan?”
“Oke.”
Aku keluarkan alat itu dari kotaknya dan meletakkannya di atas meja di ruang tamu. Lalu, dengan cekatan menyambungkan semua kabel dan menyiapkannya. Setelah itu, tugasku selesai.
“Sudah.”
“Seriusan? Wah, Yamamoto-kun, kamu benar-benar cekatan!”
“Yah, itu kan Yamamoto.”
Wah! Mereka sangat kompak dalam hal mengejekku!
“Oke, Yamamoto-kun, tunggu saja disana.”
“...Serius?”
Dia menyuruhku duduk diam—sendirian—di ruang tamu apartemen seorang gadis? Dan gadis itu adalah Kasahara?
Apa itu tidak terlalu kejam?
Aku sudah merasa sangat tidak nyaman di sini, dan sekarang malah disuruh begitu? Kalau begini terus, aku benar-benar akan pulang.
“Sebentar lagi, ya? Sabar dikit aja.”
“...Cepatlah.”
Ditenangkan oleh nada lembut Kasahara, aku pasrah dan memainkan ponselku sembari menunggu mereka selesai.
“Maaf udah nunggu.”
Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka berdua masuk ke ruang tamu setelah selesai menyiapkan bahan.
“Maaf aku nggak bantu.”
“Nggak, nggak. Justru terima kasih. Ya kan, Megu?”
“Hah?”
“Kamu harus bilang makasih, Megu.”
“...Harus ya?”
“Sebenernya sih nggak usah,” kataku.
“Tuh kan? Dia bilang nggak usah.”
“Megu, kamu lebih percaya kata-kataku atau kata-kata Yamamoto-kun?”
Kasahara menatap Hayashi dengan tatapan yang anehnya serius.
“Kalau begitu...”
Dengan ragu, Hayashi menunduk sedikit.
“Terima kasih, Yamamoto.”
“Kenapa sih aku harus ikut sandiwara begini?”
Kasahara tampak sangat puas dengan dirinya sendiri.
“Ngomong-ngomong, Akari, aku baru tahu kamu sepayah itu dalam masak. Semua langkah harus aku tunjukin satu-satu.”
“Ehehe, iya, aku emang payah.”
Kasahara menjawab dengan ekspresi bahagia.
Kau jelas pura-pura, kan?
Kau cuma pengin godain Hayashi, kan?
Mungkin sudah lama merindukan sedikit kasih sayang... atau kau butuh semacam energi yang cuma bisa diserap darinya?
“Kalau begitu, ayo mulai!”
Begitu Hayashi memberi aba-aba, pesta takoyaki kami pun resmi dimulai.
Yah, meskipun ini disebut “pesta”, tapi makanan yang disajikan hanyalah takoyaki. Dan karena kami semua masih di bawah umur, minumannya terbatas pada soda atau teh. Terlalu sederhana untuk disebut pesta sebenarnya.
“Ah—Akari! Itu keju yang kusimpan!”
“Ehehe. Kejunya Megu enak soalnya~.”
Meski begitu, melihat betapa senangnya mereka berdua... aku sadar, inti dari pesta bukan ada pada makanan atau minumannya. Tapi suasananya.
Aku mencoba mengubah situasi ini menjadi semacam kisah menyentuh untuk menyamarkan tingkah aneh Kasahara.
Apa itu berhasil?
Lagipula... sejak kapan keju bisa “disimpan” seperti itu?
“Nggak bisa nahan diri sedikit aja, gitu?”
“Enggak~.”
“Enggak, ya...”
Yah, kalau begitu... tetap tidak baik sih.
...Atau, begitulah pikirku, tapi mungkin justru bagus Kasahara bisa liar begini. Aku teringat pada apa yang Hayashi bisikkan lewat gerakan mulut tadi. Dia pasti sudah menyusun berbagai strategi licik untuk mencomblangkan aku dengan Kasahara—perilaku khas orang usil.
Tapi selama Kasahara dalam mode ini, Hayashi tidak bisa bergerak terang-terangan. Malah kelihatan aneh nantinya.
...Jangan-jangan, Kasahara sudah curiga pada Hayashi dan sengaja bertingkah konyol untuk mengacaukannya?
Kalau iya... cerdas juga!
Dasar Kasahara—benar-benar licik!
“Ini enaaaak banget... Mentaiko-nya Megu memang jempolan!”
...Sepertinya tidak. Dia jelas tidak memikirkannya sampai situ!
Haaah...
Aku menghela napas panjang sambil melihat Kasahara melahap takoyaki yang dia curi dari piring Hayashi.
“Oh iya, timunnya ternyata enak juga.”
Pokoknya, selama Kasahara ribut, sepertinya takkan terjadi hal-hal aneh.
Mendingan aku biarkan saja dia bersenang-senang.
Setelah beban di dadaku sedikit berkurang, selera makanku mulai muncul.
Aku mengambil satu takoyaki. Isinya salmon flakes.
Kasahara yang ngotot nyuruh beli berbagai bahan aneh pas di supermarket. Awalnya aku ragu, tapi sepertinya ide itu lumayan juga.
“Hei Megu, kita saling suap-suapan, yuk!”
“Umm, Akari, bisa tenang sedikit nggak?”
“Ehh?”
“Maksudku, Yamamoto juga ada di sini, tahu? Nggak malu apa?”
“Hmmm...”
...Jangan.
Jangan berubah tenang.
Kasahara, itu bagian dari rencana Hayashi. Dia sedang mencoba menenangkanmu supaya bisa mulai melakukan hal-hal aneh di antara kita.
“Kamu benar juga... mungkin aku memang kelewat heboh.”
Tidak!
Tunggu!
Kasahara, tolong. Aku mohon padamu. Pikirkan ini baik-baik. Pikirkan dengan hati-hati dan sadarlah bahwa ini bukan waktunya untuk tenang!
“Yah, aku tetp nggak bisa tenang ternyata!”
Terima kasih!
Aku tahu kamu bisa diandalkan, Kasahara!
Hayashi mulai panik, berusaha mengimbangi.
Bahkan Hayashi pun tidak bisa mengendalikan Kasahara dalam mode ini.
Heh, tidak semudah itu ya? Setelah membuang rasa malu dan harga diri, Kasahara sekarang jadi tak terhentikan!
“Ka-Kalau begitu, gimana kalau begini!” kata Hayashi, panik. “Kita adakan permainan hukuman!”
“Permainan hukuman?”
“Iya. Kita suit. Yang kalah harus nyuapin pemenang sambil bilang ‘aah~’.”
“Misalnya, aah~?”
“Aah~.”
“Boleh juga!”
Ya ampun, Kasahara gampang banget disetir...
“’Kan? Aku tahu kamu akan setuju!”
...Ya sudahlah. Terserah mereka mau ngapain.
Aku akan duduk di sini dan dengan tenang menikmati takoyaki yang kubuat—yang pakai acar jahe.
“Kita ajak Yamamoto juga!”
Takoyaki isi jahe yang sedang kupegang terlepas dari sumpitku.
“Yamamoto-kun juga?”
...Sialan kau, Hayashi. Dia benar-benar melakukannya.
Ampunilah aku sedikit. Aku tidak mau ikut-ikutan dalam suasana pink yang penuh cinta ini...
“Tapi mungkin Yamamoto-kun nggak mau kan?”
“Ya jelas lah. Mending mati.”
“Bilang ‘mending mati’ itu kelewatan, tahu.”
“Ya, ya. Aku ngaku itu keterlaluan. Tapi aku beneran lebih pilih kabur ke planet lain.”
“Kenapa, sih? Kamu ditemani dua gadis muda yang imut di sini, kamu bisa melakukan aah~ atau disuapi aah~. Itu ‘kan posisi terbaik.”
“Itu tergantung orangnya. Tipe pria kayak aku—yang cool—nggak cocok buat hal-hal kayak gitu.”
“Cool? Keknya lebih ke arah penakut.”
Cih. Aku tak bisa membantah itu.
“Tapi masa kita maksa orang yang jelas-jelas nggak mau?”
“Kenapa nggak? Maksudku, ini ‘kan pesta! Ikuti suasana dong, suasana!”
Melakukan sesuatu yang jelas dibenci orang lain lalu berlindung di balik kata “ikuti suasana!”... persis kayak pembenaran para kang bully.
Selama beberapa hari tinggal bareng Hayashi, aku sadar dia sebenarnya cukup perhatian dengan perasaan orang lain. Tapi jelas tidak hari ini. Caranya ngoceh ngawur begini membuatnya jelas—jauh di lubuk hatinya, dia panik.
Karena Kasahara sudah di luar kendali, rencananya gagal total. Makanya dia jadi nekat.
“Tapi tetap aja...”
“Ugh, ya udah!”
Hayashi tiba-tiba berdiri.
“Kita lakuin aja! Aku bilang ini permainan hukuman, jadi harus dilakukan!”
Dia terdengar seperti anak kecil yang mau ngamuk dan menginjak-injak lantai.
Aku sampai tak bisa berkata-kata.
Begitu juga Kasahara.
Dan Hayashi sendiri.
Kalian... kepribadian kalian lagi bobrok.
“Ya udah, terserah deh...” gumamku, bahuku merosot.
“Serius?”
“Terserah kalian.”
“Horeee!”
Hayashi bersorak dan menoleh ke arah Kasahara.
“...Yah, kalau Yamamoto-kun nggak keberatan, ya udah deh.”
Kasahara tidak terdebgar senang, tapi dia menyetujui.
“Baiklah, yuk kita lakukan!”
“Siap...”
“Oke...”
“Kenapa kalian berdua terdengar nggak semangat banget, sih?”
Yah, aku sih emang gak minat.
...Tapi Kasahara gimana?
Apa dia segitu nggak mau-nya “aah~” bareng aku?
...T-Tidak, mungkin tidak. Mungkin dia cuma pengen bermesraan sama Hayashi, dan sekarang ada orang ketiga yang jadi perusak suasana.
Singkatnya, akulah yang jadi pengacau di sini!
“Oke, ayo. Batu-gunting-kertas!”
Hasilnya—
Aku pilih batu.
Hayashi dan Kasahara dua-duanya pilih gunting.
“Horeee! Yamamoto yang bakal disuapin ‘aah~’!”
“Ugh...”
“Ini ‘kan permainan hukuman, jadi harus nurut!”
Kenapa aku malah kena hukuman padahal aku menang suit?
“Baiklah, giliranmu, Akari!”
“Oke!”
Lalu mereka berdua suit untuk ronde berikutnya.
Hasilnya—
Hayashi: gunting.
Kasahara: batu.
“Megu kalah.”
Mata Hayashi membelalak.
Seolah dia sama sekali tidak mempertimbangkan kemungkinan kalah.
Lagian, suit itu murni soal keberuntungan... tapi kayaknya dia beneran tidak berpikir bakal kena hukuman.
“Nggak mungkin.”
Jadi kamu benar-benar tidak mempertimbangkan itu, ya.
“T-Tunggu! Tunggu sebentar! Pasti ada kesalahan!”
“Kesalahan macam apa?”
“Yah... maksudku, ini cuma soal hoki!”
Ya kan, memang begitu cara kerjanya.
“Nggak mungkin. Aku yang harus melakukannya? Aku?”
“Sepertinya begitu.”
“Bukan begini harusnya...” gumam Hayashi.
“Seharusnya gimana, memangnya?”
Kasahara tertawa sambil bertanya.
“Yah…”
Hayashi terdiam, keringat menetes di dahinya sambil membuang muka dari Kasahara.
“Bukan apa-apa.”
“Ayolah, jelas-jelas ‘ada apa-apa’.”
Yap. Sekarang setelah dia jadi penonton, Kasahara malah tersenyum cerah.
Dari sudut pandangku, ini bakal jadi ribet, jadi kupikir lebih baik dia jangan terlalu meledek Hayashi.
Hayashi masih terlihat linglung... lalu tiba-tiba memelototiku.
“Yamamoto, buka mulutmu.”
“Kalau kamu nggak mau lakuin ini, mendingan kita hentiin aja, deh.”
“Nggak.”
“Kenapa nggak?”
“Soalnya ini permainan hukuman.”
Aku melirik ke arah Kasahara.
“Heh.”
Dia tersenyum, tampak benar-benar terhibur.
Jelas dia tak ada niatan untuk menghentikan ini.
Dasar gadis jahat...
“A-Ayo, Yamamoto. Buka mulut.”
“...Ngh.”
“Aku mulai, ya.”
Hayashi mengambil bola takoyaki dari panggangan dengan sumpitnya.
Kalau kupikir-pikir, itu sumpit yang sama dengan yang tadi dia pakai untuk makan. Artinya... ini secara teknis adalah ciuman tidak langsung.
...Aku juga pria, wajar kalau aku menyadarinya.
Tapi aku tidak ingin mereka tahu kalau aku menyadarinya, jadi sebisa mungkin aku pura-pura tidak tahu.
“Uwaa~ Itu ciuman tidak langsung, lho kalian berdua~!” kata Kasahara.
Deg. Tangan Hayashi langsung kaku sesaat.
Sepertinya dia baru menyadarinya.
Akhirnya, yang paling panik di antara kami... jelas Hayashi.
Dia tampak tidak yakin apakah harus ganti sumpit atau tidak.
Sumpit itu tertahan di udara, dan tetap membeku di tempat untuk beberapa saat.
...Yah, dia mungkin bakal ganti, sih.
Maksudku, masa dia mau ciuman tidak langsung denganku?
Atau begitulah pikirku—sampai dia tiba-tiba menerjang dengan sumpitnya, layaknya mobil yang ngebut secara mendadak di tangan sopir ugal-ugalan.
Aku kaget.
Mentalitas macam apa yang membuatnya memilih untuk melakukannya!?
Apa dia mau bilang, “Aku nggak peduli soal ciuman tidak langsung”?
Bisakah kau tidak mengembalikan sikap ratu lebahmu dari SMA sekarang?
Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi tak ada satu pun yang diuntungkan dari situasi ini, oke!?
“Megu!”
Orang yang menghentikan ratu penggasak ini adalah Kasahara.
...Selamat.
Benar juga. Kasahara ‘kan sayang Hayashi. Tidak mungkin dia biarkan Hayashi berbagi ciuman tidak langsung dengan pria cupu sepertiku.
Kasahara tersenyum.
Sejak bertemu lagi dengan Hayashi, dia terus tersenyum seperti itu.
Dia pasti sangat menikmati situasi ini.
Atau mungkin... senyum itu cuma topeng buat menutupi perasaan aslinya?
“Kamu nggak boleh gitu. Kamu harus bilang ‘aah~’ pas nyuapin. Bilang yang bener, ya. Aah~. Aah~.”
...Sepertinya pilihan pertama tadi yang benar.
“...Ah.”
Bibir Hayashi gemetar.
“Aah... n.”
Tanpa sekalipun menatap mataku, dia menyelipkan takoyaki itu ke mulutku.
...Kami berdua hanya menari di telapak tangan Kasahara, kan?
Hayashi.
Dan... begitu juga aku.
Wajahku memanas.
Aku mengunyah takoyaki, tapi rasanya sangat hambar. Katanya kau tidak bisa merasakan makanan saat gugup—ternyata benar.
Jantungku berdegup begitu kencang sampai rasanya menggema di telinga.
“...Gimana?” tanya Hayashi.
Gimana...maksudnya apa coba?
“Rasanya kayak gurita.”
“Bentar, emangnya kita pakai gurita ya untuk isian takoyaki ini?”
...Maksudku bukan soal isiannya.
Wajah Hayashi—tatapannya yang menunduk, pipinya yang merah padam—kelihatan persis seperti gurita rebus.
...Tapi jujur, aku juga tidak dalam posisi untuk ngejek.
“P-Permainan ini selesai!”
Karena Hayashi—orang yang mengusulkan permainan ini—menghentikannya, akhirnya permainan berakhir hanya dalam satu ronde.
Previous Chapter| ToC | Next Chapter
Post a Comment