Penerjemah: RiKan
Proffreader: RiKan
Chapter 7
Ratu yang Mengatur Siasat
Hari festival musim panas. Waktu menunjukkan pukul 16:30.
“Yamamoto, bantu aku sebentar~”
Aku dipanggil oleh Hayashi yang sedang berada di ruang ganti untuk mengenakan yukata.
Awalnya, Hayashi dengan beraninya hendak berganti pakaian langsung di ruang tamu, tapi karena aku buru-buru menghentikannya dengan wajah memerah, akhirnya jadi seperti sekarang.
Entah dia butuh bantuan apa, tapi aku pun bangkit dan menuju ruang ganti.
Ketika aku hendak menyentuh kenop pintu untuk membukanya, aku berhenti.
“Eh… kamu udah selesai berganti pakaian, kan?”
Aku bertanya.
“Hah?”
“Jawab saja.”
“Udah selesai, kok.”
Hayashi menjawab dari balik pintu, dengan nada kesal.
Padahal aku tanya baik-baik, kenapa malah kesal begitu…?
Bukankah tempo hari kamu menyalahkanku karena tidak sengaja melihatmu telanjang…?
Aku benar-benar tidak mengerti standar amarahnya. Dengan helaan napas, aku pun membuka pintu.
Dan di balik pintu, berdirilah Hayashi...
Rambut hitam panjangnya diikat ekor kuda, dan di tangannya ada kantong kinchaku yang satu set dengan yukata-nya. Dan tentang yukatanya sendiri… sesuai dugaanku, sangat pas di tubuh ramping Hayashi. Yah, intinya, begitulah.
“Fufun!”
Hayashi membusungkan dada.
“...Kenapa kamu kelihatan bangga begitu?”
“Fufun. Ayo, bilang saja apa yang kamu pikirkan.”
...Dia sengaja mendorongku untuk mengucapkan kesan yang tadinya hanya ingin kusimpan dalam hati.
“Kamu tuh benar-benar percaya diri ya, kalau soal penampilan.”
Dan karena itu, aku malah mengungkit kembali soal kerendahan hatinya tempo hari.
“Bukaan! Bukan itu maksudnya!”
Jelas, jawaban ngawurku justru membuat suasana hati Hayashi memburuk.
“...Kamu cantik.”
Aku mengakuinya dengan enggan.
“Nah, itu! Itu dia!”
“Bacot.”
Aku pun mengalihkan pandanganku darinya. Inilah yang biasa disebut sebagai bentuk menutupi rasa malu.
“Sekali lagi.”
“Hah?”
“Sekali lagi! Boleh kan? Toh nggak ada ruginya juga.”
“...Kamu cantik, Hayashi-san.”
“...Fufu.”
Apa-apaan ekspresi puas itu. Serius deh, dia ini... seperti yang kukatakan tadi, dia benar-benar percaya diri dengan penampilannya. Padahal biasanya dia selalu bilang, ‘aku ini nggak punya apa-apa’.
“Haaah~ puas deh.”
“Terus, kenapa tadi memanggilku?”
Jangan-jangan, aku dipanggil cuma untuk memuji yukata-nya?
“Oh, iya juga.”
Dengan senyum, Hayashi menyodorkan foundation ke arahku.
“Tolong pakaikan foundation.”
“Kenapa?”
“Soalnya aku ini kan ceroboh. Jadi kalau pakai sendiri, biasanya belepotan.”
“Bukan itu maksudku. Kamu kan udah pakai foundation?”
Wajah Hayashi hari ini memang sedikit berbeda. Biasanya, dia tidak pakai riasan di rumah. Meski begitu, dia sudah cukup cantik. Tapi hari ini dia tampak 30% lebih cantik dari biasanya.
Aku pun berpikir, ‘Wow, perempuan benar-benar bisa secantik ini dengan riasan,’ tetapi di saat yang sama, jika dia sudah memakainya, aku jadi tidak mengerti kenapa dia memintaku mengoleskan foundation padanya.
“Ah, bukan, bukan.”
Hayashi mengibaskan tangan di depan wajahnya. …Entah kenapa, gerakan itu bikin kesal.
“Yang mau dioles itu bagian sini.”
Yang dia tunjuk adalah memar di lengannya. Memar itu adalah bekas yang ditinggalkan oleh mantan pacarnya yang kasar ketika mereka masih tinggal bersama. Meskipun sudah sedikit memudar dibandingkan saat pertama kali aku menampungnya, tapi di beberapa tempat ada bekas luka yang tampak menyakitkan.
Belakangan ini aku mulai terbiasa melihatnya, tapi terkadang saat tak sengaja melihatnya, aku masih meringis.
Dan sekarang, dia ingin mengoleskan foundation di atas memar itu?
“Kenapa?”
Aku bertanya.
“Untuk menutupi memar.”
Hayashi tersenyum.
“Itu foundation yang kamu beli asal waktu itu. Warnanya kan beige tua. Kalau siang-siang sih mungkin masih kelihatan, tapi kalau malam, kurasa dioles pakai ini saja memarnya nggak bakal terlalu kelihatan”
“Oh, gitu toh.”
“Iya. Makanya, tolong olesin.”
“...Eeh.”
Sebenarnya ide itu cukup masuk akal, tapi itu tidak serta merta membuatku mau mengoleskan foundation ke lengannya. Makanya, suaraku terdengar sangat malas.
“Soalnya, kamu kan jago kalau urusan kerjaan remeh begini.”
“Fuh. Tentu saja. Kamu paham juga, ya.”
“Apa-apaan wajah songong itu. Nyebelin.”
Memang sih, kalau urusan kerjaan remeh dan detail begitu, mungkin aku tak tertandingi. Bahkan saking perfeksionisnya, bisa-bisa nanti aku bilang, “serahin saja padaku kalau urusan nutupin bekas luka pake foundation!”
Faktanya, waktu itu aku sempat mengeringkan rambut panjangnya pakai hair dryer dan ternyata cukup menyenangkan. Bahkan minggu ini, aku sudah dua kali membantu mengeringkan rambutnya sehabis mandi. Manusia memang tak bisa ditebak, ya…
“Ngomong-ngomong, foundation itu cara pakainya gimana?”
Yah, bagaimanapun juga, sepertinya aku tidak akan dilepaskan dari sini sebelum mengoleskan itu, jadi aku memutuskan untuk mencobanya.
“Ah, maaf. Kamu nggak tahu ya.”
Setelah mendapat penjelasan singkat dari Hayashi, aku pun mengambil puff untuk mengaplikasikannya.
Dan tepat saat puff yang kupegang menyentuh kulit Hayashi—
“...Ah.”
Hayashi mengerang kecil.
“Jangan mengeluarkan suara aneh!”
“Maaf, maaf.”
Dia tertawa kecil, “ehehe,” sambil minta maaf.
Maaf ya, tapi satu suara itu saja sudah mengurangi kemungkinanku untuk suka mengoleskan foundation secara drastis. Soalnya, itu terasa... agak... sensual.
Sambil menahan godaan, aku dengan cepat namun presisi mulai mengoleskan foundation di atas memarnya.
“Sudah.”
Begitu selesai, aku mengembuskan napas lega.
“Makasiiih~”
Hayashi mengucapkan terima kasih sambil memutar lengannya, memeriksa hasil olesan foundation di memarnya.
“Kamu memang jago ya untuk urusan remeh kek gini.”
“Kalau kamu ngomong gitu ke orang lain, itu bisa jadi penghinaan, tahu.”
Hayashi melompat-lompat kecil, lalu kembali ke ruang tamu.
Aku kembali menghela napas, lalu menyusulnya ke ruang tamu selangkah di belakang. Jam yang tergantung di ruang tamu menunjukkan pukul lima sore. Kalau tidak salah, kemarin dia berencana berangkat sekitar jam segini.
“Hayashi, udah waktunya berangkat, lho.”
“Iyaaa.”
Sambil menyimpan uang yang tadi kuberikan ke dalam kantong kinchaku-nya, Hayashi menjawab dengan suara ceria. Sambil memastikan tak ada barang yang tertinggal, dia mengaduk-aduk isi kantongnya.
‘Ping pong,’ bel apartemen berbunyi.
Di saat seperti ini, siapa, ya? Jarang-jarang ada tamu yang mampir ke sini.
Apa ini semacam penawaran? Kalau begitu, pura-pura tidak ada orang saja. Tapi kan Hayashi harus segera berangkat...
“Sebentar~!”
“Eh?”
Tanpa memedulikan aku yang masih bingung, Hayashi langsung menuju pintu. Seolah dia tahu siapa yang datang, dia bergerak tanpa ragu sedikit pun.
Jangan-jangan, Miyauchi-san datang?
Tapi kan mereka janjian ketemu di stasiun terdekat dari lokasi festival musim panas. Karena aku khawatir Hayashi harus pergi sendirian, aku sempat menawarkan untuk ikut naik kereta sampai sana. Jadi aku yakin soal itu.
...Kalau begitu, siapa yang datang?
“Akariii, lama nggak ketemu!”
“Kasahara!?”
Aku berseru kaget.
‘Aku bakal dukung kamu sepenuh hati. Jadi, semangat ya.’
Memang benar, waktu itu Hayashi sempat mengatakan padaku hal-hal yang terdengar sesuatu yang menyiratkan akan mencomblangkanku dengan Kasahara. Bahkan saat pesta takoyaki, dia terus mengincar momen untuk mendekatkan kami.
…Tapi siapa sangka, dia akan menggunakan cara sebrutal ini!?
“...Megu, kenapa kamu pakai yukata?”
“Ah, ini? Dikasih Yamamoto.”
“...Eh?”
“Maaf ya, Akari. Sebenarnya aku niatnya mau main sama kamu hari ini, tapi… jadwalnya bentrok!”
“Eeeh!?”
“Jadi, sebagai gantinya, main saja sama Yamamoto, ya! Daaah!”
Saat aku tersadar dari lamunanku dan bergegas ke pintu masuk… Hayashi sudah menghilang. Sebagai gantinya, yang berdiri di depan pintu adalah Kasahara yang sedang linglung.
“...Yamamoto-kun.”
Beberapa saat kemudian, Kasahara membuka suara dengan nada dingin.
“...Iya.”
“Jelaskan.”
“...Aku dijebak. Dia sengaja doubelin jadwalnya. Tampaknya dia benar-benar berniat mencomblangkan kita berdua.”
“Bukan itu!”
Kasahara tiba-tiba mendekat dengan cepat, membuatku terhuyung mundur. Bahaya. Hampir saja kami saling menabrak.
Aku sempat terkejut, tapi tatapan Kasahara membuatku gentar.
“Kenapa kamu kasih yukata ke Meg!?”
“Itu... yang kamu permasalahkan?”
“...Padahal aku…”
Kasahara terduduk di tempat.
“Padahal aku yang ingin kasih yukata ke Meg…!”
“Harusnya kamu juga marah ke Hayashi, kan?”
…Untuk sekarang, karena takut mengganggu tetangga, aku menutup pintu masuk.
◇◇◇
Sejak punya teman serumah, ruangan ini hampir tak pernah sepi. Karena itu, sudah lama rasanya sejak terakhir kali aku bisa mendengar suara detak jarum jam sejelas ini.
Sejak dulu, aku suka tempat yang tenang. Di rumah pun, kalau butuh konsentrasi, aku lebih memilih mengurung diri di kamar daripada duduk di ruang tamu bersama orang tua dan TV.
…Tapi sekarang, aku justru ingin lari dari keheningan ini.
“Jangan sedih lagi dong, Kasahara.”
Kasahara, sahabat dari teman serumahku, Hayashi, kini tengah rebahan di meja kecil tempatku dan Hayashi biasa makan bersama. Sepertinya dia tidak sedang tidur.
Mungkin... dia sedang menangis? Entahlah. Tapi yang jelas, dia sedang murung.
Apa yang membuatnya seperti ini? Alasannya hanya satu.
“Akan kutegur Hayashi nanti.”
Yah, wajar saja kalau dia murung. Dia datang ke sini untuk main dengan Hayashi, tapi Hayashi malah pergi dengan orang lain.
“...Lancang sekali.”
“Hah?”
“Yamamoto-kun bilang mau menegur Meg, itu lancang sekali...!”
“Ah, baiklah.”
Akhirnya Kasahara buka mulut, tapi... dia terasa berbeda dari biasanya.
…Atau jangan-jangan, selama ini dia memang begini kalau menyangkut Hayashi?
“Ya sudahlah, yang penting kamu udah baikan.”
Tapi sejujurnya, ada satu hal yang ingin kukatakan pada Kasahara.
“Kalau begitu, gimana kalau kamu pulang sekarang?”
Berdua saja dengan Kasahara di kamar ini. Situasi yang tidak kami inginkan, tapi diciptakan secara paksa oleh Hayashi si kereta ugal-ugalan. Tujuannya jelas: membuat kami berduaan dan saling mendekatkan diri.
Namun, tak peduli seberapa niatnya Hayashi merancang skenarionya, keputusan selanjutnya ada di tangan kami. Artinya, kalau Kasahara pergi sekarang, takkan ada kesalahan yang terjadi.
Kasahara sempat menatapku tajam, lalu kembali menunduk.
“Yamamoto-kun ingin aku pulang?”
“Iya.”
Aku mengangguk.
Separuh serius, separuh bercanda.
“...Aku sih nggak keberatan tinggal di sini sebentar lagi.”
“...Kasahara?”
“Hei, Yamamoto-kun.”
Jantungku terasa sedikit berdebar. Tapi bukan karena rasa tak nyaman. Suara detak jarum jam justru terasa menenangkan.
“Bolehkah aku di sini sedikit lebih lama?”
Dari luar jendela, terdengar suara anak-anak yang bermain dengan riang.
Sebentar lagi, malam akan tiba.
Sebuah malam yang panjang.
Glek. Aku menelan ludah.
“...Kasahara.”
Tatapan mata Kasahara padaku anehnya terasa... bergairah.
“...Jujur aja, kenapa?”
“Soalnya... Megu bilang, ‘main saja sama Yamamoto, ya’. Jadi aku nggak enak kalau pulang gitu aja…”
Aku menghela napas panjang, lalu mengambil jarak beberapa langkah darinya dan duduk.
Sebenarnya, ada beberapa hal yang ingin kukatakan padanya.... tapi, melihat konsistensinya terhadap Hayashi, aku jadi tak tahu harus berkata apa. Atau lebih tepatnya, aku sudah tak punya energi untuk mengomentarinya.
Karena itu, kupikir lebih baik aku tidak mencampuri lagi urusan perasaannya terhadap Hayashi. Dengan begitu, tak ada lagi yang perlu kusampaikan padanya. Setelah ini, hanya akan ada keheningan di antara kami berdua.
Mungkin harusnya begitu… tapi nyatanya tidak.
“Hei, sebenarnya aku sudah memikirkan ini sejak lama.”
Sebenarnya ada sesuatu yang ingin kutanyakan pada Kasahara sejak lama.
“Pernahkah aku melakukan sesuatu yang membuatmu marah?”
…Aku merasa bulu kudukku merinding. Kalau bisa menarik kembali ucapanku barusan, aku pasti sudah melakukannya.
Tapi, rasa penasaran ini sulit dibendung.
Hubunganku dengan Kasahara tidaklah lama ataupun dalam. Setidaknya itulah menurut standar umum. Tapi menurut standarku, hubungan kami adalah yang terlama dan terdalam setelah keluarga.
Sedekat itu aku dan Kasahara di masa SMA.
Aku memang dikenal tidak peka, sering bicara tanpa dipikir, suka ceplas-ceplos, keras kepala, menyebalkan. Tapi bahkan aku sadar kalau sikap Kasahara akhir-akhir ini berbeda dari sebelumnya.
Hanya saja, aku tidak ingat apa penyebabnya.
Sejak lulus SMA, kesempatanku berinteraksi lagi dengannya menurun drastis. Jadi kalau pun ada kejadian yang membuatnya marah, aku tak tahu kapan itu terjadi.
Tapi kalau dibiarkan terus-terusan, rasanya tidak nyaman. Makanya aku bertanya.
Akibatnya... ekspresi Kasahara benar-benar lenyap dari wajahnya.
Dari penampilannya yang lembut dan gaya bicaranya yang imut, aku selalu menganggap Kasahara adalah tipe yang membangkitkan naluri protektif pria.
Dari pertama kali bertemu, aku tak pernah mengubah pendapat itu.
Tapi sekarang... mungkin untuk pertama kalinya, aku melihat sisi lain dari dirinya.
“...Kamu mau tahu?”
“Baru saja, aku jadi takut dan merasa lebih baik tidak tahu.”
Aku memutuskan untuk melarikan diri. Tatapan matanya yang kehilangan cahaya terasa menusuk-nusuk pipiku.
“...Kenapa kamu nggak memberitahuku?”
Kasahara berbicara dengan suara pelan. Walaupun aku sudah menunjukkan keengganan untuk tahu, sepertinya rem Kasahara sudah blong.
…Soal apa, ya?
“Aku sempat tanya, kan?”
“...Apa?”
“Waktu aku tanya soal keberadaan Megu. Aku sempat tanya padamu, kan, Yamamoto-kun?”
“...Ah.”
Suara lemah keluar dari mulutku. Yang dia maksud adalah percakapan di kantin yang sempat kami bahas sebelumnya.
“Aku udah bilang, kan. Waktu itu, aku sempat curiga kamu dan mantan pacar Hayashi memiliki hubungan. Kalau pergaulanmu tak seluas itu, aku pasti langsung bilang.”
“Kamu cuma cari alasan kan, Yamamoto-kun?”
“Bukan begitu... Aku memang berencana memberitahumu nanti.”
“...Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kamu tuh biasanya lebih peka dari ini.”
Mata Kasahara tampak berkaca-kaca.
“Kalau aku tanya soal keberadaan Megu, itu karena aku khawatir. Bukan cuma sebagai sahabat, tapi karena dia benar-benar berharga bagiku. Kamu harusnya bisa paham itu…!”
“...Kamu terlalu melebih-lebihkanku.”
“Aku nggak melebih-lebihkan!”
Meski berusaha menahannya, tapi emosinya mulai tumpah. Jarang sekali melihat Kasahara sampai segini emosionalnya.
Sebegitu khawatirnya dia pada Hayashi.
Sebegitu percayanya dia padaku.
...Tapi kenapa?
Kenapa dia bisa sepercaya itu padaku?
Toh, orang yang paling tahu bahwa aku bukan pria yang peka adalah dia sendiri. Hanya karena aku menyembunyikan keberadaan Hayashi sekali saja, dia terus-terusan menyimpan amarah, dan akhirnya meledak seperti ini…
…Yah, tapi mungkin aku juga salah karena tidak bisa memenuhi harapannya.
“Aku minta maaf.”
“...Kamu minta maaf, ya.”
“Iya, aku minta maaf.”
“...Begitu, ya.”
Kasahara menjawab dengan nada menantang, lalu menyeka air matanya.
“Menurutmu, apa salahmu?”
“Hah?”
“Menurutmu, apa salahmu?”
Dia menanyakan hal yang sama dua kali. Artinya, aku harus menjawab.
…Eh?
Gimana nih. Haruskah aku jawab jujur? Kalau kupikir-pikir, aku sebenarnya tidak merasa bersalah.
Tapi itu seperti menyiram bensin ke api, kan?
Di sisi lain, kalau aku ngeles dengan alasan lain, bisa-bisa kelihatan bohongnya dan malah bikin dia makin marah…
Aaaah, gadis ini ribet banget!
…Astaga. Baik Hayashi maupun Kasahara, kenapa sih gadis-gadis di sekelilingku semuanya ngeribetin begini…
Bagaimanapun, aku tetap merasa tidak punya salah apapun.
Baik Hayashi maupun Kasahara… mereka cuma melampiaskan perasaan egois mereka padaku.
Yah, kalaupun harus dipaksakan...
“Aku meremehkan seberapa besar perasaanmu ke Hayashi. Maaf.”
…Setelah berpikir keras, akhirnya aku malah meminta maaf dengan alasan yang sama sekali tidak menunjukkan rasa penyesalan. Mungkin ini adalah jawaban terburuk yang bisa kuberikan, atau hanya perasaanku saja?
…Gimana nih. Aku agak takut melihat wajah Kasahara sekarang.
“Yamamoto-kun.”
Aku terkejut mendengar suaranya. Perlahan, aku menatapnya.
Kasahara...
“Asal kamu ngerti aja, itu cukup.”
Sepertinya dia sangat senang karena aku bisa memahami perasaannya. Senyumnya benar-benar cerah.
“Perasaanmu pada Hayashi benar-benar kelewat berat.”
Entah karena lega sudah dimaafkan, atau karena terpana dengan sikapnya yang tidak berubah, yang jelas aku hanya bisa tersenyum masam pada Kasahara.
◇◇◇
Setelah berbaikan dengan Kasahara, kami mengobrol santai selama beberapa saat.
Kira-kira tiga puluh menit berlalu. Tidak terlalu lama, tapi rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku ngobrol sebanyak ini dengan Kasahara.
Tidak, mungkin memang benar-benar sudah lama.
“Kayaknya aku mulai lapar,” kata Kasahara.
“Gitu, ya?”
“Iya. Sekarang kan udah jam makan malam.”
“...Benar juga.”
Jam makan malam… ya. Akhir-akhir ini, aku selalu makan masakan Hayashi. Mungkin karena itu juga, kegiatan masak jadi terasa sangat merepotkan.
“Mau makan di luar?”
Aku mengusulkan. Aku yakin Kasahara bisa memahami perasaanku.
“Kalau gitu—”
Kasahara menjentikkan jarinya, seolah baru dapat ide.
“Gimana kalau kita juga pergi ke festival musim panas?”
Senyum yang dia tunjukkan saat itu agak… jahat. Walaupun dia gadis yang selalu mendukung Hayashi, sepertinya dia juga merasa kesal karena dijebak.
“Aku nggak punya hak buat nolak, kan?”
“Siapa bilang? Kamu bebas nolak kok. Aku cuma bakal agak kecewa aja.”
“Itu namanya nggak boleh nolak.”
Dengan berat hati, aku berdiri. Sebenarnya aku tak terlalu suka pergi ke tempat ramai, tapi… ya sudahlah.
“Kalau begitu, ayo kita pergi.”
“Oke.”
Kami meninggalkan apartemen. Meskipun matahari hampir sepenuhnya tenggelam, begitu keluar, hawa panas langsung menerpa tubuh. Musim panas ini benar-benar menyiksa.
“Entah kenapa—”
Berbeda denganku yang menderita karena panas, Kasahara tampak ceria.
“Jalan bareng di malam hari begini, kayak lagi kencan ya.”
“Iya, iya.”
Merasakan gelagat Kasahara yang akan menggodaku, aku dengan lihai mengabaikannya.
“Jadi teringat waktu kita pacaran, ya!”
“Iya, iya.”
Ini juga kuabaikan dengan lihai. Skill menghindarku level dewa!
Kasahara sepertinya kesal karena diabaikan, pipinya menggembung dan melotot padaku. Tak lama, dia menghela napas.
“Gimana? Hidup bareng Megu?”
Nada bicaranya kali ini lebih lembut. Tidak seperti saat menggoda tadi.
“Biasa aja.”
“Beneran?”
“Beneran, kok.”
“...Gitu, ya. Biasa aja, ya.”
…Yah, memang biasa aja. Aku merasa nyaman tinggal bersama Hayashi. Kalau tinggal bareng, wajar saja kalau timbul rasa peduli.
“Kamu tuh, nggak pernah bisa jujur ya, Yamamoto-kun.”
“Aku? Aku ini jujur, tahu. Kau pikir sudah berapa banyak gadis yang kubuat menangis gara-gara ucapanku?”
“Itu sih bukan jujur, tapi emang kamunya aja yang nyebelin.”
…Kejam sekali. Menyebut warga sipil yang baik-baik ini nyebelin. Kalau aku punya media sosial, udah aku posting tuh barusan. Kemudian aku menarasikan semuanya dari sudut pandangku, berlagak jadi korban, terus cari simpati dan like sebanyak-banyaknya.
“Oke, kuakui. Aku tuh emang nggak jujur-jujur amat.”
“Nah, gitu dong.”
Kalau dipikir-pikir, iya juga sih. Ngeyel bilang aku ini orang jujur itu memang terlalu maksa.
“Terus, gimana rasanya tinggal sama Meg?”
“Berisik, ah. Kok kamu kepo banget, sih?”
“Ya karena aku penasaran lah. Waktu SMA, kalian berdua kan bener-bener nggak akur. …Padahal dulu aku tuh lumayan jaga jarak, lho?”
“...Iya sih. Maaf soal itu.”
“Kamu nggak perlu minta maaf. Itu kan keinginanku sendiri.”
“Kalau gitu, jangan diungkit-ungkit lagi.”
“Iya juga, ya. Maaf.”
“Ehehe,” ucap Kasahara sambil menggaruk kepala.
“Kalau kuceritakan pada teman-teman SMA, mereka pasti bakal kaget, kalau kalian tinggal bareng.”
“Yah, itu pun karena terpaksa.”
“Tetap aja. Mereka pasti bakal kaget dan melongo.”
Apa sampai segitunya…? Yah, mungkin memang segitunya.
“Mereka pasti mikir, ‘wah, Hayashi udah jatuh serendah itu ya’.”
“Bukan begitu.”
“Bukan?”
“Bukan. Mereka pasti bakal bilang, ‘eh, ternyata Yamamoto tuh orangnya baik juga ya?’ gitu.”
…Diriku di SMA, memang tidak jauh beda dari sekarang. Artinya, aku memang tak kelihatan seperti orang baik.
“Yah, bagaimanapun aku ini memang pria yang egois.”
“Nggak juga.”
“Terima kasih atas basa-basinya.”
“Bukan.”
“...”
“Itu bukan basa-basi sama sekali.”
Suasana jadi canggung. Kadang-kadang, Kasahara bisa tiba-tiba bilang hal-hal seperti itu. Membedakan antara candaan dan kejujurannya membuat kondisi mentalku tidak bisa mengikuti.
“Teman-teman itu jahat ya. Mereka nggak sadar betapa baiknya kamu.”
“…Sejak kamu ketemu Hayashi lagi, kamu jadi kayak rem blong.”
“...Mungkin.”
Kasahara tersenyum lembut. Berbeda dari senyum yang dia tunjukkan saat menggoda. Senyuman yang tulus. Senyum yang muncul ketika dia tidak sedang bercanda.
Sambil terus mengobrol, kami naik kereta dan turun di stasiun terdekat dari lokasi festival. Di dalam kereta, banyak penumpang lain yang mengenakan yukata, sepertinya mereka juga menuju tempat yang sama.
“Kamu nggak apa-apa?”
“T-Tak apa-apa.”
Setelah berdesak-desakan di antara kerumunan orang, kami akhirnya berhasil melewati gerbang tiket di stasiun terdekat dari lokasi festival.
Seperti yang kuduga, sebagian besar penumpang di kereta tadi memang menuju ke festival, dan hampir semuanya turun di stasiun yang sama dengan kami.
Membayangkan harus berjalan menuju lokasi festival bersama orang sebanyak ini saja sudah cukup membuatku lelah lagi.
“Meskipun begitu, Yamamoto-kun juga hebat ya mau mengizinkan,” kata Kasahara.
“Mengizinkan apa?”
“Mengizinkan Megu pergi sejauh ini.”
“…Ah, ya, begitulah.”
Yah, bagi Kasahara yang tahu kondisi Hayashi, wajar saja dia kaget. Aku sendiri sebenarnya menetapkan syarat bahwa Hayashi hanya boleh keluar rumah jika aku atau Kasahara ikut menemaninya. Tapi, kali ini Hayashi keluar tanpa ditemani kami berdua.
“Yah, karena kurasa temannya adalah orang yang bisa dipercaya.”
“…Ngomong-ngomong, hari ini Megu pergi dengan siapa?”
“Eh? …Ah, Miyauchi-san.”
“…Miyauchi-san?”
Kasahara memiringkan kepalanya.
“Ah—gadis itu, ya. Yang ketemu di supermarket waktu itu.”
“Gadis itu... Kenapa sikapmu terdengar begitu asing?” kataku dengan nada setengah jengkel.
“Kalian kan teman juga?”
“Eh?”
Kasahara tampak benar-benar terkejut.
“…Apa-apaan reaksi itu? Dia temanmu dari SMA, kan?”
“Bukan, kok.”
“Eh?”
…Bukan?
Kalau dipikir-pikir, aku memang belum pernah mendengar secara pasti dari Hayashi bagaimana awalnya dia bisa kenal dengan Miyauchi-san. Pernah suatu waktu Hayashi bilang, dia tidak punya hubungan baik dengan teman-teman sekampusnya. Tapi dari luar, hubungannya dengan Miyauchi-san tampak begitu akrab. Karena itu aku jadi mengira kalau mereka sudah berteman sejak SMA.
…Tunggu dulu?
Hayashi pernah bilang bahwa dia bertemu pria kasar itu di acara kencan buta yang diadakan oleh teman sekampus. Dan Miyauchi-san adalah teman sekampusnya.
…Kalau begitu, dia sama sekali bukan orang yang bisa dipercaya, kan?
“Ngomong-ngomong, kalian ikut festival di tempat yang cukup jauh, ya.”
“Ah… iya…”
Aku mengangguk. Keringat dingin mengalir di punggungku. Firasat buruk mulai muncul.
“Katanya, ini stasiun terdekat dari tempat tinggal Miyauchi-san.”
“Eh?”
Kasahara mengeluarkan suara terkejut.
“…Waktu pertama kali ketemu, dia bilang dia tinggal di dekat supermarket yang kita datangi tempo hari, loh?”
Dekat supermarket waktu itu…?
Tidak mungkin.
Soalnya, aku sudah tanya Hayashi berkali-kali. Tentang kenapa festival ini jauh dari rumah. Aku pastikan berkali-kali. Dan jawaban kudapat dari Hayashi adalah karena tempat tinggal Miyauchi-san dekat dengan lokasi festival ini.
Aku yakin aku tidak salah dengar.
Tapi kalau begitu, kenapa cerita yang kudengar dari Kasahara dan yang kudengar dari Hayashi bisa berbeda…?
…Jangan-jangan, Miyauchi-san memalsukan alamatnya?
…Untuk apa?
Jangan-jangan—!
“K-Kasahara. Kamu tahu nggak Hayashi sekarang ada di mana?”
“Eh?”
“Kamu tahu, kan? Karena kamu pasti punya caranya.”
“Y-Yah, aku tahu sih, tapi…”
“Di mana dia? Cepat kasih tahu!”
Kasahara sempat bengong melihatku yang tiba-tiba berubah sikap, tapi tak lama kemudian dia mengoperasikan ponselnya dan memberitahukan lokasi Hayashi saat ini.
“…Yamamoto-kun. Megu ada di arah yang berlawanan dari lokasi festival.”
Suara Kasahara terdengar kosong.
“Di mana?”
Aku mengintip ke layar ponselnya.
“…Kasahara, tolong hubungi polisi sekarang juga!”
Tanpa sadar aku langsung berlari.
Baru beberapa langkah saja, keringat sudah mengucur deras dari seluruh tubuh. Sepertinya bukan cuma karena panas.
Rasa tidak nyaman menyelimuti seluruh tubuhku. Tapi aku tidak bisa berhenti. Tidak boleh berhenti.
Apa aku terlalu paranoid…?
Apa aku terlalu panik hanya karena alamatnya dipalsukan?
Hayashi sudah putus kuliah. Mungkin saja Miyauchi-san merasa berisiko untuk memberikan informasi pribadinya begitu saja pada Hayashi yang tidak punya status jelas. Jadi, dia cuma asal jawab waktu itu.
…Ya, benar.
Setelah merasa cukup bisa dipercaya, dia baru memberitahukan alamat aslinya ke Hayashi.
Ya. Pasti begitu…
…Aku tahu.
Ya nggak mungkin gitu lah…!
Karena Hayashi dan Miyauchi sudah dua kali bertemu di supermarket dekat apartemenku. Mereka sudah dua kali bertemu secara kebetulan.
Kebetulan saja supermarket yang kami datangi sama?
Mana mungkin…!
Kalau tempat pertemuan mereka itu semacam taman hiburan yang cuma ada di beberapa lokasi di Jepang, itu masih bisa dimengerti.
Tapi supermarket ada di mana-mana di sepenjuru Jepang. Bertemu dua kali secara kebetulan dengan seseorang yang tinggal lebih dari jarak tiga puluh menit naik kereta di tempat seperti itu, itu tidak masuk akal…!
Mereka bertemu dua kali di supermarket itu.
Alamat yang dipalsukan.
Dan sekarang, mereka menuju ke arah yang berlawanan dari lokasi festival.
…Jangan-jangan.
Jangan-jangan…!
…Selama ini aku pikir, satu-satunya orang yang mungkin menyakiti Hayashi adalah pria kasar itu.
‘Kurasa dia nggak bakal bisa keluar rumah lagi,’ begitu katanya.
Dan alasan yang Hayashi berikan padaku dan Kasahara cukup meyakinkan.
Makanya aku pikir, Hayashi tak perlu takut lagi pada bayang-bayang pria itu.
Tapi, aku terlalu naif.
Sampai sekarang, pria itu masih buron. Kudengar dia tidak pernah kembali ke rumahnya.
Kalau begitu, dia pasti sedang disembunyikan oleh seseorang.
Oleh perempuan lain yang terpikat padanya, selain Hayashi… dia pasti masih disembunyikan oleh orang seperti itu…!
Dan kalau perempuan yang dibutakan rasa cinta menyembunyikan pria yang sudah kehilangan segalanya… bukan tidak mungkin dia juga menyimpan dendam pada Hayashi yang telah menjatuhkannya, kan?
…Sekarang aku mengerti.
Kenapa Hayashi dan Miyauchi bisa bertemu dua kali di supermarket dekat apartemenku.
…Pasti dia sudah diberitahu pria itu. Bahwa dia pernah bertengkar dengan Hayashi di dekat apartemenku dan sampai melibatkan polisi. Miyauchi pasti tahu itu dari pria itu.
Dan setelah dicekoki dengan kedustaan yang disamarkan sebagai fakta oleh pria itu, Miyauchi pun menyusun rencana untuk menemukan Hayashi dan membalas dendam menggantikannya.
Dia tahu Hayashi tinggal di sekitar situ.
Makanya dia muncul di supermarket itu…!
Dia pasti berpikir, kalau dia mengintai tempat Hayashi biasa berbelanja kebutuhan harian, dia pasti akan bertemu suatu saat…!
“Kumohon, semoga kamu baik-baik saja…!”
Dengan napas terengah-engah, aku terus berlari.
Previous Chapter | ToC | Next Chapter
Post a Comment