NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 3 Chapter 10

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 10

Ratu yang Jatuh Cinta

Upacara perpisahan Ayah telah berakhir dengan lancar, dan kami menaiki minibus petugas pemakaman menuju krematorium.

“Fuaah.”

“Ngantuk?”

Di dalam minibus, Ibu yang duduk di sebelahku memandangku dengan agak cemas.

“Sedikit.”

Dengan nada yang agak berat, aku menjawab. Semalam aku terlalu banyak berpikir, sehingga sulit tidur. Tidak, kalau dipikir-pikir, aku memang sudah kurang tidur selama beberapa hari terakhir. Hanya saja, sampai kemarin aku masih dalam kondisi tegang, jadi tidak merasa mengantuk. Hari ini, sedikit lebih rileks.

“Kemarin malam kamu telponan sampai larut, kan?”

“Uh...”

“Suaramu kedengaran, loh.”

Ibu tersenyum kecut.

“Telponan sama Yamamoto-kun?”

“Yah, begitulah.”

“Dia anak yang baik, ya. Tenang dan dewasa. Pasti sudah populer sejak zaman sekolah.”

“Enggak sama sekali.”

Aku langsung menyangkal. Soalnya waktu SMA dulu, dia jauh dari kesan populer.

“Oh, kalian satu SMA?”

“Iya. Dan faktanya, Ibu tidak mengenalnya. Itu sudah jawabannya.”

“Aku kan tak selalu bisa tahu semua detail kehidupan sehari-harimu.”

Memang benar.

Di SMA, aku acuh pada keluarga, dan Ibu juga tidak pernah menanyakan kehidupanku di sekolah.

“Entah kenapa... ya. Kelihatan banget kamu cuma ingin menjelek-jelekkan Yamamoto-kun.”

“Ugh...”

“Kamu itu mirip banget dengan seseorang, sifatnya sangat kontra... jadi, artinya begitu, ya.”

“Maksudnya apa?”

Aku menyeringai protes, tapi Ibu hanya tersenyum nakal tanpa menjelaskan.

...Yah, kurasa dia sedang salah paham.

“Lagipula, ‘seseorang’ itu siapa?”

“Ya ayahmu, dong.”

“Ibu juga cukup kontra, kan?”

“Bodoh.”

“Apanya?”

“Hal kayak gitu, kalau diakui sendiri, tandanya kita kalah.”

“...Ibu juga bodoh banget, ya.”

Saat aku menunjukkan wajah jengkel, Ibu tertawa lagi. Aku pun ikut tersenyum kecil. Sejak pulang ke rumah, karena urusan Ayah, kami hampir tak punya waktu untuk bersantai. Rasanya sudah lama sekali tidak mengobrol santai seperti ini dengan Ibu.

“Untuk sekarang, tidur saja sebentar.”

“...Aku tidur dulu. Maaf.”

“Tidak apa.”

Aku perlahan memejamkan mata.

Kurasakan minibus melaju di jalan berliku menuju pegunungan.

Dari kursi belakang, terdengar suara obrolan para kerabat.

Tak lama kemudian, bus berhenti, dan aku pun membuka mata.

“...Duh.”

Sementara minibus hendak parkir mundur, aku mengguncang bahu Ibu yang tertidur di sampingku.

“Yang tidur malah Ibu.”

Pasti selama ini Ibu menanggung semuanya sendirian.

Tentang kondisi Ayah.

Urusan rumah selama Ayah tidak ada.

Dan juga, tentangku.

Sebelum ke Tokyo, aku sama sekali tidak memedulikannya. Tapi, berapa banyak kekhawatiran yang telah kusebabkan pada mereka?

Sejak kecil, aku selalu populer. Cantik, jago olahraga, dan penuh percaya diri. Karena itu, semua orang mengikutiku.

Tapi, karena sombong mengira dunia berputar di sekitarku, tidak jarang aku bertengkar dengan orang lain. Ada yang berakhir damai, tapi mungkin lebih banyak yang terluka atau bahkan menciptakan jurang yang tak bisa ditutp.

“Dasar. Anak yang merepotkan.”

Orang yang selalu menghibur dan memelukku dengan lembut... adalah Ibu.

“Ibu, kita sudah sampai.”

“Uun...”

Dengan perasaan bersalah, aku membangunkannya.

Kami kemudian menuju krematorium, dan tak lama setelahnya, peti Ayah dimasukkan ke dalam tungku pembakaran.

Selama biksu membacakan sutra, suara isak tangis terdengar dari sekitar.

Dari betapa sibuknya Ibu dua hari lalu dan banyaknya pelayat semalam, aku menyadari satu hal: Ayah adalah orang yang dihormati.

Pantas saja para kerabat ingin menggunjingkanku.

Setelah pembacaan sutra selesai, kami menunggu di ruang lain. Tidak ada alkohol hari ini, jadi aku tidak perlu repot-repot menyuguhkan minuman. Aku sedikit lega.

Para kerabat mengemil kue sambil menunggu proses kremasi Ayah selesai.

“Ibu, aku ke toilet dulu.”

“Ya.”

Awalnya aku juga mengobrol basa-basi dengan kerabat yang tidak terlalu kukenal, tapi karena bosan, aku memutuskan pergi ke toilet untuk menghabiskan waktu.

Di dalam gedung krematorium yang luas, hanya suara sepatuku yang menggema, ‘klak klak.’

“Nyasar.”

Karena tidak ada alkohol, lebih sedikit orang yang ke toilet dibanding kemarin. Akibatnya, aku tidak bisa mengikuti siapa pun, dan sebelum sampai di toilet, aku malah tidak tahu lagi di mana posisiku.

Koridor krematorium ini luas, dan papan penunjuknya juga jelas. Mungkin pengelola mengira takkan ada yang tersesat di sini.

Dasar... mereka sama sekali tidak mengerti.

Di tempat seperti inilah aku sering tersesat...

Karena tidak ada pilihan lain, aku memutuskan untuk berjalan-jalan santai di sekitar krematorium. Kupikir, jika berjalan terus, pasti akan kembali ke ruang tunggu.

Dan saat berjalan, aku menemukan sebuah area observasi. Krematorium ini terletak di dataran tinggi yang lapang di tengah gunung, jadi pemandangan dari area observasi sangat indah.

“Hari ini juga panas, ya.”

Meski sudah mendekati bulan September, panas terik tahun ini belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda.

Bahkan saat turun dari bus tadi, ada orang yang langsung bercucuran keringat.

...Mungkin karena arah angin.

Di sudut mataku, terlihat asap putih.

Itu pasti Ayah. Begitulah firasatku.

...Sejak Ayah meninggal, selain tadi malam, air mataku susah keluar. Bukan berarti aku tidak sedih. Justru sebaliknya—aku sangat sedih. Sampai-sampai rasanya mau gila... sedih, dan menyakitkan.

Tapi tetap saja, air mata tak juga keluar.

“Mungkin aku masih keras kepala, ya.”

Karena hubunganku dengan Ayah tidak baik semasa hidupnya, sampai akhir pun aku tak ingin menunjukkan kelemahan di hadapannya.

Lagipula, aku ini pernah menyandang julukan “Ratu” dari orang-orang di sekitarku waktu SMA.

Tidak mungkin aku bisa menunjukkan kelemahan di depan orang yang kubenci.

Dan mungkin, bukan hanya itu.

Mungkin berkat ajaran seseorang...

Karema di saat-saat terakhir, aku bisa memilih dengan kehendak sendiri... dan karena sempat berbaikan dengan Ayah, meski sedih, aku tidak menyesal.

“Kamu benar.”

Aku berkata pada seseorang itu.

“...Karena itu, mulai sekarang aku harus memilih sendiri.”

Tidak ada jawaban.

Setelah beberapa saat, aku meninggalkan area observasi dan berjalan tanpa arah di dalam gedung. Akhirnya, aku berhasil menemukan ruang tunggu. Jarak antara area observasi dan ruang tunggu ternyata kurang dari 10 meter.

“Kamu nyasar lagi, kan?”

Ibu menyapaku di ruang tunggu.

“Kok tahu?”

“Kan itu kamu.”

“Apaan sih?”

“Sejak kecil, kamu itu buta arah... dan selalu membuat kami khawatir.”

“Benar juga...”

Seperti kata Ibu, buta arahku bukanlah hal baru. Sejak kecil aku sudah begini. Tersesat di berbagai tempat: festival musim panas, pantai dekat rumah...

Setiap kali itu terjadi, aku pasti merepotkan dan membuat mereka khawatir.

Kami pindah dari ruang tunggu, melakukan prosesi memasukkan abu jenazah ke dalam guci... dan perpisahanku dengan Ayah pun berakhir.

Pada akhirnya, aku... tidak sempat menebus semua kerepotan yang kutimbulkan pada Ayah.

Tapi untuk Ibu, aku masih bisa... menebusnya.

“Ibu, aku ingin tinggal lagi di rumah.”

Malam harinya, setelah semua kerabat pulang, di dapur yang sunyi, aku berbicara pada Ibu.

“Hm?”

“Aku udah putus kuliah. Sekarang aku tinggal di rumah Yamamoto.”

“Ah, Yamamoto-kun juga sudah bilang.”

Baru kusadari, rupanya saat aku sedang stress, Yamamoto sudah menjelaskan pada Ibu tentang keadaanku setelah ke Tokyo.

“Oh. ...Jadi sekarang kamu sedang cari kerja?”

“Begitulah.”

“Begitu ya.”

Ibu tidak menyalahkanku. Meski uang sewa apartemen kudapat dari beasiswa dan kerja paruh waktu, tapi uang kuliah yang mahal dibayarkan oleh orang tuaku.

“Kamu mau cari kerja di sini?”

“Ya.”

“Di Tokyo lebih banyak pilihan, loh.”

“Tapi kalau begitu... nanti pulangnya jadi sulit.”

Awalnya aku ingin mengelak, tapi karena tidak ada alasan, jadi aku jujur saja. Untuk membalas budi mereka selama ini, kurasa mulai sekarang aku harus tinggal bersama Ibu.

“Kamu yakin?”

“Maksudnya?”

“Kamu akan putus sama Yamamoto-kun?”

“...Ahaha.”

Aku tersenyum kecut. Wajar sih. Kalau putri yang pulang setelah sekian lama membawa seorang pria di sampingnya, orang pasti mengira itu pacarnya.

“Aku dan Yamamoto tidak pacaran, kok.”

“...’Teman’, ya?”

Ah, iya. Ketika Ayah menanyakan hubungan kami, Yamamoto bilang kami teman.

...Padahal dia selalu bilang tidak punya teman. Seenaknya saja menyebut hubunganku dengannya sebagai “teman“. Yah, memang susah sih cari istilah lain.

‘Mungkin... aku sudah menganggapmu keluarga.’

Aku teringat kata-katanya.

Keluarga.

Meskipun kami hanya tinggal bersama selama sebulan lebih...

Meskipun kami mirip anjing dan kucing waktu SMA...

Tapi memang, antara aku dan Yamamoto, telah tumbuh ikatan yang mirip seperti keluarga.

“Kamu rela berpisah dengan teman dekatmu itu?”

Ibu bertanya lagi.

Mungkin dia melihat keraguanku tadi.

Kupikir hatiku sudah mantap sejak melihat asap putih di krematorium. Tapi ternyata hatiku masih bisa goyah segampang ini.

...Apa itu artinya aku sudah sangat bergantung pada Yamamoto?

Tapi ini bukan sekadar bergantung...

Waktu SMA, aku sangat membencinya.

‘Kau, malam ini menginaplah di rumahku.’

Kami bertemu lagi di minimarket yang kini juga jadi tempat kerjaku.

‘Benar. Jangan lari, lihat situasimu secara objektif, lalu putuskan apa yang ingin kamu lakukan. Selama kau serius memikirkannya, kamu pasti takkan menyesal nantinya.’

Dia menceramahiku dengan sok bijak.

‘Itu bukan cinta. Itu hanya pelecehan. Menyakiti orang lain, merendahkannya, dan merasa puas—itu perilaku kekanak-kanakan!’

Dia menyelamatkanku dari pria itu.

‘Aku tidak jadi tamengmu untuk mendengarmu meminta maaf.’

Dia juga menyelamatkanku dari wanita itu.

‘...Jangan menangis. Besok mau ketemu ayahmu dengan wajah seperti apa?’

Dan sekali lagi... dia menyelamatkanku.

Sebenarnya, sudah berapa kali...

Sudah berapa kali dia menyelamatkanku...?

Dengan sifatnya yang keras kepala, kaku, tegas pada diri sendiri, tapi juga lembut...

Dia telah menyelamatkanku berkali-kali, hutang budiku padanya setara dengan orang tuaku.

Apakah pantas berpisah begitu saja?

“Iya. Tidak apa.”

Aku tersenyum.

“Lagipula, kami pasti akan berjumpa lagi suatu saat nanti.”

Apakah aku berhasil menyembunyikan perasaanku?

“Lagipula, dia kan suka Akari.”

Apakah perasaanku... berhasil kututupi?

“Kalau aku terus-terusan di rumahnya... yang ada cuma merepotkan.”

“...Begitu ya.”

“Iya. Kebetulan aku sedang berpikir untuk pindah ke apartemen baru, tapi kesulitan karena tidak punya penjamin!”

Aku berusaha terdengar ceria.

“Tapi kalau di rumah sendiri kan gak perlu penjamin. Pas banget! Aku lega!”

“...”

“Kalau gitu, aku telepon Yamamoto bentar, ya.”

Aku cepat-cepat meninggalkan dapur.

Rasanya jika bukan sekarang, mungkin aku takkan pernah bisa mengatakannya.

Sebelum berubah pikiran, aku menelepon Yamamoto.

“Halo.”

Dia langsung mengangkat lagi.

“Yamamoto, aku mau bicara.”

Aku harus bicara duluan. Jika dia yang memulai, nasihat atau penghiburannya pasti akan menggoyahkan niatku.

“Ada apa?”

“Aku, mulai sekarang akan tinggal di rumah orang tuaku.”

“...”

“...”

“...Begitu.”

“Y-Ya...”

“...”

“Ayahku sudah meninggal, kan. Mulai sekarang, Ibu akan sendirian. Selama ini, aku sudah banyak merepotkan mereka. Jadi, mulai sekarang... aku ingin membalas budi.”

“Begitu.”

“Ya. Jadi...”

Jadi...

“Semangat, ya.”

...

“Ya...”

“Kalau begitu, bagaimana dengan barang-barangmu di sini?”

“...”

“Hayashi?”

“Ah, i-iya juga, ya... Bagaimana, ya?”

“...Yah, ambil saja kalau kamu sudah tenang. Perlu aku beritahukan pada manajer toko?”

“Eh, ah... biar aku saja yang telepon.”

“...Baiklah.”

“Ya.”

“Jika ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungiku.”

“...Ya.”

“Untuk sekarang, istirahatlah yang cukup. Kamu belum tidur, kan?”

“...Baiklah.”

“Oke. Kalau begitu, selamat tidur.”

Bunyi elektronik ‘tuut tuut’ terdengar dari telepon.

Aku melemparkan ponsel ke kasur.

“Dia tidak menghentikanku.”

Berbaring telentang, aku bergumam penuh kekecewaan.

Tapi aku sudah tahu.

Karena Yamamoto... adalah tipe orang yang membiarkan orang lain memilih sendiri. Dia percaya hidup harus ditentukan sendiri agar punya arti.

...Pemikirannya benar. Tapi, untuk sekarang, aku berharap dia menghentikanku.

“...Ahaha. Bukannya kamu sendiri ya yang mau tinggal di sini?”

Aku menghela napas, frustrasi pada diriku sendiri yang tidak konsisten.

◇◇◇

Setelah upacara 7 harian selesai, akhirnya ada sedikit ketenangan yang kembali ke rumah kami.Yah, meskipun hanya ketenangan sementara. Tak lama lagi akan ada upacara 49 hari, dan bahkan tanpa itu, tahun kami masih dalam masa berkabung.

“Megumi, bantu Ibu jemur cucian.”

“Iya—”

Hubunganku dengan keluarga yang dulu sempat renggang sebelum aku ke Tokyo... yah, Ayah sudah tiada, tapi setidaknya hubunganku dengan Ibu membaik. Berbeda dengan dulu, sekarang aku sudah lebih bisa mengerjakan pekerjaan rumah, jadi kami berdua bisa membagi tugas.

“Gawat... gak ada yang bisa kutulis di CV...”

Akhirnya hidupku mulai tenang, jadi aku mulai serius mencari kerja dan menyusun CV. Tapi, setiap kali mencoba menulis CV, aku jadi pusing sendiri. Aku hampir tidak punya pengalaman menulis hal beginian, dan riwayat pendidikanku pun hanya bisa kutulis sampai lulus SMA, jadi rasanya berat.

“Kalau ada Yamamoto di sini, pasti dia bisa kasih saran...”

Tanpa sadar, aku bergumam pelan.

...Sejak pemakaman Ayah, aku belum sekali pun bicara dengan Yamamoto. Tentu saja, barang-barang yang kutinggalkan di rumahnya juga belum kujemput.

...Kira-kira, dia khawatir gak, ya.

“Megumi, tanganmu berhenti.”

“Ah, maaf.”

“Masih tidak enak badan? Kalau iya, istirahat saja di kamar.”

“Gapapa. Seriusan.”

Sebenarnya, setelah pemakaman Ayah, aku sempat demam dan terbaring beberapa hari. Aku memaksakan diri hadir di upacara tujuh harian, dan pagi ini kondisiku sudah membaik, tapi sepertinya Ibu masih khawatir.

“...Megumi, setelah makan siang, bagaimana kalau kita pergi belanja? Sudah lama, kan.”

“Eh?”

“Sekarang tubuhmu sudah lebih baik, urusan Ayah juga sudah lebih tenang... bagaimana kalau kita cari angin segar?”

“...Aku terlihat semurung itu?”

“Iya.”

Dijawab langsung seperti itu bikin aku terdiam.

“Aku baik-baik aja, kok.”

“Orang yang baru sembuh dari demam bilang begitu?”

“Itu... Cuma kelelahan menumpuk.”

“Iya, iya. Jadi kita pergi, ya?”

“...Iya.”

“Kalau gitu, ayo makan siang dulu.”

Ibu berdiri.

Rasanya baru saja sarapan, tapi ternyata sudah siang. Aku akhirnya makan siang dengan enggan.

“Yuk, kita pergi.”

“Oke.”

Aku duduk di kursi penumpang mobil yang dikemudikan Ibu.

“Megumi, kamu belum punya SIM, ya?”

“Iya sih.”

“...Punya SIM itu praktis, tahu. Lebih baik ambil.”

“Hmm... kayaknya aku bakal jadi pengemudi yang jarang menyetir.”

“Gapapa. Paling tidak bisa jadi pengganti kartu identitas.”

“Hmm...”

...Omong-omong, ini pertama kalinya aku duduk di kursi penumpang sejak menaiki mobil yang dikemudikan oleh si pria KDRT itu. Waktu itu, hatiku mungkin sama tenangnya seperti sekarang.

Perasaanku waktu itu juga rasanya setenang ini.

Tapi setelah itu, semuanya kacau balau.

Kekerasan dari mantan pacar.

Bahkan setelah kabur dari rumahnya, aku masih ketakutan dengan bayang-bayangnya untuk sementara waktu...

Dan ketika akhirnya kupikir trauma itu sudah berlalu, aku nyaris diserang oleh teman sekelasku di kampus.

Lalu, kepergian Ayah.

Jika perjalanan mobil waktu itu adalah titik balik dalam hidupku... mungkinkah hari ini adalah titik balik berikutnya?

Setelah melewati semua penderitaan itu, apakah sesuatu akan berubah mulai sekarang?

Aku harus berubah.

Aku harus berusaha untuk berubah.

...Di sini. Di tanah ini. Tanpa merepotkan siapa pun...

...Bisakah aku melakukannya?

Ayah yang selalu tegas padaku sudah tiada...

Ibu, yang sama-sama merasakan kesedihan kehilangan Ayah...

Setelah meninggalkan Yamamoto...

Akankah aku akhirnya bisa meraih kebahagiaan?

Mobil berhenti setiap beberapa meter karena lampu merah.

“Dari dulu, di daerah sini memang banyak lampu merah dan sering macet”

Ibu berbicara.

“Kamu ingat?”

“...Gak terlalu, sih.”

“Sudah kuduga. Kamu memang tidak suka kota ini.”

“Enggak juga...”

“Benar, kok.”

Lampu merah berganti hijau.

“...Kalau mau cari kerja di sini, mau kerja apa?”

Mobil mulai melaju lagi.

“Tak banyak pekerjaan yang bagus, loh. Apalagi kamu cuma lulusan SMA.”

“...Itu—”

“Kalau mau cari kerja, di Tokyo jauh lebih baik.”

Mobil berhenti lagi karena macet.

“...Maksud Ibu apa?”

Ibu diam saja sambil perlahan mengemudi.

“...Aku khawatir sama Ibu.”

Suaraku nyaris tenggelam oleh suara mesin.

“Ayah sudah tiada, Ibu tinggal sendirian di rumah besar itu... Aku khawatir.”

Palang pintu kereta api mulai berbunyi.

“Selama ini aku sudah banyak merepotkan Ibu. Berkata kasar juga.”

Kereta melintas di depan kami.

“Aku sudah tidak bisa membalas budi Ayah. Jadi, setidaknya aku ingin membalas budi Ibu...”

Jadi...

“...Terima kasih.”

Ibu berterima kasih.

“Kamu sudah memikirkan banyak hal, ya. Demi Ibu... Sungguh, terima kasih.”

“...Kalau begitu—”

“Tapi, Ibu akan bicara jujur. Kamu tinggal di rumah sama sekali takkan jadi balas budi untuk Ibu.”

Aku terkejut dan tidak bisa menjawab.

“Sama sepertimu, Ibu juga dulu berpikir: Dasar orang yang cerewet. Kenapa juga aku menikah dengannya?”

Ibu mulai bercerita dengan tenang.

“Ibu menyesal. ...Tapi, begitu dia meninggal, semuanya berubah. Aku teringat masa-masa bahagia. Kenangan indah terus bermunculan.”

Palang pintu terangkat, dan mobil mulai melaju lagi.

“Tapi, ya, mungkin karena dia sudah tiada, makanya aku bisa merasakan itu.”

“...”

“Kalau sudah berakhir, apa pun bisa jadi kenangan indah. Dan itu... sama denganmu.”

Berbeda dengan di pusat kota... jalanan mulai lebih lengang, dan mobil melaju lancar.

“...Memang, kalau aku yang dulu, mungkin kita akan bertengkar lagi.”

Suara mesin hampir menenggelamkan suaraku.

“Aku waktu SMA nakal sekali. Menganggap Ayah dan Ibu tidak penting. Kupikir aku bisa melakukan semuanya sendiri!”

...Tapi, aku tahu itu salah.

Aku tidak bisa melakukan apa pun sendirian.

Baik lari dari cengkeraman si pria kasar.

Maupun menyewa tempat tinggal.

Bahkan memahami apa yang Ayah harapkan dariku selama ini... jika sendirian, aku pasti takkan pernah tahu.

Sungguh, aku ini setengah dewasa yang bodoh.

“Aku akan berubah...?”

Tapi aku sudah memutuskan untuk berpisah dengan diriku yang setengah dewasa itu.

“Aku akan mengerjakan semua pekerjaan rumah menggantikan Ibu.”

Sebagai ganti semua kerepotan yang telah kutimbulkan...

“Aku juga akan kerja dengan benar. Aku akan bawa uang ke rumah.”

Sebagai ganti perkataan keji yang telah kuucapkan...

“Jadi, biarkan aku membalas budi...”

Sebagai ganti... kenakalanku selama ini...

“Aku pasti akan berubah.”

“...Karena itulah Ibu tidak mau.”

Suara kecil Ibu terus terngiang di telingaku.

Aku tidak mengerti.

Padahal aku bilang akan berubah demi Ibu.

Padahal aku bilang akan berubah untuk membalas budi atas semua kerepotan yang telah kutimbulkan...

“Kenapa...?”

Sebenarnya, apa yang Ibu tidak mau?

“Kamu tak perlu berubah hanya untuk membalas budi ke Ibu.”

...Tidak perlu berubah demi ibu?

Demi Ibu yang menerimaku kembali.

Demi Ibu yang selalu kurepotkan.

Demi Ibu yang melahirkanku.

“Tidak mungkin!”

Apa salahnya jika aku berubah sebagai bentuk balas budi padanya?

“...Sepertinya Ayahmu yang lebih banyak kaurepotkan daripada Ibu sekalipun akan berkata hal yang sama.”

“Tidak mungkin...”

“Karena kami tidak melahirkanmu supaya kamu balas budi.”

...Alasan Ibu melahirkanku.

“Kami melahirkanmu karena ingin melihatmu bahagia.”

Mobil perlahan berhenti.

“Jadi, Ibu ingin kamu kembali hidup di Tokyo.”

Aku tidak menyadarinya karena sibuk berdebat... mobil sudah parkir di stasiun.

“Itu keinginanku, Megumi.”

Pikiranku tidak bisa mengejar.

Sejujurnya, aku sudah menduga bahwa Ibu mungkin takkan setuju jika aku tinggal bersamanya.

Tapi, sekeras ini...

Tak kusangka dia akan menipuku dengan kedok pergi berbelanja dan menggunakan cara paksa seperti ini.

“...Dan jujur, sepertinya Ibu takkan bahagia jika tinggal denganmu yang sekarang..”

“...Eh?”

“Karena kamu... sebenarnya ragu, kan?”

Tanpa kusadari, mataku membelalak.

“...Mudah terbaca. Wajahmu bilang semuanya.”

Aku tidak bisa berkata-kata.

“Tentu saja Ibu tahu.”

Tapi, sepertinya wajahku sudah menjelaskan semuanya.

“Soalnya Ibu... adalah ibumu.”

Sepertinya seorang Ibu bisa membaca perasaan anak kandungnya.

“...Kamu ingin tinggal dengan Yamamoto-kun lagi, kan?”

“...”

“Gapapa, kan. Meski bukan sepasang kekasih. Cobalah minta..”

“...Tidak boleh.”

“Kenapa?”

“...Karena—”

“Megumi.”

“...”

“Di sini, hanya ada Ibu dan kamu.”

Ibu mematikan mesin mobil.

“Ayah yang cerewet tidak ada. Yamamoto-kun juga tidak ada.”

“...”

“Sesekali, biarkan aku bersikap layaknya seorang ibu.”

...Di saat seperti ini, tidak mungkin aku bisa bermanja-manja pada Ibu.

“...Aku tidak ingin merepotkan Yamamoto lagi.”

Begitu pikirku, tapi...

“Pertemuanku dengannya lagi adalah suatu kebetulan. Waktu yang tepat. Saat aku depresi karena mantan pacarku, bahkan sempat terpikir untuk bunuh diri... dia melihat memar di lenganku... Padahal waktu SMA dulu aku sangat membencinya...”

Benar, waktu SMA, aku bahkan tidak mau melihat tampangnya...

‘Kau, malam ini menginaplah di rumahku.’

Tapi dia malah memberiku tempat bernaung.

“...Setelah dia menampungku pun aku masih banyak merepotkannya. Saat aku panik karena tak tahu si pria kasar itu berada, aku nekat ingin kerja paruh waktu. Dia menghentikanku dengan risiko dibenci, dan dia juga yang mengusir si pria kasar itu. Entah sudah berapa kali aku merepotkannya.”

“...Begitu.”

“...Setelah si pria kasar dan wanita yang dihasutnya untuk menyerangku ditangkap. Aku sudah aman. Semua berkat Yamamoto... Jadi, agar tidak merepotkannya lagi, aku memutuskan untuk pergi.”

Tapi, karena tidak ada penjamin, aku tidak bisa menyewa kamar.

Di saat itulah, hubungan dengan orang tuaku membaik.

“...Kupikir Yamamoto juga pasti menginginkanku tinggal di rumah.”

Setelah mengetahui masa lalunya, aku semakin yakin.

Dia pasti sangat menghargai ikatan keluarga.

“Jadi... untuk membalas budi Ibu, aku ingin tinggal di rumah.”

“...Begitu.”

“Jadi... kumohon, Bu. Biarkan aku tinggal di sini.”

“...”

“Aku tidak akan merepotkan. Mulai sekarang aku juga tidak akan manja lagi.”

...Agar tidak merepotkan Yamamoto lebih jauh lagi.

“Kumohon... Kumohon.”

Ibu tidak kunjung menjawab permohonanku.

Beberapa saat berlalu... tiba-tiba, Ibu menghela napas.

“...Megumi.”

Aku perlahan mengangkat wajah.

“Setelah mendengar ceritamu, keputusan Ibu sudah bulat.”

“...Jadi.”

“Iya.”

Ibu...

“Ibu sama sekali takkan mengizinkanmu tinggal di rumah.”

—sama keras kepalanya denganku.

“Kenapa...?”

“Kamu akan mengulangi kesalahan yang sama, kan?”

“...Tidak.”

“Iya.”

“Tidak!”

“Iya!”

“Tidak!”

Kami berdua mulai emosi.

“Kesalahan apa yang akan kuulangi?”

“Apa Yamamoto-kun sendiri yang bilang padamu?” Ibu bertanya, “Pernahkah dia sekali saja bilang kalau kamu merepotkan?”

“...itu.”

“Nah, lihat kan?” Ibu melanjutkan.

“...Tidak ingin merepotkan Yamamoto-kun. Harus berpisah dengan Yamamoto-kun. Keputusan itu bisa kamu ambil setelah mendengar pendapat Yamamoto-kun, kan. Masih belum terlambat.”

“Tapi... hidupku harus kuputuskan sendiri—”

“Benar, pilihan terakhir memang ada di tanganmu.”

“...”

“Tapi, mengambil keputusan tanpa memastikan pendapat orang lain itu salah. Sangat salah.”

Aku teringat Yamamoto pernah mengatakan hal serupa.

Karena aku cenderung memendam segalanya sendiri... dia bilang aku harus lebih banyak mengandalkan orang lain.

“Tapi...”

“Tidak. Pokoknya tidak boleh. Ibu takkan mengizinkanmu tinggal di rumah dalam kondisi seperti ini.”

“...”

“Bicaralah dengan Yamamoto-kun. Tanyakan apa yang dia inginkan. Baru kemudian kalian berdua memutuskan langkah selanjutnya. Putuskan dengan benar.”

“...Tapi...”

“Megumi. Kamu takut, kan?”

Aku yang sedang merengek, tanpa sadar terkejut.

“Kamu takut ditolak Yamamoto-kun, kan? Makanya kamu memutuskan semuanya sendiri?”

“...tahu apa.”

“Kamu sedang takut, kan?”

“Ibu tahu apa sih?!”

Aku akhirnya berteriak.

“Setelah aku putus hubungan dengan orang tuaku, pacarku ternyata suka KDRT, semua kontak dengan teman-temanku juga diputus... Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Yamamoto!”

Emosiku memuncak, dan napasku tersengal-sengal.

“Dia yang menopangku! Semuanya! Semuanya!”

Kenangan hidup bersamanya berputar kembali di kepalaku.

“Dia... tidak meninggalkanku yang tidak punya apa-apa.”

Kenangan indah itu menyakitkan... karena semuanya sudah menjadi masa lalu.

“Hanya ikatan dengannya yang tak ingin kulepaskan...”

Air mataku mengalir.

“...Jadi kamu akan pergi tanpa pamit?”

“...”

“Apa kamu yakin dengan itu...?”

...Jika kami berpisah seperti ini.

Jika aku tinggal di rumah orang tua.

Hubungan kami pasti akan langsung renggang.

Karena satu-satunya pengikat kami adalah masa hidup bersama itu.

Lagipula, Yamamoto bisa hidup mandiri. Dia kuat. Mungkin justru lega jika beban sepertiku menghilang.

Sedangkan aku...

Awalnya mungkin baik-baik saja.

Lingkungan baru, kehidupan yang tidak biasa... Awalnya aku akan sibuk beradaptasi hingga tidak sempat memikirkan apa pun.

Lama kelamaan, waktu berlalu saat aku sibuk mengeluh...

Dan ketika aku terus berusaha menjalani hari, tiba-tiba aku teringat kehidupan bersamanya.

Dan aku pasti akan berpikir:

Tak kusangka aku akan tinggal bersama pria yang sangat kubenci waktu SMA.

Awalnya penuh rintangan.

Yamamoto itu keras kepala.

Tidak pernah menuruti ajakanku.

Lupa waktu saat sedang bersih-bersih.

Cerewet soal hal-hal sepele.

Hidup kami... meski tak separah waktu SMA, sering bertengkar.

...Tapi dia memuji masakanku.

Saat aku bilang mau pergi ke festival musim panas, dia membelikanku yukata.

Membantu memperbaiki hubunganku dengan orang tua.

Mengajakku ke pantai.

‘Jangan menangis. Besok mau ketemu ayahmu dengan wajah seperti apa?’

Dan dia menghiburku.

Berulang kali...

Dan aku akan berpikir:

Kenapa waktu itu aku tidak berbicara dengannya?

Kenapa kami tidak berpisah dengan layak, bukan perpisahan sepihak?

...Apakah berpisah dengan Yamamoto seperti ini benar-benar yang kuinginkan?

Jawaban untuk pertanyaan Ibu sudah jelas.

“Tidak...”

Tentu saja tidak.

Perpisahan seperti ini.

Akhir seperti ini.

Tentu saja tidak.

“...Megumi. Naik kereta ke Tokyo sekarang, dan temui Yamamoto-kun.”

“...”

“Dan... jika setelah berbicara kalian memutuskan untuk tidak tinggal bersama lagi, saat itulah kita akan tinggal bersama.”

“...Eh?”

“Saat itu, kamu harus membalas budiku yang begitu banyak karena sudah merepotkan selama ini, ya.”

“...Ibu.”

Rupanya Ibu sudah memahami semuanya sejak awal.

Betapa besar perasaanku pada orang tua. Dan besarnya perasaanku pada Yamamoto yang melebihi mereka.

Perasaan takutku akan ditolak oleh Yamamoto.

Dan kelemahanku yang cemas akan kehilangan tempat tinggal.

Ibu mengerti... semuanya.

“...Terima kasih, Ibu.”

“Tidak.”

Ibu menggeleng.

“...Selama 18 tahun hidup bersama, ini pertama kalinya Ibu melihatmu begitu rapuh. Ibu senang.”

“Apaan sih?”

“Kamu akan mengerti suatu saat nanti.”

“...Ya.”

“Kalau begitu, pergilah.”

“...”

“Masih ada yang ingin dikatakan?”

“...Apapun akhir kisahku dengan Yamamoto, aku akan kembali menemui Ibu.”

“...Fufu.”

Ibu tersenyum lembut.

“Ibu akan menunggumu.”

Aku turun dari mobil.

Karena alasan awalnya adalah berbelanja, aku membawa dompet dan ponsel.

Satu-satunya kekhawatiranku adalah aku buta arah.

Aku tidak yakin bisa sampai ke rumah Yamamoto sendirian setibanya di Tokyo.

Tapi memintanya menjemput di stasiun juga agak memalukan.

“Ah!”

Aku mengutak-atik ponselku.

Dengan cara yang diajarkan Yamamoto tempo hari, aku menelepon.

Yang kuhubungi adalah...

“Halo, Megu?”

Sahabat terdekatku, Akari.

“...Cepet amat, baru satu dering.”

“Tentu. Ini kan telepon dari Megu.”

Aku tersenyum. Dia selalu baik padaku.

“Lebih dari itu, ada apa? Terjadi sesuatu?”

“...Akari, aku butuh bantuan.”

“Apa?”

“...Begini, aku berpikir untuk balik ke Tokyo sekarang.”

Aku melewati gerbang tiket stasiun.

“...Aku ingin bicara dengan Yamamoto. Tapi... aku tidak yakin bisa sampai ke rumahnya. Jadi... jika tidak keberatan, bisakah kamu menjemputku di stasiun?”

“...Begitu rupanya.”

“Maaf ya? Tapi sekarang hanya kamu yang bisa kuandalkan... Jadi...”

“...Maaf, Megu.”

“...Eh?”

...Aku tidak menyangka.

Tak kusangka Akari akan menolak.

Dia selalu baik padaku sejak kami bertemu kembali. Aku selalu merepotkannya. Apakah dia sudah muak?

“Bukan! Bukan begitu!”

“...Maaf.”

“Jangan minta maaf. Sungguh.”

“Aku merepotkanmu ya...”

“Sama sekali tidak! Bukan... bukan itu maksudku.”

Suaranya terdengar panik. Tidak seperti biasanya yang selalu tenang.

“Begini, Megu... Sulit dijelaskan, tapi kurasa tidak perlu.”

“Eh?”

Aku tidak mengerti maksud Akari.

“Akari... Apa maksudmu?”

“Kurasa... jemputan itu tidak perlu.”

Tidak perlu dijemput?

Maksudnya aku bisa pulang sendiri ke rumah Yamamoto?

Tidak mungkin.

Mustahil.

Tapi... Akari pasti tahu itu.

...Lantas, kenapa?

“...Karena—”

Saat Akari hendak menjelaskan—

Peron stasiun dipenuhi wisatawan.

Mereka berkelompok dan tampak senang berkunjung ke stasiun yang juga merupakan destinasi wisata.

Ada yang berfoto dengan ponsel.

Ada yang mendengarkan penjelasan pemandu.

Ada pula yang melihat-lihat sekeliling dan ingin cepat-cepat keluar dari stasiun.

...Di antara mereka, ada seseorang.

Seseorang yang jelas-jelas bukan datang untuk berwisata... duduk di bangku, agak menjauh dari keramaian, dengan wajah bosan memainkan ponsel.

“Akari, maaf.”

“Hm?”

“Teleponnya kututup, ya.”

“...Ya.”

Aku menutup telepon dan berjalan mendekati bangku itu.

“Panas...”

Pria itu mengibaskan tangannya seperti kipas, tapi tampaknya tidak terlalu berpengaruh.

Meski di tempat teduh, duduk di luar saat suhu lebih dari 35 derajat di tengah hari musim panas pasti sangat menyiksa.

“Lagi apa, sih?”

Aku menyapanya.

“...Oh.”

...Dia.

Dengan keringat mengucur di dahinya.

Melihatku dengan sedikit gembira.

“Kebetulan banget, ya, Hayashi.”

“...Iya juga, ya, Yamamoto.”

Pria yang duduk di bangku stasiun terdekat dari rumah orang tuaku adalah Yamamoto.

Pria yang paling kubenci di SMA... dan sekarang, orang yang paling berarti.

Yang kukira ada di Tokyo.

Yang hendak kujumpai.

“...Boleh duduk di sebelahmu?”

“Hm?”

“Tidak boleh?”

“...Lebih baik cari tempat yang lebih sejuk.”

“Tidak mau.”

“...”

“Di sini saja.”

Yamamoto menggeser tubuhnya ke ujung bangku.

Aku duduk di sebelahnya.

“Hei, Yamamoto...”

“Hm?”

“Kenapa kamu di sini?”

Para wisatawan berbondong-bondong keluar dari gerbang tiket.

Hanya tersisa kami berdua dan seorang petugas stasiun di seberang.

“...Aku datang untuk menjemput.”

“Siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan kamu?”

Keheningan.

Pengumuman memberitahukan bahwa kereta berikutnya akan segera tiba.

“Apa aku pernah minta dijemput?”

“Tidak, tidak pernah”

“...”

“Tapi kamu kan gak bisa pulang sendiri? Soalnya buta arah.”

“...Benar juga.”

“Dan kupikir ini sudah saatnya.”

“...Saatnya?”

“Upacara 7 harian juga sudah selesai, perasaanmu pasti sudah mendingan. Jadi kurasa ini sudah saatnya bagimu mulai berpikir untuk kembali.”

“...Begitu rupanya.”

Yamamoto memang hebat.

Dia bahkan tahu itu.

...Tapi.

“...Tapi, aku kan tempo hari bilang akan tetap di sini?”

“Iya, kamu bilang begitu.”

“Lalu... kamu pikir aku akan berubah pikiran?”

“Ya.”

“...Bagaimana kalau aku tidak berubah pikiran?”

Yamamoto terdiam sejenak.

“Aku juga tidak tahu.”

Akhirnya dia menjawab dengan kata-kata yang kurang meyakinkan, tidak seperti dirinya.

“...Kalau aku yang dulu, mungkin aku akan menyudahinya di situ.”

“...Menyudahi?”

“Ya. Aku akan mencoba untuk move on.”

“...Kenapa kali ini berbeda?”

“...Entahlah, kenapa, ya.”

Aku melirik Yamamoto sekilas.

“Kurasa aku akan menyesal.”

Dia menatap ke kejauhan.

“Awalnya kupikir akan lega. Kalau kita berpisah.”

“...Iya.”

“Tapi waktu kau telepon dan bilang akan tetap di kampung... Awalnya aku memang agak lega. Seperti beban terlepas. Pokoknya, itulah yang pertama kali kurasakan. Kupikir ini yang terbaik.”

“...”

“Tapi rasanya aneh. Padahal sebelumnya, kupikir apartemen itu terlalu sempit untuk ditinggali berdua...”

Dia tersenyum lembut.

“Ruangan untuk satu orang. Mungkin, kondisiku yang sekarang tinggal sendiri memang paling pas. Tapi... kini ruangan itu terasa sangat luas.”

Melihat senyumnya, jantungku berdegup kencang.

“...Dulu suara video dari belakangku terasa mengganggu, tapi sekarang justru terasa sepi tanpanya.”

Wajahku terasa panas.

“...Aku mencoba meniru masakanmu, tapi tak pernah bisa sama.”

Aku menyadari...

Aku ingin memeluknya sekarang juga.

“Lalu aku sadar. Kalau aku melepasmu di sini sekarang... aku pasti akan menyesal.”

Kereta memasuki peron.

Rambutku berkibar ditiup angin, menggelitik pipi... dan tanpa kusadari, mataku sudah tidak bisa lepas dari Yamamoto.

“Jadi, aku ingin tinggal bersamamu lebih lama lagi.”

Padahal peron dipenuhi wisatawan, tapi...

Kini, di mataku... hanya ada Yamamoto.

“Hayashi, bagaimana denganmu?”

Ketika dia bertanya...

Jawabanku, sudah kutentukan jauh...

Jauh sebelum dia bertanya.

“Ehm...?”

Tapi aku tidak langsung menjawab.

Ini sedikit siasat.

Trik murahan yang kulakukan agar dia melihatku lebih lama.

“...Gak boleh, ya?”

...Ah, gawat.

Melihat mata Yamamoto yang seperti yang ketakutan seperti hewan kecil...

Lucu sekali.

Menggemaskan.

Ingin kupeluk.

Aku jadi ingin sedikit usil lagi.

“Yah, apa boleh buat.”

Tapi, kasihan juga kalau lebih dari ini, jadi kujawab saja.

“Mulai sekarang, mohon kerjasamanya, ya.”

Dia tersenyum kecil, lalu berdeham untuk menutupi rasa malunya.

“Ya, aku juga.”

“Iya.”

“...Kalau begitu, pulang yuk.”

Ke rumah Yamamoto.

...Gawat.

Ada apa denganku?

Bahkan saat mulai pacaran dengan mantan pacarku. Bahkan saat mulai hidup bersama...

Aku tidak pernah merasa sesenang ini.

Tidak pernah merasa dia begitu menggemaskan.

Tidak pernah... begitu ingin mengabulkan keinginannya.

“Iya!”

Mengangguk antusias, dalam gejolak perasaan, aku memeluk lengan Yamamoto. Lengannya yang maskulin terasa kokoh... dan jantungku berdegup kencang.

Seolah menanggapi perasaanku, Yamamoto mengeluarkan suara konyol, dan langsung cemberut padaku seolah merasa terganggu.


Tapi... aku takkan melepaskanmu.

Soalnya ini salahmu sendiri, kan?

Kamu bersikap baik padaku yang cemburuan ini, memanjakanku, dan melindungiku dengan tulus..

‘Kalau aku melepasmu di sini sekarangi... aku pasti akan menyesal.’

Dan kamu bahkan nyaris menyesali keputusan untuk berpisah dengan orang sepertiku...

Karena kamu seperti itu, aku...

Aku jadi jatuh cinta padamu, tahu?


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

1 comment

1 comment

  • Agus Dedi Prasetya
    Agus Dedi Prasetya
    16/8/25 13:52
    Jejak vol 3 ch 10 , thanks admin buat uploadnya
    Reply
close