NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 2 Chapter 2

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 2

Ratu yang Berani

Aku terbangun pada waktu biasanya dan menghela napas.

Hari itu akhirnya tiba. Entah kenapa, aku merasa sedikit murung karenanya.

Aah, kenapa setiap kali kau tidur berarti harus bangun di hari yang baru?

Andai saja saat membuka mata, hari ini belum jadi hari esok.

…Tunggu. Kalau aku tidak tidur, mungkin saja hari esok tidak pernah datang?

Kutepis pemikiran bodoh itu, dan memutuskan untuk memulai rutinitas bersih-bersih pagiku.

Akhir-akhir ini, waktu bersih-bersihku dibatasi cuma 1 jam sehari gara-gara teman serumahku. Tapi aku sudah menuruti aturan itu dengan baik.

Artinya, kalau aku mulai bersih-bersih sekarang, aku harus berhenti begitu Hayashi bangun.

…Tunggu dulu.

Kalau dia masih tidur, dia kan takkan bisa melacak waktu bersih-bersihku. Jadi apapun yang kulakukan sekarang… tidak akan dihitung, kan?

…Jangan deh. Kalau ketahuan, bisa-bisa aku dibunuh.

“Pagi.”

“Yo.”

Saat aku sedang membersihkan balkon, Hayashi bangun dan menyapaku.

Sejak dia pindah ke sini, dia selalu datang menghampiriku begitu bangun pagi—di mana pun aku lagi bersih-bersih.

Tapi Hayashi bukanlah tipe orang yang gampang bangun pagi.

Rambutnya acak-acakan. Matanya masih terpejam meski sudah bangun. Langkah kakinya goyah sampai membuatku risau.

Jujur, aku berharap dia tetap di kasur saja sampai benar-benar sadar. Melihatnya seperti itu membuatku stres.

“Aku bikin sarapan, ya.”

“Awas kena luka bakar.”

“Aku bukan anak kecil, tahu… Aku bisa handle dikit-dikit.”

“Aku bilang hati-hati.”

Sambil menguap lebar dan mengabaikan peringatanku, Hayashi melangkah lesu ke dapur.

“Pastikan tetap sadar, ya? Hari ini Kasahara datang, ingat?”

“Uuugh…”

Itu bukan jawaban yang layak.

Hari ini Sabtu, hari libur dari kampus.

Dan hari ini, sahabat lama Hayashi, Kasahara, akan berkunjung.

Semuanya berawal pada hari ketika Hayashi dapat smartphone barunya—hari di mana aku memberinya kontak Kasahara.

Dia pun langsung menghubunginya.

‘Kalau mau kirim pesan kayak gini, enaknya bilang apa?’

Dia minta pendapatku, meskipun sudah tahu kalau aku tidak akan banyak membantu.

Akhirnya dia cuma kirim: [Lama nggak ketemu.]

Pesannya langsung dibaca. Setelah itu, banjir pesan panik datang dari Kasahara.

[Aku khawatir banget. Kamu ke mana aja selama ini? Ponselmu rusak atau gimana?]

Dan seterusnya—rentetan pertanyaan yang nyaris seperti interogasi.

…Tunggu. Bagaimana Kasahara tahu ponsel lamanya rusak?

Aku sempat bertanya-tanya soal itu, tapi mereka terus ngobrol—mungkin lagi reuni penuh haru. Mungkin, ya.

Hayashi memberinya gambaran umum tentang situasinya: Dia tinggal bareng pria setelah masuk kuliah. Ternyata pria itu abusif. Dia kabur. Sekarang dia tinggal di tempatku. Dan, berkat saranku, dia beli ponsel baru dan menghubungi Kasahara.

Awalnya, aku mengamati obrolan mereka dari samping—dengan izin Hayashi tentunya—tapi aku dengan cepat hilang minat dan mulai nonton TV.

‘Yamamoto.’

Aku sedang tertawa menonton acara lawak saat pesan itu datang.

‘Ya?’

’Akari bakal datang lusa.’

‘Eh, Kok bisa?’

Dan begitu saja, tanpa tanya dulu ke si pemilik apartemen, Hayashi langsung janjian reuni.

’Kalau gitu aku keluar aja pas kalian ketemu.’

Itu tawaran pertamaku.

‘Akari bilang dia mau berterima kasih padamu. Kamu harus ada.’

Tapi langsung ditolak.

‘Aku nggak suka ini…’

‘Kok gitu?’

‘Kamu yakin dia cuma mau ngucapin itu doang?’

‘Tentu aja.’

Hayashi menepisnya, tapi tidak bisa percaya. Firasatku mengatakan sebaliknya.

Soalnya, sama kayak aku dan Hayashi yang punya masa lalu di SMA… Kasahara dan aku juga punya.

Perasaan berat ini…

Tegarkan dirimu, kau pemilik tempat ini.

Dan tentu saja, Hayashi cuma memanggilku “tuan rumah” kalau lagi butuh aja.

Jadi begini rasanya jadi “manajer yang cuma nama saja” ya. Mungkin tidak persis, tapi kira-kira seperti itulah.

◇◇◇

Karena aturan bersih-bersih 1 jam per hari, aku jadi tidak ada kerjaan saat terkurung di apartemen.

Kupikir aku akan menghabiskan waktu dengan menonton TV, tapi karena tahu apa yang bakal terjadi, rasanya tidak bisa fokus.

“Kamu gelisah terus dari tadi.”

“Diam.”

Hayashi menatapku dengan tatapan yang terlalu dingin untuk waktu sepagi ini. Aku reflek membalas dengan nada kesal.

“…Hei, Yamamoto.”

“Apa?”

“Kamu tuh—”

Tepat saat dia mau bilang sesuatu, bel rumah berbunyi.

Aku sedikit terlonjak.

“Dia datang.”

Hayashi berbicara datar.

“…Yamamoto, bisa tolong bukain pintu?”

“Kenapa aku? Harusnya kamu kan yang buka.”

“…Iya juga.”

Hayashi berdiri dan pergi ke pintu masuk.

“Ya?”

“Megu!”

“Waaah!”

“Megu…! Aku khawatir banget sama kamu!”

Suara melengking yang familiar terdengar dari lorong.

Begitu mendengarnya, jantungku hampir loncat keluar.

Sejujurnya, aku sempat berharap kalau orang di depan pintu itu sebenarnya misionaris atau semacamnya.

Tapi tak salah lagi, itu suaranya Kasahara.

“Eh, Akari, jangan langsung loncat gitu—”

“Megu! Meeeeeguu!”

“Iih—Akari, berhenti! Geli, tahu!”

Dari pintu masuk, aku bisa dengar suara ceria Kasahara, diselingi suara Hayashi yang berusaha menahan energinya.

“…Hei, Akari. Jangan di sini. Malu dilihat tetangga. Masuk dulu, yuk.”

“Hmm? Gimana, ya~?”

“Sikap macam apa itu?”

“Enggak apa-apa kok~ Aku beneran khawatir, tahu?”

“Udah aku bilang, maaf soal itu.”

“Kalau kamu minta maaf. Itu artinya kamu emang ngerasa udah buat salah padaku, kan?”

“…Iya, benar.”

“Kalau kamu merasa udah buat salah, kamu mau dengerin permintaan kecilku, kan?”




Mereka ngelakuin apa sih di depan pintu rumah orang?

“…Kamu mau apa?”

“…Peluk aku.”

“Bisa nggak kalian nggak ngelakuin itu di depan pintu rumahku!?”

Tidak tahan dengan suasana yang makin mesra itu, aku akhirnya teriak ke arah pintu. Sial. Itu refleks. Padahal tadinya aku mau tetap tenang...

Begitu suaraku terdengar, obrolan mesra di depan pintu langsung terhenti.

Ya wajar sih—kalau sedang menikmati momen romantis terus tiba-tiba sadar ada orang ketiga yang dengerin dari tadi, pasti langsung canggung.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara sepatu dilepas.

“Halo, Yamamoto-kun.”

Kasahara masuk ke ruang tamu dengan suara ceria, seolah reuni dramatis tadi tidak pernah terjadi.

“…Hei.”

“Dih.”

Kasahara mengembungkan pipinya.

“A-Apa?”

“‘Hei’ itu bukan sapaan yang pantas, tahu?”

“…Halo.”

“Yap!”

Senyumnya cerah. Terlihat lembut dan ringan di permukaan, tapi aku tahu di baliknya ada aura yang tak bisa dianggap enteng.

Aku mengalihkan pandangan—kalau sampai aku terus mebatapnya, bisa-bisa aku bakal hanyut ke dalam ritmenya.

Begitu menoleh, mataku bertemu dengan tatapan Hayashi.

“Apa?”

“…Nggak apa-apa.”

Kali ini, dialah yang mengalihkan pandangan.

“Mau teh barley?”

Hayashi bertanya.

“Eh, nggak usah repot-repot.”

“Aku emang mau direpotin. Duduk aja.”

“Oke deh.”

Mengikuti arahannya, Kasahara duduk di meja rendah.

Tidak ada percakapan di antara kami.

…Kalau keduanya sama-sama ekstrovert, mungkin bisa langsung ngobrol ngalir tanpa jeda, ya?

Sayangnya meski Kasahara mungkin seorang ekstrovert, tapi aku tidak. Positif dikali negatif sama dengan negatif.

“Kamu nggak berubah ya, Yamamoto-kun.”

Kasahara tersenyum kecut.

“Maksudmu?”

“Kamu barusan mikir panjang di kepala terus ambil kesimpulan sendiri, kan?”

“…Nggak juga.”

“Bohong. Kelihatan jelas dari wajahmu.”

…Aku memilih diam.

“Maaf udah nunggu.”

Hayashi kembali sambil membawa teh barley.

“Biar aku yang bawa.”

Aku menjulurkan tangan untuk mengambil gelas darinya.

“Nggak usah.”

Dia menghentikanku.

Tiga gelas diletakkan di meja kecil, dan Hayashi duduk.

“Sekali lagi. Lama tak jumpa, Megu.”

“Lama tak jumpa. Maaf udah bikin kamu khawatir.”

Kemudian Hayashi tampaknya baru menyadari sesuatu.

“Bukankah ini juga semacam reuni buat Yamamoto?”

“Yah, kita satu kampus, ingat? Sebenarnya kami sempat ngobrol belum lama ini.”

“Hei, sekarang bukan waktu yang pas untuk bahas itu, kan?”

…Aku sengaja tidak bilang ke Hayashi kalau aku dan Kasahara sempat ngobrol di kampus.

Kenapa? Karena waktu itu aku diam-diam bantu dia dari belakang layar. Dan aku tidak ingin dia tahu soal itu.

Kupikir Kasahara bakal paham—tapi dia tetap mengatakannya.

“Oh, begitu…”

Nada suara Hayashi sedikit menurun.

“Aku bertanya padanya apa dia pernah melihatmu di sekitaran sini.”

“Hmm…”

“Dia bilang tidak. Itu sekitar semingguan yang lalu, ya?”

“…Waktu itu, aku sempat curiga kalau kamu ada hubungannya sama si tukang DV itu.”

“Gitu ya…”

…Suasananya jadi aneh sekarang.

“Jadi kamu nyari aku, ya. Aku beneran bikin kamu khawatir.”

“Tentu saja. Waktu kamu tiba-tiba ngilang gitu, aku tiap hari kirim pesan lho.”

“Maaf. Soalnya ponselku dihancurin.”

“Iya, aku tahu.”

—Lah, kok kamu tahu!?

Sementara aku sempat kaget, dua gadis itu malah ketawa-ketiwi. Emangnya ini lucu?

Lalu Hayashi mulai menceritakan kisahnya.

Kasahara mendengarkan tanpa menyela, dan perlahan senyum di wajahnya sirna.

Mendengar pengalaman menyakitkan yang dialami sahabat dekatnya, tentu saja dia tidak bisa terus tersenyum.

“Seriusan—kalau waktu itu aku gak ketemu Yamamoto, gak tahu lagi deh bakal kayak gimana jadinya.”

Di akhir, Hayashi bahkan bisa tertawa kecil—seakan dia sudah berhasil melewati semuanya.

“Iya… iya. Aku bener-bener bersyukur. Makasih ya, Yamamoto-kun.”

“Yah, aku cuma ngelakuin hal yang bakal dilakuin siapa pun.”

“Enggak, gak semua orang bisa ngelakuin itu. Kamu hebat, Yamamoto-kun!”

Aku tidak menjawab apa-apa.

“Tapi aku kaget lho. Bukan cuma soal kekerasannya—meskipun itu aja udah parah—tapi pas tahu kalau kamulah yang nampung Megu? Gak disangka-sangka.”

“Aku juga sama. Dia gak punya tempat buat pulang. Aku yakin dia benci tinggal di tempat sempit gini, tapi… itu satu-satunya pilihan terbaik yang kami punya.”

Aku mengatakannya sambil sedikit meringis. Dan saat itu juga, aku melihat tatapan curiga dari gadis di sebelahku.

“Apa?”

“Nggak ada apa-apa.”

Aku bertanya ke Hayashi maksud dari tatapan itu, tapi dia tidak menjawab.

“Jadi, yang paling pengen ku tahu sekarang adalah… Megu, kamu udah aman, kan? Gak bakal kena DV lagi, kan?”

“Dia nggak bakal bisa ngelakuin DV lagi. Aku udah bilang nggak bakal balik lagi padanya.”

“Kalau begitu…”

“Tapi pria yang menyakitinya belum tertangkap. Masih ada kemungkinan dia bakal ngelakuin sesuatu.”

“…Gitu ya.”

Kasahara menunduk.

“Kasihan Megu…”

“Hei, aku nggak selemah itu, tahu.”

“Tapi… waktu itu kamu diam aja pas dia mukul kamu, kan?”

Sial. Kasahara tidak menahan diri. Masalah DV seringkali memburuk karena korbannya membiarkan pelaku.

Tentu aja, bukan berarti itu salah korban.

Tapi, ada saja pakar gadungan yang melontarkan pernyataan tidak bertanggung jawab seperti, “Harusnya bisa jaga diri.” Komentar Kasahara barusan persis kayak begitu.

Wajah Hayashi langsung murung.

“Mending berhenti sampai situ, Kasahara.”

“…Iya. Maaf, Megu. Aku nggak bermaksud nyalahin kamu.”

“...Kalau gitu jangan ngomong hal sekejam itu dong.”

“Soalnya kalau aku nggak ngomong gitu, takutnya kamu bakal ngalamin hal yang sama lagi. Soalnya kamu itu kelewat baik, Megu.”

Baik, ya…

Berapa banyak orang waktu SMA yang bakal menyebut Hayashi “baik”?

Setidaknya, sebelum kami bertemu lagi, aku takkan pernah pakai kata itu.

Perbedaan pandangan itu… menunjukkan kalau hubungan mereka memang jauh lebih dalam dari sekadar persahabatan biasa.

“…Boleh jujur, nggak?”

“Apa?”

“Kayaknya pria itu nggak bakal ngejar aku.”

“Kenapa?”

“Soalnya dia tipe orang yang sangat peduli dengan citranya.”

Dan maksudnya…?

“Kurasa dia bahkan nggak bakal bisa keluar rumah lagi.”

“Karena diburu polisi?”

Aku ikut nimbrung.

“Itu kayaknya terlalu optimis. Laporannya sih udah diterima, dan dia resmi jadi buronan. Tapi seberapa serius polisi ngejar dia… itu belum tentu. Soalnya ada banyak kasus lain yang lebih berat. Bisa aja kasus ini bakal ditunda.”

“Bukan itu maksudku.”

“Hah?”

“Maksudku soal sifatnya.”

“…Terusin.”

“Seperti yang kubilang—citra publik adalah segalanya baginya. Apa kamu pikir orang kayak gitu bakal dengan santainya keluar kalau ketahuan orang lain berarti akhir segalanya?”

…Dia ada benarnya juga. Logika Hayashi masuk akal.

“…Kalau gitu, Megu, itu artinya kamu udah bebas keluar, kan?”

Kasahara berseri-seri.

Hayashi memang orang yang aktif, dan dia mungkin berharap bisa keluar lagi.

Tapi dari sudut pandangku… rasanya masih terlalu cepat.

Lebih baik dia tetap di rumah—setidaknya sampai situasinya tenang.

Tapi… kalau ditanya berapa lama tepatnya dia harus ngurung diri… aku juga tidak bisa jawab pasti.

Yang pada dasarnya berarti… aku seakan bilang, “Harus tinggal di sini selamanya,” kan?

Tapi kenyataannya, sejak lapor polisi, Hayashi sudah beberapa kali keluar rumah. Dan tidak pernah terjadi apa-apa.

…Kalau begitu, kesimpulannya cuma satu.

“…Yah, kurasa udah aman.”

Aku mengatakannya dengan setengah yakin.

Dan saat itu juga, wajah dua gadis itu langsung bersinar.

“Keren, Megu!”

“Iya…”

“Tapi untuk sekarang, sebaiknya kamu jangan keluar sendirian.”

Itu kompromi terbaik yang bisa kutawarkan.

“Untuk sementara, keluar cuma kalau bareng aku atau Kasahara.”

“Oke. Aku ngerti.”

Saat obrolan kami sampai titik tenang, perut Hayashi bunyi—mungkin karena semua ketegangan barusan sudah mereda.

“Ada yang lapar kayaknya.”

Kasahara tersenyum, sementara Hayashi memerah malu.

“Makan di luar, yuk?”

“…Gak, aku masak aja.”

“Eh, kamu bisa masak?”

“Bisa dong. Soalnya pernah diajarin seseorang.”

“…Kayaknya kamu nggak mau sebut siapa orangnya.”

Tajam banget, Kasahara. Tapi dia benar.

“Kalau gitu, aku pengen makan masakanmu, dong.”

“…Ah, tapi kulkasnya kosong.”

“Kalau gitu, ayo belanja!”

“Ayo!”

“Kalian butuh bantuan pria, kan? Aku ikut.”

Aku berdiri mengikuti dua gadis itu.

Saat itu, Hayashi menatapku dengan tatapan aneh lagi.

“Apa?”

“…Gak ada apa-apa.”

Dia membuang muka sambil cemberut. Aku hanya bisa memiringkan kepala, bertanya-tanya ada apa dengannya, tetapi dia tidak memberikan indikasi untuk menjelaskan.

Masih kebingungan, kami bertiga pun pergi bersama untuk berbelanja bahan makanan.

◇◇◇

“Hei, Megu. Masakan andalanmu apa?”

Kasahara bertanya dengan ceria, jelas-jelas sedang menikmati momen ini.

Dalam perjalanan menuju supermarket, aku berjalan di belakang mereka berdua, mendengarkan percakapan mereka.

Buat orang yang melihat sekilas, aku pasti kelihatan kayak stalker.

Dilihat berkali-kali pun, tetap kelihatan kayak stalker.

Aku benar-benar sial.

Serius deh, bisakah kalian berdua tidak mengabaikanku sambil cekikikan begitu? Kalau terus begini, bisa-bisa aku dilaporin ke polisi.

“Masakan andalan, ya? Hmm… labu rebus, mungkin.”

“Waaah. Terus kamu masih ingat makanan favoritku, gak?”

“Tsukudani.”

“Yap. Lain kali kamu harus menyuapiku, ya?”

Biasanya, Hayashi bakal nolak permintaan kayak gitu.

Mereka memang sahabatan, tapi bukan pacaran.

Kalau aku lihat dua gadis saling suap-suapan makanan kayak pasangan, jujur saja aku bakal bengong.

“Oke.”

…Dan aku pun terkejut. Sangat terkejut.

Apa-apaan ini? Beginikah pertemanan gadis zaman sekarang? Apa saling menyuapi makanan itu momen emosional?

Dan makanan favorit mereka juga jadul banget.

“Ngomong-ngomong, makanan favorit Yamamoto itu hamburger.”

“Ih, kekanak-kanakan banget.”

“Diam.”

Akhirnya aku bisa ikut nimbrung, meski dengan nada kesal. Tapi mereka berdua sama sekali tak menghiraukanku, malah tetap tersenyum satu sama lain seolah aku tidak ada di situ. Jarak wajah mereka juga… anehnya sangat deket.

“Akari, wajahmu agak merah.”

“E-Eh!? Enggak kok!”

“Kamu demam ya? Mau balik ke apartemen aja?”

“Gak ah! Aku gak mau!”

Ada apa sih sama dua orang ini? Ini bukan interaksi sahabat normal. Aku tahu—pasti ada sesuatu yang lebih mendalam yang terjadi di sini...

“Kalian yakin gak terlalu heboh karena reuni ini?”

“Emang iya?”

“Eh? Gak juga, kok.”

“Tapi Yamamoto bilang begitu, lho.”

“Megu, kamu lebih percaya kata-kataku atau kata-kata Yamamoto-kun?”

“Hmm…”

Hayashi sempat berpikir sejenak.

“Kalau begitu… kami gak heboh.”

“Apa maksudnya itu?”

Dihadapkan dengan pilihan Kasahara, Hayashi langsung menolak keraguanku tanpa ragu-ragu.

Itu tidak seperti dirinya—dia kelihatan lebih ceria, bahkan agak songong.

Dia menambahkan senyum kecil penuh kemenangan. Benar-benar nyebelin.

Tapi ya, dia cuma memihak Kasahara. Ada apa dengan kepercayaan diri yang konyol itu?

“…Terserahlah. Yang penting kalian senang.”

Sepertinya lebih baik tidak membahasnya lebih jauh.

“Kamu baik banget, Yamamoto-kun. Aku bisa jatuh cinta lagi, nih~”

Kata Kasahara sambil tersenyum nakal.

“Candaan yang garing.”

Sambil menahan degup jantung yang makin kencang, aku berpaling dari tatapannya.

“Ngomong-ngomong, kalian satu universitas, kan? Tapi gak pernah ngobrol di kampus?”

“Kalau dipikir-pikir, tidak sampai baru-baru ini. Benar kan?”

“Iya, kurasa.”

Yah, jurusan kami beda, jadi tidak sering ketemu.

Tapi kalau ditanya apa aku tidak pernah melihatnya di kampus… itu bohong.

Kenyataannya, aku sengaja pura-pura tidak lihat.

Kenapa? …Aku tidak mau membahasnya.

“…Oh begitu.”

Hayashi yang kukenal di SMA pasti bakal langsung memaksaku untuk cerita, tapi kali ini tdiak.

Aku bersyukur atas pengendalian dirinya.

“Hei, hei—mumpung udah di luar, gimana kalau mengadakan pesta takoyaki untuk makan siang?”

Begitu sampai di supermarket, Kasahara langsung usul.

Pesta takoyaki.

Dengan kata lain, ini acara makan sosial yang dilakukan kaum ekstrovert untuk mempererat hubungan.

“Aku tidak ikut.”

“Aku juga.”

“Eh? Kenapa~?”

“Aku ngerasa ini bakal jadi kacau. Aku gak suka main-main sama makanan.”

Untuk sekali ini, aku dan Hayashi sependapat.

“Tenang aja! Kita gak bakal main-main kok.”

“Kamu yang paling liar waktu acara bareng Icchan dan yang lain, lho.”

“Kali ini beda!”

“Oh ya?”

“Megu, percayalah padaku!”

“Hmm…”

Hayashi menyilangkan tangan, berpikir.

“…Oke, ayo kita lakukan.”

“Kamu nyerahnya cepet amat.”

“Soalnya… Akari minta aku untuk memercayainya.”

“Kamu ini penurut sekali…”

Tingkat kepercayaan yang tidak sehat. Atau mungkin dia cuma bersikap kayak gini ke Kasahara aja?

Kalau memang gitu, maka ya—hubungan mereka sangat dalam.

“…Tapi di tempat kita gak ada alat buat bikin takoyaki, lho.”

Meski kalah suara, aku masih punya alasan kuat buat membatalkan rencana ini.

“Ahh… iya juga. Aku juga lagi gak mood beli peralatan. Kita batalin aja kalau gitu.”

“Oh, aku ambil punyaku dari rumah. Dekat, kok.”

“Serius? Makasih!”

Hayashi menepukkan tangannya dengan senang.

“Kalau gitu, sambil kamu mengambilnya, kami akan belanja, oke?”

“…Eh, kalau gitu kenapa gak sekalian aja acaranya di rumahku?”

“Oh! Bagus tuh!”

“Apanya yang bagus, coba!?”

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut campur.

“Kamu kenapa sih?”

“Maksudku, ayolah. Mengajak pria ke rumahmu begitu saja—bukankah itu agak berisiko?”

“…Emangnya gitu?”

“Ya jelaslah.”

Meski aku bilang gitu, pikiran lain sempat terlintas di benakku.

“…Kamu sering undang pria ke rumah?”

“Eh?”

Kasahara sempat terlihat benar-benar terkejut.

Lalu dia tersenyum nakal.

“Menurutmu gimana?”

Aku terdiam.

Kasahara itu imut. Dia sudah tinggal sendiri selama beberapa bulan sebagai mahasiswi.

Sulit membayangkan dia belum punya teman pria dekat selama itu

Lagian, fakta bahwa dia punya alat pembuat takoyaki berarti dia udah pernah undang orang ke rumah.

Tapi sebenarnya, bukan itu intinya.

Yang membuatku bungkam bukanlah topiknya, melainkan karena rasa jijik pada diri sendiri—karena sudah mengorek kehidupan pribadinya.

“…Hehe.”

Kasahara tersenyum licik.

“Aku gak pernah undang cowok. Cuma teman cewek.”

“…Oke.”

Dan itu terjadi lagi—dia benar-benar memahamiku.

Sesaat yang lalu, aku merasa seperti orang aneh, dan sekarang malah lega karena jawabannya.

Ada apa denganku?

“Kalau gitu, kita selesaikan belanjanya.”

Aku menghela napas, jelas kelelahan.

“Iya, ide bagus. Jadi, kita adakan acaranya di rumahku ya?”

“Terserah kalian.”

Dan dengan itu, kami masing-masing mengambil keranjang belanja dan melangkah masuk ke supermarket.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close