NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 3 Chapter 2

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 2

Ratu yang Tidak Mendapat Giliran Tampil.

Pagi-pagi sekali, sebelum alarm jam weker berbunyi, aku sudah terbangun.

Aku bangkit dari tempat tidur dan meregangkan tubuhku yang sedikit kaku karena tidur semalaman.

Saat kubuka jendela yang mengarah ke balkon, terdengar suara burung tekukur dari kejauhan.

Sambil memejamkan mata untuk menghayati suara khas burung itu, aku teringat pada suatu hari saat aku masih SD, ketika diam-diam mencoba begadang tanpa sepengetahuan orang tua.

Kalau dipikir-pikir, waktu itu juga hari yang lembap dan gerah seperti sekarang. Meskipun panas yang menyengat di kulit terasa tidak nyaman, itu juga menciptakan perasaan sedikit tidak biasa, membuatnya terasa istimewa.

“Baiklah, waktunya bersih-bersih.”

Hari ini mau bersih-bersih bagian mana, ya? Mumpung lagi libur musim panas. Mungkin tidak ada salahnya untuk tidak sarapan dan fokus bersih-bersih seharian.

“Yah, tapi itu setelah Hayashi pergi dari kamar ini.”

Beberapa hari lalu, karena terlalu asyik bersih-bersih, aku sampai membuat Hayashi yang sudah memanggilku untuk makan siang menunggu selama satu jam. Akibatnya, dia memerintahku untuk membatasi waktu bersih-bersih jadi satu jam sehari, dan dengan berat hati aku menurutinya.

Sejujurnya, aku tidak perlu menuruti perintah Hayashi.

Soalnya, pemilik kamar ini kan aku. Aneh rasanya jika aku, yang jadi tuan rumah malah disuruh-suruh sama Hayashi yang sedang kutampung.

Lagipula, setelah tanganku cedera oleh pisau wanita yang menampung pria pelaku KDRT itu, aku sempat mengusulkan agar pembatasan waktu bersih-bersih dihapuskan. Tapi pada akhirnya, aku tetap saja mengikuti perintah Hayashi.

…Soalnya ya.

Hayashi itu… kalau marah, menakutkan.

Entah kenapa, suara teriakan histeris wanita itu selalu nyaring dan menusuk telinga.

Terus terang, aku selalu berusaha sebisa mungkin untuk tidak membuat wanita marah, hanya karena tidak ingin mendengar suara itu.

Dan lagi, suatu hari setelah pembatasan waktu bersih-bersih dicabut, aku pernah bersih-bersih sepuasnya, tapi wajah Hayashi saat itu...

‘Aku memang bilang kamu boleh bersih-bersih sepuasnya, tapi aku tidak bilang kamu harus bersih-bersih sepuasnya, tahu?’

Aku teringat dia mengatakan sesuatu yang tidak hanya sulit dipahami dari wajahnya, tapi juga perkataannya.

Dengan begini, kalau aku bersih-bersih seenaknya lagi, pasti bakal dimarahi Hayashi lagi. Menyadari hal itu, aku memberlakukan kembali pembatasan waktu bersih-bersih pada diriku sendiri sebelum dimarahi.

Haa… sungguh. Sejak SMA, Hayashi itu memang menyeramkan kalau lagi marah.

Kalau ditanya seperti apa seramnya, jika kau membuat Hayashi marah, dia akan menyerangmu bersama beberapa teman dekat wanitanya. Kalau sampai dijadikan sasaran oleh kelompok Hayashi, yang berada di puncak kasta sekolah, bisa dibilang martabat sebagai manusia itu lenyap tak bersisa.

…Ya, itu mungkin berlebihan. Tapi tetap saja, menakutkan. Dan berisik pula. Jadi ya, mau tak mau aku terpaksa nurut.

“Padahal seharusnya, Hayashi akan segera pergi dari sini.”

Kenangan tentang kemarin pun kembali terlintas di benakku.

Waktu sedang menandatangani kontrak sewa di agen properti, tiba-tiba muncul masalah yang tidak kusadari sebelumnya.

Yaitu soal Hayashi yang tidak punya penjamin.

Akhirnya, masalah itu tidak terselesaikan di sana. Bahkan situasinya malah semakin buruk.

Masih di bawah umur.

Tidak punya alamat tetap.

Tidak punya pekerjaan.

Tidak ada penjamin.

Kalau dipikir-pikir sekarang, kondisi Hayashi yang menyedihkan itu jelas membuatnya tidak bisa dipercaya untuk menyewa properti.

Pencarian properti yang sudah hampir mencapai tahap kontrak pun batal seketika.

‘Mohon maaf. Ini semua karena saya tidak memastikannya dari awal.’

Saat hendak pulang, Tashiro-san terus menerus meminta maaf.

Kemungkinan besar, prosedur kerja Tashiro-san tidak sepenuhnya sesuai dengan agen properti tempatnya bekerja.

Seharusnya, identitas calon penyewa dicek terlebih dahulu. Soalnya, itu bisa mempengaruhi properti mana yang bisa direkomendasikan.

Penyebab dia tidak mengikuti prosedur mungkin karena dia masih muda dan kurang pengalaman.

‘Tidak, Mei-chan. Justru aku yang minta maaf.’

Meskipun pencarian tempat tinggal Hayashi berakhir sia-sia karena kurangnya pengalaman Tashiro-san, Hayashi sama sekali tidak menyalahkannya.

Yah, pada akhirnya ini memang akibat dari kondisi Hayashi sendiri, jadi mungkin dia memang tidak berniat menyalahkan orang lain.

Bagaimanapun juga, karena berbagai alasan itulah, Hayashi akan tetap tinggal di kamar ini untuk sementara waktu.

Itu berarti, waktu bersih-bersihku pun akan tetap dibatasi satu jam seperti biasa.

“Dia malah enak-enakan tidur, tanpa tahu perasaanku.”

Aku kembali ke ruang tamu dan melihat wajah Hayashi yang masih tidur di atas kasur. Entah kenapa, melihat itu membuatku jengkel.

“Yamamoto, jangan sisakan pakcoinya.”

Hayashi menggumam dalam tidurnya.

“Aku kan emang gak suka pakcoi.”

Aku menghela napas dan memutuskan untuk mulai bersih-bersih.

Karena hanya bisa bersih-bersih satu jam, hari ini kuputuskan untuk fokus membersihkan toilet saja.

“Pagi.”

“Oh, pagi.”

Setelah menikmati bersih-bersih selama sekitar satu jam (lebih sedikit), Hayashi akhirnya bangun. Dengan mata sayu karena mata kering, dia berjalan setengah mengantuk menuju dapur.

“Hati-hati, ya.”

“Iya, tahu… aduh!”

Sebenarnya apa yang dia tahu?

Melihat pertanda buruk yang langsung menjadi kenyataan, aku kembali menghela napas.

Sepertinya dia barusan melukai jarinya dengan pisau.

Dengan enggan aku menghentikan kegiatan bersih-bersihku dan membuka kotak P3K di ruang tamu. Aku pun mengambil selembar plester.

“Nih, mau kutempelin plester. Coba tunjukin.”

“…Maaf. Bisa pakai tangan kiri aja?”

Hayashi bilang begitu sambil melihat ke arah tangan kananku yang masih dibalut perban.

“Gak apa-apa… ah.”

“Atas dasar apa kamu bilang gak apa-apa?”

Hayashi berkata dingin sambil melihat plester yang jatuh dari tanganku.

Sepertinya karena jarinya teriris dia jadi benar-benar sadar sepenuhnya. Lidah tajamnya pun kembali aktif.

“Aku tempelin sendiri aja.”

“Silakan.”

“Maaf.”

“Jangan minta maaf. Malah jadi ribet.”

“Iya, iya.”

Meskipun sempat jengkel, Hayashi segera tersenyum kecil. Suasana di antara kami jadi lebih hangat.

“Yamamoto, hari ini kamu juga kerja, kan?”

Hayashi berkata begitu sambil menempelkan plester ke jarinya.

“Iya.”

“Duh, mumpung liburan musim panas, kenapa tidak coba nikmati masa muda sedikit?”

“Masa muda…?”

“Jangan bereaksi seakan-akan baru pertama kali dengar kata ‘masa muda’ gitu.”

“Oi, oi, itu keterlaluan. Tentu saja aku tahu soal masa muda. Paling tidak secara kata.”

“Jadi kamu gak punya pengalaman nyata soal masa muda, ya.”

“Yang namanya masa muda itu baru sadar setelah lewat masanya.”

“Wah, kayak ahli masa muda aja. Padahal kamu menyia-nyiakan masa mudamu.”

Omongannya Hayashi selalu setajam pisau.

“M-Mau bagaimana lagi. Untuk menikmati masa muda atau apa pun, semua butuh uang. Hari ini aku kerja paruh waktu sebagai investasi awal.”

“Misalnya untuk sekadar nongkrong minum bareng teman, kan gak butuh uang banyak. Beberapa jam kerja sebagai investasi awal sudah cukup, kan?”

“Bodoh. Meskipun pergi minum-minum, gak mungkin cuma sekadar minum saja”

“Maksudnya?”

“Macam-macam, lah. Bisa aja tiba-tiba ditawarin MLM, atau disuruh beli guci biar semua kerabat gak dikutuk.”

“Sepertinya itu bukan teman.”

“A-Apa kau bilang!?”

…Kalau begitu, orang yang sering mendekatiku pas lagi makan sendirian di kantin kampus, dan sok akrab itu siapa, dong?

“Ya udah, mari sarapan.”

“Oh.”

Hayashi menghentikan obrolan receh kami dan mulai menyiapkan sarapan.

Beberapa puluh menit kemudian, sarapan pun siap dan kami makan bersama.

“Kalau begitu, aku berangkat kerja dulu.”

“Iya, hati-hati ya.”

“Oh.”

Menjelang siang, aku berangkat kerja paruh waktu. Hayashi mengantarku sampai pintu depan.

“…Hari ini pun seperti biasa, ya.”

Di jalan menuju minimarket tempat aku kerja, aku berpikir begitu.

Seharusnya tidak begini rencananya. Hayashi seharusnya sudah mulai persiapan untuk kehidupan barunya, dan aku sendiri rencananya mau bantu-bantu dia mengemasi barang. Kalau semua berjalan sesuai rencana, pasti kami tidak punya waktu untuk bercanda seperti tadi pagi.

Pindahan, perawatan tanganku, kerja paruh waktu.

Kupikir berbagai hal akan berlalu dengan sibuk, dan tanpa sadar Hayashi sudah pergi dari apartemenku.

Jika demikian, kupikir setelah semuanya tuntas, aku bakal merasa puas dan lega.

Karena itu, sejujurnya... aku merasa sedikit kecewa.

“Yah, mungkin buat sementara waktu lagi, waktu seperti ini tidak buruk juga.”

Untuk sementara waktu lagi, ya…

Kalau begitu, sampai kapan sementara waktu itu...?

Aku sadar, di satu sisi aku ingin keadaan tetap begini, tapi di sisi lain aku tahu ini tidak boleh dibiarkan terus-terusan.

Soalnya, keadaan yang stagnan itu bisa melahirkan kemalasan, dan kemalasan menghambat pertumbuhan seseorang

Logika ini, entah kenapa mirip ucapan CEO startup, ya. Abstrak, kurang konkret, persis begitu.

Tapi yah, memang benar bahwa melanjutkan kehidupan bersama dengan Hayashi di rumahku bukanlah hal yang sepatutnya. Berkali-kali kurenungkan, kami bukanlah keluarga, bukan pula sepasang kekasih.

Alasan aku menampungnya adalah karena dulu ada bahaya yang mengancamnya. Intinya, tinggal bersama begini hanyalah bentuk perlindungan sementara.

Sekarang, setelah ancaman itu berlalu, melanjutkan kehidupan bersama seperti ini bisa menimbulkan kesalahpahaman di mata orang lain.

Lantas, aku harus bagaimana?

Kalau sampai mengusir Hayashi secara sepihak di titik ini, itu bukan pilihan yang tepat.

Menitipkan dia ke rumah orang lain? Itu juga akan kelihatan seolah-olah aku sedang melimpahkan masalahku pada orang lain.

…Kalau begitu, yang harus kulakukan adalah membuatnya bisa menyewa properti sendiri.

Intinya, menyelesaikan masalah dengan penjamin.

Memperbaiki hubungan dengan orang tuanya yang selama ini terputus.

Hal yang harus dilakukan sudah jelas.

Tapi aku sendiri tidak punya cara untuk menghubungi orang tua Hayashi.

…Kalau begitu, aku harus mengandalkan, dia.

“Haa… malasnya.”

Aku menghela napas berat, dan dengan tekad bulat mulai mengoperasikan ponselku.

『Hari ini, jam tujuh malam kamu senggang gak?』

Orang yang kukirimi pesan adalah…

『Boleh kok』

“Cepet amat balasnya….“

Kasahara Akari. Sahabat terbaik Hayashi.

◇◇◇

Aku janjian dengan Kasahara di restoran keluarga dekat minimarket tempatku bekerja.

Begitu selesai kerja, aku buru-buru ganti baju dari seragam ke pakaian biasa, lalu menuju restoran itu.

“Hei, Yamamoto-kun.”

Kasahara sudah sampai lebih dulu di restoran.

“Maaf udah nunggu.”

“Enggak apa-apa, kok. Kamu datang lima menit lebih awal dari waktu janji.”

“Eh? …Oh, ya. Berarti aku gak salah, ya.”

“Ih, jangan dianggep serius. Kan udah kubilang dari SMA, jangan pernah membuat wanita menunggu.”

“…Kalau gitu, jangan datang lebih awal, dong.”

Kalau kamu datang lebih cepat dari waktu janjian, aku bakal tetap salah, dong.

Masa aku harus datang lebih awal lagi karena tahu kamu bakal datang lebih awal? Lalu apa gunanya waktu janjian...?

Aku duduk di sofa yang ada di seberang Kasahara.

Di depannya sudah ada gelas bekas makan parfait.

“Sebenarnya kamu udah sejak kapan di sini?”

“Hmm? Sekitar setengah jam yang lalu, keknya.“

Kasahara asyik memainkan panel sentuh di meja. Sepertinya dia masih mau pesan sesuatu lagi.

“Ngomong-ngomong, gak nyangka juga. Yamamoto-kun ngajak ketemuan di restoran keluarga begini.”

“Hm?”

“Soalnya waktu SMA, kamu kan gak suka restoran keluarga. Katanya mahal.”

“…Ah. Yah, anggap saja ini sebagai biaya yang diperlukan untuk menikmati masa muda.”

“Hee… Jadi Megu memberitahumu sesuatu tentang itu.”

“Tajam amat.”

“Soalnya aku tahu semua tentang Megu.”

“Iya-iya. Berat, nih.”

Aku manyun sambil menjawab begitu.

“Terus? Ada urusan apa? Sampai-sampai Yamamoto-kun minta konsultasi dariku. Pasti ada hal penting, ya?”

“Ya, begitulah.”

“Ini soal Megu, kan?”

“…Ya.”

“Megu kenapa?”

“Sebelum itu, bisa gak setiap kali nyebut nama Hayashi jangan ditekankan begitu? Ganggu, tahu.”

Kasahara menggembungkan pipinya.

“Yah, pertama-tama, mending aku ceritain dulu apa yang terjadi.”

“Benar. Tapi, ceritain dulu kondisi luka di tanganmu itu.”

“Hm?”

“Yamamoto-kun, kamu mungkin lupa karena terlalu asyik bermesraan dengan Megu, tapi kita belum ketemu lagi sejak festival musim panas itu.”

Festival musim panas yang dimaksud adalah hari ketika Hayashi hampir diserang oleh wanita yang menampung pria pelaku KDRT itu.

Begitu, ya. Sejak saat itu, aku belum bertemu dengan Kasahara.

“Aku juga cukup khawatir denganmu, tahu…?”

Setiap kali ngomongin Hayashi, Kasahara selalu sangat antusias.

Melihatnya terus-terusan ngomong Megu, Megu, seperti itu, aku merasa gemas sekaligus menyadari bahwa aku takkan pernah bisa menandingi Hayashi.

Mungkin karena sudah terlalu sering melihat pemandangan itu, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti berharap pada Kasahara.

Tapi… mengetahui bahwa dia masih memikirkan dan mengkhawatirkanku, meskipun cuma sebatas orang biasa, membuatku merasa senang sekaligus bersalah.

“…Maaf.”

“Tidak apa-apa. Asalkan kamu baik-baik saja, itu sudah cukup.”

Mungkin memang tidak ada kebohongan di kata-kata Kasahara.

“Kalau begitu, ceritakan apa yang terjadi. Dalam kehidupan bersama kalian berdua.”

Aku mengangguk kepada Kasahara yang tersenyum.

Lalu, di dalam restoran keluarga dengan BGM lembut, aku dengan tenang menceritakan pada Kasahara tentang apa saja yang terjadi sejak festival musim panas sampai hari ini.

Sejak dulu aku sudah tahu, berbeda denganku, Kasahara adalah pendengar yang baik. Dia selalu mengangguk di waktu yang pas, dan pertanyaan-pertanyaannya selalu tepat sasaran karena memang benar-benar mendengarkan.

Tanpa sadar, hal-hal yang awalnya tidak ingin kukatakan pun malah keluar gara-gara Kasahara.

Setelah selesai bercerita, aku sempat melirik ke arah bangku dekat jendela. Ada seorang anak kecil yang tertawa dengan suara nyaring di sana.

“Begitu, ya.”

Sementara itu, Kasahara tampaknya sedang mencerna sendiri cerita yang didengarnya.

“Jadi intinya, Yamamoto-kun, mengabaikan kekhawatiranku, malah dapat alasan untuk memperpanjang hidup bareng Megu, ya.”

“Ah. Memang benar, tapi salah juga.”

“Dan lagi, karena Megu sedang putus hubungan sama orang tuanya, jadi hubungan manis kalian berdua bakal terus berlanjut, ya!”

“Itu sih terlalu dilebih-lebihkan…“

Apa yang membuat Kasahara jadi begitu tersinggung?

Entah kenapa, sepertinya aku telah membuatnya.

“Tenanglah sedikit. Suaramu lebih keras dari anak kecil di sana, tahu?”

“Mana bisa aku diam aja!?”

“Bisa dong. Tuh, lihat, anak kecilnya aja jadi takut ngelihatin kita.”

Aku berdiri sambil membawa struk pembayaran. Aku tidak bisa mengganggu kedamaian restoran keluarga ini lebih jauh lagi.

“Biar aku yang bayar.”

“Ya iyalah!”

Padahal aku tidak makan apa-apa, bisa-biasanya dibilang ‘ya iyalah’?

Sambil membawa Kasahara yang masih kesal, kami pun keluar dari restoran keluarga itu, lalu mulai mencari tempat lain yang lebih tenang untuk bicara.

Tapi, di kawasan perumahan yang tenang ini, tidak ada restoran lain selain restoran yang barusan kami tinggalkan.

“Gak adil. Gak adil. Kenapa Tuhan gak ngasih posisi Yamamoto-kun ke aku, sih?”

“Aku juga gak minta posisi ini, tahu.”

“…lancang.”

“Hah?”

“Berani-beraninya mengeluh padahal udah berada di samping Megu, benar-benar lancang...!”

“Mulai lagi deh…“

“Orang yang berada di samping Megu tuh harusnya orang berbudi luhur, pintar, cantik, dan populer.”

“Kamu ini tipe orang yang kalau idolanya menikah, langsung nyinyir bilang pasangannya gak pantas, padahal belum pernah lihat mukanya sekalipun, ya?”

Aku menyeret Kasahara yang masih ngomel gak jelas, dan kami pun akhirnya menemukan ayunan di taman lalu duduk di sana.

Sekarang bagaimana cara menenangkan Kasahara.

Merepotkan sekali, pikirku, tapi… saat Kasahara mengayun-ayunkan dirinya di ayunan itu, tanpa sadar dia sudah kembali tenang.

“…Kamu tuh ya, seriusan deh. Dari balik penampilan luar yang lembut begitu, siapa sangka aslinya egois.”

“Ahaha. Bener juga sih.”

“…“

“Yang bisa menerimaku yang begini tuh, paling cuma Megu sama kamu doang!”

Setelah lima menit mengayunkan ayunan dengan tenaga penuh, akhirnya Kasahara berhenti juga. Mungkin dia lelah.

“Kurang lebih aku sudah paham situasinya, tapi apa yang ingin kau bicarakan?”

“Akhirnya kita masuk ke topik utama.”

“Maaf ya. Karena aku benar-benar menyayangimu, jadi maafin aja, ya?”

“Mulai lagi deh…“

Sambil menghela napas panjang karena pasrah, aku lanjut bicara.

“…Hei, Kasahara. Apa kamu tahu orang tua Hayashi itu kayak gimana?”

“Tahu sih…“

“Kalau begitu, apa kamu tahu perasaan mereka pada Hayashi sekarang?”

“…Begitu ya.”

Nada suara Kasahara jadi terdengar berat. Sepertinya dia sudah menebak isi pembicaraanku.

“Yamamoto-kun. Sebaiknya kamu jangan coba-coba mendamaikan Megu dengan orang tuanya.”

“Tidak. Aku tidak akan berhenti. Kalau tidak begitu, dia bakal terus-terusan tinggal di rumahku, tahu?”

“Tidak apa-apa, kan. Tidak. Menurutku malah lebih baik begitu.”

“Jangan bicara hal konyol.”

“Ini bukan hal konyol, kok.”

Setelah hening sejenak, Kasahara kembali mengayunkan ayunannya.

“Soalnya kalau Megu jauh darimu, bisa saja dia hilang lagi, kan?”

Kasahara mengayunkan ayunannya lebih pelan dari sebelumnya.

“Hal kayak gitu... merasa cemas kalau mungkin takkan pernah ketemu Megu lagi, aku benar-benar gak mau.”

“Jadi selama dia bersamaku, dia gak akan pernah hilang lagi, gitu?”

“Iya.”

“Mirip film horor ya?”

“Kan?”

“Aku baru sadar, orang yang sudah pasrah pada sesuatu itu emang paling menakutkan.”

“…“

“Terus kenapa aku harus berhenti mencoba mendamaikan Hayashi dengan orang tuanya? Apa orang tuanya begitu keras?”

“…...Yah, keras. Sangat keras. Terutama ayahnya. Orangnya sangat serius dan tegas, sampai-sampai dia yang paling cepat naik jabatan di tempat kerjanya dari rekan-rekan seangkatannya. Karena ayahnya begitu, Dari kecil Megu sudah sering diceramahi. Seperti, PR harus selesai di hari pertama, barang yang dipakai harus langsung dikembalikan ke tempat semula, kalau sampai lupa ya harus mikir gimana caranya biar gak lupa lagi, dan lain-lain... Kalau gak salah, dia pernah bilang begitu.”

“Beresin PR di hari pertama sih wajar, dan baru-baru ini karena lupa menaruh barang ke tempat semula, dia sampai harus cari-cari stempel pas udah mau berangkat, tahu?”

“Serius? Megu yang ceroboh juga imut, ya.”

“…“

“Pokoknya, karena sejak kecil sering digituin terus, waktu SMP dia mulai memberontak pada ayahnya.”

Yah, wajar saja kalau memberontak. Namanya juga masa pubertas.

“Jadi kalau mau baikan sama orangtuanya Hayashi, pertama-tama perlu menghilangkan rasa pemberontakannya itu, ya?”

“…Hmm, gimana ya.”

“Lah? Dari ceritamu barusan, sepertinya penyebabnya cuma ada pada Hayashi”

“Yah, pemicunya memang Megu, tapi... kan, itu ayahnya Megu. Dan lagi, orangnya keras kepala”

“Begitu ya. Aku mengerti maksudmu”

Yah, memang. Sifat keras kepala Hayashi pasti turun dari ayahnya. Jika putrinya pergi dari rumah begitu saja, dan akhirnya memberitahu secara sepihak bahwa dia akan mulai tinggal bersama pacarnya yang sudah bekerja setelah pindah ke Tokyo, dan putus hubungan...

“Ayah Hayashi pasti sedang murka sekarang.”

Terbayang di benakku, ayah Hayashi yang mirip dengannya, sedang marah-marah dengan wajah merah padam.

...Yah, meski faktanya aku tidak tahu sih wajah orang tua Hayashi itu seperti apa.

“Lagipula, kalau Yamamoto-kun yang membawa Megu kembali, yang ada ayahnya akan salah paham padamu.”

“Salah paham?”

“Dia bakal ‘Orang ini bajingan yang menyeret-nyeret Megu untuk tinggal bareng ya’.”

“…Benar juga.”

“Kan?”

“Yang bikin ribet itu, faktanya aku memang tinggal bareng dengannya, dan bagian ‘bajingan’ itu ada benarnya juga.”

“Kamu rendah diri banget ya, Yamamoto-kun.”

“Apa aku cuma akan dipukul?”

“Mungkin dia akan mengusirmu dari rumahnya tanpa basa-basi dan dilarang mendekati putrinya lagi.”

“Ah… iya juga. Hayashi juga, punya kecenderungan gak mau dengerin omongan orang. Orangtuanya juga kemungkinan bakal gitu.”

“Yamamoto-kun tuh, selalu cepat paham, ya.”

Aku percaya diri kalau soal cepat memahami sesuatu. Bohong banget tuh.

“Dan lagi, Yamamoto-kun.”

“Hm?”

“Kamu boleh jelek-jelekin ayah Megu sepuasnya, tapi aku gak suka kalau kamu jelek-jelekin Megu.”

“Jangan izinin untuk menjelek-jelekkan ayah Hayashi juga, lah.”

Aku kembali menghela napas jengkel.

Tapi, begitu, ya... Berkat Kasahara, aku bisa paham sebagian besar penyebab perselisihan antara Hayashi dan ayahnya, situasinya, dan betapa sulitnya memperbaiki hubungan mereka.

“Yah, memang sih. Bakal lebih gampang kalau aku gak ikut campur.”

“…Benar.”

“....”

“Yamamoto-kun. Tadi aku bilang sebaiknya kamu berhenti mencoba mendamaikan Megu dengan orang tuanya... alasannya, seperti yang kubilang tadi, karena itu juga lebih menguntungkan bagiku. Kamu kan baik, Yamamoto-kun. Kalau Megu menyuruhmu menjauhiku, kamu pasti bakal tetap hubungin aku diam-diam. Jadi, aku lebih suka kalau dia tetap tinggal denganmu daripada tiba-tiba pindah entah ke mana yang aku gak tahu.”

“Begitu ya.”

“Tapi… tapi, bukan cuma itu saja. Itu juga lebih menguntungkan bagimu, kan?”

“…“

“Urusan rumah selain bersih-bersih, Megu yang ngerjain, kan?”

Aku tidak bertanya, “Kok kamu tahu?”

“Megu juga membuka hatinya padamu karena kamu selalu menolongnya saat dia dalam kesulitan, kan?”

Pasti dia dengar dari Hayashi.

“Waktu SMA sih, hubungan kalian memang gawat banget. Sampai jadi gosip, tahu? Semuanya mikir, kalian berdua gak boleh ditinggal berdua aja. Kalian berdua jangan sampai dibiarkan berdebat. Soalnya takutnya kalian bakal ribut dan melibatkan orang lain.”

…Begitu ya. Aku tidak tahu sampai segitunya.

“Tapi sekarang kan beda.”

“…Iya.”

“Hubungan kalian sekarang, benar-benar dengan waktu SMA.”

Mungkin, kalau teman sekelas SMA lihat hubungan kami sekarang... semua pasti bakal bingung.

“Meskipun terjadi begitu saja, dalam kehidupan bersama ini, bukankah kalian sudah berubah 180°?”

Daripada kaget... mereka mungkin akan pusing dulu. Bertanya-tanya apa yang terjadi.

“Kalian yang sekarang tuh, bagaimanapun juga…“

Tapi, sekarang ini…

“Bagaimanapun juga, kalian kelihatan kayak sepasang kekasih.”

“Tapi kami bukan sepasang kekasih.”

Setelah melalui kehidupan bersama ini, aku menganggap Hayashi seperti keluarga.

Tapi itu cuma perasaanku. Faktanya, kami tetaplah orang lain.

Hanya… orang asing.

“Kasahara, dari awal sudah ditentukan akan begini. Sejak hari aku memutuskan buat menampungnya, udah jelas hubungan ini ada batas waktunya.”

“…...Yamamoto-kun gak apa-apa dengan itu?”

“Ya. Aku gak masalah.”

“Tapi…!“

“Kasahara, tujuanku memperbaiki hubungannya dengan orang tuanya, pada dasarnya bukan hanya soal penjamin, kan?”

Sejujurnya, sejak mendengar cerita Kasahara, aku sudah memikirkannya.

“Cuma ada satu orangtua bagi setiap orang di dunia ini. Kalau berantem terus-terusan dan gak baikan... bukankah suatu saat hanya akan ada penyesalan?”

“Soal kapan Megu mau baikan sama orangtuanya, itu hak Megu buat nentuin, kan?”

“…Penyesalan itu adalah sesuatu yang baru disadari setelah berlalu, tahu.”

“…Itu sih…“

“Maaf, aku ini egois. Aku benci banget sama cara berpikir pasif seperti, ‘setelah seseorang mengatakan’, atau, ‘karena seseorang menyuruh’.”

“…Pembohong.”

“Dan, jika untuk meyakinkan diriku sendiri, aku akan melibatkan siapa pun dengan paksa. Itulah aku.”

“…Aku gak mau.”

“Kasahara, bantu aku.”

“Udah dibilang, aku gak mau…“

“Tidak, kamu pasti gak bakal bisa nolak.”

“Mana ada…“

“Kamu sangat menyayangi Hayashi... tapi gak punya keberanian untuk jadi peran penjahat demi Hayashi?”

“…“

“Bantu aku, Kasahara. Aku butuh bantuanmu.”

Aku mengulurkan tangan ke Kasahara.

Dia sempat ragu dan matanya bergerak ke sana-sini.

Tapi akhirnya… dengan pasrah, dia menggenggam tanganku.

“…Andai saja Yamamoto-kun selalu sekuat itu.”

“Emangnya ada yang berubah?”

“Iya.”

Kasahara tersenyum getir.

“Mungkin aku gak bakal pernah mikir untuk ngobrol sama kamu. Pasti.”

“…Itu maksudnya menghina, kan?”

“Bukan kok.”

“Apanya yang bukan?”

“Soalnya, maksud aku tuh…“

Dari senyum getir, Kasahara beralih ke senyum lembut

“Terima kasih sudah jadi Yamamoto-kun yang sekarang.”

Entah kenapa aku merasa tidak yakin. Tapi kalau aku ngomel sekarang, dan membuatnya berubah pikiran setelah dia bersedia membantu, itu bakalan ribet. Jadi kuputuskan untuk tidak mempermasalahkan hal ini lebih jauh dengan Kasahara.

“Jadi, gimana caranya supaya Hayashi bisa ketemu lagi sama orangtuanya?”

“Ahaha. Yamamoto-kun, jangan-jangan kamu memutuskan untuk mempertemukan Megu dengan orang tuanya tanpa pikir panjang, ya?”

“Aku ada rencana, kok.”

“Apa tuh?”

“Menyuruhmu melakukan sesuatu.”

“Itu namanya gak punya rencana.”

Mau gimana lagi. Setelah melalui kehidupan bersama ini, meski hubunganku dengan Hayashi sudah lumayan dekat, tapi aku sama sekali tidak punya hubungan dengan orangtuanya.

“…Ya udah, deh. Aku ada satu ide cemerlang, nih.”

“Ide cemerlang?”

“Iya. Kalau pakai cara ini, Megu pasti gak bakal bisa ngelak buat ketemu lagi dengan orangtuanya!”

“Serius?”

Masa iya bisa nemu ide cemerlang secepat itu?

Astaga, sungguh. Kasahara ini, seberapa hebat sebenarnya dia.

“Jadi kita bakal pakai rencana itu aja ya?”

“Ya, tentu aja.”

“Beneran gak apa-apa, kan? Kamu akan ikut dengan rencana ini, dan bekerja sama sepenuhnya, kan?”

“Itu juga tentu saja. Jadi, apa rencanya?”

“…Ufufu.”

Tiba-tiba, Kasahara tersenyum mencurigakan.


Karena sudah cukup lama mengenalnya, aku tahu pasti. Kasahara yang seperti ini, pasti akan mengusulkan sesuatu yang diluar nalar.

“Yamamoto-kun, gimana kalau kita bertiga pergi ke pantai?”

Tanpa mendengar penjelasannya, aku langsung menyesal karena telah dengan gegabah menyetujui rencana Kasahara.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close