NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 3 Chapter 4

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 4

Ratu yang Pergi ke Pantai

Saat langit masih berwarna putih pucat, kami berangkat dari rumah. Demi memenuhi permintaan dua gadis yang ingin bermain di pantai selama mungkin, kami pun memutuskan untuk berangkat menggunakan kereta pertama.

“Ngantuk…”

“Kan sudah kubilang, lebih baik kita berangkat menjelang siang saja.”

Sebelum bertemu dengan Kasahara, di dalam kereta, aku mengeluh pada Hayashi yang yang terkantuk-kantuk di kursi sebelahku, tapi sepertinya suaraku tidak mencapainya.

Aku membiarkan Hayashi yang sudah berkelana ke dunia mimpi dan mulai melihat-lihat berita di internet lewat ponsel.

『Kalian sudah berangkat?』

Pesan seperti itu masuk dari Kasahara.

『Sudah.』

『Ngomong-ngomong, kudengar jahitanmu bisa dilepas tanpa masalah ya. Selamat.』

『Iya』

『Biasanya, dalam situasi seperti itu, kamu yang harusnya menghubungiku dulu sambil bilang maaf udah bikin khawatir, tahu!』

Kasahara mengirimkan stiker marah sebagai serangan lanjutannya.

『Megu bisa dibangunin?』

『Iya. Dia lagi tidur di sebelahku.』

『Fotoin wajah tidurnya, kirim ke aku.』

Aku mengabaikan pesan Kasahara dan kembali terlarut dalam berita di internet.

“Waduh, nilai yen makin anjlok aja.”

Mengikuti perkembangan situasi dunia adalah kewajiban bagi orang yang akan segera masuk dunia kerja dan melangkah ke panggung internasional!

『Heii』

…Melihatnya terus mengirim pesan begini, berarti Kasahara juga sudah bangun dan sedang dalam perjalanan menuju stasiun terminal, tempat kami akan berkumpul.

Mungkin dia mengirimi pesan untuk memastikan apakah kami benar-benar sudah berangkat dari rumah.

『Kirimi aku fotonya~』

Ponselku bergetar dan berisik.

『Heii. Heii』

…Kasahara. Kamu kirim pesan untuk memastikan kami sudah berangkat, kan? Apa jangan-jangan, kamu lagi-lagi dikuasai nafsumu?

Pagi di hari kerja, stasiun terminal yang biasanya dipenuhi para pegawai kantoran itu kali ini tidak terlalu ramai. Menyaksikan pemandangan yang tak biasa ini membuatku benar-benar merasa akan pergi berlibur.

“Pagi, kalian berdua.”

“Yo, Kasahara.”

Akhirnya kami berhasil bertemu dengan Kasahara di stasiun terminal.

“Megu kelihatannya ngantuk, ya.”

“Lebih tepatnya, dia memang lagi tidur.”

Hayashi tertidur sambil berdiri. Aku sudah menyeretnya sampai ke sini, tapi… Wanita ini hebat juga.

“Dari dulu Megu memang lemah kalau soal bangun pagi.”

“Di rumah juga begini.”

“Oh ya? Lucu deh.”

Sambil memotret Hayashi berkali-kali, Kasahara berkata begitu.

“Yuk, kita jalan.”

“Ya.”

Kami naik eskalator dari bawah tanah stasiun terminal ke permukaan, dan segera menaiki kereta yang baru saja tiba.

Meski kereta yang kami tumpangi bukan kereta ekspres melainkan kereta biasa, ada gerbong Green Car yang terpasang di rangkaiannya. Mumpung ada kesempatan, kami pun memakai kartu IC transportasi dan duduk di kursi lantai dua dari gerbong Green Car dua tingkat itu.

“Maaf ya, aku jadi duduk di sebelah Meg.”

“Gak apa-apa. Aku lebih nyaman sendirian.”

“Yamamoto-kun, kalau kamu ngantuk, tidur aja. Nanti aku bangunin kalau dah sampai.”

“Jangan konyol, perjalanan sejauh ini sayang banget kalau gak dinikmati sambil lihat-lihat pemandangan luar.”

“Ya, terserah sih.”

Aku mengabaikan nada malas Kasahara dan menikmati pemandangan luar dari kursi dekat jendela sendirian.

Rute kereta yang kami tumpangi melalui berbagai pemandangan menarik; melewati gedung-gedung pencakar langit dari pusat kota, melintasi sungai kelas satu yang membentang di tiga prefektur, dan berjalan di sepanjang garis pantai. Sambil ngemil snack yang kubeli di minimarket, aku menanti-nanti keberangkatan kereta.

“Yamamoto-kun?”

“Apa?”

“Snack-nya kelihatan enak, ya.”

“…Mau?”

“Boleh?”

Meskipun dia tidak mengatakannya secara langsung, aku merasa seolah dia sedang memintanya secara tidak langsung.

“Nanti pas Hayashi bangun, makan bareng dia ya.”

“Makasih. Kalau gitu aku ambil 40% aja deh.”

Bukan setengah, tapi 40%? Aku sempat heran, tapi mungkin itu karena rasa sayangnya pada Hayashi, jadi aku tidak bertanya lebih lanjut.

Tak lama kemudian, kereta pun berangkat dari stasiun terminal.

Deretan gedung tinggi. Sungai kelas satu. Menara landmark di prefektur sebelah.

Sambil menikmati berbagai pemandangan, kereta terus melaju seiring waktu berlalu.

“Fuwaaaah… Eh, Ini di mana?”

Sekitar dua jam setelah kereta berangkat, Hayashi akhirnya terbangun.

Kereta sempat ramai sesaat, tapi sekarang penumpangnya bisa dihitung dengan jari di satu tangan.

“Kau bangun di saat yang pas. Sebentar lagi kita ganti kereta.”

“…Oh iya. Kita mau pergi ke pantai ya.”

“Kamu baru sadarnya dari situ?”

“Eh, Akari tidur, ya.”

Saat kereta terus melaju, entah sejak kapan Kasahara sudah tertidur bersandar ke Hayashi.

“Betul juga. Mau makan snack gak?”

“…Dimanjain banget, ya.”

Mungkin karena belum sarapan, Hayashi memakan snack itu dengan laha.

“Berapa lama lagi sampai tujuan?”

“Sekitar satu jam lagi.”

“Oh, gitu… Aku tidur lumayan lama, ya?”

“Iya. Makanya jangan begadang semalaman.”

“Maaf, maaf.”

Permintaan maafnya hanya di bibir saja. Yah, karena kita sedang liburan ke pantai, jadi aku takkan terlalu banyak protes.

Lagian, aku juga sudah menipu Hayashi supaya dia mau ikut ke pantai!

Kereta melaju sejajar dengan jalan raya besar yang biasanya dipakai untuk lomba estafet pas awal tahun. Setelah melewati perumahan, kami tiba di stasiun besar yang juga jadi tempat pemberhentian Shinkansen. Seperti yang diperkirakan, penumpang yang naik dari sini tidak banyak.

Kereta pun segera berangkat lagi. Melewati sisi pelabuhan nelayan, kereta melaju di sepanjang garis pantai sambil menghindari pegunungan.

“Waaah, indahnya!”

“Guek.”

Aku yang duduk di kursi dekat jendela yang menghadap laut, tiba-tiba didorong seseorang hingga mengeluarkan suara aneh.

Orang yang mendorongku dengan sesuatu yang terasa lembut itu adalah Hayashi. Alasannya? Karena dia terlalu bersemangat melihat cakrawala yang terbentang di luar jendela.

“H-Hei, jangan teriak keras-keras, ada penumpang lain.”

“Hei, apa ini kursi pesanan?”

“…Bukan. Kamu bisa pindah kalau menyentuh panel di langit-langit dengan kartu IC-mu.”

“Begini?”

Lampu yang tadinya menyala merah menandakan kursi kosong, kini berubah menjadi hijau.

“Kamu gak kasihan sama Kasahara?”

“Eh? Kenapa?”

Kalau pas bangun nanti Hayashi tak ada di sebelahnya… Kasahara pasti panik atau kecewa. Melihat kelakuan Kasahara selama ini, aku tahu itu tanpa perlu dijelaskan.

“Dasar wanita penuh dosa.”

“Aku gak begitu paham, tapi maaf ya.”

Kalau tidak mengerti, lebih baik jangan meminta maaf. Di zaman sekarang, siapa yang minta maaf duluan, dialah yang kalah.

“Yah, lupakan saja itu… Nih.”

Hayashi menyodorkan snack yang ada di tangannya kepadaku.

“Apa itu?”

“Aaaan.”

“Jangan lakukan itu di tempat umum.”

Sejak aku melindunginya dari wanita yang berusaha menyerangnya sampai tangan kananku cedera, Hayashi sering sekali melakukan ‘aan’ ini.

“Tidak, jangan lakukan itu juga meski bukan di tempat umum.”

“Kenapa kamu malah menjawab dirimu sendiri?”

“Aku lagi kacau. Jangan sentuh aku. Malu, tahu.”

“Padahal biasa aja kali.”

“Kalau kamu yang bilang begitu dengan nada malas, kok aku malah kesel ya.”

“Udah, buka aja mulutmu.”

Didesak terus oleh Hayashi, dengan enggan aku membuka mulut.

Aku mengunyah snack yang dia suapkan. Asin dan enak.

“Gimana rasanya?”

“Enak.”

“Bagus deh kalau gitu. Yang beli snack ini siapa ya?”

…Siapa yang beli, katamu? Aku, tahu. Snack itu direbut Kasahara, lalu berputar-putar, dan akhirnya disuapkan oleh Hayashi kepadaku.

Kalau dipikir-pikir, aku cuma makan snack yang kubeli sendiri.

…Yah, kalau cuma makan snack yang kubeli sendiri, aku maunya makan dengan santai tanpa harus merasa salting begini.

“Kalau sampai Kasahara lihat, entah apa yang akan dikatakannya...”

Saat aku mau ngomong begitu, aku merasa ada tatapan dari arah kursi tempat Kasahara tidur tadi.

Dengan takut-takut, aku menoleh ke sana...

“…”

Aduh, celaka.

Kasahara yang tadi jelas-jelas tertidur, sekarang sedang menatapku dengan mata hitam legam tanpa kilau cahaya.

“Eh, di stasiun berikutnya kita bisa lihat pemandangan laut yang menakjubkan dari ketinggian, loh.”

“Oh, ya? Yamamoto, kita turun bentar, yuk?”

“Boleh juga, ayo kita turun.”

“Ah, tapi kan ada Akari, jadi gak bisa ya.”

“Tidak apa-apa, kan? Kasahara pasti bisa sendirian.”

“Yaa, jelas gak boleh, dong.”

Tentu saja.

Dengan suara Hayashi yang terdengar agak kesal, aku pun menyerah untuk kabur dari situasi ini. Setelah itu, aku hanya berusaha untuk tidak melihat ke arah Kasahara.

◇◇◇

Saat aku melihat keluar dari jendela kereta, orang-orang yang berjalan di trotoar tampak sibuk menyeka keringat dengan sapu tangan atau mengibaskan tangan sebagai kipas. Dari pemandangan itu saja, sudah jelas bahwa di luar sana cuacanya panas terik seperti biasa.

Melihat pemandangan itu, aku jadi malas untuk turun dari kereta yang ber-AC ini. Tapi sayangnya, kereta sudah tiba di stasiun tujuan.

“Panas banget…”

Begitu turun dari kereta, itu yang pertama kali diucapkan Hayashi.

“Benar juga. Kalau begini terus, kita bisa kering kerontang. Ayo cepat ke pantai!”

Kasahara menarik tangan Hayashi dengan paksa.

Aku yang turun belakangan mengikuti mereka berdua, merasa muak dengan panas yang menyengat ini. Tapi di saat yang sama, merasakan sedikit ketegangan.

Peron stasiun cukup ramai. Yang mengejutkan, di antara para wisatawan itu, ada beberapa orang asing. Mungkin karena di dekat sini ada salah satu pemandian air panas terkenal di Jepang.

Meskipun kami datang ke tempat wisata yang bahkan dikunjungi turis asing, entah kenapa semangatku tidak naik. Kalau ditanya kenapa… yah, karena aku sudah bosan melihatnya.

“Udah lama juga gak ke daerah sini.”

Alasan kami datang ke kota ini memang untuk main ke pantai, tapi tujuan utamanya adalah untuk mengantar Hayashi pulang ke rumah orang tuanya. Jadi stasiun yang kami datangi ini, untuk orang lokal sepertiku, sama sekali tak ada yang baru. Oleh karena itu, meskipun ini tempat wisata, tidak membuat semangatku naik.

Yah, sudahlah, semangatku tidak penting sekarang.

“Megu, pintu keluarnya di sebelah sana.”

“Eh, ah, begitu?”

“Iya. Ke situ jalan buntu.”

Sekarang... yang kukhawatirkan hanyalah—apa Hayashi sadar kalau dia sudah kembali ke kampung halamannya?

Saat aku dan Kasahara merencanakan ini, dia bilang Hayashi itu buta arah, jadi meskipun datang ke kampung halamannya, dia pasti tidak akan sadar. Tapi sejujurnya, aku pikir itu meragukan. Maksudku, normalnya orang pasti sadar, kan?

…Yah, sudahlah, karena rencananya sudah dijalankan, aku harus berusaha sebisa mungkin agar dia tidak sadar ini adalah kampung halamannya sampai detik terakhir.

Saat aku berpikir begitu.

“Eh, nama stasiun ini…?”

Hayashi menggumamkan sesuatu yang fatal.

Aku menyesali diriku sendiri yang dengan gampangnya terbujuk Kasahara dan ikut-ikutan rencana bodohnya.

Ya iyalah. Nama stasiun dekat rumah sendiri, normalnya orang pasti ingat, kan?

“Nama stasiunnya kayak nama keluarga seseorang ya.”

Ternyata dia tidak normal!

“Kira-kira orangnya sehebat apa, ya, yang namanya sampai dijadikan nama stasiun?”

Kurasa itu bukan diambil dari nama orang.

“Ayo, Megu, sini-sini! Lewat sini!”

Dengan santainya Kasahara menarik tangan Hayashi dan keluar dari gerbang tiket.

Hebat sekali wanita ini. Atau jangan-jangan dia cuma ngeremehin Hayashi doang?

...Tapi, fakta bahwa Hayashi tidak menyadari kampung halamannya meski sudah melihat nama stasiun adalah sebuah kemajuan besar. Dengan begini, tampaknya aku bisa menyembunyikan hampir segalanya.

Begitu keluar dari stasiun dan berjalan memutar lewat bundaran, di depan sana terlihat deretan pertokoan dan gedung-gedung kecil.

“Wah, ternyata di sini banyak toko, ya.”

Dari zaman SMA juga sudah ada.

“Emang deket laut, ya. Banyak toko makanan laut.”

Benar. Reaksi yang wajar kalau baru pertama kali ke sini.

“Pemandangannya mirip banget sama kampung halamanku!”

Karena ini memang kampung halamanmu!

Bukan “mirip”, tapi ini memang kampung halamanmu!

Aku sih senang dia tidak menyadarinya, tapi karena dia terlalu polos, aku hampir saja nyeletuk.

“Pantainya di sebelah sini!”

Kasahara memandu jalan dengan wajah tanpa dosa. Mungkin sampai sini, semuanya berjalan sesuai rencananya dia.

Waktu festival musim panas kemarin, Hayashi sendiri bilang dia itu buta arah. Tapi tak kusangka akan nyangka separah ini. Pantas saja dia dulu bilang tidak bisa pulang sendirian dari lokasi festival ke rumahku.

“Kayaknya semua orang pada jalan ke arah laut, ya?”

Aku menyadari banyaknya orang yang berjalan searah dengan kami dan bertanya.

“Yah, orang-orang yang datang ke sini kebanyakan tujuannya ke laut, sih.”

“Hmm, masuk akal.”

Semua orang membawa barang bawaan seperti pelampung atau baju renang, seolah-olah menyatakan akan bermain di laut.

“Hati-hati jangan sampai nyasar.”

“Benar. Pokoknya jangan sampe nyasar, ya?”

“Jahat banget. Harusnya bilang, ‘Kamu pasti baik-baik saja,’ kan?”

“Memangnya kamu sendiri yakin bakal baik-baik saja?”

“Enggak sama sekali.”

“Kalau kamu sendiri aja merasa gak yakin, jangan harap orang lain bilang kamu bakal baik-baik aja.”

“Justru karena aku sendiri gak yakin, makanya pengen denger orang lain bilang aku pasti baik-baik aja!”

“Bukan urusanku!”

Karena perdebatan receh itu, aku tanpa sadar teriak. Dasar wanita ini… ribet banget.

“Kalian berdua benar-benar sudah akrab, ya.”

“Hah?”

“Kalau begitu, kenapa gak sekalian aja pegangan tangan sampai ke pantai? Dengan begitu, kalian gak bakal nyasar, kan.”

“Siapa juga yang mau!”

“Iya tuh. Lagian, pegangan tangan tuh keliatan kekanak-kanakan dan memalukan.”

“Eh, udah pernah coba…?”

“Ah…”

Hayashi yang nyaris membongkar rahasianya sendiri langsung menunduk dan terdiam. Suasana di antara kami bertiga jadi aneh.

Dasar Hayashi, wanita bodoh. Tidak sengaja keceplosan dan malah membongkar masa lalunya yang memalukan.

Aku? Aku aman-aman saja. Soalnya Hayashi cuma bilang dia pernah pegangan tangan sama seseorang, tapi tidak menyebutkan orang itu adalah aku.

“Jangan-jangan waktu festival musim panas, ya?”

“Eh, kenapa kamu langsung menyimpulkan aku pegangan tangan sama Hayashi di festival?”

“Eh, aku sih gak tahu kalau Yamamoto-kun sama Megu pernah ke festival bareng…”

Aku langsung kaku di tempat.

Jangan menjebakku. …Walaupun kalau dipikir-pikir, aku juga sama seperti Hayashi, yang membongkar rahasia sendiri.

“Y-Yah lupakan saja itu, dan nikmati perjalanan kita ke pantai.”

“Iya.”

Kami berjalan di jalan beraspal yang panas, bercampur dengan para wisatawan lain yang asyik ngobrol. Setelah lima menit berjalan sambil menyeka keringat di dahi, pantai pun muncul di depan mata.

“Indah banget.”

Meskipun kami berangkat naik kereta paling pagi, tapi pantai sudah dipenuhi pengunjung. Di balik deretan payung pantai dan tenda-tenda, laut biru dengan ombak putih samar-samar terlihat.

“Ramai, ya.”

“Jangan kesel gitu dong, Yamamoto. Ramai-ramai gini juga bagian dari keseruan main di pantai, kan”

“……Aku tuh orang yang cerewet soal laut.”

“Ah, jangan-jangan kamu masuk mode nyebelin lagi?”

“Laut itu bukan untuk berenang. Itu tempat untuk dinikmati.”

“Ugh, nyebelin banget.”

Hayashi berbicara dengan wajah muak. Seperti biasa, tanpa belas kasihan sedikit pun

“Lagipula, kalau orang sebanyak ini masuk ke laut, suhu airnya pasti naik, terus gak bakal seger, kan?”

“Udah, udah. Di sana sepertinya ada tempat ganti baju, yuk kita cepat-cepat ganti.”

“Tunggu, aku belum selesai bicara.”

“Iya iya. Nanti aja dengerinnya.”

“……Gak, gak usah sampe ngeluangin waktu juga sih buat dengerin.”

“Oh, gitu?”

“Iya. Kalau dipikir-pikir, ini gak penting banget.”

“Udah kuduga.”

“Kalian berdua bener-bener udah akrab, ya.”

Meskipun aku merasa bersalah pada Kasahara yang tersenyum, tapi... entah kenapa. Rasanya ini berbeda dari sekadar akrab.

Lebih tepatnya, kami saling memahami cara menenangkan satu sama lain, atau... sama-sama tahu kalau kami ini gampang naik darah untuk hal-hal sepele.

“Pokoknya, karena aku akan selesai ganti baju lebih dulu dari kalian, jadi aku akan siapin payung dan segala yang diperlukan sebelum masuk ke laut.”

“Oke, tolong ya.”

“Tolong ya. …Yamamoto-kun.”

“Ada apa, Kasahara?”

“Kalau ada cewek cantik, jangan asal ngikut aja, ya?”

“Enggak mungkin lah. Bisa-bisa aku malah ditangkap polisi.”

“Hmm, siapa tahu.”

Dengan senyum menyebalkan, Kasahara membawa Hayashi ke ruang ganti yang ada di sebelah pondok pantai.

Aku menghela napas, lalu pergi ke ruang ganti laki-laki. Aku selesai ganti baju dalam waktu tiga menit. Untuk jaga-jaga, aku kembali ke tempat kami berpisah tadi, tapi mereka belum keluar. Yah, mau bagaimana lagi. Seperti yang kukatakan tadi, aku akan menyiapkan semuanya terlebih dahulu.

“Panasnya…”

Begitu balik ke pantai, aku merasa dua kali lebih panas karena kena tidak hanya datang dari atas, tapi juga dari radiasi panas pasir.

“Ayo cepat-cepat siapin semuanya.”

Aku usap keringat di kening, dan memutuskan. Setelah itu, aku akan bersantai di bawah payung pantai.

Aku gali lubang dengan sekop yang kubawa, lalu menancapkan tiang payung dalam-dalam ke pasir. Setelah payung berdiri dengan stabil, aku menggelar terpal biru di bawahnya.

Aku ambil teh barley dari kotak pendingin, lalu menuangkannya ke dalam cangkir kertas. Sambil minum sedikit demi sedikit, aku menunggu kedua gadis itu datang.

“Lama banget ya.”

Hayashi yang sekarang jadi teman serumahku sering bilang bahwa persiapan wanita itu lama, dan sepertinya hal itu juga berlaku saat berenang di pantai.

Ribet banget ya, kalau butuh waktu lama buat siap-siap. Setiap kali aku mengetahui hal-hal ribet kayak gitu, aku merasa bersyukur lahir sebagai laki-laki.

“Oh iya, ini pertama kalinya aku datang ke pantai bareng orang lain, ya?”

Aku baru ingat sekarang, selama ini aku memang tidak pernah main ke pantai bareng teman. Soalnya aku ini punya image sebagai orang yang tidak punya banyak teman

Tidak, alasannya bukan cuma itu.

Bagiku, pantai itu bukan untuk didatangi pada musim panas, tapi musim dingin. Mungkin banyak dari kalian yang berpikir laut di musim dingin itu kan cuma dingin saja. Tapi itu salah.

Laut yang bergelombang hingga cakrawala tampak bergetar.

Deburan ombak yang menggelegar.

Pasir yang beterbangan karena angin.

Di tengah kondisi buruk seperti itu, aku berdiri di pasir, menyipitkan mata supaya pasir tidak masuk mata, dan termenung sambil menatap laut.

Meskipun jauh dari kata damai, tapi aku sangat suka waktu-waktu seperti itu. Saat itu, aku merasa sadar betapa kecilnya diri ini. Dan entah kenapa, rasanya hati jadi tenang.

“Karena itu, laut hari ini nilainya nol. Karena ada manusia di sana.”

Laut yang ada manusianya itu bukan laut.

Aku menggumamkan pendapat pribadiku yang cukup berat, entah kenapa aku membusungkan dada dengan bangga.

“Permisi~. Kakak, sendirian ya?”

Aku yang memancarkan aura mencurigakan itu, tiba-tiba dipanggil dari belakang.

Sial. Apa aku dianggap orang aneh? Ya, memang benar, jadi susah untuk membantah.

“…Eh, um.”

Saat aku menoleh ke belakang, yang ada di sana adalah seorang gadis dengan baju renang hitam yang belum pernah kulihat sebelumnya.

“Siapa ya, kalau boleh tahu?”

“Ah, maaf. Sebenarnya, aku mau menyiapkan payung sambil menunggu temanku datang, tapi aku gak tahu caranya~.”

“Oh…”

“Kalau boleh, Kakak bisa ajarin caranya gak?”

“…Kalau cuma itu, aku bisa menyiapkannya untukmu kok.”

“Eh, beneran?”

“Tidak apa-apa.”

Aku pun berdiri.

“Terima kasih banyak yaa~!”

Wanita yang tidak kukenal itu memeluk lenganku begitu aku berdiri.

“Kalau begitu, tolong, yaa~.”

“…Aku tidak bisa melakukannya kalau kau tidak melepaskanku.”

“Ah, maaf ya.”

…Lembut sekali, tadi.

Hah. Tidak boleh begini. Merasakan hal-hal mesum terhadap wanita asing yang sedang kesulitan.

Karena aku terlalu sibuk bernostalgia dengan laut musim dingin, sepertinya aku jadi lengah. Aku harus menjaga sikap. Harus berperilaku seperti biasanya.

“Di mana aku harus menyiapkannya?”

“Hmm, di sekitar sana, ya.”

“Payungnya yang itu?”

“Iya.”

Di tengah suara riang dari berbagai arah, aku mengambil payung yang ditunjuk dan mulai menggali pasir dengan sekop.

“Kakak hari ini datang dari mana?”

“Eh?”

“Aku datang dari Tokyo, sama teman-teman.”

…Padahal aku cuma mau mendirikan payung, kenapa dia malah buka-bukaan soal informasi pribadi?

Jangan-jangan, dia anak gaul?

…Tak perlu dipikir panjang. Orang yang bisa datang ke laut bareng teman-teman, sudah pasti anak gaul.

“…Ah, aku juga dari Tokyo.”

“Oh ya? Tinggal di daerah mana?”

“……”

“Ah, maaf ya. Aku cuma penasaran, kalau gak mau jawab gapapa kok.”

“Begitu ya.”

“Kakak, badannya kelihatan terlatih ya?”

“Sampai SMA sih.”

“Oh ya? Masuk klub olahraga gitu?”

“…Tidak, soalnya aku tidak suka suasana yang tidak serius.”

“Ah, kadang gitu sih. Kita ingin serius, tapi orang-orang di sekitar malah setengah-setengah doang.”

“Ah, begitulah.”

“Kan?”

“Iya. Mereka bahkan pergi berpesta tanpa mengajakku. Makanya aku yang keluar sendiri.”

“Eh?”

“Eh?”

…Eh, jangan-jangan aku salah bicara lagi?

Karena suasana jadi canggung, aku mempercepat kerjaanku. Kalau begini terus, rasanya aku bisa menggali sampai ke Brasil. Ya, tentu saja itu tidak mungkin.

“Sudah selesai.”

Aku ingin cepat-cepat pergi dari sini karena malu.

Tapi lalu,

“Um, Kakak. Kalau boleh, gimana kalau hari ini main bareng kami, sama temen-temenmu juga?”

Wanita itu malah ngomong begitu.

“Eh?”

“Kakak lucu banget soalnya.”

Padahal aku sudah gagal total, tapi dibilang lucu…? Seleramu aneh juga ya.

…Eh?

Tunggu, jangan-jangan aku sedang digoda? Atau lebih tepatnya, gadis ini yang merayuku duluan?

“Ah, maaf. Aku ada acara setelah ini.”

“Main di laut kan?”

“Eh, kok tahu?”

“Soalnya aku juga sama.”

“Oh, kebetulan ya.”

Kenapa aku malah terkesan dengan hal yang sudah jelas begitu?

…Aku benar-benar panik karena ini pertama kalinya digoda gadis.

“M-Maaf ya. Mungkin lain kali.”

“Eeh, gak apa-apa kan! Pasti seru, tahu?”

Dengan suara manja dan manis, wanita itu kembali memeluk lenganku. Sesuatu yang lembut kembali menempel di lenganku. Kalau dipikir sekarang, mungkin ini memang disengaja. Dia tahu aku sadar dan sengaja menggodaku.

Dasar, wanita genit..

“S-Sulit juga, ya…”

“Sebentar aja. Ya? Cuma sebentar doang kok. Ya…?”

“Hei, ada urusan apa sama temanku?”

Suara berat dan garang terdengar.

Dengan lengan masih dipegang oleh wanita itu, aku menoleh ke arah suara itu, yang ada di sana adalah Hayashi.

“H-Hayashi.”

Syukurlah. Aku merasa lega.

“…T-Temanmu ternyata perempuan ya.”

“Hah? Punya teman lawan jenis itu biasa, kan.”

Saat begini, Hayashi memang bisa diandalkan. Lagipula, Hayashi adalah wanita yang dijuluki Ratu saat SMA.

“…Jangan-jangan, kalian pacaran?”

“Bukan. Udah dibilang cuma temen.”

Cara bicaranya dingin banget.

“Kenapa? Ada hubungannya denganmu?”

“…Maaf.”

Wanita itu berlari entah ke mana sambil membunyikan sandal jepitnya.

“Ah, payungnya.”

Payung yang masih tertancap di pasir, entah kenapa terlihat menyedihkan.

“Apaan sih. Sampai klepek-klepek begitu.”

Suara Hayashi masih dingin. Sepertinya dia juga marah padaku.

Yah, aku sih tidak keberatan kalau dia marah, tapi tuduhan Hayashi yang keterlaluan itu membuatku harus mengatakan sesuatu.

“Aku gak klepek-klepek kok. Aku bersikap layaknya seorang gentlemen.”

“Hah. Gentlemea? Kamu yang cuma pakai celana pendek ini gentleman?”

“Emangnya seorang gentlemen gak boleh pakai celana pendek?”

Kalau logika Hayashi benar, pria Inggris takkan pernah bisa memakai celana renang seumur hidupnya. Menjadi pria Inggris ternyata berisiko juga ya. Mana yang lebih berisiko ya, jadi manusia karet tapi tak bisa berenang, atau jadi pria Inggris?

“Aku lihat semuanya dari awal. Payung kan bisa dia pasang sendiri”

“Wajar kan kalau kita membantu orang yang kesusahan.”

“Karena sifat baikmu itu kamu terlibat masalah!”

“Enggak ah!”

“Kan ada buktinya! Lihat saja aku yang ada di depanmu!”

Memang sih. Gara-gara menyembunyikan Hayashi, aku jadi terlibat banyak masalah.

…Sial, Hayashi malah memberikan contoh yang sulit kubantah.

“Maaf. Aku salah…”

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, akhirnya dengan berat hati aku mengakui kesalahanku. Meski begini, aku termasuk pria yang bisa mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Spesies langka di zaman sekarang.

“Kenapa kami gak ngebantah…?”

Tapi, setelah aku menyerah, entah kenapa Hayashi malah kelihatan sedih.

“Kalau bakal sakit hati, jangan jadikan dirimu sebagai contoh.”

“Akan kuingat…”

“Ada apa sih ribut-ribut?”

Wah, datang lagi orang yang merepotkan.

“Akari! Yamamoto digoda cewek!”

Hayashi kembali bersemangat.

“Eh!?”

Kasahara tampak kaget.

“Sudah kuduga.”

Tidak, sepertinya tidak juga.

“Orangnya cantik?”

“Cantik!”

“Yamamoto-kun, sampai gugup?”

“Gugup banget!”

“Matanya celingak-celinguk?”

“Iya, celingak-celinguk!”

“Aah, kalau gitu Yamamoto-kun yang salah.”

“Bener kan!”

“Tunggu dulu. Biarkan aku membela diri.”

“Megu, apa Yamamoto-kun berhak membela diri?”

“Tidak.”

“Serius?”

“…Akari juga gak percaya sama aku?”

Tunggu dulu. Kapan aku bilang aku tidak percaya padamu?

“Yamamoto-kun, ini salahmu.”

“Pendapatku sendiri?”

“Enggak perlu didengar. Pokoknya Megu itu selalu benar.”

“Kalian tuh, kalau udah menyangkut satu sama lain, kecerdasannya langsung turun ya.”

Kalo aku menyuruh salah satu dari mereka untuk membeli suatu guci atau yang satunya akan sial, sepertinya mereka akan membelinya semahal apapun harganya.

…Yah, apa boleh buat. Aku menyerah. Lawannya terlalu susah.

“Daripada itu, Yamamoto-kun. Apa kamu gak bakal bilang sesuatu pada kami?”

“Eh?”

Karena pertanyaan Kasahara, aku jadi memiringkan kepala.

Sesuatu untuk dikatakan pada mereka berdua?

Apa ya…?

…Ah.

Maksudnya aku harus berlutut sambil meminta maaf?

Minta maaf karena merusak suasana liburan mereka?

“……”

Kasahara tersenyum sambil diam. Seolah mengatakan bahwa apapun kupikirkan sekarang benar-benar keliru.

…Eh?

Kalau begitu, aku tidak punya apa-apa untuk dikatakan kepada mereka berdua dong?

…Saat aku berpikir begitu, aku mengalihkan pandanganku dari Kasahara dan tanpa sengaja menatap tubuh mereka berdua, dan akhirnya aku pun sadar.

Dan wajahku langsung memanas.

Bukan karena panasnya terik matahari, atau panasnya pasir pantai…

“…C-Cocok.”

“Apanya?”

Aku tidak bisa menatap wajah Kasahara yang sedang menyeringai.

“B-Baju renangnya…”

Dengan suara gemetar aku bergumam, lalu membuang muka ke laut.

Tadi Hayashi bilang, saat berhadapan dengan wanita yang menggodaku, mataku celingak-celinguk.

…Tapi sekarang, aku malah lebih celingak-celinguk saat melihat mereka dibanding waktu berhadapan dengan wanita tadi.

Aku tidak bisa melihat wajah mereka.

Atau mungkin, aku tidak mau lihat.

Pasti sekarang mereka berdua lagi nyengir melihat reaksiku. Mereka pasti menertawakanku yang kelabakan.

Aku tahu. Aku sudah tahu kalau mereka memang begitu. Selama ini aku sudah sering digoda oleh mereka… jadi aku tahu.

“Yamamoto-kun, lihat sini.”

Aku didesak oleh Kasahara.

Apa lebih baik tidak menurut di sini...?

Tidak, sepertinya pada titik ini, apapun yang kulakukan tetap akan jadi langkah buruk. Mungkin aku memang sudah satu langkah lagi menuju skakmat.

Meski begitu, aku tetap berusaha menjaga akal sehatku dan dengan enggan, kuangkat kepala.

Saat aku memandang ke atas, Kasahara tetap saja tersenyum. Dia tersenyum polos seperti anak nakal yang berhasil melakukan kejahilan kecil.

Tanpa sadar, aku melirik ke gadis di sebelah Kasahara.

Hayashi…

“A-Apa sih…”

Dengan pipi memerah karena malu, dia menatapku tajam.

“…Cuma bilang ‘cocok’, itu saja?”

“Apa salahnya?”

“Apa salahnya…?”

…Waktu dia memaksaku melakukan ‘itu’.

Waktu kami mandi bareng.

Waktu aku melindunginya dari pisau.

Kau, tidak pernah sekalipun menunjukkan wajah seperti itu, kan.

Sikap malu-malu seperti ini… kau belum pernah menunjukkannya, kan.

Tanpa bisa kuucapkan dengan kata-kata, kami berdua saling membuang muka.

“Kalau begitu, Yamamoto-kun. Menurutmu, baju renang siapa yang paling cocok?”

Ucapan Kasahara membuatku dan Hayashi sama-sama melotot ke arahnya.

Dasar… seperti biasa, kalau sudah di depan Hayashi, remnya langsung rusak.

Meski begitu, tanpa sadar aku malah melihat Hayashi dan Kasahara bergantian. Padahal aku tahu betul, ini bukan sesuatu yang harus diambil serius. Tapi di luar kendali, mataku secara refleks membandingkan mereka berdua.

Dengan berat hati, aku membuka mulut.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya.

“Mana kutahu!”

Jawaban yang kuambil adalah satu-satunya jalan untuk kabur. Aku sudah diambang batas.

“Ayo, kita main saja!”

“Eh, katanya tadi pantai musim panas itu bukan pantai?”

“Jangan konyol. Justru pantai di musim panas itu baru namanya pantai! Pantai yang penuh manusia itu paling mantap!”

“Ahaha, cepet banget berubah pikirannya!”

Wajahku masih tetap panas untuk beberapa saat setelah itu.

◇◇◇

Meski sudah berganti pakaian renang, gara-gara ada kejadian aneh yang memakan waktu, kami memutuskan untuk makan siang lebih awal sebelum warung makan pinggir pantai menjadi ramai.

“Permisi, tiga porsi yakisoba.”

Aku membiarkan dua gadis itu mencari tempat duduk, sementara aku menunggu pesanan yakisoba di depan konter penyerahan makanan. Saat mencium aroma harum dari atas panggangan besi, tanpa sadar perutku jadi makin lapar.

“Hei, Kakak-kakak ini dari mana?”

“Dari rumah.”

Saat aku mengambil yakisoba dan mencari kedua gadis itu di dalam warung yang mulai dipenuhi orang, kulihat mereka sedang digoda oleh beberapa pria kekar berkulit gelap… tetapi karena sikap super dingin Hayashi, para pria itu patah hati dan pergi.

“Ah, Yamamoto-kun! Di sini!”

Kasahara menyadari kehadiranku dan melambaikan tangan.

“Lama banget. Gara-gara kamu, kami diganggu orang aneh.”

“Kalian diganggu bukan karena aku lama, tapi karena kalian cantik, kan.”

Aku menghela napas dan berkata begitu, lalu Hayashi memalingkan wajah dengan pipi memerah. Dasar. Apa-apa selalu menyalahkan aku.

“Nih, yakisoba-nya.”

“Hm.”

Itu adalah ucapan terima kasih versi Hayashi.

“Makasih ya!”

Kalau ini, versi Kasahara… tidak, itu ucapan terima kasih biasa.

Setelah itu, kami mulai makan yakisoba. Aku dan Hayashi tidak butuh waktu lama untuk menghabiskannya.

“Eh, Yamamoto. Itu saja cukup buatmu?”

“Hmm?”

“Porsinya pas buat aku dan Akari. Tapi buat cowok, gak kurang?”

“Enggak kok, cukup.”

“Beneran?”

“Iya.”

“……Enggak mau tambah lagi?”

“Gak usah. Aku benar-benar sudah cukup.”

“……Tuh, ada ramen juga.”

“Udah dibilang, gak usah.”

“……Kalau gitu, aku aja yang beliin.”

“Dah kayak ibu-ibu aja.”

Seperti ibu-ibu yang khawatir anaknya yang makannya sedikit akan lapar nanti, lalu memaksanya makan banyak.

“Apa sih. Aku kan cuma khawatir .”

“Aku senang kau khawatir, tapi kalau aku bilang cukup ya cukup. Kalau makanan gak habis malah mubazir.”

“Nanti kalau kamu nangis-nangis bilang lapar, aku gak mau tahu, ya.”

“……Kalau pria yang beranjak dewasa masih nangis bilang ‘lapar~’, menurutmu gimana?”

“Jijik.”

“Kan? Jadi, gak usah khawatir.”

Tunggu, dia tahu itu menjijikkan tapi masih khawatir begitu?

“Maaf. Aku udah gak kuat.”

Saat kami sedang bedebat, Kasahara bilang begitu. Padahal yakisoba di tangannya baru termakan setengahnya.

Tadi Hayashi bilang porsinya pas buat dia dan Kasahara, tapi ternyata cuma pas buat Hayashi.

“Yamamoto-kun, makan nih.”

“Eh……?”

Aku bingung saat disodori bungkus yakisoba itu oleh Kasahara. Soalnya, ini kan jadi ciuman tidak langsung.

“Aku juga udah kenyang, jadi kamu yang makan ya.”

Hayashi ikut mendesak.

“Apa? Yamamoto, jangan-jangan kamu… yang beranjak dewasa ini masih mikirin soal ciuman tidak langsung?”

“Emang iya.”

Hayashi langsung menyikutku.

Entah kenapa, dia terlihat marah. Ah, iya, dia kan sedang berusaha mencomblangkanku dengan Kasahara. Jadi mungkin dia berpikir ini kesempatan bagus dan aku harus cepat memakannya sebelum Kasahara berubah pikiran.

Aku menghela napas dan menerima yakisoba itu.

“Terima kasih.”

Tanpa menatap wajah Kasahara yang tersenyum saat bilang begitu, aku mengambil sumpit dari bungkusanku sendiri.

Saat mengambil yakisoba dengan sumpit, entah kenapa yakisoba berwarna coklat tua ini kelihatan lebih mengkilap.

“Hap.”

Aku menyemangati diriku yang jelas-jelas grogi, lalu memasukkan yakisoba ke dalam mulut.

Entah kenapa yakisoba sisa Kasahara ini rasanya seperti lebih hambar dibanding yakisoba yang tadi aku makan.

“Enak?”

“Enak.”

“Baguslah.”

Setelah membuang bungkus kosong ke tempat sampah di warung, kami kembali ke tempat payung tadi dipasang.

“Orangnya tambah banyak ya.”

“Iya. Eh, kamu dari tadi ngomongin soal orang terus.”

Masa datang ke pantai cuma buat ngomongin orang doang, sih? Dari nada dingin Hayashi, aku merasa dia seolah-olah mengatakan itu.

…Ya gimana, aku bahkan belum pernah ke pantai bareng teman. Tiba-tiba harus ke pantai bareng dua gadis, aku bingung harus ngomong apa.

“…Eh. Ngomong-ngomong, maaf, Yamamoto. Bisa tolong olesin tabir surya di punggungku?”

“Hm?”

“…!”

Hayashi mengikat rambut panjang hitamnya ke depan, lalu membalikkan punggungnya ke arahku.

“Tadi waktu pakai baju renang, aku udah olesin di seluruh badan kecuali punggung. Soalnya tanganku gak nyampe.”

“Apa boleh buat. Akan kubantu.”


“T-Tunggu sebentar!”

Yang menghentikan kami adalah Kasahara. Entah kenapa, dia terlihat benar-benar panik.

“Ada apa, Akari?”

“Eh? Apa justru aku yang aneh?”

“Aduh, Akari, sebenarnya kenapa, sih?”

“…K-Kenapa Yamamoto-kun yang harus ngolesin tabir surya di punggung Megu?”

“Kenapa ya…”

Aku dan Hayashi saling pandang dengan wajah bingung.

“Soalnya dia tuh rew… jago banget ngerjain hal-hal detail.”

“Barusan kau mau bilang aku rewel, kan?”

“Meski dia rewel pada hal-hal detail, bukan berarti Yamamoto-kun harus sentuh kulit halus Meg, kan?”

“Hah? Aduh, Akari, udahlah…”

Hayashi menepuk dahinya, tampak kesal.

“Benar juga.”

Dia mengangguk pada perkataan Kasahara.

Aku juga mulai sadar. Benar juga. Kata-kata Kasahara benar.

Kalau dipikir-pikir, selama ini aku sudah biasa disuruh Hayashi ngurusin hal-hal detail kayak nutupin memar pakai foundation, jadi aku pun mati rasa... tapi bukan berarti sampai urusan ngolesin tabir surya juga harus kukerjain.

“Soalnya, aku yang mau ngelakuin!”

Ternyata itu maksud asli Kasahara. Ya ampun, Kasahara tuh kalau sudah menyangkut Hayashi, nafsunya jadi tak terkontrol.

“Hah? Tapi dulu, waktu aku pernah minta Akari ngolesin, malah geli.”

“Ya iyalah! Soalnya Itu momen paling menegangkan dalam hidupku!”

“Kalau Yamamoto, dia hebat loh.”

“Hebat gimana?”

“Iya. Kalau urusan kerjaan detail mah, gak ada yang ngalahin Yamamoto.”

“Jelas dong.”

Aku membusungkan dada. Aku takkan merendah. Menurutku, merendah itu cuma dilakukan oleh orang yang tidak percaya diri.

Dalam urusan pekerjaan detail, seperti kata Hayashi, aku pun yakin takkan ada yang bisa mengalahkanku.

“Enggak mau! Pokoknya harus aku!”

“Eh—aku sih pengennya Yamamoto.”

“Enggak mau! Pokoknya gak mau!”

“Akari, kali ini ngalah aja ya.”

“Enggak mauuu!”

…Tadi aku memang membusungkan dada karena percaya diri dengan pekerjaan detail, tapi aku mulai sedikit menyesal telah melakukannya.

Kasahara, kamu terlalu ngotot…

Kalau tahu bakal begini, mending tadi aku merendah saja.

“Akari, kalau sudah merengek, biasanya lama.”

“Begitu ya?”

“Iya. Jadi cepat olesin selagi sempat. Kalau sekarang, paling-paling cuma bakal dibenci seumur hidup olehnya.”

“Kayaknya itu gak menyelesaikan apa-apa…“

“Nih, tolong.”

Tanpa memberi kesempatan buat menolak, Hayashi menyerahkan tabir surya padaku, lalu duduk di atas pasir sambil membalikkan punggungnya ke arahku.

“Nn.”

Sekali lagi, Hayashi menaruh rambut hitam panjangnya ke depan, dan memperlihatkan kulit punggungnya yang halus kepadaku.

...Baru sekarang, aku mulai bimbang. Kalau di rumah sih tidak masalah saat disuruh olesin foundation buat nutupin bekas luka, tapi ini tempat umum, banyak orang di sekitar sini. Kalau aku menyentuh punggung wanita yang bukan pacarku, apa tidak melanggar hukum?

“Hei, masih lama?”

Beberapa helai rambutnya terlepas dari jari Hayashi yang sedang menahannya.

Meski biasanya dia tidak feminin dan cuek soal perawatan rambut... entah kenapa, aku terpana oleh rambut Hayashi yang berkilau di bawah sinar matahari.

“Yamamoto?”

Hayashi menoleh ke arahku.

“…Ah. I-Iya, segera.”

Aku buru-buru membuka tutup botol tabir surya yang tadi dia kasih, lalu menuangkan cairan kental itu ke tanganku, dan mulai menyentuh punggungnya—

“Hyan.”

Hayashi mendesah kecil.

Padahal saat menyentuh punggungnya saja aku sudah cukup tegang, tapi gara-gara suaranya itu, tanganku ikut gemetar.

“Jangan keluarin suara aneh.”

“Hehe, maaf, maaf. Aku emang agak sensitif.”

Ucapan itu bisa bikin orang salah paham, tahu!

Sial. Dari tadi aku dipermainkan terus olehnya.

...Ini tidak boleh terjadi.

Kalau terus begini, bukan cuma bakal dijadikan bahan candaan sama Hayashi, tapi dia juga akan terus meremehkanku karena aku tidak punya imunitas terhadap perempuan.

Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Harga diriku sebagai laki-laki bisa jatuh.

Baiklah, Kosongkan pikiran. Aku harus mengosongkan pikiran.

Dengan membunuh perasaanku, aku mengoleskan tabir surya dengan cepat namun tetap rapi di punggung Hayashi.

Entah berapa lama aku membunuh perasaan ini…

Sampai akhirnya aku tersadar kembali setelah mendengar jeritan Kasahara yang seperti rintihan terakhir.

“Nih, udah selesai.”

Menurutku, hasilnya sempurna.

…Yah, meskipun untuk urusan mengoleskan tabir surya tidak ada istilah hasil sempurna, sih.

“Makasih ya, kebantu banget.”

Hayashi berdiri sambil tersenyum.

“…Yamamoto-kun.”

Suara Kasahara terdengar dingin.

“Apa?”

“Tahun depan, aku gak akan kalah.”

“Jangan dijadiin lomba.”

“Aku bakal latihan sampai tanganku lecet!”

“Kasihan tangannya.”

“Yaudah, ayo main.”

Tanpa peduli pada tatapan Kasahara yang jelas-jelas sedang melotot, Hayashi dengan santainya berjalan sendirian ke arah bibir pantai.

“Eh, Megu. Tunggu!”

Kasahara menyusul di belakangnya.

“…Yaudah, selamat bersenang-senang.”

Aku pun memutuskan berpisah dari mereka, dan duduk di bawah payung pantai.

“…Yamamoto, kamu ngapain sih?”

Hayashi berkata dengan nada heran.

“Ngapain gimana, ya istirahat.”

“Kamu ke pantai buat apa sih?”

“Buat… ya istirahat?”

“…Haaah.”

Sebuah helaan napas yang berat terdengar.

“Tunggu, ini ada alasannya, serius!”

“Aku gak mau denger.”

“Lagian, kalian kan sempat tidur di kereta waktu perjalanan, sedangkan aku—“

“Udah, ayo!”

“Uwah!”

Hayashi menarik tanganku dengan paksa. Bukannya berdiri, aku malah kehilangan keseimbangan dan jatuh dengan wajah menancap di pasir.

Sudah berkali-kali aku bilang, pasir pantai di musim panas itu panas karena terus-menerus terpapar sinar matahari langsung. Saking panasnya, kalau jalan dengan kaki telanjang, bisa-bisa telapak kaki melepuh.

“Aduh panas!”

Wajahku serasa terbaka, dan langsung melompat bangun,

Aku lari menuju laut untuk mendinginkan muka. Begitu mukaku dicelupkan ke air laut, air garamnya langsung membuat lukaku terasa perih.

“Hahahaha!”

Dari belakang, terdengar suara tawa.

“Ahahaha! Hahaha! Hiiih!”

Mendengar tawa itu, aku perlahan-lahan mulai kesal.

“Sialan kau!”

“Gyah!”

Aku berdiri dengan cepat dan menangkap lengan Hayashi, lalu melemparkannya ke laut.

Terdengar suara “jebrus“ dan cipratan air membubung tinggi.

“Uegh, asin!”

Hayashi muncul dari air sambil menjulurkan lidah, wajahnya meringis.

“Hah! Rasain tuh!”

Kali ini giliranku yang tertawa puas.

“…Awas kau!”

Hayashi menyiduk air laut dengan tangan dan melemparkannya ke arahku.

“Ughyaah!”

Cipratan itu mengenai kedua mataku.

“P-Periiihhh…“

“Gimana. Mau nyerah?”

“…Nyipratin ke mata itu curang, tahu!”

Sebagai balasan pada orang jahat yang mengincar mata, aku melakukan hal yang sama kepadanya.

“Kyaaa!”

Sekarang giliran Hayashi yang berteriak.

Setelah itu, kami beberapa saat saling mengincar mata dengan air laut.

“Ahaha, kalian berdua semangat banget, ya.”

Terdengar suara Kasahara dari kejauhan.

Saat menyadarinya, kami langsung berhenti.

Aku dan Hayashi berpikir hal yang sama.

“Enak aja kamu cuma jadi penonton!”

“Iya! Akari juga harus ngerasain!”

“Kyaaaa!”

Sebagai pelampiasan, aku dan Hayashi melemparkan air laut ke mata Kasahara.

Teriakan Kasahara menggema di pantai musim panas.

◇◇◇

Saat matahari mulai terbenam, kami bersiap-siap untuk pulang.

“Yo.”

“Nn.”

Waktu aku sedang menunggu kedua gadis itu berganti pakaian di rumah pantai, Hayashi muncul lebih dulu.

“Haaah, seru banget!”

Dia meregangkan tubuh, Hayashi berkata dengan puas. Yah, dia pasti benar-benar puas. Karena diincar pria KDRT itu, dia yang biasanya suka aktivitas luar ruangan malah terkurung di rumahku.

“Kalau kamu, gimana?”

“Hm?”

“Menikmati pantainya?”

Aku sedikit bingung menjawab pertanyaan Hayashi itu.

“Yah, pasti seru, kan.”

Hayashi sendiri langsung menjawab sebelum aku bisa berkata apa-apa.

“Harusnya kamu lebih agresif lagi ke Akari.”

…Jadi begitu. Karena aku bisa datang ke pantai bareng Kasahara, yang dia anggap orang yang kusukai, makanya otomatis dianggap seru.

“Dangkal sekali kau, Hayashi.”

“Mau berdalih lagi? Apa aku harus dengerin?”

“Oh, itu pertanyaan bodoh.”

Aku menyilangkan tangan dan memasang wajah sombong.

“Gak usah.”

Sebenarnya yang ingin aku katakan adalah: ini pertama kalinya aku datang ke pantai bareng teman, jadi aku sendiri tidak tahu sampai sejauh mana keseruan yang kurasakan supaya bisa bilang hari ini menyenangkan.

Seperti yang kujawab, Hayashi tidak perlu tahu soal itu, dan tidak perlu diperdebatkan juga.

“Yaudah, kalau kamu seneng, baguslah.”

“Eh? Apa aku bilang aku seneng?”

“Pokoknya aku gak mau denger jawaban ‘gak seneng’.”

“…Kalau gitu dari awal gak usah nanya.”

…Yah, begitulah.

Terus terang saja, selama hidupku, aku tidak pernah pergi ke pantai bareng teman. Bahkan dengan keluarga pun, bisa dihitung dengan jari.

Dulu, aku sering sendirian melihat laut yang ombaknya ganas di musim dingin. Waktu itu, itu sudah cukup menyenangkan dengan caranya sendiri.

…Tapi, yah, begitulah.

“Sesekali datang ke pantai bareng teman seperti ini, ternyata gak buruk juga.”

“Kamu tuh benar-benar tsundere ya.”

Aku tidak mau dengar itu darimu.

Tapi aku memilih untuk tidak mengatakannya.

Terlambat sudah, perasaan bersalah muncul di dalam diriku.

Aku tidak pernah datang ke pantai bareng teman karena memang tidak ada yang mau mengajakku, dan aku juga tidak ada keinginan mengajak siapa pun.

Aku pikir, main ke pantai bareng orang lain pasti takkan seru. Harus mikirin obrolan, harus menyesuaikan diri dengan mereka. Mendingan main sendirian.

Selama ini aku menolak datang ke pantai bareng siapa pun karena alasan itu.

Tapi sekarang aku paham.

Waktu menyiapkan payung sendirian selagi sambil nunggu para gadis ganti baju.

Waktu menunggu teman menghabiskan yakisoba di warung pantai.

Waktu disuruh makan yakisoba sisa teman.

Waktu saling menyiram air laut ke mata teman.

…Ternyata tidak buruk juga.

Rasanya seperti ada yang berubah dalam diriku. Mungkin mulai sekarang, kalau ada yang mengajakku ke pantai, aku tidak akan menolak dan akan ikut dengan aktif.

Tapi, karena pemikiranku berubah, aku juga merasa bersalah.

Kenapa? Karena sebenarnya semua ini adalah rencana untuk menjebak Hayashi.

Aku bersekongkol dengan Kasahara untuk membawa Hayashi ke pantai, itu bisa dibilang untuk menjebaknya.

Rencana liburan ke pantai ini dirancang untuk membuat Hayashi berdamai dengan orang tuanya... dengan tidak memberitahunya ini adalah kampung halamannya, merampas jalan keluarnya, dan memaksanya untuk berdamai.

…Sudah sejauh ini, aku tidak akan berubah pikiran dan pulang ke Tokyo.

Aku juga tidak berniat berhenti sampai di sini, bahkan jika harus menyeret Hayashi dengan tali di lehernya untuk bertemu kembali dengan orang tuanya.

Tapi tetap saja, rasanya hatiku jadi berat.

Apa tidak ada cara lain yang lebih baik? Cara yang lebih damai?

Pikiran semacam itu mulai berkecamuk di dalam kepalaku.

“Yamamoto, wajahmu seram.”

“Begitu, ya?”

Aku berpura-pura tenang agar rasa bersalah di hatiku tidak terbaca, dan menjawab begitu.

“Iya. …gak kayak kamu, aku tuh dari dulu sering bergaul sama banyak orang.”

“…”

“Dan dari sudut pandangku… wajahmu yang sekarang tuh, wajah seorang pembohong.”

“Aku gak bohong…”

“Kalau gitu, wajah yang sedang mentupi sesuatu.”

Aku terdiam.

“Maaf. Aku lama, ya.”

Akhirnya Kasahara kembali bergabung dengan kami. Dia tersenyum, tapi melihat suasana kami yang serius, sepertinya dia menyadari sesuatu.

“Kalian bermaksud mempertemukanku dengan ayah dan ibu, kan…?”

…Sepertinya ini memang rencana yang tak masuk akal.

Sekalipun Hayashi buta arah, melihat stasiun, laut, jalan dari stasiun ke laut, pemandangan kampung halaman yang sudah akrab dengannya beberapa bulan lalu, dia pasti sadar ini adalah kampung halamannya.

“Benar.”

“Y-Yamamoto-kun…!?”

Kasahara bersuara panik. Mungkin dia masih mau berpura-pura, seolah-olah membawa Hayashi pulang ke sini tidak berarti otomatis ketemu sama orang tuanya.

Tapi sepertinya itu bukan langkah yang tepat. Karena pada akhirnya, kami memang berencana mempertemukan Hayashi dengan orang tuanya juga.

Entah itu dibongkar lebih cepat atau lebih lambat.

Entah Hayashi punya waktu untuk mempersiapkan diri atau tidak.

“Sudah kuduga.”

Hayashi tersenyum tenang.

“Kok kamu bisa sadar ini kampung halamanmu?”

“Ya sadar lah.”

“Iya juga, ya…”

“Tadi waktu aku balik dari tempat ganti baju, aku ketemu sama Micchan.”

“Micchan…?”

“Teman sekelas pas SMA. Kamu juga sekelas sama dia, kan?”

“Eh… oh, ya, ya. Bener juga.”

“Sungguh. Aku malu banget. Aku udah heboh bilang, ‘wah, kita ketemu di luar kota ya, kebetulan banget’, eh dia malah jawab dengan muka serius, ‘ini kan kampung halaman kita’…”

“Jadi bukan karena lihat pemandangan yang familiar, ya.”

Berarti rencana Kasahara sebenarnya berjalan sesuai harapan. Kesalahannya adalah tidak memperhitungkan kemungkinan bakal ketemu teman lama.

“Terus, kenapa harus berbelit-belit kayak gini?”

“Aku yang minta Kasahara. Aku minta dia buat cari cara supaya kamu bisa ketemu sama orang tuamu lagi. Terus dia usul pergi ke pantai di kampung halaman. Dia mikir, kamu yang buta arah pasti gak bakal sadar ini kampung halamanmu. Lalu kalau kita bikin kamu ketinggalan kereta terakhir, karena tidak punya uang untuk menginap, satu-satunya pilihan adalah pulang ke rumah, begitulah rencananya.”

“Gitu ya… Tapi apa kalian gak mikir aku bakal numpang di rumah teman?”

“Enggak kepikiran. Atau lebih tepatnya, kurasa gak mungkin.”

“Bisa aja, kan…”

“Gak mungkin.”

Aku menyilangkan tangan.

“Sekalipun teman, kalau tiba-tiba teman SMA datang menginap, dia mungkin bakal merasa terganggu. Jadi, kamu pasti gak bakal melakukannya.”

“…”

“Kamu tuh orang yang gak pernah mau ngelakuin hal yang bikin orang lain risih.”

“……Begitu.”

“Yah... intinya, Kasahara cuma gak bisa nolak permintaanku karena dia orang baik. Jadi kalau mau marah, marahin aku aja.”

“...T-Tunggu dulu, Yamamoto-kun!”

Kasahara meninggikan suaranya.

“Aku juga salah. Jangan berpikir bisa menyelesaikan semuanya dengan menanggung semua kesalahan sendiri.”

“Lagian, aku yang nyiptain suasana yang bikin kamu sulit nolak, kan? Jadi aku yang salah.”

“Bukan! Aku juga salah!”

“B-Baiklah.”

Kasahara keras kepala juga, ya.

“Ahaha…”

“Hayashi, kenapa?”

“Tidak. Tanpa perlu kudamaikan pun, kalian udah akur sendiri, ya.”

“Berisik!”

“Lagipula, aku gak marah, kok.”

“Eh?”

“Serius?”

“Iya.”

Hayashi mengangguk sambil tersenyum.

“Soalnya… aku gak bisa ngerepotin kamu lebih dari ini, kan?”

Dia menatapku sambil bilang begitu.

…Lagi-lagi argumennya seperti waktu itu.

“Bukan cuma itu.”

Hayashi menunduk.

“Sekarang aku mulai ngerti sedikit, kenapa ayah begitu keras padaku.”

“Megu…”

“Kamu juga bilang gitu, kan…”

“…”

“Aku juga, tidak mau nyesel.”

“Begitu, ya.”

“Iya… Tapi, maaf ya. Kalau aku pulang sendirian, takutnya aku malah emosi, dan bertengkar lagi.”

Memang sih, kalau itu Hayashi mungkin saja. Titik didih amarahnya... sangat rendah.

“Jadi… aku tahu ini permintaan yang memalukan, tapi bisakah salah satu dari kalian menemaniku?”

“Salah satu? Kenapa tidak dua-duanya?”

“Kalau datang ramai-ramai, nanti malah dicurigai yang aneh-aneh.”

“Ya, masuk akal juga sih.”

Kalau anak perempuan yang sudah lama hilang tiba-tiba pulang bawa dua orang asing, bisa-bisa orang tuanya mikir dia masuk sekte sesat, bawa dukun, dan semacamnya. Mereka mungkin tidak bisa bersukacita atas reuni itu.

“Salah satu, ya…”

Kasahara bergumam.

…Sudah kuduga, sih. Pasti Kasahara bakal bilang, “Kalau gitu, aku aja yang pergi.” Makanya aku menunggu kelanjutannya.

Kasahara... melirik ke arahku sekilas, lalu tertawa kecil.

“Kalau gitu, Yamamoto-kun aja yang pergi.”

“……Hah?”

“Yamamoto-kun yang harus pergi.”

“Kenapa begitu?”

Dari cerita yang sebelumnya, harusnya Kasahara kenal dengan orang tuanya Hayashi. Lagipula, dia lebih jago menengahi pertengkaran yang disebabkan oleh Hayashi. Orang yang paling tepat untuk kali ini, bagaimanapun juga, adalah Kasahara, kan.

“Sekarang yang paling dipercaya sama Megu, sayangnya dan dengan berat hati... adalah kamu.”

“……Apa?”

Hayashi? Percaya padaku...?

Dengan takut-takut aku melirik Hayashi, tapi dia langsung mengalihkan pandangan, kelihatan canggung.

“……Kenapa?”

“Enggak, gak ada apa-apa kok…”

…Ngomong sesuatu kek. Aku beneran tidak tahu harus ngomong apa di situasi kayak gini.

“Ah, iya. Aku baru ingat, aku ada urusan lain setelah ini!”

Belum sempat Hayashi jawab, Kasahara angkat bicara duluan.

“Jadi, Yamamoto-kun. Aku titip ya.”

“……”

“Titip ya?”

“…Baiklah.”

Aku hanya bisa mengangguk.

“Kalau gitu… sampai nanti.”

Kasahara lari. Kami berdiri diam untuk beberapa saat, dan hanya melihat punggungnya yang makin lama makin kecil.

“Ayo.”

“Iya.”

Begitu sosok Kasahara hilang di balik tikungan, kami mulai berjalan.

Terdengar suara gagak dari kejauhan.

Suara deburan ombak dari belakang perlahan-lahan menjadi samar.

Tercium aroma kari dari suatu tempat.

Terdengar siaran kota yang menandakan pukul lima.

“Kalau dulu, jam segini udah gelap, ya.”

“Hm?”

“Waktu berlalu begitu cepat, ya.”

“……Iya, benar.”

“Aku merasakan pergantian musim saat menyadari perubahan waktu matahari terbenam.”

“Begitu ya.”

“Dulu, jam segini masih terang. Saat musim panas berakhir dan musim dingin datang, aku merasa sangat sedih.”

“Aku mengerti.”

Kok dia tiba-tiba banyak bicara?

…Apa karena dia segitu cemasnya mau ketemu orang tuanya?

“Tadi aku bilang, kan. Aku bakal ketemu orang tuaku karena gak mau ngerepotin kamu lagi. Tapi bukan cuma itu.”

“Begitu.”

“…Waktu kecil, aku gak pernah ngerasain. Tapi pas udah dewasa, aku sadar setahun tuh cepet banget.”

Fenomena itu memang ada penjelasannya di psikologi.

“Mungkin, hidup manusia itu... bahkan jika hidup sampai 80 tahun, akan terasa begitu cepat.”

“Yah, kalau hidup itu sampai 80 tahun, kita aja udah hampir beresin seperempat hidup kita, kan.”

“Orang tua kita, apalagi.”

“……Iya.”

“Dari kecil ayah ayah selalu menasihatiku banyak hal. Jangan ngerepotin orang lain. Aku sudah bosan mendengarnya, dan ditambah masa puber, aku jadi memberontak. Tapi bukan cuma itu alasannya. Aku benar-benar mikir, aku kan gak ngerepotin orang lain.”

“……”

“Jadi, jangan ngomongin hal yang udah jelas. Jangan ngomongin hal yang sama terus-menerus. Aku udah paham... aku pikir, aku gak peduli dengan orang yang gak mau ngerti seperti itu, meski aku udah bilang berkali-kali.”

“……”

“Tapi, ternyata ayah benar.”

Dia teringat lagi semua yang terjadi sejak ke Tokyo, bertemu dengan pria KDRT, tinggal bareng...… dan akhirnya terdampar di tempatku. Hayashi menertawakan dirinya yang dulu.

“Ayah bakal maafin aku sambil ngetawain gak, ya?”

“Kalau orangnya keras, mungkin bakal marah.”

“Bakal bertengkar gak, ya?”

“Kalau lihat kebiasaanmu, mungkin aja.”

“Kalau gitu, apa aku bakal jadi wanita yang gak ada kemajuan?”

“……Entahlah.”

“....”

“Itu tergantung pada apa yang kamu pikirkan setelah bertengkar. Apa kamu bakal menyesal. Atau kamu bakal putus hubungan lagi dan bilang gak peduli dengan orang kayak gitu”

“Kalau aku pilih yang kedua, berarti aku bener-bener gak ada kemajuan, ya.”

Hayashi menunduk.

“Yamamoto.”

“Hm?”

“Aku membawamu ke sini agar gak terjadi hal kayak gitu.”

“Bebannya berat juga ya.”

“Maaf.”

“Gak perlu minta maaf. Kan belum dimulai.”

Entah ayah Hayashi akan marah.

Entah Hayashi akan bertengkar dengan ayahnya.

Entah aku tidak bisa melerai pertengkaran mereka.

Meskipun penting untuk memverifikasi sebelumnya untuk menghindari situasi terburuk... permintaan maaf Hayashi kepadaku seharusnya dilakukan setelah semuanya selesai dan tergantung pada hasilnya.

『Belok kanan. Anda akan segera tiba di tujuan.』

Navigasi ponsel bilang begitu.

“Udah sampai.”

Hayashi melihat rumah besar yang megah di depannya.

“Kalau gitu… aku pencet belnya.”

“Iya.”

Saat Hayashi hendak menyentuh bel...

“Eh?”

Pintu rumah terbuka dengan suara ‘ceklek’. Dari dalam keluar seorang wanita cantik

“Ah.”

“…Megumi?”

“Ibu…!”

Suara Hayashi bergetar. Sampai beberapa saat yang lalu, Hayashi banyak bicara. Melihatnya begitu, kupikir dia takut bertemu ayahnya... tapi sepertinya salah.

“Ibu… anu…”

Banyak perasaan bercampur dalam dirinya saat ini.

Rasa bersalah karena memutuskan hubungan begitu saja setelah dibesarkan sampai sekarang hanya karena emosi sesaat.

Takut dimarahi ayahnya.

“Ibu...!”

Dan kegembiraan bisa bertemu kembali dengan orang tua yang dia pikir takkan pernah ditemuinya lagi... takkan bisa ditemuinya lagi.

Hayashi yang diliputi emosi, melompat ke dalam pelukan ibunya.

“…Duh. Kamu ke mana aja sih?”

Ibunya mengelus kepalanya dengan lembut.

“Maaf…”

“Tak apa. Kamu dari dulu memang suka bertingkah aneh.”

“Maaf… maafkan aku…”

“Udah, udah… Terus dia ini siapa?”

Tatapan ibu Hayashi beralih ke arahku, dan wajahku menegang.

“Yamamoto.”

Hayashi mengenalkanku dengan seadanya.

“Apa hubunganmu dengan Yamamoto-kun...?”

“Karena berbagai hal, kami tinggal bareng.”

“Oh, begitu... Dalam telepon terakhir sebelum kamu memutuskan kontak, kamu bilang akan menikah dengan seorang bankir elit yang usianya sekitar lima tahun lebih tua darimu dan tinggal bareng, kan? Kelihatannya dia tidak setua itu...?”

“…Aku udah putus dengan orang itu, soalnya dia melakukan kekerasan.”

“……Hah?”

Ibu Hayashi tampak bingung, seolah-olah mendengar cerita yang benar-benar tak terduga.

“Terus… aku disembunyikan oleh orang ini yang kebetulan kutemui, lalu ditemukan oleh pria KDRT itu dan terjadi keributan, lalu diserang oleh kenalan semasa kuliah... banyak banget, benar-benar banyak... huhuhu…”

“Eh, jangan nangis dulu. Aku belum mencerna informasinya.”

“Ah, ehmmm… biar aku saja yang jelaskan.”

Menggantikan Hayashi yang menangis, aku menceritakan semua yang terjadi pada Hayashi sampai hari ini. Tak ada yang dilebih-lebihkan. Tanpa itu pun, pengalaman yang dialaminya sudah cukup dramatis untuk dijadikan dua jilid light novel.

“…Rupanya begitu.”

“Anu, tolong jangan salahkan dia. Orang yang membuatnya sampai seperti itu sudah ditangkap polisi. Dia adalah pria keji yang melakukan kekerasan pada gadis yang masih di bawah umur dan menghancurkan mentalnya. Dia juga korban. Jadi...”

“…Tidak apa-apa. Aku takkan marah.”

“Begitu ya.”

“Iya… Setelah anak ini tak bisa dihubungi, aku selalu menyesal. Demi pendidikannya, demi masa depannya... mungkin kami terlalu keras padanya.”

“Bener banget tuh…”

“Malah ikut-ikutan…”

“Haha… Sifatnya yang suka cari enaknya ini mirip siapa, ya.”

“Mirip siapa, tuh?”

“Entahlah. Bukan aku. Mungkin mirip ayahnya.”

Oh, berarti mirip ibunya.

“Oh ya…”

Hayashi sepertinya teringat sesuatu.

“Ayah… Ayah ada?”

“……”

“Aku juga harus minta maaf pada ayah. Mungkin bakal dimarahin, mungkin aku akan memberontak dan bertengkar, tapi aku tetap harus minta maaf.”

“……Iya.”

“Ibu, ayah ada? Jangan-jangan, sekarang tak ada di rumah? Masih kerja?”

Melihat Hayashi yang seperti anak kecil berulang kali menanyakan keberadaan ayahnya, aku merasa hangat.

Namun pada saat yang sama, aku merasakan keanehan pada ibu Hayashi yang tiba-tiba menjadi bingung.

…Ngomong-ngomong, kenapa tadi ibunya buka pintu duluan sebelum Hayashi membunyikan bel?

Kalau diamati lebih dekat, ibu Hayashi membawa sebuah tas Boston. Tas Boston yang cukup besar untuk menampung pakaian selama seminggu

…Apa dia mau berangkat liburan di jam segini?

Tidak, kalau begitu... kenapa dia begitu kebingungan saat ditanya tentang keberadaan ayah Hayashi?

...Jangan-jangan.

“Apa dia sudah bangun, ya.”

“Eh?”

“Megumi, mau ketemu ayah?”

“……Hah?”

“Ayah… kini dirawat di rumah sakit.”

“……”

“Katanya... hidupnya takkan lama lagi.”

“……Eh?”


Previous Chapter | ToC | 

0

Post a Comment


close