NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 3 Chapter 5

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 5

Ratu yang Terus Dilanda Masalah

“Horeee!”

Saat aku masih kelas satu SMP, aku mendapatkan nilai tinggi dalam ujian Bahasa Inggris. Sejak kecil, aku memang benci bahasa Inggris. Aku selalu berpikir, “Ngapain sih harus belajar bahasa Inggris kalau kita lahir dan hidup di Jepang?”

Tapi Ayah terus-menerus mengomel bahwa bahasa Inggris akan dibutuhkan di masa depan, jadi meski ogah-ogahan, aku berusaha belajar.

Ketika akhirnya dapat hasil bagus, aku sangat bahagia... Saat itu belum ada dendam pada Ayah, jadi malamnya, aku pamer padanya.

“Ayah, lihat! Nilai ujian bahasa Inggrisku, 98!”

Kupikir Ayah akan memujiku kalau lihat nilai ini.

“Bukan begini, Megumi!”

Tapi ternyata tidak.

“Hah?”

“Kamu tak bisa bedakan huruf ‘a’ dan ‘d’? Ini kan kecerobohan yang sangat mendasar! Waktu ujian, kamu tidak konsen, ya?”

“...Aku konsen kok!”

Justru karena itulah aku bisa mendapat nilai setinggi 98 di pelajaran yang paling kubenci!

“Tidak, pasti kamu tidak konsen! Kalau tidak, mana mungkin salah begini!”

Ayah memang orang yang keras. Di lingkungan sekitar, dia dikenal sebagai ayah yang sangat perhatian pada pendidikan. Saat kecil, aku bisa menerima tegurannya dengan lapang dada. Soalnya, faktanya, apa yang dikatakan Ayah seringkali benar. Kalau nurut Ayah, semuanya pasti berjalan lancar. Saat masih kecil, ketika egoku baru mulai tumbuh, aku berpikir begitu.

“Kenapa sih harus marah sampai segitunya?!”

Tapi begitu masuk SMP dan egoku semakin kuat, pertikaian antara aku dan Ayah makin sering terjadi. Mungkin sampai jadi bahan gunjingan sebagai “ayah dan anak yang tidak akur“ oleh para tetangga.

Aku baru tahu kalau pertengkaran kami terdengar sampai ke luar rumah beberapa waktu setelahnya.

Mungkin, itu adalah batas kesabaranku.

Soalnya, Ayah tidak pernah mengakuiku.

Padahal aku sudah berusaha semampuku.

Padahal aku sudah berjuang sebisaku.

Tapi Ayah selalu memarahiku berdasarkan standarnya sendiri.

“Aku mau hidup bersama pegawai bank.”

Aku memberi tahu keluargaku tentang keputusanku untuk tinggal bersama Seiji-san sehari sebelum aku pindah.

“Megumi, setelah sekian lama kamu tidak menelepon, kamu bilang apa?”

Suara Ibu di telepon terdengar sangat bingung.

“Maksudku, aku mau tinggal bareng. Itu aja.”

“Tinggal bareng... Kamu kan baru saja berumur 19 tahun?”

“Terus?”

“Berikan teleponnya padaku.”

Suara Ayah terdengar.

“Megumi. Jelaskan dengan baik.”

“Dah kubilang kan, aku mau hidup bersama pegawai bank.”

“Orang seperti apa dia? Kau tidak pernah sekalipun membicarakan hal seperti ini sebelumnya.”

“Ngapain juga aku harus cerita padamu? Ini urusanku sendiri.”

“...Bagaimana dengan kuliahmu?”

“Itu bukan urusanmu, kan? Lagian, kamu kan gak pernah bayar uang sewa apartemenku!”

“Ayah dari awal tidak setuju kamu kuliah di Tokyo. Harusnya kamu kuliah di sini saja.”

“...Kau tuh, selalu saja begitu ya.”

Awalnya aku cuma mau memberi tahu sekilas lalu menutup telepon, tapi aku jadi kesal.

“‘Ayah dari dulu selalu bilang,’ ‘masih terlalu cepat,’ itu-itu terus. Yang kau pedulikan cuma citra di mata orang lain...”

“...”

“Apa kau gak ingin aku bahagia? Ini kan hidup bersama. Aku mau membina cinta dengan orang yang kusukai?”

“...Ayah ingin kamu bahagia. Tapi bahagia yang biasa-biasa saja sudah cukup.”

“Apaan sih?”

“...Megumi.”

“Dah, aku gak bakal telepon lagi. Kalian juga jangan meneleponku.”

“Megu...”

Setelah tiba-tiba menutup telepon, ada panggilan balik, tapi aku mengabaikannya.

Itulah percakapan terakhirku dengan orang tuaku sebelum bertemu kembali hari ini.

Kalau dipikir-pikir, kata-kataku memang cukup kejam.

Tapi mau bagaimana lagi?

Karena itu adalah batas kesabaranku.

Dan saat itu, aku berpikir:

‘Dengan melepaskan diri dari Ayah dan Ibu, suatu hari nanti aku akan membuktikan pada mereka!’

‘Lihatlah, betapa hebatnya hidup kujalani!’

‘Tanpa bantuan mereka, aku akan meraih kebahagiaanku sendiri!’

...Yah, nyatanya, sampai sekarang, aku sama sekali tidak meraih kebahagiaan apapun.

“...Kira-kira, sejak bulan lalu. Kondisi tubuhnya mulai memburuk.”

Aku dan Yamamoto naik mobil Ibu, aku di kursi belakang, Yamamoto di samping Ibu.

Sambil menyetir, Ibu bercerita, dan aku hanya mendengarkan dengan pikiran kosong, menyesali semua perbuatanku selama ini.

“Kanker paru-paru. Sudah stadium akhir.”

Ibu berbicara datar.

“Dia berhenti merokok tepat saat tahu aku hamil kamu. Katanya, tidak baik untuk janin. ...Ironis, ya.”

“...Aku tidak tahu itu.”

“Yah, mungkin karena terlalu memaksakan diri selama bertahun-tahun. Dia sangat gila kerja. Dan sangat keras—tidak hanya pada orang lain, tapi terutama pada dirinya sendiri.”

Suara mesin mobil anehnya terasa sangat sunyi.

“Banyak orang yang tidak menyukainya. Tapi demi keluarga, dia jadi orang pertama yang naik jabatan di antara rekan kerjanya. Banyak juga yang mengandalkannya. Kamu mungkin tidak tahu, Megumi, tapi dia pernah pingsan tiga kali karena kelelahan kerja. Yah, di zaman sekarang, hal begituan tidak dianggap sebagai cerita yang inspiratif lagi, sih. Aku sendiri berharap dia tidak melakukannya. Itu melelahkan fisik dan mental.”

Aku berusaha keras menahan isak tangis.

“...Dia memang orang yang kikuk, ya.”

Di dalam mobil, tak ada lagi yang bersuara.

◇◇◇

Setelah memarkir mobil, kami masuk ke sebuah rumah sakit di kota.

Di ruang tunggu, banyak pasien dari berbagai usia duduk menunggu giliran.

“Lewat sini.”

Dibimbing Ibu, kami berjalan ke bagian dalam rumah sakit.

Naik lift transparan hingga lantai tiga, bau obat samar perlahan tercium.

Menyusuri lorong kamar pasien, kami mengikuti Ibu masuk ke sebuah kamar privat.

“...Hayashi, kamu baik-baik saja?”

“...Eh?”

“...Wajahmu pucat sekali.”

Setelah ditegur oleh Yamamoto, aku baru sadar bahwa sejak tadi aku seperti orang linglung sampai tiba di depan kamar inap ini.

“Mau istirahat sebentar sebelum masuk?”

“...Gak usah.”

“Baiklah.”

Mengikuti Yamamoto, aku masuk ke kamar.

Di dalam kamar yang sunyi, terlihat sebuah tempat tidur dengan selimut putih di ujung ruangan.

Aku melangkah mendekati ranjang itu, selangkah demi selangkah.

“Sepertinya dia sedang tidur,” kata Ibu.

Kulihat seorang pria terbaring telentang di atas ranjang...

Benar, di sana, ada Ayah yang sedang terlelap.

...Sejak kami berselisih waktu kelas 1 SMP, aku tidak pernah benar-benar melihat wajah Ayah. Malah, aku berusaha sebisa mungkin menghindari kontak mata. Tapi kadang, sosoknya tetap muncul di sudut mataku, dan itu sangat menggangguku.

Aku benar-benar mengacuhkannya sampai sedemikian rupa.

Tapi sekarang, aku langsung mengenalinya.

Dulu, dia terlihat lebih sehat.

Dulu... dia lebih berwibawa.

Lehernya kini kurus, pipinya cekung, uban dan keriput semakin banyak...

“Katanya... hidupnya takkan lama lagi.”

Jujur, sampai tiba di sini, aku tidak percaya omongan Ibu.

Meskipun tiba-tiba diberitahu bahwa hidup Ayah tidak akan lama lagi, dalam hati aku masih berpikir, “Dia pasti masih akan hidup sehat dan panjang umur, kan?”

Mungkin, aku tidak bisa membayangkan Ayah meninggal.

Meski hubungan kami renggang, bahkan putus...

Aku selalu berpikir Ayah akan selalu ada di rumah.

Tapi sekarang, melihatnya terbaring lemah di ranjang...

Aku dipaksa menerima kenyataan, suka-tidak suka.

“Bagaimana kalau kita datang lagi besok, saat dia sekiranya sudah bangun?”

“...Apakah ini salahku?”

“Eh?”

“Apa karena aku selalu menyusahkan Ayah... makanya dia jadi begini?”

Sudah terlambat.

Meskipun aku menyesalinya sekarang... sudah terlambat.

Aku tahu itu.

Tapi aku tidak bisa menahan penyesalan ini.

‘Kenapa sih harus marah sampai segitunya?!’

Kalau tahu akan jadi begini, seharusnya aku tidak membangkang...

‘Dah, aku gak bakal telepon lagi. Kalian juga jangan meneleponku.’

Kalau tahu akan jadi begini, seharusnya aku tidak bertengkar...

Tidak peduli seberapa besar penyesalanku.

Tidak peduli seberapa aku mengutuk diriku yang bodoh ini.

Aku tahu itu... tapi melihat Ayah seperti itu, aku benar-benar putus asa.

“Ayo pulang. Yamamoto-kun juga ikut.”

“Ya.”

Aku tidak ingat apa-apa setelah itu. Rasanya Yamamoto menuntunku kembali ke mobil dalam keadaan linglung.

Saat sadar, aku sudah duduk di tempat tidur di kamarku di rumah orang tuaku.

Kamarku ada di lantai dua. Dari ruang tamu di bawah, terdengar suara tawa dan obrolan.

Sepertinya Ibu dan Yamamoto sedang mengobrol.

“Banyak debu.”

Hidungku agak gatal.

Aku berdiri untuk membuka jendela agar ada ventilasi. Tirai kamar sudah terbuka, cahaya bulan menerangi ruangan.

Ketika aku membuka jendela, langit dipenuhi bintang-bintang yang tidak bisa kulihat di kota.

...Dulu, Ayah pernah menunjuk langit dan mengajarkanku nama-nama rasi bintang.

Tapi, aku sudah tidak bisa mengingat nama rasi bintang itu lagi.

“Dulu menyenangkan, ya.”

Banyak hal yang kupelajari, Ibu selalu baik, Ayah memang keras... tapi entah kenapa ia sering tertawa dengan gembira. Mungkin, saat itu adalah masa paling harmonis dengan mereka.

“Aku ingin kembali ke masa itu.”

Seandainya menutup mata dan berdoa bisa mengabulkan keinginanku...

Tapi tentu saja, tidak ada dewa yang akan memenuhi permintaanku.

“...Ayah.”

Bayang wajah Ayah yang lemah muncul lagi di kepalaku.

‘Tok, tok.’ Ada yang mengetuk pintu.

“Hei, bagaimana keadaanmu?”

Tanpa menunggu jawabanku, pintu terbuka. Yang muncul adalah Yamamoto.

“Sudah mendingan?”

“...Entahlah.”

“...Masih belum, ya?”

Yamamoto terlihat bingung. Wajar saja. Dia dipaksa menemaniku pulang karena keegoisanku, dan malah terjebak dalam situasi seperti ini, yang bahkan lebih buruk daripada sekadar pertengkaran.

Mungkin saat ini Yamamoto sedang berpikir, aku terseret ke dalam masalah yang merepotkan.

“Maaf sudah merepotkanmu.”

Tanpa sadar, kata-kata maaf keluar dari mulutku.

“Aku sama sekali tak merasa direpotkan.”

“...”

“Siapa pun pasti akan terguncang jika mendengar bahwa orang tua yang baru ditemui setelah sekian lama sisa hidupnya tinggal sedikit. Apalagi jika sebelumnya sempat berselisih. Wajar jika kamu merasa bersalah.”

“...Terima kasih.”

Kata-katanya sangat menenangkan. Hatiku terasa sedikit lebih ringan.

...Tapi di saat yang sama, aku berpikir:

Seandainya orang lain selain Yamamoto yang mengatakan ini, mungkin takkan begitu menyentuh hatiku.

Selama ini, aku sudah sering merepotkan Yamamoto. Tapi setiap kali itu terjadi, dia selalu bilang, “Aku tak merasa direpotkan. Jangan khawatir.”

Awalnya kupikir dia hanya berpura-pura. Mungkin sebenarnya ia merasa direpotkan, tapi tidak mau memperlihatkannya karena akan lebih merepotkan jika aku semakin murung, dan dalam hatinya ia pasti merasa kesal.

Tapi belakangan aku sadar.

Setiap kata Yamamoto selalu tulus dari lubuk hatinya yang terdalam.

Karena itu... hatiku merasa lega karena dia benar-benar tidak merasa terganggu.

“Aku harus bagaimana sekarang?”

Tanpa sadar, aku kembali mengandalkan Yamamoto. Aku memintanya memberikan jawaban.

Selama ini... berapa kali ya dia sudah menolongku?

Seperti saat dia menolongku ketika Miyauchi menyerangku.

Seperti saat bertemu Seiji lagi, dan dia mengusirnya.

Seperti saat dia menampungku di rumahnya ketika aku tidak punya tempat tujuan...

Seperti yang sudah-sudah...

Jika itu Yamamoto...

Meskipun aku sangat membencinya saat SMA...

Kini aku jadi berpikir bahwa pria ini, pasti akan punya jawaban untuk masalah ini.

Karena itu, aku kembali bersikap manja.

“...”

Aku teringat kata-katanya dulu.

Pilihan apa pun yang kuambil.

Keputusan apa pun yang kubuat.

Tidak ada artinya jika bukan aku yang memilih.

Karena ini hidupku, tidak ada artinya jika bukan aku yang memutuskan.

Apa yang Yamamoto pikirkan saat kumintai tolong sekarang?

...Apa yang akan dia katakan?

“...Aku tahu persis alasan kau bisa seterpuruk ini.”

Yamamoto mulai berbicara dengan suara berat.

“Kau memutuskan hubungan dengan ayahmu, dan ketika akhirnya bertemu lagi, kau dihadapkan pada situasi terburuk. Menyesal telah memutuskan hubungan. Menyesal karena tidak akur. Menyesal telah mengatakan hal-hal kejam...”

...Benar.

Keinginanku untuk kembali ke masa lalu juga begitu.

Keputusasaan yang kurasakan saat melihat Ayah di rumah sakit juga begitu.

Sekarang, yang kurasakan hanyalah penyesalan.

“Tapi begini, Hayashi... terus terang, aku merasa bahwa kekhawatiranmu saat ini adalah hal yang sangat sepele.”

...Sepele?

Kekhawatiranku saat ini... sepele?

Maksudnya kematian ayahku itu sepele?

“...Kamu takkan pernah bisa mengerti perasaanku sekarang.”

Aku berkata dengan nada sinis. Dari lubuk hatiku, ada sesuatu yang bergejolak. Emosi yang hanya bisa disebut sebagai kemarahan.

“H-Hei, Hayashi? Dengarkan dulu sampai—“

“...Maaf. Hari ini bisa biarkan aku sendiri?”

Tanganku gemetar. Suaraku juga. Aku berusaha keras menyembunyikan amarahku dari Yamamoto.

“Hayashi...”

“Kumohon.”

Aku tidak menyangka Yamamoto akan berkata sekejam itu.

Selama ini, dia selalu menolongku. Aku yakin kali ini pun dia pasti akan membantuku.

Tapi... harapanku meleset.

...Aku tahu.

Memiliki perasaan seperti ini saja sudah salah.

Aku yang sudah bergantung padanya, tidak punya hak untuk merasakan kemarahan yang menggebu-gebu seperti ini pada Yamamoto yang berkata keras.

Aku tidak punya hak untuk marah padanya.

“Keluar.”

“...”

“Sekarang juga. Keluar dari kamarku.”

Karena aku tahu itu... di ambang batas, dengan suara gemetar, aku berusaha mengatasi situasi ini dengan mengusirnya dari kamar.

“...Kalau ada apa-apa, hubungi aku.”

Dengan suara sedikit muram, Yamamoto dengan patuh pergi.

Setelah dia pergi, aku berbaring telentang di tempat tidur.

“Hachoo!”

Meskipun sudah ada ventilasi, kamar ini masih terasa apek.

Ibu jarang membersihkannya, ya?

Yah, wajar sih.

Aku kan sudah bilang takkan pernah balik lagi ke rumah ini.

Mungkin kamar ini hampir dijadikan gudang.

...Tapi, untuk sebuah kamar yang akan dijadikan gudang, penataan barang-barang di kamar ini hampir sama seperti sebelum aku pergi.

“...Aku harus bagaimana sekarang?”

Melihat partikel debu yang beterbangan di kegelapan malam diterpa cahaya dari luar, aku bergumam.

“...Daripada merasakan ini, lebih baik aku dimarahi terus-menerus sama Ayah.”

Pada akhirnya, kali ini pun, perkataan Ayah mungkin benar.

Aku selalu salah dalam memilih.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close